• Tidak ada hasil yang ditemukan

Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Kedudukan

Personal Guarantor

Yang Telah Melepaskan Hak Istimewanya

Dalam Proses Kepailitan (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor

868 K/ Pdt.Sus/ 2010)

Claudia Anjani Zain, Teddy Anggoro

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

E-mail: claudiazain@yahoo.com

Abstrak

Dalam pemberian kredit, Bank biasanya mensyaratkan suatu jaminan atau guarantee, salah satunya dalam bentuk personal guarantee yang mana garantor diberikan hak istimewa oleh Undang-Undang guna melindungi kedudukannya sebagai penjamin. Apabila suatu debitur dalam keadaan tidak mampu membayar kepada kreditur utama maka seharusnya debitur itulah yang seharusnya melakukan pembayaran atas kewajibannya. Seorang personal guarantor dapat memiliki konsekuensi hukum yang jauh, dimana apabila syarat kepailitan telah terpenuhi, maka kreditur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap personal guarantor di Pengadilan Niaga. Namun, dalam perjanjian garansi seringkali diatur mengenai pelepasan hak istimewa garantor untuk menuntut lebih dahulu harta benda debitur untuk disita dan dijual demi melunasi utang-utangnya. Hal ini kerap kali menjadi dasar kreditur untuk mengajukan permohonan pailit terhadap guarantor. Personal guarantor dapat menjadi pihak yang dirugikan dikarenakan pelepasan hak istimewanya.

Kata kunci : Pailit, Penjamin Perorangan, Jaminan, Personal Guarantor

The Position of Personal Guarantor Who Has Discharged The Privileges in The Process Of Bankruptcy (Case Study: Supreme Court Decision No 868K/Pdt.Sus/2010)

Abstract

In order to grant a credit, banks usually require a guarantee. It can be a form of personal guarantee. Personal guarantor are given special privileges by law in order to protect his position as guarantor. If a debtor in a state where he can't afford to pay to the creditor, the personal guarantor is supposed to be the party who should fulfil the payments. A personal guarantor could have big legal consequences, where if requirements of bankruptcy are met, it follows that the creditor may file for a petition to declare bankruptcy of the personal guarantor on the Commercial Court. However, a guarantee agreement often arrange the discharge of guarantor’s privilege to go after and prosecute property of a debtor first in order to pay debtor’s debts. This frequently become the reason for creditor to file for a petition to declare against guarantor. Personal guarantor can have an inflicted loss because his privelege relinquishment. This thesis examine the position of the guarantor who has discharge his priveleges and the timing for filing the petition to declare against personal guarantor.

Keywords : Bankruptcy, Guarantee, Personal Guarantor, Personal Guarantee

Pendahuluan

Dana merupakan “oksigen” bagi suatu perusahaan dalam melakukan kegiatan usahanya. Seperti halnya manusia yang tidak mungkin hidup tanpa oksigen, perusahaan juga akan mati tanpa dana. Dana bagi perusahaan diperoleh dari berbagai sumber, baik dari modal

(2)

(equity) dan utang (loan).1 Oleh sebab itu, banyak sekali perusahaan yang meminjam uang yang dibutuhkan kepada pihak lain. Pihak yang memberikan pinjaman uang disebut kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut debitur atau si berutang. Hal ini juga berkaitan erat dengan asas kepercayaan dari kreditur, untuk debitur dapat mengembalikan pinjaman tersebut tepat pada waktunya.

Dalam perkembangannya sekarang ini dalam mengatasi kepailitan, sebuah perusahaan atau badan hukum memberikan suatu garansi atau jaminan kepada pihak pihak kreditur dalam pelunasan utangnya. Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu segala kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Namun jaminan secara umum ini masih dirasakan kurang memadai oleh kreditur sehingga seringkali kreditur meminta diberikan jaminan khusus. Jaminan khusus ini dapat berupa jaminan kebendaan dan jaminan

perorangan (borgtocht). Jaminan perorangan atau borgtocht ini jaminan yang diberikan oleh

debitur bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga

(penjamin/ guarantor) yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap debitur

maupun terhadap kreditur, bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan; dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka

pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut.2

Seorang penjamin memiliki hak istimewa yang terdapat dalam Pasal 1832 KUH Perdata yang salah satunya adalah untuk menuntut lebih dahulu pertanggungjawaban harta debitur utama untuk lebih dahulu disita dan dijual. Namun biasanya dalam perjanjian personal guarantor biasanya untuk melepaskan hak istimewa ini dijadikan salah satu klausulnya. Selama ini sering tidak disadari baik oleh bank maupun oleh para pengusaha bahwa seorang personal guarantor dapat mempunyai konsekuensi hukum yang jauh apabila personal guarantor itu tidak melaksanakan kewajibannya. Konsekuensinya ialah bahwa guarantor dapat dinyatakan pailit. Kepailitan ini diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

Dalam kasus yang terjadi antara Standard Chartered Bank melawan Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra, para termohon merupakan penjamin dari PT Handalan Putera Sejahtera, untuk selanjutnya disebut sebagai PT HPS. PT HPS merupakan                                                                                                                

1 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan, (Jakarta: Grafiti, 2010), hal 295.

(3)

nasabah dari Standard Chartered Bank dan mengadakan Perjanjian Fasilitas untuk fasilitas Ekspor dengan Standard Chartered Bank senilai Rp1,5 miliar. Sehubungan dengan perjanjian kredit tersebut, hadirlah Tundjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra sebagai personal guarantor dari PT HPS berdasarkan perjanjian jaminan pribadi form Guarantee. Sempat dilaksanakan restrukturisasi utang namun hal ini tak juga dapat menyelamatkan PT HPS. PT HPS dinilai gagal memenuhi kewajibannya sebagai debitur karena tidak bisa memenuhi perjanjian tersebut. Oleh karena hal inilah, Standard Chartered Bank mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada para penjamin PT HPS yaitu Tundjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra.

Tinjauan Teoritis

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan mendefinisikan kepailitan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam

undang-undang.3 Personal Guarantor adalah perorangan yang bertindak sebagai penjamin.

berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin), bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan dan penjamin bersedia untuk melaksankan kewajiban debitur tersebut bila debitur tidak melaksanakan kewajibannya. Dengan adanya garansi/jaminan ini, pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang

debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut.4Personal

guarantor memiliki hak istimewa yaitu hak yang dimiliki seorang penjamin untuk menuntut

agar harta kekayaan milik si berutang utama (debitur) terlebih dahulu disita dan

dijual/dilelang, jika hasil penjualan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi

utangnya, kemudian baru harta kekayaan penjamin,5 hak untuk meminta pemecahan uang,6

dan hak untuk dibebaskan dari penjaminan bilamana karena salahnya kreditur.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif, di mana data penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan (library research),                                                                                                                

3 Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443, Ps. 1 angka 1.

4  Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hal.151.  

5Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 8, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Ps. 1831.

(4)

yaitu penelitian dengan cara menelusuri dan menganalisis bahan pustaka dan dokumen yang

berhubungan dengan substansi penelitian.7

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan

mengikat kepada masyarakat.8 Bahan hukum primer yang digunakan dalam

penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan di dalam skripsi ini.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang isinya memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.9 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini adalah buku, jurnal, skripsi, tesis, dan data dari internet.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia dan kamus.

Dari sudut sifatnya, penulisan ini tergolong dalam penulisan deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis suatu gejala atau keadaan

secara teliti dan menganalisis keadaan tersebut.10

Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan dinyatakan secara tertulis atau

lisan dan perilaku nyata.11

Pembahasan

Jaminan diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dalam Pasal 1131 KUH Perdata dapat disimpulkan seluruh harta dari debitur menjadi jaminan dan tanggungan atas seluruh hutangnya dimana dengan kata lain bertujuan untuk menjamin kreditur mendapatkan kepastian atas pelunasan piutangnya. Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa semua kreditur mempunya kedudukan yang sama dan tidak ada                                                                                                                

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet 8, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 14.

8 Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 52.

9Ibid.

10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press), 2008), hal. 10.

(5)

yang didahulukan dalam pemenuhan piutangnya (kreditur konkuren) dan masing-masing kreditur tersebut memperoleh pembayaran yang seimbang dengan besarnya piutang masing-masing.

Jaminan perorangan atau dapat disebut perjanjian penanggungan (borgtocht) adalah

jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu12, jadi jaminan yang

diberikan kepada kreditur bukanlah benda, melainkan perseorangan, yakni seseorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, baik terhadap kreditur maupun debitur. Borgtocht

ini lain daripada jaminan yang merupakan gadai, hipotik, atau fidusia, karena borgtocht ini

merupakan jaminan yang dilakukan oleh seseorang atau jaminan pihak ketiga (persoonlijk).

Pihak ketiga ini dapat berupa pribadi kodrati yaitu orang (personal guarantee) atau dapat

berupa badan hukum (corporate guarantee).

Pengaturan mengenai borgtocht ini diatur dalam Buku III Bab 17 KUH Perdata Pasal 1820-1850 tentang Penanggungan. Dimana pasal 1820 KUH Perdata berbunyi:

“Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ke tiga guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si

berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.” 13

Adapun ciri-ciri dari jaminan perorangan adalah sebagai berikut: 14

• mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu;

• hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;

• seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan bagi pelunasan utang;

• menimbulkan hak perorangan yang mengandung asas kesamaan atau

keseimbangan (konkuren) artinya tidak membedakan mana piutang yang terjadi lebih dahulu dan yang mana terjadi kemudian.

• jika suatu saat terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari

benda-benda jaminan dibagi diantara para kreditur seimbang dengan besarnya

piutang masing-masing.15

Dalam hal tuntutan langsung kepada penjamin/borg, apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya, kreditur dapat menuntut agar penjamin melaksanakan kewajiban debitur sehingga akan terlihat bahwa pihak yang dituntut untuk melakukan                                                                                                                

12 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan

Jaminan Perorangan, ditulis dalam rangka kegiatan Badan Pembinaan Hukum Nasional Berupa Proyek Penulisan Karya Ilmiah,Tahun 2001, hal. 47.

13Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), op.cit., Ps. 1820.

14 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid 2, (Jakarta: Ind-Hill Co, 2002), hal. 16.

(6)

pemenuhan kewajiban pertama kali adalah debitur, dan dalam hal ini penjamin hanya menjadi ‘cadangan’. Tuntutan langsung kepada penjamin hanya diperbolehkan apabila penjamin telah

melepaskan hak istimewanya secara tegas dalam perjanjian borg tersebut. Hak istimewa

tersebut adalah hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht van uitwinning) yang diatur

dalam Pasal 1831-1832 KUH Perdata.

Dalam kasus kepailitan Tundjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra sebagai personal guarantor dari PT HPS. Sengketa ini berkaitan dengan perjanjian facility agreement No.PK/SME/195/VII/08 tertanggal 1 Juli 2008 antara Pemohon Pailit dengan PT HPS dimana Pemohon Pailit menyetujui untuk menyediakan pembiayaan eksport kepada PT HPS. Nilai kontrak kedua belah pihak mencapai Rp1,5 miliar. Atas dasar perjanjian itulah Pemohon Pailit menyetujui kemudian mencairkan dana sebanyak Rp1,5 miliar kepada PT HPS. Di

dalam facility agreement tersebut, disebutkan bahwa PT HPS telah dijamin secara pribadi

oleh Tundjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra (untuk selanjutnya disebut sebagai “Termohon Pailit”). Setelah dilakukan restrukturisasi utang pun PT HPS tidak bisa membayar kewajibannya kepada Standar Pemohon Pailit. Dikarenakan hal inilah, Pemohon Pailit mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada para Termohon Pailit.

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memeriksa dan

mengadili perkara ini dan mengambil putusan, yaitu putusan No.

53/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST yang pada intinya menolak permohonan Pemohon Pailit Standard Chartered Bank untuk seluruhnya dimana unsur dua atau lebih kreditur dianggap tidak terpenuhi dengan sempurna. Terhadap putusan tersebut, Pemohon Pailit mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dan telah diputus dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 868 K/Pdt.Sus/2010 tertanggal 15 Desember 2014 yang mengabulkan permohonan kasasi Pemohon Kasasi dan menyatakan kedua penjamin PT HPS, Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra, dalam keadaan pailit.

Seorang personal guarantor tentunya memiliki hak dan kewajiban yang telah diatur

oleh Undang-Undang. Dalam kasus ini para guarantor yaitu Tunjung Rachmanto Setyawan

dan Rudi Syahputra telah mengikatkan diri untuk menjadi penjamin PT Handalan Putra Sejahtera (PT HPS). Guarantor yang tidak melepaskan hak istimewanya berhak untuk menuntut kreditur untuk menagih kepada debitur utama terlebih dahulu. Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra dalam hal ini menjadi penjamin PT Handalan Putra Sejahtera (PT HPS) dengan Standard Chartered Bank telah melepaskan hak istimewanya dalam sebuah form Guarantee dan Facility Agreement. Akibat adanya perjanjian Guarantee ini, Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra tidak lagi memiliki hak-hak istimewa yang telah

(7)

diberikan oleh Undang-Undang kepada mereka. Mengingat konsep perjanjian, berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, para pihak harus mematuhi apa yang telah disepakatinya dimana dalam hal ini para guarantor harus mematuhi apa yang telah menjadi kewajiban sebagai penanggung yang telah melepaskan hak-haknya berdasarkan perjanjian ini, yaitu menjalankan

kewajibannya sebagai personal guarantor dimana ia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik

kembali menjamin kepada Standard Chartered Bank sebagai kewajiban terpisah dan independen dari Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra selaku penjamin, pembayaran jatuh tempo dan tepat waktu oleh PT HPS atas jumlah berapapun sifatnya yang jatuh tempo dan/atau menjadi jatuh tempo dari PT HPS berdasarkan atau menurut perjanjian kredit.

Berdasarkan kasus ini, para penjamin awalnya menjamin secara pribadi masing-masing sejumlah Rp750 juta dan PT HPS sendiri menjamin dengan gadai deposito sejumlah Rp 312.500.000,00. Ditegaskan kembali dalam isi perjanjian bahwa para penjamin dengan ini tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali menjamin kepada Standard Chartered Bank. Kemudian setelah restrukturisasi utang jumlah utang menjadi Rp 1.187.500.000,00, dalam waktu 48 bulan, penjamin menjamin atas jumlah berapapun utang dari debitur. Majelis Hakim

pula dalam pertimbangan hukumnya dalam Putusan No

53/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. menyatakan bahwa dalam menjamin utang dari perusahaan, penjamin dapat menjamin sebagian atau seluruh dari utang si debitur.

Sesuai dengan konsepnya dalam penanggung (guarantor) ini, pihak kreditor dapat

meminta pembayaran utang apabila pihak debitur tidak mampu membayar utang-utangnya kepada kreditur. Dalam kasus ini, debitur utama yaitu PT HPS tidak sedikitpun membayar utangnya kepada Pemohon Pailit.

Kemudian Termohon Pailit dalam Jawaban berpendapat bahwa seharusnya Pemohon Pailit terlebih dahulu mengajukan permohonan pailit terhadap PT HPS selaku nasabah dan debitur utama. Menurut Termohon Pailit, hal ini sangatlah janggal dan aneh dikarenakan PT HPS selaku peminjam dan yang telah menikmati fasilitas kredit. Penulis menilai Jawaban Termohon tidaklah tepat. Dalam hak-hak istimewa telah dilepaskan, penjamin dapat dipailitkan bahkan tanpa mengikutsertakan debitur utama. Hal ini disebabkan oleh terjadinya peralihan dimana penjamin dapat beralih kedudukannya menjadi debitur sebagai konsekuensi dilepaskannya hak-hak istimewanya yang diberikan Pasal 1832 KUH Perdata sebagai seorang personal guarantor. Hal ini juga ditegaskan dalam permohonan Kasasi dimana kedua

(8)

penjamin selaku penjamin utang PT HPS masing-masing telah melepaskan hak istimewanya

sesuai Pasal 1837 KUH Perdata sehingga dapat dimohonkan pailit oleh Pemohon Pailit.16

Termohon Pailit berpendapat dalam Jawaban bahwa Termohon Pailit belum punya kewajiban untuk melaksanakan kewajiban mereka selaku penjamin utang PT HPS dikarenakan belum ada bukti dimana PT HPS tidak bisa membayar utangnya kepada Pemohon Pailit.

Penanggung dapat menjadi debitur apabila:

1. Debitur utama cidera janji atau/ dan telah disita dan dilelang hartanya, tetapi

hasilnya tidak cukup untuk membayar utangnya, maka penanggung mempunyai kewajiban untuk melunasi utang tersebut atau;

2. Apabila penanggung melepaskan hak isitmewanya untuk menuntut agar harta

dan benda Debitur lebih dahulu disita dan dijual seperti sebagaimana diatur dalam 1831 KUH Perdata.

Penulis berpendapat bahwa Majelis Hakim telah tepat dalam menyatakan para termohon

pailit yaitu Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra adalah seorang personal

guarantor atas fasilitas kredit yang diterima dari Standard Chartered Bank oleh PT HPS, dimana sehubungan dengan perjanjian fasilitas kredit tersebut Termohon Pailit telah melepaskan hak-hak istimewa mereka. Sehingga ketika PT HPS melakukan wanprestasi, maka kedudukan Termohon Pailit dapat beralih menjadi debitur yang dapat dimohonkan pailit, dengan memenuhi syarat untuk seorang dinyatakan pailit yaitu mempunyai dua/lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih yang diatur dalam Pasal 2 UUK-PKPU.

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU telah terpenuhi.17 Penulis juga setuju dalam hal

pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Niaga berkesimpulan bahwa ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU telah cukup terbukti bahwa Para Termohon Pailit memang memiliki utang kepada kreditur-kreditur lain, maka permohonan Standard Chartered Bank dipandang beralasan dan menurut hukum dan patut dikabulkan.

Dalam hal masing-masing penjamin disini menjamin atas utang PT HPS kepada Standard Chartered Bank, berdasarkan Pasal 1836 KUH Perdata mengatur apabila terdapat beberapa                                                                                                                

(9)

orang yang telah mengikatkan diri sebagai personal guarantor untuk seorang kreditor yang sama, tapi pula untuk utang yang sama, maka masing-masing adalah terikat untuk seluruh utang. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim Mahkamah Agung juga telah mempertimbangkan bahwa pelepasan hak istimewa sesuai Pasal 1837 KUH Perdata yang dilakukan Para Termohon Pailit sehingga dapat dimohonkan pailit oleh Pemohon Pailit.

Dapat disimpulkan dalam kasus ini bahwa adalah benar apabila Majelis Hakim berpendapat bahwa para termohon pailit benar melepaskan hak istimewanya yang diberikan oleh Undang-Undang dan dapat dibuktikan dalam persidangan, maka ia menggantikan kedudukan debitur utama dalam melaksanakan kewajiban debitur utama terhadap kreditur sehingga termohon pailit dapat dikategorikan sebagai debitur. Namun, keanehan lain yang Penulis lihat adalah konsep Kepailitan. Dalam Undang-Undang Kepailitan memang tidak

dijelaskan secara rinci dan lengkap mengenai kedudukan seorang penjamin, baik corporate

guarantee atau personal guarantee. Dalam kepailitan memang hanya disebutkan mengenai definisi debitur yang tertera pada Pasal 2 UUK-PKPU. Definisi yang tertera di dalam pasal ini juga cukup luas dimana dikatakan bahwa debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan. Mencermati konsep kepailitan, seharusnya memang dalam kasus ini pihak yang ditagih adalah PT HPS, bukan para penjaminnya. Akan tetapi debitur justru lebih memilih untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada penjamin. Walaupun hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan KUH Perdata dan juga tidak dilarang secara gamblang dalam UUK-PKPU, namun hal ini juga melahirkan celah yang dapat menimbulkan ketidakadilan.

Dalam menentukan pernyataan pailit terhadap penanggung atau penjamin perlu diperhatikan apakah penanggung atau penjamin tersebut telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya harga benda PT HPS sebagai debitur lebih dahulu disita dan dijual, atau tidak. Oleh sebab inilah Penulis membahas pokok permasalahan mengenai hak istimewa di dalam pokok permasalahan pertama dikarenakan hal ini sangatlah berkaitan.

Dalam hal penanggung atau penjamin tidak melepaskan hak istimewanya seperti yang dijelaskan diatas, maka waktu pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap penanggung atau penjamin adalah setelah debitur dinyatakan pailit terlebih dahulu. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata yang menentukan bahwa penanggung atau penjamin tidak diwajibkan membayar utang debitur kepada kreditur selain apabila debitur lalai dan harta kekayaan debitur telah terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Setelah debitur dinyatakan pailit dan harta kekayaan debitur dijual namun belum juga dapat melunasi utang-utangnya, maka kepada setelah itu barulah kreditur dapat menagih kepada penjamin

(10)

atau penanggung. Apabila penjamin atau penanggung tidak mau membayar, maka kreditur dapat memohon pernyataan pailit atas penanggung. Dengan kata lain, pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap penjamin yang tidak melepaskan hak istimewanya adalah setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur utama.

Dalam hal pernyataan pailit terhadap penanggung atau penjamin yang telah melepaskan hak istimewanya, dapat diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur, atau bahkan dapat diajukan tanpa mengajukan terlebih

dahulu permohonan pernyataan pailit terhadap debitur.18 Hal ini diartikan apabila debitur lalai

memenuhi kewajibannya, maka kreditur dapat langsung menagih utang kepada penanggung atau penjamin. Namun dalam hal ini, kapasitas penjamin adalah sebagai penjamin, bukan sebagai debitur yang bersama-sama dengan debitur utama.

Apabila dikaitkan dengan kasus ini, Termohon I dan Termohon II dapat diajukan permohonan pernyataan pailit tanpa mengajukan terlebih dahulu permohonan pernyataan pailit terhadap debitur. Hal ini disebabkan Termohon I dan Termohon II telah melepaskan hak istimewa yang telah diberikan oleh undang-undang. Hal ini merupakan konsekuensi dilepaskannya hak-hak istimewa seorang personal guarantor. Dengan demikian hal ini sudah sejalan dengan Pasal 1832 KUH Perdata. Disisi lain, apabila melihat ketentuan yang ada dalam Hukum Kepailitan, maka seharusnya PT HPS lah yang melakukan pelunasan utang. Akan tetapi, mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada penjamin dari PT HPS tidaklah melanggar hukum.

Seperti halnya dalam Putusan Hakim Mahkamah Agung No. 868 K/Pdt.Sus/2010 dikatakan bahwa untuk dimungkinkan untuk menyatakan pailit secara bersamaan terhadap debitur dan penjamin. Kreditur dapat mengajukan permohonan dan mendaftarkan tuntutannya 100% (seratus persen) secara utuh dalam kepailitan terhadap debitur dan penjamin.

Proses pengajuan pernyataan pailit terhadap penanggung atau penjamin didasarkan pada Pasal 1831 dan Pasal 1832 KUH Perdata serta Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU. Berbeda halnya apabila ia tidak melepaskan hak-hak istimewanya. Seorang penjamin dapat menuntut kreditur terlebih dahulu.

Oleh karena dalam kasus ini kedua penjamin yaitu Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra keduanya melepaskan segala hak-hak istimewa mereka yang diberikan Undang-Undang maka mereka dapat dituntut langsung oleh kreditur atas utang yang dimiliki debitur utama. Kecuali, setelah diberitahukan dan ditegur sampai pada saat penanggung atau                                                                                                                

(11)

penjamin dituntut pertama kali di muka hakim juga tidak meminta penyitaan dan penjualan kebendaan debitur dan penanggung atau penjamin juga tidak melakukan kewajibannya maka sesuai rumusan pasal 1238 KUH Perdata, penanggung atau penjamin dapat dinyatakan lalai,

dan atas kelalaiannya tersebut penanggung atau penjamin dapat dipailitkan.19

Dalam hal ini Pemohon juga telah membuktikan bahwa Termohon I dan Termohon II mempunyai lebih dari satu kreditur seperti yang disyaratkan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU. Hal ini pula sejalan dengan azas yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata Pasal 163 HIR.

Dari hal inilah dapat dilihat bahwa dengan dilepaskannya hak istimewa maka juga perlu dibuktikan bahwa hak istimewa tersebut memang dilepaskan oleh pihak yang berkaitan sesuai dengan prinsip siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia harus membuktikan. Dengan dapat dibuktikannya Termohon Pailit memiliki beberapa utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, maka dari itu Termohon Pailit I dan Termohon Pailit II dapat dimohonkan pailit karena telah memenuhi syarat Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU juncto Pasal 1831 KUH Perdata. Sehingga Putusan Pengadilan Niaga yang menyatakan menolak permohonan pernyataan pailit

terhadap Termohon I dan II tidaklah tepat. Namun, adalah benar judex factie memang telah

salah dan keliru serta tidak cermat dalam mempertimbangkan seluruh fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.

Penulis menganalisa bahwa adanya pelepasan hak istimewa oleh penjamin adalah pertimbangan utama mengapa Majelis Hakim menyatakan bahwa penjamin dapat dipailitkan.

Maka dari itu, hal yang perlu dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu bahwa terdapat

utang milik debitur yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Kemudian apakah terdapat penjamin dari debitur utama tersebut. Penjamin yang melepaskan hak istimewa adalah penjamin yang dapat dimohonkan pernyataan pailit tanpa memailitkan debitur terlebih dahulu. Oleh sebab itu, syarat utama apabila ingin memailitkan penjamin adalah pemohon harus dapat membuktikan bahwa apakah benar penjamin menjadi penjamin yang dapat ditagih atas utang-utang debitur utama dan apakah ia sudah melepaskan hak istimewanya sehingga penjamin bisa dipailitkan tanpa memailitkan debitur utama.

Penulis menilai Majelis Hakim Pengadilan Niaga kurang tepat dalam menjatuhkan putusan pailit terhadap Para Termohon Pailit. Sebab, persyaratan adanya minimal dua kreditur

telah terpenuhi pada diri para termohon sebagai guarantor yang telah berstatus debitur

                                                                                                               

19 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal 159.

(12)

dimana telah terbukti. Oleh karenanya, seharusnya Pengadilan Niaga menerima permohonan pailit Pemohon.

Terlebih lagi dalam putusannya, Pengadilan Niaga kurang lengkap dalam

mempertimbangkan dapat tidaknya pernyataan pailit dijatuhkan kepada guarantor. Dalam

pertimbangannya, Pengadilan Niaga tidak jelas dalam mensyaratkan kedudukan garantor

sebagai penjamin dalam Pasal 1832 Butir 1 KUH Perdata, bukan debitur yang bersama-sama debitur utama, dapat dinyatakan pailit seperti yang Penulis sebutkan diatas. Sebab bagaimanapun juga hal ini penting untuk dijadikan pertimbangan yang dituliskan dalam putusan mengingat pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU mensyaratkan seseorang haruslah berstatus sebagai debitur untuk dapat dinyatakan pailit dan bagaimana kedudukan Para Termohon Pailit dalam hal ini menjadi bisa dipailitkan.

Dalam hal yang tertuang dalam dokumen sidang, Kuasa Hukum Termohon Pailit heran mengapa permohonan pailit dilayangkan kepada kliennya selaku penjamin dimana beliau merasa secara hukum adalah sangat janggal dan aneh karena PT HPS selaku peminjam dan yang telah menikmati fasilitas kredit, tidak dijadikan sebagai termohon pailit dalam

permohonan pailit aquo. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh dan janggal dikarenakan telah

ada beberapa putusan Mahkamah Agung yaitu No. 762 K/PDT.SUS/ 2010 tanggal 29 September 2010 jo. Putusan No. 03/PAILIT/2009/ PN.NIAGA/ MDN., tanggal 10 Februari 2010 dalam Perkara Permohonan Kepailitan yang diajukan oleh CITIBANK N.A, selaku Pemohon Pailit terhadap Sdr. Wijayanto, selaku Termohon Pailit I dan Sdr. Shelly Kustamin, selaku Termohon Pailit II, telah mengabulkan Permohonan Pailit terhadap para penjamin tanpa menarik Debitur Utama (PT Berkah Sawit Sumatera) sebagai Termohon Pailit. Memang banyak sekali pendapat yang muncul mengenai hal ini seperti halnya PT HPS lah yang menikmati kredit fasilitas tetapi justru Standard Chartered memohonkan pailit terhadap para penjaminnya. Hal inilah yang Penulis lihat sebagai konsekuensi pelepasan hak istimewa dari Termohon Pailit I dan II sebagai penjamin PT HPS seperti yang telah Penulis jelaskan di atas.

Mencermati hal ini, Penulis melihat terjadi sebuah celah yang dirasa menjadi suatu ketidakadilan bagi penjamin. Hal ini terjadi ketika seorang debitur utama yaitu PT HPS tidak melunasi utang-utangnya bukan diakibatkan oleh ketidakmampuan si PT HPS untuk melunasi, namun PT HPS hanya tidak mau melunasi. Penulis merasa hal ini sangat mungkin menjadi sebuah dasar pemanfaatan debitur terhadap para penjamin. Debitur bisa saja bertindak ‘semena-mena’ untuk tidak mau membayar utangnya, bukan dikarenakan debitur tidak mampu. Jika dilihat dari sisi penjamin, hal ini tentunya membuat penjamin dalam kondisi

(13)

yang kurang beruntung. Seorang penjamin tentunya ingin debitur utama seperti PT HPS, sukses dan menjalani bisnis atau perusahaannya dengan berkembang. Bisa dilihat dalam hal ini bahwa penjamin memiliki niat baik untuk menjamin utang-utang debitur utama. Sungguh menyedihkan apabila seorang penjamin dipailitkan namun debitur utama hanya dalam keadaan tidak mau membayar, bukan dalam keadaan tidak mampu membayar.

Untuk membela hal ini, tentunya debitur memiliki pemikiran bahwa perjanjian penjaminan antara debitur dan penjamin tidaklah melanggar ketentuan yang terdapat di KUH Perdata. Debitur juga tentunya akan membahas terkait Buku 3 KUH Perdata yang bersifat bebas dan terbuka serta dapat disimpangi dengan isi perjanjian diantara para pihak. Hal ini juga disebabkan oleh undang-Undang terkait kepailitan di Indonesia yang mensyaratkan seseorang dapat dipailitkan hanya bila dapat dibuktikan bahwa ia mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. UUK-PKPU memang sudah banyak mengundang banyak tanggapan dari berbagai pihak. UUK-PKPU seakan memperbolehkan bahwa kepailitan itu bukan dikarenakan debitur tidak bisa membayar, tetapi bisa juga karena tidak mau membayar. Hal inilah yang menurut Penulis sangat bisa melahirkan ketidakadilan terhadap penjamin.

UUK-PKPU membuka kesempatan yang cukup luas kepada kreditor untuk mempailitkan suatu debitor. Asalkan permohonan kepailitan memenuhi Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Alhasil, debitor dapat diputus pailit tanpa melihat kemampuan untuk menyelesaikan utang. Hal ini yang mendasari usulan untuk merevisi UUK-PKPU agar

menggunakan konsep insolvency test dilakukan untuk menguji kemampuan debitur dalam

membayar kewajibannya. Hal ini menimbulkan banyak sekali perdebatan dikarenakan kedua konsep mengenai insolvency test dan konsep yang dianut Indonesia saat ini.

Tentunya terdapat perbedaan konsekuensi hukum yang terjadi ketika kreditur memilih untuk memohon pernyataan pailit terhadap penjamin, bukannya debitur utama. Konsekuensi yang timbul dari hal ini adalah debitur utama tidak lagi memiliki kewajiban membayar kepada kreditur, namun penjamin yang dalam hal ini telah melepaskan hak istimewanya menanggung semua kewajiban tersebut. Sehingga tidak terjadi likudasi terhadap harta kekayaan debitur utama. Hal ini lah yang Penulis nilai merupakan celah ketidakadilan seperti yang Penulis sebutkan diatas.

Berbeda halnya jika kreditur memilih untuk memohon pernyataan pailit terhadap debitur utama. Konsekuensi hukum yang akan timbul adalah ketika perusahaan tersebut dinyatakan pailit, maka akan berdampak pada likuidasi. Apabila harta kekayaan debitur telah disita dan dilelang tetapi tidak cukup untuk melunasi seluruh utangnya sehingga masih terdapat sisa

(14)

utang yang belum terbayar atau telah terbukti debitur telah tidak memiliki harta apapun lagi atau debitur utama telah dinyatakan pailit oleh kreditur lain, baru kemudian kreditur dapat menagih utang debitur utama kepada penjamin.

Dapat disimpulkan bahwa pada prakteknya, terdapat celah yang dapat melahirkan ketidakadilan bagi penjamin. Penulis setuju dengan pendapat J Satrio yang mengatakan bahwa penanggungan memang bisa membawa konsekuensi yang luas bagi borg, maka kepada borg perlu diberikan perlindungan. 20 Kondisi debitur tidak mau membayar sangat memungkinkan membuat kedudukan penjamin menjadi ‘tameng’ dalam perkara kepailitan. Terlebih lagi peraturan perundang-undangan yang ada tidak mengatur secara detail mengenai hal ini, seperti KUH Perdata juga hanya mengatur mengenai hak-hak istimewa, UUK-PKPU

tidak mengatur secara spesifik mengenai penjaminan atau personal guarantor dan

UUK-PKPU yang melahirkan kesempatan yang luas kepada kreditur mempailitkan seorang debitur.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian hukum mengenai kedudukan personal guarantor yang

telah melepaskan hak istimewanya dalam proses kepailitan, Penulis mencoba memberikan suatu kesimpulan dengan menjawab pokok-pokok permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada pembatasan terhadap seorang personal guarantor yang telah melepaskan

hak istimewanya. Memang akta-akta dalam perjanjian dalam kasus ini disebut sebagai form guarantee, lazim dibuat janji-janji khusus antara kreditur dan garantor, dimana dimaksudkan untuk berjanji agar garantor melepaskan hak-haknya tertentu sebagaimana telah diberikan oleh undang-undang dalam rangka menghindari berlakunya ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Hal ini melahirkan konsekuensi pelepasan hak istimewa itu menyebabkan dirinya menjadi pihak yang melunasi utang debitur utama jika memang debitur utama wanprestasi, yang jumlah utangnya mungkin spesifik tertera atau menjamin berapapun dalam facility agreement dan form guarantee.

Konsep perjanjian berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, para pihak harus mematuhi apa yang telah disepakatinya dimana dalam hal ini para guarantor harus mematuhi apa yang telah menjadi kewajiban sebagai penanggung yang telah melepaskan hak-haknya

berdasarkan perjanjian ini, yaitu menjalankan kewajibannya sebagai personal

                                                                                                               

20 J. Satrio, Hukum Jaminan: Hak-Hak Jaminan: Hak-Hak Jaminan Pribadi, (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1996), hal. 18.

(15)

guarantor dimana ia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali menjamin kepada Standard Chartered Bank sebagai kewajiban terpisah dan independen dari Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra selaku penjamin, pembayaran jatuh tempo dan tepat waktu oleh PT HPS atas jumlah berapapun sifatnya yang jatuh tempo dan/atau menjadi jatuh tempo dari PT HPS berdasarkan atau menurut perjanjian kredit.

2. Waktu pengajuan permohonan pailit terhadap penanggung atau penjamin

memperhatikan ketentuan yang mengatur tentang adanya pelepasan hak istimewa untuk menuntut supaya harta benda Debitur lebih dahulu disita dan dijual, atau tidak.

Apabila personal guarantor melepaskan hak istimewanya yang diatur dalam 1832

KUH Perdata, maka waktu pengajuannya adalah bersamaan dengan pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur, bahkan dapat diajukan tanpa mengajukan terlebih dahulu permohonan pailit terhadap debitur. Adapun syarat-syarat

pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap personal guarantor atau penjamin

pada dasarnya sama dengan syarat-syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit

terhadap debitur. Pembeda keduanya adalah terhadap personal guarantor, selain

memperhatikan Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU harus juga memperhatikan Pasal 1832 butir (1) KUH Perdata yang mencantumkan hal terkait hak istimewa. Seorang penanggung tidaklah dapat dimohonkan kepailitan tanpa memailitkan debitur utama terlebih dahulu sepanjang ia belum melepaskan hak istimewanya.

Kreditur memiliki hak untuk menuntut langsung penjamin sebagai pihak Tergugat di pengadilan tanpa menggugat kreditur terlebih dahulu atau tanpa mengikutsertakan

debitur. Hal ini diperbolehkan dengan kondisi21:

1. Penjamin telah secara tegas melepaskan atau gugurnya hak istimewa penjamin

yaitu untuk menuntut lebih dulu (voorrecht van uitwinning);

2. Penjamin mengikat diri secara tanggung renteng dengan debitur;

3. Debitur dalam keadaaan pailit;

4. Debitur lalai untuk memajukan hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht

van uitwinning) sebagai jawaban pertama dalam persidangan di muka hakim. Dalam kasus ini, hal yang terjadi adalah kondisi pada poin pertama. Pelepasan hak istimewa oleh penjamin adalah pertimbangan utama mengapa Majelis Hakim menyatakan bahwa penjamin dapat dipailitkan. Maka dari itu, hal yang perlu dilakukan dalam memailitkan penjamin adalah:

                                                                                                               

(16)

• memastikan terlebih dahulu bahwa terdapat utang milik debitur yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih;

• memastikan terdapat penjamin atau beberapa penjamin dari debitur utama

• terdapat perjanjian pelepasan hak istimewa sesuai Pasal 1832 Ayat (1) KUH

Perdata dan penjamin berkedudukan menjadi pihak yang dapat dimohonkan pernyataan pailit oleh kreditur tanpa memailitkan debitur terlebih dahulu. Pengadilan Niaga dalam Putusan MA No. 868 K/Pdt.Sus/2010 kurang lengkap dalam mempertimbangkan kedudukan penjamin dalam pernyataan pailit kepada Tunjung Rachmanto Setyawan dan Rudi Syahputra. Majelis Hakim hanya menyebutkan bahwa

sebagai personal guarantor dari PT HPS maka penjamin kemudian berkedudukan

sebagai debitur. Pada tingkat Pengadilan Niaga, Majelis Hakim juga kurang lengkap dalam mempertimbangkan dapat tidaknya pernyataan pailit dijatuhkan kepada personal guarantor. Dalam pertimbangannya Pengadilan Niaga tidak secara detail menjelaskan kedudukan personal guarantor dalam hal kapasitasnya sebagai penjamin, bukan debitur utama.

Melihat hal ini terjadi sebuah celah yang dirasa menjadi suatu ketidakadilan bagi penjamin ketika seorang debitur utama tidak melunasi utang-utangnya bukan diakibatkan oleh ketidakmampuan si debitur untuk melunasi, namun debitur hanya tidak mau melunasi. Dalam konsep dasar kepailitan, PT HPS adalah pihak yang seharusnya dimohonkan pernyataan pailit. Hal ini juga ditambah dengan terlalu luasnya kesempatan kreditor untuk mempailitkan suatu debitor dilihat dari syarat kepailitan dan tidak pengaturan terkait penjaminan di UUK-PKPU. Terlebih lagi dalam praktek, banyak sekali celah yang dapat melahirkan ketidakadilan. Banyak sekali harapan dari berbagai pihak untuk UUK-PKPU agar menggunakan konsep insolvency test dilakukan untuk menguji kemampuan debitur dalam membayar kewajibannya.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian hukum dan kesimpulan yang telah dijabarkan, maka Penulis mencoba untuk memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Majelis Hakim Pengadilan Niaga hendaknya lebih lengkap dalam mempertimbangkan

dapat tidaknya pernyataan pailit dijatuhkan kepada guarantor. Dalam

pertimbangannya Pengadilan Niaga perlu mempertimbangkan lebih lengkap

kedudukan personal guarantor selaku penjamin untuk dapat dipailitkan. Hal ini

(17)

UUK-PKPU mensyaratkan seseorang haruslah berstatus sebagai debitur untuk dapat dinyatakan pailit.

2. UUK-PKPU hendaknya dilakukan revisi melihat urgensi yang cukup tinggi yang

datang dari masyarakat Indonesia atas berbagai kasus yang telah ada.

3. Usulan terkait insolvency test perlu dipertimbangkan dalam revisi UUK-PKPU demi

terciptanya keadilan.

Daftar Referensi

Buku

Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid

2. Jakarta: Ind-Hill Co, 2002.

Mamudji, Sri. Et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Satrio, J. Hukum Jaminan: Hak-Hak Jaminan: Hak-Hak Jaminan Pribadi. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1996.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet.3. Jakarta: Universitas Indonesia (UI

Press), 2008.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

cet 8. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum

Jaminan dan Jaminan Perorangan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Berupa Proyek Penulisan Karya Ilmiah, 2001.

Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan. Jakarta: Grafiti, 2010.

Sutedi, Adrian. Hukum Kepailitan. Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.

Regulasi

Indonesia (1), Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

UU No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443, Ps. 1 angka 1.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti

Referensi

Dokumen terkait

Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana sengaja melawan hak melakukan transmisi informasi elektronik milik orang

Adapun hal ini terlihat dari pendapat Majelis Hakim yang melihat perbedaan yaitu Penggugat mengetahui peralihan hak atas tanah kepada orang lain atas Surat Pelepasan

Dengan demikian, Majelis Umum PBB mengadopsi Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space pada tanggal 3 Desember 1986 (Resolusi Majelis

Perlindungan Aroma Sebagai Merek Dalam Hukum Merek Di Indonesia Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam

atas 3 (tiga) objek tanah dan bangunan tersebut sekaligus melakukan peralihan hak atau balik nama ke atas nama Penggugat. Pertimbangan hukum oleh majelis hakim

Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor 363 K/MIL/2017 di atas berusaha untuk menemukan dan membuktikan

Tesis ini, dengan judul Implementasi Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dalam Perlindungan Preventif Hak-Hak Masyarakat Asli Papua

Mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor