• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKOMENDASI DESAIN INTERIOR KEDAI KOPI TULI. Prita Adiyani. BBE. M.Ds, Anita Dian Ekawati. Ssn. M. Ds, Lydia Simbara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REKOMENDASI DESAIN INTERIOR KEDAI KOPI TULI. Prita Adiyani. BBE. M.Ds, Anita Dian Ekawati. Ssn. M. Ds, Lydia Simbara"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

REKOMENDASI DESAIN INTERIOR KEDAI KOPI TULI

INTERIOR DESIGN RECOMMENDATION OF ‘KEDAI KOPI TULI’ FOR DEAF PEOPLE

Prita Adiyani. BBE. M.Ds, Anita Dian Ekawati. Ssn. M. Ds, Lydia Simbara Program Studi Desain Interior Sekolah Tinggi Desain LaSalle

prita.adiyani@lasallecollege.ac.id

ABTRACT

Deaf people use space differently from hearing people, but some public spaces rarely reflect that. The need of public space facilities for the deaf often been neglected. Thus, this issue has brought up to this writting. This journal discusses about the deaf problems in an interior space. The space chosen for this case is ‘Kedai Kopi Tuli’ that serves for both hearing and deaf people, but mainly it is a place where Indonesia’s deaf community come together. This café provides an employment and empowerment for the deaf. Interview and direct observation are some of the methods used by the writer to collect the problems. Interior design theory about layout, furniture, ergonomics, lighting, acoustics and DeafSpace guidelines are taken into consideration to find the design solutions. The result of this writing is an interior design recommendation of ‘Kedai Kopi Tuli’ that is made to suit the needs of our deaf friends. Keywords : Kedai Kopi Tuli, Café, Interior Design, DeafSpace, Deaf

ABSTRAK

Kebutuhan teman Tuli akan fasilitas ruang publik masih kerap terabaikan. Hal inilah yang melatar belakangi penulisan ini. Penulisan ini akan menitikberatkan kepada masalah-masalah ruang yang dihadapi teman Tuli dilengkapi dengan solusi desain interiornya. Studi kasus dalam penulisan ini adalah ruang publik kafe yaitu Kedai Kopi Tuli (Koptul). Kedai Koptul terbuka untuk umum, namun dikhususkan untuk pengunjung sekaligus memberdayakan pekerja teman Tuli. Permasalahan akan dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan questionaire kepada pekerja dan pengunjung teman Tuli. Masalah-masalah tersebut akan dikaitkan dengan teori-teori seperti teori aspek keruangan, ergonomi manusia dalam ruang kafe, pencahayaan, akustik dan DeafSpace guideline, agar penulis dapat meninjau dan mengkaji kembali desain interior Kedai Koptul. Hasil dari penulisan ini adalah berupa rekomendasi desain interior Kedai Koptul yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan teman Tuli. Kata Kunci : Kedai Kopi Tuli, Kafe, Desain Interior, teman Tuli

(2)

PENDAHULUAN

Masyarakat pada umumnya menggunakan istilah “tunarungu” untuk mendeskripsikan seseorang yang tidak dapat mendengar. Tetapi pada kenyataannya para penyandang disabilitas pendengaran ini lebih menyukai istilah Tuli, dengan huruf kapital (T).

Seperti yang dikutip dari tempo.co. “Tunarungu adalah istilah medis untuk menggambarkan keterbatasan dari sebuah fungsi, sedangkan Tuli merupakan istilah budaya atau cara berkomunikasi yang berbeda,” jelas Michelle, seorang staf pengajar bahasa isyarat di Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo). Menurut sumber lainnya, narasumber pada blog kumparan menjelaskan bahwa bahasa isyarat dan budaya Tuli menunjukan identitas dan jati diri. Sementara tunarungu, dari segi makna kosakata, dikaitkan dengan kondisi pendengaran yang rusak, tidak bisa berbicara dan tidak normal. Sehingga perlu diperbaiki atau dibantu hingga dapat seperti “orang normal”.

Jadi dapat disimpulkan bahwa istilah Tuli dipandang lebih sopan dan lebih nyaman untuk dipakai sebagai kata sapaan. Sedangkan istilah tunarungu diartikan sebagai keterbatasan fisik dalam mendengar dan berbicara. Oleh karena itu untuk selanjutnya penulis memilih menggunakan istilah teman Tuli dalam penulisan jurnal ini.

Indonesia menempati urutan keempat untuk angka ketulian tertinggi di Asia Tenggara menurut situs idntimes.com. pada artikelnya yang berjudul Kenali 10 Fakta Tuli di Indonesia, memperingati hari ASL (American Sign Language) 15 April 2019. Untuk negara dengan angka ketulian yang cukup tinggi, ironisnya fasilitas publik yang ramah untuk teman Tuli ini masih belum memadai. Seperti dikutip dari siaran berita Newsline di Metro TV 4 Oktober 2019, Juniati Efendi wakil ketua DPP Gerkatin (Dewan Pimpinan Pusat Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia) menyatakan bahwa fasilitas publik yang ramah bagi teman Tuli masih jauh tertinggal dibanding negara lain. Oleh karena hal inilah penulis tergerak untuk membuat penulisan mengenai fasilitas publik yang ramah untuk teman Tuli khususnya di bidang desain interior.

Melihat minat masyarakat peminum kopi cukup banyak di Indonesia, maka fasilitas publik yang dipilih menjadi studi kasus pada penulisan ini adalah Kedai Kopi Tuli (Koptul). Kedai Koptul ini juga berfungsi sebagai wadah untuk komunitas teman Tuli bertemu dan berinteraksi juga memberdayakan teman Tuli sebagai pegawai mereka. Menjadikan Kedai Koptul sebagai wadah pemberdayaan disabilitas teman Tuli Indonesia yang percaya diri dalam berkarya merupakan visi dan misi dari kedai kopi ini.

Apa yang dilakukan oleh Kedai Koptul terhadap komunitas teman Tuli sudah cukup baik. Penulispun ingin ikut berpartisipasi untuk memberikan fasilitas interior yang ramah bagi komunitas teman Tuli. Dengan menganalisa fasilitas desain interior Kedai Koptul, diharapkan penulis

(3)

mampu menghasilkan analisa ruang yang signifikan sehingga dapat menghasilkan rekomendasi desain interior yang efektif dan ramah bagi komunitas teman Tuli sesuai kebutuhannya.

Masalah keruangan yang timbul pada Kedai Koptul didapat melalui wawancara serta observasi penulis terhadap pengunjung dan pekerja pada kedai ini. Adapun batasan masalah pada Kedai Koptul adalah sebagai berikut:

1. Masalah layout (tata letak furnitur dan fasilitas desain interior) 2. Masalah bentuk furnitur

3. Masalah akustik 4. Masalah pencahayaan

5. Masalah penambahan alat bantu lainnya

Penulisan ini diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat. Terhadap komunitas teman Tuli diharapkan penulisan ini bermanfaat dalam memberikan fasilitas publik yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Manfaat pengetahuan agar dapat diterapkan oleh para wirausaha di bidang usaha kedai kopi ataupun oleh desainer interior sehingga dapat menghasilkan fasilitas interior publik yang ramah terhadap komunitas teman Tuli. Masyarakat umum diharapkan menjadi lebih paham terhadap budaya dan kebutuhan teman Tuli di ruang publik.

STUDI LITERATUR Tuna Rungu

Istilah tunarungu diambil dari kata “tuna” dan “rungu”. Tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Tunarungu dapat diartikan sebagai orang yang tidak mampu mendengar atau kurang mampu menangkap suara (Somad dan Herawati, 2003).

Kemampuan komunikasi penyandang tunarungu sangat tergantung dengan tingkat ketidakmampuannya untuk mendengar. Terutama, kemampuan berbicara dengan artikulasi yang tepat dan jelas.

Menurut Heri Purwanto (1998: 7) Tingkat kehilangan pendengaran dapat di bagi menjadi 5 tingkatan, yaitu sangat ringan, ringan, sedang, berat, sangat berat. Semakin tinggi kehilangan pendengaran, semakin lemah kemampuan mendengar suara atau bunyi bahkan hanya merasakan getaran dari suara saja. Berdasarkan tingkat kehilangan ketajaman pendengaran yang diukur dengan satuan desiBell (dB), menurut Heri Purwanto (1998: 7) tunarungu dapat diklasifikasi seperti berikut :

1. Sangat ringan (light) 25 dB - 40 dB 2. Ringan (mild) 41 dB - 55 dB 3. Sedang (moderate) 56 dB - 70 dB

(4)

4. Berat (severe) 71 dB - 90 dB 5. Sangat berat (profound) 91 dB – lebih

Dikarenakan kurang atau tidak berfungsinya pendengaran secara normal dan tidak mungkin lagi mengandalkan untuk belajar bahasa dan wicara tanpa bantuan metode dan peralatan khusus. Oleh sebab itu tunarungu memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus agar dapat mencapai kehidupan seperti orang umum lainnya.

Ergonomi dalam Deafspace

Menurut Wignjosoebroto, 2003 yang merupakan ahli ergonomic senior, Ergonomi ialah ilmu sistematis yang memanfaatkan informasi tentang kemampuan dan keterbatasan manusia dalam merancang system kerja seseorang agar dapat hidup dan bekerja sesuai dengan system yang lebih baik. Tujuan yang ingin dicapai pada ergonomic adalah agar pekerjaan menjadi lebih efektif, efisien, aman dan juga nyaman. Istilah Deaf Space pertama kali diperkenalkan oleh Hansel Bauman yang dikaji dalam jurnal ilmiah “Architectural Communication Accessbiliy For the Deaf and Hard-of- Hearing in Office Building” oleh Robert Worrell (2011).

Deafspace adalah konsep arsitektur yang telah disesuaikan dengan visi penyandang tunarungu di dalam ruangan. Terdapat beberapa standart khusus bagi difabel tunarungu dalam perancangan arsitektur. Prinsip Sensory Reach

Prinsip sensory reach pada DeafSpace diterapkan agar dapat membantu penyandang tuna rungu memahami daerah sekitar dan meningkatkan rangsang indra mereka, salah satunya dengan indra penglihatan penyandang tunarungu diharapkan dapat membaca situasi sekitar melalui visual yang ada. Adapun beberapa kebutuhan penyandang tunarungu dalam ruangan yaitu :

1. Peripheral : Dapat melihat keadaan sekeliling.

2. Transparency : Membutuhkan material yang tembus pandang agar dapat melihat keadaan di balik mereka.

3. Reflection : Dibutuhkannya bahan material yang dapat merefleksi agar memudahkan mereka untuk membaca keadaan di balik mereka dan dapat membantu mereka untuk merespon lebih cepat.

4. Vibration : Getaran membantu mereka untuk mengetahui keadaan.

5. Shared sensory reach : kontak mata adalah hal yang harus diutamakan dalam berkomunikasi sesama teman Tuli.

(5)

Bagi penyandang tunarungu mengandalkan kemampuannya untuk melihat secara visual sangat penting dan memberikan rasa aman, oleh sebab itu penting dalam penataan akses terdapat visible destinations. Akses yang jelas terlihat berhadapan dengan jalur sirkulasi sehingga memberikan kemudahan bagi penyandang tunarungu untuk mencapai tempat yang dituju. Selanjutnya menghadirkan elemen penanda (way-finding elements) dengan menggunakan variasi pada warna, tekstur, desain motif, dan sistem penomoran untuk membantu difabel tunarungu mengetahui posisi dan tujuan mereka. Penempatan landmark, artifacts, nodes dan gateway juga dapat membantu untuk dijadikan sebuah point of interest sebagai orientasi.

Oleh sebab itu, pengunaan material yang tembus pandang seperti Jendela-jendela kaca and 2-Way Mirrors pada interior dapat memberikan hubungan visual yang baik antara ruang yang berdekatan dan bisa mengetahui apa yang terjadi di balik dinding.

Gambar 3. Visible Destination (kiri), way-finding elements (kanan) ( Sumber: Hansel Bauman, di-ilustrasikan ulang oleh Robert Worrel, 2011 )

Gambar 1. Sensory Reach - Peripheral ( Sumber: DeafSpace )

Gambar 2. Sensory Reach + Peripheral+Transparency +Reflection+ Vibration + Shared Sensory Reach = 360o View

(6)

Pengaplikasian cermin pada sudut persimpangan juga dapat menghindari tabrakan antar pengguna sirkulasi. Refleksi juga memberikan kesadaran lebih waspada tentang lingkungan sekitar mereka.

Space dan Proximity

Dalam hal jarak dalam berinteraksi dengan orang lain, personal space sangat dominan dalam sistem komunikasi penyandang tunarungu. Istilah personal space pertama kali dikemukakan oleh Katz (1937), konsep mengenai personal space tidak hanya ada di psikologi namun juga dijelaskan di ilmu biologi, antropologi dan arsitektur. Kita mempertahankan personal space antara diri kita dengan orang lain untuk menghindari stimulasi yang berlebihan menurut subjektifitas masing-masing. Karakteristik teman Tuli adalah mengunakan visual mereka

untuk berkomunikasi sehingga mereka juga tidak telalu memperhatikan keadaan sekitar bila mereka sudah fokus dalam pembicaraan satu sama lain. Teman Tuli sendiri lebih dominan mengunakan karakteristik face to face agar lebih mudah memahami dalam menyampaikan pesan melalui oral ataupun bahasa isyarat. Bagi mereka ruang yang ideal adalah ruangan yang terkesan luas, terbuka dan dapat memungkinkan mereka untuk memperhatikan jalan sekaligus lawan bicara mereka.

Gambar 4. Transparency dan Reflection dari penggunaan jendela kaca dan cermin ( Sumber: Hansel Bauman, di-ilustrasikan ulang oleh Robert Worrel, 2011 )

Gambar 5. Cara berkomunikasi penyandang tunarungu, eye

contact dan fokus dengan bahasa isyarat dan bahasa

tubuh

( Sumber: Hansel Bauman, di-ilustrasikan ulang oleh Robert

(7)

Corners merupakan standar sudut landai, sudut lengkung, sudut transparan, atau tekukan disediakan agar dapat membantu pandangan visual yang lebih nyaman dan terhindar dari tabrakan. Pada dasarnya penyandang tunarungu tidak dapat menyadari ada orang yang datang dari arah lain melalui

pendengarannya. Oleh karena itu sebaiknya menghindari persimpangan dengan sudut 90°

Dalam hal komunikasi, tata letak, bentuk meja dan susunan tempat duduk pun menjadi penting. Para penyandang tunarungu lebih optimal mengunakan meja dengan bentuk lingkaran yang dapat digunakan untuk 5 orang atau lebih karena memberikan akses visual yang sama. Untuk meja berbentuk persegi masih dapat diterima jika digunakan tidak lebih dari 4 orang, Karena jika lebih dari itu akan menyulitkan penyandang tunarungu untuk melihat semua lawan komunikasinya.

Sedangkan susunan tempat duduk dengan orientasi bentuk “U” ataupun setengah lingkaran juga sangat efektif untuk memberikan akses visual yang sama, namun penataan seperti yang ditunjukkan pada gambar memerlukan ukuran ruang besar.

Gambar 6. Mobility and Proximity – Corners for visible destinations

( Sumber: Hansel Bauman, di-ilustrasikan ulang oleh Robert Worrel, 2011 )

Gambar 7. Corners

( Sumber: Hansel Bauman, di-ilustrasikan ulang oleh Robert Worrel, 2011 )

Gambar 8. Bentuk Meja

(8)

Akustik dan Prinsip dasar pengendalian suara bagi penyandang tunarungu

Akustik dalam bahasa Yunani adalah akouein yang artinya mendengar. Akustik sendiri berarti gejala perubahan suara karena sifat pantul benda atau objek pasif dari alam. Ada dua hal mendasar yang sering dikaitkan dengan akustik hal tersebut meliputi perubahan suara dikarenakan pemantulan dan gangguan suara yang disebabkan oleh tembusnya suara dari ruang lain.

Karakteristik akustik ruangan dapat dibedakan menjadi:

• Bahan Penyerap Suara (Absorber) yaitu permukaan yang terbuat dari material yang menyerap sebagian atau sebagian besar energi suara yang datang padanya. Misalnya glasswool, mineral wool, foam. Bisa berwujud sebagai material yang berdiri sendiri atau digabungkan menjadi sistem absorber (fabric covered absorber, panel absorber, grid absorber, resonator absorber, perforated panel absorber, acoustic tiles, dsb).

• Bahan Pemantul Suara (reflektor) yaitu permukaan yang terbuat dari material yang bersifat memantulkan sebagian besar energi suara yang datang kepadanya. Pantulan yang dihasilkan bersifat spekular (mengikuti kaidah Snelius: sudut datang = sudut pantul). Contoh bahan ini misalnya keramik, marmer, logam, aluminium, gypsum board, beton, kaca dsb.

• Bahan pendifuse/penyebar suara (Diffuser) yaitu permukaan yang dibuat tidak merata secara akustik yang menyebarkan energi suara yang datang kepadanya. Misalnya QRD diffuser, BAD panel, diffsorber dsb

Untuk itu pada ruangan diperlukan bahan-bahan yang dapat menunjang penyerapan dan pemantulan suara untuk menghasilkan kontrol suara yang baik.

Gambar 9. Susunan Tempat Duduk berdasar cara berkomunikasi penyandang tunarungu ( Sumber: Hansel Bauman, di-ilustrasikan ulang oleh Robert Worrel, 2011 )

(9)

Walaupun penyandang tunarungu juga mengandalkan getaran untuk mengetahui keadaan sekitar. Pengendalian noise control dan vibrations dalam ruangan menjadi penting. Suara bising dan vibrasi yang berlebihan dapat menganggu difabel tunarungu yang masih mempunyai sedikit pendengaran ataupun yang menggunakan alat bantu dengar.

Prinsip dasar Pencahayaan dan Warna bagi penyandang tunarungu

Pengaturan sistem pencahayaan pada ruangan sangat penting untuk penyandang tunarungu. Dalam hal pencahayaan buatan, Saat beberapa orang sedang berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat atau sign language, mereka membutuhkan pencahayaan yang terang, halus dan tidak menyilaukan.

Sistem pencahayaan indirect light atau semi direct lighting dapat menjadi pilihan yang baik agar menghadirkan cahaya yang lebih halus. Sistem pencahayaan direct lighting tetap dapat digunakan dengan menggunakan pelindung armatur sehingga cahaya yang dihasilkan diffuse dan menghindari kesilauan (Glare). Jika cahaya terlalu kuat dapat menyebabkan eye-strain atau ketegangan mata bagi difabel tunarungu. Namun jika cahaya terlalu redup dapat terjadi bayangan, hal itu dapat menyulitkan bagi difabel tunarungu yang berkomunikasi dengan sign language dan membaca gerak bibir lawan

Tabel 1. Kriteria dan daftar jenis-jenis bahan akustik untuk elemen interior ( Sumber: Jurnal permodelan Elemen Interior untuk pusat pendidikan dan pelatihan bagi

Tunarungu di Jakarta )

Gambar 10. Accoustics – Menangkal suara-suara dari luar dengan bahan peredam suara ( Sumber: DeafSpace )

(10)

bicaranya, karena sign language tidak hanya membaca gestur tubuh saja. Oleh karena itu perlu pengaturan sistem pencahayaan yang tepat.

Sedangkan untuk pencahayaan alami, material seperti Frosted, tinted dan obscured glass dapat digunakan untuk memberikan perbedaan privasi (Degree of Transparency). Untuk Mereduksi kesilauan dari pencahayaan alami dapat dilakukan dengan memberikan kantilever untuk mencegah cahaya alami masuk secara langsung ke dalam ruangan. Pada eksterior pengunaan material yang tidak memantulkan cahaya merupakan pilihan yang tepat, sehingga tidak menimbulkan cahaya yang menyilaukan yang dapat mengganggu komunikasi penyandang tunarungu.

Warna dan cahaya dapat mempengaruhi psikologi difabel tunarungu dalam melihat dan membaca situasi dengan nyaman. Untuk itu warna yang di dipilih harus kontras dengan warna kulit. Dengan begitu hal ini akan mempermudah teman Tuli yang sedang memperhatikan seseorang berbicara atau berbahasa isyarat. Sedangkan pada pengelolahan cahaya yang di butuhkan untuk teman Tuli menurut pendekatan DeafSpace adalah cahaya yang lembut di mata, tidak menyilaukan, dan menghindari dari ruangan yang gelap atau redup. Gambar 12. Degree of Transparency (kiri), Reduce Glare from Natural Light

(kanan)

( Sumber: Hansel Bauman, di-ilustrasikan ulang oleh Robert Worrel, 2011 ) Gambar 11. Artificial Lighting

( Sumber: Hansel Bauman, di-ilustrasikan ulang oleh Robert Worrel, 2011 )

Gambar 13. Light and colour ( Sumber: DeafSpace )

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kedai KOPTUL (Kopi Tuli) didirikan sejak 12 Mei 2018 oleh Putri Sampaghita Trisnawinny Santoso, bersama dengan kedua temannya, Mohammad Adhika Prakoso dan Tri Erwinsyah Putra. Bisnis kopi ini didirikan karena ingin memberdayakan teman Tuli mereka. Putri percaya bahwa teman Tuli memiliki potensi dan bisa bekerja seperti masyarakat lainnya. “Koptul ini merupakan jawaban kekecewaan kami, karena berbagai perusahaan menolak kami yang difabel untuk bekerja di perusahaannya,” kata Putri

Lokasi Bangunan kedai KOPTUL berada Ruko Kindo Square di Jalan Duren Tiga, 4, RT.4/RW.1, Kec.

Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760. Bangunan ini menghadap utara dan berhadapan langsung ke jalan raya besar.

Tabel 2. Kriteria Warna dalam ruangan

( Sumber: Jurnal Permodelan Element Interior untuk pusat pendidikan dan Pelatihan bagi Tunarungu di Jakarta )

Gambar 14. Peta Lokasi dan site plan Kedai Kopi Tuli (KOPTUL) ( Sumber: Google Maps dan Official Instagram Kindo Square )

(12)

Ada beberapa masalah timbul dari hasil observasi penulis dan interview dengan para pengunjung serta pekerja kedai Koptul. Beberapa masalah tersebut dapat dikelompokan menjadi 5 kategori masalah.

A. Layout (Tata Letak Furnitur dan Fasilitas Desain Interior)

Masalah pada kategori ini

timbul dikarenakan tata letak

furniture dan fasilitas desain

interior yang kurang

efektif. Dapat dilihat dari

Gambar 18. bahwa:

Point 1. Jarak antar beberapa

kursi dengan kursi atau meja

lainnya sangat sempit sekitar

25 – 53 CM. Terutama jarak

dari bar stool ke kursi atau

meja di belakangnya.

Sementara menurut teori

ergonomi mengenai sirkulasi

manusia yang terdapat dalam

buku Human Dimension, jarak ideal sirkulasi manusia (baik pengunjung ataupun pelayan)

antar kursi atau meja sebaiknya berkisar 75 – 90 CM, seperti terlihat pada Gambar 19.

Jarak yang sempit memungkinkan seringnya terjadi intervensi personal space dan ketidaknyamanan bagi pengunjung. Altman (Halim, 2005) menyatakan bahwa personal space adalah sebagai mekanisme pengaturan batasan untuk mencapai tingkat privasi pribadi yang diinginkan. Oleh karena itu jarak yang ideal menjadi penting untuk diterapkan.

Gambar 18. Layout dan Foto Kedai Koptul yang menunjukkan letak kasir, posisi dan jarak antar meja dan kursi serta beberapa

posisi duduk pengunjung (Sumber : Pribadi)

Gambar 19. Human Dimension Jarak duduk pengunjung dan jarak pelayan dalam melayani (Sumber : Human dimension Julius Panero, Martin Zelnik, 1979)

(13)

Jarak yang sempit antar furnitur ini disebabkan karena alokasi zona publik (area tempat duduk) yang dialokasikan secara sempit dan memanjang, membelah denah ruang Kedai Koptul yang juga sempit dan memanjang. Sehingga menyebabkan area publik semakin sempit

Point 2. Posisi staf pada coffee counter kurang strategis, karena sulit memantau area tempat duduk dan traffic pengunjung sekitarnya pada saat yang bersamaan. Selain itu staf Kedai Koptul adalah teman Tuli, dimana mereka sangat mengandalkan indera penglihatan dalam mengawasi daerah sekitarnya. Hal ini menjadi tidak efektif dikarenakan sudut pandang staf dari area coffee counter tidak mencakup semua sisi ruang kafe yang berlainan pada saat yang bersamaan.

Jika ditinjau dari teori Sensory Reach pada Deafspace Guideline, agar terciptanya visual yang cukup untuk teman Tuli di butuhkan akses visual peripheral, yang artinya mereka harus dapat melihat keadaan sekeliling. Agar hal ini dapat terjadi maka sudut pandang staf pada coffee counter sebaiknya dapat melihat segala sisi ruang kafe pada saat yang bersamaan.

Point 3. Orientasi sebagian besar tempat duduk posisinya membelakangi area kafe, hal ini menyulitkan teman Tuli untuk mewaspadai keadaan sekitar mereka. Melihat dari

Gambar 21 Foto beberapa pengunjung tampak membelakangi area kafe

(Sumber: Pribadi)

Gambar 20. Kondisi Eksisting Coffee Counter (Sumber : Pribadi)

(14)

Pada pendekatan Mobility and Proximity menyatakan bahwa teman Tuli mengunakan visual mereka untuk berkomunikasi sehingga saat mereka fokus dalam pembicaraan dengan orang lain, mereka juga tidak telalu memperhatikan keadaan sekitar. Sehingga bagi mereka ruang yang ideal adalah ruangan yang terkesan luas, terbuka dan dapat memungkinkan mereka untuk memperhatikan jalan sekaligus lawan bicara mereka. Kondisi yang nyaman bagi teman Tuli adalah dimana mereka dapat waspada melihat arah datang orang lain. Sehingga orientasi duduk yang membelakangi area kafe dan area masuk kafe akan menciptakan situasi yang tidak nyaman bagi teman Tuli.

Maka solusi untuk masalah-masalah layout diatas adalah relokasi zona Semi Private and Public yang dapat menghasilkan denah layout yang lebih efektif seperti pada Gambar 22. Pemindahan area Semi Private (Coffee Counter) ke ujung belakang ruangan dapat membuat area zona Public menjadi lebih luas dan lebar. Dengan area Public yang luas memungkinkan untuk pengaturan orientasi tempat duduk dengan leluasa hingga sirkulasi untuk manusia mendapat jarak yang ideal dengan rata-rata 70 CM antar kursi.

Gambar 22. Eksplorasi zona dan orientasi meja dan kursi agar maksimal (Sumber : Pribadi)

Gambar 21. Kondisi Eksisting posisi duduk yang membelakangi counter dan

pintu masuk (Sumber : Pribadi)

(15)

Orientasi tempat duduk pengunjung juga dapat diatur sedemikian rupa hingga tidak ada yang membelakangi baik lokasi coffe counter ataupun area masuk pengunjung sehingga teman Tuli tidak perlu merasa insecure karena mereka dapat memantau secara visual sirkulasi traffic yang terjadi dalam Kedai Koptul. Coffee Counter untuk staf yang direlokasikan diujung ruangan dengan orientasi menghadap ke area tempat duduk pengunjung dan pintu masuk kafe, memungkinkan untuk staf bisa melihat seluruh sisi kafe, sekaligus pemantauan terhadap pengunjung yang keluar masuk kafe dapat terlihat secara bersamaan. Dikarenakan mendapat akses visual yang maksimal terhadap daerah sekitarnya, maka para pekerja teman Tuli ini dapat meningkatkan kewaspadaan dan kenyamanan mereka dalam bekerja di kedai Koptul.

B. Bentuk Furnitur

Kembali melihat pada Gambar 18, terdapat meja bar memanjang menghadap jendela pada sisi kiri denah kafe. Hal ini menyulitkan teman Tuli untuk berkomunikasi satu dengan lainnya. Menurut Deafspace Guideline bentuk meja yang disarankan adalah yang dapat memfasilitasi akses visual yang sama hingga teman Tuli dapat melihat semua lawan berkomunikasi dalam meja tersebut. Hal ini diperlukan karena mereka mengandalkan indera penglihatan untuk membaca gerak bibir lawan bicaranya. Dengan adanya bentuk meja bar yang memanjang posisi yang memungkinkan adalah duduk bersebelahan sehingga diperlukan usaha lebih untuk selalu dapat berhadapan (face to face) dalam berkomunikasi.

Maka solusi untuk masalah ini adalah pengunaan bentuk furnitur meja yang dapat menunjang teman Tuli dalam berkomunikasi. Seperti yang kita lihat pada Gambar 8 pada studi literature bentuk furniture diatas.

Hansel Bauman menyatakan bahwa meja berbentuk lingkaran dengan kapasitas 5 orang atau lebih dapat memberikan akses visual yang sama. Sedangkan meja persegi masih bisa digunakan jika kapasitas tidak lebih dari 4 orang. Jika digunakan lebih dari 4 orang akan menyulitkan teman Tuli untuk melihat semua lawan berkomunikasi dalam meja tersebut.

Maka bentuk meja yang dipilih pada Kedai Koptul ini adalah bulat seperti yang kita lihat pada Gambar 23. Jika kita kembali melihat rekomendasi denah perancangan baru yang terdapat pada Gambar 22.

dapat dilihat bahwa sebagian besar kursi pengunjung Gambar 23. Rekomendasi bentuk meja bulat

(16)

berorientasi di sekitar meja bulat. Jikapun ada meja bar, hanya sedikit kapasitasnya dan sudut pandang meja bar juga luas.

C. Akustik

Pada pendekatan akustik dijelaskan bahwa berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran teman Tuli berbeda-beda dari Light hingga Profound. Dengan adanya tingkat perbedaan ini tingkat sensitifitas pada pendengaran mereka pun berbeda juga. Bagi Teman Tuli yang menggunakan alat bantu dengar akan lebih sensitif terhadap gangguan suara dan kebisingan dalam ruangan, karena hal ini dapat menimbulkan gema berlebih bagi mereka. Oleh sebab itu akustik pada ruang interior menjadi penting. Jika melihat Gambar 18, 20, 21. beberapa material yang digunakan pada Kedai Koptul adalah material yang dapat memantulkan suara seperti lantai keramik dan kaca. Hal ini sebenarnya tidak terlalu masalah asalkan dibarengi dengan penggunaan material akustik yang dapat meredam suara. Oleh sebab itu solusi pada masalah kebisingan adalah memperbanyak material akustik yang dapat meredam suara pada ruang interior seperti rekomendasi desain yang penulis sarankan pada Gambar 25.

D. Pencahayaan

Terdapat 2 macam tipe pencahayaan dalam ruang yaitu: Alami dan Buatan. Pencahayaan alami pada Kedai Koptul sangat baik, karena kapasitas jendela untuk masuknya cahaya alami matahari sangat luas. Tetapi berdasarkan hasil wawancara, pencahayaan buatan masih dirasa kurang, terutama pada saat

Gambar 25. Rekomendasi penggunaan material kedap suara pada elemen ruang kedai KOPTUL

(17)

malam hari dimana cahaya alami matahari sudah tidak ada lagi untuk membantu penerangan cahaya buatan.

Untuk membuktikan bahwa pencahayaan buatan pada Kedai Koptul tidak mencukupi, penulis menggunakan jasa konsultan desain interior OMNI Design untuk menghitung cahaya lighting yang ada. Hasilnya jumlah intensitas penerangan Kedai Koptul adalah 85 Lux. Hal ini tidak sesuai dengan jumlah minimal yang telah ditetapkan oleh SNI yakni 250 Lux untuk toko kue dan makanan. Dengan begitu terbukti bahwa pencahayaan buatan Kedai Koptul memang tidak mencukupi standard. Sebagai solusinya penulis akan menambah titik pencahayaan dengan kombinasi beberapa tipe sumber dan rumah lampu pada rekomendasi desain Kedai Koptul. Rekomendasi pencahayaan adalah sebagai berikut

E. Alat Bantu Tambahan Lainnya

Berdasarkan hasil observasi dan pemahaman kebutuhan akan aktivitas teman Tuli, ada beberapa penambahan alat bantu lainnya yang perlu diperhatikan peletakannya dalam ruang interior. Alat bantu

Gambar 26. Rekomendasi alokasi pencahayaan buatan pada kedai KOPTUL (Sumber : Pribadi)

(18)

tambahan ini disediakan untuk mengatasi masalah yang muncul dalam aktivitas teman Tuli di Kedai Koptul.

Alat bantu untuk akses visual

Walaupun perancangan layout dan bentuk furnitur di atas sudah mempertimbangkan akses visual, namun ada kalanya teman Tuli tidak bisa mendapatkan akses visual secara maksimal. Idealnya orientasi tempat duduk teman Tuli tidak menghadap dinding, karena ini akan menutup akses visual mereka. Tetapi karena terbatasnya luas ruangan, hal ini tidak dapat dihindari.

Meninjau teori Sensory Reach pada Deafspace, Reflection adalah salah satu cara mencapai akses visual. Diperlukan penerapan bahan material yang dapat memberikan refleksi agar mereka dapat membaca keadaan di belakang mereka hingga dapat merespon lebih cepat. Kaca cermin adalah salah satu alat bantu yang mampu memberi refleksi yang baik. Maka penggunaan cermin dalam Kedai Koptul akan sangat membantu teman Tuli dalam memahami daerah sekitar mereka.

Pada gambar diatas terdapat cermin horizontal yang dapat membantu teman Tuli dalam melihat keadaan sekitar. Letak horizontal lebih efektif untuk membantu penglihatan menjadi lebih luas dibanding letak vertikal. Aplikasi cermin akan digantung pada ceiling dengan sudut kemiringan 20° agar bisa menghadap langsung ke area tempat duduk pelanggan.

Gambar 27. Ilustrasi visual bentuk cermin horisontal

(Sumber : Pribadi)

Gambar 28. Lokasi cermin dalam ruang interior kedai KOPTUL

(19)

Alat bantu untuk komunikasi saat pemesanan menu

Dari hasil wawancara, masalah yang juga kerap terjadi adalah saat pemesanan menu. Cara pemesanan yang digunakan dengan menyebut nama menu dan baca gerakan bibir. Hal ini terkadang menimbulkan kesalahpahaman.

Menurut Suleman dalam Latuheru (1988:26) “Media visual adalah alat-alat yang dapat memperlihatkan rupa atau bentuk yang kita kenal sebagai alat peraga.” Media visual juga ditunjukan agar menyatukan persepi terhadap suatu objek. Maka permasalahan dalam komunikasi saat pemesanan ini dapat dipecahkan dengan mengunakan bantuan perangkat teknologi media visual agar dapat meminimalisir kesalahpahaman.

Perangkat media visual yang dimaksud adalah touchscreen POS System Cashier. Perangkat ini memiliki dua layar untuk pengunjung dan petugas kasirnya. Dengan demikian penggunjung akan lebih mudah melihat menu dan komposisi minuman yang ada. Dengan begitu kesalahpahaman dalam memesan minum dapat diminimalisir.

Alat bantu untuk meminta bantuan kepada staf pelayan

Kurangnya akses visibiltas pada staf yang berada di coffee counter terhadap area sekitarnya, membuat pengunjung teman Tuli harus meninggalkan mejanya saat membutuhkan bantuan dari staf pelayan Kedai Koptul

Gambar 29. Touchscreen POS System Cashier

(Sumber : https://www.thebalancesmb.com/parts-of-a-pos-system-2890124)

Tabel 3. Tabel budaya teman Tuli dan teman dengar (Sumber : Pusat Studi Individu kebutuhan khusus)

(20)

Jika ditinjau dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa budaya teman Tuli memerlukan visual, getaran dan bel lampu sebagai pengganti indera pendengarannya untuk keperluan komunikasi. Maka penambahan perangkat teknologi lainnya yang memfasilitasi hal diatas mejadi perlu. Penambahan perangkat tekonologi Pager Wireless Calling Paging System seperti pada gambar berikut dapat menjadi solusi. Perangkat ini terdiri atas 3 komponen yaitu sebagai berikut:

1. Pager Wireless Calling Paging System Watch

Pager Wireless Calling Paging System Watch adalah alat yang dipakai di pergelangan tangan. Alat ini mengunakan LED indicator untuk memberitahu bahwa ada panggilan dari pelanggan. Selain itu Pager Wireless Calling Paging System Watch terhubung dengan sistem perangkat lainnya

2. Pager Wireless Calling Paging System Receiver Host

Pada Pager Wireless Calling Paging System Receiver Host adalah alat untuk memberitahu kepada pelayan meja mana yang memerlukan bantuan. Alat ini terkoneksi dengan Pager Wireless Calling Paging System Watch. Sehingga ketika ada panggilan kedua sistem akan terkoneksi .

3. Pager Wireless Calling Paging System Call Button

Pager Wireless Calling Paging System Call Button dipasang pada setiap meja. Jika teman Tuli meminta bantuan teman Tuli bisa menekan tombol Call button. Ketiga alat ini terkoneksi satu sama lain. Gambar 30. Pager Wireless Calling Paging System Watch

(Sumber : https://www.callcoid.com)

Gambar 31. Pager Wireless Calling Paging System Receiver Host (Sumber : https://www.callcoid.com)

Gambar 32. Pager Wireless Calling Paging System Call Button

(21)

Berikut adalah ilustrasi peletakan kedua perangkat teknologi diatas:

KESIMPULAN

Teman Tuli mempunyai kebutuhan akan fasilitas ruang yang berbeda. Banyak ruang publik yang diciptakan tetapi tidak mempertimbangkan kebutuhan seseorang Teman Tuli. Aksesibilitas dalam bangunan maupun ruang publik sangat penting diciptakan untuk semua kalangan, tak terkecuali penyandang disabilitas. Kedai Kopi Tuli adalah salah satu ruang publik yang menyediakan ruang untuk teman Tuli. Memberi kesadaran bahwa teman Tuli mempunyai layak mendapat fasilitas publik yang menunjang aktivitasnya. Penulis berharap, agar kajian-kajian dalam penelitian ini dapat memberikan solusi-solusi aplikatif bagi pemilik dan penguna Kedai Koptul.

Pada Studi kasus Kedai Kopi Tuli, banyak ditemukan masalah ruang yang perlu ditingkatkan agar memenuhi kebutuhan aktivitas teman Tuli. Masalah ruang meliputi komunikasi, layout dan bentuk furnitur, material akustik hingga pencahayaan. Dengan demikian, tanpa disadari hal tersebut menjadi hambatan bagi teman Tuli dan teman dengar yang beraktifitas pada kedai kopi Tuli ( KOPTUL ). Teori seperti DeafSpace, prinsip-prinsip dasar sistem pencahayaan, akustik dan material yang disesuaikan dengan fisiologi teman tuli sangat membantu penulis untuk mencari solusi bagi permasalahan yang ada, sehingga tercapai rekomendasi desain yang diharapkan dapat mengoptimalkan desain interior baik secara fungsional maupun visual. Solusi desain berupa perbaikan layout dan bentuk furnitur, pemilihan material akustik dan pencahayaan yang dapat mendukung aktifitas penggunjung dan pekerja agar lebih optimal. Sedangkan dalam hal hambatan komunikasi ditunjang dengan solusi yang berbasis teknologi.

Gambar 33. Ilustrasi posisi alat bantu perangkat teknologi pada ruang interior kedai Koptul (Sumber : Pribadi)

(22)

ILUSTRASI REKOMENDASI DESAIN INTERIOR KEDAI KOPI TULI

Gambar 34. Desain interior ‘Kedai Kopi Tuli’ sekarang (sesuai aslinya) (Sumber : Pribadi)

Gambar 35. Rekomendasi desain interior ‘Kedai Kopi Tuli’ dari penulis (Sumber : Pribadi)

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Heinrich Kuttruff, Sri Jono Listiyanto, n.d. Acoustics An introduction.

Erwin Djuni W, Rully Permadi, Niniek Anggriani (2019), Aplikasi Konsep Deaf Space Pada Perancangan Sekolah Luar Biasa Tunarungu (SLB-B) 1.

Robert Albert Tyson Worrell (2011), Architectural Communication Accessibility For the Deaf and Hard-of-Hearing in Office Buildings,

Duncan Wamugi Kariuki (2016), Architecture for the deaf,

Julius Panero, Martin Zelnik (1979), Human Dimension & Interior Space - Ergonomia e Antropometria. Great Beitain, Architectural Press Ltd, 9 Queen Anne’s Gate, London SW1H 9BY. Melvin Dian Putri (2018), Kedai Kopi Koptul, Berdayakan para Penyandang Tuna Rungu dengan Segelas Kopi.

Somad, Herawati T (2003), Ortopedagogik anak tunarungu, Depdiknas, Jakarta.

Achmad Fazir (2015), Pentingnya Ruang Publik untuk Masyarakat Indonesia. Kompasiana. Muhammad Fauzi, Andi Youna Caterine Bachtiar (2018), Permodelan Element Interior untuk Pusat Pendidikan dan Pelatihan bagi Tunarungu di Jakarta 17.

Marsum. W. A (1991), Restoran dan Pemahamannya, Ed. 1, cet. 1. ed. Yogyakarta : Andi Offset, 1991.

Kania Dekoruma (2019) Ruangan di Rumah Bising? Atasi dengan Material Peredam Suara. Prabu (2009), Sistem dan Standar Pencahayaan Ruang.

MUHAMMAD ADITYO (2019), Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) atau Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO).

Endang Rusyani, n.d. Sistem Komunikasi Tunarungu.

Ladd, P. (2003). Understanding Deaf Culture: In Search of Deafhood, Multilingual Matters LTD. Clevedon. England

Moore, M.S & Levitan, L. (2003), For Hearing People Only Third Edition, Deaf Life Press. Rochester. NY

Referensi

Dokumen terkait

Tapi dari sisi lain usaha untuk meneliti dimana konsentrasi tegangan yang diakibatkan daya dorong propeller masih kurang dilakukan Untuk Penelitian ini analisa yang

Kriteria Pendidik professional yang mendukung terciptanya peran ganda sebagai Pemikir, adalah: (1) Tidak berhenti berkarya, aktif melakukan penelitian sederhana untuk

Bagi investor informasi dari laporan keuangan dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengambilan keputusan apakah mereka akan membeli, menahan atau menjual

Indikator yang dipersepsikan masyarakat telah dilakukan dengan baik sehingga perlu dipertahankan karena sudah sesuai dengan harapan masyarakat adalah indikator

Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Sooko sebagai bentuk satuan pendidikan kejuruan sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 15 UU SISDIKNAS, merupakan

Beberapa hal yang sering menyebabkan gagal jantung akibat terapi bedah adalah kerusakan septum ventrikal yang masih tersisa, kerusakan pirau antara a!rta dan arteri

Menurut Kartikandri (2002) iklim organisasi yang baik dan menyenangkan akan membuat karyawan merasa nyaman sehingga dapat meningkatkan kinerjanya. Dengan iklim kerja

Macam mana cara yang kita boleh lakukan untuk buat lebih banyak duit, dan pada masa yang sama, kita tak perlu bersusah payah untuk lalui rintangan yang dibincangkan dalam 5 cara buat