BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dihadapi oleh seluruh pemerintahan yang ada di dunia ini. Kemiskinan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Faktor tersebut antara lain tingkat pendapatan, pendidikan, kesehatan, lokasi goegrafis dan kondisi lingkungan.
Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas. Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation), baik secara geografis maupun sosiologis.
Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri (Chriswardani Suryawati, 2005).
tingkat akses terhadap kekuasaan yang mempunyai pengertian tentang sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumber daya. Secara sosial psikologi, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan peningkatan produktivitas.
World Bank (2010) mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan dalam kesejahteraan, dan terdiri dari banyak dimensi. Ini termasuk berpenghasilan rendah dan ketidakmampuan untuk mendapatkan barang dasar dan layanan yang diperlukan untuk bertahan hidup dengan martabat. Kemiskinan juga meliputi rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan, akses masyarakat miskin terhadap air bersih dan sanitasi, keamanan fisik yang tidak memadai, kurangnya suara, dan kapasitas memadai dan kesempatan untuk hidup yang lebih baik itu.
Castells (1998) mengemukakan kemiskinan adalah suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standard kebutuhan hidup, minimum agar manusia dapat bertahan hidup. Adapun standard kebutuhan minimum dimaksud pada umumnya ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok pangan.
Kemiskinan terkait dengan masalah kekurangan pangan dan gizi, keterbelakangan pendidikan, kriminalisme, pengangguran, prostitusi, dan maslah-masalah lain yang bersumber dari rendahnya tingkat pendapatan perkapita penduduk. Kemiskinan merupakan masalah yang amat kompleks dan tidak sederhana penangananya. Menurut Mulyono (2006), kemiskinan berarti ketiadaan kemampuan dalam seluruh dimensinya (BAPPENAS, 2010).
Dengan demikian, kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.
Matias Siagian dalam bukunya yang berjudul “Kemiskinan dan Solusi”
membagi kemiskinan menjadi sepuluh jenis. Jenis-jenis kemiskinan tersebut yakni:
1. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut adalah suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga orang tersebut memiliki taraf kehidupan yang rendah, dianggap tidak layak serta tidak sesuai dengan harkat martabat sebagai manusia.
2. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif didasarkan pada eksisitensi manusia sebagai makhluk sosial yang dibatasi oleh wilayah atau lingkungan.
Kemiskinan massa dapat diartikan sebagai kemiskinan yang dialami secara massal penduduk dalam suatu lingkungan wilayah.
4. Kemiskinan Non Massa
Kemiskinan non massa adalah kemiskinan yang dihadapi oleh segelintir atau sebagian kecil dari penduduk di suatu wilayah.
4. Kemiskinan Alamiah
Kemiskinan alamiah diidentifikasikan sebagai kemiskinan yang terjadi sebagai konsekuensi dari kondisi alam, dimana seseorang atau sekelompok orang tersebut bermukim.
5. Kemiskinan Kultural
Kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju.
6. Kemiskinan Terinvolusi
Kemiskinan terinvolusi merupakan bentuk dan kondisi khusus dari kemiskinan kultural. Ciri khusus kemiskinan ini adalah telah terinternalisasinya nilai-nilai negatif dalam diri seseorang atau sekelompok orang dalam memandang diri dan kehidupannya, sehingga mereka menganggap kehidupan dengan segala kondisinya sebagai sesuatu yang tidak dapat berubah.
7. Kemiskinan Struktural
penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan penjabat dan lain-lain.
8. Kemiskinan Situasional
Kemiskinan situasioanl adalah kondisi kehidupan masyarakat yang tidak layak yang disebabkan oleh situasi yang ada.
9. Kemiskinan Buatan
Kemiskinan buatan terjadi karena kelembagaan-kelembagaan yang ada melibatkan anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata.
Menurut Todaro dan Smith (2006), tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada dua faktor utama, yakni: tingkat pendapatan nasional rata-rata, dan lebar sempitnya kesenjangan distribusi pendapatan. Setinggi apapun tingkat pendapatan nasional perkapita yang dicapai oleh suatu negara, selama distribusi pendapatannya tidak merata, maka tingkat kemiskinan di negara tersebut pasti akan tetap parah. Demikian pula sebaliknya, semerata apapun distribusi pendapatan di suatu negara, jika tingkat pendapatan nasional rata-ratanya rendah, maka kemiskinan juga akan semakin luas.
sumberdaya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau keturunan ketiga kemiskinan muncul karena perbedaan akses dalam modal.
Banyak ukuran yang menentukan angka kemiskinan, salah satunya adalah garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah suatu ukuran yang menyatakan besarnya pengeluaran (dalam rupiah), untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan kebutuhan non makanan, atau standar yang menyatakan batas seseorang dikatakan miskin, bila dipandang dari sudut konsumsi. Garis kemiskinan digunakan untuk mengetahui batas seseorang dikatakan miskin atau tidak, sehingga garis kemiskinan dapat digunakan untuk mengukur dan menentukan jumlah kemiskinan. Untuk provinsi Sumatera Utara, menurut laporan Badan Pusat Statistik pada September 2013 garis kemiskinan Sumatera Utara secara total sebesar Rp 311.063,- per kapita per bulan.
Menurut Todaro dan Smith (2006), kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang akibat dari interaksi antara 6 karakteristik berikut:
1. Tingkat pendapatan nasional negara-negara berkembang terbilang rendah, dan laju pertumbuhan ekonominya tergolong lambat.
2. Pendapatan perkapita negara-negara Dunia Ketiga juga masih rendah dan pertumbuhannya amat sangat lambat, bahkan ada beberapa yang mengalami stagnasi.
4. Mayoritas penduduk di negara-negara Dunia Ketiga harus hidup dibawah tekanan kemiskinan absolut.
5. Fasilitas dan pelayanan kesehatan buruk dan sangat terbatas, kekurangan gizi dan banyaknya wabah penyakit, sehingga tingkat kematian bayi di negara-negara Dunia Ketiga sepuluh kali lebih tinggi dibanding dengan yang ada di negara maju.
6. Fasilitas pendidikan di kebanyakan negara-negara berkembang maupun isi kurikulumnya relatif masih kurang relevan, maupun kurang memadai.
2.1.1 Ukuran Kemiskinan
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan, yaitu 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada dilapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini sering disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan dikatakan dalam kondisi miskin.
dasar hidup. Walaupun demikian, kemiskinan memiliki banyak dimensi selain dimensi pendapatan. Dimensi lain kemiskinan dapat dilihat dari peluang memperoleh kesehatan dan umur panjang, peluang memiliki pengetahuan dan keterampilan, dan lain-lain. Intinya adalah kemiskinan sangat terkait dengan sempitnya kesempatan seseorang dalam menentukan pilihan-pilihannya dalam hidup.
Jika kemiskinan berkaitan dengan semakin sempitnya kesempatan yang dimiliki, maka pembangunan manusia adalah sebaliknya. Konsep pembangunan manusia adalah memperluas pilihan manusia (enlarging choice), terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan kemampuan daya beli. Dengan hubungan yang berkebalikan tersebut, suatu daerah dengan kualitas pembangunan manusia yang baik idealnya memiliki persentase penduduk miskin yang rendah (IPM, 2007).
2.2 Angka Melek Huruf
Salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran kesejahteraan sosial yang merata adalah dengan melihat tinggi rendahnya persentase penduduk yang melek huruf. Tingkat melek huruf dapat dijadikan ukuran kemajuan suatu bangsa. Menurut UNESCO definisi dari melek huruf adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, mengkomunikasikan, membuat, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan baca tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang, sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya. Kemampuan baca tulis ini juga berkaitan langsung dengan cara seseorang untuk memperoleh pengetahuan, menggali potensi, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang luas.
Angka Melek Huruf (AMH) adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis, dengan jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas. Batas maksimum untuk angka melek huruf, adalah 100 sedangkan batas minimum 0 (standar UNDP). Hal ini menggambarkan kondisi 100 persen atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai nol mencerminkan sebaliknya.
aspek pendidikan, karena semakin tinggi angka kecakapan baca tulis maka semakin tinggi pula mutu dan kualitas SDM (BPS, 2011).
Menurut Meier dan Baldwin (dalam Jhingan, 1992), negara terbelakang umumnya terjerat ke dalam apa yang disebut “lingkaran setan kemiskinan”. Di dalam Gambar 2.1 dijelaskan bahwa lingkaran setan ini disebabkan karena keterbelakangan manusia dan sumber daya alam. Pengembangan sumber daya alam pada suatu negara tergantung pada kemampuan produktif manusianya. Jika penduduk negara tersebut terbelakang dan buta huruf, langka akan keterampilan teknik, pengetahuan dan aktivitas kewiraswastaan, maka sumber daya alam yang ada akan tetap terbengkalai, kurang atau bahkan salah guna. Di lain pihak, keterbelakangan sumber daya alam ini menyebabkan keterbelakangan manusia. Keterbelakangan sumber daya alam merupakan sebab sekaligus akibat keterbelakangan manusia.
Ketidaksempurnaan Pasar
Keterbelakangan Sumber Daya Alam
Keterbelakangan Manusia Sumber : Jhingan (1992)
Gambar 2.1
Lingkaran Setan Keterbelakangan Manusia
pembangunan yang mendasar. Yang mana pendidikan memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara dalam menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Dalam penelitian Hermanto dan Dwi (2007), diketahui bahwa pendidikan mempunyai pengaruh paling tinggi terhadap kemiskinan dibandingkan variabel pembangunan lain seperti jumlah penduduk, PDRB, dan tingkat inflasi.
2.3 Inflasi
Boediono (1996), mendefinisikan inflasi sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus-menerus. Inflasi juga diartikan sebagai suatu keadaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara (Khalwaty, 2000). Inflasi dalam perekonomian disatu sisi selalu menjadi hal yang relatif menakutkan, karena inflasi dapat melemahkan daya beli dan dapat melumpuhkan kemampuan produksi yang mengarah pada krisis produksi dan konsumsi. Akan tetapi, disisi lain ketiadaan inflasi menandakan tidak adanya pergerakan positif dalam perekonomian karena relatif harga-harga tidak berubah dan kondisi ini dapat melemahkan sektor industri.
Boediono (1998) mengelompokkan teori mengenai inflasi menjadi beberapa kelompok:
2. Teori Keynes, teori ini didasarkan atas teori makronya dan menyoroti aspek lain dari inflasi, yaitu karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Keadaan permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melibihi jumlah barang-barang-barang-barang yang tersedia.
3. Teori Struturalis, teori ini mengenai tekanan pada ketegaran dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang, karena yang dapat menyebab inflasi:
a) Ketidakelastisan dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor lain.
b) Ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan tidak tumbuh secepat pertumbuhan penduduk dan penghasilan perkapita, sehingga harga bahan makanan di dalam negeri cendrung untuk naik melebihi kenaikan harga-harga barang lain.
Inflasi dapat digolongkan menjadi beberapa golongan sebagai berikut:
1. Inflasi berdasarkan parahnya atau tidak, inflasi ini melihat dari kondisi keseluruhan inflasi yang terjadi yang melihat dari persentase perubahan harga-harga. Inflasi ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
a) Inflasi ringan (≤ 10% setahun)
b) Inflasi sedang (antara 10% - 30% setahun) c) Inflasi berat (antara 30% - 100% setahun) d) Hiperinflasi (≥ 100% setahun)
Sinungan (1995), berdasarkan asalnya inflasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian seperti:
a) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)
Inflasi yang yang berasal dari dalam negeri timbul, misalnya karena adanya defisit anggaran belanja yang di biayai dengan pencetakan uang baru, panen yang gagal dan sebagainya.
b) Inflasi yang berasal dari luar negeri (inported inflation)
Inflasi yang berasal dari luar negri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga diluar negeri atau di negara-negara langganan kita berdagang.
Berdasarkan sebabnya inflasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian: a) Demand full Inflation
Inflasi ini disebabkan karena kenaikan permintaan masyarakat akan berbagai barang dan jasa terlalu besar (kenaikan permintaan). Hal ini terjadi apabila dalam perekonomian terjadi peningkatan pengeluaran agregat melebihi barang yang diproduksi dan tersedia di pasar. Kelebihan permintaan ini akan mengakibatkan kenaikan tingkat harga. Kenaikan harga ini akan semakin bertambah cepat bila perekonomian sudah mencapai full employment.
b) Cost Push Inflation
kenaikan harga barang impor yang masih akan digunakan dalam proses produksi dalam negeri.
Inflasi yang terjadi dalam suatu perekonomian memiliki beberapa dampak atau akibat sebagai berikut :
1. Inflasi dapat mendorong terjadinya redistribusi pendapatan diantara anggota masyarakat, dan inilah yang dinamakan efek redistribusi dari inflasi (redistribution effect of inflation). Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi dari anggota masyarakat, sebab redistribusi pendapatan yang terjadi akan menyebabkan pendapatan riil satu orang meningkat tapi pendapatan riil orang lain akan jatuh. Namun parah atau tidaknya dampak inflasi terhadap retribusi pendapatan dan kekayaan tersebut adalah sangat tergantung pada apakah inflasi itu bersifat dapat diantisipasi atau tidak dapat diantisipasi. Inflasi yang tidak dapat diantisipasi akan mempunyai dampak yang jauh lebih serius terhadap redistribusi pendapatan dan kekayaan, dibandingkan dengan inflasi yang dapat diantisipasi.
2. Inflasi dapat menyebabkan penurunan dalam efisiensi ekonomi (economic efficiency). Hal ini dapat terjadi karena inflasi dapat mengalahkan sumberdaya dari investasi yang produktif (productive investment) ke investasi yang tidak produktiv (unproductive investment) sehingga mengurangi kapasitas ekonomi produktif. Ini disebut sebagai efficiency effect of inflation.
untuk memproduksi lebih atau kurang dari yang telah dilakukan selama ini. Ini disebut “output and employment effect of inflation”.
2.4 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk
mengukur prestasi ekonomi suatu negara. Dalam kegiatan ekonomi sebenarnya,
pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan ekonomi fisik. Beberapa perkembangan
ekonomi fisik yang terjadi di suatu negara adalah pertambahan produksi barang dan
jasa, dan perkembangan infrastruktur. Semua hal tersebut biasanya diukur dari
perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara dalam periode
tertentu.
Robert Solow (dikutip oleh Todaro dan Smith, 2006), mengembangkan model
pertumbuhan ekonomi yang disebut sebagai Model Pertumbuhan Solow. Model
tersebut berangkat dari fungsi produksi agregat sebagai berikut:
� = � −�
dimana Y adalah pendapatan domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal
manusia (akumulasi pendidikan dan pelatihan), L adalah tenaga kerja, dan A
merupakan produktivitas tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara
eksogen. Faktor penting yang mempengaruhi modal fisik adalah investasi. Adapun
simbol α melambangkan elastisitas output terhadap modal (atau persentase kenaikan
GDP yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia).
menghasilkan pendapatan nasional atau pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Apabila investasi tersebut dilaksanakan secara relatif merata, termasuk terhadap golongan berpendapatan rendah, maka kemiskinan akan berkurang.
Menurut Simon Kuznets (dikutip dari Boediono,1999), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologi terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada. Hal tersebut menjadikan pertumbuhan ekonomi dicirikan dengan 3 hal pokok, antara lain:
1. laju pertumbuhan perkapita dalam arti nyata (riil).
2. persebaran atau distribusi angkatan kerja menurut sektor kegiatan produksi yang
menjadi sumber nafkahnya.
3. Pola persebaran penduduk.
Boediono (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah salah satu proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dimana penekanannya pada 3 aspek, antara lain:
1. proses, yaitu pertumbuhan ekonomi bukan merupakan suatu gambaran dari suatu perekonomian yang melihat, bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu.
3. jangka waktu, yaitu kenaikan output per kapita selama 1 – 2 tahun lalu diikuti penurunan output per kapita, bukan merupakan pertumbuhan ekonomi. Dikatakan tumbuh bila dalam jangka waktu yang lama (5 tahun atau lebih) mengalami kenaikan output per kapita.
Menurut Todaro dan Smith (2006), ada tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu :
1. Akumulasi modal termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada sebagian dari pendapatan sekarang di tabung yang kemudian diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa mendatang. Investasi juga harus disertai dengan investasi infrastruktur, yakni berupa jalan, listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, fasilitas komunikasi, demi menunjang aktivitas ekonomi produktif. Investasi dalam pembinaan sumber daya manusia dapat meningkatkan kualitas modal manusia, sehingga pada akhirnya akan membawa dampak positif yang sama terhadap angka produksi, bahkan akan lebih besar lagi mengingat terus bertambahnya jumlah manusia. Pendidikan formal, program pendidikan dan pelatihan kerja perlu lebih diefektifkan untuk mencetak tenaga-tenaga terdidik dan sumber daya manusia yang terampil.
semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya.
3. Kemajuan Teknologi. Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi cara-cara baru dan cara-cara-cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional. Ada 3 klasifikasi kemajuan teknologi, yakni:
a. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang sama.
b. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labor saving) atau hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output yang lebih tinggi bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau input modal yang sama.
c. Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal, terjadi jika penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang ada secara lebih produktif.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Untuk lebih jelas dalam menghitung angka-angka Produk Domestik Regional Bruto, ada tiga pendekatan yang cukup sering digunakan dalam melakukan suatu penelitian: 1. Menurut Pendekatan Produksi
Dalam pendekatan produksi, Produk Domestik Regional Bruto adalah
kegiatan ekonomi di daerah tersebut dikurangi biaya antara masing-masing total
produksi bruto tiap kegiatan subsektor atau sektor dalam jangka waktu tertentu.
Nilai tambah merupakan selisih antara nilai produksi dan nilai biaya, antara lain
yaitu bahan baku/penolong dari luar yang dipakai dalam proses produksi
(Robinson Tarigan, 2005).
2. Menurut Pendekatan Pendapatan
Dalam pendekatan pendapatan, nilai tambah dari setiap kegiatan ekonomi diperkirakan dengan menjumlahkan semua balas jasa yang diterima faktor produksi, yaitu upah dan gaji dan surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung neto pada sektor pemerintahan dan usaha yang sifatnya tidak mencari untung, surplus usaha tidak diperhitungkan. Surplus usaha meliputi bunga yang dibayarkan neto, sewa tanah, dan keuntungan. Metode pendekatan pendapatan banyak dipakai pada sektor jasa, tetapi tidak dibayar setara harga pasar, misalnya sektor pemerintahan. Hal ini disebabkan kurang lengkapnya data dan tidak adanya metode yang akurat yang dapat dipakai dalam mengukur nilai produksi dan biaya antara dari berbagai kegiatan jasa, terutama kegiatan yang tidak mengutip biaya (Robinson Tarigan, 2005). 3. Menurut Pendekatan Pengeluaran
Cara penyajian Produk Domestik Regional Bruto disusun dalam dua
bentuk, yaitu :
1. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan
Menurut BPS pengertian Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga
konstan, yaitu jumlah nilai produksi atau pengeluaran atau pendapatan yang
dihitung menurut harga tetap. Dengan cara menilai kembali atau mendefinisikan
berdasarkan harga-harga pada tingkat dasar dengan menggunakan indeks harga
konsumen. Dari perhitungan ini tercermin tingkat kegiatan ekonomi yang
sebenarnya melalui Produk Domestik Regional Bruto riilnya.
2. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku
Pengertian Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku menurut
BPS adalah jumlah nilai tambah bruto yang timbul dari seluruh sektor
perekonomian di suatu wilayah. Yang dimaksud nilai tambah, yaitu merupakan
nilai yang ditambahkan kepada barang dan jasa yang dipakai oleh unit produksi
dalam proses produksi sebagai input antara. Nilai yang ditambahkan ini sama
dengan balas jasa atas ikut sertanya faktor produksi dalam proses produksi.
Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun (Sadono Sukirno, 2005). Laju pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dapat diukur dengan menggunakan laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). Berikut ini adalah rumus untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi (Sukirno, 2007):
G = Laju pertumbuhan ekonomi
PDRB1 = PDRB ADHK pada suatu tahun
PDRB0 = PDRB ADHK pada tahun sebelumnya
2.5 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan judul penelitian dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel 2.1
Y = Tingkat Kemiskinan
Fixed Effect
Y = Tingkat Kemiskinan
Penduduk
Y = Tingkat Kemiskinan
Estimasi
2. Rasio Gini berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan
3. Angka harapan hidup mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan
4. Rata-rata lama sekolah berpengaruh negatif
6. Investasi SDM tidak berpengaruh signifikan
9. Populasi tanpa akses kesehatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan
10.Populasi tanpa akses air bersih berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan
Fitri, 2012,
Y = Tingkat Kemiskinan
ordinary 2. Angka melek huruf berpengaruh negatif
Makroekonomi Regional Terhadap Tingkat Kemiskinan Perkotaan
signifikan terhadap kemiskinan
3. Inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan
2.6 Kerangka Konseptual
Pengentasan penduduk miskin saat ini masih merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional, karena di dalam permasalahan kemiskinan terdapat beberapa aspek yang berkaitan di dalamnya. Kemiskinan merupakan masalah mutidimensi dan lintas sektor yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan (Bappenas, 2010).
Pendidikan merupakan cara untuk menyelamatkan diri dari kemiskinan. Pendidikan memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara dalam menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Semakin tinggi angka kecakapan baca tulis, semakin tinggi pula mutu dan kualitas sumber daya manusia (SDM) (Todaro,2006).
mengakibatkan konsumsi masyarakat turun, ini juga berarti bahwa dengan penurunan daya beli maka akan berakibat naiknya tingkat kemiskinan. Pola konsumsi yang turun bukan diakibatkan minimnya jumlah produksi barang-barang, tetapi karena daya untuk membeli barang tidak ada, sehingga sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan minimum. Kondisi ini mengakibatkan orang yang tadinya berada pada garis mendekati miskin menjadi miskin dengan adanya inflasi, secara otomatis ini meningkatkan tingkat kemiskinan.
Pertumbuhan dan kemiskinan mempunyai korelasi yang sangat kuat, karena pada tahap awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah bahwa pertumbuhan tersebut efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (Siregar, 2006).
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual Angka Melek
Huruf (X1)
Inflasi (X2)
Pertumbuhan Ekonomi (X3)
Tingkat Kemiskinan
2.7 Hipotesis
1. Angka Melek Huruf berpengaruh negatif terhadap Tingkat Kemiskinan di Sumatera Utara.
2. Inflasi berpengaruh positif terhadap Tingkat Kemiskinan di Sumatera Utara. 3. Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh negatif terhadap Tingkat Kemiskinan di