BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stroke
Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut antara lain kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), perubahan kesadaran, dan gangguan penglihatan (Kemenkes RI, 2013). Definisi stroke menurut WHO tahun 2005 adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut tanpa ditemukannya penyebab selain dari pada vaskuler (Wardhani dan Santi, 2014).
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan menimbulkan gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah otak yang terganggu. Ditemukan pada semua golongan usia, namun sebagian besar akan dijumpai pada usia di atas 55 tahun (Bustan, 2007).
Rata-rata angka kejadian (insiden) stroke adalah 200 per 100.000 penduduk, artinya diantara 100.000 penduduk terdapat 200 orang akan mendapatkan stroke. Apabila dikelompokkan menurut usia maka angka ini menjadi sebagai berikut, pada kelompok usia 35-44 tahun insidennya ialah 0,2 per 1.000 , pada kelompok usia 45-54 tahun 0,7 per 1.000 , pada kelompok usia
kelompok usia 75-84 tahun 10,4 per 1.000, dan pada usia 85 tahun keatas ialah 13,9 per 1.000 (Lumbantobing, 2013).
2.2 Definisi Stroke Hemoragik (SH)
Stroke hemoragik yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah aneurisma sakular (Berry) dan malformasi arteriovena (MAV). Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau amfetamin, karena zat-zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan intraserebrum atau subarakhnoid (Price dan Lorraine, 2005).
Perdarahan dapat dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena tekanan pada struktur-struktur sel saraf di dalam tengkorak. Perdarahan dapat terjadi di bagian mana saja dari sistem saraf. Secara umum, perdarahan di dalam tengkorak diklasifikasikan berdasarkan lokasi dalam kaitannya dengan jaringan otak dan meningen dan oleh tipe lesi vaskular yang ada. Perdarahan ke dalam lapisan terluar meningen, misalnya perdarahan subdura atau epidura, paling sering kaitannya dengan trauma. Menurut Smith pada tahun 2001, tipe-tipe perdarahan yang mendasari stroke hemoragik adalah intraserebrum , intraventrikel, dan subarakhnoid. Selain lesi vaskular anatomik, penyebab stroke hemoragik adalah hipertensi, gangguan peredaran darah, pemberian antikoagulan yang terlalu agresif (terutama pada pasien berusia lanjut), dan pemakaian amfetamin dan kokain intranasal (Price dan Lorraine, 2005). Perdarahan pada stroke hemoragik
dapat terjadi di bagian dalam serebral seperti thalamus, basal ganglia, pons, dan serebellum (Swash and John, 2009).
2.3 Anatomi Dan Fisiologi Otak
Ribuan tahun yang lalu, Aristoteles mendeklarasikan bahwa jantung merupakan tempat kedudukan jiwa seseorang. Namun, banyak orang yang setuju bahwa otak adalah organ yang memberi sifat unik pada manusia sebagai suatu spesies. Selama berabad-abad, studi tentang fungsi otak terbatas pada deskripsi anatomis. Namun, ketika kita mempelajari otak, terlihat bahwa tidak ada hubungan yang tepat 1:1 antara struktur dan fungsi otak (Unglaub, 2013).
Otak manusia mempunyai berat sekitar 1400 gram dan terdiri dari sekitar 10 milyar neuron. Ketika setiap neuron dari jutaan neuron tersebut dapat menerima sebanyak 200.000 sinaps, kemungkinan jumlah hubungan neuron merupakan nilai yang mengejutkan. Kerumitan selanjutnya adalah sinaps-sinaps tersebut tidak tetap dan selalu berubah. Prinsip dasar yang perlu diingat ketika mempelajari otak adalah suatu fungsi, bahkan yang terlihat sederhana seperti menekuk jari, mengikutsertakan beberapa regio otak (juga korda spinalis). Sebaliknya satu regio otak dapat ikut serta dalam beberapa fungsi pada saat yang sama, dengan kata lain memahami otak tidak sederhana dan tidak mudah (Unglaub, 2013).
Otak merupakan organ yang paling mengagumkan dari seluruh organ. Kita mengetahui bahwa seluruh angan-angan keinginan dan nafsu, perencanaan, dan ingatan merupakan hasil akhir dari aktivitas otak. Otak manusia berisi hampir 98% jaringan saraf tubuh atau sekitar 10 miliar neuron yang menjadi kompleks
secara kesatuan fungsional. Jaringan otak sangat rentan akan kebutuhan oksigen dan glukosa. Metabolisme otak merupakan proses tetap dan kontinu, tanpa ada masa istirahat. Bila aliran darah terhenti selama 10 detik maka kesadaran akan hilang dan penghentian dalam beberapa menit dapat menimbulkan kerusakan permanen. Hipoglikemia yang berkepanjangan juga merusak jaringan otak. Aktivitas otak yang tidak pernah berhenti ini berkaitan dengan fungsinya yang kritis sebagai pusat integrasi, koordinasi organ-organ sensorik, sistem efektor perifer tubuh, sebagai pengatur informasi yang masuk, menyimpan pengalaman, impuls yang keluar dan tingkah laku (Muttaqin, 2011).
2.3.1 Pelindung Otak (Muttaqin, 2011)
Jaringan otak dan medula spinalis dilindungi oleh tulang tengkorak dan tulang belakang serta tiga lapisan jaringan penyambung atau meningen, yaitu pia mater, arakhnoid, dan dura meter. Masing-masing merupakan suatu lapisan yang terpisah dan kontinu, antara lapisan pia mater dan arakhnoid terdapat penghubung yang disebut trabekula. Dura mater juga disebut parhimening, sedangkan pia mater dan arakhnoid bersama-sama disebut leptomening.
2.3.2 Rongga Subarakhnoid (Duus, 1996)
Rongga leptomeningeal ini terisi oleh cairan serebrospinalis yang bersirkulasi (CSS). Semua pembuluh darah dan saraf dari otak dan medula spinalis melewati cairan ini. Oleh karena itu, jika rongga leptomeningeal terinfeksi, maka pembuluh darah dan saraf akan terlibat melalui proses peradangan. Arteritis dan flebitis diketahui merupakan penyebab potensial dari nekrosis jaringan iskemik. Rongga subarakhnoid adalah suatu kelanjutan dari area
parietalis otak yang memanjang ke bawah, sampai ujung akhir dari kauda equina dalam regio koksigeus dimana dura spinalis berakhir. Rongga subarakhnoid tidak berhubungan dengan rongga subdural.
2.3.3 Ventrikel (Price dan Lorraine, 2005)
Ventrikel merupakan rangkaian dari empat rongga dalam otak yang saling berhubungan dan dibatasi oleh ependimal (semacam sel epitel yang membatasi semua rongga otak dan medula spinalis dan mengandung CSS). Pada setiap hemisfer serebri, terdapat satu ventrikel . Pada ventrikel keempat terdapat tiga lubang sepasang foramen Luschka di lateral dan satu foramen Magendie di medial, yang berlanjut ke ruang subarakhnoid otak dan medula spinalis.
2.3.4 Cairan Serebrospinal/CSS (Muttaqin, 2011)
Setiap ventrikel terdapat struktur sekresi khusus yang dinamakan pleksus koroideus. Pleksus koroideus inilah yang menyekresi CSS yang jernih dan tidak berwarna yang merupakan bantal cairan pelindung di sekitar sistem saraf pusat. CSS terdiri atas air, elektrolit, gas oksigen dan karbondioksida yang terlarut, glukosa, beberapa leukosit (terutama limfosit), dan sedikit protein.
Cairan ini berbeda dari cairan ekstraselular lainnya karena cairan ini mengandung kadar natrium dan klorida yang lebih tinggi sedangkan kadar glukosa dan kalium lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa pembentukannya lebih bersifat sekresi bukan filtrasi. Setelah mencapai ruang subarakhnoid, maka CSS akan bersirkulasi di sekitar otak dan medula spinalis, lalu keluar menuju sistem vaskular (sistem saraf pusat tidak mengandung sistem getah bening). Sebagian besar CSS direabsorpsi ke dalam darah melalui struktur khusus yang disebut villi
arakhnoidalis atau granulasio arakhnoidalis, yang menonjol dari ruang subarakhnoid ke sinus sagitalis superior otak.
CSS diproduksi dan direabsorpsi terus-menerus dalam sistem saraf pusat. Volume total CSS di seluruh rongga serebrospinal sekitar 125 ml, sedangkan kecepatan sekresi pleksus koroideus sekitar 500-750 ml per hari. Adanya tekanan oleh cairan serebrospinal memengaruhi kecepatan proses pembentukan cairan dan resistensi reabsorpsi oleh vili arakhnoidalis. Fungsi CSS antara lain:
Sebagai alas atau bantalan dari struktur neuron.
Sebagai penyangga dari otak. Secara anatomis otak berada dalam rongga kranium dan mengapung di dalam cairan serebrospinal. Otak manusia mempunyai berat sekitar 1400 gr dan hanya seberat 50 gr apabila mendapat sanggahan dari CSS. Transportasi nutrisi, pesan kimia, dan produk sisa.
2.3.5 Suplai Darah (Muttaqin, 2011)
Sistem saraf pusat seperti juga jaringan tubuh lainnya sangat tergantung pada aliran darah yang memadai untuk nutrisi dan pembuangan sisa-sisa metabolismenya. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-cabang, saling berhubungan erat sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel.
Suplai darah ini
arteri karotis interna, yang memiliki cabang membentuk sirkulus arterious serebri Willisi
Gambar 2.1 Sirkulus Willisi (Sumber: Aliran vena otak tidak selalu par
vena meninggalkan otak melalui sinus dura mater yan
sirkulasi umum melalui melalui vena jugularis interna. Arteri medula spinalis dan sistem vena paralel satu sama lain dan mempunyai hubungan percabangan yang luas untuk mencukupi suplai
Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri yaitu arteri vertebralis dan arteri karotis interna, yang memiliki cabang-cabang yang beranastomosis
kulus arterious serebri Willisi(dapat dilihat pada gambar 2.1) A.cerebri anterior Lobus frontalis A.cerebri media A.carotis interna A.chorioidea A.communicans N.oculomotorius A.cerebelli superior A.cerebri posterior A.basilaris Lobus occipitalis A.audutiva interna
A.cerebelli inferior anterior A.vertebralis A.spinalis anterior A.communicans anterior Ramus ad pontem N.abducens N.facialis A.cerebelli A.spinalis posterior Cerebellum
2.1 Sirkulus Willisi (Sumber: Spalteholz , Atlas Anatomi Kedokteran) Aliran vena otak tidak selalu paralel dengan suplai darah arteri,
vena meninggalkan otak melalui sinus dura mater yang besar dan kembali ke sirkulasi umum melalui melalui vena jugularis interna. Arteri medula spinalis dan sistem vena paralel satu sama lain dan mempunyai hubungan percabangan yang luas untuk mencukupi suplai darah ke jaringan (dapat dilihat pada gambar 2.2
yaitu arteri vertebralis dan cabang yang beranastomosis (dapat dilihat pada gambar 2.1).
A.cerebri anterior A.cerebri media A.carotis interna A.chorioidea A.communicans posterior N.oculomotorius A.cerebelli superior A.cerebri posterior Lobus occipitalis A.audutiva interna
A.cerebelli inferior anterior A.vertebralis
A.spinalis anterior A.communicans anterior Ramus ad pontem N.abducens
A.cerebelli inferior posterior A.spinalis posterior
Cerebellum
Atlas Anatomi Kedokteran) alel dengan suplai darah arteri, pembuluh
g besar dan kembali ke sirkulasi umum melalui melalui vena jugularis interna. Arteri medula spinalis dan sistem vena paralel satu sama lain dan mempunyai hubungan percabangan yang
Gambar 2.2 Arteri Cerebri Anatomi Kedokteran) a. Arteri Karotis
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis kira-kira setinggi kartilago tiroid. Arteri karotis komunis
dari arkus aorta, sedangkan arteri karotis komunis kanan berasal dari arteri brakiosefalika (merupakan sisa dari arkus aorta kanan yang panjangnya 1 inci). Arteri karotis eksterna memperdarahi wajah, tiroid, lidah, dan faring. Caba
arteri karotis eksterna yaitu arteri meningea media, memperdarahi struktur struktur dalam di daerah wajah dan mengirimkan satu cabang yang besar ke dura meter. Arteri karotis interna yang sedikit berdilatasi tepat setelah percabangannya disebut sinus karotikus. Arteri karotis interna masuk ke dalam tengkorak dan bercabang kira-kira setinggi kiasma optikum,
media.
Arteri Cerebri Anterior dan Posterior (Sumber: Spalteholz, Anatomi Kedokteran)
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis kira setinggi kartilago tiroid. Arteri karotis komunis kiri langsung bercabang dari arkus aorta, sedangkan arteri karotis komunis kanan berasal dari arteri brakiosefalika (merupakan sisa dari arkus aorta kanan yang panjangnya 1 inci). Arteri karotis eksterna memperdarahi wajah, tiroid, lidah, dan faring. Caba
arteri karotis eksterna yaitu arteri meningea media, memperdarahi struktur struktur dalam di daerah wajah dan mengirimkan satu cabang yang besar ke dura meter. Arteri karotis interna yang sedikit berdilatasi tepat setelah percabangannya us karotikus. Arteri karotis interna masuk ke dalam tengkorak dan kira setinggi kiasma optikum, menjadi arteri serebri anterior dan Anterior dan Posterior (Sumber: Spalteholz, Atlas
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis kiri langsung bercabang dari arkus aorta, sedangkan arteri karotis komunis kanan berasal dari arteri brakiosefalika (merupakan sisa dari arkus aorta kanan yang panjangnya 1 inci). Arteri karotis eksterna memperdarahi wajah, tiroid, lidah, dan faring. Cabang dari arteri karotis eksterna yaitu arteri meningea media, memperdarahi struktur -struktur dalam di daerah wajah dan mengirimkan satu cabang yang besar ke dura meter. Arteri karotis interna yang sedikit berdilatasi tepat setelah percabangannya us karotikus. Arteri karotis interna masuk ke dalam tengkorak dan menjadi arteri serebri anterior dan
b. Arteri Serebri
Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada struktur-struktur seperti nukleus kaudatus dan putamen basal ganglia, bagian-bagian kapsula interna dan korpus kalosum, serta bagian-bagian (terutama medial) lobus frontalis dan parietalis serebri, termasuk korteks somestetik dan korteks motorik. Bila arteri serebri anterior mengalami sumbatan pada cabang utamanya maka akan terjadi hemiplegia kontralateral yang lebih berat di bagian kaki dibandingkan bagian tangan (ekstremitas bawah lebih terkena dibandingkan dengan ekstremitas atas). c. Drainase Vena Otak
Aliran vena batang otak dan serebellum berjalan paralel dengan distribusi pembuluh arterinya. Sebagian besar drainase vena serebrum adalah melalui vena-vena dalam, yang mengalirkan darah ke pleksus vena-vena superfisialis dan ke sinus-sinus dura mater. Akhirnya, sinus-sinus-sinus-sinus ini mengalirkan darah ke vena jugularis interna pada dasar tengkorak dan bersatu dengan sirkulasi umum. Sinus-sinus dura mater terdiri atas sinus sagitalis superior dan inferior, sinus sigmoideus transversus (lateral), sinus rektus, dan sinus kavernosus.
2.4 Klasifikasi Stroke Hemoragik (Harsono, 1999)
Menurut WHO ICD-NA (The Application of the International Classification of Diseases to Neurology) tahun 1987 stroke hemoragik dibagi menjadi :
i. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral meliputi 10% dari seluruh kasus gangguan pembuluh darah otak, terjadi di hemisfer serebri (80%) dan batang otak serta serebelum (20%). Perdarahan intraserebral umumnya terjadi antara umur 50-75 tahun, dan sedikit perbedaan frekuensi antara pria dan wanita. Beberapa diantaranya pernah mengalami infark otak atau perdarahan. Sebagian besar penderita perdarahan serebral memiliki riwayat hipertensi dan tekanan darah biasanya lebih tinggi lagi ketika terjadi perdarahan. Perdarahan intraserebral bisa terjadi dibagian otak seperti lobar, talamus,putamen, mesensefalon,pons, medula oblongata, dan serebelum.
ii. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan pada rongga subarakhnoid paling sering terjadi akibat dari ruptur aneurisma besar dalam sirkulus arteriosus serebri, sedangkan penyebab yang lebih jarang adalah trauma, kelemahan pembuluh darah akibat infeksi, dan koagulopati. Perdarahan ini ditandai oleh onset mendadak nyeri kepala yang berat, bisa disertai hilangnya kesadaran, muntah, muntah atau kejang. Karena perdarahan dapat masif dan ekstravasasi darah ke dalam ruang subarakhnoid lapisan meningen dapat berlangsung cepat, maka angka kematian sangat tinggi sekitar 50% pada bulan pertama setelah perdarahan. Penyebab tingginya angka
kematian ini adalah empat penyulit utama dapat menyebabkan iskemia otak serta morbiditas dan mortalitas “tipe lambat” yang dapat terjadi lama setelah perdarahan terkendali. Penyulit-penyulit tersebut adalah (1) vasospasme reaktif disertai infark, (2) ruptur ulang, (3) hiponatremia, (4) hidrosefalus. Bagi pasien yang bertahan hidup setelah perdarahan awal, ruptur ulang atau perdarahan ulang adalah penyulit paling berbahaya pada masa pascaperdarahan dini. Vasospasme adalah penyulit yang terjadi 3 sampai 12 hari setelah perdarahan awal. Seberapa luas spasme arteri menyebabkan iskemia dan infark bergantung pada keparahan dan distribusi pembuluh-pembuluh yang terlibat.
Alat yang sering digunakan untuk mengklasifikasikan keparahan subarakhnoid adalah Hunt and Hess Classification Grading Scale. Skala lima tingkat ini digunakan secara luas dalam klinis dan untuk riset. Modifikasi dari skala Hunt and Hess mencakup tujuh tingkatan keparahan , yang diberi nomor 0 samapi 5. Aneurisma yang tidak mengalami ruptur diberi derajat/tingkat 0, dan derajat 2 yang asli dibagi lagi menjadi derajat 1a dan 2. Skala tujuh tungkat yang lebih baru ini dicakupkan dalam situs web the Brain Attack Coalition tahun 2001 yang mencantumkan lima skala stroke yang berbeda, yang semuanya digunakan untuk mengevaluasi pasien stroke. Kecuali skala Hunt and Hess, yang digunakan untuk menilai derajat disfungsi dini, skala yang lain digunakan selama pemulihan stroke untuk menilai derajat kecacatan, tingkat fungsional, dan kemajuan perbaikan.
Dalam keadaan normal, jaringan kapiler terdiri dari pembuluh-pembuluh darah yang garis tengahnya hanya 8/1.000 mm. Karena ukurannya yang halus, arteriol-arteriol halus ini memiliki resistensi vaskular tinggi yang memperlambat aliran darah sehingga oksigen dan zat makanan dapat berdifusi ke dalam jaringan otak. Pada malformasi arteriovena pembuluh melebar sehingga darah mengalir di antara arteri bertekanan tinggi dan sistem vena bertekanan rendah. Akhirnya, dinding venula melemah dan darah dapat keluar dengan cepat ke jaringan otak. Pada sebagian besar pasien, perdarahan terutama terjadi di intraparenkim dengan perembesan ke dalam ruang subarakhnoid. Perdarahan mungkin massif, yang menyebabkan kematian, atau kecil dengan garis tengah 1 cm.
2.5 Faktor Resiko (Bustan, 2015)
Semua faktor yang menentukan timbulnya manifestasi stroke dikenal sebagai faktor resiko stroke, dikenal juga sebagai stroke profile, sehingga orang-orang yang mempunyai stroke profile dinamakan stroke prone persons yaitu orang-orang yang mempunyai kecendrungan untuk mengidap atau mengalami stroke. Faktor resiko stroke secara umum terbagi menjadi dua yaitu faktor resiko tunggal dan faktor resiko ganda. Faktor resiko tunggal dibagi lagi menjadi dua yaitu yang terdokumentasi dan kurang terdokumentasi. Faktor resiko terdokumentasi yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, penyakit jantung, TIA, elevated hematocrit, dan penyakit Sickle cell sedangkan yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia dan jenis kelamin, ras, prior stroke, asymptomatic carotid bruits, genetik, dan DM tipe I. Adapun faktor resiko kurang terdokumentasi yang dapat dimodifikasi seperti tekanan darah dan kadar lemak darah, riwayat merokok, komsumsi alkohol,
gemuk/obese, dan jarang olahraga, sedangkan yang tidak dapat dimodifikasi seperti lokasi geografi, iklim dan musim, faktor sosioekonomi.
Faktor resiko ganda juga terbagi menjadi dua yaitu profil Framingham diantaranya tekanan darah sistolik, kadar gula darah, kadar kolesterol, riwayat merokok, dan hipertropi ventrikel kiri dan kriteria Paffenbarger dan Williams diantaranya riwayat merokok, rendah indeks paderol, tekanan darah sistolik, dan bobot tubuh.
2.6 Epidemiologi Stroke Hemoragik (SH)
2.6.1 Distribusi Frekuensi Stroke Hemoragik Berdasarkan Orang
Berdasarkan data WHO tahun 2008 jumlah kematian di dunia sekitar 57 juta dan 6,15 juta meninggal akibat stroke dengan Proportional Mortality Rate stroke sebesar 10,78%. Insidensi stroke sangat bergantung pada usia, jenis kelamin, ras, dan status sosioekonomi. Pada penelitian yang dilakukan oleh AHA di Amerika Serikat insiden stroke hemoragik 1,4 kali lebih tinggi pada orang kulit hitam dan 2,5 kali lebih tinggi pada perokok. Penelitian yang dilakukan oleh Chong dan Ralph Columbia University Neurological Institute tahun 2005 Case Fatality Rate stroke hemoragik pada orang berkulit hitam mencapai 67% sedangkan stroke iskemik 25%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di India ditemukan 18 orang penderita perdarahan intraserebral dari 127 orang penderita stroke di usia muda dengan proporsi 14,2%. Ini disebabkan oleh ruptur aneurisma sebesar 44,4%, malformasi arterivena sebesar 22,3%, hipertensi 22,2%, dan eklampsia 11,1%.
Perdarahan intraserebral umumnya terjadi antara umur 50-75 tahun dan sedikit perbedaan frekuensi antara pria dan wanita. Sebagian besar penderita perdarahan serebral memiliki riwayat hipertensi dan tekanan darah biasanya lebih tinggi lagi ketika terjadi perdarahan.
2.6.2 Distribusi Frekuensi Stroke Hemoragik Berdasarkan Tempat
Berdasarkan studi population-based registry di Itali insidensi dari perdarahan intraserebral adalah 36,9 per 100.000 yang artinya dari 100.000 orang terdapat 37 orang yang mengalami perdarahan intraserebral. Menurut NINDCS Stroke Data Bank proporsi rata-rata perdarahan intraserebral adalah 10,7%. Proporsi perdarahan intraserebral di Denmark 10,4%, Belanda 9%, Midwestern United States 10%, Alabama Selatan 8%. Proporsi stroke hemoragik bisa saja lebih tinggi dibeberapa negara, seperti pada penduduk di China dilaporkan mencapai 39,4% dan di Jepang mencapai 38,7%. Insiden penyakit stroke hemoragik ialah 15-30% dan stroke iskemik ialah 70-85%, untuk negara-negara berkembang atau Asia stroke hemoragik sekitar 30% dan iskemik 70%.
2.6.3 Distribusi Frekuensi Stroke Hemoragik Berdasarkan Waktu
Berdasarkan data penderita stroke di unit stroke RSUP Dr Sardjito tahun 2004 terdapat 61 penderita stroke hemoragik dari 290 penderita stroke dengan proporsi 21,03%, tahun 2005 terdapat 80 penderita stroke hemoragik dari 371 penderita stroke dengan proporsi 21,56%, tahun 2006 terdapat 117 penderita stroke hemoragik dari 424 penderita stroke dengan proporsi 27,59%, tahun 2007 terdapat 102 penderita stroke hemoragik dari 407 penderita stroke dengan proporsi 25,07%, tahun 2008 terdapat 149 penderita stroke hemoragik dari 507
penderita stroke dengan proporsi 29,39%, dan pada tahun 2009 terdapat 152 penderita stroke hemoragik dari 507 penderita stroke dengan proporsi 30%. Rata-rata proporsi stroke hemoragik untuk enam tahun tersebut adalah sebesar 25,77%. Mortalitas penderita stroke di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta menduduki peringkat ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Case Fatality Rate 51,58% akibat stroke hemoragik, 47,37% akibat stroke iskemik, dan 1,05% akibat perdarahan subarakhnoid.
2.7 Diagnosa Stroke Hemoragik
Membedakan stroke hemoragik dan stroke non hemoragik penting sekali untuk terapi. Pada keadaan tertentu dimana tidak ada CT-Scan atau penderitanya kurang mampu, maka diagnosa yang tepat adalah kunci keberhasilan terapi, atas dasar ini dibuat sistem skor. Adapun sistem skor yang dapat digunakan salah satunya adalah Siriraj stroke skor yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Widiastuti, dkk 2015) :
Siriraj stroke skor = (2,5 x tingkat kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x pusing) + (0,1 x tekanan darah diastolik) - (3 x atheroma markers) - 12
Keterangan : Derajat Kesadaran Sadar penuh = 0 Somnolen = 1 Koma = 2 Vomitus/Muntah Tidak ada = 0 Ada = 1 Nyeri Kepala/Pusing Tidak ada = 0 Ada = 1 Atheroma
Ada = 1
Dengan hasil sebagai berikut:
Siriraj skor > 1 merupakan Stroke Hemoragik
-1 > Siriraj skor > 1, perlu pemeriksaan penunjang dalam hal ini CT-Scan Siriraj skor < -1 merupakan Stroke Non Hemoragik
Stroke hemoragik dibagi menjadi dua jenis yaitu perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid, berikut diagnosa banding antara perdarahan intraserebral dan subarakhnoid.
Tabel 2.2 Diagnosa Banding Perdarahan Intra Serebral dan Perdarahan Sub Arakhnoid
Perdarahan Intra Serebral
Perdarahan Sub Arakhnoid
Defisit fokal Hebat Ringan
TIA sebelumnya Sangat jarang -
Permulaan Menit/jam 1-2 menit
Sakit Kepala Hebat Sangat hebat
Muntah Sering Sering
Hipertensi Hampir selalu ada Biasanya tidak ada
Kesadaran Biasanya hilang Dapat hilang sebentar
Kaku kuduk Jarang Biasanya ada
Lemah sesisi tubuh Sering sejak permulaan Tidak ada pada permulaan
Deviasi mata Mungkin ada Tidak ada pada
permulaan Gangguan Pembicaraan Sering (tergantung
pada sisi kelainan)
Sangat jarang Cairan serebrospinal 80% berdarah
10% xanthochrom 10% jernih (eri > 500/mm3)
Selalu berdarah (Eri > 150.000/mm3)
Perdarahan subhyaloid Tak lazim Mungkin ada
N.III palsy pada permulaan Tak ada Mungkin ada
Echo-ensefalografi Shift+
Hematoma echo+
Tak ada kelainan
CT-Scan Daerah putih padat (dense white area)
50-80 Hounsfield units
Kadang-kadang normal
2.8 Letak Perdarahan Stroke Hemoragik (Harsono, 1999) 2.8.1 Hemisfer Serebri
Hemisfer serebri dibagi menjadi dua belahan, yaitu hemisfer serebri sinistra (kiri) dan hemisfer dextra (kanan). Hemisfer serebri kiri mengendalikan kemampuan memahami dan mengendalikan bahasa serta berkaitan dengan berpikir “matematis” atau “logis”, sedangkan hemisfer serebri dextra berkaitan dengan ketrampilan , perasaan, dan kemampuan seni. Hemisfer serebri dapat dibagi menjadi lobus frontalis, parietalis, oksipitalis, temporalis, insula, dan rhinencephalon.
2.8.2 Ganglia Basalis
Fungsi ganglia basalis adalah sebagai stasiun-stasiun pemprosesan yang menghubungkan korteks serebrum dengan nukleus-nukleus thalamus tertentu dan akhirnya berproyeksi ke korteks serebrum. Adanya gangguan pada bagian ini akan mengakibatkan penderita mengalami kesukaran untuk memulai gerak yang diinginkan.
2.8.3 Batang Otak
Batang otak adalah bagian otak yang masih tersisa setelah hemisfer serebri dan serebellum diangkat. Medula oblongata, pons, dan otak tengah merupakan bagian bawah atau bagian infratentorium batang otak. Kerusakan pada batang otak akan mengakibatkan gangguan pada beberapa indra seperti nyeri, suhu, rasa
kecap, pendengaran, rasa raba, rasa diskriminatif, dan apresiasi bentuk, berat, dan tekstur.
2.8.4 Serebellum
Terbagi menjadi tiga bagian, yaitu archiserebellum berfungsi untuk mempertahankan agar seseorang berorientasi terhadap ruangan. Kerusakan pada daerah ini akan mengakibatkan ataxia tubuh, limbung, dan terhuyung-huyung. Paleoserebellum mengendalikan otot-otot antigravitas dari tubuh, apabila mengalami kerusakan akan menyebabkan peningkatan refleks regangan pada otot-oto penyokong. Neoserebellum berfungsi sebagai pengerem pada gerakan dibawah kemauan terutama yang memerlukan pengawasan dan penghentian, serta gerakan halus dari tangan. Kerusakan pada neoserebellum akan mengakibatkan dysmetria, intention tremo, dan ketidakmampuan untuk melakukan gerakan mengubah-ubah yang cepat.
2.9 Letak Kelumpuhan (Harsono, 1999) 2.9.1 Hemiparesis Dextra
Kerusakan pada sisi sebelah kiri otak (Hemispere sinistra) yang menyebabkan kelumpuhan tubuh bagian kanan. Penderita biasanya mempunyai kekurangan dalam komunikasi verbal. Namun persepsi dan memori visuomotornya sangat baik, sehingga dalam melatih perilaku tertentu harus dengan cermat diperlihatkan tahap demi tahap secara visual. Dalam komunikasi kita harus lebih banyak menggunakan body language (bahasa tubuh).
2.9.2 Hemiparesis Sinistra
Kerusakan pada sisi sebelah kanan otak (Hemispere dextra) yang menyebabkan kelumpuhan tubuh bagian kiri. Pasien dengan kelumpuhan sebelah kiri sering memperlihatkan ketidakmampuan persepsi visuomotor, kehilangan memori visual dan mengabaikan sisi kiri. Penderita memberikan perhatian hanya kepada sesuatu yang berada dalam lapang pandang yang dapat dilihatnya.
2.9.3 Hemiparesis Duplex
Karena adanya sklerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat terjadi pada dua sisi yang mengakibatkan kelumpuhan satu sisi dan diikuti sisi lain. Timbul gangguan psedobulber (biasanya hanya pada vaskuler) dengan tanda-tanda hemiplegi dupleks, sukar menelan, sukar berbicara dan juga mengakibatkan kedua kaki sulit untuk digerakkan, dan mengalami hipersduksi.
2.10 Penatalaksanaan Medis (Harsono, 1999)
Sekali terjadi perdarahan maka terapi medis tak dapat menghentikannya. Tujuan terapi adalah menjaga agar penderita tetap hidup dengan harapan perdarahan dapat berhenti secara spontan. Penatalaksanaan medis stroke hemoragik didominasi oleh dua hal pokok, yaitu:
a. Pilihan antara terapi konservatif dan operatif
Pertimbangan untuk melakukan operasi biasanya bila berhadapan dengan hematom di daerah superfisial hemisfer serebri atau perdarahan serebral. Sementara itu perdarahan di bagian lebih dalam lagi (nukleus kaudatus, talamus, pons, mesensefalon) tidak dianjurkan untuk dioperasi. Di lain pihak, kasus-kasus tertentu (perdarahan intraventikular, perdarahan serebelar dengan hidrosefalus)
memerlukan pemasangan pirau ventrikulo-peritoneal. Bila volume hematom kurang dari 60 ml maka lebih baik dirawat secara konservatif; bila volume hematom lebih besar dari 60 ml dan letaknya di bagian lateral maka dipertimbangkan untuk dilakukan operasi.
b. Terapi konservatif
b.1 Pencegahan peningkatan TIK lebih lanjut
Upaya pencegahan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) lebih lanjut adalah pengendalian hipertensi dan pengobatan kejang. Hipertensi yang menetap akan meningkatkan TIK. Bagaimanapun juga pengendalian hipertensi harus hati-hati karena apabila terjadi hipotensi maka otak akan terancam iskemia dan kerusakan neuron. Kesulitan ini dilengkapi oleh tiadanya pengetahuan tentang keseimbangan optimal antara perfusi serebral yang cukup dan pengendalian TIK. Pemberian obat untuk hipertensi berat pada tahap akut adalah suatu keharusan, dengan tujuan untuk memelihara tekanan perfusi serebral antara 60-70 mmHg. Masalah dalam kaitan ini adalah pemilihan obat antihipertensi. Nitroprusid, hidralisin, dan verapamil merupakan vasodilator perifer dan serebral, dengan demikian mempunyai potensi untuk meningkatkan TIK. Obat yang dianjurkan adalah beta blocker atau obat yang mempunyai aksi beta dan alpha blocking (misalnya labetolol), diberikan secara intravena, dikombinasikan dengan diuretika.
Kejang biasanya terjadi pada perdarahan di lobar daripada di bagian dalam. Pemberian antikonvulsan secara rutin tidak dianjurkan. Pada hiperglikemia tidak dianjurkan untuk diberi difenilhidantoin karena glukosa darah akan
meninggi dan kejang tak terkontrol. Secara umum, antikonvulsan yang dianjurkan adalah difenilhidantoin (bolus intravena) dan diazepam.
b.2 Pengendalian peningkatan TIK
Secara umum terapi untuk hipertensi intrakranial meliputi hiperventilasi, diuretika, dan kortikosteroid. Hiperventilasi paling efektif untuk menurunkan hipertensi intrakranial secara cepat, biasanya dalam beberapa menit untuk mencapai tingkat hipokapnia antara 25-30 mmHg.
Urea intravena (0,30 gr/Kg BB) atau lebih umum dipakai manitol (0,25-1,0 gr/Kg BB) dapat menurunkan TIK secara cepat, sering diberikan bersama-sama dengan hiperventilasi pada kasus herniasi otak yang mengancam. Pada kasus demikian, kortikosteroid tidak ada manfaatnya dan justru dapat memberi kerugian kepada penderita misalnya mudah terkena infeksi, hiperglikemia, dan perdarahan lambung (stress ulcer).
Apabila upaya menurunkan TIK tidak memberikan hasil maka perlu dipertimbangkan untuk evakuasi hematom karena hipertensi intrakranial yang menetap akan membahayakan kehidupan penderita.
2.11 Pencegahan Stroke
2.11.1 Pencegahan Primer (Price dan Lorraine, 2005)
Merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi faktor resiko yang sudah ada dalam individu tetapi belum menderita stroke. Terdapat dua pendekatan utama pada pencegahan stroke: (1) strategi kesehatan masyarakat atau populasi dan (2) strategi resiko tinggi. Strategi populasi didasarkan pada peraturan dan program pendidikan yang bertujuan mengurangi perilaku beresiko pada seluruh
populasi. Strategi resiko tinggi mengarahkan upaya untuk orang-orang yang memiliki resiko stroke di atas rata-rata.
Agar hemat biaya, pendekatan resiko tinggi harus didasarkan pada resiko basal (absolut) seseorang mengalami suatu kejadian dan bukan didasarkan hanya pada usia atau pertimbangan resiko relatif yang berkaitan dengan satu faktor resiko. Pada semua kelompok usia dan di semua kategori resiko, perempuan memiliki resiko absolut yang lebih rendah daripada laki-laki. Contoh dari pencegahan primer yaitu program Pos Pembinaan Terpadu PTM (Posbindu PTM) yang dibentuk oleh Kemenkes RI.
2.11.2 Pencegahan Sekunder
Merupakan upaya tingkat dua yang dilakukan setelah seseorang individu mengalami stroke, bentuk upaya yang dilakukan dalam pencegahan sekunder adalah diagnosa dini dan memperbaiki kondisi penderita stroke agar tidak memburuk melalui pengobatan yang tepat. Pencegahan sekunder pertama yaitu melalui diagnosa, menurut Batticaca (2008) diagnosa stroke adalah sebagai berikut:
i. Pemeriksaan klinis (Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik)
a. Riwayat penyakit sekarang (kapan timbulnya, lamanya serangan, gejala yang timbul).
b. Riwayat penyakit dahulu (hipertensi, jantung, DM).
c. Aktivitas (sulit beraktivitas, kehilangan sensasi penglihatan, gangguan tonus otot, gangguan tingkat kesadaran).
e. Makanan/cairan (nafsu makan berkurang, mual, muntah pada fase akut, hilang sensasi pengecapan pada lidah, obesitas sebagai faktor resiko).
f. Neurosensorik (sinkop atau pingsan, vertigo, sakit kepala, penglihatan berkurang atau ganda, hilang rasa sensorik kontralateral, afasia motorik, reaksi pupil tidak sama).
g. Kenyamanan (sakit kepala dengan intensitas yang berbeda, tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketergantungan otot).
h. Pernapasan (merokok sebagai faktor resiko, tidak mampu menelan karena batuk).
i. Interaksi sosial (masalah bicara, tidak mampu berkomunikasi). ii. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah rutin b. Gula darah c. Urine rutin
d. Cairan serebrospinal e. Analisa gas darah (AGD) f. Biokimia darah
g. Elektrolit
iii. Pemeriksaan penunjang
a. Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik misalnya pertahanan atau sumbatan arteri.
serebral, dan tekanan intrakranial. Kadar protein total meningkat, beberapa kasus trombosis disertai proses inflamasi.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI). Menunjukkan daerah infark, perdarahan, malforrnasi arteriovena (MAV).
d. Ultrasonografi doppler (USG doppler). Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis [aliran darah atau timbulnya plak]) dan arteriosklerosis.
e. Elektroensefalogram(Electroencephalogram-EEG).Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
f. Sinar tengkorak. Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada trombosis serebral, kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarakhnoid.
Pencegahan sekunder kedua yaitu pengobatan yang tepat. Berbagai penelitian mengenai pengobatan stroke seperti penelitian yang dilakukan pada tahun 1996 mengenai The European Stroke Prevention Study of antiplatelet anti agregant drugs dan penelitian Albers dkk pada tahun 2001 terhadap obat anhibitor glikoprotein IIb/IIIa jelas memperlihatkan efektivitas obat antiagregasi trombosit dalam mencegah kambuhnya stroke dan Aggrenox adalah satu-satunya kombinasi aspirin dan dipiridamol yang telah dibuktikan efektif untuk mencegah stroke berulang (Price dan Lorraine, 2005).
2.11.3 Pencegahan Tersier (Ginsberg, 2007)
Meliputi program rehabilitasi penderita stroke yang diberikan setelah mengalami stroke. Tujuan dari rehabilitasi adalah mengembalikan kemampuan maksimal dan kemandirian pasien dalam batas-batas yang disebabkan oleh kecacatan dan kebutuhannya, adapun yang dapat dilakukan yaitu :
a. Fisioterapi
Ahli fisioterapi dan perawat secara umum lebih paham dari pada staf medis mengenai hal mengangkat dan menggerakkan pasien yang imobil, masukan-masukan dari mereka adalah vital saat pasien memulai mobilisasi, termasuk tata laksana spastisitas dan penggunaan alat bantu berjalan (tongkat, kruk, penyangga), dan bidai untuk kelemahan pergelangan tangan dan kaki. b. Terapi okupasional
Penilaian efek kecacatan pada aktivitas pasien sehari-hari adalah wilayah terapi okupasional (occupational theraphy,OT). Digunakan daftar tilik formal-Activities of Daily Living dengan perhatian khusus pada aktivitas makan, perawatan diri dan mandi, fungsi sfingter dan kemandirian pergi ke toilet, berpakaian dan mobilitas (termasuk berpindah dari kursi ke tempat tidur, berjalan atau menggunakan kusri roda, dan kemampuan untuk berjalan di tangga).
Penilaian awal dilakukan di rumah sakit namun dibutuhkan pula kunjungan rumah selanjutnya. OT harus memberikan informasi mengenai modifikasi struktural dan alat bantu, misalnya tangga dan lift. Tuntunan mengenai jenis kursi roda dan penyesuaian alat juga disediakan oleh OT.
c. Neuropsikologi
Ahli psikologi klinis terlibat dalam penilaian dan diagnosis pasien dengan disfungsi kognitif. Beberapa ahli juga terlibat dalam pelatihan kembali dan konsultasi pasien dengan kerusakan otak
d. Kerja sosial
Pendampingan dengan pelayanan sosial penting sebelum pasien yang cacat dapat meninggalkan bangsal nuerologis akut, yang menjadi perhatian akhir adalah pekerjaan pasien, karena pasien mengalami keterbatasan untuk kembali ke pekerjaan awalnya maka diperlukan periode istirahat yang diperpanjang jika dimungkinkan.
2.12 Kerangka Konsep
Karakteristik Penderita Stroke Hemoragik (SH) Sosiodemografi Umur Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Status Perkawinan Tempat Tinggal Faktor Resiko Keluhan Utama Keadaan Medis Tekanan Darah
Kadar Gula Darah Sewaktu Kadar Lemak Darah
Letak Kelumpuhan Hasil CT-Scan Letak Perdarahan Penatalaksanaan Medis Lama Rawatan Rata-Rata Sumber Biaya
Asal Rujukan