4
H A R U N N A S U T I O N
(Islam Rasional dalam Gagasan dan Pemikiran)
Nurhadi*
*STAIN Tulungagung
[email protected] Abstract
Islam is a logical religion. Consequently, those who cannot think logically cannot be categorized as those who poseses a religion. A logical religion is one that has rational or logical teachings. This also means that those who believe in such a religion will not become a blind following taqlid, this is even worse if the followed only one or certain madzhab or school.
Kata Kunci: Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran
Pendahuluan
Gagasan gerakan pembaharuan Islam yang muncul pada abad ke-19 dan 20, umumnya menyuguhkan formula tentang bagaimana menghasilkan wacana keislaman yang responsif terhadap kebutuhan kehidupan modern dibidang politik, sosial, dan ekonomi, bahkan gagasan tentang doktrin-doktrin teologis dalam perspektif dan alternatif terhadap pembaharuan teologi itu sendiri.
Di lihat dari tema-tema yang menjadi gumulan mereka pada diskursus seputar pembaharuan dalam Islam dengan berbagai tendensi dan coraknya, masih tetap survival sampai abad ini. Seperti gerakan pembaharuan Islam yang muncul pada abad ke-17, 18 dan 19, Syah Waliullah, al-Afghani, Abduh, menunjukkan
karakteristik yang sama dengan gagasan Ibnu Taimiyah, mengutamakan
rekonstruksi sosial masyarakat Islam dan mengoreksi sufisme menekan individu dan mengabaikan masyarakat. (John L. Esposito, 1995: 7).
Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia berkembang gerakan modernisme secara drastis. Salah seorang tokoh pembaharuan (Islam) Indonesia yang muncul pada abad ke-20 pasca tujuh puluhan adalah Harun Nasution. Semangatnya sangat dilatar-belakangi oleh suatu keprihatinan, dimana umat Islam secara kuantitatif bersifat mayoritas, tetapi dari segi kualitatif yang diindikasikan dengan kontribusi dalam pembangunan bersifat minoritas. Realitas inilah yang kemudian mendorong para pembaharu untuk menyelusuri akar penyebabnya secara mendasar, dan kemudian menawarkan terapinya.
Berkaitan dengan hal ini, Harun Nasution yakin betul akan adanya keterkaitan antara sikap dan perilaku umat dengan paham teologi yang dipilih dan dihayatinya. Dengan kata lain, sikap dan perilaku itu merupakan refleksi dari pemikiran teologis dan filsafatnya. Teologi rasional lanjut Harun akan menumbuhkan sikap dinamis, sebaliknya teologi yang bersifat tradisional hanya akan menumbuhkan sikap dan perilaku yang cenderung fatalistis dan statis. (Harun (a), 1987: 1).
Mencermati seputar kajian historis pemikiran “Rasionalis” Harun Nasution dalam konteks pemikiran pembaharuan di Indonesia, merupakan hal yang sangat penting dan menarik yang mencuat saat ini, mengingat objek kajiannya menyentuh aspek-aspek dasar ajaran Islam, yang bisa dipahami oleh para pemikir Muslim di nusantara, dalam memberikan respon teologis terhadap kondisi yang melingkupinya, utamanya, kondisi internal umat Islam itu sendiri.
Biografi Harun Nasution
Harun Nasution dilahirkan pada hari Selasa, tanggal 23 September 1919 di Pematangsiantar Sumatera Utara dan wafat pada hari Jum’at, tanggal 18 September 1998, jam 10.00 WIB di Jakarta. Ia dibesarkan dari keluarga ulama’ yang tergolong kelompok kaum tua Jami’iyah al-Washliyah yang eksis di Pematangsiantar. Suatu kebiasaan yang tertanam di masa kecilnya, Harun dalam keluarganya mengecap ilmu agama. Suasana inilah yang membekas dihatinya dalam mendalami disiplin ilmu keagamaan. Karena kondisi keagamaan yang mendalam itu, ia menimba ilmu umum di sekolah Belanda. Ini terlihat, dari usia 7 tahun hingga 14 tahun ia belajar bahasa Belanda. (Harun (b), 1989: 7).
Pada tahun 1934, ia bersekolah di Bukittinggi Sumatera Barat. Pola pemikiran baru banyak ia dapati, yang sebelumnya tidak didapatinya. Suatu ajaran baru itu menyatakan tentang “memelihara anjing tidak haram” membuat ia tertarik dan hal yang cocok saat itu. Bentuk lain, mengapa harus berberat-berat mengambil wudhu’ lebih dahulu untuk hanya mengangkat al-Qur’an. Terpikir pula olehnya, apa bedanya al-Qur’an dengan kertas biasa. Lebih lanjut dikatakannya, al-Qur’an yang dipegang itu adalah kertas, bukan wahyu. Wahyunya bukan disitu. Apa salahnya memegang kertas tanpa berwudhu’ dulu. Begitu juga dalam soal shalat, memakai ushally atau tidak, adalah sama (Harun (b), 1989: 8) yang terpenting adalah niatnya, lafadz adalah sebagai pengingat dan penguat saja. Bentuk pemikiran ini berbeda dengan kondisi pemikiran tradisional yang ia ketahui sebelumnya yang pada prinsipnya berpegang pada madzhab Syafi’i yang dianut mayoritas masyarakat yang berpengaruh pada kondisi keluarganya. Di Bukittinggi pendirian pemikiran Harun terhadap hal itu berubah.
Berbagai ilmu yang diperoleh Harun dan guru Muktar Yahya
menggerakkan pikirannya menelusuri perkembangan analisis terhadap
perkembangan agama kepada metode pembaharuan, dan bahkan pada saat itu ia diberikan julukan oleh Muktar Yahya sebagai kaum Modernis. (Harun (b), 1989: 10).
Pada tahun 1938, ia melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin. Disanalah ia menekuni materi perkuliahan seperti filsafat, salah satu mata kuliah yang paling diminati.
Pengenalan Harun terhadap pola pemikiran modern ketika berada di Mesir terpola pada bentuk konsep-konsep rasional dalam memahami filsafat, tasawuf, dan fiqh yang sudah rasional.
Berbagai hal yang ditempuh Harun dalam menelaah Islam secara filosofis saat itu. Hal itu kelihatan ketika ia menemukan jati diri sebagai seorang rasionalis menemukan arti Islam di McGill Amerika, pada tahun 1962, kepuasan belajar Islam dirasakannya. Berbagai karya pemikiran modern ditelaah, baik kalangan orang Pakistan maupun orientalis. Dari situlah ia menemukan Islam bercorak rasionalis, bukan Islam rasional seperti terdapat di Indonesia, Makkah dan al-Azhar, sekaligus konsensus bahwa, kalau orang berpendidikan Barat mengenal
Islam dengan baik melalui buku-buku karangan orientalis. Secara otomatis ia tidak tertarik dengan karangan orang Islam sendiri. Kecuali yang modern seperti Ahmad Amin. Hal inilah yang membuat ia tidak tertarik dengan buku-buku karangan orang Indonesia. Namun dapat dicatat bahwa ia tidak dipengaruhi oleh pemikiran orientalis, sebaliknya ia dipengaruhi oleh pemikiran rasional dalam Islam. Di McGill ia betul-betul mengenal dan mengerti serta sadar, bahwa pengajaran Islam di dalam maupun di luar Islam sangat berbeda. Di luar Islam pengertian terhadap Islam sangat dalam, saat itulah ia mengerti Islam ditinjau dari
berbagai aspek. Dari pengalaman dan ilmu yang pernah ditekuninya,
menimbulkan pembaharuan pemikiran di Indonesia harus dikembangkan dan akhirnya mendapat respon dari berbagai kalangan intelektual lainnya. Hal ini, setuju atau tidak setuju, pemikiran Harun mengakibatkan timbulnya kontaversi di Indonesia.
Selama dua setengah tahun di McGill, ia mendapatkan gelar M.A. Sebagai fokus kajiannya adalah membahas seputar kajian negara Islam di Indonesia, dengan menampilkan beberapa tokoh Masyumi seperti: Zainal Abidin, Natsir, Isa Anshari sebagai sampel dalam menyelesaikan thesisnya.
Pada tahun 1968, ia melanjutkan studi untuk memperoleh Ph.D. Sebagai objek kajian terakhirnya adalah Islam di Turki, Arab dan India, yaitu Islam yang dianut oleh Muhammad Abduh dan Sayyid Ahmad Khan. Menurut Harun, metode berpikir mereka bisa dipakai untuk perkembangan dunia Islam modern. Akhirnya, ia secara konsekuen memilih Muhammad Abduh. Kekagumannya terhadap Muhammad Abduh menyoroti pemikirannya yang sangat terpola ide-ide pembaharuannya. Lewat kajian inilah ia ingin melihat sosok Abduh sebagai pembaharu dalam Islam melalui kajian ilmu kalam yang cenderung pada Mu’tazilah. (Harun (c), 1986: 30). Sisi lain, kenapa ia lebih cenderung kepada pola pikir Abduh adalah karena kemodernannya, maksudnya Muhammad Abduh itu adalah pemikiran modern. Sesuai dengan keinginannya dan bidangnya, yaitu mempelajari modernis, yang berkaitan dengan ilmu kalam modern, tapi tidak mengabaikan ilmu kalam klasik.
Terkait dengan konsekuensi di atas, Harun melihat pemikiran Mu’tazilah maju sekali. Kaum Mu’tazilah-lah yang bisa mengadakan suatu gerakan
pemikiran dan peradaban Islam. Timbul tanda tanya dalam pikirannya, kalau Islam dahulu maju, mengapa Islam sekarang tidak? Untuk itu menurutnya Islam zaman sekarang harus didorong ke sana, dengan menghapuskan paham Jabariah dan menumbuhkan paham Mu’tazilah, yaitu pemikiran yang bersifat filosofis atau pemikiran yang bersifat rasionalis.
Pada mulanya keinginan Harun dalam memfokuskan pemikirannya pada Mu’tazilah mendapat tantangan dari direktur institut tempat ia belajar, namun pada akhirnya mendapat dukungan dari pembimbingnya yang selalu mendesak untuk menyelesaikan thesisnya hingga selesai. Disinilah pada awalnya ia tampil sebagai tokoh pembaharu dalam Islam yang memiliki corak rasionalis sebagaimana halnya Mu’tazilah.
Konsekuensi ini lebih lanjut ia menegaskan bahwa yang membuat Islam itu maju adalah para pemimpin yang pemikir, yaitu para intelektual. Setiap negara atau masyarakat yang maju adalah lebih disebabkan oleh kaum intelektual, bukan golongan awam. Golongan intelektual di Indonesia belum terlihat dengan jelas yang menjadi juru dakwah, maka mereka ini yang harus dimasukkan jiwa Islam, kalau mereka sudah tertanam jiwa Islam dengan benar dan baik, maka perkembangan Islam akan lebih baik dan maju. Artinya perubahan itu harus dimulai dari kalangan atas, yaitu pemimpin dan intelektual, kemudian secara cepat maupun lambat akan terimbas kepada kaum awam. Menurutnya kalangan atas itu yang akan bisa mengubah sikap kalangan bawah (awam), seperti aktifis HMI, PMIII, ANSOR, PII dan lain-lainnya, kemudian dari kalangan kampus seperti; UI, ITB, UGM dan perguruan tinggi lainnya.
Orang IAIN agak sulit menempati kedudukan tinggi, paling sebagai Menteri Agama, itupun juga yang sudah punya predikat. Dipemerintahan sekaan ada pembagian tugas, seperti soal ekonomi diserahkan ke perguruan tinggi umum, sedangkan urusan agama diserahkan kepada perguruan tinggi Islam, seperti IAIN, STAIN, PTAIS dan lain sebagainya. Jadi menurut Harun orang perguruan tinggi agama harus siap dan mampu menciptakan ahli agama seperti Khomeini.
Jadi kalau dikaji bentuk pemikiran Harun Nasution dari masa kecilnya hingga munculnya seorang figur pemikir Islam yang banyak melahirkan ide-ide baru terhadap perkembangan Islam tidak lain adalah ingin mewujudkan Islam itu
dalam bentuk konsep menuju arah kemajuan yang potensial dalam memahami Islam bukan hanya terpatri dalam merealiasasikan Islam dalam bentuk yang mapan terhadap semua tantangan. Praktek inilah yang mendasari Harun dalam menampilkan pemikirannya yang ingin mengembalikan posisi Islam yang selama ini mengalami kemunduran, dan kini saatnya ia mengembalikannya dalam bentuk rasional sebagaimana konsep Mu’tazilah. (Harun, 1986: 388).
Dari hasil pengkajian terhadap Mu’tazilah inilah Harun melontarkan konsep pemikiran dan gagasan-gagasannya yang dianggap asing, sehingga menimbulkan kontroversi bagi kalangan intelektual lainnya, khususnya kalangan tradisionalis. Klimaks kemarahan itu, ketika karya utamanya yang berjudul: Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya menumbuhkan suasana baru, justru
menimbulkan polemik, diantaranya Rasyidi yang menulis suatu koreksi terhadap Harun Nasution.
Pada hal bila dikaji koreksi Rasyidi terhadap Harun Nasution tentang buku Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, berawal dari kesalah pahaman. Menurut Harun, Islam terbagi kepada “ajaran” dan “non ajaran”. Islam “bukanlah hanya ibadah, fiqh, tauhid, tafsir, hadits dan akhlak”. Islam lebih luas dari itu, termasuk didalamnya sejarah, peradaban, filsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-lembaga dan politik. (Rasyidi, 1977: 40-150).
Menurutnya penafsiran dan pemikiran itu tidaklah bersifat mutlak. Atas dasar pemikiran ini Rasyidi memandang Harun sebagai seorang yang dipengaruhi jalan pikiran dan pendidikan orientalis yang tidak selamanya simpatik kepada Islam, malah merugikan Islam. Rujukan detail buku Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya dilakukan Rasyidi dalam koreksinya itu, dengan menyampaikan segi-segi yang bersifat pribadi, dimana dalam karangannya itu dapat dikatakan bahwa Rasyidi dapat berhasil dalam usahanya menyuarakan keberatan-keberatan dan ketidaksetujuan “beberapa pihak” terhadap buku tersebut.
Kalau dianalisa secara mendalam, sebenarnya antara Harun dan Rasyidi dan kawan tidak terjadi perbedaan yang mendasar. Rasyidi dan kawan-kawan itu membuang taqlid, mengakui ijtihad. Harun merinci hal ini dengan membagi ajaran dasar dan non dasar. Perbedaan ini lebih terletak pada pendekatan dan ungkapan serta ragam perkembangan yang dikemukakan.
Pembaharuan Teologi Harun Nasution
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution pada dasarnya dibangun di atas asumsi, bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga kawasan lainnya) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. (Harun (b), 1986: 107).
Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain
pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, Sayyid Amir Ali dan lain sebagainya) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistik, irrasional, predeterminisme serta penyerahan pada nasib, telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak merubah nasib umat Islam, menurut Harun, umat Islam hendaklah merubah teologi mereka dari predestination kepada teologi yang bercorak freewill, rasional serta mandiri. Tidak heran jika teori modern ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri, yaitu teologi Mu’tazilah.
Terkait dengan thesisnya itu, selanjutnya Harun Nasution berasumsi bahwa paham Jabariyah yang terdapat dalam teologi tradisional “As’ariyah” (teologi yang paling dominan di Indonesia hingga sekarang) (Muzani (a), 1996: 162), merupakan penyebab utama kemunduran umat Islam Indonesia. Asumsi ini didasarkan atas dua alasan, yaitu historis dan doktrinal. Secara historis, katanya, teologi Asy’ariyah adalah teologi yang eksis dan berkembang pada fase kemunduran dunia Islam. Karena itu tidak mustahil jika ia merupakan cerminan dari kemunduran itu. Kemudian secara doktrinal, ia menunjuk pada doktrin Qadha-Qadar (rukun iman ke enam dalam sistem teologi Asy’ariyah; khari wa syarr min Allah, yang kemudian terformulasi ke dalam teori kasb-nya, yang menurut pandangan Harun (Muzani (b), 1994: 117) identik dengan fatalisme Jabariyah.
Selanjutnya dapatlah dipahami bahwa teologi Asy’ariyah menurut Harun, telah menempatkan manusia dalam posisi yang rendah. Hal ini dapat dilihat dalam
teori kasb-nya, yang menempatkan kekuasaan mutlak Tuhan sebagai penentu, sedangkan usaha manusia tidak memberikan pengaruh apa-apa atas usaha itu. Inilah nampaknya yang melatari mengapa Harun mengkategorikan teologi Asy’ariyah sebagai fatalisme, yang kemudian juga disebut dengan Teologi Kehendak Tuhan (Muzani, 1994: 166).
Begitu dominannya teologi Asy’ariyah mengakibatkan umat Islam di Indonesia hingga kini masih terkungkung oleh pola pikir dan sikap mental tradisional. Sikap mental semacam ini, menurut Harun, tidak mendukung lanjutnya pembangunan dan modernisasi, bahkan tidak jarang justru sebaliknya,
menghambatnya. Oleh sebab itu, untuk kepentingan pembangunan dan
modernisasi, sikap mental tersebut haruslah diganti dengan sikap mental rasional. Dengan kata lain, teori tradisional Asy’ariyah, yang bersifat fatalistik, harus diganti dengan teologi rasional. (Saiful Muzani, 1994: 114).
Sistem teologi yang berkembang pada masa kemajuan dunia Islam, yaitu teologi Mu’tazilah. Ada dua hal yang sangat penting ditekankan oleh harun dari teologi Mu’tazilah ini, yaitu: (1) rasionalitas; dan (2) konsep kebebasan manusia. (Harun, 1989: 106). Kedua doktrin ini, menurut Harun, bukan saja relevan dengan tuntunan masyarakat modern yang sedang membangun, bahkan juga sesuai dengan eksistensi manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, Harun telah menempatkan bab khusus tentang Filsafat Hidup Rasional merupakan prasyarat bagi mentalitas pembangunan, yang akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan lain.
Berpijak dari kenyataan di atas, kelihatannya Harun sangat menekankan pentingnya akal dan kebebasan manusia dalam pemikiran teologinya. Manusia, kata Harun, melalui akalnya mampu mempertimbangkan baik dan buruknya suatu perbuatan, kemudian dengan kehendaknya sendiri ia mengambil suatu keputusan, selanjutnya dengan daya yang demikian ia wujudkan dalam perbuatan nyata. (Muzani, 1996: 144). Terkait dengan itu, lebih lanjut Harun, mengedepankan konsepsinya tentang keadilan Tuhan. Dimana Tuhan kata Harun, Maha Adil. Karena keadilan itu manusia diberi kebebasan berkehendak dan berbuat. Dengan demikian manusia, kata Harun, akan dihukum menurut perbuatan dan dosanya
sendiri, begitu sebaliknya, manusia akan diberi pahala dari kebaikan karena amal yang dilakukannya sendiri.
Sungguhpun Harun menempatkan posisi manusia pada posisi bebas, tapi kebebasannya itu tidaklah mutlak. Hal itu nampak dalam uraiannya ketika ia menjelaskan pandangannya terhadap asuransi. Dengan merujuk kepada qadariyah yang nampaknya juga merupakan pemikiran teologisnya Harun menyatakan bahwa, manusia itu dibatasi oleh hal-hal yang tidak bisa dikuasainya, hal-hal yang tidak dapat disangka-sangka datang secara tiba-tiba. (Muzani, 1996: 162). Jika digunakan kerangka Abduh, pernyataan Harun, identik dengan istilah Taqshir (kelalaian manusia) dan al-Asbab al-Kauniyat (sebab-sebab alami, sunnatullah). Dua hal itu nampaknya juga dipandang Harun sebagai pembatas kebebasan manusia, sehingga jika manusia itu mengalami kegagalan dalam usaha untuk mewujudkan rencananya, hal itu dikarenakan kekeliruannya dalam menangkap dan memperhitungkan langkah-langkahnya, tidak sejalan dengan sunnatullah, dan begitu pula sebaliknya.
Sebaliknya, implikasi dengan pandangannya di atas selanjutnya Harun menolak takdir dengan kepastiannya sebagai rukun iman ke enam sebagaimana yang diformulasikan Asy’ariyah, yaitu percaya kepada takdir baik dan takdir buruk. Bagi Harun, penolakan itu didasarkan atas tiga alasan, yaitu: (1) tidak ada ayat al-Qur’an yang memerintahkan beriman kepada takdir; (2) iman kepada takdir di atas telah membawa dampak negatif kepada umat Islam, seperti kebodohan, kemalasan dan berbagai sifat negatif lainnya; (3) menafikan karunia Allah yang berupa akal. Dengan demikian, menurut Harun rukun imam itu bukan enam seperti yang diyakini oleh Asy’ariyah, melainkan hanya lima. Penempatan takdir sebagai rukun iman ke enam sebagaimana yang dilakukan oleh Asy’ariyah, bukanlah berdasarkan ketetapan dan nash al-Qur’an, tetapi hanya didasarkan oleh hadits ahad, yang tingkat kebenarannya bersifat zhanni. (Sarong, 1992: 22 Juli).
Dalam kaitan ini, Harun (sama dengan Jamaluddin al-Afghani) lebih memberikan makna takdir sebagai sunnatullah (hukum alam). Dapat dipahami, bahwa diantara teori Harun Nasution dengan Mu’tazilah terdapat adanya kesamaan. Sungguhpun demikian, menjastifikasikan Harun sebagai Mu’tazilah dapat dikatakan sebagai suatu kesimpulan yang terburu-buru dan emosional,
sebab sebagaimana yang dikatakan oleh W. Montgomerry Watt, yang dapat dikategorikan sebagai Mu’tazilah, seperti awal tahun 900 M, bukan hanya mereka yang mendiskusikan doktrin Islam dengan metode falsafi, melainkan harus juga menerima kelima doktrin Mu’tazilah (Ushul al-Khamsah). Sungguhpun demikian, Harun itu relatif sama dengan teologi Mu’tazilah, tetapi Harun, bukanlah Mu’tazili. (Watt, 1968: 74).
Filsafat Hidup Rasional Prasyarat Moralitas Pembangunan
Pemahaman Islam yang rasional dan dinamis sangat diperlukan oleh kaum muslimin. Dengan pemahaman rasional dan dinamis itu umat Islam tidak banyak menghadapi kesulitan dalam menjawab tantangan perubahan sosial yang timbul dalam masyarakat modern, terutama dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sehubungan dengan itu, Harun menitikberatkan pentingnya pemakaian akal secara dinamis dalam memahami realitas kehidupan. Karena akal itulah yang membuat manusia mempunyai ketinggian, keutamaan, dan kelebihan dari makhluk lain. Akallah yang membuat manusia mempunyai kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Akal manusialah yang mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan akal itulah membuat manusia berbeda dari hewan, dalam filsafat manusia disebut hayawanu al-natiq (Muzani (a), 1996: 139).
Sebelum wahyu turun, menurut Harun, manusia dengan akalnya telah dapat mengatur hidupnya. Karena akal telah dapat membedakan antara perbuatan jahat dan perbuatan baik, manusia dapat membuat peraturan atau hukum supaya perbuatan jahat dijauhi dan perbuatan baik dilakukan sekalian dengan sangsi-sangsinya. (Harun, 1986: 80). Dengan kata lain akal adalah merupakan lambang kekuatan manusia, sebaliknya manusia adalah bukan makhluk yang lemah.
Manusia dengan akalnya yang dianugerahkan Tuhan kepadanya,
mempunyai tanggung jawab moral yang tinggi atas segala perbuatannya. Karena tanggung jawab itulah manusia, menurut Harun, mempunyai kaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan sifat Tuhan, keadilan, yang merupakan salah satu sifat terpenting dari Tuhan. Karena keadilan-Nyalah manusia diberi kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Paham keadilan ini mempunyai pengaruh dalam
kehidupan umat. Lebih lanjut Harun mengatakan, Tuhan Yang Maha Adil menghendaki supaya manusia juga bersifat adil terhadap sesama manusia. Pendapat ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an surah al-Syura: 15, an-Nisa’: 58, dan surah al-Maidah: 5. Jadi Tuhan Yang Maha Adil menghendaki supaya keadilan ditegakkan ditengah-tengah masyarakat.
Penyelenggaraan Harun di atas, menggambarkan teologi atau filsafat hidup Islam dalam corak liberal yang didasarkan atas ajaran yang memberi penghargaan yang tinggi kepada akal yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia, yang dianut oleh umat Islam pada abad-abad pertama, filsafat hidup yang membuat mereka berhasil dalam waktu singkat membangun masyarakat primitif Arab di semenanjung Arabi menjadi masyarakat yang berperadaban tinggi di Damsyik dan kemudian Baghdad sebagai pusatnya.
Hal inilah Harun mengharapkan kembalinya teologi liberal itu ke dunia Islam yang bercorak rasional. Terkait dengan itu, Harun lebih lanjut menuangkan dalam teologi pembaharuannya, di Indonesia masih ketinggalan sampai sekarang ini, dimana masih banyak dipengaruhi oleh filsafat hidup yang bercorak tradisional, Asy’ariyah. Penghargaan terhadap akal sebagai anugerah Tuhan itu belum cukup, pada qadha dan qadar dalam arti fatalisme masih banyak terdapat di kalangan masyarakat, kepercayaan adanya hukum alam ciptaan Tuhan belum kuat, dinamika belum banyak kelihatan, tanggung jawab dengan tugas, masa depan masih banyak diserahkan kepada nasib. Tegas Harun, sistim berpikir inilah yang akan membawa proses kemandekan berpikir umat Islam di Indonesia, bahkan menjadi suatu faktor penghambat modernisasi dalam lapangan hidup bangsa Indonesia. (Harun (d), 1996: 158).
Menurutnya ada dua faktor penghambat terjadinya modernisasi; (1) Islam sebagaimana agama lain bersifat dogmatis; (2) ajaran-ajaran Islam hanya mengurus keakhiratan. Oleh sebab itu Islam bersifat tradisional dan berpandangan sempit. Pandangan sempit dan tradisional tidak dapat sejajar dengan modernisme, bahkan sebaliknya, bertentangan. (Harun (d), 1996: 157).
Sikap inilah yang akan menimbulkan sifat fatalisme atau Jabariyah, yang eksis pada masa masyarakat Islam Indonesia yang dilatar belakangi oleh faktor kesejarahan sebagai basis pertahanan teologi tradisional yang dimiliki. Hal ini
terlihat dari sikap para raja-raja yang berkuasa di Indonesia. Juga ada anggapan bahwa, sokongan yang dianjurkan oleh para raja Islam pada periode pertengahan dengan maksud agar rakyat yang mereka perintah mudah dikuasai. Timbullah di kalangan umat Islam, bahwa segala-galanya telah ditentukan oleh Tuhan sejak zaman azali dan manusia hanya menunggu nasib atau takdir yang telah ditentukan itu.
Harun, menggambarkan tentang tradisional dan pandangan sempit bangsa Indonesia, dimana ia mencontohkan sikap umat Islam dalam menerima sistem asuransi jwia, yang dianggap sebagai masalah yang tergolong kepada aspek teologi. Asuransi bagi kebakaran dan kecelakaan dipandang haram. (Harun (d), 1996: 158). Karena sistim ini tidak percaya kepada qadha dan qadar Tuhan. Asuransi dianggap mengandung unsur tidak percaya kepada takdir Tuhan. Masalah ini dalam perekonomian modern sekarang dipandang sebagai unsur yang sangat penting. Karena itu, pandangan umat yang tidak bisa menerima asuransi atas dasar kepercayaan keagamaan mereka tersebut merupakan penghambat kemajuan perekonomian negara. Sikap inilah yang membuat Islam bersifat dogmatis.
Sejajar dengan contoh di atas, Harun mempunyai pandangan tentang “anjing”. Dikatakannya bahwa Islam tidak mengharamkan untuk memelihara anjing, alasannnya, tidak semua madzhab figh menganggapnya najis. Madzhab Syafi’i yang banyak dianut di Indonesia memandang anjing najis. Tetapi madzhab Syafi’i bukanlah satu-satunya interpretasi fiqh dalam Islam. Madzhab Maliki memandang, hanya air ludah anjing yang najis. Dengan demikian, terdapat perbedaan pendapat diantara madzhab fiqh tentang kenajisan anjing. Memang madzhab Syafi’i menajiskannya, tapi itu tidak menunjukkan bahwa Islam mengharamkan memelihara anjing. (Harun (d), 1996: 160).
Inilah yang terjadi di Indonesia, pada umumnya hanya mengenal Islam dari sudut fiqh, dan itupun hanya dari sudut fiqh Syafi’i ditambah dengan tinjauan tauhid seperti yang terdapat dalam teologi Asy’ariah dan interpretasi fiqh Syafi’i, padahal dalam teologi masih banyak aliran yang dikenal seperti: Mu’tazilah, Maturidiyah, disamping Asy’ariyah. Begitu juga dalam hukum Islam dikenal aliran Hanafi, Hambali, dan Maliki disamping Syafi’i. Kalau hanya menafsirkan
Islam menurut aliran fiqh Syafi’iyah dan teologi Asy’ariyah, berarti Islam itu sempit. Padahal Islam itu pada hakekatnya mempunyai horizon yang sangat luas. Lewat pandangan di atas Harun menunjukkan bahwa Islam harus ditinjau dari aspek-aspek yang bermacam-macam dalam menafsirkan kehidupan, baik dari sudut pandang hukum maupun dari sudut pandang teologis. Hal ini dapat dipahami bahwa konsep pemikiran yang akan membawa kepada kemajuan adalah harus memakai teologi liberal yang rasional, agar semua aspek kehidupan yang dicita-citakan dapat terwujud dan diaplikasikan dalam kontek zaman modern.
Kesimpulan
Dari uraian yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Untuk terciptanya masyarakat Islam yang maju, harus merubah pola pikir dari berpikir tradisional kepada rasional.
2. Jangan taqlid kepada satu madzhab atau aliran. 3. Islam bukan tidak kaku, tapi juga fleksibel.
DAFTAR PUSTAKA
Muzani, Saiful, A., Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1996.
__________, Studi Islamika Vol. 1, Jakarta: t.p, 1994.
Nasution, A., Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI-Press, 1987.
__________, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Lembaga Studi Agama Islam dan Filsafat, 1989.
__________, Teori Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.
Rasyidi, Koreksi Terhadap Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai