• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian karena merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian atasnya terdiri dari tulang dan tiga perlima bawahnya tulang rawan (Ballenger, 2003).

Rangka hidung bagian luar dibentuk oleh dua os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior atau kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago septum nasi (Ballenger, 2003). Bagian lateral dari ala nasi juga dibentuk oleh beberapa kartilago berukuran kecil yang biasa disebut kartilago alar minor. Bentuk dan stabilitas dari kartilago alar yang meliputi krus medial dan lateral menentukan bentuk tip nasi dan hidung. Selain krus media, bagian inferior septum dan kolumela juga memiliki peranan pada stabilitas hidung (Probst dkk., 2006).

Pada tulang tengkorak lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura piriformis. Tepi latero-superior dibentuk oleh ke dua os nasal dan prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Di garis tengah ada penonjolan yang disebut spina nasalis anterior (Ballenger, 2003).

(2)

Kavum nasi dimulai di bagian anterior yang disebut vestibulum nasi dengan batas posteriornya limen nasi atau nasal valve. Nasal valve adalah daerah tersempit dari traktus respiratorius atas dan merupakan daerah yang memiliki peran utama pada aerodinamik dari aliran udara pada hidung (Probst dkk, 2006).

Septum nasi adalah sekat yang membagi kavum nasi menjadi dua ruang yaitu kavum nasi kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum kuadrilateral, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posteroinferior septum nasi dibentuk oleh os vomer, krista maksila, krista palatina serta krista sphenoid (Ballenger, 2003).

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sphenoid (Ballenger, 2003).

Dinding lateral hidung dibentuk oleh permukaan dalam prosessus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial (Ballenger, 2003).

Fossa nasalis pada orang dewasa memiliki panjang kira-kira 7,5 cm dan tinggi 5 cm (Bull, 1987). Fossa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus medius dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang dapat ditemukan adanya

(3)

konka ke empat yang disebut konka suprema. Meatus inferior adalah meatus yang paling besar dari ke tiga meatus yang ada. Meatus inferior merupakan tempat bermuaranya duktus naso lakrimalis. Meatus media adalah tempat bermuaranya sinus frontal, sinus maksila dan sel-sel anterior sinus etmoid. Meatus superior atau fisura etmoid adalah celah sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media, tempat bermuaranya sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid (Ballenger, 2003).

Hidung tersusun atas otot-otot yang berukuran kecil. Otot-otot di daerah hidung terdiri dari otot proserus, otot nasalis, otot depresor septi, otot dilator nares posterior, otot dilator nares anterior dan kaput angularis otot kuadratus labii superior (Ballenger, 2003).

Gambar 2. 1 Anatomi hidung (Putz dan Pabst, 2000)

Pendarahan untuk hidung luar terutama berasal dari cabang-cabang arteri nasalis angularis dan nasalis lateralis arteri maksilaris eksterna dan cabang infraorbitalis arteri maksilaris interna. Rongga hidung mendapat pendarahan dari

(4)

cabang sfenopalatina arteri maksilaris interna dan cabang etmoidalis arteri oftalmika. Venanya bermuara di vena fasialis anterior dan vena oftalmika (Ballenger, 2003).

Saraf motorik untuk hidung berasal dari saraf fasialis. Saraf sensoris termasuk cabang infratroklearis dan cabang nasalis saraf oftalmikus dari saraf trigeminus dan saraf infraorbita cabang saraf maksilaris dari saraf trigeminus (Ballenger, 2003).

Mukosa sinonasal terdiri dari lapisan epitel, lamina propia, sub mukosa dan periosteum. Epitel kavum nasi adalah epitel kolumnar berlapis semu bersilia dengan sel-sel goblet di dalamnya. Tiga fungsi utama dari hidung adalah fungsi penghidu, respirasi dan proteksi. Ke tiga fungsi di atas ditunjang oleh anatomi dari kavum nasi, yang membutuhkan daerah permukaan yang luas. Aliran turbulensi udara hidung adalah fisiologi utama dari fungsi hidung. Aliran turbulensi udara ini meningkatkan kontak antara udara inspirasi dengan mukosa hidung, memberi pengaruh tidak saja pada fungsi respirasi tetapi juga fungsi penghidu dan proteksi ( Walsh dan Korn, 2006) .

Kondisi dari mukosa hidung, kelembaban serta permukaan dari kavum nasi yang bersilia meningkatkan kontak dengan udara inspirasi, dapat memaksimalkan fungsi penghidu, menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara yang masuk sebelum mencapai saluran nafas bagian bawah (Walsh dan Korn, 2006).

Adanya vibrisae pada orifisium kavum nasi menyaring partikel besar yang masuk bersama dengan udara inspirasi sedangkan partikel yang berukuran lebih

(5)

kecil mencapai mukosa dan dibalut oleh mukus. Adanya bersihan mukosiliar akan membawa partikel yang telah dibalut oleh mukus termasuk di dalamnya bahan patogen keluar dari hidung dan sinus (Walsh dan Korn, 2006).

2.1.2 Anatomi sinus paranasal

Kavum nasi dikelilingi oleh ruangan yang berisi udara yang dikenal dengan nama sinus paranasal. Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada setiap sisi hidung: sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri , sinus maksilaris kanan dan kiri, serta sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, hanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostiumnya masing-masing (Ballenger, 2003).

Sinus paranasal secara klinis dibagi menjadi dua yakni kelompok sinus anterior dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal, sinus maksila dan sel-sel anterior sinus etmoid yang bermuara di meatus media. Kelompok posterior terdiri dari sinus sphenoid dan sel- sel posterior sinus etmoid yang bermuara di meatus superior (Ballenger, 2003).

Sinus maksila atau dikenal juga dengan nama antrum Highmore adalah merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila berbentuk piramid irregular dengan dasarnya menghadap fossa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila (Ballenger, 2003). Dinding anterior sinus maksila adalah permukaan fasial os maksila, sedangkan dinding posteriornya adalah fossa infratemporal. Dinding medial sinus maksila adalah dinding lateral

(6)

kavum nasi, Dinding superiornya adalah dasar orbita, sedangkan dasar sinus maksila adalah prosesus alveolar dari maksila. Ostium alami dari sinus maksila berada di superior dinding medial sinus dan drainasenya mengalir ke arah infundibulum etmoid dan hiatus semilunaris (Rice dan Schaefer, 2004).

Sinus frontal memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Kadang- kadang juga ada sinus yang rudimenter. Sinus ini berhubungan dengan meatus media melalui duktus nasofrontal, yang berjalan ke bawah dan belakang serta bermuara meatus media (Ballenger, 2003).

Sel-sel atau labirin etmoid terletak di kiri-kanan kavum nasi kira-kira sebelah lateral di setengah atau sepertiga atas hidung dan di sebelah medial orbita. Ada dua kelompok sel-sel: kelompok anterior yang bermuara ke meatus media dan kelompok posterior yang bermuara ke meatus superior. Sel-sel posterior jumlahnya lebih sedikit tapi berukuran lebih besar (Ballenger, 2003).

Sinus sfenoid terletak di dalam korpus os etmoid, ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis. Masing-masing sinus sfenoid berhubungan dengan meatus superior melalui celah kecil menuju ke resesus sfeno-etmoidalis (Ballenger, 2003). Untuk drainase, sinus sfenoid tergantung dari aliran mukosiliar (Rice dan Schaefer, 2004).

2.1.3 Fungsi hidung dan sinus paranasal

Tiga fungsi utama dari hidung adalah fungsi penghidu, respirasi dan proteksi. Kondisi dari mukosa hidung, kelembaban serta permukaan dari kavum

(7)

nasi yang bersilia meningkatkan kontak dengan udara inspirasi yang dapat memaksimalkan fungsi penghidu, menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara yang masuk sebelum mencapai saluran pernafasan bagian bawah (Walsh dan Korn, 2006).

Aliran turbulensi udara pada hidung merupakan fisiologi utama dari hidung. Aliran turbulensi dari udara pada kavum nasi meningkatkan kontak antara udara inspirasi dengan mukosa hidung yang tidak hanya berperan dalam fungsi respirasi tetapi juga penghidu dan pertahanan tubuh (Walsh dan Korn, 2006).

Banyak teori yang mengemukakan fungsi sinus paranasal tetapi tidak ada yang diterima secara umum. Fungsi sinus paranasal di antaranya meliputi meringankan tulang tengkorak, sebagai kotak resonansi suara, meningkatkan fungsi penghidu, melembabkan udara inspirasi dan membantu regulasi dari tekanan intranasal (Walsh dan Korn, 2006).

2.2 Sistem Mukosiliar Sinonasal 2.2.1 Mukosa sinonasal

2.2.1.1 Epitel

Epitel hidung dan sinus paranasal terdiri dari tiga jenis sel yaitu sel basal, sel goblet dan sel kolumnar bersilia ataupun sel kolumnar yang tidak bersilia. Epitel merupakan barier mekanik yang utama untuk melawan infeksi. Sel silia mendominasi permukaan epitel respiratori. Setiap sel silia memiliki kira-kira 150 sampai 200 silia. Tugas dari silia adalah untuk membersihkan palut ledir yang dihasilkan oleh sel goblet dan sekresi serus dari kelenjar hidung ke nasofaring. Sel

(8)

basal menunjukkan adanya hubungan morfologi antara epitel kolumner dengan sel goblet dan dengan membran dasar epitel di sisi yang lain. Epitel respiratori berbeda dengan tipe epitel yang lain karena adanya peningkatan ekspresi dari beberapa molekul adhesi seperti intracellular adhesion molecule-1 dan ICAM-1 dan peningkatan sintesis sitokin seperti interleukin 1. Selain ke empat tipe sel yang telah disebutkan epitel juga mengandung sel-sel imunokompeten seperti CD8-positive T cells dengan sel mast, makrofag dan MHC-II bearing dendritic

cells yang berfungsi sebagai antigen-presenting cells (Probst dkk., 2006).

2.2.1.2 Palut lendir

Palut lendir merupakan lapisan mukus dengan ketebalan 10-15 µm, bersifat agak asam dengan pH antara 5,5-6,5. Palut lendir terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisilia yang tipis dengan viskositas rendah disebut dengan sol

phase. Lapisan yang lain adalah lapisan yang lebih kental dan tebal, yang ada di

atas lapisan perisilia disebut dengan gel phase yang tampak sebagai plak terputus-putus. Partikel tak larut yang tertangkap di plak mukus akan bergerak bersama dengan plak tersebut akibat adanya gerakan silia (Ballenger, 2003).

Materi yang mudah larut seperti droplet, formaldehid dan CO2 akan larut di lapisan perisilia. Mukus hidung secara efektif menyaring dan mengeluarkan hampir 100% partikel yang berukuran lebih besar dari 4µm. Mukus hidung diproduksi sekitar 1-2 liter setiap hari dengan kandungan glikoprotein 2,5-3%, garam 1-2% dan air 95%. Musin adalah salah satu glikoprotein yang menyebabkan mukus bersifat protektif selain melubrikasi permukaan mukosa (Probst dkk., 2006). Palut lendir didapatkan di seluruh rongga hidung kecuali

(9)

vestibulum, sinus, telinga tengah, tuba Eustachius dan percabangan bronkus, mungkin terus sampai ke alveolus dalam bentuk pelembab. Gerakan silia yang ada di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini, bersama dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya secara berkesinambungan ke arah faring dan esofagus untuk kemudian ditelan atau dibatukkan. Lendir ini diproduksi oleh kelenjar mukus dan serosa, terutama oleh sel-sel goblet pada mukosa (Ballenger, 2003).

2.2.1.3 Silia

Pada manusia, silia ditemukan di sepanjang traktus respiratorius kecuali vestibulum nasi, dinding posterior orofaring, sebagian laring dan cabang terminal bronkus. Silia juga ditemukan pada tuba Eustachius, sebagian besar di telinga tengah dan sinus paranasal (Ballenger, 2003).

Silia pada manusia luasnya sekitar 6 µm di atas permukaan luminal dari sel dan lebar kira-kira sekitar 0,3 µm. Kurang lebih 200 silia ditemukan pada masing-masing sel pada hidung. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat di bawah permukan sel. Setiap silia diselubungi oleh lanjutan membran sel atau membran plasma. Di dalam silia ada sehelai filamen atau fibril yang disebut aksonema. Di bawah aksonema terdapat badan basal yang silindris dan pendek, lebih ke bawah lagi fibril memanjang sampai ke sitoplasma apikal dan disini disebut sebagai tempat akar. Silia tertanam dengan kuat dan mungkin tempat akar ini meneruskan impuls saraf dari satu silia ke silia di sebelahnya sehingga dapat timbul irama yang selaras. Filamen ini adalah pasangan tubulus yang tersusun seperti roda pedati, ada 9 pasangan terletak di bagian luar sepanjang

(10)

perifer aksonema dan satu pasang di tengah yang dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Ballenger, 2003)

Kesembilan pasangan luar ini masing-masing terdiri dari dua mikrotubulus juksta: subfibril A yang letaknya agak di sentral dan subfibril B yang letaknya agak ke tepi dan berukuran lebih pendek. Terdapat dua lengan yang tersusun dengan teratur yang terdiri dari ATPase yang dinamakan lengan dynein yang menghubungkan subfibril A dengan B dari pasangan sebelahnya. Selain itu, ada penghubung lain antara subfibril A dan B dari pasangan sebelahnya yang tersusun teratur seperti halnya dynein yang disebut neksin. Dari A menuju pasangan yang di tengah ada jari-jari radial. Pada dasar silia, pasangan tubulus sentral berakhir dan masing-masing pasangan perifer melanjutkan diri ke bawah untuk masuk ke badan basal sebagai tripel karena tambahan subfibril C (Ballenger, 2003).

Gerakan silia terjadi karena tubulus saling meluncur di atas tubulus lainnya, sehingga timbul gerakan seperti mencukur dan mengakibatkan silia menunduk. Energi untuk itu berasal dari lengan dynein atau ATPase yang memecah adenosin trifosfat atau ATP. Pada waktu menunduk terjadi proses penembatan kembali jari-jari. Poros gerakan silia adalah garis tegak lurus pada bidang yang menghubungkan pasangan tubulus sentral. Sleigh berpendapat bahwa tekanan yang terasa oleh silia akibat kontak dengan silia di sebelahnya yang menunduk merupakan stimulus untuk menunduk mengikuti irama yang beraturan (Ballenger, 2003).

(11)

Gambar 2. 2 Susunan ultrastruktur tubulus silia pada berbagai tingkatan (Ballenger, 2003)

Sel-sel bersilia gugur dan diganti secara teratur. Kemungkinan besar sel-sel basal mempunyai potensi untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel goblet atau sel-sel bersilia sesuai kebutuhan. Belum diketahui dengan jelas apa yang mengontrol gerak silia. Pada manusia tidak ada saraf pengontrol. Adenosin trifosfat merupakan sumber energi utama pada aktivitas silia mamalia (Ballenger 2003).

Gerak maju dan mundurnya silia disebut irama. Ada gerak maju yang kuat dan efektif, pada saat ini silia tegak sepenuhnya dan ujungnya sampai mencapai lapisan mukus superfisial yang menyelimutinya. Kemudian gerak kembali, dengan arah yang berlawanan, tidak begitu kuat, lebih lambat dan silianya melengkung sehingga tidak sampai mencapai lapisan mukus di permukaan. Arah gerak silia dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gerak silia tejadi 12 sampai 1400 kali/menit (Ballenger, 2003).

Silia ini terkoordinasi dengan baik. Gerakannya dapat mengalirkan lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di depan meneruskan beban yang disampaikan

(12)

oleh silia di belakangnya. Gerakan ini merupakan gerakan berkesinambungan bukan gerakan sinkron. Silia merupakan struktur yang tangguh. Aktivitasnya berlangsung terus tanpa kehilangan kekuatan meskipun selalu basah oleh sekret purulen berbulan-bulan lamanya. Kekeringan akan cepat menimbulkan kerusakan silia yang sifatnya permanen. Silia harus selalu diselimuti oleh lapisan lendir agar dapat tetap aktif (Ballenger, 2003).

Gambar 2. 3 Siklus normal silia (Ballenger, 2003)

Beberapa macam virus saluran pernafasan terutama virus influenza mampu menghambat gerak silia. Pada pemeriksaan silia yang terpajan oleh virus pada silia, yang menyebabkan menurunnya gerak silia (Ballenger, 2003).

2.2.2 Transpor mukosiliar

Sistem transpor mukosiliar adalah mekanisme pertahanan tubuh yang penting dari dunia luar termasuk partikel dan bakteri. Transpor mukosiliar adalah

(13)

sistem pembersihan yang terdiri dari dua sistem yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia mendorong gumpalan mukus. Ujung silia yang dalam posisi tegak masuk, menembus gumpalan mukus dan menggerakkannya ke arah posterior bersama-sama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah faring. Lapisan cairan perisilia di bawahnya juga turut serta dialirkan ke arah posterior oleh silia, tetapi mekanismenya belum diketahui dengan jelas (Branovan, 2004; Ballenger, 2003). Metachrony adalah koordinasi gerakan silia yang mencegah tabrakan antar silia di saat fase gerakan yang berbeda, selain menyebabkan aliran mukus yang bersifat unidireksional. Gerakan silia tersebut akan menimbulkan arus pada cairan perisilia berupa hentakan yang sangat efektif. Plak mukus yang bergerak akibat pergerakan lapisan perisilia dan gerakan ujung silia yang meregang adalah faktor utama transpor mukosiliar (Baroody, 2001).

Dalam rongga hidung transpor mukosiliar menggerakkan mukus ke arah nasofaring dengan pengecualian di bagian anterior konka inferior yang mengarah ke depan. Arus ke arah depan ini menyebabkan partikel yang berada pada lokasi tersebut semakin bergerak ke rongga hidung. Partikel yang dialirkan ke belakang ke arah nasofaring tertelan secara berkala (Baroody, 2001).

Produksi mukus sinus paranasal lebih sedikit dibanding dengan mukosa hidung. Penelitian transpor mukosiliar sinus maksila dilakukan dengan memasukkan tinta India ke dalam sinus dan mengamati pergerakannya. Hasilnya berupa suatu gerakan yang berbentuk bintang memancar ke dasar sinus ke berbagai arah menuju ostium sinus maksila. Pada sinus frontal transpor mukosiliar

(14)

berbentuk kurva besar mulai dari bagian medial ke arah atap dan melengkung ke lateral lalu ke bawah dan menuju duktus nasofrontalis. Pada sinus etmoid dan sfenoid tidak ada deskripsi yang jelas mengenai pola transpor mukosiliar (Baroody, 2001).

2.2.3 Pemeriksaan fungsi mukosiliar

Pengukuran transpor mukosiliar secara in vivo dapat dilakukan dengan beberapa cara. Kecepatan kerja mukosiliar dapat diukur dengan mengikuti suatu partikel yang larut di permukaan mukosa. Partikel ini akan bergerak bersama gumpalan mukus. Materi yang rasanya manis misal sakarin, akan bersatu dengan cairan perisilia dan akan dirasakan penderita pada saat sampai di faring (Walsh dan Korn, 2006; Ballenger, 2003; Marks, 2000). Tes sakarin adalah cara yang sederhana untuk mengetahui fungsi mukosiliar. Tes sakarin pertama kali diperkenalkan oleh Andersen dkk. pada tahun 1974 yang kemudian dimodifikasi oleh Rutland dan Cole. Tes ini memiliki kelebihan yaitu harga yang terjangkau, sederhana, mudah dikerjakan dan efektif untuk mengukur transpor mukosiliar hidung. Tes ini dilakukan dengan menempatkan 0,5 mm sakarin pada anterior konka inferior kira-kira 1 cm dari bagian akhir untuk menghindari daerah dengan metaplasia sel skuamosa. Tes dilakukan dalam posisi duduk, dengan kepala terfiksir 10˚ untuk menghindari partikel sakarin jatuh ke arah posterior. Subjek yang dites tidak boleh makan, minum atau menelan untuk menghindari batuk dan bersin. Subjek juga diinstruksikan sebelumnya untuk tidak menggunakan obat-obatan seperti obat anestesi, analgetik, barbiturat, penenang, antidepresi, alkohol

(15)

dan kopi selama kurang lebih 12 jam sebelum tes dilakukan (Baby dkk., 2014; Valia dkk., 2008; Proenca dkk., 2011). Waktu kemudian diukur sampai terasa sesuatu yang manis di mulut, yang normalnya memerlukan waktu 20 menit atau kurang. Apabila waktunya lebih dari satu jam, maka perlu dilakukan tes ulang karena kemungkinan sakarinnya terjatuh dan pastikan penderita bisa mengecap rasa manis. Apabila tes sakarin menunjukkan pemanjangan waktu dari nilai normal atau ada kecurigaan abnormalitas yang spesifik dari silia dapat dilakukan pemeriksaan silia secara langsung dengan mengambil contoh silia menggunakan

Rhinoprobe dan meneliti aktivitasnya menggunakan mikroskop fase kontras

dengan sel fotometrik. Frekuensi dari gerak silia dapat diukur dengan real-time

analyzer dan dinyatakan dengan satuan Hertz atau Hz. Nilai normal dari

frekuensi gerak silia adalah 12 sampai 15 Hz. Teknik pemeriksaan ini belum banyak tersedia di sentra pelayanan kesehatan (Ballenger, 2003; Marks, 2000).

Selain tes sakarin, tes serupa yang dapat dilakukan untuk mengukur transpor mukosiliar adalah tes yang menggunakan droplet biru metilen yang diteteskan di bagian depan hidung, kemudian dilakukan pengamatan orofaring untuk melihat adanya sisa warna di orofaring. Warna biasanya akan tampak dalam 20 menit. Tes ini lebih objektif dibandingkan tes sakarin karena tes ini tidak tergantung dari persepsi pasien meskipun kurang tepat karena orofaring tidak dapat diamati secara terus menerus selama 20 menit untuk mengamati munculnya warna di orofaring (Marks, 2000).

Alternatif lain pemeriksaan transpor mukosiliar yang lain adalah dengan menggunakan radioisotop. Pemeriksaan ini dilakukan dengan berdasarkan

(16)

pergerakan radioisotop yang diamati dengan menggunakan radioisotope scanner di daerah nasofaring. Teknik pemeriksaan ini juga memungkinkan kita untuk mengukur pergerakan mukus yang dinyatakan dalam milimeter gerakan permenit. Pada orang dewasa yang sehat, rata-rata gerakan sebesar 9 mm/ menit. Kekurangan dari tes ini adalah relatif mahal dan memerlukan waktu yang relatif lama (Marks, 2000).

Apabila waktu transpor mukosiliar dan frekuensi gerak silia abnormal, maka sampel dapat diteliti dengan spatula atau melalui biopsi langsung untuk diteliti dengan mikroskopi elektron, untuk menegakkan diagnosis seperti primary

ciliary dyskinesia atau PCD. Selain itu, pemeriksaan kadar nitrit oksida juga

penting untuk mengetahui metabolisme silia. Pada PCD, kadar nitrit oksida menjadi penanda tidak langsung metabolisme silia yang mengalami penurunan (Ballenger, 2003;Walsh dan Korn, 2006).

2.2.4. Faktor - faktor yang mempengaruhi waktu transpor mukosiliar Beberapa faktor dapat mempengaruhi waktu transpor mukosiliar di antaranya umur, infeksi, alergi, merokok, pemakaian obat tetes hidung, indeks massa tubuh, gangguan atau kelainan anatomi hidung dan penyakit sistemik seperti DM.

Peningkatan waktu NMC yang disebabkan proses penuaan menunjukkan penurunan fungsi mukosiliar yang dapat disebabkan oleh perubahan anatomi, fisiologi dan biokimia yang secara normal terjadi pada proses penuaan (Paul dkk., 2013).

(17)

Infeksi hidung dan sinus paranasal kronik dilaporkan dapat mempengaruhi waktu transpor mukosiliar. Pada infeksi terjadi gangguan viskoelastisitas mukus yang dapat menyebabkan gangguan transpor mukosiliar (Majima dkk., 1993).

Pada kasus rinitis alergi yang sangat lama terjadi pemanjangan waktu transpor mukosiliar yang berkaitan dengan perubahan sifat aliran mukus hidung (Yadav dkk., 2003).

Merokok dapat mempengaruhi kecepatan transpor mukosiliar. Hal ini dapat disebabkan oleh efek siliostatik dari asap tembakau. Pemanjangan NMC dapat juga disebabkan oleh penurunan jumlah silia atau perubahan viskoelastisitas mukus. Selain itu peningkatan NMC juga berhubungan dengan peningkatan lamanya durasi merokok dimana subjek yang merokok lebih dari 5 tahun memiliki waktu transpor mukosiliar lebih lambat (Baby dkk., 2014).

Obat-obatan topikal pada hidung seperti dekongestan topikal dari penelitian yang dilakukan sebelumnya diketahui dapat mempengaruhi waktu transpor mukosiliar. Zhang dkk. telah melakukan penelitian mengenai pengaruh obat tetes hidung oksimetasolin terhadap waktu transpor mukosiliar. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa oksimetasolin konsentrasi 0,05% tidak menyebabkan efek inhibisi yang nyata terhadap frekuensi gerak siliar hidung secara invitro, walaupun terjadi pemanjangan transpor mukosiliar invivo tetapi masih dalam kisaran normal (Zhang dkk., 2008).

Status gizi juga berpengaruh terhadap kecepatan transpor mukosiliar. Indeks massa tubuh juga berpengaruh terhadap kecepatan transpor mukosiliar. Orang dengan indeks massa tubuh abnormal cenderung mengalami pemanjangan

(18)

waktu transpor mukosiliar hidung. Laki-laki cenderung mempunyai waktu transpor yang lebih panjang bila dibandingkan dengan wanita (Valdez dan Cruz, 2009).

Kelainan atau gangguan anatomi hidung dapat menyebabkan gangguan waktu transpor mukosiliar. Beberapa peneliti menilai hubungan transpor mukosiliar, karakteristik histologi dan struktur mukosa pasien dengan deviasi septum nasi. Dari penelitian didapatkan mukosa septum nasi sisi yang cekung mengalami gangguan transpor mukosiliar dan diduga karena hilangnya silia, inflamasi dan berkurangnya kelenjar (Jang dkk., 2002).

Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus juga dapat mempengaruhi kecepatan transport mukosiliar. Pemanjangan waktu transpor mukosiliar pada penderita diabates mellitus yang mungkin disebabkan oleh menurunnya aktifitas ATP-ase, neuropati, berkurangnya kadar air dan elektrolit dan perubahan metabolisme karbohidrat (Selimoglu dkk., 1999).

2.3. Debu Kayu Dalam Industri Pengolahan Kayu

Debu merupakan salah satu bahan pajanan yang menimbulkan risiko pekerjaan. Debu juga dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi pekerja pada industri yang berhubungan dengan debu pada proses produksinya. Sifat debu yang disebarkan pada lingkungan kerja sangat berhubungan dengan sifat bahan dasar penghasil debu tersebut. Hasil akhir efek samping debu industri tergantung pada tipe debu yang dihirup dan tempat debu melekat pada saluran napas, hal

(19)

tersebut bergantung pada ukuran partikel debu tersebut, struktur saluran napas dan proses bernapas itu sendiri (Amin, 1996; Kauppinen dkk., 2006).

Proses penggergajian dan pengampelasan pada perusahaan kayu menghasilkan debu atau partikel kayu yang terhambur di udara dalam jumlah yang cukup banyak sehingga udara di lingkungan tersebut tidak bersih lagi. Hal ini berpengaruh pada kesehatan terutama kesehatan saluran nafas orang-orang yang berada di lingkungan tersebut khususnya karyawan yang berada di lingkungan tersebut 9 jam per hari dan minimal 6 hari per minggu. Apabila pajanan ini berlangsung terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan gangguan mukosa hidung. Gangguan dapat bersifat ringan seperti terganggunya fungsi silia hingga bersifat lebih berat berupa perubahan struktur seperti hiperplasia kelenjar mukus maupun gangguan yang benar-benar patologis seperti karsinoma in situ ( Watelet dkk., 2002; Irawan, 2004).

Berat ringannya penyakit sangat ditentukan oleh banyaknya partikel yang tertimbun, lamanya waktu pajanan, dan kadar debu rata-rata di udara. Untuk pekerja diperhitungkan masa kerja dan kadar debu rata-rata di lingkungan kerja. Kadar itu haruslah yang benar-benar mewakili kadar debu yang memajani lingkungan kerja selama mereka bekerja sepanjang hari. Pengambilan sampel selama 8 jam kerja atau 1 shift, biasanya dalam bekerja seorang pekerja berpindah-pindah tempat yang kadar debunya berbeda (Yunus, 2003).

(20)

2.3.1 Debu kayu

Debu kayu adalah partikel-partikel zat padat atau partikel kayu yang dihasilkan oleh kekuatan alami atau mekanik seperti pada pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan, peledakan dan lain-lain (Yunus, 2009).

Debu industri yang terdapat dalam udara dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara dan partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi

2. Suspended particulate matter yaitu partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap dengan ukuran 1 mikron sampai 100 mikron (Yulaekah, 2007).

2.3.2. Ukuran partikel debu kayu

Partikel dalam udara yang terhirup tidak semua mencapai paru, partikel yang berukuran besar pada umumnya tersaring di hidung oleh vibrisae atau rambut hidung. Partikel yang terhisap dapat mencapai alveoli adalah partikel dengan ukuran 0,5-0,1 mikron disebut partikel terhisap, partikel ini dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan terjadinya pneumolinosis (Yulaekah, 2007).

Partikulat adalah zat dengan diameter kurang dari 10 mikron. Berdasarkan ukurannya partikulat dibagi dua yaitu:

a. Diameter kurang dari 1 mikron yakni aerosol dan fume (asap) b. Diameter lebih dari 1 mikron yakni debu dan mists (butir cairan).

(21)

Perjalanan debu masuk saluran pernafasan dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut. Partikulat debu yang membahayakan kesehatan ukurannya berkisar antara 0,1 mikron sampai 10 mikron. Partikel yang berukuran 5 mikron atau lebih akan mengendap di hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkus. Partikel yang memiliki ukuran kurang dari 2 mikron akan berhenti di bronkiolus dan alveolus. Sedangkan partikel yang memiliki ukuran kurang dari 0,5 mikron biasanya tidak sampai mengendap di saluran pernafasan akan tetapi dikeluarkan lagi (Depkes RI, 2008).

Debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernafasan. Ukuran dari debu juga sangat menentukan lokasi tertahannya debu di saluran nafas.

Berdasarkan hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut:

1. Ukuran 5-10 mikron, akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian atas. 2. Ukuran 3-5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian tengah. 3. Ukuran 1-3 mikron, sampai di permukaan alveoli.

4. Ukuran 0,5-1 mikron, hinggap di permukaan alveoli atau selaput lendir sehingga dapat menyebabkan fibrosis pada paru-paru.

5. Ukuran 0,1-0,5 mikron, melayang di permukaan alveoli (Depkes RI, 1997).

(22)

2.3.3. Jenis kayu

Kayu terbagi dua yaitu hardwood dan softwood, pada proses pembuatan

furniture ke dua jenis kayu ini biasanya banyak digunakan. Debu kayu merupakan

bahan seperti serbuk coklat muda yang dihasilkan melalui proses mekanik seperti penggergajian, penyerutan dan penghalusan atau pengamplasan. Komposisi debu kayu sangat bervariasi berdasarkan jenis pohon dan utamanya terdiri atas selulosa,

polyoses dan lignin. Sifat kayu terutama dipengaruhi oleh jumlah dan variasi

substansi massa berberat molekul rendah yang menyusunnya termasuk di dalamnya ekstrak organik polar seperti tannins, flavonoids, quinones dan lignans, ekstrak organik non-polar seperti asam lemak, resin acids, waxes, alkohol,

terpenes, sterol, steryl ester dan gliserol dan bahan-bahan larut air seperti

karbohidrat, alkaloid, protein dan material anorganik (Rowell, 2004).

2.3.4 Konsentrasi partikel debu

Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama pajanan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di saluran nafas khususnya paru-paru juga semakin banyak (Yunus, 2003).

2.3.5 Lama pekerjaan

Jenis pekerjaan dalam industri pengolahan kayu mempengaruhi risiko terjadinya pajanan debu kayu. Pekerja yang berisiko tinggi terpajan debu kayu adalah pekerja yang terlibat dalam proses produksi. Pekerja yang terpajan debu kayu secara terus menerus pada usia 15 tahun sampai 25 tahun akan mengalami penurunan kemampuan kerja, usia 25 tahun sampai 35 tahun mulai timbul adanya

(23)

keluhan batuk produktif, usia 45 tahun sampai 55 tahun sering mengeluh sesak dan hipoksemia, usia 55 tahun sampai 65 tahun timbul penyakit kor pulmonal sampai kegagalan nafas dan kematian (Triatmo dkk., 2006).

2.3.6 Tempat dan proses pengolahan kayu

Pada pabrik pengolahan kayu terdapat beberapa bagian produksi yang berpengaruh pada kadar debu kayu yang berbeda pada masing-masing bagian. Proses pengolahan kayu pada perusahaan “M”, di Kabupaten Badung meliputi 6 bagian :

1. Penggergajian kayu

2. Penyiapan dan penyimpanan bahan baku 3. Perakitan dan pembentukan

4. Pengeringan 5. Pengamplasan

6. Furniture component yaitu pengecatan dan penyelesaian akhir atau finishing 7. Administrasi

Bagian pengeringan dan penyiapan komponen relatif tidak memiliki kadar debu yang berbahaya karena tidak menghasilkan limbah debu dalam jumlah yang banyak. Beberapa bagian yang banyak menghasilkan limbah debu adalah bagian penggergajian, pemotongan, pengamplasan kasar dan halus, perakitan. pengecatan dan penyelesaian akhir.

(24)

2.4 Pengukuran Debu Kayu dan Nilai Batas Ambang 2.4.1 Pengukuran debu kayu

Kuantitas pajanan terhadap debu didefinisikan menjadi beberapa istilah yaitu kadar debu total (total dust ), kadar debu terhirup (respirable dust) dan kadar debu dosis kumulatif. Debu total dihitung dengan menggunakan pengumpul debu pasif. Debu total ini kurang berpengaruh terhadap kesehatan karena ukuran debu tidak spesifik. Kadar debu terhirup adalah partikel debu dengan diameter aerodinamik rata-rata 4 mikron (0-100 mikron), partikulat yang terhirup adalah partikel yang ditangkap oleh filter nylon cyclone diameter 10 mm dengan kecepatan 1,7 liter/menit. Sedangkan kadar debu kumulatif adalah perkalian antar kadar debu terhirup dan lama pajanan (Lange, 2008; Anonim, 1997).

Untuk mengukur kadar debu kayu di udara dapat dilakukan dengan 3 cara metode gravimetri yaitu dengan melewatkan udara dalam volume tertentu melalui glass fiber, serat gelas atau kertas saring :

a. High Volume Air Sampler atau HVAS .

High Volume Air Sampler memiliki prosedur kerja udara dihisap dengan

pompa hisap berkecepatan 1,1-1,7 liter/menit. Partikel debu dengan diameter 0,1-100 mikron akan masuk bersamaan aliran udara dan terkumpul pada permukaan saringan serat gelas. Cara ini dapat digunakan untuk mengambil contoh udara selama 24 jam. Waktu pengukuran dapat dikurangi menjadi 6 sampai 8 jam apabila kandungan partikel debu sangat tinggi.

(25)

b. Low Volume Air Sampler atau LVAS.

Prinsip kerja alat ini adalah dengan menangkap debu dengan ukuran yang kita inginkan dengan cara mengatur flow rate. Ukuran rate 20 liter/menit dapat menangkap partikel berukuran sebesar 10 mikron. Berat debu dapat dihitung dengan terlebih dahulu menghitung berat kertas saring sebelum dan sesudah pengukuran.

c. Personal Dust Sampler atau PDS.

Personal Dust Sampler adalah alat yang digunakan untuk menentukan

banyaknya respirable dust di udara atau debu yang dapat lolos melalui filter bulu hidung manusia selama bernafas. Metodenya adalah gravimetri atau melewatkan udara melalui kertas saring dengan cara mengatur flow

rate. Untuk rate 2 liter/menit dapat menangkap partikel debu yang

ukurannya kurang 10 mikron. Alat ini berukuran kecil biasanya digunakan pada lingkungan kerja dan dipasangkan pada pinggang tenaga kerja (Lange, 2008).

2.4.2 Nilai ambang batas debu kayu

Parameter yang paling penting dalam menilai pencemaran debu saat bekerja adalah konsentrasi debu kayu di lingkungan kerja tersebut. Nilai ambang tersebut harus aman bagi orang yang bekerja pada proses produksi yang menghasilkan debu kayu tersebut (Depkes RI, 1997).

Di Indonesia nilai ambang batas atau NAB untuk lingkungan kerja diatur dan dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja RI. NAB adalah faktor-faktor standar

(26)

pada lingkungan kerja yang dianjurkan di tempat kerja yang masih dapat diterima tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan bagi para pekerja, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Depnaker dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No:SE 01/Men/1997 telah menetapkan tentang nilai ambang batas debu kayukeras seperti debu kayu mahoni di udara lingkungan kerja adalah sebesar 5 mg/m3 (Depkes RI, 1997). Standar debu kayu di lingkungan kerja menurut The Nasional Institute for

Occupational Safety and Health atau SNIOSH adalah 1 mg/m3 untuk kayu keras

dan 5 mg/m3 untuk kayu lunak untuk pekerja yang bekerja 8 jam sehari (Wawolumaya, 2001).

2.5 Pengaruh Pajanan Debu Kayu Terhadap Kerja Mukosiliar Hidung Bekerja dalam lingkungan yang dipenuhi oleh debu kayu menyebabkan terhirupnya debu ke saluran nafas yang dapat menyebabkan masalah kesehatan apabila partikel debu tersebut mengendap dan kontak langsung dengan saluran nafas. Pada saat bernafas partikel mengendap di saluran nafas. Rute utama pernafasan adalah melalui hidung. Kemampuan mengendap dari debu kayu tergantung dari ukuran, bentuk, kelarutan dan surface chemistry (Lange, 2008).

Mekanisme yang terpenting dari deposit partikel adalah impaksi, sedimentasi dan difusi. Impaksi dan filtrasi dari udara yang dihirup adalah fungsi penting dari hidung. Adanya rambut pada vestibulum hidung atau vibrisae memiliki peran untuk menyaring udara yang masuk. Pada saat bernafas melalui hidung, 75% dari partikel yang dihirup dengan ukuran diameter ~2,5 µm

(27)

terdeposit di sana. Ukuran partikel dari debu kayu berbeda tergantung dari tipe kayu dan pengerjaan yang dilakukan dari mana debu kayu berasal (Lange, 2008).

Terdapat beberapa mekanisme traktus respiratorius untuk menjaga permukaan mukosa bebas dari benda asing seperti partikel debu kayu. Mekanisme ini dapat bersifat absortif maupun non absortif dan bervariasi di area yang berbeda dari traktus respiratorius. Pada daerah ekstra torakal seperti hidung, partikel yang daya larutnya rendah akan dibersihkan oleh transpor mukosiliar. Partikel yang terkumpul di bagian posterior dari hidung, bergerak ke arah nasofaring akibat dari gerakan silia. Rata-rata alirannya pada orang dewasa yang sehat 5 mm/menit, dengan nilai rata-rata transpor 20 menit (Lange, 2008).

Transpor mukosiliar adalah proses fisiologis pada kavum nasi di mana lapisan mukus yang ada di atas sel bersilia bergerak. Transpor mukosiliar merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang penting untuk menghadapi trauma biologis dan fisik pada kavum nasi, sinus-sinus paranasal dan traktus respiratorius bagian bawah. Partikel asing dan mikroorganisme yang terhirup ditangkap oleh mukus dan dialirkan ke arah nasofaring oleh aktivitas mukosiliar hidung. Proses ini memiliki efek proteksi yang efektif pada traktus respiratorius atas dan bawah dan diyakini sebagai lini pertama pertahanan tubuh manusia. Mekanisme transport mukosiliar ini tergantung dari jumlah silia, frekuensi gerakan, koordinasi gerakan, jumlah cairan hidung dan viskoelastisitasnya. Efektivitas dari sistem mukosiliar ini dapat berkurang atau terganggu disebabkan oleh infeksi, merokok, dan trauma. Apabila terjadi gangguan fungsi, efek proteksi dari silia hidung akan berkurang atau hilang (Lange, 2008; Dostbil dkk, 2011).

(28)

Saat ini debu kayu juga telah diketahui sebagai bahan yang bersifat lokal iritatif dan seringkali menimbulkan keluhan pada hidung terutama hidung tersumbat (Schlunssen dkk., 2002). Gangguan transpor mukosiliar hidung dan gejala gangguan hidung pada pekerja kayu sebelumnya telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Adanya gangguan transpor mukosiliar telah dilaporkan sebagai mekanisme dari keluhan hidung pada orang yang bekerja di lingkungan dengan pajanan debu kayu. Pajanan kronis dari debu kayu dapat menyebabkan gangguan dari transpor mukosiliar pada pekerja kayu (Dostbil dkk., 2011).

Mekanisme pajanan debu kayu dapat menyebabkan adenokarsinoma sinonasal belum diketahui dengan jelas. Ada 3 hipotesis utama yang dikemukakan para ahli mengenai hal tersebut yakni adanya gangguan transpor mukosiliar, efek langsung dari partikel debu kayu dan inflamasi kronis. Andersen dkk. serta Black dkk. menyatakan bahwa fraksi dari debu yang dihirup adalah debu yang diameternya lebih besar dari 5 µm, terdeposit pada epitel hidung yang menurunkan transpor mukosiliar atau bahkan menyebabkan mukostatis. Adanya gangguan transpor mukosiliar sebagai mekanisme utama pertahanan tubuh dari kontaminasi lingkungan menyebabkan waktu kontak yang lebih lama antara sel-sel proliferasi dengan mutagen dan mitogen adheren partikulat yang terhirup seperti bahan-bahan karsinogen. Cohen dan Ellwein pada tahun 1991 menyimpulkan bahwa hal yang terpenting adalah pajanan debu kayu dalam jangka waktu yang lama menyebabkan inflamasi kronis pada epitel sinonasal dan meningkatkan risiko kanker melalui peningkatan spesies oksigen reaktif dan dengan meningkatkan proliferasi sel (Alyson dkk., 2006; Chaboki dkk., 2008).

(29)

Pajanan kronis partikel debu kayu menunjukkan adanya penurunan transpor mukosiliar yang menyebabkan pemanjangan waktu pajanan mukosa sinonasal dengan kandungan bahan kimia yang berbahaya. Pajanan debu kayu pada sel epitel dan kelenjar seromukus menyebabkan overekspresi protein p53 yang kemudian berikatan dengan p53 gene mutations dan menyebabkan terjadinya transformasi ke arah keganasan (Chaboki dkk., 2008)

Gambar

Gambar 2. 1 Anatomi hidung (Putz dan Pabst, 2000)
Gambar 2. 2 Susunan ultrastruktur tubulus silia pada berbagai tingkatan       (Ballenger, 2003)
Gambar 2. 3 Siklus normal silia (Ballenger, 2003)

Referensi

Dokumen terkait

Adakah dari jenis makanan pokok yang dipantangkan untuk dimakan selama kehamilan?. ( ) ada ( )

Di samping itu, hal lain yang masih menjadi pertanyaan terkait konsep ANGELS adalah Triyuwono tidak memberikan komentar dan sikap terhadap Metode CAMELS yang berlaku

Pembuatan rekam medis di rumah sakit juga bertujuan untuk mendapatkan catatan atau dokumen dari pasien yang kuat dan akurat, mengenai riwayat kesehatan, riwayat penyakit dimasa

Dalam penelitian ini digunakan istilah jangjawokan nyadarkeun, istilah ini digunakan oleh kelompok seni tradisi reak helaran sebagai sebutan untuk mantra menyadarkan

Pendidikan menjadi salah satu investasi jangka panjang suatu bangsa. Oleh sebab itu, langkah strategis dalam mempertahankan suatu bahasa daerah dapat dilakukan

Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif observasional, yaitu untuk melihat gambaran kandungan rhodamin B pada jajanan berwarna merah mencolok di

Terdapat lima alternatif green inisiatif yang dapat dilakukan yaitu green product design, greening upstream, greening production, greening downstream dan greening post

2016).. saran kepada pimpinan. Karena pimpinan tidak memberikan respon kepada pegawai yang ada. Terbentukamya lomunikasi kelompok pada Dinas Perhubungan adalah ketika diadakannya