commit to user
BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil Masyarakat Desa Majasto 1. Karakteristik Masyarakat Desa Majasto
Desa Majasto adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo. Desa Majasto terletak sekitar 12 km arah selatan Kota Sukoharjo.Masyarakat Desa Majasto mayoritas bekerja sebagai petani, kehidupan keseharian warga sekitar yaitu pergi ke sawah untuk bekerja, setelah bekerja masyarakat Desa Majasto biasanya bersantai dengan keluarga maupun tetangga. Banyaknya waktu luang untuk berkumpul menjadikan suasana yang kekeluargaan terasa begitu akrab. Adapun karakteristik masyarakat Desa Majasto secara umum dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Sederhana
Kesederhanaan masyarakat Desa Majasto dapat terlihat dari kehidupan keseharian yang mereka jalani. Kesederhanaan yang dilakukan oleh masyarakat desa dapat disebabkan karena mayoritas dari mereka merupakan golongan menengah kebawah. Keinginan para warga terkontrol dalam batas kebutuhan. Kehidupan masyarakat sekitar Desa Majasto terasa berkecukupan dan bersahaja, sehingga suasana sekitar terlihat harmonis dan lebih berharga dengan adanya kesederhanaan.
Kehidupan masyarakat Desa Majasto yang mayoritas bekerja sebagai petani, menandakan kehidupan masyarakat yang sederhana. Terbukti dari hasil pertanian
yang digunakan untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Seperti padi, jagung, sayur-sayuran dan lain-lain.
b. Kekeluargaan
Kekeluargaan merupakan suatu sifat kebanyakan masyarakat yang berada di pedesaan. Sikap kekeluargaan masyarakat Desa Majastodilihat dari kehidupan mereka sehari-hari. Banyak hal yang ditunjukkan warga sekitar, saling menyapa bila bertemu, berinteraksi dan bermasyarakat, bercanda, bergaul. Dari berbagai aspek tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa masyarakat Desa Majasto mempunyai sikap kekeluargaan yang cukup baik. Hubungan kekeluargaan yang mereka jalin terlihat sangat dekat dan hangat.
c. Gotong Royong
Gotong royong merupakan salah satu budaya masyarakat Jawa. Hal ini seperti yang diutarakan Imam Sutardjo dalam buku Kajian Budaya Jawa (2010:27) bahwa penerus dari hidup adalah kekeluargaan dan semangat gotong royong. Desa Majasto termasuk suatu desa yang seluruhnya dihuni oleh orang Jawa tentu memiliki karakter gotong royong yang kuat. Hal ini dapat dilihat ketika masyarakat mengadakan suatu acara, contohnya pada acara Upacara Sadranan yang bertempat di Makam Bumi Arum. Masyarakat sangat antusias menyiapkan acara tersebut dengan kesadaran, keiklasan dan canda tawa khas warga sekitar,sehingga Upacara Sadranan dapat terlaksana dengan baik dan lancar.
d. Ber-Ketuhanan
Masyarakat Desa Majasto percaya akan adanya Tuhan. Semua masyarakat di Desa Majasto menganut agama sesuai dengan keyakinan masing-masing, hal ini
menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat Desa Majasto percaya akan adanya Tuhan. Selain itu ada beberapa tempat ibadah di Desa Majasto yang didirikan sebagai tempat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
2. Kondisi Geografis
Penelitian ini dilakukan di Desa Majasto Kecamatan Tawangsari Kabupaten Sukoharjo.Desa Majasto berada sekitar 12 km ke arah Selatan dari Kota Sukoharjo dengan jarak tempuh sekitar 20 menit perjalanan dari Kota Sukoharjo.
Desa Majasto merupakan daerah dataran rendah, seperti kebanyakan desa di wilayah Sukoharjo. Sekitar 243,06 hektar tanah di Majasto merupakan areal persawahan dari total luas desa sekitar 409.67 hektar. Dibalik wilayahnya yang berupa dataran rendah dengan hamparan sawah yang luas, ternyata Desa Majasto juga memiliki sebuah bukit. Bukit tersebut berada di sisi sebelah barat Desa Majasto dan oleh warga disebut dengan Gunung Majasto.
Desa Majasto memiliki batas-batas wilayah antara lain sebagai berikut: Tabel 1 : Batas Wilayah Desa Majasto.
Batas Wilayah Desa/Kelurahan Kecamatan
Utara Tambakboyo Tawangsari, Sukoharjo
Timur Tangkisan Tawangsari, Sukoharjo
Selatan Ponowaren Tawangsari, Sukoharjo
Barat Demangan Tawangsari, Sukoharjo
3. Kondisi Demografis
Berdasarkan data monografi desa tahun 2015 jumlah penduduk Desa Majasto yang tercatat secara administrasi berjumlah 4447 jiwa yang terdiri dari. a. Komposisi Penduduk menurut Usia
Komposisi penduduk di suatu daerah merupakan hal penting yang dapat dijadikan sebagai landasan ataupun dasar kebijakan di daerah yang bersangkutan. Komposisi penduduk menurut usia dapat untuk melihat beberapa besar usia penduduk menurut usia dapat untuk melihat beberapa besar usia penduduk yang termasuk usia, sekolah, usia muda, serta usia tua.
Penduduk Desa Majasto sesuai dengan usia sesuai dengan data monografi tahun 2015 dapat disajikan pada tabel berikut :
Tabel 2 : Data Usia
No Usia Jumlah Jumlah laki-laki Jumlah perempuan Jumlah Penduduk Jumlah KK 1 <1 tahun 25 2168 2279 4447 1216 2 1-5 tahun 204 3 6-10 tahun 311 4 11-15 tahun 380 5 16-20 tahun 345 6 21-25 tahun 382
7 26-30 tahun 405 2168 2279 4447 1216 8 31-35 tahun 405 9 36-40 tahun 354 10 41-45 tahun 349 11 46-50 tahun 317 12 51-55 tahun 254 13 56-58 tahun 236 14 >58 tahun 665
b. Komposisi Penduduk menurut Tingkat Pendidikan
Berdasarkan data Profil Desa Majasto Tahun 2015, tingkat pendidikan yang terdapat di Desa Majasto sebagai berikut :
Tabel 3 : Tabel Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Tidak Tamat SD/sederajat 169
2 Tamat SD/sederajat 1554 3 SLTP/ sederajat 553 4 SLTA/sederajat 615 5 D-1 45 6 D-2 29 7 D-3 65 8 S-1 87
9 S-2 10
Jumlah 3127
Sumber: Profil Desa Majasto, tahun 2015
c. Komposisi Penduduk menurut Mata Pencaharian
Komposisi Penduduk menurut mata pencaharian dapat digunakan untuk mengetahui jenis mata pencaharian penduduk, mayoritas penduduk masyarakat Desa Majastomerupakan petani.Kegiatan di sektor pertanian dilakukan penduduk terutama dilahan sawah, luasnya lahan pertanian dan suburnya tanah di daerah Majasto tentu saja mendorong masyarakat hidup dari sektor pertanian.
Berikut adalah tabel komposisi penduduk menurut mata pencaharian: Tabel 4 : Komposisi Penduduk
No Nama Pekerjaan Jumlah
1 Petani 752
2 Buruh Tani 388
3 Karyawan perusahaan swasta 170
4 Pengrajin 8
5 Pedagang 26
6 Peternak 29
7 Pegawai Negri 40
4. Kondisi Sosial Budaya
a. Pendidikan
Sarana Pendidikan merupakan unsur yang terpenting guna menunjang kemajuan dan perkembangan bagi suatu daerah, karena hal tersebut sangat berhubungan erat dengan sikap tingkah laku masyarakat di suatu daerah. Melalui pendidikan, seseorang akan mendapatkan pengetahuan. Sarana pendidikan yang menandai akan memungkinkan perkembangan masyarakat dan budaya semakin baik. Tingkat pendidikan yang tinggi maka akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Desa Majasto dapat diketahui tingkat pendidikan penduduk Desa Majasto pada tahun 2015. Berikut adalah jumlah sekolah dan siswa menurut jenjang pendidikan
Tabel komposisi jumlah sekolah yang ada di Desa Majasto Tabel 5 : Komposisi Jumlah Sekolah
No Sekolah Jumlah
1 PG/PAUD 1
2 Taman Kanak-kanak(TK) 3
3 Sekolah Dasar/Sederajat 3
b. Agama dan Kepercayaan
Masyarakat Desa Majasto sebagian besar penduduknya beragama Islam. Disamping itu ada juga yang memeluk agama Kristen dan Katholik. Meskipun mereka memeluk agama yang berlainan, namun mereka tetap hidup rukun saling berdampingan dan tetap saling menghormati.
Berikut adalah table jumlah pemeluk Agama di Desa Majasto : Tabel 6 : Pemeluk Agama di Desa Majasto
Agama Jumlah (orang)
Islam 4400
Kristen 17
Katholik 30
Sumber : Data monografi Desa Majasto, tahun 2015
Data di atas menunjukkan penduduk yang beragama Islam di Desa Majasto lebih mendominasi. Disamping itu terdapat sebagian masyarakat yang masih menggunakan sesaji dalam suatu acara. Salah satu contoh dapat dilihat pada kegiatan upacara Sadranan. Hal ini memberi gambaran bahwa sebagian masyarakat Desa Majasto masih mempercayai terhadap kekuatan supranatural.
Desa Majastomempunyai tempat-tempat ibadah yang dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 7 : Tempat-Tempat Ibadah
Nama Tempat Ibadah Jumlah
Masjid 16
Mushola 4
Gereja Katholik 1
Sumber : Data monografi Desa Majasto, tahun 2015
5. Tradisi Sadranan Masyarakat Desa Majasto
Masyarakat Desa Majasto mempunyai sebuah tradisi yang diterunkan dari nenek moyang sejak dahulu. Tradisi merupakan hasil cipta dan karya manusia, kepercayaan, kejadian, atau lembaga yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu tradisi yang masih mereka pertahankan adalah tradisi sadranan.
Tradisi Upacara Sadranan secara simbolik dapat dimaknai sebagai berikut: Sadranan yang berasal dari istilah “sradda”, yakni sebuah upacara ziarah kubur yang biasa dilakukan oleh umat Hindu dimasa lalu. Adapun upacara Sadranan dilaksanakan satu tahun sekali pada bulan ruwah. Ruwah dalam bahasa Jawa disejajarkan dengan kata arwah atau ruh orang yang telah menunggal. Biasanya pada bulan ruwah selalu diadakan upacara Sadranan. Selain untuk menyambut Bulan Ramadhan juga untuk menghormati dan mendoakan terhadap ruh-ruh para leluhur yang telah meninggal. Hal ini senantiasa dilakukan untuk menjaga tali silaturohmi antar keluarga. Disamping itu anggota keluarga yang merantau jauh juga akan
kembali ke kampung halaman untuk berziarah ke makam leluhur dan berkumpul bersama keluarga. Rasa gotong royong juga menjadi dasar yang kuat bagi masyarakat Desa Majasto, ini sebabnya ketika acara yang bersifat adat selalu melibatkan seluruh warga masyarakat.
Tradisi Sadranan di Desa Majasto masih berjalan dengan baik, para warga sangat antusias mengikuti berbagai rangkaian acara yang berjalan. Semua itu karena kesadaran masyarakat sekitar untuk tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan Jawa agar tetap hidup dan lestari.
Upacara Sadranan diawali dengan datangnya para warga dari Desa Majasto maupun keluarga yang berasal dari luar Desa Majasto yang datang bersama keluarga mereka. Mereka datang dengan membawa beberapa makanan yang nantinya akan dimakan bersama-sama keluarga. Sesudah bêsik (membersihkan rumput-rumput), masyarakat menempati sekeliling masjid yang berada di bukit Majasto di komplek Makam Bumi Arum. Lokasi tersebut sudah disiapkan oleh panitia.
Pelaksanaan ziarah dimaksudkan sebagai sarana introspeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun. Pada perkembangan selanjutnya tradisi Upacara Sadranan mengalami perluasan makna. Bagi warga sekitar yang merantau, Sadranan dikaitkan dengan sedekah, beramal kepada para fakir miskin ataupun untuk membangun tempat ibadah. Kegiatan tersebut sebagai wujud balas jasa atas pengorbanan leluhur yang sudah mendidik dan membiayai ketika kecil hingga menjadi orang yang sukses. Bagi umat Islam sendiri tradisi Upacara Sadranan masih menimbulkan berdebatan. Itu karena ada dua pendapat berbeda, berkaitan dengan ajaran Nabi Muhamad SAW. Kelompok pertama
atau beraliran moderat, beranggapan bahwa ritual Upacara Sadranan tidak perlu dilakukan karena bertentangan dengan hadist dan as sunnah. Sadranan sering digolongkan dengan perbuatan syirik atau menyekutukan Tuhan. Sementara menurut kelompok kedua yang beraliran kultural, Sadranan adalah kegiatan keagamaan yang sah-sah saja, asal tidak untuk menyembah leluhur atau pekuburan.
Terlepas dari perbedaan pendapat itu, peneliti memandang perlu pelestarian tradisi Upacara Sadranan. Selain sebagai wujud pelestarian budaya adilihungpeninggalan nenek moyang, terdapat sejumlah kearifan dalam prosesi upacara Sadranansangat relevan dengan konteks kekinian.Hal ini karena prosesi Upacara Sadranan tidak hanya sekedar gotong royong membersihkan makam leluhur, selamatan dan kenduri sebagai unsur sesaji. Lebih dari itu, Upacara Sadrananmempunyai banyak manfaat yang bisa diambil salah satunya adalah menjadi ajangsilaturahmi, wahana perekat sosial, serta sarana membangun jati diri bangsa. Ketika perbedaan setatus sosial, kelas, agama, golongan, partai politik, dan sebagainya menciptakan kubu-kubu. Upacara Sadranan dapat menyatukan mereka sehingga dapatmesatu, berbaur, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. a. Penyelenggaraan
Upacara Sadranan ini berlangsung di komplek Makam Bumi Arum yang merupakan keberadaan Makam Kyai Ageng Sutawijaya di Desa Majasto, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo. Upacara Sadranan dimulai dengan datangnya masyarakat sekitar Desa Majasto maupun yang datang dari luar Desa Majasto. Dilanjutkan dengan pelaporan keuangan yang dilaporkan oleh bendahara desa, setelah itu dilanjutkan membaca surat yasin dilanjutkan doa bersama dan kemudian
acara potong tumpeng yang di lakukan oleh Bupati Sukoharjo yaitu Bapak Wardoyo Wijaya.
b. Waktu upacara
Upacara Sadranan dilaksanakan oleh masyarakat Desa Majasto setahun sekali tepatnya tanggal 15 Ruwah (bulan Jawa), atau pada tanggal 03 juni 2015 dua minggu sebelum bulan Ramadhan. Ritual ini dilaksanakan sekitar pukul 12.00 WIB sampai selesai.
c. Pelaksanaan upacara
Pelaksanaan upacara Sadrananyang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Majasto, juga diikuti oleh masyarakat dari luar Desa Majasto yang masih memiliki leluhur di makam Bumi Arum Majasto. Adapun susunan acara upacara Sadranan sebagai berikut.
1) Pra Acara
Sebelum upacara Sadranan berlangsung, di awali dengan pembacaan surat yasin oleh para Kyai serta santri yang ikut pula dalam acara Sadranan tersebut.
2) Pembukaan upacara
Upacara Sadranandibuka dengan bacaan basmalah, hal ini bertujuan untuk memohon kelancaran selama acara upacara Sadranan berlangsung. Kemudian dilanjutkan dengan ucapan selamat datang kepada seluruh tamu undangan yang menghadiri upacara Sadranan beserta masyarakat setempat yang juga meramaikan acara Sadranan yang berada di komplek Makam Kyai Ageng Sutawijaya.
3) Pembacaan Laporan Keuangan Desa Majasto
Pembacaan laporan keuangan Desa Majasto dibacakan oleh bendahara panitia pelaksanaan pembangunan makam Bumi Arum yaitu bapak Yoga Mahendra, laporan keuangan berisi pembacaan sumbangan dari masyarakat serta saldo akhir setelah pembangunan makam Bumi Arum Majasto.
4) Sambutan Kepala Desa Majasto
Sambutan ini diisi oleh Kepala Desa Majasto yaitu bapak Rudi Hartono. Sambutan oleh Kepala Desa Majasto berisikan tentang ucapan selamat datang dan ucapan terimakasih kepada Bapak Bupati Sukoharjo serta masyarakat yang berkenan menghadiri upacara Sadranan tersebut.
5) Sambutan Bapak Bupati Sukoharjo
Sambutan Bapak Bupati Sukoharjo berisikan tentang ucapan trima kasih kepada semua yang hadir dalam acara tersebut. Selanjutnya Bapak Bupati memberikan dukungan yang cukup baik atas berlangsungnya acara upacara Sadranan tersebut dan berpesan supaya upacara Sadranan tetap harus dilestarikan karena merupakan salah satu warisan budaya yang mengandung nilai-nilai luhur.
6) Upacara Sadranan
Pada acara Upacara Sadranan diawali dengan potong tumpeng yang dilakukan oleh bapak Bupati Sukoharjo dilanjutkan oleh masyarakat yang menikmati makanan yang dibawa dari rumah masing-masing. Pada saat inilah kebersamaan serta kerukunan antar masyarakat Desa Majasto nampak jelas terlihat.
7) Istirahat
Pada saat istirahat, masyarakat yang mengikuti Upacara Sandranan segera mengeluarkan makanan yang mereka bawa dari rumah. Pada saat ini terlihat masyarakat Desa Majasto memiliki rasa kekeluargaan yang sangat kental antara satu sama lain.
8) Ziarah
Ziarah merupakan acara inti pada upacara Sadranan. Ziarah dilakukan oleh para warga Desa Majasto serta bapak Bupati yang melakukan tabur bunga dan mendoakan para leluhur.
9) Pembagian Sembako
Upacara Sadranan panitia telah menyediakan sembako berupa beras yang akan dibagikan kepada warga Desa Majasto, khususnya kepada warga desa yang kurang mampu
10) Penutup
Acara ditutup dengan bacaan hamdalah bersama-sama. Seusai acara, panitia dan warga kembali saling bahu-membahu membereskan tempat yang tadi digunakan untuk acara Upacara Sadranan.
d. Perlengkapan Upacara Sadranan
Dalam suatu upacara dipastikan membutuhkan perlengkapan yang memiliki makna simbolik. Adanya makna simbolik mempunyai nilai guna yang dapat dihayati oleh masyarakat Desa Majasto maupun masyarakat umum pendukungnya.
Tradisi Upacara Sadranan yang berada di makam Kyai Ageng Sutawijaya di dalamnya sendiri terdapat lambang-lambang yang berwujud dalam bentuk sesaji.
Selain memiliki pesan tentang baik dan buruk, sesaji juga digunakan sebagai sarana komunikasi kepada mahluk-mahluk gaib untuk menghormati keberadaan mereka. Sesaji ataupun uborampe yang digunakan diantara lain adalah.
1) Tumpeng
Tumpeng atau Nasi Gunungan melambangkan suatu cita-cita atau tujuan yang mulia, seperti gunung yang memiliki sifat besar dan puncaknya yang menjulang tinggi Nasi tumpeng bermacam-macam jenisnya, ada nasi tumpeng alus, nasi tumpeng among-among, megana, reboyong, pungkur dan suci(Wahyana Giri, 2010: 18-20).
Kata “tumpeng” berasal dari kata Tumungkula Sing Mempeng, artinya kalau ingin selamat, hendaknya selalu rajin beribadah. Tumpeng yang berbentuk kerucut dalam tradisi upacara Sadranan mengartikan bahwa semakin hari manusia harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Tumpeng juga sebagai perumampaan alam semesta, dimana nasi berwujud gunung dikelilingi oleh hasil bumi berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan darat/air. 2) Pisang Raja
Pisang raja sebagai lambang manusia yang harus bersatu,
manunggal(bersatu) antara pekerjaan dan panyuwunan (permintaan). Pisang
raja juga dapat dimaknai sebagaiperwujudan seorang pemimpin yang didukungoleh seluruh rakyatnya. Masyarakatakan hidup berdampingan dan saling melengkapi. Pemimpin seharusnya tidak semena-mena kepada rakyatnya tetapi harus dapat mengayomi rakyatnya, sehingga hidup mereka tentram, makmur dan bahagia.
3) Ayam Ingkung.
Ayam ingkung berupa ayam jago(jantan) yang dimasak utuh (ingkung), adalah simbol menyambah Tuhan dengan Khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, antara lain : sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok). Manusia hanya bisa berusaha kemudian berdoa dan hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan, untuk itu digunakan ayam ingung sebagai lambang.
4) Kedelai Goreng
Kedelai goreng disini bermaksud untuk menghindarkan diri dari masalah-masalah yang datang.
5) Cabai Merah
Cabai merah memiliki makna atau symbol dilah/api yang memberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain. Diibaratkan Kyai Ageng Sutawijaya yang selalu mengajarkan budi pekerti yang baik dan menyebarkan Agama Islam.
e. Tujuan dan manfaat penyelenggaraan tradisi upacara Sadranan 1) Tujuan tradisi Upacara Sadranan
a) Mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan di antara masyarakat, khususnya masyarakat Desa Majasto.
b) Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang selalu memberi rizki dan keselamatan kepada masyarakat Desa Majasto.
c) Menjaga warisan kebudayaan. 2) Manfaat tradisi Upacara Sadranan
a) Suatu tradisi yang mempunyai daya pikat pasti dapat dijadikan aset pendapatan penduduk sekitar dengan adanya orang berjualan maupun lahan parkir yang di sediakan oleh masyarakat.
b) Pemerintah daerah dengan adanya suatu tradisi yang masih dilestarikan di Desa Majasto ini dapat menjadi asset pariwisata religi yang bisa dikembangkan.
B. Isi dan Bentuk Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya
1. Deskripsi Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya
Cerita berawal dari runtuhnya kerajaan Majapahit, ditandai dengan sengkalan Sirna Liang Kertaning Bumi yang berarti tahun 1400 Caka atau tahun 1478 Masehi dan merupakan awal pengembaraan para putra-putri Prabu Brawijaya V.
Runtuhnya Majapahit kala itu telah diramalkan oleh seorang mufti besar yaitu Sunan Ampel. Raden Patah bermaksud menyerang Majapahit, namun keinginannya ditentang oleh Sunan Ampel dan Sunan Giri. Alasan kedua sunan menentang keinginan Raden Patah disebabkan adanya perhitungan bahwa tanpa diserbu pun Majapahit akan runtuh karena sudah keropos dari dalam. Bila Raden Patah tetap berkeinginan untuk menyerang Majapahit maka Raden Patah dapat di katakanya seorang anak yang durhaka, yang akan menyerang dan merebut tahta ayahandanya sendiri.
Ramalan Sunan Ampel ternyataterbukti. Tidak terlalu lama, Singgasana Majapahit diserang oleh Adipati Girindrawardhana dari Kediri. karena tidak mampu menahan serangan tersebut, maka Prabu Brawijaya V melarikan diri ke puncak Gunung Lawu dan disertai oleh beberapa putranya yaitu Raden Gugur, Raden Joko Tanewung dan Raden Joko Suwanda. Sampai akhir hayatnya, Prabu Brawijaya V dikenal sebagai Sunan Lawu.
Menurut Surat Parisawuli, putra Prabu Brawijaya V mempunyai putra dan putri sebanyak 111 orang, secara berurutan putra tertua hingga bungsu adalah sebagai berikut :
1) Raden Harya Damar, Adipati di Palembang 2) Raden Joko Pekik, Adipati di Sumenep 3) Ratu Ayu Pengging
4) Retna Manik, menikah dengan Adipati Sumangsa di Gegelang 5) Raden Joko Peteng, Adipati di Madura
6) Raden Joko Maya, Adipati di Bali bergelar Prabu Dewa Ketut 7) Raden Joko Sungging, diasingkan ke negeri Cina
8) Raden Joko Krewet, Adipati di Borneo (Kalimantan) 9) Raden Barungnaba, menjadi Adipati di Makasar 10) Raden Joko Surenggana
11) Raden Joko Sujanma, Adipati di Blambangan
13) Raden Patah, menjadi Raja Demak Bintoro dan bergelar Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar Brawijaya Sirolah Amiril Mukminin Tajudin Ngabdul Kamit Khan
14) Raden Joko Bondhan Kejawen 15) Retna Kedaton
16) Retna Kumala, menikah dengan Adipati Jipan
17) Raden Joko Mulya, menjadi Tumenggung Ki Gajahpramanda 18) Retna Marsandi
19) Retna Marlengen, menikah dengan Adipati Lowanu
20) Retna Setaman, menikah dengan Tumenggung Jaran Panoleh 21) Retna Setapan, menikah dengan Harya Bangah di Kedu 22) Raden Joko Piturun atau Batara Katong, Adipati Ponorogo 23) Dewi Retnadi, menikah dengan Kudapanoleh di Sumenep 24) Raden Gugur
25) Retna Kanistrin, menikah dengan Syeh Sabil di Gresik 26) Retna kaniraras, menikah dengan Harya Pekik di Sukowati 27) Dewi Ambar, menikah dengan Harya Martoko
28) Raden Joko Hantar, dimakamkan di Kedu
29) Raden Joko Loba, Atau Kyai Ageng Purwoto Sidik di Banyubiru 30) Raden Joko Dandun
31) Raden Joko Bander, muksa di Sungai Wuluh 32) Raden Joko Bolot, muksa di Mojolegi
34) Raden Joko Balaro, muksa di G. Taruwongso 35) Raden Joko Balerong
36) Raden Joko Kurih, muksa di Gunung Tigo 37) Dewi Sampur, muksa di G. Centhuni 38) Raden Joko Jadeg, muksa di Gunung Tigo 39) Raden Joko Lawih
40) Raden Joko Balut, dimakamkan di Gunung Mangir 41) Raden Joko Puring, meninggal waktu muda
42) Raden Joko Dobras, dimakamkan di Argapura 43) Dewi Sakati, muksa di Gunung Soka
44) Raden Joko Tuwo 45) Raden Joko Malawo
46) Raden Joko Lanang, dimakamkan di Gunung Anda 47) Raden Joko Linci, Muksa di Gunung Andong 48) Dewi Rantan, meninggal ketika kecil
49) Raden Joko Janreung, meninggal di Pulau Timor 50) Raden Joko Sumprung atau Kyai Ageng Brodot 51) Raden Joko Gambyong, meninggal ketika kecil 52) Raden Joko Humyang, muksa di Gunung Ijo
53) Raden Joko Lambase, muks di Gunung lanang Ponorogo 54) Raden Joko Salirah, gugur dalam peperangan
55) Raden Joko Doyok, meninggal di Rawadalem 56) Dewi Paniwen, muksa di gua Kawidadar
57) Raden Joko Tambak, meninggal ketika kecil 58) Raden Joko Lawung, meninggal di Jatikaponjong 59) Raden Joko Dorang, meninggal di Jatikaponjong 60) Raden Joko Balado, meninggal di Pace
61) Raden Joko Balabur, meninggal di Pace 62) Raden Joko Busur, gugur dalam perang 63) Raden Joko Gurit, meninggal ketika kecil 64) Raden Joko Bolang, gugur dalam perang 65) Raden Joko Lengis, gugur dalam perang 66) Raden Joko Guntur, meninggal ketika kecil 67) Raden Joko Malat
68) Raden Joko Morang
69) Raden Joko Jotang, bunuh diri
70) Raden Joko Duwu, meninggal di Gunung Geneng 71) Raden Joko Rawu, meninggal di Gunung Geneng 72) Raden Joko Tanduran, meninggal di G. gebangtinatar 73) Raden Joko Pangalasan, meninggal di hutan
74) Raden Joko Krenda, muksa di G Tunggarana 75) Raden Joko Jinggring, muksa di bukit Braja 76) Raden Joko salambar, muksa di Gunung Kidul
77) Raden Joko Tangkeban, muksa di Gunung Jalar Masaran 78) Raden Joko Burat atau Pasingsingan, muksa di Gunung Kidul 79) Raden Joko Tamburu, muksa di Gunung Kidul
80) Raden Joko Tambula, muksa di Gunung Jalar Masaran 81) Raden Joko Lambang, Muksa di Tunjung Bang
82) Raden Joko Kalaru, meninggal di Gunung Tapak 83) Raden Joko Lemuru, meninggal di Gunung Tapak 84) Raden Joko Doplang, muksa di lautan pasir
85) Raden Joko Sampa, muksa di Gunung Canggalan Pacitan 86) Raden Joko Beluk, muksa di Gunung Canggalan Pacitan 87) Raden Joko Paneki, muksa di Podangan
88) Raden Joko Raras, muksa di Ngoya 89) Raden Joko Panatas, muksa di teleng
90) Raden Joko Walaksa, muksa di kedung Panjang Keduwang 91) Raden Joko Raras
92) Raden Joko Samas, meninggal di Manggis Keduwang 93) Raden Joko gedug, dibunuh penjahat
94) Raden Belanruci, dibunuh penjahat 95) Raden Joko Basur
96) Raden Joko Sumene, meninggal di Jurangbubuk 97) Raden Joko Wirun, meninggal di Salakarung 98) Raden JokoKetug, meninggal di Giyono Keduwang 99) Raden Joko Dalem, meninggal Lowana
100) Raden Joko Tanewung, muksa di Gunung Lawu 101) Raden Joko Suwondo, muksa di Gunung Lawu
103) Raden Joko Pangawe atau Kyai Ageng Wanapeksa 104) Raden Joko Supana atau Kyai Ageng Kalilusi
105) Raden Joko Sanggara atau Kyai Ageng Ngepring Wonogiri 106) Raden Joko Gepyak atau Kyai Ageng palesungan
107) Raden Joko Bodo atau Kyai Ageng Sutawijaya di Majasto 108) Raden Joko Pandak atau Syeh Kalidatu
109) Raden Joko Wijak atau Syeh Sabukjanur 110) Raden Joko Baludu atau Syeh Sekar Delima
111) Raden Joko Delog atau Raden Wadi Bakna, di Jatinom Klaten
Tahta Majapahit berhasil diduduki oleh Adipati Girindrawardhana, para wali saat itu mendesak Raden Patah (Putra Prabu Brawijaya ke-13) untuk segera merebut kembali tahta ayahandanya dan dipindahkan ke Demak Bintoro. Raden Patah menyetujui dan segera mengirim pasukan yang dipimpin oleh Sunan Ngudung, sedangkan pasukan Kediri dipimpin oleh Senopati Arya Timbal atau Adipati Terung dan dalam pertempuran tersebut Sunan Ngudung gugur serta kedudukan sebagai Senopati digantikan oleh pangeran Jafar Sodig atau Sunan Kudus.
Melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam, Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus, peperangan dapat dihentikan dan Adipati Terung diajak bergabung dengan Raden Patah, karena keduanya adalah sama-sama orang Majapahit. Dengan bujukan Sunan Kalijaga itulah akhirnya Adipati Terung berbalik memihak Raden Patah, dan tahta Majapahit akhirnya dapat direbut kembali dari tangan Prabu Girindrawardhana.
Tahta Majapahit berhasil direbut kembali namun, tidak mudah bagi Raden Patah untuk menyatukan kembali saudara-saudaranya yang terlanjur meninggalkan istana sejak Majapahit jatuh ke tangan Prabu Girindrawardhana. Prabu Brawijaya sendiri tetap pada sabdanya kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim beberapa tahun sebelumnya, bahwa ia sebagai raja Hindu tidak akan memeluk Islam, namun sebagai rasa persaudaraannya, Syeh Maulana Malik Ibrahum diberi daerah kekuasaan di Gresik untuk menjalin hubungan baik itu, antara pemeluk Islam dan Hindu tidak dibenarkan.
Perjalanan para putra Majapahit ternyata menyebar hampir ke seluruh Tanah Jawa bahkan ke luar Jawa. Mereka tetap memeluk agama Budha tetapi tidak sedikit pula yang masuk agama Islam dan berguru kepada seorang mufti. Diantara sekian putra Majapahit tersebut adalah Raden Joko Bodo yang setelah memeluk agama Islam berganti nama menjadi Kyai Ageng Sutawijaya.
Kyai Ageng Sutawijaya merupakan keturunan Majapahit yang dikenal dengan nama Raden Joko Bodo. Dikisahkan setelah kerajaan majapahit rantuh, Raden Joko Bodo meninggalkan Kerajaan Majapahit dengan cara menyamar menjadi seorang petani. Cara demikian dilakukan semata-mata agar tidak diketahui oleh para pengikut Prabu Girindrawardhana.Raden Joko Bodo memulai perjalanan kearah barat dan akhirnya bertemu dengan Sunan Kalijaga serta berguru kepadanya. Setelah dianggap mumpuni dalam olah kanuragan maupun oleh batin, Sunan Kalijaga memerintahkan kepada Raden Joko Bodo untuk membuka hutan Ampel, nama Raden Joko Bodo diganti oleh Sunan Kalijaga menjadi Sutawijaya, sedangkan hutan Ampel yang sudah
menjadi tempat tinggal Sutawijaya diberi nama Tegalampel (sekarang masuk wilayah Kec. Karangdowo Klaten).
Selama di Tegalampel, Ki Sutawijaya didampingi oleh istrinya R. Ay Mayang Mekar dengan kedua putranya yaitu R. Ay Mus dan Raden Suradita. Namun akhirnya R. Ay Mus ikut pamannya di Bukit Taruwongso.Ki Sutawijayapun hidup sebagai petani tak ubahnya seperti para petani lainya sambil menyebarkan agama Islam, sehingga para pengikutnya kian hari semakin bertambah.Di Tegalampel itu pula Ki Sutawijaya mendirikan Masjid pertama, sehingga masjid tersebut dinamakan masjid Tiban.
Ki Sutawijaya yang mana merupakan keturunan raja tidak begitu saja melupakan kebiasaannya di keratin Majapahit, yaitu membina kesenian jawa seperti karawitan, tembang dan kesusastraan jawa dan lainya dan hal ini ditularkan kepada penduduk Tegalampel, tak pelak lagi bila sampai saat ini di daerah tersebut menelorkan dalang-dalang wayang kulit terkenal maupun para pengkrawit serta seniman-seniman Jawa lainya.
Melihat ketekunan muridnya dalam bercocok tanam tersebut Sunan Kalijaga merasa khawatir, bila Ki Sutawijaya terlena oleh urusaan duniawi saja, karena menurut firasat Sunan Kalijaga, Ki Sutawijaya kelak akan menjadi seorang mufti besar. Oleh karena itulah, Ki ageng Sutawijaya tidak dibiarkan begitu saja tetap menjadi seorang petani. Maka ditemuilah muridnya tersebut dengan cara menyamar menjadi seorang petani yang tengah menyusuri pematang sawah milik Ki Sutawijaya. Kehadiran seorang petani yang menggunakan caping pandan menarik perhatian para petani yang melihatnya dan segera melaporkan hal ini kepada Ki Sutawijaya. Setelah
mendengar penuturan para petani Ki Sutawijaya bergegas menuju sawah miliknya, namun sesampainya di sawah tidak ada seorang pun, bahkan tidak ada bekas tapak kaki sedikitpun, melihat hal ini, Ki Sutawijaya menjadi sadar, bila yang telah bertemu dengan para petani itu adalah gurunya sendiri, Sunan Kalijaga yang menyamar menjadi petani yang bercaping pandan. Lebih yakin lagi manakala Ki Sutawijaya bertemu dengan seorang pedagang di tengah jalan.Maka bertanyalah kepadanya dan dijawab oleh pedagang tersebut apabila ingin menemui orang tersebut , Ki Sutawijaya diminta menyusul ke Tembayat kerumah Sunan Tembayat.Setalah Ki Sutawijaya pergi, maka pedagang itu lenyap dari pandangan, karena sebenarnya orang tersebut adalah Sunan Kalijaga yang menyamar menjadi seorang pedagang.
Sampai di panti Tembayat, Sunan Kalijaga dan Kyai Ageng Pandanaran sedang duduk bersila sambil membicarakan perkembangan agama Islam di Tembayat. Ki Sutawijaya segera memberisalam dan dijawab pula oleh Sunan Kalijaga, kemudian memperkenalkan Ki Sutawijaya kepada Kyai Ageng Pandanaran. Selanjutnya Sunan Kalijaga menyarankan agar Ki Sutawijaya berguru kepada Kyai Ageng Pandanaran demi memperdalam ilmu agama Islam.
Wahai jebeng Sutawijaya, sebaiknya kamu berguru kepada Ki Ageng Tembayat untuk beberapa waktu lamanya.Selanjutnya agar segera terwujud kau menjadi mufti, setelah mendalami ilmu agama Islam di Tembayat, kau harus segera bertapa di bukit Majasto yang letaknya sebelah selatan dukuh Tegalampel.
Menjadi murid Tembayat tidaklah mudah bagi Ki Sutawijaya, karena ia harus mengisi padasan (bak air untuk wudhu) dengan air melalui keranjang. Tetapi semua perintah calon gurunya itu dijalani dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, berkat
kesaktianya pula akhirnya Ki Sutawijaya berhasil mengisi padasan, sehingga ia dapat diterima menjadi murid pesantren Tembayat.
Berdasarkan sabda Sunan Kalijaga yang memerintahkan Ki Sutawijaya agar berada di Bukit Majasto, maka nama Majasto adalah pemberian Sunan Kalijaga, karena sebelum itu, nama Majasto belum pernah disebut. Tetapi ada sebagian orang yang mengatakan bahwa Majasto merupakan bagian dari dua kata antara maja (buah maja) dan asta (tangan) maksdnya buah maja sebesar kepalan tangan yang dipetik oleh Ki Ageng Sutawijaya
Dibanding dengan santri yang lain, Ki Sutawijaya termasuk yang cepat menguasai segala ilmu yang diberikan oleh gurunya yakni Kyai Ageng Pandanaran. Oleh karena itu Ki Sutawijaya sangat disayang oleh sang guru, dan tidak lebih dari lima tahun berguru di pesantren Tembayat, Ki Sutawijaya telah diijinkan untuk meninggalkan Tembayat menuju bukit Majasto sesuai dengan perintah Sunan Kalijaga.
Sore menjelang magrib Ki Sutawijaya duduk bersila sambil berkata dalam hati, bahwa setelah bersusah payah, akhirnya bukit Majasto ditemukan juga. Namun tidak diduga, hari itu Sunan Kalijaga telah datang tanpa sepengetahuan Ki Sutawijaya, pada saat itu beliau mengatakan bahwa apa yang diduga bukanlah Bukit Majasto melainkan bukit Beluk, Ki Sutwijaya merasa kaget, namun setelah mengetahui bahwa yang datang itu gurunya, Ki Sutawiaya segera bersujud dan memohon restu kepada Sunan Kalijaga. Hari itu Ki Sutawijaya bangkit meneruskan perjalanan menuju kearah timur.Sudah menjadi tradisi bahwa selama meninggalkan
suatu tempat, tujuh langkah tidak boleh menoleh ke belakang.Namun Sunan Kalijaga telah lenyap sejak awal Ki Sutawijaya melangkahkan kaki.
Perjalanan Ki Sutawijaya sampailah di sebuah bukit kembar yang letaknya berdampingan atau orang yang menyabutnya bukit jajar.Karena merasa letih setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Ki Sutawijaya merasa putus asa. Karena tidak satupun petunjuk diterimanya, murid Sunan Kalijaga itu pun beristirahat dekat bukit jajar tadi.Tanpa disadari Ki Sutawijaya akhirnya tertidur di tempat peristirahatannya.Namun tak lama datanglah Sunan Kalijaga membangunkan muridnya. Diberitahulah dengan sabda Sunan Kalijaga bahwa janganlah engkau berputus asa, karena orang yang hendak mencapai keluhuran jiwa itu harus rela membayar dengan kesabaran dan mau mengekang hawa nafsu melalui cara bertapa, jika niatmu telah bulat tak lama lagi akan segera datang wahyu untukmu. Mendengar sabda Sunan Kalijaga tadi, Ki Sutawijaya bangkit dari tidurnya kemudian bersujud dan memohon maaf kepada gurunya atas kesalahan yang telah diperbuat.
Ki Sutawijaya bangkit dan melanjutkan perjalanan, sementara itu Sunan Kalijaga juga hilang dari pandangan dan meninggalkan pesan bahwa bukit kembar yang berdampingan tadi dinamakan Gunung Pegat yang artinya cerai.Nama gunung pegat ini berkaitan dengan Ki Sutawijaya saat itu merasa putus asa. Sampai sekarang gunung tersebut menjadi kaul, barang siapa menjadi pengantin baru yang belum genap lima hari melewati gunung pegat, niscaya pengantin tersebut tidak lama lagi akan bercerai.
Perjalanan Ki Sutawijaya akhirnya sampai di puncak bukit Taruwangsa, bertemu dengan brahma berjubah putih dengan menggenggam cambuk (cemeti) di
tangannya. Ki Sutawijaya bertanya kepada brahmana yang baru saja ditemui, dan ternyata brahmana yang ditemui adalah saudaranya sendiri yang bernama Jaka Balora yang kini telah bergelar Pangeran Banjaransari.
Selama dibukit Taruwangsa, Ki Sutawijaya suka menyendiri di puncak. Pada saat menjelang fajar datanglah Sunan Kalijaga menemui Ki Sutawijaya sembari bersabda :
“ Jebeng Sutawijaya malamini kau telah menerima wahyu mufti dari yang Maha Kuasa sebagai tanda bahwa kau telah menerima anugrah Tuhan sebagai calon pemimpin umat, bukit Taruwangsa ini saya namakan bukit Wahyu, dan mulai hari ini juga kau berhak memakai nama Kyai Ageng Sutawijaya.”
Ki Sutawijaya segera pergi meninggalkan gunung Wahyu (Taruwangsa) menuju Bukit Majasto Setelah menerima perintah dari gurunya. Perjalanan berikutnya Kyai Ageng Sutawijaya melewati tempat yang sejuk dengan udara berhembus pelan.Angin yang terus berhembus itu membuat Kyai Ageng Sutawijaya merasa betah tinggal tersebut hingga beberapa hari dan tempat tersebut kemudian oleh Kyai Ageng Sutawijaya dinamakan Angin-angin.
Dari Angin-angin, Kyai Ageng Sutawijaya melanjutkan perjalanan menuju bukit yang nampak menonjol dari permukaan. Karena merasa yakin bahwa bukit yang dilihatnya itu adalah bukit Majasto, Kyai Ageng Sutawijaya menjadi yakin. Ditempat itulah Kyai Ageng Sutawijaya memberian nama Sregan. Dari Sregan, Kyai Ageng Sutawijaya melanjutkan perjalanan menuju bukit Majasto. Di situlah ia melihat bangunan menyerupai keraton milik raja jin. Bangunan bangsal tersebut
sedang digunakan untuk rapat para jin pengikut Ki Hajar Sidamulya (Ki Hajar Kamulyan) dan oleh Kyai Ageng Sutawijaya, tempat tersebut dinamakan Bangsalan.
Saat itu Kyai Ageng Sutawijaya tidak langsung mendaki puncak bukit Majasto karena ia tahu bahwa bukit tersebut sebenarnya telah lebih dahulu dikuasai oleh raja jin, dan bukit Majasto merupakan istana besar bagi bangsa jin. Menjelang malam, Kyai Ageng Sutawijaya hanya mengelilingi bukit dari arah selatan melewati tanggul sungai itu dahulunya pernah dijadikan untuk ajang pertempuran prajurit dari Pengging melawan prajurit Prambanan dibawah Ratu Baka. Dalam pertempuran tadi seorang prajurit bernama Pangeran Dengkeng gugur ditengah sungai.
Kyai Ageng Sutawijaya mengelilingi bukit Majasto dalam waktu semalam.Pada saat menjelang fajar, Kyai Ageng Sutawijaya mulai menapakkan kaki menaiki bukit hingga membuat takut para jin penghuni bukit Majasto. Beberapa jin segera melapor rajanya yakni Ki Hajar Sidamulya, dan pagi itu juga Ki Hajar Sidamulya datang menemui Kyai Ageng Sutawijaya. Melihat ada jin mendekatinya, Kyai Ageng Sutawijaya menyampaikan ucapan salam.
“Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarookhatuh”
Ki Hajar Sidomulyo yang memang tidak tahu apa arti salam dari Kyai Ageng Sutawijaya itu menjadi tercengang kagum. Ia pun bertanya kepada Kyai Ageng Sutawijaya apa makna dari salam yang baru saja diucapkan. Setalah dijelaskan makna salam tersebut. Raja jin tersebut merasa kalah budi. Dalam hatinya ia memuji akan keluhuran orang yang baru saja ditemui. Ki Hajar Sidomulyo bertanya kepada Kyai Ageng Sutawijaya, siapa dan dari mana asalnya.Setelah Kyai Ageng Sutawijaya mengenalkan diri dan mengatakan tujuannya datang ke Bukit Majasto, yaitu untuk
mengislamkan orang-orang disekitar Majasto agar mereka mengikuti jejak Rosulullah Muhammad SAW. Kemudian terjadilah perdebatan dan peperangan yang ditawarkan oleh Ki Hajar Sidomulyo, meski sempat ditolak oleh Kyai Ageng Sutawijaya. Ki Hajar beserta para pengikutnya akhirnya segera berangkat pindah menuju Gunung Lawu karena menerima kekalahanya.
Kyai Ageng Sutawijaya mulai menata wilayah Majasto dan membangun pesantren di Bukit Majasto, para warga sekitar mulai mengikuti segala petunjuk dari Kyai Ageng Sutawijaya.Mereka hidup rukun dan sejahtera dan mendirikan jamaah dengan imam Kyai Ageng Sutawijaya.
Kyai Ageng Sutawijaya setelah tinggal di Bukit Majasto cukup, lama beliau beserta pengikutnya mendirikan sebuah masjid untuk tempat ibadah dibukit Majasto. Yang mana usia masjid itu usianya sama dengan masjid Ageng Demak. Dipanggillah seluruh istri dan anak-anaknya untuk berkumpul di Majasto, tetapi R. Ay Mayangmekar memilih tetap berada di Tegalampel hingga wafat dan dimakamkan disamping masjid Tegal Ampel.Sedangkan yang mengikutinya adalah para putra dan putri serta R. Ay.Sedahmirah yang berasal dari Tembayat.Sebagai seorang mufti Kyai Ageng Sutawijaya pun sangat disegani oleh para santrinya karena memiliki kebijakan yang besar dan mengayomi seluruh warganya.
Sebelah barat makam Kyai Ageng Sutawijaya, terdapat batu persegi yang didekatnya terdapat sendang atau mata air sebanyak 3 mata air dan terdapat 2 buah goa. Adapun sendang tersebut bernama.
Sendang Tapak Boma merupakan mata air yang berada di bukit Majasto dan dilindungi dengan cungkup yang mirip pendopo.Walaupun sekarang hanya mengeluarkan sedikit air. Sampai sekarang sendang Tapak Bomo masih dianggap suci, karena didekat sendang tersebut Kyai Ageng Sutawijaya menyampaikan ilmunya kepada para muridnya.
2) Sendang Tapak Bima
Sendang Tapak Bima adalah sendang yang berada disebelah utara sendang Tapak Boma. Menurut cerita sendang Tapak Bima inilah kejadian saat Kyai Ageng Sutawijaya menggenjot batu untuk mengantarkan kepergian raja jin Ki Hajar Sidomulya dan pengikutnya menuju Gunung Lawu. Dan menurut cerita setempat sendang Tapak Bima adalah bekas telapak kaki Kyai Ageng Sutawijaya.
3) Sendang Tapak Kuda
Sendang ini sekang tidak mengeluarkan air lagi, namun masih nampak jelas bentuknya. Sendang Tapak Kuda berada tidak jauh dari Sendang Tapak Bima dan Sendang Tapak Boma. Ketiga sendang tersebut keberadaannya berdekatan.
Ketiga sendang yang terdapat di Bukit Majasto, semua berupa batu hitam. Selain terdapat beberapa sendang, komlek makam Bumi Arum juga terdapat gua yang terdapat di sekitar makam antara lain.
1) Gua Naga
Gua Naga bentuknya panjang melingkar masuk ke dalam tanah. Gua ini bertempat di belakang area makam Bumi Arum. Meski sekarang Goa Naga
sudah ditutup dengan batu oleh masyarakat setempat namun masih nampak jelas bahwa didalamnya terdapat Goa.
2) Gua Macan
Gua Macan letaknya berdekatan dengan Gua Naga, Goa tersebut dulunya digunakan untuk menyimpan bahan makanan dan yang lainnya.
3) Sumur Gedhe,
Sumur Gedhe terdapat di lereng bukit yang tidak pernah kering sepanjang tahun walau kemarau panjang sekalipun. Sampai sekarang sumur gede masih digunakan masyarakat Majasto, terutama disekitar makam Bumiarum.
2. Bentuk Cerita Kyai Ageng Sutawijaya
Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya merupakan salah satu bagian dari kebudayaan yang hidup pada masyarakat Desa Majasto dan sekitarnya.Dari cerita rakyat yang sudah dituturkan masyarakat (cerita lisan).Cerita lisan merupakan sebagian dari persediaan cerita yang telah lama hidup dalam suatu masyarakat, baik masyarakat itu telah mengenal huruf atau belum.Perbedaan dengan sastra tulis yaitu sastra lisan tidak mempunyai naskah.Jika sastra lisan dituliskan naskah itu hanyalah merupakan catatan dari sastra lisan tersebut.
Cerita rakyat sebagai salah satu bentuk dari folklore memiliki beberapa bentuk antara lain : mite, legenda dan dongeng. Mite adalah cerita rakyat yang di anggap benar-benar terjadi serta di anggap suci oleh yang empunya cerita.Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi didunia lain, atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang. Legenda adalah cerita
yang mempunyai cirri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu di anggap pernah benar-benar terjadi, tokoh dalam legenda disakralkan oleh para pendukungnya yaitu merupakan manusia biasa yang mempunyai kekuatan atau kemampuan yang luar biasa, tempat terjadinya di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Sedangkan dongeng adalah cerita yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak terikat oleh ketentuan tentang pelaku atau tokoh, waktu, dan tempat suci.
Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya merupakan suatu cerita yang dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat Desa Majasto, hal ini dapat dilihat dari antusias masyarakat desa ketika diadakan upacara Sadranan di Makam Kyai Ageng Sutawijaya. Selain itu, cerita mengenai Makam Kyai Ageng Sutawijaya masih dimengerti oleh warga sekitar yang menandakan bahwa warga sekitar meyakini cerita tersebut dan diceritakan turun-temurun. Selain itu, cerita Kyai Ageng Sutawijaya dianggap sebagai cerita sejarah oleh masyarakat Desa Majasto, karena mengkisahkan runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Kyai Ageng Sutawijaya merupakan tokoh yang disegani oleh masyarakat di Desa Majasto, sehingga setiap Bulan Sya’ban masyarakat berbondong-bondong menunju ke makam Kyai Ageng Sutawijaya untuk berziarah. Selain itu, cerita yang tersebar dari mulut kemulut memberikan gambaran bahwa Kyai Ageng Sutawijaya adalah tokoh besar yang memiliki kearifan serta kedigdayaan. Beberapa bentuk keunggulan tokoh Kyai Ageng Sutawijaya adalah sebagai berikut.
1) Kyai Ageng Sutawijaya merupakan keturunan Majapahit.
2) Merupakan murid dari Sunan Kalijaga dan Kyai Ageng Pandanaran 3) Merupakan mufti, menyebarkan agama Islam.
4) Seorang seniman yang hebat.
5) Kyai Ageng Sutawijaya adalah pengembara yang tangguh. 6) Dapat mengalahkan raja Jin di bukit Majasto.
7) Mendirikan pesantren di Bukit Majasto.
8) Diceritakan memiliki kepribadian yang baik, dapat mengayomi masyarakat. 9) Dipercaya warga sekitar Kyai Ageng Sutawijaya meninggalkan telapak kaki
di Sendang Tapak Bima.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya berbentuk Legenda. Hal ini sesuai dengan cirri-ciri legenda menurut William R. Bascom dalam James Danandjaja (1997 : 50)sebagai berikut
1) Kyai Ageng Sutawijaya terjadi di dunia nyata. Karena berhubungan dengan sejarah runtuhnya Kerajaan Majapahit.
2) Tokoh merupakan manusia biasa yang mempunyai kekuatan-kekuatan gaib Tokoh dari Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya adalah Kyai Ageng Sutawijaya yang memiliki kekuatan-kekuatan gaib, diantaranya dapat mengalahkan raja jin, dapat mengisi padasan sampai penuhi dengan menggunakan keranjang bambu.
3) Menceritakan terjadinya tempat, seperti : pulau, gunung, daerah/desa, danau/sungai, dan sebagainya.
Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawjiaya juga menceritakan terjadinya tempat, seperti terjadinya nama daerah Gunung Pegat, karena dipercaya pada saat Kyai Ageng Sutawijaya sampai di tempat itu, dia mengalami putus asa.
Menurut Nurgiantara (2013: 182-190) membagi jenis-jenis legenda menjadi 3 jenis, yaitu legenda tokoh, legenda tempat peninggalan, dan legenda peristiwa. Berdasarkan cerita dan penjelasan di atas, maka Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya termasuk ke dalam jenis legenda tokoh dan legenda tempat peninggalan. Hal ini terjadi karena Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya mengisahkan ketokohan seorang tokoh yang bernama Kyai Ageng Sutawijaya serta mengisahkan tentang tempat-tempat peninggalan dan asal-usul penamaan tempat-tempat tertentu.
C. Fungsi Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya
Cerita rakyat merupakan sebagian kebudayaan yang tersebar dan diwariskan kepada masyarakat secara turun temurun. Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk cerita rakyat yang hidup dalam masyarakat secara turun temurun. Dalam suatu cerita rakyat dipastikan mengandung pesan yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Dengan mendengarkan suatu cerita rakyat, seseorang dipastikan akan menemukan ajaran-ajaran kehidupan yang berguna untuk dirinya.Adapun beberapa fungsi yang terkandung dalam Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya adalah sebagai berikut.
1. Sebagai Sarana Sistem Proyeksi
Cerita rakyat mempunyai fungsi sebagai sarana proyeksi, yaitu alat untuk mencerminkan angan-angan kelompok dapat diwujudkan dengan sarana pengukuhan tempat keramat. Keberadaan Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya sebagai milik masyarakat berfungsi sebagai pengakuan tempat keramat, karena masyarakat mempercayai keberadaan Kyai Ageng Sutawijaya di Desa Majasto. Tokoh Kyai Ageng Sutawijaya merupakan tokoh yang disegani dan dihormati, sehingga adanya
Makam Kyai Ageng Sutawijaya di Desa Majasto, tepatnya di atas Bukit Majasto sangat dikeramatkan oleh warga sekitar. Kekeramatan Makam Kyai Ageng Sutawijaya juga ditambah dengan adanya Makam Bumi Arum, komplek pemakaman ini memiliki keunikan karena liang lahat yang digunakan untuk pemakaman hanya setinggi lutut orang dewasa, dan hal tersebut masih dilakukan hingga sekarang. Seperti penuturan Bapak Yoga berikut.
Eyang Sutawijaya itu merupakan pendiri Desa Majasto ini mas, dahulu beliau menyebarkan agama Islam dan mulai menata Desa Majasto. Beliau tinggal di Desa Majasto sampai akhir hayatnya dan akhirnya beliau di makamkan di Bukit Majasto ini. Sudah menjadi tradisi sejak dulu mas, bahwa pemakaman di sini kedalamannya hanya sekitar sedengkul kaki saja. Tidak ada yang tau sejak kapan dan mengapa kok pemakamanya hanya sedengkul orang dewasa saja. Yang saya tau itu sudah menjadi tradisi sejak dahulu dari nenek moyang dahulu. Meskipun pemakaman hanya sekitar setengah meter saja, namun tanahnya tidak berbau mas.
2. Sebagai Alat Pengesahan Pranata-Pranata dan Lembaga-lembaga Kebudayaan
Cerita Rakyat berfungsi mengontrol kelangsungan budaya suatu masyarakat dalam suatu masyarakat dalam cerita ini, yaitu Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya di Desa Majasto, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo. Setiap tahun selalu di lakukan upacara Sadranan yang bertempat di komplek Makam Bumi Arum Majasto, yang memiliki tujuan untuk menyambut Bulan Ramadhan serta menghormati para leluhur. Meskipun masyarakat Desa Majasto pada umumnya mempunyai agama yang cukup kuat, namun mereka tetap bisa membedakan antara tradisi, budaya, dan agama. Mereka memandang tradisi adalah suatu ritual sebagai warisan budaya turun-temurun yang bisa diingat oleh anak cucu. Namun tidak sampai
membuat mereka melupakan bahwa kekuasaan dan kekuatan tertinggi ada di tangan Allah SWT.
3. Sebagai Alat Pendidikan
Pendidikan adalah seluruh usaha mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan karakter yang baik warga masyarakat terutama generasi muda. Pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis yang bertujuan untuk memanusiakan manusia dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan sehingga akan tercipta manusia yang seutuhnya. Pendidikan berkenaan dengan segala kegiatan yang berguna untuk menambah pengetahuan sekelompok orang maupun pengetahuan baik itu pengetahuan seseorang maupun pengetahuan sekelompok orang.
Folklor dapat digunakan sebagai media pendidikan untuk menyampaikan pelajaran kepada murid guna mempermudah proses belajar mengajar. Folklore juga dapat digunakan untuk media pendidikan bagi masyarakat pendukungnya. Folklore mengandung nilai budaya yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendidikan. Nilai budaya yang terkandung dalam genre folklore merupakan pesan-pesan sebagai sumber pengetahuan atau pendidikan bagi generasi penerus. Pada hakikatnya genre-genre folklore merupakan bentuk ungkapan budaya yang mengandung nilai-nilai yangdapat diteladani dan diinternalisasikan oleh generasi penerus.
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari nilai folklore dan bisa dijadikan bahan pembelajaran dalam pranata sekolah dan pranata keluarga dalam mengatasi persoalan kehidupan sehari-hari. Folklore mengandung pesan-pesan yang hendak disampaikan kepada masyarkat baik berupa makna dan fungsi, nilai norma maupun kearifan lokal. Folklore yang mengandung kearifan lokal dapat dimanfaatkan sebagai sumbber
pendidikan karakter. Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat.
Cerita rakyat Kyai Ageng Sutawijaya menceritakan seorang tokoh yang bernama Kyai Ageng Sutawijaya. Dalam riwayatnya setelah runtuhnya kerajaan Majapahit Kyai Ageng Sutawijaya melakukan perjalanan di berbagai tempat dan sampailah ke bukit Majasto. Nilai-nilai pendidikan yang dapat diambil adalah bahwa beliau merupakan seorang keturunan kerajaan Majapahit yang akhirnya menyebarkan agama Islam di Desa Majasto.Dari perjalanan beliau menuju bukit Majastodapat diambil nilai-nilai pesan yang dapat dijadikan untuk pendidikan generasi yang akan datang. Unsur- unsur pendidikan yang terdapat dalam Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya antara lain.
a. Mendidik agar selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa
Salah satu bukti ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kyai Ageng Sutawijaya dengan menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Desa Majasto dan sekitarnya. Dengan kegigihan beliau untuk mengislamkan masyarakat Desa Majasto, akhirnya beliau dapat mendirikan pesantren dan sebuah masjid yang berdiri di bukit Majasto. Para warga sekitar mulai mengikuti segala petunjuk dari Kyai Ageng Sutawijaya. Mereka hidup rukun dan sejahtera dan mendirikan jamaah dengan imam Kyai Ageng Sutawijaya. Maka dari Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya dapat kita ambil nilai-nilai atau fungsi yang salah satunya adalah mendidik manuasia agar selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Mendidik Manusia Agar Tidak Sombong
Cerita rakyat Kyai Ageng Sutawijaya mengandung unsur pendidikan untuk mendidik agar berlaku tidak sombong, karena kesombongan hanyalah akan merugikan diri kita sendiri. Dalam kehidupan dan perjalanannya Kyai Ageng Sutawijaya tidak pernah memperlihatkan bahwa beliu merupakan seorang keturuan bangsawan, beliau tidak pernah membanggakan dan menyombongkan diri akan kekuatan yang beliau miliki. Kyai Ageng sutawijaya tidak pernah merasa sombong karena mempunyai kelebihan. Dengan kerendahan hatinya maka Kyai Ageng Sutawijaya dihormati dan sangat disegani oleh masyarakat Desa Majasto.setelah runtuhnya kerajaan Majapahit beliau melakukan penyamaran sebagai seorang petani. Meski beliau keturunan bangsawan Kyai Ageng Sutawijaya mau terjun sebagai rakyat jelata dan menjadi petani. Dengan ini dapat kita ambil beberapa fungsi yang salah satunya adalah mendidik manusia agar tidak sombong. Seperti penuturan bapak Sayono (Juru Kunci)
Jadi begini mas setelah kerajaan Majapahit runtuh Eyang Sutawijaya melakukan perjalanan yang sampai akhirnya beliau disuruh untuk ke Desa Majasto ini mas. Menurut yang saya tau di saat perjalanan menuju Desa Majasto beliau menyamar sebagai petani mas. Dan sesampainya di Bukit Majasto beliau harus menghadapi Raja Jin yang sebelumnya sudah lebih dahulu menempati bukit tersebut. beliau tidak pernah menyombongkan kekuatan ataupun latar belakangnya sebagai putra bangsawan.
c. Mendidik Manusia untuk Mau Berbagi Ilmu Kepada Sesama
Kyai Ageng Sutawijaya memiliki citra yang sangat baik diangan-angan Masyarata Desa Majasto. Beliu mau mengajarkan kesenian Jawa seperti karawitan,
tembang dan kesusastraan Jawa lainya kepada masyarakat penduduk Tegalampel. Beliau juga mendirikan pesantren di Desa Majasto untuk bisa membagi ilmu keislamannya kepada masyarakat Desa Majasto.
d. Mendidik untuk Patuh Kepada Nasihat Guru atau Orang Tua
Guru atau orang tua akan selalu menuntut anak didiknya untuk menjadi pribadi yang baik dan orang yang sukses. Sehingga menjadi kewajiban seorang murid ataupun anak untuk selalu mematuhi nasihat dan melaksanakan perintah guru ataupun orang tua. Hal serupa juga dilakukan oleh Kyai Ageng Sutawijaya, beliau begitu patuh pada gurunya, Sunan Kalijaga dan Kyai Pandanaran. Apapun yang diperintahkan oleh gurunya selalu dilaksanakan dengan baik oleh Kyai Ageng Sutawijaya seberat apapun perintah tersebut.
4. Sebagai Pengawas Norma-norma Masyarakat yang Harus Dipatuhi oleh Kolektifnya
Suatu kebudayaan masyarakat Jawa tidak dapat dipisahkan dengan suatu hal yang berbau mistis. Masyarakat Jawa percaya bahwa suatu gejala alam yang terjadi dapat dipengaruhi oleh beberapa kekuatan gaib. Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya berfungsi pula sebagai media penuangan nilai-nilai tentang perilaku, aturan, serta moral yang dapat diterima oleh masyrakatnya. Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya tersirat adanya larangan dan aturan yang harus dijalani manusia, dan anjuran kepada manusia hanya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun salah satu larangan dan aturan yang masih dipatuhi oleh masyarakat Desa Majasto
sampai sekarang adalah cara pemakaman yang unik, yang mana masyarakat Desa sekitar memakamkan jenazah dengan kedalaman hanya sekitar 50cm saja.
5. Mempertebal Perasaan Solidaritas Kolektif
Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya dapat berfungsi untuk mempertebal perasaan solidaritas kolektif. Terkait dengan hal ini, Cerit Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya, menciptakan suatu kultur baru pada masyarakat Desa Majasto, yaitu suatu ritual Sadranan. Sebelum dan ketika acara ini berlangsung, masyarakat bahu membahu mempersiapkan acara dengan dengn baik, lalu ketika acara berlangsung masyarakat berbaur menjadi satu membentuk satu kesatuan menciptakan solidaritas yang sangat baik. Tidak ada kubu-kubu pada upacara tersebut, semua menyatu dan menciptakan kerukunan.
6. Sebagai Hiburan
Cerita rakyat sebagai salah satu bentuk kebudayaan yang dapat dipakai sebagai sarana hiburan. Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk cerita yang hidup dalam masyarakat yang tersebar secara lisan melalui mulut ke mulut. Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya di Desa Majasto, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo merupakan cerita yang banyak mengandung fungsi yang dapat di ambil dan diaplikasikan untuk kehidupan sehari-hari. Beberapa fungsi tersebut antara lain sebagai hiburan untuk masyarakat sekitar. Dalam kehidupan masyarakat Desa Majasto, Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya sering dijadikan sebagai sarana
hiburan untuk anak cucu mereka, yaitu dengan cara menceritakan kisah Kyai Ageng Sutawijaya kepada anak cucu pada waktu mereka istirahat atau sebelum tidur, sehingga mereka akan merasa terhibur hatinya ketika menikmati atau mendengar cerita tersebut.
Banyak ajaran yang dapat diambil dari cerita Eyang Sutawijaya ini mas. Kebanyakan warga Desa Majasto dan sekitarnya memanfaatkan cerita tersebut sebagai dongeng sebelum tidur untuk anak-anaknya mas. Sekaligus mereka dapat menyampaikan sedikit-sedikit ajaran yang dapat di ambil dari serita tersebut. (Bapak Lurah Desa Majasto)
7. Sebagai Sarana Menambah Pendapatan Masyarakat
Makam Kyai Ageng Sutawijaya membererikan berkah bagi mereka yang menjadikan tempat untuk mencari nafkah. Meskipun di area makam Bumi Arum Majasto tidak diperbolehkan untuk berjualan karena dapat mengganggu, para warga masih tetap bisa memanfaatkan situasi dengan melakukan kegiatan berdagang di bawah makam atau di depan makam. Mereka dapat menjajakan barang daganganya seperti membuka warung makan, menjual rokok dan sebagainya. Namun ada juga yang memilih untuk membuka tempat penitipan sepeda. Dengan demikian, Makam Kyai Ageng Sutawijaya dapat berfungsi sebagai sarana menambah pendapatan masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar makam.
8. Meningkatkan Etos Kerja
Makam Kyai Ageng Sutawijaya adalah suatu tempat yang memberikan semangat danharapan bagi mereka yang meyakini untuk menenangkan diri dan berusaha mendapatkan perubahan hidup lebih baik. Mereka menjadi lebih ulet dan pantang menyerah untuk bekerja karena mereka tahu bahwa Makam Kyai Ageng
Sutawijaya memberikan perubahan yang lebih baik. Kemudian yang terpenting adalah mendapatkan kepercayaan diri tanpa mengesampingkan Tuhan Yang Maha Esa.
niatan seseorang itu berbeda-beda ya mas, namun saya datang kesini tidak ada niatan untuk menyekutuan Allah atau syirik mas, namun saya kesini berkeyakinan bahwa Eyang Sutawijaya merupakan perantara untuk saya berdoa meminta kepada Tuhan mas. Saya berdoa agar keluarga saya diberi keselamatan serta beli jalan rejeki untuk keluarga saya.” Bapak Tugimin
(Pengunjung)
D. Makna /Penghayatan Masyarakat
Cerita rakyat adalah suatu karya sastra yang lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional dan disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam bentuk baku disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.Cerita rakyat yang dihayati dengan baik akan memberikan kegunaan, fungsi, dan pelajaran yang baik untuk menambah wawasan masyarakat dari generasi kegenerasi. Keunggulan cerita rakyat menjadi berkurang karena sifatnya yang lisan dan turun-temurun, tidak ada dokumen tertulis terkait cerita tersebut.
Pengungkapan dan penilaian suatu karya sastra tidaklah mudah. Suatu karya sastra sangat berhubungan dengan pembaca atau penikmat, sebab karya sastra merupakn ungkapan imajunasi pengarang dan pembaca yang menentukan makna dan nilai yang terkadang dalam karya sastra. seperti pendapat Yunus (1993:1) yang berpendapat bahwa kesanggupan seseorang memahami penafsiran pertama kali dapat dilihat pada kesanggupan untuk meringkas isi karya sastra. jadi karya sastra dapat dipakai sebagai salah satu jembatan untuk memahami suatu kenyataan social yang terdapat dalam suatu masyarakat.
Karya sastra dan pembaca merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Kesadaran pembaca yang memberikan interpretasi tentang karya sastra itu sangat diperlukan adanya sebuah penelitian tentang teks. Pembicaraan tentang kasusastraan tidak aka nada apabila tidak ada sebuah karya sastra. jadi dalam hal ini kedudukan karya sastra penting sebagai produk yang dinikmati serta dihayati oleh masyarakat.
Penghayatan masyarakat yang di maksudkan adalah pembaca atau masyarakat yang memberikan reaksi atau tanggapan terhadap karya sastra yang dihayatinya dalam hal ini karya sastra adalah cerita rakyat Kyai Ageng Sutawijaya. Cerita rakyat Kyai Ageng Sutawijaya adalah karya sastra yang berbentuk lisan disebarkan dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi berikutnya, sehingga warisan lama yang berbentuk cerita rakyat itu dalam penghayatan masyarakat akan berbeda-beda. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kondisi social budaya masyarakat yang beraneka ragam seperti tingat pendidikan, status social dalam masyarakat, faktor usia, dan lain-lain. Dengan keikutsertaan masyarakat pembaca atau penikmat, maka cerita rakyat tersebut dapat hidup dan bertahan selama masyarakat pembaca menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat ini. Karena masyarakat pendukung sudah mengetahui apakan nilai-nilai dalam suatu cerita rakyat untuk diterapkan dalam kehidupan bermasarakat.
Penghayatan masyarakat, khususnya masyarakat Desa Masjasto terhadap Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya dapat mencerminkan pola pikir masyarakat di sana. Penghayatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya, dapat berguna bagi generasi muda pada masa sekarang ini dan
generasi muda yang akan datang. Dengan mengambil nilai-nilai moral kehidupan dalam cerita tersebut. Pengungkapan dan penilaian suatu karya
Masyarakat terdiri dari berbagai macam kepribadian, dan memiliki sudut pandang masing-masing. Hal ini tentulah berpengaruh pada penghayatan masyarakat terkait makna Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya. Faktor-faktor yang dapat membedakan penghayatan masyarakat.
1. Faktor Pendidikan
Faktor pendidikan mempengaruhi penghayatan masyarakat terkait Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya. Masyarakat Desa Majasto sebagain besar memang sudah mengenyam pendidikan baik itu pendidikan Sekolah Dasar, Menengah Pertama, Menengah Atas, bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. Namun, ada beberapa orang yang ternyata tidak mengenyam pendidikan formal. Hal ini kemudian berpengaruh pada penghayatan masyarakat terkait Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya, perbedaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Tidak mengeyam pendidikan formal
Masyarakat Desa Majasto yang tidak mengenyam pendidikan formal memiliki pola pikir yang masih lugu. Mereka masih sangat mempercayai Cerita Rakyat sebagai suatu cerita sejarah yang harus diceritakan secara turun temurun. Mereka menganggap Kyai Ageng Sutawiya adalah orang besar yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Desa Majasto tempo dulu. Sehingga mereka masih sangat menghormati dan meneladani sosok Kyai Ageng Sutawijaya. selain itumereka memaknai bahwa cerita rakyat Kyai Ageng Sutawijaya merupakan suatu cerita yang
benar-benar terjadi serta tokoh dalam cerita yaitu Kyai Ageng Sutawijaya yang benar-benar mereka segani, sampai sekarang makam Kyai Ageng Sutawijaya masih di anggap sakral.
b. Mengenyem pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah
Sebagian besar masyarakat Desa Majasto hanya berpendidikan SD dan SLTP/SMP, hal ini juga mempengaruhi tingkat penghayatan masyarkat terkait dengan Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya. Masyarakat yang sudah mengenyam pendidikan paling tidak SD ataupun SLTP sudah bisa membaca, menulis dan berhitung. Sehingga masyarakat memaknai Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya tidak lagi sepenuhnya dipercaya sebagai cerita sejarah. Cerita menjadi cerita dongeng yang digunakan sebagai suri tauladan untuk anak cucu mereka. Akan tetapi mereka masih mempercayai mitos-mitos yang ada, sebisa mungkin tidak melanggar hal tersebut.
c. Mengeyam Pendidikan Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi
Sebagian kecil masyarakat Desa Majasto sudah mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Atas bahkan ada yang lulus perguruan tinggi. Tentu saja, pola pikir mereka berbeda jauh dengan pola pikir masyarakat yang masih rendah tingkat pendidikannya. Dalam hal kepercayaan masyarakat mengenai Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya, masyarakat yang sudah menempuh pendidikan tinggi mengganggap bahwa Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya adalah sebuah dongengan turun-temurun yang menciptakan kultur dimasyarakat Desa Majasto. Kultur itulah yang harus terus dijalankan sebagai bentuk pelestarian budaya masa
lampau sehingga dapat dijadikan sebagai asset untuk bangsa ini. Cerita Rakyat Kyai Ageng dianggap sebagai salah satu kekayaan lokal genius bangsa Indonesia, khusunya untuk masyarak Jawa.
2. Faktor Agama dan Religi
Faktor agama dan religi kepercayaan berpengaruh terhadap penghayatan suatu cerita rakyat. Masyarakat Desa Majasto masih percaya dengan Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya, dan percaya dengan sejarah leluhur serta tempat yang di anggap keramat seperti makam Kyai Ageng Sutawijaya. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu perbuatan tidak musyrik atau menyekutukan Allah SWT. Kepercayaan masyarakat terhadap cerita rakyat di anggap sebagai suatu media untuk lebih mendekatkan diri pada yang MahaKuasa. Faktor agama dan religi membawa mereka beranggapan bahwa perubahan nilai agama atau religi dengan budaya adat istiadat (tradisi) sama-sama dipertahankan. Namun ada sebagian masyarakat Desa Majasto yang sudah tidak mempercayai atau menganggap bahwa mempercayai suatu cerita rakyat merupakan hal yang di anggap musyrik. Perbedaan pendapat dan pemahaman membuat adanya dua kepercayaan dan penghayatan masyarakat terhadap Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya.
3. Berdasarkan Kelompok Usia
Penghayatan masyarakat terhadap Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya mengalami perbedaan dan perubahan. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi usia antara lain sebagai berikut.
a. Usia 14-30 (Golongan Muda)
Penghayatan terhadap Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya oleh golongan muda mengalami sedikit perubahan namun meski begitu,mayoritas golongan muda masyarakat Majasto masih mempercayai bahwa cerita tersebut memang pernah ada. Namun tidak semua masyarakat dari golongan muda yang mengerti mendalam tentang Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya. Hal tersebut dikarenakan golongan muda termasuk masyarakat modern dan tidak terlalu mau tahu akan sejarah leluhur. Sebagian golongan muda hanya mengetahui bahwa dahulu Kyai Ageng Sutawijaya menyebarkan agama Islam sampai beliau dimakamkan di Makam Bumi Arum Majasto.
b. Usia 30tahun keatas (Golongan Tua)
Penghayatan masyarakat Majasto golongan tua terhadap Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya masih percaya bahwa Cerita Rakyat Kyai Ageng Sutawijaya benar-benar terjadi pada masa lampau. Masyarakat pada golongan ini masih menghormati serta menjalankan tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu. Tradisi yang masih berlangsung sampai saat ini adalah tradisi upacara Sadranan. Sampai saat ini masyarakat golongan tua masih mempertahankan warisan leluhur. Bahkan pada saat bulan puasa banyak yang datang dari masyarakat golongan tua untuk mengaji dan mendoakan para leluhur khusunya Kyai Ageng Sutawijaya.
saya tingal di Desa Majasto sudah dari kecil mas. Dari dulu saya sudah mengetahui tentang cerita Eyang Sutawijaya. saya sangat percaya bahwa Eyang Sutawijaya merupakan sesepuh desa sini yang pernah mengislamkan para warga