• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM 1. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan

1.1 Pengertian Pernikahan

Pernikahan dalam literatur fiqh yang berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah (حاكن) dan zawaj (جاوز). Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat

dalam al-Quran dan Hadits Nabi SAW. Secara bahasa, nikah berarti

bergabung (مض), hubungan kelamin (ءطو) dan juga berarti aqad (دقع). (Syarifuddin, 2006: 35-36)

Secara terminologi, pernikahan adalah:

Aqad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, saling tolong menolong diantara mereka, serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. ( Abu Zahrah, 1957: 19)

Juga pengertian nikah terdapat dalam kitab Mahalli yaitu:

Nikah secara bahasa adalah bercampur dan menurut istilah adalah akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan

kelamin dengan menggunakan lafaz nakaha atau zawaja. (Mahalli, tth:

206)

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2013: 2). Sedangkan menurut

(2)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 pengertian pernikahan yaitu akad

yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. (Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, 2013: 324).

Sementara prespektif ulama mengenai definisi pernikahan menurut 4 mazhab sebagaimana dijelaskan oleh Slamet Abidin dan Aminuddin dalam buku Beni Ahmad Saebani adalah sebagai berikut:

1. Ulama Hanafiyah mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang

berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya, seorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan.

2. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa pernikahan adalah suatu akad

dengan menggunakan lafazh nikah atau zauj, yang menyimpan arti

memiliki. Artinya dengan pernikahan, seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya.

3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad

yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga.

4. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa pernikahan adalah akad dengan

menggunakan lafazh nikah atau taswij, untuk mendapatkan kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya. Pengertian diatas terdapat kata-kata milik yang mengandung pengertian hak untuk memiliki melalui akad nikah. Oleh karena itu, suami istri dapat mengambil manfaat untuk mencapai kehidupan dalam rumah tangganya yang bertujuan membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah di dunia. (Saebani, 2013: 17)

Pernikahan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia, yakni laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah, bahwa kedua mempelai berniat membangun

(3)

rumah tangga sakinah, tentram, dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang. Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut, pernikahan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang sifatnya global, terlebih lagi pernikahan berkaitan pula dengan hukum suatu negara. Pernikahan baru dinyatakan sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. (Saebani, 2013: 18-19)

Berdasarkan firman Allah SWT dalam al Quran surat an Nisa [4] ayat 21





























Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (Qs. An-Nisa: 21)

Jadi, pernikahan itu adalah aqad yang membolehkan hubungan

kelamin antara seorang pria dengan wanita, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan kabul (pernyataan penerimaan dari pihak laki-laki) dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan melanjutkan keturunan serta menjaga ketentraman jiwa. Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk memperluas dan mempererat hubugan kekeluargaan, serta membangun masa depan individu, keluarga dan masyarakat yang lebih baik.

(4)

1.2 Dasar Hukum Pernikahan 1.2.1 Dalil Al Qur’an

1.2.1.1 Surat an-Nisa [4] ayat 1

































































Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta

satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.

SesungguhnyaAllah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Qs. An-Nisa: 1)

Allah SWT memulai surat ini dengan perintah untuk bertaqwa dan anjuran untuk beribadah kepadanya, salah satu perintah itu dalam ayat ini adalah untuk menyambung silaturrahim. Allah SWT menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk membangun suatu hubungan rumah tangga, sehingga dapat terjalin hubungan silaturrahim antara kedua keluarga tersebut dan itu dinilai oleh Allah merupakan suatu ibadah.

1.2.1.2 Surat Yasiin [36] ayat 36





































(5)

Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Qs. Yasiin: 36)

Ayat diatas menyucikan Allah dari segala sifat buruk atau kekurangan yang dibandingkan kepadanya. Allah SWT yang menciptakan segala tumbuh-tumbuhan dan menumbuhkan buah-buahan dengan cara menciptakan pasangan bagi masing-masing. Tujuan Allah menyatakan ayat ini adalah Allah lah yang maha suci dari segala kekurangan dan sifat buruk. Dialah Allah yang menciptakan pasangan-pasangan, yang berpungsi sebagai pejantan dan betina, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi seperti kurma dan anggur, dan demikian juga dari diri manusia, dimana terdiri dari laki-kaki dan perempuan.

1.2.1.3 Surat adz Dzariyat [51] ayat 49



















Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Qs. Adz Dzariyat: 49)

Semua makhluk memiliki pasangan, hanya sang Khaliq, Allah SWT yang tidak ada pasangannya, dan tidak juga sama dengan ciptaannya, ini merupakan suatu bukti kebesaran Allah kepada makhluknya. Adapun hubungan surat Yasiin ayat 36 di atas dengan surat Adz-Dzariyat ayat 49 ini adalah segala sesuatu baik makhluk hidup maupun mati, baik yang berada di langit dan dibumi telah diciptakan Allah berpasang-pasangan, agar saling melengkapi dan mengingat bahwa hanya Allah Yang Maha Esa dan hanya Dia Yang Maha Kuasa.

(6)

1.2.1.4 Surat Asy-Syura [42] ayat 11























































Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. (Qs. Asy-Syura: 11)

Ayat diatas seolah-olah menyatakan Allah adalah pencipta langit dan bumi tanpa ada satu contoh sebelumnya, dan Allah juga pencipta

makhluk-makhluk yang menghuninya. Dia telah menjadikan bagi kamu

dari jenis kamu sendiri pasang-pasangan, baik sebagai lelaki (suami)

maupun perempuan (isteri), dan begitu pula dengan jenis binatang ternak pasangan-pasangan buat masing-masing binatang, baik jantan maupun betina, sehingga manusia dan binatang-binatang itu dapat melanjutkan keturunan.

1.2.1.5 Surat Ar-Rum [30] ayat 21























































Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan

(7)

merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Rum: 21)

Ayat ini menguraikan tentang pengembangbiakan manusia serta bukti dan kuasa rahmat Allah SWT, dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah itu adalah dengan menciptakan manusia hidup berpasang-pasangaan dari jenis manusia itu sendiri, supaya manusia itu tenang dan tentram serta cendrung kepada masing-masing pasangannya dan

dijadikan Allah diantaranya mawaddah dan rahmat. Sesungguhnya pada

yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir tentang kuasa dan nikmat Allah SWT.

1.2.2 Dalil Hadits

Pernikahan merupakan sunnah Rasulullah SAW yang pernah dilakukan selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama (Syarifuddin, 2006: 42). Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a,

Rasulullah SAW bersabda:

Dari Abdullah Ibn Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW berkata kepada kami: Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian memiliki kemampuan, maka menikahlah! Maka sesengguhnya menikah itu, akan menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu, berpuasalah karena puasa itu merupakan kendali baginya. (Al ‘Asqalani, tth: 200)

Maksud atau penjelasan hadis diatas adalah mengenai pemuda yang telah mampu memikul beban untuk menikah, Nabi Muhammad SAW menganjurkan untuk segera menikah, karena dengan menikah akan terjaga kemaluan dan juga pandangan manusia, sementara bagi para pemuda yang belum sanggup atau mampu secara lahir maupun bathin,

(8)

jalan keluar yang diberikan Nabi yaitu dengan cara melaksanakan puasa, tujuannya untuk mengendalikan hawa nafsu dan agar tidak terjadi perzinaan.

Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barang siapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." Muttafaq Alaihi. Hadis ini sebenarnya melarang manusia selama hidupnya hanya beribadah saja, sehingga tidak melakukan kebutuhan manusia lainnya. Makan, minum, berbuka dan menikah itu termasuk yang disuruh Allah SWT dan sunnah Nabi, jika dilakukan berdasarkan suruhannya, maka akan memperoleh pahala. Jadi bukan hanya beribadah seperti sholat, mengurangi tidur dan berpuasa itu yang berpahala. Barang siapa yang melakukan apa yang telah dilakukan Nabi, berarti telah menjalankan sunnah Nabi dan termasuk golongannya.

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: karen hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.( Al’Asqalani, tth: 201)

Hadis ini menjelaskan tentang syarat calon yang akan dinikahi, walaupun pada hadis ini hanya diutarakan persyaratannya untuk perempuan, namun berlaku juga bagi laki-laki. Mencari calon yang memenuhi keempat kriteria dalam hadis ini memang sangat sulit, namun

(9)

jadikan syarat yang keempat itu menjadi tujuan utama atau syarat mutlak dalam memilih calon yang akan dinikahi, karena dengan beragama akan tercapai ketenangan hati dan berdampingan hidup bersama keluarga.

Hadits Abdullah ibn Mas’ud dari ‘Alqamah, ia berkata: Ketika aku bersama Abdullah bin Mas'ud di Mina tiba-tiba bertemu dengan Usman, lalu ia berkata: Ya Aba Abdirrahman, saya ada hajat padamu, lalu keduanya berbisik: Usman berkata: Ya Aba Abdirrahman, sukakah anda saya kawinkan dengan gadis untuk mengingatkan kembali masa mudamu dahulu. Karena Abdullah bin Mas'uud tidak berhajat kawin maka ia menunjuk kepadaku dan berkata: Ya ‘Alqamah, maka aku datang kepadanya, sedang ia berkata: Jika anda katakan begitu maka Nabi saw. bersabda kepada kami: Hai para pemuda siapa yang sanggup (dapat) memikul beban perkawinan maka hendaklah ia kawin, dan siapa yang tidak sanggup maka hendaknya ia berpuasa (menahan diri) karena puasa itu untuk menahan syahwatnya dari berbuat dosa. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari pada bab nikah , Nabi SAW bersabda: barang siapa diantara kalian yang sudah memiliki kemapuan, maka menikahlah.

Hadis ini menganjurkan kepada para pemuda yang telah sanggup untuk menikah, baik secara lahir dan bathin, maka segeralah untuk menikah. Namun bagi para pemuda yang belum sanggup untuk menafkahi isterinya begitu juga secara bathin, maka dianjurkan untuk

(10)

berpuasa dengan tujuan menahan syahwatnya agar tidak tejadi perzinaan.

1.2.3 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974

Landasan hukum pernikahan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) UU Pernikahan No 1 tahun 1974 yang rumusannya :

Pasal 2

1. Pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan-peraturan,

perundang-undangan yang berlaku.

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada pernikahan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Maksud dari hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

1.2.4 Kompilasi Hukum Islam

Dasar pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa:

Pasal 2

Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3

Pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

(11)

Maksud pasal di atas kalimat akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan Undang-Undang, yang mengandung arti bahwa akad pernikahan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat

keperdataan. Sementara ungkapan untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-undang. Hal ini lebih menjelaskan bahwa pernikahan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.

1.3 Hukum Pernikahan

Hukum pernikahan yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat pernikahan tersebut. (Thami, Sahrani, 2014: 8-9). Mengenai hukum asal pernikahan, para ulama berbeda pendapat, sesuai dengan perbedaan penafsiran terhadap ayat tentang nikah. Di antara mereka, seperti Imam Abu daud, Adz-Dzahiri berpendapat bahwa nikah itu asal hukumnya wajib. Adapun Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa nikah itu hukumnya mubah.

Terlepas dari polemik para Imam tentang status hukum asal tentang nikah, hukum nikah dapat berubah sesuai kondisi dan situasi

dan berpulang pada hukum yang lima ( al-ahkamul khasah), yaitu wajib,

sunah, haram, makruh, dan mubah. Jadi, andaikata ada lima orang dihadapkan pada nikah, belum tentu mereka menghukuminya dengan hukum yang sama. Hal ini bergantung pada bagaimana kondisi orang-orang tersebut, disamping bagaimana situasi kelima orang-orang tadi berada. (Hakim, 2000: 14)

(12)

Hakikat pernikahan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan suatu yang sebelumnya tidak dibolehkan. Dapat dikatakan bahwa hukum asal dari pernikahan adalah mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal

pernikahan itu hanya semata mubah. Melangsungkan akad pernikahan

disuruh oleh agama, bila telah berlangsungnya akad pernikahan itu,

maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah.

(Syarifuddin, 2006: 43)

Secara personal hukum nikah berbeda diantara para mukallaf,

karena perbedaan kondisi mereka, baik dari segi karakter kemanusiaannya, maupun dari segi kemampuan hartanya. Oleh sebab

itu, hukum nikah yang berlaku bagi seluruh mukallaf berhubungan erat

dengan spesifikasinya, baik persyaratan harta, fisik dan atau akhlak. (Azzam, Hawwas, 2014: 44)

Para ahli fiqh mengelompokkan hukum nikah itu kepada lima macam, yaitu:

1. Wajib

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan, kemampuan untuk nikah, dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya ia tidak nikah, hukum melakukan pernikahan bagi orang yang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan pernikahan, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan pernikahan itupun wajib sesuai dengan kaedah. (Ghozali, 2006: 19)

(13)

Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya wajib pula.

Kaedah lain juga mengatakan. (Ghozali, 2006: 19)

“Sarana itu hukunya sama dengan hukum yang dituju”. Melakukan pernikahan bagi orang tersebut merupakan sarana, sama dengan hukum pokok, yakni menjaga diri dari perbuatan maksiat.

2. Sunat

Seseorang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak nikah tidak dikhawatirkan untuk berbuat zina, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah sunat. Alasan menetapkan hukum sunat adalah al Quran seperti tersebut dalam surat an Nur [24] ayat 32









































Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba-hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (Qs. Nur: 32)

(14)

3. Makruh

Makruh bagi seseorang yang belum pantas untuk nikah, belum berkeinginan untuk nikah, sedangkan perbekalan untuk pernikahan juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk pernikahan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti impoten.

4. Haram

Bagi seseorang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melakukan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila ia melangsungkan pernikahan, ia dan isterinya akan terlantar, maka hukum melakukan pernikahan baginya adalah haram. Al Quran surat al Baqarah [2] ayat 159 melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan.





















































Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati. (Qs. Al-Baqarah: 159)

Termasuk juga kedalam pernikahan yang diharamkan bila seseorang bermaksud menelantarkan orang lain, atau agar

(15)

wanita yang dinikahi itu tidak diurus, dan tidak dapat nikah dengan orang lain.

5. Mubah

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukanya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Pernikahannya itu hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditunjukkan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan nikah, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat, artinya mubah hukumnya nikah bagi seseorang yang bila ia menikah atau tidak, tidak menimbulkan masalah, dengan kata lain, tidak ada halangan baginya untuk nikah dan tidak ada dorongan untuk wajib nikah.

Melaksanakan pernikahan berarti mengikuti sunnah Rasul SAW yang mulia. Dapat disimpulkan hukum asal nikah adalah sunnah muakkadah bagi setiap muslim yang mempunyai keinginan dan kemampuan untuk menikah. Namun jika hubungan seorang laki-laki dan perempuan telah menjurus pada perbuatan maksiat atau mendekati zina, hukum nikah berubah menjadi wajib. Sebaliknya jika nikah disalah gunakan untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan ajaran agama, maka hukum nikah berubah menjadi haram.

(16)

2. Rukun dan Syarat Pernikahan

Rukun adalah sesuatu yang mesti ada untuk menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. (Ghozali, 2003: 45-46)

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan, dalam suatu acara pernikahan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda, dari segi rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun. (Syarifudin, 2006: 59) Menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan pernikahan adalah keseluruhan proses yang secara langsung berkaitan dengan pernikahan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Unsur pokok suatu pernikahan adalah calon mempelai laki laki dan perempuan yang akan nikah, akad pernikahan itu sendiri, wali mempelai wanita, serta dua orang saksi yang akan menyaksikan kelangsungan akad pernikahan itu. Berdasarkan pendapat ini rukun pernikahan itu secara lengkap adalah sebagai berikut. (Hamdani, 1989: 38)

1. Calon mempelai laki-laki.

(17)

1.1 Beragama Islam

1.2 Laki-laki

1.3 Jelas orangnya

1.4 Dapat memberikan persetujuan

1.5 Tidak terdapat halangan pernikahan

2. Calon mempelai wanita.

Syarat mempelai wanita adalah:

2.1 Beragama Islam

2.2 Perempuan

2.3 Jelas orangnya

2.4 Dapat dimintai persetujuan

2.5 Tidak terdapat halangan pernikahan

3. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan pernikahan.

Syarat wali adalah:

3.1 Laki-laki

3.2 Dewasa

3.3 Mempunyai hak perwalian

3.4 Tidak terdapat halangan perwalian

3.3.1 Pembagian Wali ada dua, yaitu: 3.3.1 .1` Wali Aqrab(dekat), yaitu:

3.3.1.1.1 Ayah kandung

3.3.1.1.2 Kakek (dari garis ayah dan seterusnya ke atas dalam

garis laki-laki)

3.3.1.2 Wali Ab’ad(Jauh), yaitu:

3.3.1.2.1 Saudara laki-laki kandung

3.3.1.2.2 Saudara laki-laki seayah

3.3.1.2.3 Anak saudara laki-laki kandung

3.3.1.2.4 Anak saudara laki-laki seayah

3.3.1.2.5 Paman kandung

(18)

3.3.1.2.7 Anak paman kandung

3.3.1.2.8 Anak paman seayah

Urutan wali diatas, bila semuanya tidak ada maka hak perwalian pindah kepada kepala negara (sultan) yang biasa disebut dengan wali hakim. Hal ini diungkapkan dalam pasal 23 Kompilasi Hukum Islam yaitu wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau enggan. (Ali, 2009: 17)

Kompilasi Hukum Islam pasal 22 menjelaskan bahwa apabila wali nikah yang paling berhak tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau

karena ia menderita tunawicara, tuna runggu atau sudah uzur, hak

menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

4. Dua orang saksi

Syarat saksi adalah.

4.1 Laki-laki

4.2 Baligh

4.3 Waras akalnya

4.4 Adil

4.5 Dapat mendengar dan melihat

4.6 Bebas, tidak dipaksa

4.7 Tidak sedang mengerjakan ihram; dan

4.8 Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul.

(Thami, Sahrani, 2014: 13-14 )

5. Aqad (ijab diucapkan oleh wali dan qabul diucapkan oleh calon

mempelai pria)

Syarat ijab qabul adalah. (Ali, 2009: 20-21)

5.1 Pernyataan mengawinkan dari wali

5.2 Pernyataan penerimaan dari calon memepelai pria

(19)

5.4 Bersambungan antara ijab dan qabul

5.5 Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

5.6 Orang yang terkait dengan ijab tidak sedang melaksanakan

ihram haji/umrah.

Sedangkan mahar yang harus ada dalam setiap pernikahan tidak termasuk kedalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad pernikahan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung, dengan demikian mahar itu termasuk kedalam syarat pernikahan.

Undang-Undang pernikahan sama sekali tidak berbicara tentang rukun pernikahan. Undang-Undang pernikahan hanya membicarakan syarat-syarat pernikahan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun pernikahan. Kompilasi Hukum Islam secara jelas membicarakan rukun pernikahan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh Mazhab Syafi’i dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun. (Syarifuddin, 2006: 61)

3. Larangan Pernikahan

Maksud larangan dalam pernikahan adalah larangan untuk menikah antara seorang pria dan seorang wanita menurut syara’ dan tidak boleh malakukan pernikahan, artinya perempuan-perempaun mana saja yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki atau sebaliknya, laki-laki mana saja yang tidak boleh menikahi seorang perempuan.

Bila suatu pernikahan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat yang di tentukan, pernikahan tersebut mesti terlepas dari segala hal yang menghalang. Halangan pernikahan itu disebut juga dengan larangan pernikahan, berdasarkan firman Allah SWT Surat An-Nisa’ [4] ayat 23:

(20)





































































































































Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. An-Nisa: 23)

Sementara larangan nikah yang terjadi dalam masyarakat Simpang Kalam bahwa dilarang menikah antara keturunan Datuk Jalelo

(21)

dengan keturunan Sutan Kebaikan. Pada dasarnya masing-masing kedua keturunan ini tidak halangan atau mahram nikah seperti yang dijelaskan

ayat di atas, baik secara hubungan keturunan (Nasab), sepersusuan

(Radha’ah), maupun pernikahan (Mushaharah). Namun dalam

prakteknya larangan nikah bayo ini masih berlaku dalam masyarakat

Simpang Kalam.

Adapun halangan nikah itu ada dua macam, yaitu. (Bustami, 1999: 18-26)

1. Larangan untuk selama-lamanya (mu’abbad)

Hal-hal yang menyebabkan perempuan haram dinikahi untuk selamanya adalah:

1.1 Keturunan (nasab)

Haram dinikahi karena keturunan atau pertalian darah ada tujuh, yaitu:

1.1.1 Ibu

1.1.2 Anak perempuan

1.1.3 Saudara perempuan

1.1.4 Saudara perempuan bapak

1.1.5 Saudara perempuan ibu

1.1.6 Anak perempuan dari saudara laki-laki

1.1.7 Anak perempuan dari saudara perempuan

1.2 Susuan (radha’ah)

Perempuan yang haram dinikahi disebabkan oleh karena sesusuan, sama halnya dengan keturunan, yaitu:

1.2.1 Ibu susuan

1.2.2 Saudara sesusuan

1.2.3 Saudara perempuan bapak susuan

1.2.4 Saudara perempuan ibu susuan

(22)

1.2.6 Anak perempuan dari saudara perempuan sesusuan

1.3 Pernikahan (mushaharah) atau persemendaan

Perempuan yang haram dinikahi karena mushaharah adalah:

1.3.1 Ibu tiri

1.3.2 Mertua (ibu istri)

1.3.3 Anak tiri

1.3.4 Menantu

1.3.5 Istri yang sudah dili’an

2. Larangan untuk sementara (ghairumu’abbad)

Adapun perempuan yang haram dinikahi untuk sementara adalah:

2.1 Perempuan dalam keadaan bersuami (selama ia dalam status

istri dari seseorang)

2.2 Perempuan dalam keadaan beriddah sampai habis iddahnya

2.3 Mengumpulkan dua orang bersaudara

2.4 Bekas istri yang telah ditalak tiga sampai dia bersuami dengan

laki-laki lain dan menggaulinya

2.5 Perempuan yang sedang mengerjakan ibadah haji (haji)

2.6 Perempuan kafir atau musyrik

Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam, larangan nikah seperti di atas, dijelaskan pula secara rinci dalam BAB IV, pasal 39-44. (Undang-Undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum islam, 2013: 333-335)

Pasal 39 menyebutkan bahwa:

Dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:

(23)

1.1 Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.

1.2 Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.

1.3 Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

2. Karena pertalian kerabat semenda:

2.1 Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.

2.2 Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya.

2.3 Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan pernikahan dengan bekas istrinya itu qabla al-dukhul.

2.4 Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.

3. Karena pertalian sesusuan:

3.1 Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.

3.2 Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah.

3.3 Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah.

3.4 Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.

3.5 Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya. Pasal 40

Dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

1. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu pernikahan

(24)

2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.

3. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 41

1. Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang

mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya:

1.1 saudara kandung, seayah atau seibu, serta keturunannya. 1.2 Wanita dengan bibinya atau kemanakannya.

2. larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun

isteri-isterinya telah ditalak raj’i, tetapi masih dalam masa iddah. Pasal 42

Seorang pria dilarang melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali pernikahan atau masih dalam

iddah talak raj’i ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat

tali perniakhan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i. Pasal 43

1. dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang pria:

1.1 dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali. 1.2 Dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili’an.

Pasal 44

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan pernikahan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Pasal 8 Undang-undang pernikahan menjelaskan. Pernikahan dilarang antara dua orang yang:

(25)

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu

antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan

ibu/bapak tiri.

4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, saudara susuan

dan bibi/paman susuan

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku, dilarang nikah. (Muhdlor 1995, 55)

Bila diperhatikan Undang-Undang pernikahan yang mengatur halangan nikah, baik menurut Kompilasi Hukum Islam maupun fikih kelihatannya hampir semua ketentuan yang terdapat dalam fikih telah diakomodir dalam peraturan perundangan tentang pernikahan yang berlaku di Indonesia dan begitu juga peraturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan dalam perundangan dan Kompilasi Hukum Islam tersebut hampir seluruhnya berasal dari fikih yang bersumber langsung dari Al-Qur’an.

Perbedaan halangan nikah yang diatur dalam fikih dengan Kompilasi Hukum Islam terletak pada pembagian dari halangan nikah

itu sendiri, dalam fikih dibagi dua macam yaitu halangan muabbad

dengan muaqqat. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam tidak

terdapat pembagian halangan nikah, namun dalam pasal 40 dilarang melangsungkan pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita

(26)

karena keadaan tertentu, hal ini menurut penulis termasuk bagian halangan nikah secara muaqqat yang ada dalam fikih.

4. Pernikahan yang Diharamkan 4.1 Nikah Mut’ah

Kata mut’ah secara etimologi mengandung beberapa arti,

diantaranya kesenangan, alat perlengkapan dan pemberian. Nikah mut’ah dalam istilah bahasa hukum biasa disebutkan pernikahan untuk masa tertentu, dalam arti pada waktu akad dinyatakan berlaku ikatan pernikahan sampai masa tertentu yang bila masa itu telah datang, pernikahan terputus dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian. (Syarifuddin, 2006: 100)

Kata mut’ah berasal dari kata mata’a yang berarti

bersenang-senang. Perbedaannya dengan pernikahan biasa, selain adanya pembatasan waktu adalah tidak saling mewarisi, kecuali kalau disyaratkan, lafaz ijab yang berbeda, tidak ada talak, sebab sehabis kontrak (pernikahan itu putus), tidak ada nafkah iddah. (Hakim, 2000: 31)

Ada yang mengatakan nikah mut’ah disebut juga nikah kontrak

(muaqqat) dengan jangka waktu tertentu atau tak tertentu, tanpa wali

maupun saksi. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah mut’ah disebut

juga nikah sementara atau nikah terputus, karena laki-laki yang menikahi perempuannya itu menentukan waktu, sehari, atau seminggu,

atau sebulan. Dinamakan mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk

bersenang-senang secara temporer. (Saebani, 2001: 55). Nikah mut’ah

masih dijalankan sampai sekarang oleh masyarakat yang bermazhab Syi’ah Imamiyah yang tersebar diseluruh Iran dan sebagian Irak. Nikah mut’ah ini disebut juga dengan nikah munqathi’. (Syarifuddin, 2006: 100)

(27)

Menurut Imam Syaukani sepenuhnya kami hanya berpegang kepada syariat yang telah kami terima, bahwa menurut kami nikah mut’ah itu diharamkan untuk selama-lamanya. Adapun adanya sekelompok sahabat yang menyalahi hukum ini dapat berarti mencidarakan hukum ini, dan kamipun tidak mendapat suatu alasan

yang dapat dijadikan dasar untuk meringankan hukum nikah mut’ah.

(Sabiq, 1980: 67)

Larangan nikah mut’ah telah disepakati jumhur ulama dengan

menyatakan bahwa tidak ada yang mengakui pernikahan tersebut,

bahkan seluruh imam Mazhab menetapkan nikah mut’ah adalah haram.

Alasannya adalah: (Saebani, 2001: 55). Pertama, nikah mut’ah tidak

sesuai dengan yang dimaksudkan oleh al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah yang berkaitan dengan talak, iddah, dan kewarisan. Jadi pernikahan seperti itu batal sebagaimana bentuk pernikahan lain yang dibatalkan Islam. Kedua, Umar ketika menjadi khalifah berpidato dengan

menyatakan keharaman nikah mut’ah ketika itu para sahabat langsung

menyetujuinya.

Ketiga, Nikah mut’ah sekedar bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan keturunan dan memeliharanya. Nikah mut’ah hanyalah pelampiasan nafsu yang menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas laki-laki denagn mengatasnamakan kondisi darurat. Oleh

karena itu, nikah mut’ah disamakan dengan zina, jika dilihat dari segi

tujuan untuk bersenang-senang semata-mata.

Keharaman nikah mut’ah itu berdasarkan Hadits Nabi SAW, yaitu. (‘Asqalani, tth: 2008)

(28)

Dari Rabi' Ibnu Saburah, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Aku dahulu telah mengizinkan kalian menikahi perempuan dengan mut'ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan cara itu hingga hari kiamat. maka barang siapa yang masih mempunyai istri dari hasil nikah mut'ah, hendaknya ia membebaskannya dan jangan mengambil apapun yang telah kamu berikan padanya." Riwayat Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.

Dapat dipahami dari nikah mut’ah itu tidak lebih dari pemuasan

hawa nafsu. Tidak sedikit pun tersirat adanya i’tikad baik, seperti

ta’abbud, maksud ibadah kepada Allah SWT, tolong menolong antara

suami istri dan lain-lain, sebagai bagian dari tujuan pernikahan dalam Islam. Oleh karena itu, sangat pantas kalau jumhur ulama mengharamkannya.

Di samping itu, nikah mut’ah juga mendatangkan mudharat bagi

wanita, dibuang tanpa perlindungan dan tanpa jaminan. Ia dapat begilir dari satu laki-laki ke laki-laki lain dalam waktu yang relatif singkat. Mudharat yang lebih besar akan menimpa anak keturunannya, seandainya dalam waktu yang singkat tersebut sempat membuahkan keturunan. Anak yang dilahirkan tidak memiliki perlindungan fisik maupun psikis.

4.2 Nikah Tahlil

Secara etimologi tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang

hukumnya adalah haram. Kalau dikaitkan kepada pernikahan akan berarti perbuatan yang menyebabkan seseorang yang semula haram melangsungkan pernikahan menjadi boleh atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain melakukan pernikahan itu disebut muhallil, sedangkan orang yang telah halal melakukan pernikahan

disebabkan oleh pernikahan yang dilakukan muhallil dinamai

(29)

Nikah tahlil secara terminologi adalah pernikahan yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali kepada istrinya dengan nikah baru. (Syarifudin, 2006: 104).

Muhallil disebut juga dengan istilah nikah cinta buta, yaitu seorang

laki-laki menikahi perempuan yang telah ditalak tiga kali sehabis masa iddahnya kemudian menalaknya dengan maksud agar mantan suaminya yang pertama dapat menikahi dengan dia kembali. Mantan suaminya menyuruh orang lain menikahi bekas istrinya yang sudah ditalak tiga, kemudian berdasarkan perjanjian, istri tersebut diceraikan sehingga mantan suminya dapat menikahinya. (Saebani, 2001: 69)

Nikah tahlil ini adalah suatu bentuk pernikahan yang semata-mata untuk menghalalkan kembalinya suami kepada mantan istrinya, tetapi mantan istrinya harus menikah lebih dahulu dengan laki-laki lain, dalam hal ini karena istri telah ditalak tiga oleh suaminya.

Timbulnya praktek nikah tahlil ini disebabkan adanya larangan Allah SWT, di dalam al-Qur’an bagi suami yang telah menjatuhkan talak yang ketiga kepada istrinya untuk kembali kepada istrinya, kecuali bila mantan istrinya telah menikah dengan orang lain, seperti bunyi ayat:































































Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (QS. Al-Baqarah: 230)

(30)

Untuk menghindari larangan tersebut, dibuatlah upaya agar seorang suami kembali kepada mantan istrinya, yaitu dengan menyuruh orang lain untuk menikahi mantan istrinya dalam waktu yang disepakati, dengan batasan waktu tertentu bahkan disertai pemberian upah, dan pemberian untuk biaya pernikahan itu sendiri. Pernikahan ini bertendensi mengelak hukum, akal-akalan yang licik dan merusak kesucian pernikahan. Allah SWT melarangnya dan juga melaknatnya.

Perbedaannya dengan mut’ah hanya terletak pada teknis pernikahan.

Pada pernikahan mut’ah lamanya pernikahan disebutkan secara jelas

sesuai kehendak ketika akad. Sedang dalam nikah tahlil, lamanya waktu

disepakati di balik layar antara mantan suami pertama dengan calon

muhallil, baik dengan sepengetahuan mantan istri maupun tanpa

sepengetahuannya. (Hakim, 2000: 40)

Ulama sepakat menyatakan bahwa pernikahan tahlil itu

hukumnya haram, karena sesuatu yang dilaknat pelakunya adalah sesuatu yang diharamkan. (Syarifuddin, 2006: 106). Berdasarkan hadits nabi Muhammad SAW dari Ibn Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ahmad, al Nasa’i dan al Tarmizi dan dikeluarkan oleh empat perawi Hadits.

Dari Ibnu Mas'ud, ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang perempuan dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya) dan muhallal lah (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas istrinya agar istri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi)." Riwayat Ahmad, Nasa'i, Dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi. (‘Atsqalani, tth: 208)

Dalil diatas menjelaskan tidak sahnya nikah tahlil, bahkan Allah

SWT melaknat bagi orang yang melakukannya. Oleh karena itu, kalaupun terjadi pernikahan tersebut, status wanita itu tetap tidak halal bagi suami

(31)

yang pertama. Hal ini dimaksudkan agar pernikahan tersebut dimaksudkan untuk mengembalikan mantan suami kepada mantan istrinya walaupun dalam akad tidak secara eksplisit disebutkan.

4.3 Nikah Shigar

Kata shigar berasal dari bahasa Arab yang berarti mengangkat

kaki dalam kondisi tidak baik. (Syarifuddin, 2006: 107). Secara arti definitif, ditemukan dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Nafi’ bin Ibnu Umar “seorang laki laki menikahkan anak perempuannya dengan seorang laki laki lain, dengan syarat, bahwa laki-laki tersebut juga menikahkan anak perempuannya kepadanya, dan tidak ada mahar diantara keduanya”.

Nikah Syigar adalah apabila seorang laki-laki menikahkan seorang perempuan di bawah kekuasaannya dengan laki-laki lain, dengan syarat bahwa laki-laki ini menikahkan anaknya tanpa membayar mahar, artinya

nikah syigar ini ialah nikah pertukaran. Ilustrasinya adalah bahwa

seorang laki-laki memiliki seorang anak pertempuan , lalu ada seorang laki-laki yang ingin menikahi anaknya itu, karena ia tidak mempunyai uang untuk membayar mahar, ia pun menikahkan anaknya kepada laki-laki yang anaknya ditaksir tersebut, sehingga ia dapat menikahi anaknya tanpa harus membayar mahar. Oleh karena itu, nikah syigar seperti tukar guling, seorang wali memberikan anak perempuannya kepada seorang laki-laki untuk dinikahi, sedangkan seorang laki-laki yang dimaksudkan membebaskan mahar bagi wali yang telah memberikan anaknya.

Nikah Syigar juga diartikan suatu bentuk pernikahan yang

dilakukan pada masa jahiliyah, yang ada pada hakikatnya merupakan pertukaran wanita dari satu laki-laki ke laki-laki lain secara timbal balik. Bahkan, lebih cocok kalau disebut sebagai tukar-menukar wanita dari

(32)

sebagai suatu kewajiban dan menggantikannya dengan kehormatan wanita. (Hakim, 2000: 36)

Ulama sepakat tentang keharaman hukum pernikahan shigar

karena dilarang oleh Nabi SAW.

Dari Nafi', dari Ibn Umar Radhiyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang perkawinan syighar. Syighar ialah seseorang menikahkan puterinya kepada orang lain dengan syarat orang itu menikahkan puterinya kepadanya, dan keduanya tidak menggunakan maskawin. Muttafaq Alaihi. Bukhari-Muslim dari jalan lain bersepakat bahwa penafsiran "Syighar" di atas adalah dari ucapan Nafi'.(‘Asqalani, tth: 205)

Imam syafi’i menurut yang dikutip dalam Subul al-Salam

mengatakan tidak mengetahui secara jelas apakah defenisi nikah syigar

sebagaimana terdapat dalam hadis yang disebutkan di atas langsung dari Nabi, atau dirumuskan oleh Nafi’, atau dari Ibnu Umar sebagai salah satu

sanad, namun ta’rif nikah syigar tersebut begitu populer dalam kitab

fikih. Ulama sepakat tentang keharaman hukum pernikahan syigar

karena jelas adanya larangan Nabi tersebut di atas dan Nabi pun

menjelaskan illat hukumnya, yaitu tidak terdapatnya mahar dalam

pernikahan tersebut sedangkan mahar itu merupakan salah satu syarat dalam pernikahan.

4.4 Nikah Waris

Salah satu kebiasaan lain bangsa Arab Jahiliyah adalah menikahi mantan istri ayahnya. Istri-istri mendiang ayahnya dianggap sebagai warisan, seperti harta benda. Si anak boleh menikahinya tanpa harus membayar mahar, bahkan dia boleh menikahkan istri ayahnya kepada

(33)

orang lain dengan menerima maharnya. Ahli waris juga dapat mencegah istri ayahnya menikah dengan orang lain atau membiarkannya menjanda selama hidupnya, dalam al-Qur’an bentuk pernikahan seperti ini dilarang melalui firman Allah surat an-Nisa’ ayat 22:































Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. (QS. An-Nisa’: 22)

Semua bentuk pernikahan tersebut dilarang oleh agama Islam karena merupakan perbuatan yang tidak layak menurut etika kemanusiaan. Pernikahan semacam itu dapat menimbulkan ekses-ekses negatif, baik bagi pelaku secara pribadi, masyarakat, peradaban, dan agama. (Hakim, 2000: 42

5.Tujuan dan Hikmah Pernikahan 5.1 Tujuan Pernikahan

Tujuan pernikahan menurut Agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan bathin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan bathinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antara anggota keluarga. (Drajat, 1995: 48)

Pernikahan juga betujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi keluarga adalah menjadi pelaksana pendidikan yang paling menentukan.

(34)

Oleh sebab itu, keluarga merupakan salah satu di antara lembaga pendidikan informal, ibu-bapak yang dikenal mula pertama oleh putra-putrinya dengan segala perlakuan yang diterima dan dirasakannya, dapat menjadi dasar pertumbuhan pribadi/kepribadian sang putra-putri itu sendiri. (Thami, Sahrani, 2014: 16)

Tujuan pernikahan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu, tujuan pernikahan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketenteraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketenteraman keluarga dan masyarakat. (Ramulyo, 2004: 26-27)

Manusia dibekali oleh Allah SWT mempunyai naluri manusiawi serta cara pemenuhannya. Oleh sebab itu, manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada sang Khaliq, penciptanya, dalam semua aktivitas hidupnya. Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan pernikahan. Jadi aturan pernikahan dalam Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan pernikahanpun hendaknya ditujukan untuk ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT. Sehingga kalau diringkas, tujuan suatu pernikahan adalah pemenuhan naluri manusia sekaligus ibadah kepada Allah SWT. (Drajat, 1995: 49).

Berdasarkan tujuan di atas, maka tujuan pernikahan dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu. (Drajat, 1995: 49-53)

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

Manusia mempunyai kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah keabsahan anak keturunan diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, Negara dan kebenaran keyakinan agama

(35)

Islam memberi jalan untuk itu. Anak sebagai keturunan bukan saja sebagai pembantu-pembantu dalam hidup di dunia, bahkan akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat nanti manakala dapat mendidiknya menjadi anak yang shaleh. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa, banyak hidup rumah tangga kandas karena tidak mendapat karunia anak.

Al Quran menganjurkan agar manusia selalu berdoa agar dikarunia anak yang menjadi mutiara dari istrinya, sebagaimana tercantum dalam surat al Furqan [25] ayat 74:





































Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Qs. al-Furqan:74)

2. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan

tanggung jawab.

Sebagai sunnatullah, manusia selalu hidup berpasangan

akibat adanya daya tarik, nafsu syahwat diantara dua jenis kelamin yang berlainan. Hidup bersama dan berpasangan tadi tidaklah harus selalu dihubungkan dengan masalah seks walaupun faktor ini merupakan faktor yang dominan. Kebutuhan manusia dalam bentuk nafsu syahwat ini memang telah menjadi fitrah manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, perlu disalurkan pada proporsi yang tepat dan sah sesuai derajat kemanusiaan. (Hakim, 2000: 16)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk kesekian kalinya di setiap ujian, para juri dan dari anggota senior menilai gerakan dan semangat semua peserta, karena dari mereka akan di pilih peserta Kihon dan Kata

Sebelum penambahan NaOH nilai hantaran tinggi akibat pergerakan bebas dari ion H + dalam larutan HCl, setelah penambahan, kurva menurun yang disebabkan oleh

Ghair Ahmadi yang melakukan penganiayaan terhadap para Ahmadi-pun, Hadhrat Masih Mau’ud as telah mengajar kita, ”Kalian tidak boleh bertengkar atau konfrontasi dengan mereka

Peningkatan nilai tambah silika amorf sebagai geomaterial telah dilakukan dengan melibatkan teknologi rekayasa, yakni pengolahan dengan memformulasikan bahan baku

Informasi hanya untuk bahan spesifik yang telah ditentukan dan mungkin tidak berlaku jika bahan tersebut digunakan dalam kombinasi dengan bahan. lain atau dalam proses lain,

Pada pekan ini investor selain masih akan tetap mencerna rilis kinerja perusahaan di kuartal I, juga akan memperhatikan data ekonomi awal bulan seperti inflasi

Upaya pengoptimalan peranan PKK dalam penanggulangan masalah narkoba di Kabupaten Jember antara dengan mendatangkan pejabat Pemda Kabupaten Jember, dalam hal ini

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian laut adalah kumpulan air asin (dalam jumlah yang banyak dan luas) yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau,