BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perilaku
Perilaku merupakan suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannnya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsang (Notoatmodjo, 2003).
Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007), membagi perilaku manusia ke dalam tiga bagian yakni: kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni: pengetahuan, sikap, dan praktik atau tindakan.
Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan adalah sesuatu respon (organisme) terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan.
Dari batasan ini, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terjadi dari 3 aspek: 1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance).
2. Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan, atau sering disebut perilaku pencairan pengobatan (health seeking behavior). 3. Perilaku kesehatan lingkungan
Perilaku dapat diukur dengan cara mengukur unsur-unsur perilaku dimana salah satu adalah pengetahuan dengan cara memperoleh data atau informasi tentang indikator-indikator pengetahuan tersebut. Untuk dapat menentukan tingkat pengetahuan terhadap sanitasi lingkungan dilakukan melalui wawancara, Notoatmodjo (2003).
2.1.1. Pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2003) :
1. Faktor Internal : faktor dari dalam diri sendiri, misalnya intelegensia, minat, kondisi fisik.
2. Faktor Eksternal : faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat, sarana.
3. Faktor pendekatan belajar : faktor upaya belajar, misalnya strategi dan metode dalam pembelajaran.
Pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2003) : 1. Tahu ( Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 2. Memahami ( Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi ( Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang riil (sebenarnya).
4. Analisis ( Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis ( Synthesis)
menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi ( Evaluation)
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2003).
2.1.2. Sikap
Newcomb dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi adalah merupakan “ pre- disposisi” tindakan atau perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka.
Menurut Notoadmodjo (2003), sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu: 1. Menerima (Receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan mau
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (Responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap yang berarti orang (subjek) menerima ide tersebut. 3. Menghargai (Valuiting), indikasinya adalah adanya ajakan kepada orang
lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah.
4. Bertanggung jawab (Responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Allport (1954) dalam Notoadmodjo (2007) menemukan sikap dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif.Pada sikap positif kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu.Sedangkan sikap negatif terdapat sikap menjauhi, menghindari, membenci tidak menyukai objek tertentu.
2.1.3. Tindakan
Praktik merupakan tindakan seseorang dalam melaksanakan apa yang diketahui atau yang disikapinya (dinilai baik). Praktik merupakan perilaku terbuka, tetapi belum wujud otomatis dari suatu sikap (Notoatmodjo, 2007).
Tingat-tingkat praktik antara lain :
1. Persepsi (Perception), yakni mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
2. Respon terpimpin (Guided Respon), yakni melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.
3. Mekanisme (Mecanism), yakni apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis ataupun sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan.
4. Adaptasi (Adaption), yakni suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.
Pengukuran tindakan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2003).
2.2. Soil Transmitted Helminths
Soil-transmitted helminths merupakan satu kelompok parasit kelas nematoda yang menginfeksi manusia melalui kontak dengan telur ataupun larva parasit yang terdapat ditanah lembab daerah tropis dan subtropis (Bethony, et al.,2006). Menurut Soedarto (2008) nematoda yang tergolong dalam STH diantaranya
Ascaris lumbricoides, Trichiuris trichiura, dan Enterobius vermicularis.
2.2.1 Ascaris lumbricoides
Cacing Ascaris lumbricoides secara umum dikenal sebagai cacing gelang.
a. Morfologi
Ascaris lumbricoides berbentuk gilig (silindris) memanjang hingga mencapai 40 cm. Cacing ini berwarna krem atau merah muda keputihan. Ukuran cacing betina 20-35 cm, sementara cacing jantan 15-31 cm. Mulutnya tediri dari tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga dengan satu tonjolan di bagian dorsal dan dua lainnya berda di ventrolateral. Bagian ujung posterior cacing jantan agak melengkung ke ventral seperti kait, dengan 2 buah copulatory spicule yang panjangnya 2 mm. Cacing betina memiliki ujung posterior tidak melengkung tetapi lurus. Vulvanya sangat kecil dan terletak di ventral antara pertemuan bagian anterior dan tengah tubuh (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Telur Ascaris terdiri dari dua bentuk, yaitu telur yang dibuahi (fertilized) dan tidak dibuahi (unfertilized). Telur yang dibuahi (fertilized) berbentuk bulat lonjong, ukuran panjang 45-75 mikron dan lebarnya 35-50 mikron. Telur ini terdiri dari tiga lapis.Lapisan dalam dari bahan lipoid, lapisan tengah dari bahan glikogen dan lapisan paling luar dari bahan albumin. Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) memiliki ukuran panjang 88-94 mikron dan lebarnya 44 mikron. Telur ini berasal dari cacing betina yang belum mengalami fertilisasi. Telur
unfertilized terkadang mengalami pelepasan lapisan albumin, proses ini disebut sebagai decorticated eggs (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Gambar 2.1. Telur Ascaris lumbricoides
b. Siklus hidup
Setelah keluar bersama tinja penderita, telur Ascaris yang jatuh di tanah lembab akan tumbuh menjadi telur infektif berisi larva cacing. Apabila tertelan, telur infektif ini akan menetas di dalam usus. Larva keluar dari telur, menembus dinding usus dan masuk ke vena porta hati.Lalu bersama aliran darah masuk ke jantung, menuju paru-paru. Larva akan melakukan penetrasi pada dinding alveoli, ke cabang bronkus, kerongkongan hingga akhirnya tertelan dan berakhir di usus halus menjadi cacing dewasa. Peredaran larva cacing bersama aliran darah memasuki organ jantung, paru-paru, sampai ke usus halus disebut lung migration. Dalam waktu dua bulan, telur infektif akan menjadi cacing dewasa yang mampu menghasilkan telur hingga 200.000 butir perhari (Soedarto, 2009).
Gambar 2.2 Siklus hidup Ascaris lumbricoides
Dikutip dari: Centers for Disease Control and Prevention ( CDC)
c. Epidemiologi
Ascaris lumbricoides tersebar di seluruh dunia. Cacing ini menginfeksi 1300 juta orang terinfeksi. Di daerah tropis , tanah lembab dan terlindung dari sinar matahari sangat mendukung berlangsungnya siklus hidup Ascaris lumbricoides
d. Patologi dan Gejala Klinis
Pada infeksi berat, Larva Ascaris dapat menyebabkan reaksi hipersensitif pulmonum, reaksi inflamasi, dan pada individu sensitif dapat menyebabkan gejala seperti asma misalnya batuk, demam, dan sesak napas. Migrasi larva akan mensensinitasi jaringan dalam bentuk inflamasi eosinofilik (sindrom Loffler’s). Inflamasi ini akan meningkatkan sekresi mucus, inflamasi bronkiolar, dan eksudat serosa (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Sekresi metabolik cacing dewasa dapat menimbulkan gejala alergi seperti urtikaria, kemerahan di kulit, nyeri pada mata dan insomnia. Sementara pada intestinal, cacing dewasa dapat membentuk bolus atau massa yang dapat menyebabkan obstruksi intestinal dan menimbulkan rasa sakit pada abdomen, muntah, dan kadang-kadang massa dapat di raba. Komplikasi serius akibat migrasi cacing dewasa pada saluran pencernaan atas akan menyebabkan cacing keluar lewat mulut dan hidung. Hal ini dipicu oleh rangsangan panas (38,9 C). Cacing dewasa dapat menyebabkan kolangitis, pankreatitis, dan apendiksitis. Askariasis dapat mengakibatkan protein energy malnutrition. Pada anak-anak yang mengalami infeksi oleh 13-14 cacing dewasa dapat kehilangan 4 gram protein dari diet yang mengandung 35-50 gram protein/ hari (Ideham dan Pusarawati, 2007)
e. Pengobatan
Beberapa obat yang efektif dalam mengatasi askariasis adalah pirantel pamoat dengan dosis 11 mg/ kg BB, mebendazol dengan dosis 100 mg, piperasin sitrat 75 mg/kg BB dan albendazol 400 mg ( Soedarto, 2009).
2.2.2. Trichiuris trichiura
a. Morfologi
Cacing ini memiliki bentuk tubuh yang khas yaitu sperti cambuk, dengan bagian depan halus seperti benang sepanjang 3/5 dari seluruh tubuh. Bagian belakang tubuhnya tebal seperti gagang cambuk, namun batas antara bagian depan dan belakang tidak jelas. Cacing jantan berukuran 30-45 mm, sementara cacing betina 35-50 mm. Ujung ekor cacing betina membulat dan cacing jantan mempunyai ujung posterior kekuningan yang melengkung dan spikula tunggal ( Ideham dan Pusarawati, 2007)
Telur Trichiuris trichiura berbentuk guci atau sitron dengan dua kutub.Lapisan luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalam transparan.Pertumbuhan telur ini berlangsung dengan baik di daerah panas, dengan kelembapan tinggi terutama di tempat yang berlindung (Irianto, 2009).
Gambar 2.3. Telur Trichiuris triciura
Dikutip dari: Centers for Disease Control and Prevention ( CDC)
b. Siklus Hidup
Gambar 2.4 Siklus hidup Trichiuris trichiura
Dikutip dari: Centers for Disease Control and Prevention ( CDC)
c. Epidemiologi
Angka infeksi cacing cambuk di dunia diperkirakan 1300 juta yang pada umumnya di daerah tropis dan subtropis.Penyebaran cacing ini disertai dengan penyebaran Ascaris lumbricoides.Trichiuris trichiura sering menginfeksi anak- anak umur 5-14 tahun, dikarenakan anak lebih sering bermain dengan tanah (Ideham dan Pusarawati, 2007).
d. Patologi dan Gejala Klinis
darah pada infeksi berat, hemoglobin dapat berada di bawah 3 g% dan menunjukkan gambaran eosinifilia (eosinophil > 3%)( Soedarto, 2008).
e. Pengobatan
Pengobatan dengan mengkombinasikan beberapa obat cacing akan memiliki efek maksimal. Pirantel pamoat (10 mg/kgBB) dapat dikombinasikan dengan
oksantel pamoat (10-20 mg/ kgBB) diberikan dalam bentuk dosis tunggal. Selain itu pirantel pamoat dapat di kombinasikan dengan mebendazol ( Ideham dan Pusarawati, 2007).
2.2.3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus a. Morfologi
1. Cacing dewasa
Ancylostoma duodenale mempunyai ukuran kecil, relatif gemuk, silindris dengan bagian depan lebih langsing dan bagian servikal melengkung kearah dorsal-anterior membentuk huruf C. Cacing jantan berukuran 8-11 mm dan cacing betina panjangnya 10-13 mm. Bagian mulut mengandung bahan chittine dan terdiri dari dua pasang gigi ventral. Pada bagian ekor cacing jantan terdapat bursa copulatric dan sepasang spikula yang panjang, sedangkan pada cacing betina tumpul.Necator americanus berbentuk gilig dengan bagian anterior menekuk kearah dorsal sehingga tampak seperti huruf S. Bagian mulut berbentuk semilunar cutting plate.Cacing jantan mempunyai ukuran 7-9 mm dan cacing betina 9-11 mm ( Ideham dan Pusarawati, 2007).
2. Telur
Gambar 2.5. Telur Hookworm
Dikutip dari: Centers for Disease Control and Prevention ( CDC)
3. Larva
- Larva rhabditiform
Memiliki panjang 0,25-0,30 mm dan diameter 17 mikron. Mulut larva
rhabditiform panjang dan sempit, esophagus berbentuk tabung dan terletak di sepertiga anterior .( Ideham dan Pusarawati, 2007).
- Larva filariform
Pada fase ini.Larva tidak makan. Pada larva Necator americanus
mempunyai selubung dari bahan kutikula dan terdapat garis-garis transversal yang sangat tampak.( Ideham dan Pusarawati, 2007).
b. Siklus hidup
dewasa. Di perlukan waktu 5 minggu atau lebih untuk larva filariform menjadi cacing dewasa yang produktif ( Ideham dan Pusarawati, 2007).
Gambar 2.6. Siklus Hidup Hookworm
Dikutip dari: Centers for Disease Control and Prevention ( CDC)
c. Epidemiologi
Infeksi oleh hookworm diperkirakan mencapai 1200 juta kasus per tahun. Beberapa faktor yang yang mempengaruhi penyebaran infeksi hookworm yakni sanitasi yang jelek dengan kebiasaan buang air besar di tanah lembab dan tidak menggunakan alas kaki ( Ideham dan Pusarawati, 2007).
d. Patologi dan Gejala klinis
Cacing dewasa dapat menimbulkan erosi dan ulserasi pada usus, dengan adanaya gigi atau cutting plate yang digunakan untuk untuk menempel pada vili- vili usus. Penempelan ini akan menyebabkan keluarnya darah dari kapiler, yang sebagian akan diserap oleh usus. Perdarahan kronis ialah dapat menimbulkan anemia sehingga penderita akan mengalami pusing, cepat lelah, pucat dan penurunan kadar Hb. Infeksi Necator americanus lebih ringan bila dibandingkan
Ancylostoma duodenale ( Ideham dan Pusarawati, 2007).
e. Pengobatan
Terapi pada pasien yang mengalami infeksi tanpa anemia, dapat diberikan antihelmintik yaitu Bephenium hydroxynapthhaloat, Phenylen - 1.4 - diisothiocyanat, dan Thiabendazol. Sementara pada pasien yang terinfeksi dengan anemia, dapat diberikan terapi patogenik dengan memberikan preparat besi (Irianto, 2009).
2.3. Upaya Pencegahan Penyakit Cacing
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyakit cacing, antara lain (Tumanggor, 2008):
1. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan. Gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku jemari yang kotor. 2. Biasakan mencuci tangan dengan sabun sehabis Buang Air Besar. 3. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.
4. Tidak membiasakan diri menggigiti kuku jemari tangan atau menghisap jempol.
5. Tidak membiasakan anak bermain-main di tanah.
6. Menggunakan alas kaki saat berjalan kaki di luar, terutama bila berjalan di tanah.
7. Tidak membuang feses di kebun, parit, sungai, atau danau. Biasakan buang feses di jamban.
9. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit cacing, periksakan diri ke Puskesmas secara teratur terutama ada tanda atau gejala cacingan. 10.Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas.
11. Sebelum memakan sayuran mentah (lalapan) atau buah-buahan, harus sudah dicuci bersih dengan air yang mengalir terlebih dahulu.
2.4. Intensitas Infeksi Cacing
Intensitas infeksi merupakan angka serangan dari masing-masing jenis cacing. Intensitas infeksi Soil Transmitted Helminths dapat diukur secara langsung melalui penghitungan jumlah cacing yang terbuang setelah pemberian obat cacing atau secara tidak langsung yaitu melalui penghitungan jumlah telur cacing yang terdapat di feses (jumlah telur per gram tinja). Metode secara tidak langsung lebih efektif dan lebih sering digunakan ( WHO, 2012).
Tabel 2.1. Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing
No. Klasifikasi
ibu jari tangan). Spesimen harus diperiksa pada hari yang sama, namun bila kondisi tidak mendukung maka dapat diberi formalin 5-10% sampai terendam (Depkes, 2006).
Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu ( Depkes, 2006): a) Cara Pemeriksaan Kualitatif (modifikasi teknik Kato)
Hasil pemeriksaan feses kualitatif berupa positif atau negatif cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis cacing. Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan menggunakan:
• Metode Natif • Metode Apung • Metode Harada Mori • Metode Kato
b) Cara Pemeriksaan Kuantitatif