BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan 2.1.1 Anatomi Sistem Pernafasan
1. Saluran Pernafasan Bagian Atas a. Rongga Hidung
Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa bidung. Lender disekresi secara terus menerus oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia. Hidung berfungsi sebagai penyaring kotoran, melembapkan serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru-paru.
b. Faring
Adalah struktur yang menghubungkan hidung dengan rongga mulut ke laring.
Faring dibagi menjadi tiga region ; nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
Fungsi
utamanya adalah untuk menyediakan saluran pada traktus respiratoriun dan digestif.
c. Laring
Adalah struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakhea. Fungsi utamanya adalah untuk memungkinkan terjadinya lokalisasi. Laring juga melindungi jalan nafas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.
2. Saluran Pernafasan Bagian Bawah a. Trakea
Disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 5 inci, tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang.
b. Bronkus
Bronkus terdiri atas 2 bagian yaitu bronkus kanan dan kiri. Bronkus kanan lebih pendek dan lebar, merupakan kelanjutan dari trakhea yang arahnya hampir vertikal. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih sempit, merupakan kelanjutan dari trachea dengan sudut yang lebih tajam. Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang menjadi bronkus lobaris kemudian bronkus segmentaliis. Bronkus dan bronkiolus dilapisi oleh sel – sel yang permukaannya dilapisi oleh rambut pendek yang disebut silia, yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru menuju laring. Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori yang menjadi saluran transisional antara jalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
c. Alveoli
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli. Terdapat tiga jenis sel – sel alveolar, sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding alveolar. Sel alveolar tipe II sel – sel yang aktif secara metabolik, mensekresi surfactan, suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveolar tipe III adalah makrofag yang merupakan sel – sel fagositosis yang besar yang memakan benda asing dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan penting.
2.1.2 Fisiologi Sistem Pernafasan
Pernafasan mencakup 2 proses, yaitu pernafasan luar yaitu proses penyerapan oksigen (O2) dan pengeluaran carbondioksida (CO2) secara keseluruhan.
Pernafasan dalam yaitu proses pertukaran gas antara sel jaringan dengan cairan
sekitarnya (penggunaan oksigen dalam sel). Proses fisiologi pernafasan dalam menjalankan fungsinya mencakup 3 proses yaitu :
1. Ventilasi yaitu proses keluar masuknya udara dari atmosfir ke alveoli paru.
2. Difusi yaitu proses perpindahan/pertukaran gas dari alveoli ke dalam kapiler paru.
3. Transpor yaitu proses perpindahan oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh.
2.2 Konsep Sufokasi 2.2.1 Definsi Sufokasi
Istilah asfiksia menggambarkan kondisi ketika paru-paru tidak dapat mensuplai oksigen, sedangkan sufokasi adalah kondisi saat udara tidak dapat masuk ke paru-paru.
Sufokasi merupakan bentuk asfiksia akibat obstruksi pada saluran udara menuju paru – paru yang bukan karena penekanan pada leher atau tenggelam. Sufokasi merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernafasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadi kematian (Amir, 2007).
Sufokasi merupakan bentuk asfiksia yang dapat disebabkan oleh adanya sumbatan pada saluran nafas, inhalasi benda asing ke jalan nafas, atau lingkungan yang kurang oksigen (terjebak dalam ruang tertutup atau dalam lingkungan yang penuh gas beracun) (Rastogi & Rao, 2011). Berkurangnya kadar oksigen di udara hingga ke level 16% merupakan keadaan yang mengancam (normalnya 21%). Jika levelnya dibawah 5%, kematian akan terjadi dalam beberapa menit (McCance, et al., 2014).
Sufokasi atau mati lemas adalah ketika nafas terhenti akibat kurangnya oksigen. Kematian terjadi ketika orang tersebut tidak mulai bernafas lagi. Penyebab umum sufokasi antara lain : tersedak, tenggelam, menghirup gas beracun, tercekik, dan tersengat listrik (Sorrentino, 2010).
2.2.2 Klasifikasi Sufokasi
Klasifikasi sufokasi menurut James et all (2003) dibedakan menjadi 2, yaitu : Klasifikasi 1
1. External (Mechanical Obstruction)
a. Smothering
Smothering adalah bentuk asfiksia yang disebabkan oleh oklusi mekanis pada saluran pernasan bagian luar (hidung dan mulut). Kematian pada smothering disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran uadara, seperti mulut dan hidung dibekap oleh tangan, baju, bantal, handuk, dll (Bardale, 2011).
b. Chocking
Chocking diartikan sebagai obstruksi saluran pernafasan yang berasal dari dalam. Chocking terjadi sebagai dampak dari benda asing yang masuk ke saluran pernafasan, seperi tulang ikan, koin, kapas, cacing gelang, atificial teeth, dll. Benda asing merangsang spasme laring sehingga menutup keluar masuknya udara. Bahkan benda asing sekecil apa pun dapat merangsang spasme laring yang menimbulkan kematian. Penyakit-penyakit tertentu juga dapat menyebabkan terjadi chocking. Tumor dapat menekan jalan udara untuk masuk. Vomitus dapat masuk ke saluran pernafasan dan memproduksi spasme pada laring (Sharma, 2008).
c. Asfiksia Traumatik
Asfiksia traumatik merupakan bentuk asfiksia violent yang disebabkan karena adanya fiksasi mekanik pada thorak sehingga menghalangi perpindahan jalan nafas (Bardale, 2011).
d. Throttling
Kompresi pada leher dengan 1 atau 2 tangan atau menekan leher dengan menggunakan lengan atas dan bawah didefinisikan sebagai throttling (James et all, 2003)
e. Strangling
Strangling atau strangulation mengacu pada pencekikan pada leher dengan menggunakan tangan. Penyebab kematian pada strangling biasanya karena adanya kombinasi iskemia dengan kompresi arteri karotis dan obtruksi pernafasan dengan kompresi dari trakea atau laring (James et all, 2003).
f. Cafe Coronary
Cafe coronary telah dilaporkan bahwa seseorang yang sedang duduk di cafe atau bar mengalami kolaps dan kematian. Hal ini seolah orang tersebut mengalami serangan jantung mendadak. Namun pada pemeriksaan post-mortem, terdapat sisa makanan atau tulang ikan terlihat
di saluran pernafasan yang mengindikasikan orang tersebut meninggal karena asfiksia dan bukan PJK. Cafe coronary lebih sering terjadi pada seseorang yang mabuk. Penyebab kematian pada semua kasus sufokasi adalah asfiksi. Kematian berlangsung antara 5-6 menit (Sharma, 2008).
2. Internal (cellular level)
a. Inhalation / Irrespirable Gas
Menghirup gas beracun seperti CO2, asap kebakaran, hidrogen sulfat, dan metana pada pekerja selokan dapat menyebabkan terjadinya sufokasi.
Sufokasi juga dapat terjadi pada ruangan kecil dengan banyak orang di dalamnya (Sharma, 2008).
Klasifikasi 2 1) Global
a. Hipoksia (Non-Asphyxial)
Global hypozia atau anoxia adalah tidak adanya oksigen yang bisa disebabkan secara eksternal (misalnya karena kekurangan oksigen saat proses inspirasi dan restrikse volume udara (adanya kehadiran gas inert)), atau secara internal (edemaparu, cyan derivatives, atau keraucunan metamoglobinemia atau karbon monosida), dan adanya penyakit seperti myasthenia gravis (James et all, 2003).
b. Asphyxial
Global asphyxia mengacu pada retensi CO2 yang menyebabkan peningkatan aktivitas pernafasan seperti yang terjadi pada drowning, gagging, tension pneumothorax, restriksi rongga thorax, dan asma (James et all, 2003).
2) Lokal
Terjadi iskemia karena kurangan oksigen (James et all, 2003).
2.2.3 Etiologi Sufokasi 1. Alamiah
Contohnya penyakit yang mengakibatkan obstuksi saluran pernafasan seperti laringitis, difteri, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Mekanik
Penyebab asfiksia mekanik misalnya trauma yang mengakibatkan emboli udara, emboli lemak, pneumotoraks bilateral sumbatan pada saluran nafas, dan sebagainya. Kejadian ini sering dijumpai pada keadaan gantung diri, tenggelam, pencekikan, dan pembekapan.
3. Keracunan
Bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya barbiturat dan narkotika.
2.2.4 Manifestasi Klinis Sufokasi
Sufokasi adalah keadaan yang ditandai dengan terjadinya pertukaran udara pernafasan, yang mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadi kematian.
Manifestasi klinis pada seseorang yang mengalami sufokasi biasanya samar dan tidak spesifik, gejala lain yang mengancam jiwa seperti lemas, pucat, sianosis, atau apnea (Bellmare, 2006).
Menerut James et all (2003) temuan dan tanda klinis pada klien dengan sufokasi dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Temuan Eksternal a. Hipoksia
Peningkatan denyut jantung, peningkatan frekuensi pernapasan, penurunan tingkat kesadaran. Gangguan kesadaran yang berkembang menjadi koma dan kematian apabila terjadi hipoksia serebrum (otak) yang berkepanjangan. Kegagalan organ, termasuk gagal jantung dan gagal ginjal dapat terjadi apabila hipoksia berkepanjangan.
b. Sianosis
Kekurangan oksigen dalam darah mengakibatkan warna hemoglobin menjadi sangat gelap yang memicu timbulnya kebiruan pada kulit.
Sianosis akan timbul di kulit dan membran mukosa seperti wajah dan kuku.
c. Congestion dan Edema
Wajah perlahan-lahan bengkak yang disebabkan karena kebocoran cairan dari pembuluh darah dan mengakibatkan edema lokal.
Keluarnya cairan dari vaskularisasi dapat disebabkan oleh kompresi aliran vena dan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah akibat kekurangan suplai oksigen.
d. Petekie Hemoragic
Petekie hemiragic akan terlihat pada kulit wajah dan membran mukosa.
Selain itu juga dapat terlihat di konjungtiva, subsklera, kulit kelopak mata, membrane mukosa dalam bibir dan sekitar telinga. Petekie hemoragic timbul dalam venula yang berdinding tipis sebagai akibat dari peningkatan tekanan vena secara mendadak yang memicu overekstensi dan ruptur
e. Perdarahan dari Mukosa Nasal dan Meatus Auditorius Eksternal
Sufokasi yang disebabkan karena kekerasan akan menimbulkan perdarahan.
2. Temuan Internal
a. Perdarahan intra-kranial b. Edema cerebral
c. Pulmonary edema d. Perdarahan visceral e. Fluidity of blood f. Kongesti visceral
g. Pembengkakan jantung kanan 2.2.5 Tahapan Sufokasi
Tahap terjadinya sufokasi menurut James et all (2003), adalah:
1) Fase Dispneu
Terjadi dispneu saat proses ekspirasi dengan peningkatan RR, sianosis, dan takikardi. Pada fase dispenu dengan peningkatan RR biasanya tidak terjadi pada sufokasi hypoxic. Berlangsung selama 60 – 80 detik.
2) Fase Konvulsif
Kehilangan kesadaran, distress pernafasan, kongesti facial, bradikardi, hipertensi, dan konvulsi. Durasi selama 2 menit.
3) Pre-terminal Respiratory Pause
Tidak ada aktivitas pernafasan, paralisis saluran nafas dan pusat sirkulasi, takikardi, hipertensi sistemik. Durasi selama 60-120 detik.
4) Mulai timbul nafas seperti terenga-engah karena reflek primitif pernafasan
5) Akhirnya timbul kehilangan gerakan sistem pernafasan: hilangnya reflek dan dilatasi pupil. Durasi selama 1-4 menit.
2.2.6 Patofisiologi Sufokasi
Dari pandangan patologi, kematian akibat sufokasi dapat dibagi dalam dua golongan :
1. Primer (Akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel – sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan O2. Bagian – bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak O2, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel – sel serebrum, serebelum dan ganglia basalis.
Di sini sel – sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sehingga pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru – paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan O2 langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (Berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh) Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi.
Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat.
Keadaan ini didapati pada :
a. Penutupan mulut dan hidung (pembekapan)
b. Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran nafas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru – paru.
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (traumatic asphyxia)
d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan
2.2.7 WOC Sufokasi
2.2.8 Penatalaksanaan Sufokasi
a. Pada Dewasa
1. Hal pertama yang dilakukan adalah posisikan korban agak condong ke depan dan berikan 5 tepukan dengan menggunakan telapak tangan di antara kedua bagian bahu agar mereka dapat batuk
2. Jika korban tidak dapat batuk untuk mengeluarkan benda yang membuat tersedak, hubungi petugas kesehatan secepat mungkin 3. Jika korban berusia lebih dari 1 tahun, lakukan abdominal thrusts /
Heimlich maneuver
4. Berdiri di belakang korban dan lingkarkan lengan penolong di pinggang korban
5. Berikan tekanan di perut korban
6. Perhatikan apakah korban dapat bernafas atau apakah objek sudah dimuntahkan
7. Jika setelah dilakukan 5 thrusts dan benda belum dimuntahkan, selingi dengan tepukan di punggugng korban
Bila korban tidak sadar :
1. Bila korban tidak sadar, baringkan korban di lantai / alas yang keras
2. Periksa jalan nafas korban dan lakukan 30 kali kompresi dada.
3. Lakukan kompresi lebih keras untuk menekan dada sekitar 1,5 s/d 2 inci
4. Bila berhasil, penolong segera menghubungi dokter atau petugas medis secepat mungkin
b. Pada Bayi
1. Bila bayi kurang dari 1 tahun, posisikan bayi di atas lutut, posisikan abdomen bayi berada dibawah dan sepanjang lengan penolong
2. Kepala bayi seharusnya lebih rendah dari dada 3. Pegang kepala bayi tanpa menekan tenggorokan bayi
4. Berikan 5 tepukan pada punggung bayi, di antara kedua bahu bayi 5. Bila tidak berhasil, posisikan bayi menghadap penolong.
6. Lakukan kompresi dada dengan menggunakan dua jari
7. Berikan 5 kali chest thrust dan perhatikan mulut bayi untuk melihat apakah objek sudah keluar atau belum. Bila sudah, buang dengan pelan-pelan
8. Bila belum, lakukan tepukan pada punggung dan kompresi dada sampai petugas emergensi datang
9. Bila bayi tidak sadar, lakukan kompresi dada secepatnya.
2.3 Konsep Drowning 2.3.1 Definisi Drowning
Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam dalam cairan dan cairan tersbut terhisap masuk ke jalan nafas sampai alveoli paru-paru. Pada umumnya tenggelam merupakan kasus kecelakaan, baik secara langsung maupun karena ada faktor-faktor lain seperti korban dalam keadaan mabuk atau dibawah pengaruh obat, atau bisa saja dikarenakan akibat dari suatu peristiwa pembunuhan (Wilianto, 2012). Hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam tetapi tidak terjadi kematian (Onyekwelu, 2008).
Menurut WHO (2015), tenggelam merupakan gangguan sistem pernafasan akibat terendam dalam media yang cair. Konsensus terbaru menyatakan definisi terbaru dari tenggelam harus mencakup kasus fatal dan non fatal. Dampak tenggelam dapat berupa kematian, morbiditas, dan non morbiditas. Ada juga konsensus yang menyatakan bahwa istilah basah, kering, aktif, pasif, diam, dan menengah seharusnya tidak digunakan lagi.
Definisi tenggelam mengacu pada ‘adanya cairan yang masuk hingga menutupi lubang hidung dan mulut’, sehingga tidak terbatas pada kasus tenggelam di kolam renang, atau perairan seperti sungai, laut, dan danau saja, tetapi juga pada kondisi terbenamnya tubuh dalam selokan atau kubangan dimana bagian wajah berada di bawah permukaan air (Putra, 2014).
2.3.2 Klasifikasi Drowning
Klasifikasi tenggelam menurut Levin (dalam Arovah, 2009) adalah : 1. Berdasarkan Kondisi Paru-Paru Korban
a. Typical Drowning
Kondisi ketika cairan masuk ke dalam saluran pernapasan saat korban tenggelam.
b. Atypical Drowning
Dry Drowning
Cairan yang masuk ke dalam saluran pernapasan hanya sedikit bahkan tidak ada.
Immersion Syndrom
Terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin (suhu < 20°C), menyebabkan terpicunya reflex vagal sehingga mengakibatkan apneu, bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan mengarah ke terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebaral.
Submersion of the Unconscious
Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau penyakit jantung khususnya coronary atheroma, hipertensi atau peminum yang mengalami trauma kepala saat masuk ke air.
Delayed Dead
Kondisi ketika seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam.
2. Berdasarkan Kondisi Kejadian a. Tenggelam (Drowning)
Penderita meneguk air dalam jumlah yang banyak hingga air masuk ke dalam saluran pernapasan. Bagian apiglotis akan mengalami spasme yang mengakibatkan saluran nafas menjadi tertutup dan hanya dapat dilalui oleh udara yang sangat sedikit.
b. Hampir Tenggelam (Near Drowning)
Kondisi korban masih bernafas dan membatukkan air keluar.
2.3.3 Etiologi Drwoning
Dua kelompok umur yang beresiko terjadi drowning adalah anak yang belajar berjalan, yang biasanya tenggelam di kolam renang rumah tangga akibat kelalaian singkat pengawasan, dan remaja laki-laki yang lebih besar (15-19 tahun) yang sering tenggelam dalam badan air yang tidak dijaga. Faktor resiko untuk kejadian nyaris tenggelam menurut Lalani & Schneeweiss (2012), adalah:
1. Anak lebih muda, khusunya <4 tahun 2. Penelantaran dan kesalahan pengursan anak
3. Intoksikasi alcohol : 40-50 % nyaris tenggelam akibat penggunaan alcohol 4. Penyalahgunaan obat
5. Gangguan kejang
6. Perilaku suka mengambil resiko 7. Kolam renang dalam rumah
8. Tinggal dekat sungai, danau, kanal, pantai : kebanyakan remaja 2.3.4 Manifestasi Klinis Drowning
Tanda dan gejala yang sering muncul ialah tanda dan gejala sistem kardiorespiratori dan neurologi. Distres respiratori awalnya tidak terlihat, hanya terlihat adanya perpanjangan nilai RR tanpa hipoksemia. Pasien yang lebih parah biasanya menunjukkan tanda hipoksemia, retraksi dinding dada, dan suara paru abnormal. Manifestasi neurologi yang muncul seperti penurunan kesadaran, pasien mulai meracau, iskemik-hipoksia pada sistem saraf pusat sehingga menunjukkan tanda peningkatan ICP (Elzouki, 2012).
Sedangkan menurut Raoof (2008), manifestasi drowning yang muncul antara lain :
1. Frekuensi pernafasan berkisar dari pernapasan yang cepat dan dangkal sampai apneu.
2. Sianosis
3. Peningkatan edema paru 4. Kolaps sirkulasi
5. Hipoksemia 6. Asidosis
7. Timbulnya hiperkapnia 8. Lunglai
9. Postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi 10. Koma dengan cedera otak yang irreversible 2.3.5 Tahapan Drowning
Tahapan terjadinya drowning menurut Tipton & Montgomery (2022), yaitu : 1) Berjuang untuk menjaga jalan napas bersih dari air
Durasinya mungkin juga relatif singkat, 20–60 detik, pada individu yang tidak bisa berenang. Dalam situasi di mana individu dapat berenang pada awalnya, fase ini tidak akan dimulai sampai kegagalan berenang dimulai. Ini mungkin memakan waktu berjam-jam di air hangat dan, dalam skenario ini, berhubungan dengan
kelelahan. Di air dingin, kegagalan berenang dapat terjadi, bahkan pada perenang yang baik, hanya dalam waktu 10 menit karena pendinginan dan ketidakmampuan otot dan saraf superfisial.
2) Perendaman awal dan menahan nafas
Waktu menahan napas (BHT) setelah perendaman (yaitu ketika saluran napas berada di bawah permukaan air) akan bervariasi tergantung pada faktor-faktor seperti keadaan (suhu air, pakaian yang dikenakan, olahraga yang dilakukan, pelatihan, kebugaran aerobik, dan pengalaman). Di dalam air dingin, kombinasi akhir dari menahan nafas dan membenamkan wajah juga dapat mengakibatkan aritmia jantung yang berbahaya dan kematian jantung mendadak.
3) Aspirasi air
Pada akhir menahan nafas, dan sebelum air disedot ke dalam paru-paru.
Masuknya air ke dalam faring dapat menyebabkan refleks menelan, yang seringkali diperberat dengan refleks batuk. Laringospasme sementara atau bronkospasme dapat terjadi akibat rangsangan air pada mukosa yang dipersarafi orofaring dan laring. Namun, sepertinya situasi ini tidak akan bertahan sampai mati. Menelan air mungkin menjelaskan tingginya kejadian muntah pada korban tenggelam. Selama dan setelah menelan, air memasuki paru-paru dan relaksasi laring yang disebabkan oleh hipoksia pada akhirnya akan memungkinkan air diaspirasi.
4) Saatnya menuju ketidaksadaran
Seiring berjalannya waktu, gangguan pertukaran gas, dan pengenceran surfaktan yang disebabkan oleh adanya air di saluran napas terminal, menyebabkan memburuknya hipoksia, hipoksemia, dan akhirnya anoksia. Terjadi penipisan cadangan energi otak, kegagalan metabolisme energi otak, penurunan fungsi otak, kehilangan kesadaran, dan cedera sel saraf yang tidak dapat diperbaiki.
5) Saatnya henti jantung-pernapasan
Apnea atau pernapasan tidak teratur terjadi pada tahap ini, dan tekanan darah ditandai dengan detak jantung yang lambat. Dari penurunan tekanan darah secara drastis hingga tekanan darah mencapai nol.
6) Kematian – ketidakmampuan untuk bangkit kembali
Aktivitas otak dan metabolisme serta kebutuhan oksigen turun sebesar 6 hingga 7% untuk setiap penurunan 1°C pada suhu tubuh bagian dalam, menjadi minimal pada suhu otak di bawah 22°C. Pengecualian terhadap waktu 'ketidakmampuan
untuk bangkit kembali' yang disajikan di atas dapat terjadi ketika tenggelam terjadi di air yang sangat dingin (<6°C).
2.3.6 Patofisiologi Drowning
Hipoksia merupakan hal utama yang terjadi setelah seorang individu tenggelam. Keadaan terhambatnya jalan nafas akibat tenggelam menyebabkan adanya gasping dan kemudian aspirasi, dan diikuti dengan henti nafas (apnea) volunter dan laringospasme. Hipoksemia d an asidosis yang persisten dapat menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung dan kerusakan sistem syaraf pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan paru yang kering, namun karena asfiksia membuat relaksi otot polos, air dapat masuk ke dalam paru dan menyebabkan edema paru.
Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air tawar dan air laut.
Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami hipoktonik, sedangkan pada air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar akan cepat diabsorbsi dari alveoli sehingga menyebabkan hipervolemia intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit serum, dan hemolisis intravaskular. Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia, hemokonsentrasi dan hipertonis.
Aspirasi air yang masuk kedalam paru dapat menyebabkan vagotonia, vasokontriksi paru, dan hipertensi. Air segar dapat menembus membran alveolus dan menggangu stabilitas alveolus dengan menghambat kerja surfaktan. Selain itu, air segar dan hipoksemi dapat menyebabkan lisis eritrosit dan hiperkalemia. Sedangkan, air garam dapat menghilangkan surfaktan, dan menghasilkan cairan eksudat yang kaya protein di alveolus, intertitial paru, dan membran basal alveolar sehingga menjadi keras dan sulit mengembang. Air garam juga dapat menyebabkan penurunan volume darah dan peningkatan konsentasi elektrolit serum.
Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan merupakan faktor yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup korban tenggelam. Karena itu, ventilasi, perfusi, dan oksigenasi yang cepat dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat survival korban.
2.3.7 WOC Drowning
2.3.8 Penatalaksanaan Drowning
Pertolongan pertama pada korban drowning Morbiditas dan mortalitas terbesar yang terkait dengan tenggelam yang tidak fatal disebabkan oleh hipoksia jaringan, khususnya hipoksia serebral, dan dengan demikian, prioritas terbesar dalam proses resusitasi adalah mengatasi dan memperbaiki hipoksia dengan cepat.
Rekomendasi saat ini menyatakan bahwa bantuan pernapasan harus dimulai sesegera mungkin, dan pernapasan harus diberikan dengan dagu pasien dan saluran napas diperpanjang jika aman untuk melakukannya. Salah satu rekomendasinya adalah memulai resusitasi dengan lima kali napas bantuan, bukan dua kali biasanya, dan melakukan napas bantuan sebelum melakukan kompresi dada. Manuver Heimlich tidak lagi direkomendasikan dan harus dihindari. Pasien hipotermia harus diperiksa denyut nadinya selama 30 detik, karena denyut nadinya mungkin lemah, dan memulai CPR pada jantung yang ritmenya teratur dapat memicu disritmia yang mengancam
jiwa. Saat memeriksa, memanipulasi, dan memindahkan pasien hipotermia, berhati- hatilah agar tidak memicu disritmia. Metode penghangatan kembali secara pasif dan aktif harus digunakan untuk menghangatkan suhu inti pasien.
Penatalaksanaan awal pasien meliputi pemberian oksigen melalui kanula hidung, non-pernapasan ulang, ventilasi tekanan positif non-invasif, atau selang endotrakeal. Oksigen harus dititrasi untuk menjaga saturasi oksigen antara 92% - 96%
dan untuk menghindari oksigenasi berlebih. Albuterol yang dinebulasi dapat diberikan untuk bronkospasme. Dukungan jantung harus digunakan. Protokol dukungan kehidupan jantung tingkat lanjut (ACLS) harus diikuti jika diperlukan. Infus kristaloid, dan terkadang vasopresor, mungkin diperlukan untuk hipotensi refrakter.
DAFTAR PUSTAKA
Tipton, M., & Montgomery, H. (2022). The experience of drowning. Medico-Legal Journal, 90(1), 17–26. https://doi.org/10.1177/00258172211053127
Bardale, Rajesh. 2011. Principles Of Forensic Medicine And Toxicology. London: J.P Medical Ltd.
James et all. 2003. Forensic Medicine: Clinical And Pathological Aspects. London:
Greenwich Medical Media.
Oman, Kathleen S, K. M. (2008). Panduan Belajar: Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.
Sharma, RK. 2008. Concice Textbook Of Forensic Medicine & Toxicology 2nd Edition. New Delhi: Elsevier
Stewart, kent. (2012). Forensic Nursing Science. St. Louis. Missouri: Elsevier Mosby Vincent, et all. 2011. Textbook Of Critical Care 6th Edition. Missouri: Elsevier Mosby Amir A. ,( 2007). Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
McCance, K. L., Huether, S. E., Brashers, V. L. & Rote, N. S., 2014. Pathophsysiology ,The Biologic Basis for Disease in Adults and Children, Seventh Edition. Canada: Mosby.
Rastogi, P. & Rao, J., 2011. Accidental Mechanical Asphyxia At Work Site By Mud. J Punjab Acad Forensic Med Toxicol, Volume 11, pp. 52-54.
Sorrentino, S., 2010. Mosby’s Textbok for Long-Term Care Nursing Assistants. 6th penyunt.
s.l.:Mosby.
Tasmono, 2008. Distribusi Kasus Kematian Akibat Asfiksia di Malang Raya yang Diperiksa di Instalasi Kedokteran Forensik RSSA Tahun 2006-2007. pp. 36-39.
Yustisiari, S.F., (2008). Pembekapan. Kepaniteraan Klinik LAB/SMF Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas Kedokteras Universitas Sebelas Maret.
Cimpoesu D, Corlade-Andrei M, Popa TO, Grigorasi G, Bouros C, Rotaru L, Nedelea PL.
Serangan Jantung dalam Keadaan Khusus-Kemajuan Terkini dalam Resusitasi. Apakah J Ada. 2019 Maret/April; 26 (2):e276-e283.
Webber J, Moran K, Cumin D. Resusitasi jantung paru pediatrik: Pengetahuan dan persepsi penjaga pantai selancar. J Pediatr Kesehatan Anak. Februari 2019; 55 (2):156-161.
Parenteau M, Stockinger Z, Hughes S, Cupang B, Mucciarone J, Manganello C, Beeghly A.
Manajemen Tenggelam. Mil Med. 01 September 2018; 183 (suppl_2):172-179.