• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum Lokasi Penelitian"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Taman Nasional Bulit Barisan Selatan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu taman nasional yang memiliki keanekaragaman ekosistem serta flora dan fauna yang tinggi. Taman nasional ini melindungi berbagai tipe ekosistem, mulai ekosistem pegunungan sampai ekosistem laut. Setiap tipe ekosistem merupakan habitat berbagai flora dan fauna yang beberapa diantaranya merupakan flora dan fauna khas dan atau langka.

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) pada awalnya ditetapkan tahun 1935 sebagai Kawasan Suaka Marga Satwa, melalui Besluit Van der

Gouvernour-General Van Nederlandsch Indie No 48 stbl. 1935, dengan nama SS

I (Sumatra Selatan I). Selanjutnya, pada 1 April 1979 kawasan Bukit Barisan

Selatan memperoleh status sebagai Kawasan Pelestarian Alam. Pada tanggal 14 Oktober 1982 status kawasan ini dikukuhkan sebagai Taman Nasional melalui

Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982. Kemudian pada tahun 1997 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997, dengan nama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BTNBBS 2010).

Kawasan TNBBS terletak di ujung Selatan dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang membujur sepanjang Pulau Sumatera. TNBBS memiliki topografi yang cukup bervariasi yaitu mulai datar, landai, bergelombang, berbukit, curam dan bergunung dengan ketinggian berkisar antara 0 - 1.964 m dpl. Bagian lereng di sebelah Timur dan Utara cukup curam dan semakin landai pada bagian Selatan dan Barat ke arah Samudera Hindia.

Secara geografis Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan (TNBBS) terletak pada 4°29’ – 5o57’ LS dan 103o24’ – 104o44’ BT, meliputi areal seluas ±356.800 hektar (BTNBBS 2010). Kawasan ini membentang dari ujung Selatan Bagian Barat Provinsi Lampung hingga wilayah Provinsi Bengkulu bagian Selatan. Berdasarkan administrasi pemerintahan, kawasan TNBBS termasuk ke dalam provinsi Lampung yaitu di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tangamus, serta Provinsi Bengkulu yaitu di Kabupaten Kaur. Berikut adalah tabel luasan kawasan TNBBS di dua provinsi tersebut:

Tabel 9 Distribusi luas kawasan TNBBS

Provinsi Kabupaten Luas

(ha) Persentase Terhadap Luas Total Kawasan (persen) Lampung 1. Tanggamus 10.500 3,02 2. Lampung Barat 272.645 78,38

Bengkulu 3. Bengkulu Selatan 64.711 18,60 Sumber: BTNBBS (2011)

(2)

Kawasan TNBBS dikelompokkan menjadi dua zona iklim. Bagian Barat Taman Nasional mempunyai curah hujan antara 3000-3500 per tahun dan bagian Timur Taman Nasional antara 2500-3000 mm per tahun dengan suhu berkisar 20o-28oC. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, bagian Barat Kawasan TNBBS termasuk tipe iklim A (basah) dengan lebih dari 9 (sembilan) bulan basah per tahun dan di bagian timur termasuk tipe iklim B yang lebih kering dari tipe A dan mempunyai 7 (tujuh) bulan basah per tahun. Curah hujan rata-rata per tahun 2.500-3.000 mm per tahun di bagian Barat dan 3.000-4.000 mm per tahun di bagian Timur, dengan suhu berkisar 20o-28oC (BTNBBS 2010).

Kawasan TNBBS memiliki banyak fungsi, antara lain, sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Kawasan TNBBS memiliki nilai manfaat ekonomi, sosial, budaya, dan estetika, baik dirasakan secara langsung maupun tidak. Secara hidrologi, merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang mengalir ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air (catchment area) dan melindungi sistem tata air.

Kawasan TNBBS merupakan daerah tangkapan air dan pelindung sistem tata air di dua provinsi (Lampung dan Bengkulu). Kawasan TNBBS merupakan bagian hulu sungai-sungai yang mengalir ke daerah pemukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air

(catchment area) dan melindungi sistem tata air (hidro-orologis).

Sebagian besar dari sungai-sungai yang ada mengalir ke arah Barat Daya dan bermuara di Samudera Indonesia sementara sebagian lagi bermuara ke Teluk Semangka. Sungai-sungai yang mengalir di bagian Utara taman nasional terdiri dari Air Nasal Kiri, Air Sambat, Air Nasal Kanan, Way Menula, Way Simpang dan Way Laai. Sungai-sungai yang mengalir di bagian Tengah taman nasional terdiri dari Way Tenumbang, Way Biha, Way Marang, Way Ngambur Bunuk, Way Tembuli, Way Ngaras, Way Pintau, Way Pemerihan, Way Semong, dan Way Semangka. Sementara di bagian Selatan taman nasional mengalir Way Canguk, Way Sanga, Way Menanga Kiri, Way Menanga Kanan, Way Paya, Way Kejadian, Way Sulaeman dan Way Blambangan.

Di bagian ujung Selatan taman nasional terdapat danau yang dipisahkan hanya oleh pasir pantai selebar puluhan meter yaitu Danau Menjukut (150 ha). Di bagian Tengah yaitu di daerah Suoh terdapat 4 (empat) buah danau yang letaknya berdekatan yaitu Danau Asam (160 ha), Danau Lebar (60 ha), Danau Minyak (10 ha), dan Danau Belibis (3 ha). Sementara bagian Tenggara, selatan dan Barat taman nasional dikelilingi oleh lautan yaitu perairan Teluk Semangka, Tanjung Cina dan Samudera Indonesia.

TNBBS tersusun atas berbagai tipe ekosistem yang lengkap mulai ekosistem rawa, estuari, hutan pantai, hutan hujan dataran rendah, hutan hujan bukit, hutan hujan pegunungan bawah dan hutan hujan pegunungan tinggi. Hutan hujan dataran rendah (0 - 500 m dpl) seluas ±44,04 persen (160.560 ha) dari luasan total kawasan, hutan hujan bukit (500 - 1000 mdpl) ±34.34 persen (121.312 ha). Sementara itu hutan hujan pegunungan dengan ketinggian di atas 1000 mdpl yang terdiri dari hutan hujan pegunungan bawah ±20.20 persen (60.656 ha), dimana ±3 persen (10.704 ha) merupakan hutan hujan pegunungan tinggi. Hutan hujan rawa dan atau perairan seluas 1,42 persen luas total kawasan (BTNBBS

(3)

2011). Dari keseluruhan tipe ekosistem tersebut, hutan hujan tropis dataran rendah merupakan tipe ekosistem terbesar, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan semakin terancam kelestariannya akibat berbagai aktivitas manusia. Selain itu dari Tanjung Cina sampai Way Pemerihan merupakan satu-satunya ekosistem hutan pantai yang kering yang terdapat di kawasan konservasi di Sumatera.

Hutan hujan dataran rendah didominasi oleh Shorea sp., Dipterocarpus sp., dan Hopea sp. dengan jenis tumbuhan bawah diantaranya Urophyllum sp.,

Phrynium sp., Korthalsi sp., Calamus sp., Famili pohon yang dominan pada hutan

hujan bukit adalah dipterocarpaceae, lauraceae, myrtaceae, dan annonaceae dengan tumbuhan bawah diantaranya Neolitsea cassianeforia, Psychotria

rhinocerotis, Areaca sp., dan Globba pendella. Sedangkan vegetasi yang umum

dijumpai di lahan basah dan pesisir adalah Terminalia cattapa, Hibiscus sp.,

Baringtonia asiatica, Callophyllum inophyllum, Casuarina sp., Pandanus sp., Ficus septica.Spesies pohon dari famili lauraceae, myrtaceae, dipterocarpaceae

dan fagaceae khususnya Magnolia sp., Quercus sp., Garcinia sp., hidup di hutan hujan pegunungan bawah sementara Eugenia sp., dan Castanopsis sp dominan di hutan hujan pegunungan tinggi (BTNBBS 2010).

Secara umum telah teridentifikasi paling sedikit 514 jenis pohon dan tumbuhan bawah, 128 jenis anggrek, 26 jenis rotan, dan 25 jenis bambu, 137 jenis tanaman obat, dan 2 jenis tumbuhan langka yang hidup di kawasan TNBBS (BTNBBS 2011). Jenis pohon dan tumbuhan bawah didominasi oleh dari famili lauraceae, myrtaceae, dipterocarpaceae dan fagaceae, annonaceae, rosaceae, zingibberaceae. Jenis-jenis rumput laut (sea weed) ditemukan di Pesisir Selatan Sumatera diantaranya Sargassym gracillum, Acnthopora specifesa, Hypnea

musciformis, Sargassum echinocarpum dan Turbinaria ornate sementara jenis Thallasis sp hidup di sepanjang Teluk Belimbing.

Kawasan TNBBS juga merupakan habitat penting bagi berbagai jenis tumbuhan yang memiliki nilai pemanfaatan tradisional seperti jenis-jenis penghasil getah diantaranya Damar Mata Kucing (Shorea javanicia), Damar Batu

(Shorea ovalis) dan Jelutung (Dyera sp). Selain itu kawasan TNBBS juga

merupakan habitat bagi jenis-jenis tumbuhan berbunga unik dan langka yang menjadi ciri khas taman nasional yaitu Bunga Rafflesia (Rafflesia sp) dan 2 jenis bunga bangkai yaitu bunga bangkai jangkung (Amorphophallus decus-silvae), bunga bangkai raksasa (Amorphophallus titanum) dan anggrek raksasa (Grammatophylum speciosum).

Kawasan TNBBS memiliki nilai penting bagi upaya konservasi beberapa satwa langka dan terancam punah. Secara umum telah teridentifikasi 122 jenis mamalia termasuk 7 jenis primata, 450 jenis burung termasuk 9 jenis burung rangkong, 123 jenis herpetofauna (reptil dan amphibi), 53 jenis ikan dan 221 jenis serangga. Terdapat 15 jenis satwa yang termasuk dalam appendix 1 menurut CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna

and Flora), yang berarti jenis satwa tersebut dilarang dari segala bentuk

perdagangan internasional (BTNBBS 2011). Tercatat 6 jenis binatang mamalia terancam punah menurut Red Data Book IUCN (International Union for

Conservation of Nature), yaitu Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus),

Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Tapir (Tapirus indicus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Beruang Madu (Helarctos malayanus),

(4)

dan Ajag (Cuon alpinus). Hal inilah yang menjadikan TNBBS ditetapkan sebagai kawasan prioritas utama konservasi satwa langka tersebut.

Di kawasan TNBBS diperkirakan sedikitnya terdapat 100 – 130 ekor gajah terdiri dari beberapa kelompok tersebar masing-masing di sekitar Sekincau, Lemong, Bengkunat, Sumberejo, Pemerihan, Way Haru, Belimbing, Tampang, Way Nipah, dan Sukaraja. Sedangkan Badak Sumatera (Dicerorhinus

sumatrensis) pada mulanya tersebar di seluruh Pulau Sumatera, namun karena

fragmentasi hutan maka habitatnya terpisah dalam kantong-kantong diantaranya adalah kawasan TNBBS. Di kawasan TNBBS diperkirakan populasi badak 30 – 40 ekor. Penyebarannya terdapat di bagian Tengah Selatan kawasan TNBBS yaitu mulai dari Marang sampai Belimbing.

Jenis fauna lain di TNBBS adalah Harimau Sumatera (Panthera tigris

sumatrensis) yang merupakan salah satu jenis mamalia langka yang memiliki

daya jelajah paling luas dibandingkan mamalia lainnya. Populasi satwa di kawasan TNBBS diperkirakan 45-60 ekor. Kerbau Liar (Bubalus bubalus) terdapat di bagian selatan kawasan TNBBS di Belimbing (Blambangan dan Way Sleman), Kalong (Pteuropus vampyrus) banyak ditemukan di sepanjang Muara Way Sleman. Sedangkan jenis kelelawar kecil menempati bagian-bagian Gua Way Paya dan Way Nenok. Beberapa jenis penyu yang juga langka antara lain Penyu Sisik, Penyu Hijau dan Penyu Blimbing dapat dijumpai antara Danau Menjukut, Blambangan, Penerusan. Satwa penting lainnya adalah Kambing Hutan, Rusa, dan Kelinci Sumatera (BTNBBS 2010).

Di kawasan TNBBS terdapat 7 (tujuh) jenis primata yaitu Siamang (Symphalangus syndactylus), Owa (Hylobates agilis), Lutung (Presbytis cristata dan Presbytis melalophos), Beruk (Macaca nemestrina), Kera (Macaca

fascicularis), dan Binatang Hantu (Tarsius bancanus). Jenis burung yang terdapat

di TNBBS antaralain Kuau Kerdil Sumatera (Polyplectron chalcurum), Pita Raksasa (Pitta caeurella) dan Tokhtor Sumatera (Carposossyx viridis). Jenis burung Tokhtor Sumatera dilaporkan tidak pernah lagi ditemukan sejak tahun 1916 namun ditemukan di TNBBS (BTNBBS 2010).

Dalam pengelolaan taman nasional, sebagaimana definisi dan fungsinya, TNBBS dikelola berdasarkan zonasi yang terdiri dari zona inti (159.464 ha), zona rimba (104.887 ha), zona pemanfaatan (8.039 ha), dan zona penyangga yang dikembangkan berdasarkan potensi dan kepentingan konservasi sumberdaya hutan dan ekosistemnya terdiri dari zona rehabilitasi (75.732 ha), pemanfaatan tradisional (7.242 ha), zona religi (4 ha) dan pemanfaatan khusus (142 ha) (BTNBBS 2011). Peta pembagian zona/mintakat di TNBBS dan penataan zonasi di desa lokasi pemberdayaan masyarakat MDK di Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu sebagaimana dalam Lampiran 5 - 6.

Masyarakat di sekitar kawasan TNBBS

Masyarakat di sekitar kawasan merupakan potensi penting sebagai pelaku utama dalam menjaga kelestarian TNBBS. Keterlibatan masyarakat tersebut sangat mungkin untuk dikembangkan mengingat merekalah yang akan merasakan dampak positif dengan terjaganya kelestarian kawasan TNBBS yang berada di sekitar mereka.

(5)

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan kawasan konservasi yang dikelilingi oleh 210 desa yang tersebar pada tiga Provinsi, yaitu Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan (tabel 9). Diantara desa-desa tersebut, sekitar 53 desa merupakan desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS termasuk Sukaraja dan Kubu Perahu. Bagi wilayah sekitar ini, kawasan TNBBS memiliki nilai penting dan strategis tidak hanya secara ekonomi, ekologi, tetapi juga sosial budaya (BTNBBS 2010).

Tabel 10 Desa di Sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Provinsi Kabupaten Jumlah Desa Jumlah Penduduk (jiwa) Lampung a. Lampung Barat

b. Tanggamus 150 38 418.560 534.595 Bengkulu Kaur 19 107.267

Sumatera Selatan Ogan Komering Ulu 13 318.428

Jumlah Total 1.379.210

Sumber: BTNBBS (2011)

Banyaknya desa di sekitar kawasan TNBBS berimplikasi pada banyaknya batas buatan antara kawasan dengan desa-desa di sekitarnya tersebut. Total panjang batas kawasan baik alam maupun buatan adalah +893,39 km. dari total batas tersebut, +797,95 km atau hampir 90 persen adalah batas buatan.

Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar kawasan TNBBS adalah +1.379.210 jiwa (BTNBBS, 2011). Berdasarkan hasil kajian BPS Tahun 2007 sebagaimana diacu dalam BTNBBS (2010) jumlah penduduk miskin yang berada di kecamatan–kecamatan tersebut berjumlah 13.978 KK (69,18 persen). Sebagian besar masyarakat ini bermata pencaharian sebagai petani (BTNBBS 2010).

Disamping masyarakat asli, masyarakat yang berada di sekitar TNBBS merupakan sekumpulan suku-suku (Sunda, Jawa, dan Semendo) yang mendiami beberapa wilayah di dalam dan sekitar kawasan. Pada umumnya suku Jawa dan Sunda merupakan masyarakat transmigran yang kemudian karena keterbatasan lahan garapan dan kesempatan berusaha, sebagian besar dari mereka mencari tempat baru dengan membuka hutan. Masyarakat di sekitar TNBBS tinggal di desa-desa sekitar kawasan baik di daerah penyangga maupun enclave.

Dalam upaya pelibatan masyarakat, salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah pemberdayaan masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) yang berlokasi di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu.

Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu sebagai lokasi pemberdayaan Masyarakat Model Desa Konservasi (MDK)

Letak wilayah

Pekon Sukaraja secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Semaka Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Secara administratif

(6)

pengelolaan TNBBS, wilayah ini termasuk dalam Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Sukaraja.

Secara administratif pekon Kubu Perahu termasuk dalam Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Dalam pengelolaan taman nasional, Kubu Perahu termasuk dalam Satuan Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Wilayah Kubu Perahu.

Sebagian besar wilayah kedua pekon baik Sukaraja maupun Kubu perahu, berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS. Pekon Sukaraja dengan luas wilayah ± 723 ha ini terdiri dari 10 dusun yaitu dusun Sukaraja Pasar, Poncol, Way Tebing, Mojoroto, Klaten, Sukaraja, Wonorejo, Wonosari, Sumberejo dan Gunung Pete. Sebagian besar wilayah Pekon Sukaraja berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS, sebelah Utara berbatasan dengan Pekon Sedayu; sebelah Selatan berbatasan dengan Pekon Kacapura; sebelah Timur berbatasan dengan Pekon Bangunsari; dan sebelah Barat berbatasan dengan kawasan hutan TNBBS.

Pekon Kubu Perahu terdiri dari 4 (empat) dusun yakni Dusun Taman Indah, Kampung Baru dan Taman Jaya yang letaknya berdekatan dengan ibukota Kabupaten Lampung Barat di Liwa dan Dusun Kubu Perahu yang letaknya paling jauh dibandingkan dusun yang lain yaitu sekitar 7 km dari ibukota Kabupaten. Pekon Kubu Perahu terutama di sebelah barat berbatasan langsung dengan kawasan hutan TNBBS dengan topografi berbukit dan tingkat kelerengan relatif tinggi. Kubu Perahu merupakan wilayah enclave kawasan Taman Nasonal Bukit Barisan Selatan. Secara geografis, Kubu Perahu terletak di dalam kawasan taman nasional, pekon ini telah ada sebelum kawasan ditetapkan sebagai taman nasional. Sebagai wilayah enclave, Kubu Perahu dikelilingi oleh kawasan taman Nasional, sehingga hampir semua batas wilayahnya merupakan kawasan taman nasional. Ilustrasi batas antara Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS sebagaimana dalam Lampiran 7.

Jumlah penduduk

Penduduk Pekon Sukaraja relatif homogen dalam strata sosial, budaya termasuk latar belakang pendidikan. Mayoritas penduduk beragama Islam (99,2 persen), hanya 4 KK atau 0,8 persen yang memeluk agama Katolik. Jumlah penduduk ±3431 jiwa (715 KK). Dari jumlah penduduk tersebut, penduduk laki laki berjumlah 1572 orang atau 46 persen, lebih sedikit dari jumlah penduduk perempuan yakni 1859 orang atau 54 persen.

Penduduk Pekon Kubu Perahu terdiri dari 1.941 jiwa yang terdiri dari 515 KK dengan kepadatan 44,6 jiwa per km2. Dari jumlah penduduk tersebut, penduduk laki-laki berjumlah 954 orang (54,2 persen). Jumlah ini sedikit lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan yakni dan 805 orang (45,8 persen), namun secara umum dapat dikatakan dalam kondisi seimbang (BTNBBS 2010).

Berdasarkan komposisi umur, penduduk Kubu Perahu termasuk dalam piramida penduduk yang ideal, dimana usia produktif ( 16 – 60 tahun) merupakan piramida terbesar sebanyak 62,26 persen diikuti usia anak-anak (0 – 15 tahun) sebesar 34,25 persen dan piramida puncak dengan prosentase terkecil adalah usia tua (> 60 tahun) sebesar 3,49 persen.

(7)

Etnis Pemukim

Etnis pemukim Pekon Sukaraja selain penduduk asli (Lampung) yang sudah turun temurun mendiami wilayah tersebut, banyak pendatang dari berbagai wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Palembang. Sebagian besar masyarakat berasal dari etnis Jawa yang melakukan perpindahan ke wilayah Sumatera. Etnis Jawa mendominasi kehidupan sosial budaya masyarakat sebesar 91 persen sedangkan etnis lainnya adalah Lampung dan Palembang sebesar 9 persen. Suku Jawa mendominasi hampir di seluruh dusun sedangkan suku Lampung dan Palembang berjumlah sangat sedikit dibandingkan dengan suku Jawa sehingga umumnya mereka mengikuti budaya masyarakat mayoritas terutama bahasa sehari-hari yang digunakan yaitu bahasa Jawa. Komposisi penduduk Pekon Sukaraja berdasarkan etnis pemukim disajikan dalam diagram berikut:

Gambar 4 Komposisi penduduk Pekon Sukaraja berdasarkan etnis pemukim

Demikian pula masyarakat Pekon Kubu Perahu, selain penduduk asli yang sudah turun temurun mendiami wilayah tersebut, cukup banyak pendatang dari berbagai wilayah. Pendatang umumnya berasal dari Jawa Barat (etnis Sunda) sebesar 60 persen, sebagian berasal dari Jawa Tengah (10 persen). Sedangkan etnis asli Lampung sebanyak 20 persen dan sisanya sebesar 10 persen merupakan etnis pendatang dari Padang dan Batak. Komposisi penduduk Pekon Kubu Perahu berdasarkan etnis pemukim disajikan dalam diagram berikut:

(8)

Berbeda dengan dusun-dusun lain, lokasi penelitian di Dusun Kubu Perahu mayoritas penduduk adalah etnis asli Lampung, sedangkan di dusun lainnya didominasi oleh pendatang.

Potensi Pekon

Pekon Sukaraja merupakan daerah penyangga yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS. Kondisi demikian menjadikan Pekon Sukaraja merupakan daerah strategis sebagai penyangga kelestarian kawasan. Kawasan Sukaraja Atas merupakan bagian hulu sungai Pemerihan. Demikian pula dengan Pekon kubu perahu, pekon ini sangat strategis sebagai model desa konservasi. Potensi Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu sebagaimana dalam Tabel berikut:

Tabel 11 Potensi Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu sebagai lokasi pemberdayaan MDK

Jenis Potensi Sukaraja Kubu Perahu

Lanskap Lanskap berbukit, daerah pertanian dan permukiman.

Lanskap pegunungan rendah, daerah pertanian, pemukiman

Tipe ekosistem Hutan Hujan Bukit yang relatif masih asli, habitat penting bagi jenis-jenis tumbuhan unik dan langka

Hutan hujan pegunungan tengah yang relatif masih asli. Merupakan habitat penting bagi berbagai jenis anggrek alam dan berbagai jenis burung.

Jenis vegetasi (flora) Terdapat jenis langka dan dilindungi yaitu Bunga Rafflesia (Rafllesia sp), Bunga Bangkai (Amorphophallus sp)

Terdapat sedikitnya 59 jenis anggrek alam. Dua di antaranya merupakan jenis yang dilindungi, yaitu Anggrek Hitam (Gramatophlum sp) dan Anggrek Bulan Sumatera (Phalaenopsis sumatranus). Jenis fauna Terdapat jenis fauna langka

dan dilindungi yaitu Harimau dan Badak Sumatera

Terdapat sedikitnya 136 jenis burung, seperti Rangkong (Buceros sp) dan Kuau (Argusianus argus). Terdapat sedikitnya 49 jenis mamalia, diantaranya siamang (Hylobates syndactyllus), owa (Hylobates

agilis) dan simpai (Presbytis melalophos)

dan mamalia besar, seperti beruang madu (Helarctos malayanus), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).

Wisata Pemandangan perairan Teluk Semangka, sungai dan hutan. Wilayah ini sangat potensial bagi wisata alam, berkemah, foto hunting, pengamatan flora dan fauna. Di Sukaraja Atas, terdapat beberapa obyek ekowisata yaitu air terjun bumi perkemahan, sarana out-bound, dan pengembangan museum ekowisata (arboretum flora dan fauna)

Pemandangan indah strata tajuk hutan hujan pegunungan yang masih asli, hawa sejuk dan segar, juga penjelajahan hutan, pengamatan flora dan fauna, foto hunting, berkemah, memancing, dan rekreasi air terjun yaitu Sepapa Kanan (20 m) dan Sepapa Kiri (60 m). Di Kubu Perahu, mengalir sebuah sungai utama, yaitu Way Sindalapai dengan ratusan anak sungai. Sungai-sungai mengalir relatif stabil karena didukung banyaknya flora penutup tanah dan belum terganggunya air tanah dangkal sebagai sumber mata air.

(9)

Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS, masyarakat Sukaraja memiliki hubungan erat dengan TNBBS, demikian pula dengan Kubu Perahu. Hasil kuesioner dan observasi lapangan baik di Sukaraja maupun di Kubu Perahu menunjukkan bahwa kebutuhan air untuk pertanian dan keperluan lainnya tergantung pada kondisi kawasan TNBBS di daerah hulu. Bahkan di Sukaraja, sebagian masyarakat yang berada di wilayah hulu (Wonorejo dan Wonosari) pada saat-saat tertentu sangat kesulitan air sehingga mereka masuk kawasan TNBBS untuk mencari sumber-sumber air.

Potensi hasil hutan non kayu di Sukaraja adalah bambu. Namun untuk kebutuhan kayu lokal belum terpenuhi sehingga upaya mengembangkan tanaman kayu di lahan masyarakat sangat perlu dilakukan sebagai upaya mengurangi gangguan terhadap kawasan. Selain itu, sebelum adanya kegiatan pemberdayaan, masyarakat melakukan kegiatan berburu, mengambil damar dan rotan dari kawasan untuk dijual pada penampung. Selain itu mereka juga melakukan aktivitas perambahan sebagai upaya memperluas lahan garapan untuk ditanami komoditas pertanian/perkebunan. Belum adanya fasilitas penerangan (listrik) juga merupakan permasalahan utama masyarakat di Sukaraja.

Berdasarkan tata guna lahan, penggunaan lahan di Pekon Kubu Perahu adalah untuk tanaman pangan dengan menggunakan pengairan yang berasal dari dalam kawasan. Lahan pertanian tersebut ada hanya dapat dijumpai di dusun Kubu Perahu yang merupakan enclave. Selain digunakan untuk pertanian, lahan tersebut digunakan pula untuk kegiatan perikanan. Meskipun terdapat keterbatasan lahan di Pekon Kubu Perahu khususnya di dusun Kubu Perahu, namun terdapat potensi belum dioptimalkan pemanfataannya yaitu ketersediaan air sebagai unsur penting dalam kegiatan pertanian, perkebunan, dan perikanan sangat melimpah dari kawasan TNBBS. Potensi lain yang dimiliki oleh Pekon Kubu Perahu adalah potensi sumberdaya alam berupa kekayaan tanaman hias seperti beragam jenis anggrek. Masyarakat Pekon Kubu dapat mengembangkan budidaya tanaman hias dalam hal ini anggrek yang merupakan tanaman hias yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Pendidikan dan mata pencaharian

Pada umumnya, tingkat pendidikan masyarakat masih relatif rendah. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat pendidikan masyarakat Pekon Sukaraja yang didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar bahkan banyak juga yang tidak tamat sekolah/tidak mengenal sekolah sama sekali. Namun meski tingkat pendidikan relatif rendah, masyarakat Pekon Sukaraja tetap mengupayakan a n a k - anak mereka mendapat pendidikan yang lebih tinggi.

Pada umumnya, mata pencaharian utama warga Sukaraja (lebih dari 90 persen) adalah petani/berkebun, sebagian kecil wiraswasta termasuk jasa (bengkel, penggilingan padi, buruh bangunan), pedagang dan pegawai. Usaha lain yang dilakukan oleh penduduk Pekon Sukaraja sebagai altematif mata pencaharian adalah menjadi buruh/tenaga harian dan beternak. Pada musim

paceklik, masyarakat yang rata-rata menggantungkan hidup dari sektor

pertanian, memilih untuk menjadi buruh sebagai mata pencaharian baik buruh di tempat orang yang lebih mampu/mempunyai lahan banyak, buruh bangunan maupun buruh memetik buah-buahan (kelapa, pisang, dan

(10)

sebagainya) serta sebagian menjual hewan ternak yang mereka miliki. Dengan demikian pendapatan utama yang diperoleh adalah dan hasil pertanian/perkebunan dengan komoditas tanaman padi, kopi dan kakao.

Mata pencaharian utama warga Kubu sebagian besar adalah petani penggarap dan pemecah batu. Hal ini dilatarbelakangi karena keterbatasan lahan yang ada dipekon tersebut bagi kegiatan pertanian/perkebunan. Mata pencaharian penduduk pada Pekon Kubu Perahu adalah buruh tani, petani, budidaya ikan, buruh batu, dan hanya sebagian kecil yang berdagang (rumah makan dan warung). Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa kepemilikan lahan yang luas akan berdampak pada meningkatnya produksi/hasil. Hal ini berimplikasi pada terjadinya perambahan kawasan sebagai upaya untuk memperluas lahan garapan. Masyarakat menggunakan lahan perambahan untuk bercocok tanam padi, sayuran maupun berkebun kopi dan atau coklat. Untuk kebutuhan kayu lokal, masyarakat juga masih mengambil dari kawasan.

Ketika menghadapi tuntutan kebutuhan misalnya pendaftaran sekolah, hari raya, keperluan lainnya, masyarakat cenderung mengambil jalan pintas, biasanya mengambil burung maupun kayu dari kawasan untuk dijual. Kegiatan perambahan dan ilegal lainnya yang dilakukan masyarakat tentunya akan mengancam keberadaan TNBBS sebagai kawasan konservasi. Kegiatan MDK diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kawasan dan mengubah pandangan dan perilaku masyarakat yang memperluas lahan dengan cara merambah agar lebih mengembangkan potensi lokal untuk menambah penghasilan.

Sarana Prasarana

Sarana prasarana umum yang ada di pekon Sukaraja yaitu 1 unit Balai Pekon dalam kondisi rusak berat, 1 unit pasar, 1 unit lapangan, 4 lokasi Tempat Pemakaman Umum (TPU). Sarana lainnya yaitu 5 tugu batas pekon, 1 tugu PKK, sarana kesehatan (1 unit puskesmas induk dan 1 unit puskesmas pembantu), sarana pendidikan (1 unit Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan 3 unit Sekolah Dasar), tempat ibadah berupa 5 unit masjid dan 5 unit musholla, sarana keamanan (15 unit gardu siskamling), sarana kebersihan berupa 1 unit mesin penyedot air, 20 unit gorong-gorong dan 1 unit instalasi air bersih serta sarana transportasi yang meliputi jalan aspal sepanjang 7 km, jalan onderlag sepanjang 1,5 km, jalan tanah sepanjang 6 km serta jembatan beton sebanyak 4 buah.

Sedangkan di Pekon Kubu Perahu, sarana prasarana meliputi jalan lintas barat Sumatera dalam kondisi relatif baik, masjid, musholla, bangunan SD, Balai pekon, jaringan listrik, posyandu, sarana air bersih serta puskesmas keliling. Dibandingkan dengan Pekon Sukaraja, meskipun fasilitas di Kubu Perahu juga terbatas, namun karena kedekatan dengan pusat kota kabupaten (lampung Barat), maka akses terhadap fasilitas sarana prasarana relatif lebih mudah.

Aksesibilitas

Jalan darat sebagai sarana aksesibilitas di beberapa dusun di Pekon Sukaraja kondisinya sangat memprihatinkan terutama di Dusun Wonosari, Wonorejo dan Sumberejo. Selain cukup jauh dari pusat pekon, dusun-dusun

(11)

tersebut berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS dengan topografi berbukit dan tingkat kelerengan yang lebih tinggi. Karena topografinya yang cukup terjal dan berada di dataran tinggi, masyarakat setempat sering menyebut dusun tersebut sebagai daerah Sukaraja Atas. Untuk mencapai lokasi Pekon Sukaraja Kecamatan Semaka Kabupaten Tanggamus, dapat dilakukan dengan jalur sebagai berikut:

- Dari ibukota provinsi Lampung, menuju ibukota kabupaten Tanggamus (Kotaagung) dapat ditempuh dengan menggunakan bus/angkutan umum selama kurang lebih 2,5 jam dengan kondisi jalan aspal.

- Dari Kotaagung menuju pusat Pekon Sukaraja menggunakan angkutan umum dapat ditempuh sekitar 1 jam.

Berbeda dengan Pekon Sukaraja, Kubu Perahu relatif dekat dengan Ibu Kota Kabupaten Lampung Barat (Liwa). Karena letak yang cukup strategis berada dekat dengan ibukota Kabupaten, sarana dan prasarana perekonomian seperti pasar, transportasi, sarana telekomunikasi, bank dan sebagainya dapat diakses dengan mudah. Untuk mencapai lokasi Pekon Kubu Perahu, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat dapat dilakukan dengan rute sebagai berikut : Dari ibukota provinsi lampung, Bandar Lampung Kotaagung Sukaraja

-Bengkunat - Krui - Kubu Perahu dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda empat/angkutan umum selama kurang lebih 7 (tujuh) jam dengan kondisi jalan aspal yang membelah kawasan TNBBS.

- Dari ibukota provinsi Lampung, Bandar Lampung, - Bandar Jaya - Kotabumi - Bukit Kemuning- Sumber Jaya - Liwa - Kubu Perahu ditempuh menggunakan kendaraan roda empat/angkutan umum selama kurang lebih 8 jam dengan kondisi ialan aspal (sebagian besar telah rusak karena merupakan jalan lintas).

Pemberdayaan Masyarakat Model Desa Konservasi (MDK)

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagai kawasan hutan konservasi tidak terlepas dari berbagai kepentingan terutama yang berkaitan dengan masyarakat sekitar kawasan. Kepentingan konservasi kawasan di satu sisi sering berbenturan dengan kepentingan pemenuhan kebutuhan masyarakat di sisi lain. Upaya untuk meminimalisir konflik kepentingan ini salah satunya dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, permasalahan pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi merupakan permasalahan yang cukup kompleks dan rumit karena menyangkut aspek sosial, ekonomi sekaligus ekologi serta menyangkut banyak pemangku kepentingan.

Model Desa Konservasi (MDK) merupakan desa yang dijadikan model/contoh bagi desa lain di sekitar kawasan konservasi dalam upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, dengan memperhatikan aspek konservasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat.

Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) bertujuan agar pengelolaan kawasan taman nasional dapat dilakukan dengan baik, sehingga dapat berfungsi secara optimal dan lestari, serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya menuntut adanya kegiatan nyata yang manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Apabila masyarakat telah memperoleh manfaat langsung dari keberadaan suatu kawasan

(12)

konservasi sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan, maka dengan sendirinya akan memunculkan dukungan dari masyarakat setempat dalam berbagai upaya konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya.

Model Desa Konservasi merupakan salah satu kegiatan pemberdayaan di TNBBS dengan fokus utama pada peningkatan ekonomi masyarakat dan kelestarian kawasan. Kegiatan MDK telah dilaksanakan di TNBBS sejak tahun 2006. Kegiatan MDK difokuskan di dua desa/pekon, yaitu Pekon Sukaraja (daerah penyangga) dan Pekon Kubu Perahu (wilayah enclave). Pemilihan lokasi pekon didasarkan oleh beberapa kriteria antara lain berbatasan langsung dengan kawasan, terdapat interaksi masyarakat dengan kawasan, dan terdapat potensi lokal yang dapat dikembangkan.

Sebagaimana kegiatan pemberdayaan lainnya, berdasarkan Master Plan Pengembangan MDK di TNBBS, pengembangan MDK dalam prosesnya memerlukan tahapan-tahapan yang dimulai dari prakondisi, persiapan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Tahap prakondisi merupakan tahap awal dalam identifikasi sasaran. Tahap prapelaksanaan ini merupakan tahap penting untuk identifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, identifikasi altematif pemecahan masalah, pemilihan alternatif masalah menurut skala prioritas dengan melalui analisis secara bersama-sama. Dalam kegiatan ini dilakukan pendampingan untuk mencapai beberapa tujuan antara lain penyusunan kriteria dan standar kegiatan serta hasil/keluaran yang akan dicapai bersama masyarakat desa model, dan mendorong terbentuknya peraturan pekon/desa terkait dengan pelestarian kawasan TNBBS yang disepakati seluruh warga desa model. Sampai saat ini di kedua pekon lokasi pemberdayaan baik Sukaraja maupun Kubu Perahu belum terdapat adanya peraturan pekon terkait dengan MDK.

Perencanaan kegiatan yang akan diimplementasikan di desa model hendaknya dibahas secara rinci meliputi elemen penanggung jawab dan tahapan teknis yang dilakukan. Selanjutnya tahap pelaksanaan kegiatan merupakan kelanjutan tahap perencanaan yang merupakan kegiatan partisipatif dan pengkajian sejumlah topik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dari hasil pengkajian dan penilaian kemudian ditentukan skala prioritas.

Tahap pemantauan dan evaluasi dilaksanakan oleh fasilitator utama (TNBBS) bekerja sama dengan mitra atau pihak yang telah disepakati sebelumnya sesuai dengan jenis program yang akan dievaluasi. Pemantauan dan evaluasi harus melibatkan peran aktif masyarakat, minimal tokoh-tokoh kunci (key person) dalam penguasaan teknik-teknik pemantauan dan evaluasi yang efektif.

Pemberdayaan MDK dilaksanakan di Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu dengan berbagai pertimbangan, diantaranya adalah letak kedua desa tersebut yang berbatasan langsung dengan kawasan, interaksi masyarakat dengan kawasan dan adanya potensi yang dapat dikembangkan.

Kegiatan pemberdayaan MDK di Pekon Sukaraja sejak tahun 2006, sedangkan di Pekon Kubu Perahu dilaksanakan pada tahun 2008. Kegiatan MDK di Pekon Kubu Perahu merupakan pengembangan dari Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) dibentuk pada tahun 2007. Pada waktu itu, setelah SPKP terbentuk tidak ada tindak lanjut berupa kegiatan pendampingan karena tidak ada tenaga penyuluh di TNBBS (tenaga penyuluh kehutanan baru ada tahun 2009).

Kegiatan pemberdayaan dilakukan melalui pendampingan kelompok untuk mengembangkan usaha produktif berdasarkan potensi yang dimiliki lokal

(13)

setempat. Oleh karena itu dalam rangka mendukung keberhasilan pengembangan MDK diperlukan adanya kegiatan yang dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat diantaranya yaitu pendampingan masyarakat, peningkatan kapasitas SDM dan pengembangan kelompok usaha produktif.

MDK dikembangkan melalui proses partisipatif, dimana masyarakat mempunyai peran dalam menentukan kegiatan yang mereka inginkan. Masyarakat diberi bantuan sesuai dengan yang dibutuhkan untuk mengembangkan potensi yang ada dengan harapan ketergantungannya terhadap hutan akan berkurang. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain adalah budidaya ikan, budidaya ternak, pembibitan, agroforestry dan pembuatan pupuk organik (Lampiran 8). Baru pada tahun 2010 dilaksanakan pelatihan untuk peningkatan keterampilan masyarakat misalnya pelatihan dasar kelompok, pelatihan kesehatan ternak dan pelatihan pembuatan pupuk organik.

Di Pekon Sukaraja terdapat 3 (tiga) kelompok aktif yang terlibat dalam kegiatan MDK yaitu Kelompok Wana Lestari, Tunas Karya dan Eka Tunggal Makmur serta 1 (satu) kelompok eks penerima manfaat program pemberdayaan MDK Sentra penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP). Kelompok yang masih aktif bergerak dalam pengembangan usaha produktif di bidang budidaya ternak, pengolahan kopi, agroforestry, dan pupuk organik. Sedangkan di Pekon Kubu Perahu melibatkan 2 (dua) kelompok aktif yang bergerak di bidang perikanan yaitu kelompok Mulya Tani Harapan Maju dan kelompok Pemuda Mandiri serta 1 (satu) kelompok eks penerima manfaat program pemberdayaan MDK.

Dengan berbagai bidang usaha yang dikembangkan tersebut, keberhasilan program pemberdayaan di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu bukan hanya menjadi tanggung jawab instansi pengelola kegiatan pemberdayaan semata. Terdapat banyak faktor yang berhubungan dengan efektif atau tidaknya pemberdayaan yang dilakukan, baik dari segi masyarakatnya maupun pendekatan pemberdayaan yang dilakukan oleh pelaksana pemberdayaan.

Karakteristik Sosio-demografi

Dalam falsafah penyuluhan, pemahaman karakteristik individu masyarakat merupakan hal mendasar. Penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang dengan tujuan mengubah perilaku sasaran sesuai dengan yang direncanakan dan hal ini merupakan upaya untuk mengembangkan potensi individu sasaran agar lebih berdaya secara mandiri (Asngari 2008). Dengan demikian, sasaran pemberdayaan adalah manusia dengan segala kompleksitas yang melekat padanya. Pemberdayaan tidak akan berhasil tanpa melibatkan ilmu-ilmu yang mewakili dan mempelajari berbagai dimensi atau kompleksitas tersebut. Oleh karenanya, untuk memahami sasaran secara komprehensif perlu mempertimbangkan segala aspek meliputi kejiwaan manusia, individu, sosialitas, manifestasinya dalam berinteraksi dengan lingkungan, kepentingan bersama, dan budaya yang dimiliki.

Karakteristik individu dalam penelitian ini merupakan karakteristik sosio-demografi yang merupakan ciri yang melekat pada individu berupa karakteristik sosial dan kependudukan yang menggambarkan perbedaan masyarakat berdasarkan usia, mata pencaharian, pendidikan, suku bangsa (etnis), pendapatan, keluarga, serta sosial budaya, hubungannya dengan orang lain dan sebagainya.

(14)

Dalam penelitian ini, karakteristik masyarakat peserta program pemberdayaan MDK yang diamati meliputi umur, pendidikan formal, pelatihan, mata pencaharian, pendapatan, kepemilikan lahan, jumlah tanggungan keluarga, etnis pemukim, keikutsertaan dalam kelompok, dan keterdedahan terhadap informasi. Berikut adalah distribusi responden pada berbagai karakteristik yang diamati:

Tabel 12 Distribusi responden pada berbagai karakteristik sosio-demografi No. Sub Variabel Kategori

Lokasi Desa/Pekon Sukaraja Kubu Perahu

persen persen

Total persen 1. Umur 1. Tidak produktif (0-14 th)

2. Kurang produktif (≥ 65 th) 3. Produktif (50 – 64 th) 4. Sangat produktif (15 – 49 th) - 1 11 55 - 1,5 16,4 82,1 - - 3 34 - - 8,1 91,9 - 1 14 89 - 1 13,5 85,6 2. Tingkat pendidikan formal

1. Sangat rendah (Dasar) 2. Rendah (Menengah) 3. Tinggi (Atas) 4. Sangat tinggi (PT) 43 13 11 - 64,2 19,4 16,4 - 18 9 10 - 48,6 24,3 27,0 - 61 22 21 - 58,7 21,2 20,2 - 3. Pelatihan 1. Sangat rendah

2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 32 15 12 8 47,8 22,4 17,9 11,9 16 15 6 - 43,2 40,5 16,2 - 48 30 18 8 46,2 28,8 17,3 7,7 4. Mata pencaharian 1. Petani 2. Non petani 60 7 89,6 10,4 27 10 73,0 27,0 87 17 83,7 16,3 5. Pendapatan 1. Sangat rendah (< Rp 500.000)

2. Rendah (> Rp 500.000 – 1 jt) 3. Tinggi (> Rp 1 jt – 1,5 juta) 4. Sangat tinggi (> Rp 1,5 juta)

32 26 8 1 47,8 38,8 11.9 1.5 10 22 4 1 27,0 59,5 10,8 2,7 42 48 13 2 40.4 46.2 12.5 1,9 6. Kepemilikan lahan

1. Sangat Rendah (0 ha) 2. Rendah (> 0 s/d 0,5 ha/KK) 3. Tinggi (>0,5 s/d 1 ha/KK) 4. Sangat tinggi (> 1 ha/KK)

1 23 25 18 1.5 34.3 37.3 26.9 22 10 4 1 59.5 27.0 10.8 2.7 23 33 29 19 22.1 31.7 27.9 18.3 7. Jumlah tanggungan keluarga 1. Sangat Rendah (0 – 2 jiwa/KK) 2. Rendah (3 – 4 jiwa/KK) 3. Tinggi (5 -6 jiwa/KK) 4. Sangat Tinggi(> 6 jiwa/KK)

9 43 14 1 13.4 64.2 20.9 1.5 11 15 10 1 29.7 40.5 27.0 2.7 20 58 24 2 19.2 55.8 23.1 1.9 8. Etnis pemukim

1. Penduduk asli (etnis asli) 2. Migran (etnis pendatang)

1 66 1,5 98,5 30 7 81,1 18,9 31 73 29,8 70,2 9. Keikutsertaan dalam kelompok

1. Sangat Rendah (tidak aktif) 2. Rendah (kurang aktif) 3. Tinggi (aktif)

4. Sangat tinggi (sangat aktif)

16 10 26 15 23,9 14,9 38,8 22,4 12 18 5 2 32,4 48,6 13,5 5,4 28 28 31 17 26,9 26,9 29,8 16,3 10. Keterdedahan terhadap informasi 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 5 28 22 12 7,5 41,8 32,8 17,9 1 11 18 7 2,7 29,7 48,6 18,9 6 39 40 19 5,8 37,5 38,5 18,3

Dalam memahami masyarakat sekitar kawasan, pertimbangan mengenai berbagai karakteristik yang meliputi karakteristik kependudukan, sosial, ekonomi, termasuk pendidikan yang mempengaruhi masyarakat dalam aspek

(15)

pengetahuan, persepsi, sikap dan tindakannya terhadap lingkungan menjadi bagian yang penting untuk dapat dikaji secara mendalam. Pengabaian hal tersebut dalam perumusan kebijakan pengelolaan taman nasional akan menyebabkan dampak yang merugikan masyarakat dan akan menjadi kendala pencapaian tujuan konservasi dan pengelolaan taman nasional dalam jangka panjang (Agrawal dan Gibson 1999). Dengan demikian, pemahaman karakteristik sasaran sangat penting dalam menyusun strategi pengelolaan hutan termasuk melalui pemberdayaan karena dengan memahami karakteristik tersebut, segala aspek yang berhubungan kondisi sasaran dapat diketahui dengan baik.

Umur

Komposisi penduduk menurut usia produktif berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dibagi dalam 4 (empat) kategori (Umar 2011) yaitu; (1) usia kurang produktif 65 tahun ke atas, (2) usia produktif 50 – 64 tahun, (3) usia sangat produktif 15 – 49 tahun dan usia tidak produktif 0 – 14 tahun. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden (85,6 persen) termasuk dalam kategori usia sangat produktif. Dari hasil lapangan diperoleh bahwa responden mempunyai kisaran umur 26 – 70 tahun. Dari kisaran tersebut, sebagian besar responden berumur antara 26 – 48 tahun (sangat produktif).

Pendidikan formal

Pendidikan formal adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh/dicapai responden dinyatakan dalam strata/tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan dapat dikatakan dalam kategori sangat rendah karena sebagian besar responden tidak lulus pendidikan tingkat dasar dan atau hanya lulus pendidikan pada tingkat sekolah dasar (SD). Pendidikan tertinggi responden adalah Sekolah Menengah Atas (SMA). Meskipun demikian, namun berdasarkan wawancara dengan responden, mereka berharap anak-anak mereka nantinya dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik atau lebih tinggi dari orang tuanya.

Pelatihan

Pelatihan merupakan salah satu bentuk pendidikan non formal. Dalam hal ini pelatihan yang dimaksud adalah pelatihan yang berkaitan dengan MDK yang pernah diikuti oleh masyarakat. Sebagian besar termasuk dalam kategori sangat rendah, 75 persen termasuk dalam kategori rendah dan sangat rendah. Dari jumlah tersebut, lebih dari 46 persen masyarakat peserta program pemberdayaan MDK tidak pernah mengikuti pelatihan dan 28.8 persen masyarakat peserta program pemberdayaan MDK hanya mengikuti 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) kali pelatihan saja. Hal ini dapat dipahami karena berdasarkan hasil wawancara, kegatan pelatihan mulai aktif dilaksanakan mulai tahun 2010. Namun demikian, upaya-upaya peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan terus dilakukan oleh pengelola (TNBBS) baik melalui penyelenggaraan pelatihan oleh TNBBS

(16)

sendiri maupun mengikutsertakan masyarakat pada pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh mitra TNBBS.

Pendapatan

Pendapatan dalam konteks ini adalah penghasilan yang diperoleh dari berbagai sumber baik pekerjaan tetap maupun sampingan dalam satu bulan. Secara umum masyarakat peserta program pemberdayaan mempunyai penghasilan dengan kategori rendah dan sangat rendah. Lebih dari 86 persen masyarakat peserta program pemberdayaan MDK termasuk dalam kategori ini, dimana separuh dari jumlah tersebut mempunyai penghasilan di bawah Rp 500 ribu per bulan. Tidak terdapat perbedaan nyata antara pendapatan di Pekon Sukaraja maupun Kubu Perahu. Meskipun kebanyakan responden di Sukaraja memiliki lahan, namun belum terdapat upaya dalam peningkatan kualitas pengelolaan lahan, masyarakat masih mengandalkan pengolahan secara tradisional dengan bertani sawah maupun kebun. Dalam setahun terakhir masyarakat peserta program pemberdayaan mencoba menerapkan pola agroforestry pada sebagian lahan mereka. Sedangkan di Kubu Perahu, masyarakat sebagian besar tidak mempunyai lahan, selain menjadi buruh tani, mereka mempunyai usaha sampingan sebagai pemecah batu kali yang mendatangkan keuntungan relatif besar.

Mata pencaharian

Mata pencaharian responden secara umum adalah petani. Lebih dari 83 persen masyarakat bekerja sebagai petani. Perbedaannya adalah, masyarakat di Sukaraja adalah petani yang mempunyai lahan, sedangkan di Kubu Perahu sebagian besar tidak mempunyai lahan atau petani penggarap. Selain sebagai petani, masyarakat menambah pendapatan dari berbagai usaha sampingan seperti menjadi buruh bangunan, memecah batu, bengkel, dan usaha lainnya.

Kepemilikan lahan

Kepemilikan lahan adalah luas lahan yang dimiliki oleh responden, dinyatakan dalam satuan hektar per kepala keluarga. Kepemilikan lahan sebagian besar responden, dapat dikategorikan rendah yaitu 0,1 – 0,5 hektar berdasarkan klasifikasi lahan petani (Sastraatmaja 2010). Dari hasil uji beda nonparametrik tes Mann-Whitney, terdapat perbedaan nyata (p=0.000) dalam kepemilikan lahan. Di Pekon Sukaraja, hampir semua responden merupakan petani yang mempunyai lahan, sedangkan di Kubu Perahu sebagian besar merupakan petani yang tidak punya lahan. Prosentase kepemilikan lahan responden di Kubu Perahu yang sangat rendah, sebanyak 59,5 persen masyarakat peserta program pemberdayaan di Kubu Perahu tidak mempunyai lahan. Lahan-lahan di Kubu Perahu merupakan lahan milik pendatang dari luar daerah. Masyarakat peserta program pemberdayaan di Kubu Perahu biasanya menjadi petani penggarap sekaligus mengandalkan penghasilan dengan menjadi pemecah batu kali.

(17)

Tanggungan keluarga

Tanggungan keluarga yang dimaksud adalah semua orang yang tinggal dalam satu rumah ataupun yang berada diluar dan menjadi tanggung jawab kepala keluarga. Jumlah tanggunangan keluarga merupakan salah satu indikator dalam menentukan aktivitas masyarakat (Drakel 2008) berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Masyarakat peserta program pemberdayaan MDK pada umumnya (75 persen) mempunyai tanggungan keluarga antara 0 - 4 orang dan 25 persen mempunyai tanggungan keluarga sejumlah 5 – 7 orang. Tanggungan keluarga masyarakat peserta pemberdayaan termasuk dalam kategori rendah yang sebagian besar responden adalah 3 - 4 orang.

Etnis pemukim

Etnis pemukim dalam penelitian ini di tentukan berdasarkan status kependudukan yang mengacu pada asal etnis masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan TNBBS. Terdapat perbedaan asal etnis masyarakat peserta program pemberdayaan di kedua lokasi penelitian. Responden di Pekon Sukaraja, 98,5 persen merupakan masyarakat etnis pendatang yang berasal dari Jawa, sedangkan di Pekon Kubu Perahu, 81 persen merupakan masyarakat etnis asli Lampung, dan sisanya adalah pendatang dari etnis Jawa dan Sunda. Sebagian besar atau bahkan hampir semua masyarakat pendatang yang bermukim di lokasi penelitian telah lama menjadi penduduk setempat bahkan sejak lahir. Banyaknya etnis pendatang di daerah ini merupakan akibat perpindahan penduduk baik karena program pemerintah maupun keinginan sendiri. Gelombang perpindahan penduduk yang sebagian besar adalah dari Jawa ke Lampung telah berlangsung sejak tahun 1930an. Perbedaan asal etnis paling tidak akan mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Keikutsertaan dalam kelompok

Masyarakat peserta program pemberdayaan umumnya tergabung dalam kelompok, namun demikian terdapat variasi keaktifan mereka dalam kelompok. Dari hasil penelitian, 54 persen masyarakat mempunyai tingkat keaktifan sangat rendah dan rendah. Berdasarkan hasil uji beda nonparametrik Mann-Whitney, terdapat perbedaan nyata (p=0.001) keikutsertaan masyarakat dalam kelompok di kedua lokasi. Masyarakat di Sukaraja cenderung lebih aktif dalam kelompok dibandingkan dengan di Kubu Perahu. Sebanyak 73 persen responden di Kubu Perahu mempunyai tingkat keaktifan dalam kelompok dengan kategori sangat rendah dan rendah.

Hal ini antara lain disebabkan karena di Sukaraja kebanyakan merupakan petani pemilik lahan, bukan petani penggarap seperti di Kubu Perahu, sehingga mereka mempunyai tanggungjawab lebih besar terhadap lahan mereka. Dengan keikutsertaan dalam kelompok mereka mempunyai harapan dapat memperoleh informasi terutama tentang bagaimana mengolah lahan dengan lebih baik.

(18)

Keterdedahan informasi

Keterdedahan terhadap informasi merupakan proses pada responden untuk mencari informasi yang dapat membantu mereka menentukan perilaku yang diukur melalui intensitas masyarakat dalam mencari informasi baik dari teman kelompok, penyuluh, dan pihak lain, kunjungan, membaca, mendengarkan maupun menonton dan sebagainya. Keterdedahan masyarakat terhadap informasi secara umum berada dalam kondisi seimbang antara masyarakat dengan kategori keterdedahan informasi rendah dan kategori tinggi. Umumnya masyarakat memperoleh informasi dari berbagai sumber informasi, baik dari teman kelompok, aparat desa, penyuluh, pihak lain, dan media massa. Dari hasil penelitian, teman kelompok dan penyuluh kehutanan berperan penting dalam penyampaian informasi.

Interaksi dan Akses Terhadap Taman Nasional

Interaksi dan akses masyarakat terhadap sumberdaya taman nasional merupakan faktor penting dalam mengukur efektifitas pemberdayaan berkaitan dengan partisipasi dan kemandirian. Hal ini berkaitan dengan bagaimana kecenderungan perubahan dalam masyarakat (yang tinggal disekitar kawasan dan sebagian besar berbatasan langsung dan berinteraksi dengan kawasan) sebagai hasil/dampak kegiatan pemberdayaan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Interaksi positif dan akses bagi masyarakat dalam zona tertentu di taman nasional diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan kemandirian mereka. sebagaimana diketahui bahwa taman nasional adalah kawasan konservsi dengan akses yang sangat terbatas bagi masyarakat. Dari hasil penelitian, berikut adalah interaksi dan akses masyarakat terhadap sumber daya taman nasional (TNBBS):

Tabel 13 Interaksi dan akses masyarakat terhadap sumber daya taman nasional No. Sub Variabel Kategori

Lokasi Desa/Pekon Sukaraja Kubu Perahu

persen persen Total persen 1. Tingkat ketergantungan terhadap TNBBS 1. Sangat tinggi 2. Tinggi 3. Rendah 4. Sangat rendah - 5 48 14 - 7,5 71,6 20,9 - 21 16 - - 56,8 43,2 - - 26 64 14 - 25,0 61,5 13,5 2. Tingkat keterlibatan dalam kegiatan TNBBS 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 21 19 16 11 31,3 28,4 23,9 16,4 16 14 6 1 43,2 37,8 16,2 2,7 37 33 22 12 35,6 31,7 21,2 11,5 3. Tingkat manfaat yang dirasakan 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 5 13 41 8 7,5 19,4 61,2 11,9 - 12 20 5 - 32,4 54,1 13,5 5 25 61 13 4,8 24,0 58,7 12,5 4. Tingkat akses terhadap kegiatan TNBBS 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 23 23 12 9 34,3 34,3 17,9 13,4 19 10 8 0 51,4 27,0 21,6 - 42 33 20 9 40,4 31,7 19,2 8,7

(19)

Tingkat ketergantungan terhadap kawasan taman nasional

Ketergantungan terhadap sumberdaya TNBBS adalah tingkat ketergantungan responden terhadap sumberdaya taman nasional dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dinyatakan dalam frekuensi interaksi responden dengan kawasan. Ketergantungan masyarakat peserta program pemberdayaan terhadap taman nasional secara umum berada dalam kategori rendah. Sebagian besar responden mempunyai ketergantungan yang rendah terhadap kawasan taman nasional, yang berarti bahwa masyarakat masih berinteraksi denan kawasan namun tidak selalu tergantung pada kawasan dalam memenuhi kebutuhannya. Dari data diperoleh hasil bahwa masyarakat Pekon Kubu Perahu mempunyai ketergantungan yang lebih tinggi terhadap taman nasional dibandingkan dengan masyarakat Pekon Sukaraja. Sebanyak 43,2 persen masyarakat di Kubu Perahu mempunyai ketergantungan terhadap taman nasional dengan kategori tinggi. Hal ini didukung oleh hasil uji beda nonparametrik Mann-Whitney yang menunjukkan adanya perbedaan nyata (p=0.000) tingkat ketergantungan terhadap kawasan antara Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu.

Hal tersebut berkaitan dengan lokasi Kubu Perahu yang merupakan enclave, dimana daerahnya dikelilingi oleh kawasan taman nasional. Kubu Perahu sudah ada sejak sebelum kawasan ditetapkan sebagai taman nasional. Dari hasil wawancara dengan masyarakat, interaksi mereka terhadap kawasan adalah untuk mencari air, kayu bakar, makanan ternak, tanaman obat, anggrek dan burung.

Tingkat manfaat langsung keberadaan taman nasional bagi masyarakat

Manfaat langsung keberadaan TNBBS yang dirasakan adalah respon masyarakat terhadap keberadaan taman nasional yang dinyatakan dalam seberapa besar manfaat langsung kawasan yang dirasakan oleh responden (baik ekonomi, ekologis, dan sosial budaya). Secara umum, masyarakat merasakan manfaat langsung keberadaan taman nasional, sebagian besar reponden menyatakan bahwa kawasan taman nasional bermanfaat bagi mereka. Hal ini berarti bahwa masyarakat menyadari adanya manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat menyadari adanya manfaat langsung keberadaan kawasan taman nasional, termasuk akibat yang ditimbulkan apabila kawasan rusak.

Manfaat langsung TNBBS yang dirasakan masyarakat antara lain adalah penyediaan air, makanan ternak, dan tanaman obat. Meskipun demikian masih terdapat beberapa masyarakat yang memanfaatkan kawasan secara ilegal termasuk eksploitasi jenis flora fauna misalnya mengambil anggrek, burung dan berburu.

Tingkat keterlibatan masyarakat dalam program pemberdayaan MDK

Keterlibatan dalam konteks ini adalah keikutsertaan responden dalam program pemberdayaan Model Desa Konservasi (MDK), yang diukur berdasarkan lama responden terlibat dalam kegiatan tersebut. Secara umum keterlibatan masyarakat dalam program pemberdayaan Model Desa Konservasi (MDK) termasuk dalam kategori rendah. Sebanyak 67,3 persen masyarakat termasuk dalam kategori sangat rendah dan rendah. Dari jumlah tersebut, lebih dari 35

(20)

persen masyarakat berada dalam kategori sangat rendah. Hal ini berarti bahwa mereka belum pernah terlibat sebelumnya dalam kegiatan pemberdayaan di TNBBS. Dari data di kedua lokasi penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Sukaraja mempunyai keterlibatan lebih tinggi dibandingkan dengan Kubu Perahu. Hal ini didukung oleh hasil uji beda nonparametrik Mann-Whitney yang menunjukkan adanya perbedaan nyata (p=0.036) keterlibatan masyarakat di kedua lokasi. Sebagian besar (79 persen) masyarakat peserta program pemberdayaan di Kubu Perahu belum pernah terlibat dalam kegiatan lain selain MDK. Di samping itu keterlibatan mereka dalam MDK tergolong rendah, tidak semua anggota kelompok berpartisipasi dalam kegiatan MDK. Masyarakat cenderung kurang termotivasi dalam mengikuti kegiatan, misalnya menghadiri pertemuan maupun sosialisasi, sementara itu masyarakat di Sukaraja cenderung lebih mudah diajak mengikuti pertemuan ataupun sosialisasi berkaitan dengan kegiatan. Hal ini dapat dipahami, karena di Kubu Perahu, masyarakat lebih tertarik pada pekerjaan lain, misalnya sebagai pemecah batu atau kegiatan lain yang cepat menghasilkan dan dapat mereka rasakan secara langsung.

Tingkat akses masyarakat dalam kegiatan taman nasional

Akses masyarakat dalam kegiatan taman nasional adalah sejauh mana masyarakat memperoleh kesempatan atau terlibat dalam kegiatan taman nasional baik dalam rangka pengelolaan kawasan konservasi. Diukur melalui intensitas keikutsertaan masyarakat (dalam kegiatan apa saja masyarakat terlibat). Akses masyarakat dalam kegiatan taman nasional tergolong dalam kategori sangat rendah. Hal ini dapat disebabkan karena masyarakatnya sendiri yang enggan untuk terlibat maupun dari pihak pengelola dalam hal ini TNBBS. Selain pemberdayaan MDK, upaya meningkatkan akses masyarakat dilakukan dalam bentuk antara lain dalam kegiatan pengamanan hutan dengan pembentukan PAM Swakarsa dan Masyarakat Mitra Polhut (MMP). Masyarakat diberi akses untuk membantu pengamanan hutan, memberikan informasi tentang kegiatan ilegal dalam kawasan dan diberikan pelatihan-pelatihan. Selain itu TNBBS juga mengembangkan pengelolaan bumi perkemahan bersama masyarakat dan pembuatan tata batas partisipatif bersama masyarakat. Masyarakat dilibatkan dalam pembuatan tata batas kawasan dengan pekon. Dalam hal sumberdaya, dikembangkan mikrohidro yaitu pemanfaatan sumberdaya air untuk keperluan penerangan (listrik).

Meskipun upaya melibatkan masyarakat dalam kegiatan taman nasional telah dilakukan, namun belum semua masyarakat terlibat secara aktif dalam kegiatan tersebut. Sebagian besar masyarakat (72,1 persen) masyarakat menyatakan bahwa mereka tidak pernah dan atau jarang terlibat dalam kegiatan tersebut. Tidak semua masyarakat peserta pemberdayaan aktif dalam kegiatan baik dalam MDK sendiri maupun kegiatan taman nasional yang lain. Salah satu penyebabnya adalah kesibukan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain faktor dari masyarakat, pihak pengelola juga turut menentukan seberapa besar akses masyarakat terhadap taman nasional. Sebagaimana diketahui bahwa taman nasional merupakan kawasan konservasi yang sebagian besar pengelolaannya difokuskan pada pelestarian. Sementara itu masyarakat, meskipun secara kognitif dan afektif tergolong baik dalam bidang ekologi, namun tidak serta

(21)

merta mendorong mereka dalam kesesuaian bertindak. Orientasi masyarakat cenderung kuat dalam hal ekonomi, yaitu bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, pemberian akses dalam pengelolaan kawasan perlu lebih dikembangkan terutama dalam zonasi pemanfaatan dengan fokus proporsional dalam arti dapat meningkatkan ekonomi masyarakat secara nyata dan memberikan dampak pada kelestarian kawasan.

Pendekatan Pemberdayaan

Selain karakteristik sosio-demografi dan interaksi serta akses masyarakat terhadap taman nasional, terdapat beberapa faktor eksternal yang diharapkan dapat mendukung keberhasilan pemberdayaan masyarakat. Faktor yang diharapkan dapat mendorong ataupun memperkuat perubahan perilaku masyarakat adalah pendekatan yang dilakukan oleh TNBBS yang terdiri atas kesepahaman, fasilitator, pendampingan, kelembagaan, bentuk kegiatan pemberdayaan, membangun jejaring kerja dan kemitraan, serta monitoring dan evaluasi. Berikut adalah pendekatan yang dilakukan dalam kegiatan pemberdayaan MDK:

Tabel 14 Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS No. Sub Variabel Kategori Lokasi Desa/Pekon

Sukaraja Kubu Perahu persen persen

Total persen 1. Kesepahaman 1. Sangat Rendah

2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 11 28 28 - 16,4 41,8 41,8 - 1 26 10 - 2,7 70,3 27,0 - 12 54 38 - 11,5 51,9 36,5 - 2. Kelembagaan 1. Sangat Rendah

2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 14 17 26 10 20,9 25,4 38,8 14,9 - 27 9 1 - 73,0 24,3 2,7 14 44 35 11 13,5 42,3 33,7 10,6 3. Fasilitator 1. Sangat Rendah

2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 1 12 47 7 1,5 17,9 70,1 10,4 - 19 16 2 - 51, 4 43,2 5,4 1 31 63 9 1,0 29,8 60,6 8,7 4. Pendampingan 1. Sangat Rendah

2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 3 16 42 6 4,5 23,9 62,7 9,0 - 17 20 - - 45,9 54,1 - 3 33 62 6 2,9 31,7 59,6 5,8 5. Bentuk Pemberdayaan 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 7 34 26 - 10.4 50.7 38.8 - - 25 12 - - 67.6 32.4 - 7 59 38 - 6.7 56.7 36.5 - 6. Jejaring kerja dan kemitraan 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 10 33 24 - 14,9 49,3 35,8 - 7 20 10 - 18,9 54,1 27,0 - 17 49 34,6 - 16,3 49,0 34,6 - 7. Monitoring dan Evaluasi 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 10 40 17 - 14,9 59,7 25,4 - 4 33 - - 10,8 89,2 - - 14 73 17 - 13,5 70,2 16,3 -

(22)

Kesepahaman

Kesepahaman dalam konteks ini berkaitan dengan informasi atau sosialisasi yang diberikan oleh pihak pengelola dalam hal ini TNBBS mengenai MDK serta sejauh mana masyarakat memahaminya. Dari hasil penelitian, sebagian besar responden (63,4 persen) mempunyai tingkat kesepahaman dalam kategori rendah. Hal ini berarti sebagian besar masyarakat peserta program pemberdayaan MDK belum memahami atau mengerti benar tentang kegiatan MDK sendiri. Masyarakat cenderung menganggap kegiatan pemberdayaan sebagai proyek, kewajiban pemerintah, bantuan maupun kompensasi atas tindakan untuk tidak merusak kawasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat belum menganggap bahwa upaya pemberdayaan adalah sebuah kebutuhan, yang selain ditujukan bagi kelestarian kawasan juga diarahkan bagi upaya peningkatan kesejahteraan.

Kelembagaan

Kelembagaan diuukur melalui keberadaan dan kejelasan aturan-aturan setempat dan adanya lembaga lain yang mendukung MDK. Kelembagaan, yang dalam hal ini adalah aturan-aturan yang ada berkaitan dengan MDK dan lembaga pendukung lain yang berperan di dalammya. Kelembagaan berada dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa aturan-aturan yang ada dalam kelembagaan MDK belum memadai baik intern kelompok maupun tingkat pekon sebagai regulator yang diharapkan dapat mendorong terbentuknya peraturan desa. Sementara itu kegiatan MDK juga belum didukung oleh lembaga lain. Lembaga yang pernah terlibat dalam kegiatan MDK di Pekon Sukaraja adalah WWF (World Wildlife

Fund). WWF memberikan bantuan kepada usaha produktif masyarakat terutama

produksi kopi untuk mendapat sertifikasi produk kopi legal yang bukan berasal dari hutan negara.

Fasilitator

Fasilitator adalah orang yang memberikan pendampingan dalam proses pemberdayaan masyarakat, diukur melalui kemampuannya dalam melakukan fungsi/perannya di bidang pemungkinan (enabling), penguatan (empowering), perlindungan (protecting), dan pendukungan (supporting) dalam rangka membantu masyarakat mampu berpartisipasi dan mandiri. Sebagian besar responden (60,6 persen) menyatakan bahwa penyuluh sebagai fasilitator mempunyai kemampuan baik. Hal ini berarti penyuluh mampu menjalin kedekatan hubungan dengan masyarakat, membangun kesepahaman, memberikan informasi, masukan dan saran yang bermanfaat, serta mempunyai keterampilan memadai berkaitan dengan kegiatan pemberdayaan.

Di Pekon Sukaraja, sebanyak 80,5 persen responden memberikan pernyataan bahwa kemampuan penyuluh dalam kategori baik. Sedangkan di Pekon Kubu Perahu hanya 48,6 persen yang menyatakan kemampuan penyuluh dalam kategori baik. Hal ini diperkuat dengan hasil uji beda nonparametrik Mann-Whitney yang menunjukkan adanya perbedaan nyata (p=0.002) di kedua lokasi

(23)

penelitian. Masyarakat Kubu Perahu menilai bahwa kemampuan belum memadai dalam membangun kedekatan hubungan, memberi saran atau masukan yang bermanfaat, fasilitasi membangun kemitraan dan kemampuan teknis.

Pendampingan

Pendampingan suatu proses atau mekanisme mendampingi masyarakat berupa interaksi dinamis antara fasilitator/pengelola dengan masyarakat sasaran pemberdayaan. Tabel berikut menunjukkan pendampingan yang dilakukan dalam pemberdayaan MDK di TNBBS. Sebanyak 65,4 persen responden menyatakan bahwa kegiatan pendampingan pemberdayaan MDK secara umum telah berjalan dengan baik. Pendampingan dalam hal ini meliputi intensitas interaksi penyuluh dengan masyarakat, kesesuaian tujuan program pemberdayaan dengan masyarakat, komunikasi yang terjadi, manfaat bagi masyarakat dan keseluruhan proses pembelajaran yang terjadi dalam kegiatan pemberdayaan.

Hasil uji beda nonparametrik Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan nyata (p=0.049) dalam hal pendampingan di kedua lokasi penelitian. Sebanyak 71,7 persen responden peserta pemberdayaan di Sukaraja menyatakan bahwa pendampingan di Sukaraja berjalan baik dan sangat baik. Sementara itu hanya 54,1 persen responden di Kubu Perahu yang menyatakan bahwa pendampingan di Kubu Perahu telah berjalan dengan baik. Pada umumnya masyarakat menginginkan frekuensi interaksi yang lebih sering dengan penyuluh sehingga mereka dapat menanyakan hal-hal yang belum mereka pahami.

Bentuk kegiatan pemberdayaan

Berdasarkan Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi (Dephut, 2008) bentuk kegiatan pemberdayaan merupakan kriteria penting dalam pemberdayaan MDK. Bentuk kegiatan pemberdayaan yang tepat sesuai dengan kondisi masyarakat sasaran diharapkan akan dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung efektifitas pemberdayaan. Dari hasil penelitian, secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk kegiatan pemberdayaan berada dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa proporsi bentuk kegiatan pemberdayaan belum seimbang atau belum terjadi kesesuaian (sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokasi) antara pemberdayaan dalam bentuk bantuan fisik, peningkatan kapasitas masyarakat, penguatan kelembagaan, pengembangan teknologi tepat guna, dan pengembangan usaha produktif.

Pengembangan jaringan kerja dan kemitraan

Jejaring kerja/kemitraan merupakan upaya pengembangan jejaring kerja atau mencari mitra yang mendukung kepentingan pemberdayaan diukur melalui ada tidaknya mitra dalam pemberdayaan MDK terkait dukungan dan peran di bidang masing-masing yang relevan. Pengembangan jaringan kerja berada dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa upaya yang dilakukan dalam mengembangkan jaringan kerja dan kemitraan dalam pemberdayaan MDK masih

(24)

belum memadai, masyarakat belum melakukan upaya pengembangan jaringan kerja atau kemitraan dengan pihak lain. Masyarakat cenderung pasif, dalam arti menunggu pihak lain datang dan atau masih tergantung pada pendamping untuk mengusahakannya.

Monitoring dan evaluasi

Kegiatan monitoring dan evaluasi diperlukan untuk mengetahui apakah kegiatan berjalan telah sesuai dengan yang diharapkan ataukah tidak. Monitoring berkaitan dengan bagaimana membimbing dan membantu masyarakat dalam proses belajar selama pelaksanaan kegiatan. Sedangkan evaluasi berkaitan dengan keputusan yang akan diambil dan bagaimana menerapkan hasil evaluasi tersebut. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa monitoring dan evaluasi termasuk dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa monitoring dan evaluasi yang dilakukan belum memadai. Monitoring dan evaluasi belum dilaksanakan pada semua kegiatan pemberdayaan MDK. Dari hasil wawancara dengan penyuluh, luasnya daerah binaan merupakan salah satu penyebab rendahnya frekuensi monitoring dan evaluasi. Sementara itu, dari hasil wawancara dengan responden, mereka menyatakan bahwa kegiatan monitoring dan evaluasi perlu dilakukan karena dengan adanya kegiatan tersebut akan menambah motivasi dan semangat dalam melaksanakan kegiatan.

Efektifitas Pemberdayaan

Partisipasi masyarakat

Pemberdayaan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan adalah bagaimana masyarakat memiliki kapasitas untuk memanfaatkan akses melalui partisipasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam rangka kesejahteraan (CANARI, 2002). Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi sebagai sesuatu yang teoritis melainkan alat untuk memandirikan masyarakat. Sebagai kegiatan untuk mengubah perilaku, pemberdayaan dikatakan efektif apabila telah terdapat perubahan perilaku ke arah poritif. Dengan demikian, partisipasi dan kemandirian merupakan perilaku yang diharapkan berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan. Partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam mengembangkan perilaku dibidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik sebagaimana dalam Tabel 15.

Gambar

Tabel 10 Desa di Sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Gambar 5 Komposisi penduduk Pekon Kubu Perahu berdasarkan etnis pemukim
Tabel 12 Distribusi responden pada berbagai karakteristik sosio-demografi
Tabel 13 Interaksi dan akses masyarakat terhadap sumber daya taman nasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis sampel menunjukkan bahwa dengan kandungan lemaknya yang rendah menyebabkan rumput laut digunakan sebagai salah satu bahan penyusun utama

Hasil ini sesuai dengan penelitian Pratami (2020) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan positif antara Orang terhadap penjualan, karena

1) Semangat dari anak-anak dan masyarakat, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ibu Amalia Zulfana bahwa faktor pendorong dalam menjalankan kegiatan yaitu ketika

Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian perlakuan buklet dengan pesan positif (PP) maupun negatif (PN) dalam penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang

Sementara pada kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan vegetasi yang mendominasi adalah Famili Dipterocarpaceae, Lauraceae, Myrtaceae, dan Fegaceae

Dari Tabel 28 dapat dilihat bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh orang tua dalam hal ini adalah tingkat pelibatan pemuda dalam kegiatan pertanian oleh orang tua memiliki

Kerusakan hutan khususnya hutan jati di sekitar kawasan hutan lindung Jompi didorong oleh meningkatnya kebutuhan masyarakat (lahan pertanian dan kayu),

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2007 Balai TN Karimunjawa merupakan Balai Taman Nasional dengan tipe B dengan struktur organisasi yang