• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Singkong

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Singkong"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Singkong

Tanaman singkong termasuk tanaman tropis yang berasal dari Brazil (Amerika Selatan). Singkong memiliki peranan penting sebagai makanan pokok ke-3 setelah padi dan jagung di Indonesia. Peranan singkong menjadi semakin besar berkaitan dengan daya gunanya di bidang industri, baik industri kecil, menengah, maupun industri besar, tidak terbatas pada industri dalam negeri, tetapi juga di negara lain sebagai komoditas ekspor andalan. Singkong merupakan tanaman multiguna yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, makanan ternak, dan sebagai bahan baku berbagai macam industri (Suprapti 2005).

Berikut ini sistematika (taksonomi) tumbuhan tanaman singkong: kingdom : Plantae divisio : Spermathopyta subdisivio : Angiospermae kelas : Dicotyledone ordo : Euphorbiales famili : Euphorbiaceae genus : Manihot

species : Manihot esculenta Crantz sin dan Manihot utilisima

Gambar 1 Ubi Kayu Sumber: www.bps.co.id

Singkong atau ubi kayu mempunyai banyak nama daerah, yaitu ketela pohon, ubi jenderal, ubi inggris, telo pohung, kasape, bodin, telo jenderal (Jawa), sampeu, huwi dang deur, hui jenderal (Sunda), kasbek (Ambon), dan ubi perancis (Padang). Umbi singkong berbentuk akar yang menggelembung dan berfungsi sebagai tempat penampung cadangan makanan (pati). Bentuk umbi biasanya bulat memanjang, terdiri atas: kulit luar tipis (ari) berwarna kecoklatan (kering); kulit dalam agak tebal berwarna keputihan (basah); dan daging

(2)

berwarna putih atau kuning (tergantung varietasnya) yang mengandung sianida dengan kadar yang berbeda-beda. Tanaman yang dikembangkan di Indonesia terdiri dari berbagai jenis atau varietas, dengan keunggulan masing-masing. Ada 7 jenis varietas unggul singkong yang digunakan untuk membuat tepung yaitu Adira I, Adira II, Malang I, Malang II, Basiorao, Bogor, dan Mangi (Suprapti 2005). Berikut ini Tabel 1 mengenai kandungan gizi pada umbi singkong:

Tabel 1 Kandungan gizi Singkong

No

Komponen Gizi Kadar per 100 g

1.

Energi 146 Kal

2.

Karbohidrat 34.7 g

3.

Protein 1.2 g

4.

Lemak 0.3 g

5.

Mineral 1.3 g

6.

Zat Besi 0.0007 mg

7.

Kalsium 0.003 mg

8.

Fosfor 0.004 mg

9.

Vitamin C 0.003 mg

10.

Vitamin B 0.006 mg

11.

Air 62.5 g Sumber: Suprapti (2005) Pati Singkong

Kandungan pati dalam singkong (% bk) adalah 90 (Cui 2005). Menurut Wahyu (2008), singkong merupakan salah satu sumber kalori bagi penduduk kawasan tropis di dunia. Umbi singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80-90% (bb) dengan pati sebagai komponen utamanya.

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari banyaknya atom C dan percabangan rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 2004). Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan penggunaan dari pati itu sendiri. Proses utama pembuatan pati dari ubi-ubian melalui ekstraksi terdiri dari perendaman, disintegrasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan dalam larutan natrium bisulfit pada pH yang diatur untuk menghambat reaksi biokimia seperti perubahan warna ubi. Disintergrasi dan sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Cui 2005).

Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi

(3)

(Friedman 1950, Gliksman 1969 dikutip Odigboh 1983 dalam Chan 1983). Pati singkong memiliki granula berwarna putih dengan ukuran diameter yang bervariasi dari 4-35 µm dan rata-rata 20 µm. Gambar 2 menunjukkan granula pati singkong.

Gambar 2 Granula pati singkong Sumber: Hui 2006 dalam Wahyu 2008

Pati dicerna dalam tubuh manusia dengan bantuan enzim amilase. Enzim ini biasanya terdapat pada saliva (air liur) dan pankreas. Amilase akan menghidrolisis pati menjadi maltosa. Proses pencernaan pati oleh enzim amilase dipengaruhi oleh ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, luas permukaan semakin besar sehingga pati lebih cepat dicerna daripada pati yang ukuran granulanya lebih besar (Tharanathan & Madandevama 2003).

Amilosa Pati

Pati merupakan polimer dari karbohidrat yaitu kompleks anhidroglukosa yang dihubungkan dengan rantai 1,4 α-gikosidik. Amilosa yang dihidrolisis dengan asam akan menghasilkan D-glukosa. Amilosa pati mengandung 200-2000 unit anhidroglukosa. Setiap monomer memiliki 1 atau 2 grup hidroksil kecuali ujung amilosa pati. Molekul anhidroglukosa terakhir mengandung 1 atau 3 gugus hidroksil yang disebut sebagai bukan pereduksi. Ujung lain dari anhidroglukosa mengandung 1 atau 2 gugus hidroksil (gugus aldehid) yang merupakan grup pereduksi dalam bentuk hemiasetal dalam (Furia 1990).

Molekul amilosa memiliki sifat hidrophilik yang memiliki afinitas air yang tinggi. Sifat ini menyebabkan amilosa pati dapat semakin paralel dengan ikatan hidrogen. Jika afinitas air menurun menyebabkan ukuran pati membesar maksimum dimana presipitasi terjadi pada konsentrasi yang rendah dan pembentukan gel pada konsentrasi yang lebih rendah. Bentuk gel secara 3 dimensi merupakan ikatan hidrogen yang saling terhubung. Hubungan antara

(4)

molekul amilosa tersebut disebut retrogradasi. Molekul amilosa yang tidak bercabang memiliki sifat kuat dan fleksibel (Furia 1990).

Amilosa juga memiliki afinitas terhadap iodine yang memiliki karakteristik warna biru. Hal ini dapat memberikan estimasi secara kuantitatif kandungan amilosa pada pati. Amilosa memiliki sifat hidrofilik dan hidrophobik pada ujung yang lain. Sifat hidrofobik inilah yang menyebabkan pati tidak larut dalam air dingin, namun apabila dipanaskan pati akan larut dan tergelatinisasi (Furia 1990).

Amilopektin Pati

Amilopektin merupakan polimer pati selain amilosa yang memiliki struktur bercabang. Setiap cabang mengandung 15-25 anhidroglukosa yang saling terhubung dengan ikatan 1,4 dan 1,6 α-glikosidik. Bagian cabang amilopektin pati dihubungkan dengan rantai karbon 1 dan berakhir di rantai karbon 6. Amilopektin merupakan polimer terbesar dari pati. Ukuran dan cabang amilopektin pati mempengaruhi mobilitas molekul dan cenderung menjadi kuat dengan adanya ikatan hidrogen yang dapat teretrogradasi sehingga amilopektin dalam cairan menjadi jelas dan stabil dengan gel resisten (Furia 1990).

Molekul amilopektin yang bercabang menyebabkan molekul ini tidak sekuat dan sefleksibel amilosa pati. Amilopektin juga tidak menunjukkan warna biru bila ditetesi iodine. Stabilitas sol amilopektin merupakan faktor utama dalam penggunaan amilopektin termodifikasi (Furia 1990).

Gelatinisasi Pati

Pati dalam jaringan tanaman memiliki bentuk granula (butir) yang berbeda-beda. Jenis pati dapat dibedakan secara mikroskopis karena memiliki ukuran, bentuk, letak hilum, dan sifat birefringent yang unik (Winarno 2004). Granula pati memiliki sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah moikroskop terlihat kristal gelap terang, sifat inilah yang disebut birefringent. Gelatinisasi pati merupakan fenomena umum yang terjadi pada pati dan sering menjadi prinsip utama pada berbagai cara pengolahan pati. Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringent granula pati akibat penambahan air secara berlebih dan pemanasan pada waktu serta suhu tertentu sehingga granula membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible) (Belitz dan Grosch 1987). Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi. Menurut SNI (1992) dalam Widowati (2000) menyebutkan bahwa suhu gelatinisasi pati singkong adalah 84˚C dalam waktu sekitar 23 menit.

(5)

Retrogradasi Pati

Amilosa yang dapat terdispersi oleh air panas akan memyebabkan peningkatan granula yang membengkak. Pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula yang membengkak tersuspensi dalam air panas, dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi dalam air. Molekul-molekul amilosa akan terus terdispersi selama pasta pati tetap dalam keadaan panas (Winarno 2004).

Apabila pasta pati didinginkan, energi kinetik tidak lagi cukup untuk menyatukan kembali molekul-molekul amilosa sehingga molekul-molekul amilosa akan berikatan dengan cabang amilopektin di pinggir luar granula. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya mikrokristal dan mengendap. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Sebagian besar pati yang telah menjadi gel bila disimpan atau didinginkan untuk beberapa hari atau beberapa minggu akan membentuk endapan kristal di dasar wadahnya (Winarno 2004).

Sebagian air pada pasta pati terbentuk dari butir pati dan endapan amilosa. Apabila gel dipotong dengan pisau atau disimpan beberapa hari air tersebut akan keluar dari bahan. Proses keluarnya air dari gel pati disebut sineresis.

Pati Resisten

Pati resisten adalah pati yang tidak dapat dipecah oleh enzim manusia di usus halus. Pati resisten (Resistant starch atau RS) pati juga mengalami fermentasi oleh mikroflora pada dinding kolon, sehingga mikroflora menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid atau SCFA) (Englyst et al. 1992; Champ et al. 1999). Profil SCFA yang diperoleh dari RS lebih banyak mengandung butirat dan lebih sedikit mengandung asetat dibandingkan serat pangan konvensional. Asam butirat lebih banyak dimetabolisme oleh sel-sel kolon sebagai substrat sumber energi sel (Elmsthal 2002). Dengan sifat-sifat yang dimilikinya, RS dapat berfungsi sebagai prebiotik.

Pati resisten mempunyai efek fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti pencegahan kanker kolon, mempunyai efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan), berperan sebagai prebiotik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorpsi mineral (Sajilata et al. 2006). Penggantian 5,4% total karbohidrat dalam diet dengan pati resisten juga

(6)

mengindikasikan peningkatan oksidasi lipida setelah makan sehingga dapat menurunkan akumulasi lemak dalam jangka panjang (Higgins 2004).

Pati resisten terdiri dari empat tipe. Tipe pertama (RS I) terdiri atas pati yang secara fisik terperangkap dalam sel-sel tanaman dan matriks bahan pangan, misalnya pada sereal, biji, kacang-kacangan, dan pasta. Pati resisten tipe kedua (RS II) terdiri atas granula pati yang secara alami sangat resisten terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase, misalnya pati pada pisang dan kentang mentah. Pati resisten tipe ketiga (RS III) terdiri atas pati teretrogradasi yang terbentuk saat bahan pangan yang mengandung pati dimasak dan didinginkan. Pati resisten tipe keempat (RS IV) terdiri atas pati yang dimodifikasi secara kimia, dimana modifikasi tersebut mempengaruhi aktivitas amilolitik dari enzim-enzim pencernaan (Leu et al. 2003 dalam Satriawan 2010).

Serat Pangan

Menurut Winarno (2004) serat pangan atau dietary fiber merupakan bagian dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Sejumlah polisakarida bukan pati pada bahan pangan nabati disebut polisakarida non pati (non starch polysaccharides atau NSP) yang merupakan komponen utama serat pangan (Bender 2003). Beberapa contoh NSP antara lain selulosa, hemiselulosa dan inulin yang termasuk IDF. Pektin, gum, dan musil tanaman termasuk SDF.

Selulosa merupakan polimer rantai lurus dari glukosa dengan ikatan rantai β-(1-4) yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim amilase. Hemiselulosa merupakan polisakarida yang tersusun dari xilosa, galaktosa, glukosa, dan monosakarida lainnya yang terikat bersama-sama. Pektin merupakan polimer yang tersusun dari asam galakturonat dan monosakarida lain serta banyak ditemukan pada dinding sel tanaman. Gum adalah polimer dari galaktosa, asam glukoronat, dan monosakarida lainnya serta ditemukan dalam eksudat batang tanaman. Musil adalah polimer dari galaktosa, mannosa, dan monosakarida lain yang ditemukan dalam rumput laut (Wardlaw 1999). Komponen penting lainnya dalam serat pangan adalah lignin yang bukan termasuk karbohidrat tetapi merupakan polimer kompleks dari berbagai jenis alkohol aromatik (Bender 2003). Serat pangan dikelompokkan berdasarkan kemampuannya larut dalam air menjadi serat pangan larut (soluble dietary fiber atau SDF) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber atau IDF). Soluble Dietary Fiber diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut air hangat atau panas serta dapat

(7)

terendapkan oleh air yang tercampur dengan empat bagian etanol. Insoluble Dietary Fiber diartikan sebagai serat pangan tidak larut dalam air panas dan air dingin. Gabungan dari serat pangan tidak larut dan serat pangan tidak larut air disebut serat pangan total (total dietary fiber atauTDF). Pengertian serat kasar berbeda dengan serat pangan. Menurut Winarno (2004) serat kasar adalah bagian makan yang tidak dapat terhidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan serat kasar yaitu asam sulfat 1.25% dan natrium hidroksida 1.25%.

Efek fisiologis dari serat pangan bagi tubuh terutama dalam saluran pencernaan berbeda-beda pada setiap komponennya. Serat menstimulasi aliran saliva dan meningkatkan volume makanan di dalam mulut. Saat melewati lambung serat larut air dan komponen kental serat menunda pengosongan isi lambung. Dalam usus halus, serat membentuk larutan yang kental sehingga menghambat daya cerna dan absorbsi karbohidrat dan lemak serta cenderung menghambat absorpsi glukosa dan memperkecil kadar kolesterol plasma darah. Fungsi serat larut berlawanan dengan serat tidak larut, komponen serat larut didegradasi oleh bakteri dalam kolon sehingga tidak mempengaruhi bobot feses dan tidak menimbulkan efek laksatif (Sardesai 2003). Serat pangan tidak larut dapat memperbesar volume feses dan mempercepat pengeliminasian sehingga mengurangi transit time dan mengurangi resiko pembentukan kanker colorectal.

Respon fisiologis dari konsumsi serat pangan menjadi dasar para pakar menghubungkan diet kaya serat dengan penurunan resiko terhadap penyakit kronis noninfeksi pada saluran pencernaan seperti konstipasi, penyakit divertikular dan kanker kolon, gangguan sistem sirkulasi tubuh seperti aterosklerosis dan penyakit jantung koroner (PJK), serta gangguan metabolisme seperti obesitas dan diabetes (Sardesai 2003). American Dietetic Association (ADA) merekomendasikan konsumsi serat konsumsi pangan bagi orang dewasa sekitar 20-35 gram per hari. Sebuah studi menunjukkan bahwa serat lebih dari 25 gram per hari dapat menurunkan resiko terkena penyakit jantung 36% dan konsumsi 29 gram serat per hari dapat menurunkan resiko serangan jantung sebesar 41% (Wardlaw 1999).

Daya Cerna Pati

Daya cerna adalah bagian dari pangan yang dikonsumsi dan tidak dikeluarkan menjadi feses. Daya cerna pati juga menggambarkan kemampuan suatu enzim pemecah pati untuk menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih

(8)

kecil. Daya cerna pati membuat bahan baku sumber karbohidrat mempunyai daya cerna karbohidrat dan protein yang berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan pangannya dan bukan hanya oleh rasio amilosa-amilopektin yang menyusun pati bahan dasarnya. Beberapa faktor yang dapat menurunkan daya cerna pati adalah penggunaan suhu yang terlalu tinggi pada waktu pengolahan, interaksi antara pati dengan komponen non pati, dan jumlah resistant starch yang terdapat dalam pati. Resistant starch merupakan fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus (Prangdimurti, Palupi,& Zakaria 2007).

Pati atau sumber karbohidrat dihidrolisis oleh enzim α-amilase pada suhu 37˚C dan pH 7.0 selama 30 menit menyerupai kondisi dalam tubuh. Maltosa hasil hidrolisis pati kemudian diukur jumlahnya menggunakan spektrofotometer setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat sehingga dapat diukur pada 520 nm. Kadar maltosa diukur dengan menggunakan kurva standar maltosa murni. Semakin banyak maltosa yang dihasilkan menunjukkan semakin banyak pati yang dapat dihidrolisis mengindikasikan daya cernanya tinggi. Daya cerna pati atau sumber karbohidrat dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni (Prangdimurti, Palupi, & Zakaria 2007).

Modifikasi Pati Secara Fisik

Perlakuan modifikasi pati secara fisik melibatkan beberapa faktor yaitu suhu, tekanan, pemotongan, dan kadar air pada pati. Granula pati dapat diubah secara parsial maupun total. Prinsip modifikasi fisik secara umum adalah dengan pemanasan. Apabila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan berbagai pereaksi kimia. Perlakuan modifikasi secara fisik antara lain: ekstruksi, parboiling,

steam-cooking, iradiasi microwave, pemanggangan, hydrothermal treatment dan

autoclaving (Sajilata et al. 2006; Kaur et al. 2011).

Sebagian besar metode modifikasi fisik yang telah disebutkan dapat meningkatkan kadar pati resisten (Sajilata et al. 2006). Metode steaming-cooking dan parboiling umumnya diaplikasikan pada beras. Metode ekstruksi merupakan metode yang paling popular digunakan untuk memodifiaksi karakteristik fungsional pati serealia. Prosesnya menggunakan temperatur yang tinggi, waktu yang singkat, dan gelatinisasi pati terjadi pada kandungan air rendah (Kaur et al. 2011).

(9)

Perlakuan fisik lainnya adalah metode autoclaving. Menurut Sajilata et al. (2006), perlakuan pemanasan dengan menggunakan metode autoclaving dapat meningkatkan produksi pati resisten hingga 9%. Metode autoclaving dilakukan dengan mensuspensikan pati dengan rasio penambahan air 1:3.5 atau 1:5, kemudian dipanaskan dengan pemanasan autoklaf pada suhu tinggi. Setelah diautoklaf, suspensi pati disimpan pada suhu rendah agar terjadi retrogradasi. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen. Peningkatan kadar pati resisten dapat dilakukan dengan menggunakan pengulangan siklus. Perlakuan modifikasi ini disebut autoclaving-colling cycling treatment (Shin et al. 2002; Zabar et al. 2008).

Bubur Instan

Bubur instan yang lebih dikenal dengan sebutan pure (asal kata dari bahasa Inggris yakni puree). Pengertian pure berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) dalam Hendy (2007) adalah pangan atau bahan pangan yang dilembutkan. Bubur memiliki tekstur yang lunak sehingga mudah dicerna. Bubur tidak hanya terbuat dari beras saja namun dapat pula dibuat dari kacang hijau dan beras merah. Bubur diolah dengan memasak bahan penyusun dengan air seperti bubur nasi, mencampurkan santan (bubur kacang hijau), maupun dengan mencapurkan susu (bubur susu).

Bubur instan memiliki komponen penyusun seperti halnya bubur. Bubur yang telah jadi (masak) mengalami proses instanisasi. Instanisasi dilakukan dengan cara memasak komponen-komponen penyusun bubur yang telah berbentuk tepung sampai menjadi adonan kental. Bahan tepung yang diperoleh telah bersifat instan dan dikemas menjadi bubur instan (Perdana 2003).

Pengeringan

Pengeringan adalah proses pindah panas dan kandungan air secara simultan. Udara panas yang dibawa oleh media pengeringan akan digunakan untuk menguapkan air yang terdapat didalam bahan. Uap air yang berasal dari bahan akan dilepaskan dari permukaan bahan ke udara kering (Pramono 1993 dalam Hendy 2007). Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai

(10)

batas perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebakan kebusukan terhambat dan terhenti agar bahan memiliki masa simpan yang lama (Taib et al.1998 dalam Hendy 2007).

Handerson et al (1976) diacu dalam Hendy (2007) mengungkapkan bahwa proses pengeringan memberikan keuntungan antara lain masa simpan produk kering lebih lama, viabilitas biji lebih terjamin, dan memperkecil serta meringankan volume produk sehingga memudahkan penanganan, penyimpanan dan transportasi. Pengeringan juga memiliki beberapa kerugian antara lain rusak atau berkurangnya vitamin-vitamin dan zat warna, hilangnya flavour yang mudah menguap dan menimbulkan bau gosong jika kondisi pengeringan tidak terkendali (Desroiser 1988 dalam Fernando 2008)

Drum Dryer

Pengering drum (drum dryer) digunakan untuk mengeringkan bahan dalam bentuk bubur atau larutan. Drum berputar pada sumbu horizontal dan dipanaskan secara internal dengan uap air atau medium pemanas lain (Brennan 1974). Bahan yang dikeringkan disebar dalam bentuk lapisan tipis pada permukaan drum. Pengeringan berlangsung pada saat drum berputar. Proses pengeringan dapat dilakukan dalam udara terbuka (tekanan 1 atm) atau dalam keadaan hampa udara. Produk yang kering dilepaskan dengan menggunakan pisau pengikis pada saat perputaran drum telah mencapai 2/3-3/4 dari bahan pertama kali dimasukkan ke dalam permukaan drum. Produk kering tersebut kemudian digling menjadi bubuk yang halus (Desroiser 1988 dalam Fatmawati 2004).

Secara umum alat pengering drum memiliki dua tipe yaitu drum tunggal

dan drum ganda. Drum tunggal dilakukan dengan mencelupkan drum pada

bubur atau larutan, sedangkan pada drum ganda didesain dengan dua drum yang puncaknya parallel dan bahan yang akan dikeringkan dimasukkan dari bagian atas pada arah antar dua drum (APV Crepaco 1992 diacu dalam Fatmawati 2004). Alat pengering drum ganda digunakan untuk mengeringkan bahan pangan, kimia, dan farmasi dengan berbagai variasi bobot jenis dan viskositas. Karakteristik bahan yang dapat dikeringkan dengan alat pengeringan drum ganda adalah berbentuk cairan atau pasta, tahan terhadap panas dan dipasarkan dalam bentuk bubuk yang mudah direhidrasi.

Keuntungan penggunaan alat pengering drum adalah kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Kelemahan alat

(11)

ini adalah hanya dapat digunakan pada bahan yang berbentuk bubur atau pasta dan bahan yang tahan terhadap suhu tinggi dalam waktu singkat (Brennan 1974).

Sukralosa

Sukralosa merupakan jenis pemanis rendah kalori baru yang beredar di pasaran. Sukralosa menghasilkan 600 kali kemanisan daripada gula biasa (sukrosa) tanpa mengakibatkan dampak peningkatan kalori. Menurut FDA penggunaan sukralosa aman bagi manusia baik pada anak-anak maupun ibu hamil (American Diabetes Association 2008 dalam Kusumah 2008). Baru-baru ini Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) telah menaikkan batas toleransi sukralosa dari 0-3.5 mg/kg berat badan menjadi 0-15 mg/kg berat badan. Penggunaan sukralosa secara luas telah diijinkan mulai tahun 1988. Hal ini dikarenakan sukralosa tidak dapat diserap dengan baik oleh tubuh dan dikeluarkan bersama urin (Washuttl et al.1973). Berdasarkan penelitian terhadap 100 orang, maka FDA (Food and Drud Administration) menyimpulkan bahwa penggunaan sukralosa tidak menyebabkan risiko neurologik, gangguan reproduksi, maupun efek karsinogenik. Adapun keunggulan dari sukralosa adalah relatif stabil terhadap panas, sehingga tingkat kemanisan tidak banyak berubah (Brannen et al.1990).

Emulsi

Emulsi merupakan sistem heterogen yang terdiri atas dua fase cairan yang tidak tercampur tetapi cairan yang satu terdispersi dengan baik dalam cairan yang lain dalam bentuk butiran (droplet/globula) dengan diameter biasanya lebih dari 0.01-50 µm. Fase yang berbentuk butiran disebut fase terdispersi atau fase internal atau disebut juga fase diskontinyu, sedangkan fase cairan tempat butiran terdispersi disebut fase pendispersi atau fase eksternal atau fase kontinyu (Andarwulan & Adawiyah 1992).

Kedua fase tersebut berupa minyak dan air, bila minyak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase pendispersi maka emulsi yang terbentuk disebut tipe emulsi minyak dalam air (m/a) atau oil in water (o/w). Sebaliknya, bila fase air sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase pendispersi disebut tipe emulsi air dalam minyak (a/m) atau water in oil (w/o). Saat proses pembuatan emulsi, biasanya ditambahkan bahan ketiga atau campuran dua atau lebih bahan kimia untuk menstabilkan emulsi. Bahan tersebut tergolong ke dalam bahan pengemulsi (emulsifier) dan penstabil (stabilizer). Penambahan bahan

(12)

pengemulsi bertujuan menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehingga mempermudah terbentuknya emulsi, sedangkan penambahan bahan penstabil bertujuan meningkatkan viskositas fase kontinyu agar emulsi yang terbentuk menjadi stabil (Muchtadi 1999).

Telur

Menurut Gaman dan Sherrington (1992), selain meningkatkan nilai gizi masakan, telur juga mempunyai beberapa sifat fungsional yang bermanfaat, yakni: protein telur yang terkoagulasi bila dipanaskan dapat berperan sebagai agen pengental dan pengikat; kuning telur mengandung lesitin yang dapat digunakan sebagai pengemulsi, serta sebagai pembusa, yakni apabila putih telur dikocok sehingga udara akan terjebak dan protein terkoagulasi sebagian.

Telur dalam pembuatan cookies berfungsi sebagai pelembut dan pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk aerasi yaitu kemampuan menangkap udara. Telur melembutkan tekstur cookies dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat putih telur. Dalam pembuatan cookies, penggunaan kuning telur tanpa putih telur akan menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas cita rasa yang sempurna (Matz & Matz 1978).

Isolat Protein Kedelai

Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang sering diekstrak atau diisolasi proteinnya. Isolat protein merupakan hasil ekstraksi protein kedelai yang paling murni karena kadar protein minimumnya sebesar 95% berdasarkan presentase bobot kering. Isolat protein kedelai hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung bubuk kedelai (Koswara 1995).

Menurut Koswara (1995), isolat protein kedelai dibuat dari kedelai bebas lemak maupun biji kedelai utuh. Jika terbuat dari tepung kedelai, maka mula-mula tepung harus dicampur dengan air (perbandingan tepung:air = 1:8), kemudian pH nya ditingkatkan menjadi 8.5-8.7 dan diaduk pada suhu 50-55ºC selama 30 menit, sehingga proteinnya terekstrak. Ekstraksi protein dari biji utuh dilakukan dengan perendaman 5-8 jam, diikuti pembuatan bubur kedelai (kedelai kupas kulit dihancurkan seperti pada pembuatan susu kedelai), lalu diencerkan hingga perbandingan kedelai:air = 1:8, setelah itu dilakukan pengaturan pH hingga 8.5-8.7 dan diaduk 30 menit. Prinsip yang digunakan untuk mengisolasi

(13)

protein kedelai adalah pengendapan seluruh protein pada titik isoelektrik yaitu pH dimana seluruh protein menggumpal. Kemampuan ekstraksi protein kedelai dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas sebelumnya, rasio pelarutan pH dan kekuatan ion dari medium pengekstrak (Koswara 1995).

Berdasarkan segi zat gizi, isolat protein kedelai memiliki kekurangan asam amino bersulfur seperti metionin, sistein, dan treonin, tetapi kelebihan asam amino lisin yang merupakan asam amino pembatas dari protein pada serealia. Secara umum protein kedelai mengandung seluruh asam amino yang dibutuhkan manusia, namun hanya menjadi asam amino pembatas adalah metionin dan triptofan. Oleh karena itu, kedelai sangat cocok dikombinasikan dengan protein yang bersumber dari serealia.

Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada produk sosis, produk bakeri dan sup (Koswara 1995). Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, dan flavour produk. Penggunaan isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti dan biskuit (Koswara 1995).

Minyak Kelapa Sawit

Minyak kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang berupa senyawa tidak larut air, sedangkan komponen penyusunnya yang utama adalah trigliserida dan nontrigliserida. Trigliserida berupa ester dari trigliserol dan tiga molekul asam lemak. Senyawa non trigliserida dalam minyak kelapa sawit terdapat dalam jumlah kecil yaitu motilgliserida, digliserida, fosfatida, karbohidrat, turunan karbohidrat, protein dan getah (gum) serta zat warna. Pemakaian minyak nabati memberikan keuntungan bagi tubuh karena tidak mengandung kolesterol (Ketaren 1986).

Uji Organoleptik

Pengujian inderawi adalah pengujian bahan secara subjektif menggunakan panca indera manusia. Penilaian inderawi sangat penting dalam pengembangan produk makanan kaitannya dengan perbaikan gizi. Uji organoleptik atau disebut juga sensory evaluation didasarkan atas indera penglihatan, indera pencium, indera perasa, dan mungkin indera pendengar.

(14)

Penentuan penerimaan terhadap produk makanan dapat dilakukan melalui uji hedonik atau kesukaan (Setyaningsih et al. 2010).

Beberapa uji organoleptik yang biasa digunakan dalam industri pangan adalah uji kesukaan (hedonik) dan uji mutu hedonik. Panelis diminta tanggapannya mengenai kesukaan dan ketidaksukaan terhadap suatu produk pada uji hedonik, sedangkan uji mutu hedonik tanggapan yang diberikan berdasarkan kesan baik atau buruk. Menurut Rahayu (1998), uji hedonik bertujuan untuk mengetahui respon panelis terhadap sifat mutu yang umum misalnya warna, aroma, tekstur, dan rasa. Uji mutu hedonik digunakan untuk mengetahui respon terhadap sifat-sifat produk yang lebih spesifik.

Gambar

Gambar 1 Ubi Kayu  Sumber: www.bps.co.id
Tabel 1 Kandungan gizi Singkong  No  Komponen Gizi Kadar per 100 g

Referensi

Dokumen terkait

Koloid adalah suatu campuran zat heterogen (dua fase) antara dua zat atau lebih di mana partikel-partikel zat yang berukuran koloid (fase terdispersi/yang dipecah) tersebar

Koloid adalah suatu campuran zat heterogen (dua fase) antara dua zat dua zat atau lebih partikel-partikel zat yang berukuran koloid (fase terdispersi atau atau lebih

Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fasa cairan yang tidak saling terampur, biasanya air dan minyak, dimana cairan yang satu terdispersi menjadi tetesan-tetesan

pada bak pertama cairan memisah menjadi dua fase yaitu fase ringan dan fase berat.. mengalir dari bak yang satu ke bak yang lainnya melaui dasar tangki sedangkan fase ringan

Berdasarkan fase zat terdispersi, sistem koloid terbagi atas tiga bagian, yaitu koloid sol, emulsi, dan buih.. Sol ialah koloid dengan zat terdispersinya

Losion merupakan salah satu bentuk emulsi, didefinisikan sebagai campuran dari dua cairan yang tidak saling bercampur, yang distabilkan dengan sistem emulsi dan jika ditempatkan

Berdasarkan pernyataan di atas terdapat dua fase yang berbeda yang terlibat dalam kromatografi yaitu satu fase yang berfungsi membawa analit biasanya disebut fase gerak, dan fase

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat berupa emulsi yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai