4 2.1. Tinjauan Pustaka
Shot peening merupakan metode perlakuan dingin (cold working) yang bertujuan untuk memperbaiki karakteristik permukaan seperti kekerasan permukaan, kekasaran permukaan dan struktur mikro. Perlakuan shot peening bukanlah hal yang baru dalam dunia engineering. Telah banyak Peneliti sebelumnya yang melakukan penelitian tentang metode perlakuan ini.
Berikut ini pengelompokan beberapa penelitian tentang cold working berdasarkan parameter pengujiannya :.
1. Material spesimen yang diuji
Wang dan Li (2003) menggunakan bahan kuningan. Jiang dkk (2006) menggunakan Ti (titanium murni). Tang dan Li (2008) membandingkan pengaruh sandblasting pada bahan Al 2024 dan Ti-Al 2024 sebagai benda ujinya. Ashari (2008) dan As’ad (2008) menggunakan material logam baja ST 37. Multigner dkk (2009) menggunakan material baja tahan karat AISI 316LVM. Arifvianto (2011), Adriawan (2011), Pramudia (2011), Ishak (2011), dan Mukhsen (2012), Hidayat (2013), Saputra (2016), Prihandoko (2015), Setiawan (2013), Widodo dkk (2015) menggunakan Stainless Steel AISI-316L. Cahyandari (2005) menggunakan baja UNS G10540. Wartono (2013) menggunakan Aluminium 5084. Karo (2002) menggunakan plat baja AISI 1020. Sedangkan yang melakukan penelitian menggunakan Stainless Steel AISI-304 adalah Sunardi (2013), dan Wibowo dan Setianingrum (2015).
2. Ukuran diameter steel ball
Hidayat (2013) menggunakan Steel ball dengan diameter 3,3 mm, Sunardi (2013) menggunakan steel ball berdiameter 0,6 mm, Wibowo (2015) menggunakan steel ball dengan diameter 0,7 mm, Wartono (2013)
menggunakan steel ball dengan diameter 0,8 mm, Widodo dkk (2015) menggunakan diameter steel ball sebesar 4 mm.
3. Bentuk spesimen yang diuji
Arifvianto dkk (2011) menggunakan ukuran plat 100 × 50 × 4 mm. Pada penelitian Multigner dkk (2009) menggunakan bahan dengan bentuk silinder dengan diameter 20 mm dan ketebalan 2 mm. Pada penelitian Adriawan (2011) menggunakan benda uji berdiameter 10 × 10 × 3 mm. As’ad (2008) dan Ashari (2008) menggunakan ukuran benda uji yang sama yaitu 100 × 50 × 7 mm.
4. Parameter tekanan
Hidayat (2013) menggunakan tekanan 6,9 bar , Sunardi (2013) menggunakan tekanan 6-7 bar, Karo (2002) menggunakan tekanan 7 bar, Setiawan (2013) menggunakan tekanan 5-7 bar, Wartono (2013) menggunakan tekanan sebesar 6 bar, Wibowo (2015) menggunakan tekanan sebesar 3 bar, Widodo dkk menggunakan tekanan sebesar 6-8 bar. 5. Parameter jarak penembakan / penyemprotan
Wibowo dan Setianingrum (2015) yang menggunakan jarak 100-150 mm, Karo (2002) menggunakan jarak 750 mm, Setiawan (2013) menggunakan jarak 150 mm, Hidayat (2013) dengan jarak 88 mm, sedangkan pada penelitian Sunardi (2013), Prihandoko (2015), dan Saputra (2016) menggunakan jarak penembakan shot peening sejauh 100 mm. Untuk penelitian ini, penulis akan menggunakan jarak penembakan shot peening sejauh 80-120 mm.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut menunjukan adanya perubahan yaitu peningkatan kekasaran permukaan, peningkatan kekerasan permukaan dan pengecilan struktur mikro pada butiran permukaan. Berikut adalah hasil dari beberapa pengujian dari penelitian-penelitian sebelumnya.
1. Kekerasan permukaan
Salah satu pengujian yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya yaitu adalah kekerasan permukaan (micro hardness). Pengujian tersebut antara lain dilakukan oleh Sunardi (2013), Hidayat (2013), Setiawan (2013), Saputra (2016), Prihandoko (2015), Widodo dkk (2015), dan Wartono (2013). Hasil pengujian tersebut ditunjukkan oleh Gambar 2.1. pada gambar tersebut memperlihatkan adanya peningkatan kekerasan dengan jarak kedalaman material akibat adanya perlakuan shot peening, dan pada bagian permukaan memiliki kekerasan paling tinggi dibanding di kedalaman yang lain. Semakin mendekati permukaan maka kekerasan semakin besar, begitu pula sebaliknya. Pada penelitian lainnya diketahui bahwa terjadi pula peningkatan kekerasan akibat dari perlakuan ini. Pada gambar 2.2 menunjukkan bahwa perlakuan shot peening dengan variasi tekanan penyemprotan dadat meningkatkan nilai kekerasan permukaan material.
Gambar 2.1. Distribusi nilai kekerasan pada perlakuan shot peening (Hidayat, 2013)
Gambar 2.2. Nilai kekerasan permukaan pada perlakuan shot peening (Saputra, 2016)
2. Kekasaran Permukaan
Salah satu pengaruh dari perlakuan shot peening adalah meningkatnya kekasaran. Hal ini terjadi setelah proses dari shot peening. Peneliti mendapatkan hasil peningkatan kekasaran seperti penelitian yang dilakukan oleh Mukhsen (2012), Sunardi (2013), Hidayat (2013), Saputra (2016), Setiawan (2013) dan Prihandoko (2015). Pengaruh kekasaran permukaan melibatkan beberapa faktor seperti ukuran butiran abrasif dan lamanya proses penembakan pada material uji. Pada awal perlakuan shot peening tingkat kekasaran akan meningkat. Tetapi seiring semakin lamanya penyemprotan maka tingkat kekasaran semakin menurun akibat adanya tumbukan yang mengakibatkan terjadinya deformasi plastis yang merata sehingga permukaan menjadi semakin halus hal ini terlihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Nilai kekasaran permukaan (Ra) terhadap waktu (Sunardi, 2012) Pada gambar 2.4 terlihat bahwa perlakuan shot peening dengan variasi tekanan penyemprotan dapat meningkatkan nilai kekasaran dengan nilai yang fluktuatif yaitu pada tekanan 4 bar nilai kekasaran mengalami peningkatan yang drastis selanjutnya pada perlakuan shot peening dengan tekanan penyemprotan 5 bar nilai kekerasan sedikit mengalami penurudan kemudian pada perlakuan shot peening dengan tekanan 6 bar nilai kekasarannya kembali mengalami peningkatan.
3. Struktur Mikro
Perlakuan shot peening akan merubah ukuran butiran pada daerah permukaan akibat deformasi penumbukan material abrasive sehingga terjadi peningkatan kekerasan. Peningkatan kekerasan terjadi akibat dari proses several plastic deformation (SPD) yang menyebabkan terjadinya penghalusan butiran (Multigner dkk, 2009) dan strain hardening (Jiang dkk, 2006). Hukum Hall-Petch menyatakan bahwa kekerasan akan meningkat seiring penurunan ukuran butir. Hasil pengambilan foto struktur mikro permukaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. menunjukkan bahwa perlakuan shot peening dengan durasi yang lebih lama dapat merubah butiran struktur mikro menjadi lebih halus pada daerah permukaan kemudian kembali membesar pada daerah yang semakin menjauhi permukaan.
Gambar 2.5. Struktur Mikro shot peening (a) Raw Material, (b) Durasi 2 menit, (c) durasi 6 menit, (d) Durasi 10 menit. (Hidayat, 2013)
Pada gambar 2.6. menunjukan bahwa perlakuan shot peening dengan variasi tekanan penyemprotan dapat merubah struktur mikro material. Pada perlakuan shot peening dengan tekanan 4 bar terlihat bahwa terdapat kawah (cekungan) pada permukaan material karena tumbukan bola-bola baja. Selanjutnya pada perlakuan shot peening dengan tekanan 5 bar butiran struktur mikro mengalami pengecilan akibat tumbukan berulang bola-bola baja. Kemudian pada perlakuan shot peening dengan tekanan 6 bar terdapat crack(retakan) awal karena besarnya gaya tumbuk dari bola-bola baja.
Gambar 2.6. Struktur Mikro shot peening dengan variasi tekanan (Saputra, 2016) 4. Ketebalan Plat
Perlakuan shot peening dapat menyebabkan terjadinya deformasi plastis akibat pengaruh dari penumbukan material bola-bola baja. Fenomena inilah ynag menyebabkan struktur mikro dibagian permukaan cenderung pipih. Fenomena deformasi akibat perlakuan shot peening ini telah diteliti oleh Multigner dkk
(2009), Arifvianto dkk (2011), Pramudia (2011), Adriawan (2011), Mukhsen (2012) dan Saputra (2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Saputra (2016) menunjukkan bahwa dimensi dari spesimen uji yang diberi perlakuan shot peening mengalami pengurangan ketebalan spesimen (gambar 2.6). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perlakuan shot peening pada permukaan suatu material dapat menyebabkan deformasi plastis. Deformasi yang terjadi dapat berua pemadatan, pengikisan permukaan, dan pemipihan struktur mikro.
Gambar 2.7. Ketebalan spesimen shot peening dengan variasi tekanan (Saputra, 2016)
Pada penelitian yang akan dilakukan penulis akan berfokus pada Variabel jarak penembakan shot peening yang bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap struktur mikro, kekasaran permukaan, kekerasan dan ketebalan material biomedis plat penyambung tulang stainless steel AISI-304.
2.2. Dasar Teori 2.2.1. Stainless Steel
Stainless steel atau biasa juga disebut sebagai baja tahan karat. Dalam ilmu metallurgy, baja tahan karat biasa disebut inox steel atau inox yang berasal dari bahasa perancis “inoxydable”. Ini disebabkan karena baja tahan karat memiliki daya tahan terhadap oksidasi yang tinggi di udara dalam suhu lingkungan biasa dapat dicapai karena adanya tambahan krom (Mukhsen, 2012). Baja tahan karat juga memiliki paduan krom minimum yaitu 10,5 - 11% berdasarkan massa. Krom membentuk sebuah lapisan yang tidak aktif dapat melindungi material baja ketika bertemu dengan oksigen. Lapisan krom tersebut sangat tipis sehingga logam akan tetap berkilau. Logam yang dilapisi akan tahan terhadap air dan udara, dan fenomena tersebut biasa disebut pasivation. Pada baja tahan karat, sangan sulit terjadi korosi, karat, ataupun noda karena air (stain). Pada industri sendiri terdapat grade dari baja tahan karat itu sendiri untuk menyesuaikan kebutuhan industri dan lingkungan.
Baja tahan karat terbagi menjadi 4 yaitu: a. Ferrite.
Baja tahan karat ferrite yang paling sederhana hanya mengandung besi dan kromium dengan struktur kristal BCC (Gambar 2.4) yang anti karat. Ini disebabkan karena klorida magnetik dan kekuatan luluhnya sangat tinggi tetapi rendah keuletannya, dalam artian getas. Secara umum ferritic stainless steel memiliki beberapa properti yang dibutuhkan dalam bidang keteknikan dibanding jenis baja tahan karat yang lain. Tetapi disamping itu jenis baja tahan karat ini memiliki tingkat ketahan korosi yang kurang karena lebih sedikitnya kandungan nikel dan kromium yaitu sekitar 10,5 - 27% kadar kromium. Ferritic secara umum memiliki jenis yaitu 18Cr-2Mo, 26Cr-1Mo, 29Cr-4Mo, and 29Cr-4Mo-2Ni.
Gambar 2.8. Struktur Kristal ferrite stainless steel body centered cubic (BCC) (a) sel atom bulat penuh, (b) sel atom yang disederhanakan, (c) gabungan dari
banyak sel. (Callister, 2001) b. Austenite.
Austenitic stainless steel memiliki struktur kristal FCC (Gambar 2.5) didapatkan dari fase ferrite stainless steel dengan penambahan nikel, mangan, dan nitrogen pada suhu ruang. Austenitic ini memiliki kekuatan luluh yang agak rendah, tetapi ketangguhannya lebih tinggi (Davis, 2001). Baja tahan karat jenis ini sangat umum hampir 70% baja tahan karat adalah jenis ini. Baja jenis ini memiliki kandungan 0,15% karbon, 16% kromium, dan beberapa mangan atau nikel untuk menahan struktur pada saat temperatur dari cryogenic sampai titik leleh.
Gambar 2.9. Struktur Kristal austenic stainless steel face centered cubic (FCC) (a) sel atom bulat penuh, (b) sel atom yang disederhanakan, (c) gabungan dari
c. Martensite.
Martensitic stainless steel memiliki struktur kristal body centered tetragonal (Gambar 2.6) dengan tingkat krom yang rendah dan tingkat karbonnya tinggi, dengan mendapatkan struktur austenitic pada temperature tinggi kemudian didinginkan secara tiba-tiba untuk mengubah fase austenitic ke martensite (Davis, 2001). Pada baja tahan karat jenis ini, tidak begitu memiliki ketahan karat yang begitu baik tetapi memiliki sifat yang kuat dan tangguh, dan tingkat machineable yang sangat baik, dan juga dapat diberi perlakuan panas. Jenis ini memiliki paduan: kromium (12-14%), molybdenum (0,2 - 1%), nikel (kurang dari 2%), dan karbon (0,1 - 1%).
Gambar 2.10. Struktur Kristal martensitic stainless steel body centered tetragonal. (Callister, 2001)
d. Duplex
Duplex stainless steel dapat dianggap sebagai kromium-molibdenum. Baja tahan karat ferrite dibentuk dengan keseimbangan ferritic dan austenitic pada suhu kamar menghasilkan kromium yang tinggi dan molibdenum, bertujuan agar ketahanan korosi yang baik dari ferrite stainless steel serta menguntungkan sifat mekanik austenitic stainless steel (Davis, 2001). Biasanya duplex memiliki campuran 50:50 antara austenite dan ferite, dan secara umum di komersial bahkan mencapai 60:40. Jenis memiliki paduan yaitu, kromium yang sangat tinggi (19-32%), molybdenum (sampai 5%), dan sedikit kandungan nikel.
Stainless steel merupakan baja tahan karat yang telah banyak digunakan sebagai bahan pembuatan alat-alat medis atau kedokteran. Pada stainless steel sedikit sekali mengandung karbon, maka sangat sulit sekali untuk beroksidasi dengan udara dan air (Callister, 2001: 231). AISI-304 merupakan salah satu baja tahan karat. Stainess steel AISI-304 sudah sangat umum digunakan dalam dunia medis. Stainless steel AISI-304 kualitasnya masih dibawah Stainlees Steel 316 dan juga titanium. Tetapi baja tahan karat ini telah memenuhi standar medis sehingga dapat dipergunakan untuk keperluan medis.
Stainless steel AISI-304 merupakan stainless steel jenis austenitic sehingga mempunyai beberapa kelebihan, yaitu:
a. Stainless steel auntenitic bersifat non magnet.
b. Memiliki struktur FCC sehingga lebih unggul dari stainless steel feritic dalam ketahanan terhadap korosi karena kepadatan atom kristalografi yang lebih tinggi.
c. Merupakan baja low carbon dengan rasio kekuatan luluh dan kekuatan tarik yang rendah mampu bentuk yang tinggi. Akan tetapi karakteristik ini dapat ditingkatkan dengan cold working dan successive anging treatment.
Tabel 2.1. komposisi stainless steel AISI-304
% C Si Mn P S Cr Ni N
Min 0.022 0.530 1.03 0.43 0.003 18.34 8.01 0.054 Max 0.070 0.750 2.00 0.045 0.030 19.50 10.50 0.100
2.2.2. Shot peening
Shot peening merupakan suatu metode yang digunakan untuk memperbaiki struktur permukaan material dengan cara menembakkan partikel ke permukaan material dengan gaya yang cukup besar. Shot peening merupakan metode penumbukan pada permukaan yang menggunakan prinsip Several Plastic Deformation (SPD) (Multigner dkk, 2009). Penembakan dilakukan tegak lurus dari permukaan material (As’ad 2008; Ashari, 2008) dengan menggunakan partikel abrasif sebagai penumbuk material (Grini dan Charles, 2004).
Gambar 2.11. Skema proses shot peening
Pada umunya digunakan kompresor sebagai media penyembur udara bertekanan dan spray gun yang berfungsi sebagai nozzle untuk meningkatkan kecepatan material-material abrasive. Tumbukan partikel abrasive dalam kecepatan tinggi menyebabkan permukaan mengalami penekanan sehingga menimbulkan tegangan tekan sisa (compression residual stress) pada permukaan material. Mekanisme pembentukan tegangan tekan dapat dilihat pada Gambar 2.8. Selain itu, tumbukan partikel menekan permukaan secara acak sehingga menyebabkan permukaan material menjadi lebih kasar.
Gambar 2.12. Mekanisme pembentukan tegangan tekan sisa akibat tumbukan (Hidayat, 2013)
2.2.3. Pengamatan Struktur Makro dan Mikro a. Struktur makro
Proses pengujian makro (macroscop test) perupakan pengujian bahan yang menggunakan mata termuka dengan tujuan dapat memeriksa celah dan lubang makro dengan pembesaran sekitar 0,5 sampai 50 kali. Cara pengujian yang seperti ini biasanya digunakan untuk bahan-bahan yang memiliki struktur Kristal yang tergolong besar atau kasar. Misalnya, logam hasil coran (tuangan) dan bahan yang termasuk non metal (bukan logam.
b. Struktur mikro
Proses pengamatan struktur mikro bertujuan untuk mengetahui jenis fasa/struktur mikro dengan identifikasi struktur mikro, mengetahui komposisi struktur mikro material, dan mengetahui besar butir material. Pengamatan struktur mikro ini dapat dilihat menggunakan mikroskop optik (sampai dengan 1000×) untuk mengamati salah satu sifat mekanik dari bahan uji. Proses ini terdiri dari beberapa proses yaitu proses pembuatan holder, pengikisan/pengamplasan permukaan, pengetsaan, dan pengambilan gambar struktur mikro. Proses pembuatan holder bertujuan agar spesimen mudah untuk dipegang pada saat proses pengamplasan. Proses pengamplasan terdiri dari beberapa tingkat kekasaran mulai dari amplas kasar hingga amplas halus. Sedangkan proses pemolesan dilakukan menggunakan pasta poles yang dioleskan pada kain wool, kemudian dipoles pada spesimen hingga goresan pada permukaan tidak terlihat lagi. Untuk proses pengetsaan dilakukan dengan penggunaan cairan etsa. Cairan etsa terdiri dari berbagai macam campuran disesuaikan dengan material yang akan dietsa, sebagai contoh pada logam baja tahan karat dengan menggunakan aqua regia dengan kandungan nitrid acid (NHO₃) dicampur hidrocloric acid (HCL) dengan perbandingan campuran 1:1. Cairan aqua regia berfungsi untuk menghilangkan lapisan oksidasi dari permukaan spesimen dengan meneteskan pada permukaan dan menunggu beberapa detik, kemudian spesimen disiram dengan air bersih dan sabun. Setelah permukaan spesimen dietsa maka dapat dilakukan pengambilan gambar dengan menggunakan mikroskop optik dan diambil gambar oleh kamera digital.
2.2.4. Uji Kekasaran Permukaan
Kekasaran merupakan ukuran dari tekstur permukaan. Perbedaan tingkat kekasaran suatu material tidak cukup hanya dengan rabaan tangan atau melihat langsung permukaannya, tetapi harus ada suatu standar yang baku sebagai acuan para peneliti. Standar pengukuran yang biasa digunakan dalam pengukuran permukaan yaitu Ra, Rz, atau Rmax. Ra adalah tinggi rata-rata. Rz adalah rata-rata dari tinggi maksimum, sedangkan Rmax adalah jarak antara bukit tertinggi dengan
lembah terendah.Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 2.9. Satuan kekasaran berupa m yang dapat diukur menggunakan alat surface roughness (Gambar 2.10).
∫ ……….……….(2.1)
Dimana : Ra adalah kekasaran permukaan (μm)
s adalah panjang permukaan yang diuji (μm) hi adalah tinggi rata-rata permukaan (μm)
Parameter pengukuran kekasaran diukur dengan menghitung selisih simpangan permukaan asli dari permukaan ideal dengan besaran jarak.Simpangan besar dapat diketahui bahwa permukaan kasar, begitu pula sebaliknya simpangan kecil menunjukkan bahwa permukaannya halus.
Untuk mengukur kekasaran suatu permukaan dapat menggunakan metode kontak-langsung pada permukaan material. Prinsip kerja metode ini menggunakan jarum yang berjalan sepanjang permukaan material.Jarum tersebut memiliki ukuran tersendiri tergantung dari keakuratan alat surface roughness yang digunakan. Sepanjang perjalanan, pengukuran stylus bergerak naik turun mengikuti bentuk kekasaran permukaan.
Gambar 2.14. Alat uji kekasaran permukaan (Siber, 2003). 2.2.5. Uji Kekerasan
Kekerasan merupakan ketahanan terhadap deformasi akibat penekanan. Sebuah indentor yang keras ditekankan dengan gaya tertentu ke permukaan logam uji. Deformasi yang terjadi karena adanya perubahan secara elastis dan plastis pada permukaan benda kerja. Pada suatu benda pasti memiliki tingkat kekerasan, karena kekerasan merupakan salah satu sifat mekanik yang pasti dimiliki oleh suatu material. Kekerasan merupakan kemampuan suatu material untuk menahan indentasi atau goresan (Callister, 2001). Untuk menguji kekerasan suatu material dapat menggunakan beberapa metode, diantaranya goresan, kekerasan pantul, dan kekerasan indentasi. Pada kali ini akan lebih menekankan pada metode indentasi. Dan metode indentasi ini memiliki beberapa jenis metodenya yang dibedakan berdasarkan jenis indentornya yang ditekankan pada permukaan spesimen. Secara umum alat uji kekerasan permukaan ditunjukkan oleh Gambar 2.11. Yaitu biasanya disebut sebagai alat uji kekerasan yang universal, pada metode ini menggunakan indentor sebagai indikator dalam mengukur suatu besarnya kekerasan pada material. Prinsip dari dasar dari metode ini adalah dengan memberikan tekanan pada jarum dengan gaya tertentu pada permukaan benda uji, sehingga terlihat bekas injakan dari jarum tersebut. Beberapa metode indentasi yang biasa dikenal secara umum yaitu diantaranya metode Brinnell, Vickers, dan
Rockwell. Pada metode ini yang paling umum digunakan pada pengujian kekerasan adalah metode pengujian Vickers. Karena pada metode ini lebih mudah dalam pengoperasiannya, dan memiliki tingkat presisi yang baik.
Gambar 2.15. Skema proses pengujian kekerasan (Kuhn, 2000).
Seperti dibahas pada sebelumnya, bahwa metode Vickers lebih mudah dibanding metode lainnya. Pada metode ini kalkulasi indentor sangat independen terhadap ukuran indentor tersebut, dan indentor bisa digunakan pada semua jenis kekerasan. Prinsip dari metode Vickers sebenarnya sama seperti metode uji kekerasan lainnya, yaitu untuk mengetahui kemampuan dari suatu material untuk menahan deformasi plastis. Metode Vickers bisa digunakan di segala metal dan memiliki jangkuan pengukuran yang sangat lebar dibanding metode pengujian kekerasan lainnya. Metode Vickers menggunakan indentor intan piramida dengan sudut 136º yang ditunjukkan pada Gambar 2.12. dan Gambar 2.13. Prinsip pengujiannya yaitu seperti metode Brinell, perbedaan yang mencolok hanya pada indentor dan hasil injakan. Metode Vickers menghasilkan injakan berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonalnya diukur dengan skala pada mikroskop
pengukur. Nilai kekersan suatu material diukur menggunakan persamaan standar STM E384-84 ( Brandes dan Brook, 1992) yaitu ditunjukkan pada persamaan HV.
Gambar 2.16. Skematik prinsip indentasi dengan metode Vickers (Kuhn, 2000). Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai kekerasan adalah sebagai berikut:
HV
=
……….………(2.1)
Dimana : HV adalah Vickers Hardness (gf/mm2) P adalah beban yang diberikan (gf) d1 adalah panjang diagonal 1 (mm) d2 adalah panjang diagonal 2 (mm)
Indentor Vickers konvensional sudah digunakan sejak lama untuk menentukan sifat mekanis bahan seperti tahan terhadap deformasi plastis (kekerasan), faktor intensitas tegangan, modulus elastis, tegangan elastis, tegangan sisa dan tegangan tarik bahan (Zeng, 1995). Sifat-sifat ini diinterpretasikan atau diperkirakan berdasarkan ukuran injakan sisa pada benda uji (Malau, 2011). Bekas injakan proses pengujian kekerasan berbentuk persegi seperti ditunjukkan pada Gambar 2.14. Bekas injakan diukur berdasarkan panjang rata-rata kedua diagonalnya agar dapat dihitung hasil dari nilai kekerasannya.
Gambar 2.17. Bekas injakan metode Vickers (Kuhn, 2000). 2.2.6. Pengujian ketebalan
Untuk mengukur suatu objek digunakan alat ukur. Setiap alat ukur memiliki fungsi yang berbeda-beda. Karakteristik dan sklala dari setap alat ukur juga berbeda-beda. Mikrometer merupakan salah satu alat ukur yang digunakan untuk mengukur dimensi suatu benda. Alat ukur mikrometer biasa digunakan untuk mengukur benda yang memiliki ukuran kecil dan tipis, seperti mengukur diameter kawat, ketebalan plat dan berbagai dan berbagai benda lain yang berukuran kecil. Mikrometer adalah alat ukur yang dapat melihat dan mengukur benda dengan satuan ukur yang memiliki ketelitian 0,01 mm.
Mikrometer dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Mikrometer luar. Biasanya digunakan untuk mengukur diameter kawat, diameter baut, diameter bearing ball, tebal plat, tebal kertas, tebal batang dan lain-lain.
Gambar 2.18. Mikrometer luar
b. Mikrometer dalam. Biasanya digunakan untuk mengukur diameter suatu lubang.
Gambar 2.19. Mikrometer dalam
(tps://id.aliexpress.com/w/wholesale-inside-mikrometer.html)
c. Mikrometer kedalaman. Biasanya digunakan untuk mengukur kedalaman suati lubang.
Gambar 2.20. Mikrometer kedalaman
(http://www.dhgate.com/product/wholesale-0-100mm-depth-mikrometer/263310984.html)
Pada penelitian ini jenis mikrometer yang digunakan adalah mikrometer luar untuk mengukur ketebalan spesimen. Mikrometer luar dengan tampilan analog dipilih karena memiliki keakuratan yang cukup baik. Berikut ini adalah bagian-bagian dari mikrometer.
Keterangan :
a. Frame (bingkai), sebagai tempat dudukan anvil dan spindel. Berbentuk daun “U” yang dapat digunakan sebagai pegangan pada saat melakukan pengukuran.
b. Anvil (landasan), berfungsi sebagai penahan ketika benda diletakan dan diantara anvil dan spindle.
c. Spindle (gelendong), yaitu silinder yang dapat digerakan menuju landasan.
d. Lock (pengunci), berfungsi sebagai penahan spindle agar tidak bergerak ketika mengukur benda.
e. Sleeve (lengan), yaitu tempat skala utama. f. Thimble (sarung), yaitu tempat skala nonius.
g. Ratchet knob (roda bergigi searah), berfungsi untuk memajukan atau memundurkan spindel agar sisi benda yang akan diukur tepat berada diantara spindle dan anvil.