• Tidak ada hasil yang ditemukan

Balutan Pikukuh Persalinan Baduy; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 LEBAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Balutan Pikukuh Persalinan Baduy; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 LEBAK"

Copied!
319
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Balutan Pikukuh Persalinan Baduy

Mara Ipa

Djoko Adi Prasetyo

Johan Arifin

Kasnodihardjo

(3)

dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis

Mara Ipa Djoko Adi Prasetyo

Johan Arifin Kasnodihardjo

Editor Kasnodihardjo

Desain Cover

Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN

DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya

Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749 dan

LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI)

Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933

e mail: [email protected] ISBN 978-602-1099-05-6

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis

(4)

Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo

Aan Kurniawan, S.Ant

Yunita Fitrianti, S.Ant

Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos

(5)

Digoel dan Kab. Asmat

2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama

3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai

4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak

6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo

7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir

9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao

(6)

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam

(7)

Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

(8)

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFRAR GRAFIK DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN v vii xi xii xiii xviii BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang 1.2. Tujuan 1.2.1. Tujuan Umum 1.2.2. Tujuan Khusus 1.3. Metode 1.3.1. Desain Studi

1.3.2. Penentuan Daerah Penelitian 1.3.3. Pemilihan Informan

1.3.4. Instrumen Pengumpulan Data 1.3.5. Analisis Data 1.4. Kelemahan-kelemahan Studi 1.5. Kajian Terdahulu 1.6. Sistematika Buku 1 1 6 6 6 7 7 7 10 12 12 13 14 17 BAB 2. MENGENAL ETNIK BADUY DALAM

2.1. Sejarah Desa 2.1.1. Asal Usul (Babat) 2.1.2. Perkembangan Desa

2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Geografi

2.2.2. Kependudukan 2.3. Pola Tempat Tinggal

2.3.1. Denah dan Fungsi Bagian Rumah

19 19 21 25 33 33 45 48 48

(9)

2.4.2. Keluarga Inti

2.5. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal

2.5.1. Sistem Kemasyarakatan 2.5.2. Sistem Politik Lokal

2.6. Pengetahuan tentang Kesehatan 2.6.1. Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit 2.6.2. Penyembuhan Tradisional

2.7. Bahasa

2.8. Mata Pencaharian 2.9. Teknologi dan Peralatan

67 69 69 77 85 86 87 88 90 106 BAB 3. POTRET KESEHATAN ETNIK BADUY DALAM

3.1. Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Masyarakat

3.2. Inisiasi “Sentuhan” Medis Kampung Tangtu

3.3. Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Modern

3.3.1. Rumah Pangubaran

3.3.2. Jejaring Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tumpuan

3.4. Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Tradisional

3.4.1. Keberadaan Pelayan Pengobat Tradisional

3.4.2. Metode Pengobatan

3.4.3. Syareat (Media Pengobatan Tradisional)

3.5. Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behavior)

3.5.1. Konsep Sehat Sakit

3.5.2. Kesaksian Kokolot Pemanfaat Fasyankes 119 119 120 122 125 129 134 134 136 137 144 144 147

(10)

3.6.2. Pasangan Yang Belum Punya Anak 3.6.3. Masa Kehamilan

3.6.4. Persalinan dan Nifas

3.6.5. Menyusui Nenonatus dan Bayi 3.6.6. Anak dan Balita

3.6.7. Pola Asuh 3.6.8. Pola Makan

3.7. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.7.1. Cara Pembuangan Sampah Rumah

Tangga oleh Warga Masyarakat 3.7.2. Kebersihan Individu

3.7.3. Jamban Sehat

3.8. Seputar Penyakit Menular

3.8.1. Kampung Tangtu Kantung Frambusia

3.8.2. Isak Tangis Pneumonia 3.8.3. Anak dan Kecacingan 3.8.4. Si Kecil Kutil

3.9. Penyakit Tidak Menular

160 161 163 170 172 174 176 179 179 180 183 185 185 188 197 200 203 BAB 4. PIKUKUH BUDAYA KESEHATAN IBU DAN

ANAK

4.1. Antara Tradisi dan Kesehatan 4.2. Studi Kasus Persalinan Misna, Kampung Cipaler Baduy Luar 4.3. Bidan Tenaga Kesehatan di Baris

Depan

4.4. Perspektif Etik Budaya Kesehatan Ibu dan Anak Etnik Baduy Dalam

4.5. Potensi dan Kendala Budaya dalam Pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak

4.5.1. Analisis Potensi Kesehatan Ibu dan Anak 205 205 206 211 214 220 221 223

(11)

5.1. Tradisi Selebrasi Etnik 5.2. Tradisi Seba Baduy 5.2.1. Seba Baduy Tahun 2014 5.3. Tradisi Sunatan Lobaan 5.3.1. Makna Sunatan Lobaan

5.3.2. Para Pelaku Ritual Sunatan Lobaan 5.3.3. Pra-Sunatan Lobaan : Prosesi Geser,

Peperan dan Helaran 5.3.4. Prosesi Sunatan Lobaan

5.3.5. Perspektif Etik Sopak Lodong dalam Sunatan Lobaan 229 231 232 236 237 238 242 249 259 BAB 6. PENUTUP 6.1. Simpulan 6.2. Rekomendasi 263 263 265 INDEX GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA UCAPAN TERIMA KASIH

267 271 277 283

(12)

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk di Tiga Kampung Tangtu Tahun 2014

47 Tabel 3.1. Daftar Nama Bahan Alam Obat

Tradisional Suku Baduy Dalam

138 Tabel 4.1. Tabel Potensi dan Kendala Fred B.Dunn 220

(13)

Grafik 3.1. Kasus Frambusia Desa Kanekes, Kec euwidamar, Kab Lebak

186 Grafik 3.2. Kasus Pneumonia Berdasarkan Umur dan Jenis

Kelamin di Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Tahun 2012

190

Grafik 3.3. Kasus Meninggal KLB Pneumonia Kampung Cibeo, Desa Kanekes Tahun 2012

(14)

Gambar 1.1. Peta Provinsi Banten 8 Gambar 1.2. Denah Kampung Suku Baduy Dalam 9

Gambar 2.1. Tumbuhan Honje di Hutan 28

Gambar 2.2. Sebagian Pemandangan Medan di Wilayah

Menuju ke Baduy Dalam

32

Gambar 2.3. Denah Provinsi Banten 35

Gambar 2.4. Denah Tata Letak Suku Baduy 36 Gambar 2.5. Medan Menanjak dengan Kemiringan

45˚

Menuju Wilayah Baduy Dalam

37

Gambar 2.6. Seorang Ibu Suku Baduy memanen padi gogo

42 Gambar 2.7. Lumbung Padi Suku Baduy (Leuit) Kp.

Cipaler

43 Gambar 2.8. Contoh Medan Menuju Lokasi Kampung

Suku Baduy

45 Gambar 2.9. Denah Tata Letak Ruang Rumah Adat

Tradisional Baduy Dalam

49 Gambar 2.10. Sketsa Rumah Tradsional Adat Baduy

Dalam

51 Gambar 2.11. Jalan di Tengah Perkampungan Suku

baduy

52

Gambar 2.12. Saung Lisung 54

Gambar 2.13. Saung Pepajangan yang Digunakan untuk Prosesi Sunatan, Peperan dan Cukur

(15)

Gambar 2.15. Pemukiman Suku Baduy 58

Gambar 2.16. Gelang Kapuru 60

Gambar 2.17. Hanjuang/Andong (Cordyline terminalis) 66

Gambar 2.18. Bagan Keluarga Inti 68

Gambar 2.19. Struktur Pemerintahan Baduy 69

Gambar 2.20. Bekas Ladang Padi Gogo 94

Gambar 2.21. Seorang ibu Sedang Memetik Padi Gogo di Baduy

97

Gambar 2.22. Saung Baduy 98

Gambar 2.23. Leuit (Lumbung) 100

Gambar 2.24. Seorang Ibu Sedang Menenun 101 Gambar 2.25. Koja dari Kulit Kayu Teureup 102 Gambar 2.26. Seorang Warga Baduy Tangtu Berbelanja

di Pasar Kroya

104 Gambar 2.27. Madu Asli Baduy yang Dikemas dalam

Botol

105

Gambar 2.28. Golok Baduy Tangtu 107

Gambar 2.29. Pandai Besi Sedang Menyelesaikan Pesanan Golok

108 Gambar 2.30. Lodong untuk Ambil Getah Nira Bahan

Gula

110

Gambar 2.31. Kele dan Somong 111

Gambar 2.32 A. Pakaian Baduy Tangtu Pria dan Wanita B. Pakaian Baduy Panamping Pria dan Wanita

114

Gambar 3.1. Warga Baduy Dalam; Bidan Eros Rosita; Kepala Puskesmas Cisimeut

124

Gambar 3.2. Rumah Pangubaran 126

Gambar 3.3. Kamar Inap Rumah Pangubaran 127

(16)

Gambar 3.7. Tanaman Panglay 137 Gambar 3.8. Akses menuju Kampung Baduy Dalam 147 Gambar 3.9. Lilis (15 thn) Remaja Puteri Kp Cikeusik

Baduy Dalam

155 Gambar 3.10. Baju Perempuan Suku Baduy Dalam 156 Gambar 3.11. Remaja Perempuan Kampung Cikeusik

Baduy Dalam

157 Gambar 3.12. Aktivitas Ibu Pasca Bersalin Menunggu

Paraji

165 Gambar 3.13. Ayah menyiapkan Hinis untuk memotong

Tali Ari-ari

165 Gambar 3.14. Paraji Menyiapkan Tali Teureup 166 Gambar 3.15. Bayi Perawatan Bayi oleh Dukun Paraji 168 Gambar 3.16. Anak Balita Kampung Cikeusik Baduy

Dalam

173 Gambar 3.17. Anak Suku Baduy Dalam (Kampung

Cikeusik)

Memanggul Pisang untuk dijual

176

Gambar 3.18. Menu Makan Sehari-hari Masyarakat Baduy Dalam

178 Gambar 3.19. Sketsa Tempat Sampah dari Bahan

Bambu

179 Gambar 3.20. Sungai Ciujung, Kampung Gaseboh Desa

Kanekes

183 Gambar 3.21. Pancuran Kampung Baduy Luar 184 Gambar 3.22. Frambusia pada telapak kaki 187 Gambar 3.23. Kerangka Teori Kejadian Pneumonia 192 Gambar 3.24. Ternak Berada di Kolong Rumah,

Kampung Baduy Luar

(17)

Gambar 3.26. Anak Bermain di Kampung Cisadane Baduy Luar

197 Gambar 3.27. Tanaman Kasungka, Obat Cacing 199 Gambar 3.28. Obat Warung Kecacingan yang

Dikonsumsi masyarakat Baduy Dalam

199 Gambar 3.29. Penderita Kutil pada Remaja Etnik Baduy

Dalam

201

Gambar 4.1. Kampung Cipaler Baduy Luar 207

Gambar 4.2. Pasca Persalinan Menunggu Dukun Paraji 209 Gambar 4.3. Memotong Tali Ari-ari Menggunakan

Bambu

210 Gambar 4.4. Bidan Koordinator Puskesmas Cisimeut 212 Gambar 4.5. Obat-obatan yang Dibawa dalam

Kegiatan Pemeriksaan Kesehatan di Baduy Dalam

218

Gambar 5.1. Suku Baduy Dalam Berjalan kaki menuju Lokasi Seba Baduy di Pemda Kabupaten Lebak

233

Gambar 5.2. Suku Baduy Luar dalam Truk Menuju Lokasi Seba Baduy di Pemda Kabupaten Lebak

233

Gambar 5.3. Foto Bersama Wagub Provinsi Banten H. Rano Karno

234 Gambar 5.4. Prosesi Seremonial Seba Baduy 235 Gambar 5.5. Perbedaan Bentuk Alat kelamin Sebelum

dan Sesudah Disunat

235 Gambar 5.6. Ketua Bengkong Kampung Cibeo 239 Gambar 5.7. Pisau Lipat Sunat yang Usianya Sudah

Lima Generasi

(18)

Gambar 5.9. Suasana Pra-Helaran, Kampung Kaduketug, Baduy Luar

247 Gambar 5.10. Alat “Nanggung” Kampung Kadeketug,

Baduy Luar

249 Gambar 5.11. Tampak Samping Saung Pesajen/

Papajangan Kampung Kaduketug, Baduy Luar

251

Gambar 5.12. Bagian Dalam Saung Pesajen/

Papajangan Kampung Kaduketug, Baduy Luar

252

Gambar 5.13. Prosesi Sunatan Lobaan di Kampung Balimbing Baduy Luar Tahun 2014

253 Gambar 5.14. Gambar Teknik Sunat Sopak Lodong 254 Gambar 5.15. Gambar Ayah memangku Anak Selesai

Sunat di Kampung Balimbing, Baduy luar Tahun 2014

255

Gambar 5.16. Gambar Cuci Pisau Lipat (Alat) Sunat dengan Air Kelapa di Kp. Balimbing, Baduy luar Tahun 2014

256

Gambar 5.17. Kondisi Anak Setelah Sepuluh Jam di Sunat, Kampung Kaduketug, Baduy Luar Tahun 2014

257

Gambar 5.18.

Gambar 6.1,

Barang Ucapan Terimakasih yang Diberikan kepada Bengkong Ketika Selesai Melaksanakan Tugasnya

Satu Lembar Hateup (tanda panah) yang Dibuka/Tutup untuk Sirkulasi Udara Ketika Memasak

258

(19)

Lampiran 1 Peraturan Desa Kanekes No 01 Tahun 2007 Tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy)

(20)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Kebudayaan didefinisikan dengan berbagai cara, sebuah definisi yang tipikal dijelaskan bahwa konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu seperti adat (custom), atau cara hidup masyarakat (Harris M, 1968).

Etnografi merupakan kegiatan mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan tujuan utamanya adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya.Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya belajar dari masyarakatnya tetapi lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat (Malinowski B, 1922)

Pengaruh budaya terhadap status kesehatan masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja. Kesehatan merupakan bagian intergral dari kebudayaan. Manusia mampu melakukan aktifitas kebudayaan jika dalam keadaan sehat, sehingga dapat dipahami bahwa kesehatan merupakan elemen penting bagi kebudayaan. Demikian pula sebaliknya kebudayaan menjadi pedoman

(21)

masyarakat dalam memahami kesehatan. Untuk itu memahami masalah kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan sangat penting dilakukan, karena masalah kesehatan tidak pernah lepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya (Ahimsa, 2005: 16).

Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan Negara ASEAN lainnya. Survei Demografi Indonesia (SDKI) 2012 memberikan data bahwa AKI 359 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 32 per 1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global MDGs (Millenium Development Goal) tahun 2000 diharapkan tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup.

Penelitian terkait budaya yang berdampak pada status kesehatan, yaitu penelitian mengenai persalinan Etnik Amungmedan Etnik Kamoro di Papua, hasilnya memberikan gambaran bahwa dari 745 responden 204 ibu melahirkan tidak ditolong petugas kesehatan. Ibu yang melahirkan di rumah, persalinannya dilakukan dikamar mandi, kamar tidur, dan bivak. Proses persalinannya dilakukan sendiri tanpa pertolongan dengan bantuan keluarga perempuan atau dukun, dilakukan dengan cara-cara yang membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Perilaku ibu masih kuat didasari oleh beberapa tema budaya yang merugikan kesehatan ibu antara lain menganggap urusan persalinan adalah sepenuhnya urusan kaum perempuan, peristiwa persalinan adalah sesuatu yang menjijikkan dan membawa penyakit berbahaya bagi laki-laki dan anak-anak, dan ibu yang meninggal waktu persalinan karena kutukan tuan tanah (teheta) ( Alwi et al, 2001).

Hasil riset etnografi kesehatan 2012 di 12 etnis di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak terkait budaya kesehatan sangat memprihatinkan. Keharusan untuk

(22)

tetap bekerja keras sampai mendekati persalinan bagi ibu hamil juga sangat membahayakan baik bagi ibu maupun janinnya. Pemotongan tali pusat dengan sembilu (bambu yang ditipiskan dan berfungsi seperti pisau) masih banyak digunakan untuk memotong tali pusat bayi yang baru dilahirkan.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013), menunjukkan proporsi ibu yang persalinannya ditolong tenaga kesehatan meningkat dari 79,0% pada tahun 2010 meningkat menjadi 86,9% pada tahun 2013. Pada tahun 2013, sebagian besar (76,1%) persalinan juga sudah dilakukan di fasilitas kesehatan dan Poskesdes/Polindes namun ada sebesar 23,7% ibu bersalin yang masih melahirkan di rumah.

Menurut Setyawati (2010) perilaku pemilihan penolong persalinan dukun sebagai aktor lokal dipercaya oleh masyarakat sebagai tokoh kunci terutama yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan. Pada kasus persalinan, dukun tidak hanya berperan saat proses tersebut berlangsung, namun juga pada saat upacara-upacara adat yang dipercaya membawa keselamatan bagi ibu dan anaknya seperti upacara tujuh bulanan kehamilan sampai dengan 40 hari setelah kelahiran bayi. Aktivitas ini tentunya tidak sama dengan apa yang dilakukan bidan sebagai tenaga paramedis, dan hal ini juga lah yang membuat dukun memiliki tempat terhormat dan kepercayaan yang tinggi di masyarakat.

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi hepatitis 1,2 persen, dua kali lebih tinggi dibandingkan hasil Riskesdas 2007; prevalensi diabetes melitus (DM) tahun 2013 di daerah perkotaan sebesar 6,8% dan perdesaan 7%, dimana penyandang DM laki-laki sebesar 5,6% dan perempuan 7,7%.

Salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia lainnyaadalah masalah gizi. Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balitaberturut turut 5,7%,

(23)

dan 13,9% meningkat dari keadaan tahun 2010 yaitu sebesar 4,9%dan 13,0%. Kondisi demikian menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak hanya menyangkut kesehatan ibu dan anak saja, namun termasuk penyakit menular, penyakit tidak menular, gizi dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Selain persalinan, penyakit menular, tidak menular, gizi dan PHBS, tradisi sunat (khitan) pada perempuan masih menjadi salah satu kontroversi perilaku budaya yang terkait erat dengan masalah kesehatan. Menurut ahli kesehatan, sunat (sirkumsisi) pada perempuan tidak memiliki landasan ilmiah, dan lebih didasari pada tradisi dan budaya, bukan agama. Prosedur sirkumsisi perempuan di Indonesia sering hanya pada tindakan simbolik, namun ada juga pemotongan yang dilakukan pada alat kelamin.

Dukun bayi di Madura berpendapat bahwa walaupun sedikit, tetapi harus ada darah yang keluar dari klitoris atau labia minora. Di Sulawesi Selatan pada Etnis Bugis di Soppeng (disebut katte), dilakukan dengan cara memotong sedikit klitoris. Pembudayaan sirkumsisi perempuan sangat memprihatinkan, praktek ini dinilai sangat berdampak negatif terhadap perempuan baik dari segi hak kemanusiaan, kesehatan genital/reproduksi, integritas tubuh, psikologis dan hak seksual perempuan itu sendiri (Sauki M, 2010).

Penelitian mengenai faktor-faktor sosial budaya yang melatarbelakangi pemberian ASI eksklusif di Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat menjelaskan bahwa kebiasaan memberikan makanan pada bayi baru lahir, antara lain memberikan madu ditambah sedikit air putih, memberikan air putih ditambah dengan gula merah, dan memberi minum bayi kopi sebelum menyusui masih dilakukan sebagian masyarakat. Mengolesi madu pada mulut bayi yang baru lahir diyakini oleh

(24)

masyarakat akan menyebabkan mulut menjadi bersih (Media Y et al, 2005).

Uraian beberapa hasil penelitian diatas menunjukkan pentingnya riset kesehatan terkait aspek sosial budaya masyarakat yang lebih mendalam dan spesifik pada etnis tertentu di setiap daerah. Pengembangan atau inovasi dengan pelibatkan sosial budaya lokal yang bermanfaat bagi upaya kesehatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tersebut melalui suatu intervensi yang dapat diterima oleh masyarakat pelakunya. Permasalahan kesehatan seringkali terkait dengan faktor sosial budaya masyarakat setempat. Hal iniperlu digali guna mengetahui permasalahan mendasar untuk perbaikan yang berdampak positif bagi kesehatan.

Pemahaman tentang budaya masyarakat terkait dengan masalah kesehatan sangat penting untuk diperhatikan sebagai faktor penentu menuju keberhasilan program-program kesehatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup individu maupun masyarakat. Gambaran tersebut dapat dimanfaatkan para petugas kesehatan untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami apa yang berlaku di masyarakat. Berdasar budaya yang sudah terpantau tersebut, program kesehatan dapat dirancang untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak sesuai dengan permasalahan lokal spesifik. Dalam proses ini pendekatan budaya merupakan salah satu cara yang penting dan tidak bisa diabaikan.

Penelitian ini mengambil topik budaya kesehatan terkait masalah kesehatan yangmeliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dilaksanakan di beberapa wilayah tertentu Indonesia.

(25)

Pemilihan lokasi penelitian ditentukan berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) dan kriteria data Komunitas Adat Terpencil dari Kementrian Sosial. IPKM merupakan indikator komposit yang melibatkan 24 variabel dengan melibatkan rasio dokter/Puskesmas dan rasio bidan/ desa. Berdasarkan ranking IPKM dengan kategori kabupaten bermasalah berat non miskin (KaB) Provinsi Banten menduduki urutan ke 416 dari 432 Provinsi di seluruh Indonesia. Selain itu berdasarkan data Komunitas Adat Terpencil dari Kementrian Sosial bermukim Etnik Baduy di salah satu kabupaten di Provinsi Banten. Fakta tersebut menetapkan Etnik Baduy menjadi salah satu Etnik terpilih dari 20 etnis di 20 Provinsi lainnya dalam Riset Etnografi Kesehatan di Tahun 2014. Dari uraian di atas maka pertanyaan penelitian adalah bagaimana gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat terkait masalah kesehatan di masyarakat Etnik Baduy Dalam Kabupaten Lebak Provinsi Banten?

1.2. Tujuan

1.2.1. Tujuan Umum

Mendapatkan gambaran potensi budaya masyarakat terkait masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat Etnik Baduy Dalam Kabupaten Lebak Provinsi Banten.

1.2.2. Tujuan Khusus

Mengidentifikasi secara mendalam unsur-unsur budaya yang mempengaruhi kesehatan dan pengambilan keputusan

(26)

terkait dengan pelayanan kesehatan di masyarakat Etnik Baduy Dalam Kabupaten Lebak Provinsi Banten.

1.3. Metode 1.3.1.Desain Studi

Riset ini didesain sebagai riset khusus kesehatan dengan desaineksploratif dengan pendekatanetnografi. Dalam metode etnografi, peneliti langsung terjun ke lapangan mencari data melalui informan (Ratna, 2010:88). Menurut LeCompte dan Schensul (1999 dalam Emzir, 2011:18) etnografi adalah sebuah metode penelitian yangbermanfaat dalam menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam suatu budaya dan komunitas.Spradley (1997: 12-20, Kuper dan Kuper, 2000: 31) menyebutkan lima manfaat etnografi dalam memahami rumpun manusia, yaitu: a) memberikan informasi tentang adanya teori-teori ikatan budaya (culture-bound), sekaligus mengoreksi teori-teori sosial Barat, b) menemukan teori grounded, sekaligus mengoreksi teori formal, c) memahami masyarakat kecil (non-Barat), sekaligus masyarakat kompleks (Barat), d) memahami perilaku manusia sebagai perilaku yang bermakna, sekaligus perbedaannya dengan perilaku binatang, dan e) yang terpenting adalah untuk memahami manusia sekaligus kebutuhan-kebutuhannya.

1.3.2.Penentuan Daerah Penelitian

Provinsi Banten terpilih menjadi salah satu lokasi penelitian dari 19 Provinsi Lainnya untuk dilakukan Riset Etnografi Kesehatan di Tahun 2014. Seperti yang telah diuraikan di latar belakang pada uraian sebelumnya bahwa kriteria pemilihan lokasi ditentukan berdasarkan Indeks Pembangunan

(27)

Kesehatan Masyarakat (IPKM) dan kriteria data Komunitas Adat Terpencil dari Kementrian Sosial.

Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu Etnik Baduy yang tinggal di Desa Kanékés Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng – Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah Barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah Selatan ibukota Provinsi Banten.

Gambar 1.1. Peta Provinsi Banten

Sumber: http://petatematikindo.files.wordpress.com/2013/03/administrasi-banten.jpg [diakses 4/8/2014]

Etnik Baduy terbagi menjadi dua bagian yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam bermukim di tiga kampung yaitu Cikeusik, Cikartawana dan Cibeo, sedang Baduy Luar bermukim di kampung-kampung di luar ketiga kampung dalam tersebut, dengan jumlah kampung seluruhnya ada 62 kampung.

(28)

Orang Kanékés atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.

Gambar 1.2.

Denah Kampung Etnik Baduy Dalam

Sumber :http://herulegowo.files.wordpress.com/2012/12/peta.jpg

[diakses tgl 4/8/2014]

Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).

(29)

Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian Utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanékés atau “orang Kanékés” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Penelitian etnografi kesehatan difokuskan pada masyarakat Etnik Baduy Dalam yang mendiami 3 kampung di Desa Kanékés.

1.3.3. Pemilihan Informan

Salah satu hal yang terpenting dalam penelitian etnografi adalah pemilihan informan, karena Informan sebagai sumber data. Pemilihan informan dalam penelitian etnografi kesehatan ini menggunakan teknik snow ball yang merupakan teknik pengambilan informan bermula pada salah seorang atau beberapa orang yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi. Selanjutnya sumber informasi tersebut diharapkan dapat memberikan informasi dan merekomedasikan tentang siapa di antara warga masyarakat di daerah penelitian yang dapat dijadikan beberapa informan berikut yang diharapkan dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan masalah kesehatan di daerah penelitian.

Penelitian diawali dengan mencari informasi melalui aparat desa setempat yang diharapkan dapat memberikan informasi dan merekomendasikan tentang beberapa orang yang dapat dijadikan sebagai informan awal. Informan diperoleh setelah tim peneliti tinggal relatif cukup lama di daerah penelitian yaitu sekitar60 hari. Dalam hubungan ini, Lincoln dan Goba menyebutkan bahwa konsep sampling yang relevan dipergunakan dalam penelitian kualitatif adalah variation

(30)

sampling to document unique variations that have emerged ini adapting to different conditions. Karena itu, dalam proses pengumpulan data tentang suatu topik, bila variasi informasi tak muncul atau ditemukan lagi, maka peneliti tidak perlu lagi melanjutkannya dengan mencari informasi atau informan baru, begitu pula sebaliknya. Jumlah informan sangat tergantung pada pemilihan informannya itu sendiri, dan kompleksitas atau keragaman fenomena yang diteliti (Faisal, 1990:57).

Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang masyarakat yang diteliti.Peneliti hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan informan. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, maka peneliti akan minta kepada informan pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan informan (Hendarso dalam Suyanto, 2005:171-172).

Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan maka informan dalam penelitian ini adalah:

1) Remaja, keluarga, dan tetangganya.

2) Ibu yang sedang atau pernah hamil dan bersalin, suaminya, dan keluarganya.

3) Ibu yang memiliki anak bayi atau balita, suaminya, dan keluarganya.

4) Tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat yang mengetahui budaya setempat.

5) Pengobat tradisional, seperti dukun dan pengobatan alternatif lainnya.

6) Petugas kesehatan Puskesmas dan jaringannya.

Beberapa informan tersebut adalah orang-orang yang dipilih karena berasal dari kebudayaan yang menjadi setting penelitian dan pada saat penelitian mereka sedang terlibat langsung dalam kebudayaan masyarakat setempat. Jumlah

(31)

informan dibatasi dengan maksud agar data yang diperoleh lebih terfokus dan tidak melebar.

1.3.4. Instrumen Pengumpulan Data

Dalam metode penelitian etnografi, instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Sebagai instrumen penelitian, peneliti melakukan observasi partisipasi, yaitu peneliti tinggal dan hidup bersama masyarakat untuk menggali lebih dalam (eksplorasi) informasi dan mengamati obyek-obyek yang ingin diketahui terkait dengan kesehatan masyarakat setempat.

Pengumpulan data melalui wawancara mendalam (Indept Interview), menggunakan pedoman wawancara kapada segenap informan yang meliputi :

1) Informan kunci, yaitu pelaku budaya itu sendiri yang mengetahui tentang budaya masyarakat setempat.

2) Pengamatan terlibat (observation participation), menggunakan pedoman pengamatan terhadap fenomena sosial dan budaya yang ada terkait dengan kesehatan. 3) Melakukan pencatatan yang merupakan catatan harian

yang dimasukkan dalam buku (logbook).

4) Perekaman gambar menggunakan kamera dan video serta perekaman suara.

Informasi dilengkapi dengan melakukan penelusuran data sekunder, referensi dan pustaka yang berkaitan dengan substansi penelitian.

1.3.5. Analisis Data

Validitas data diukur dari pemahaman masyarakat (yang dijadikan informan penelitian) atas berbagai aspek budaya terkait KIA, PTM, PM dan PHBS. Data dari informan dilakukan

(32)

validasi triangulasi (mencocokkan, membandingkan hasil wawancara mendalam antara informan dengan informan lainnya). Analisis data kualitatif dilakukan dengan analisis domain (mengelompokkan setiap pertanyaan yang sama), lalu dilakukan analisis content, selanjutnya ditarik suatu makna, dan dilakukan pembahasan hasil makna dan penarikan kesimpulan. Pengolahan data secara manual dilakukan dengan menggunakan matriks kontras untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dan pendukung. Proses berikutnya adalah pengolahan informasi dan penulisan buku. Informasi tentang etnografi budaya berikut budaya KIA, PM, PTM dan PHBS ini tidak saja dikumpulkan, tetapi kemudian ditunjang oleh sejumlah literatur yang diolah dan dipaparkan dalam laporan ini. 1.4. Kelemahan-kelemahan Studi

Salah satu kelemahan utama penelitian etnografi adalah bahwa dibutuhkan lebih lama daripada bentuk penelitian lainnya. Tidak hanya membutuhkan waktu lama untuk melakukan kerja lapangan, tetapi juga memakan waktu lama untuk menganalisis materi yang diperoleh dari penelitian. Lama waktu penelitian selama 60 hari sehingga hanya dapat menangkap fenomena yang terjadi selama peneliti berada di lokasi.

Kelemahan lain dari penelitian etnografi adalah bahwa lingkup penelitiannya tidak luas. Etnografi sebuah studi biasanya hanya satu organisasi budaya. Bahkan keterbatasan ini adalah kritik umum dari penelitian etnografi, penelitian ini hanya mengarah ke pengetahuan yang mendalam konteks dan situasi tertentu.

Perspektif pengkajian kemungkinan dipengaruhi oleh kecenderungan budaya peneliti. Selain itu adanya orientasi fungsi masing-masing Kampung Etnik Baduy Dalam sehingga fokus

(33)

lokasi penelitian lebih banyak dilakukan di Kampung Cibeo sesuai tupoksinya menangani kepemerintahan dan sebagai public relation (PR)/hubungan dengan orang luar Baduy.

1.5. Kajian Terdahulu

Pada sub bab ini akan disajikan beberapa tinjauan terhadap karya-karya terdahulu yang pernah meneliti masyarakat Etnik Baduy baik Baduy Dalam dan Baduy Luar. Kajian pustaka ini hanya sebagian yang diperoleh penulis yang akan disajikan secara kronologis dan tematis agar diperoleh gambaran perkembangan masyarakat Etnik Baduy dulu hingga kini.

1. Feri Prihantoro BINTARI (Bina Karta Lestari) Foundation (2006)

Tulisan dengan judul KEHIDUPAN BERKELANJUTAN MASYARAKAT ETNIK BADUY mengulas konsep pembangunan berkelanjutan yang telah diajarkan secara turun temurun oleh masyarakat Baduy, tanpa terlebih dahulu mengenal istilah pembangunan berkelanjutan yang menjadi isu internasional. Prinsip perubahan sekecil-kecilnya dan alam merupakan titipan dari Tuhan untuk anak cucu, mendasari pemikiran mereka dan mempengaruhi segala aktivitas kehidupan mereka. Gaya hidup sederhana tanpa mengharapkan bantuan dari luar telah membangun mental yang mandiri dan berkelanjutan.

2. Faisal Anwar dan Hadi Riyadi (2008)

Penelitian mengenai STATUS GIZI DAN STATUS KESEHATAN ETNIK BADUY lebih terfokus pada Etnik Baduy Luar, hal ini karena ada beberapa kendala terkait larangan aturan adat terhadap beberapa kegiatan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menggambarkan Jenis penyakit kulit yang sering diderita masyarakat Baduy khususnya Baduy Luar adalah

(34)

penyakit kulit jenis budug. Jenis penyakit lain yang juga sering dialami masyarakat Baduy Luar adalah penyakit kulit gatal-gatal, bentol dan kulit kemerahan. Penyebab penyakit ini lebih disebabkan karena lingkungan kurang bersih dan disebabkan oleh gigitan serangga. Status gizi yang dibahas dalam laporan ini didasarkan pada hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan, Prevalensi stunted (pendek) secara keseluruhan adalah sebesar 60.6%. Prevalensi ini jauh lebih tinggi daripada prevalensi stunting anak balita di Indonesia hasil Riskesdas 2007, yang hanya sekitar 36,8% (Depkes, 2008). Artinya kondisi ini mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di desa penelitian masih rendah. 3. Masykur Wahid (2010)

Artikel dengan judul “SUNDA WIWITAN BADUY:Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanékés Banten“ memaparkan tentang sistem religi dan ritual keagamaan Sunda Wiwitan. Keimanan dan ketaatan umat Baduy kepada Allah tampak dalam tindakan mereka menjaga hutan, sungai dan gunung hidup harmoni. Keimanannya bukan dalam hafalan ataupun penafsiran kitab suci. Sedangkan, ibadah ritualnya dipraktekkan lewat bekerja di ladang dengan aturan adat dan patuh pada tabu supaya panen berhasil dan umat sejahtera. Ibadahnya bukan ingin menjadi manusia yang dihormati ataupun dermawan. Inilah umat Sunda Wiwitan dengan pandangan hidup menjaga alam lindung Kanékés. 4. Raden Cecep Eka Permana, Isman Pratama Nasution, dan

Jajang Gunawijaya (2011)

Artikel dengan judul “KEARIFAN LOKAL TENTANG MITIGASI BENCANA PADA MASYARAKAT BADUY” penelitian ini mengenai kearifan lokal masyarakat Baduy Dalam pencegahan bencana. Kearifan lokal dalam mitigasi bencana yang dimiliki masyarakat Baduy sejatinya didasari oleh

(35)

pikukuh (ketentuan adat) yang menjadi petunjuk dan arahan dalam berpikir dan bertindak. Pikukuh merupakan dasar dari pengetahuan tradisional yang arif dan bijaksana, termasuk juga dalam mencegah bencana.

5. Yollanda Octavitri (2012)

Artikel mengenai “RESEPSI MASYARAKAT KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN TERHADAP UPACARA SEBA ETNIK BADUY”. Hasil penelitian menunjukkan resepsi masyarakat Kabupaten Lebak terhadap Upacara Seba secara umum menghargai dan apresiasi. Secara spesifik variasi resepsi masyarakat Kabupaten Lebak dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu usia, tingkat pendidikan dan status kebudayaan. 6. R.D Anna Enariah

Traditional House Architecture Characteristic of Tribe Baduy Evaluated from Artistic Characteristic of Installation.

7. AL MUSHOWWIR (2013)

KOMUNIKASI RITUAL ADAT SEBA MASYARAKAT BADUY, acara ritual adat seba ini wajib dilaksanakan merupakan salah satu tradisi adat yang harus dilakukan setiap tahunnya bagi masyarakat sebagai wujud nyata kesetiaan dan ketaatan masyarakat Baduy kepada pemerintah dan menghormati para leluhurnya, dan apabila tidak dilaksanakan maka akan kualat dan terjadi bencana.

8. Wilodati

Sistem Tatanan Masyarakat dan Kebudayaan Orang Baduy, Kajian tentang perubahan sosial pada masyarakat Baduy sebagai salah satu Etnik terasing di nusantara masih sangat jarang. Hal itu disebabkan karena masyarakat Baduy salah satu kelompok Etnik terasing di Indonesia yang mempunyai kesan tersendiri. Pendiriannya keras tapi tidak merepotkan orang lain, dalam keadaan bagaimanapun masyarakat Baduy, buyut (larangan) sudah menjadi pagar tradisi yang kokoh

(36)

untuk taat pada pikukuh (aturan). Disini penulis berusaha mengungkapkan bahwa seperti kelompok masyarakat umumnya, Baduy-pun tersentuh berbagai perubahan.

9. Mulyanto, Nanik Prihartanti dan Moordiningsih.

PERILAKU KONFORMITAS MASYARAKAT BADUY, Ada 6 kondisi psikologis yang menyertai warga Baduy ketika melakukan konformitas terhadap aneka pikukuh adat wiwitan: Konformitas dilakukan berdasarkan motif internal; Warga tidak akan ikut campur bila ada yang non konformitas; Warga tidak merasa tertekan; bahkan merasa konformitas adalah ekspresi aktualisasi diri; Warga betah tinggal di Baduy meskipun aturan adat ketat namun bertujuan baik; Warga tidak ingin berbeda dengan ketentuan adat sebagaimana falsafah hidup “panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung”; Orang Baduy akan jujur mengakui, bila melakukan pelanggaran adat. Ada enam faktor yang melatar-belakangi munculnya konformitas dalam masyarakat Baduy: adanya nilai-nilai yang lebih menghargai konformitas dibanding nilai-nilai kemandirian; Adanya lembaga adat; tingginya kepercayaan orang Baduy terhadap kelompok sebagai sumber kebenaran; adanya rasa takut orang Baduy terhadap penyimpangan; adanya kekompakan warga Baduy, dan besarnya ukuran warga Baduy yang sependapat.

1.6. Sistematika Buku

Agar penulisan buku ini tersusun lebih terarah dan sistematis penulis membagi menjadi enam bab yang didahului dengan kata sambutan, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, lampiran dan diakhiri dengan indeks, glosarium dan daftar pustaka. Adapun sistematika penulisan buku ini dibagi ke dalam 6 (enam) bab perinciannya sebagai berikut :

(37)

Pada Bab 1, membahas latar belakang penelitian dilakukan, merumuskan permasalahan dan tujuan penelitian. Selain itu menguraikan metode penelitian dilakukan meliputi batasan, desain, wilayah kerja, kelemahan-kelemahan, kajian terdahulu dan sistematika studi.

Kemudian Bab 2, berisi deskripsi Etnik Baduy Dalam mulai dari gambaran sejarah, alam dan budaya; geografi dan kependudukan; Religi; Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan; Pengetahuan; Bahasa; Kesenian; Mata pencaharian dan Teknologi dan peralatan.

Bab 3, Potret Kesehatan masyarakat Etnik Baduy Dalam. Menggambarkan potret kesehatan mulai dari pertamakali masyarakat Etnik Baduy Dalam mengenal pengobatan modern sampai dengan gambaran budaya terkait kondisi kesehatan ibu dan anak (KIA), PM, PTM dan PHBS).

Bab 4, Pikukuh Budaya Kesehatan Ibu dan Anak Etnik Baduy Dalam. Mendeskripsikan perspektif emik dan etik serta potensi dan kendala terkait budaya kesehatan ibu dan anak yang dijalani dan dipegang teguh.

Bab 5, Tradisi Selebrasi Etnik Baduy Dalam. Menggambarkan dan menjelaskan makna secara emik dan etik tradisi tahunan Seba dan Ritual Sunat yang dilakukan secara massal baik pada laki-laki dan perempuan

Terakhir Bab 6, Penutup ini merupakan jawaban apa yang bisa dijawab dari tujuan yang ditetapkan dan rekomendasi yang bisa dilakukan berdasarkan permasalahan dan potensi yang dimiliki.

(38)

BAB 2

MENGENAL ETNIK BADUY DALAM

2.1. Sejarah Desa

Sebelum menginjak pada pembicaran tentang sejarah keberadaan Etnik Baduy, terlebih dahulu digambarkan sepintas perjalanan menuju perkampungan masyarakat Baduy Dalam. Untuk menuju perkampungan masyarakat Baduy Dalam yang berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar, diawali dari kota Rangkasbitung dengan jarak tempuh 50 Km. Untuk mencapai perkampungan tersebut dapat ditempuh menggunakan kendaraan umum atau kendaraan pribadi baik roda empat atau roda dua. Apabila menggunakan kendaraan umum yaitu sejenis minibus dari terminal Aweh, ongkosnya Rp 30.000,-. Kondisi dalam pejalanan melewati daerah pegunungan Kendeng, jalannya naik turun dan berkelok. Tentunya bagi orang atau mereka yang tidak terbiasa dan fisik dalan kondisi kurang sehat sangat mungkin akan mengalami mabok.

Setibanya di Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, maka bagi pengunjung yang akan meneruskan perjalanan ke kampung Baduy Dalam harus menempuh waktu selama 5 jam dengan berjalan kaki melalui jalan setapak dengan kondisi jalan naik turun perbukitan. Sesampainya kampung Cibeo, bila melanjutkan perjalanan hingga kampung Cikartawana perlu waktu 1 jam, dan

(39)

apabila berlanjut hingga Kampung Cikeusik ditambah waktu 3 jam lagi.

Selama penelitian berlangsung yang dimulai pada bulan Mei hingga Juni 2014, tim peneliti untuk menuju dan mencapai Kampung Cibeo dibantu dengan oleh 6 (enam) tenaga orang dari warga mayarakat Baduy Dalam yang berdomisili di kampung Cibeo yang berperan juga sebagai penunjuk jalan.

Kondisi medan menuju kampung Cibeo tidak jauh berbeda dengan perjalanan sebelumnya, yaitu naik turun daerah perbukitan melalui jalan setapak berupa tanah liat yang licin jika dalam kondisi hujan. Hampir setiap sore turun hujan. Sudah ada upaya membuat jalan makadam yaitu berupa susunan dari batu pecah yang diatur padat kemudian ditimbuni kerikil hingga permukaannya keras, namun hanya sebagian kecil saja. Sepanjang jalan disebelah kanan kiri terlihat huma/ladang penduduk Baduy, dan hutan primer maupun sekunder dengan jenis tanaman karet, pinus. Dalam perjalanan tim peneliti sempat beristirahat singgah di sebuah saung (gubuk yaitu berupa rumah di tengah ladang/huma). Ketika tim peneliti istirahat, didatangi oleh salah seorang Jaro Baduy Tangtu dengan seorang pangiwa (polisi adat Baduy). Beliau berdua ingin mengetahui maksud dan tujuan tim peneliti masuk ke wilayah perkampungan Baduy Dalam. Dalam kesempatan itu tim peneliti memohon untuk dapat dihubungkan dengan Kepala Desa Kanékés yang disebut Jaro Pamarentah yang saat itu dijabat oleh Dainah. Setelah mendapat penjelasan melaui telpon seluler, JaroPamarentah paham akan maksud dan tujuan tim peneliti untuk datang ke perkampungan masyarakat Baduy Dalam, maka tim diperbolehkan untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum melakukan dan memulai penelitian, secara adminstrasi tim peneliti sudah melakukan pegurusan surat-surat berkenaan dengan perijinan mulai dari tingkat provinsi hingga tingkat desa.

(40)

2.1.1. Asal Usul (Babat)

Beberapa sumber menyebutkan asal usul Etnik Baduy, masyarakat Etnik Baduy Dalam. Masyarakat Etnik Baduy Dalam sendiri suka menyebut dirinya urang Kanékés. Urang Kanékés lebih dikenal oleh masyarakat umum termasuk pengamat dengan sebutan Etnik Baduy. Disebut Baduy dikarenakan oleh beberapa sebab yaitu :

a) Daerahnya yang diapit oleh dua gunung Baduy.

b) Diadaptasi dari nama masyarakat Badawi yang pada zaman dahulu merupakan salah satu Etnik yang hidupnya nomaden, yang memiliki gaya hidup mirip dengan orang Kanékés. Sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan semua sistem lain dalam desa Kanékés masih berpola tradisional. Secara administrasi pembagian wilayah dibagi menjadi tiga wilayah utama yakni Cikeusik, Cikartawana dan Cibeo.

Ada sumber yang mengatakan bahwa sebutan Etnik Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Baduy, yakni sebutan dari golongan/kaum Islam yang maksudnya karena Etnik itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan di Saudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit diatur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Etnik Baduy. Sistem budaya tradisional di masyarakat Kanékés ini sama halnya dengan sistem budaya tradisional di masyarakat lain yakni menggunakan sistem lisan untuk memberitakan suatu hal berupa informasi, cerita, hiburan atau pendidikan.

Orang Baduy percaya bahwa nenek moyang mereka telah menempati Desa Kanékés sejak jaman Nabi Adam, yang dianggap sebagai tempat asal usul manusia yang dilahirkan di bumi ini. Menurut keyakinan mereka, tempat pertama yang dihuni

(41)

manusia adalah Kampung Cikeusik kemudian Kampung Cikartawana, dan terakhir di Kampung Cibeo. Dari ketiga kampung itu warganya kemudian menyebar ke kampung-kampung lainnya. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Etnik Baduy berasal dari Kerajaan Pajajaran. Namun ada pula pendapat yang berebeda mereka adalah penduduk Banten Utara karena faktor sosial politik tertentu pindah ke Selatan ke daerah Kanékés yang didiami sekarang ini.

Beberapa informasi yang diperoleh dari beberapa informan tentang Etnik Baduy mereka adalah keturunan dari Batara Cikal, yaitu salah satu dari tujuh dewa yang diutus turun ke bumi. Informasi tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang yang pertama, yang dipercaya Adam dan keturunannya termasuk warga Baduy. Utusan tersebut bertapa atau asketik (mandita) dengan maksud untuk menjaga keharmonisan dunia. Mereka juga beranggapan bahwa Etnik Baduy merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia.

Pendapat lain yang membuktikan orang Baduy manusia tertua setidaknya di Pulau Jawa, berdasarkan bukti-bukti pra sejarah dan sejarah, punden berundak Lebak Sibedug di Gunung Halimun 3 km lebih dari Cibeo berusia 2500 SM masa neolitik, memiliki kesamaan simetris dengan peninggalan yang sama dengan piramida di Mesir dan Kuil Mancu Pichu di Peru ribuan tahun silam. Sedangkan Arca Domas hingga kini masih misterius, terletak disebelah Selatan Cikeusik dihulu sungai Ciujung, pegunungan Kendeng. bagian Selatan dan dipublikasikan pertama kali oleh Koorders yang datang pada tanggal 5 Juli 1864 (Djoewisno, 1987). Arca domas adalah menhir berukuran besar diatas punden berundak paling atas. Bangunan punden berundak ini juga dilengkapi menhir lainnya. Mereka percaya arca domas adalah lambang Batara Tunggal tempat dimana roh diciptakan

(42)

dan berkumpul. Selain itu arca domas merupakan pusat bumi dan asal muasal manusia diturunkan ke bumi dan menjadi nenek moyang orang Baduy. Karena itu arca domas merupakan daerah larangan yang tidak boleh dimasuki orang luar (Purwitasari, 2000).

Berbagai informasi tentang asal-usul orang Baduy tersebut berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minoritas keberadaannya. Keberadaan masyarakat Baduy sering dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran pada abad 15 dan 16 M, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu.

Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan kota pelabuhan dagang yang cukup besar. Di wilayah tersebut mengalir Sungai Ciujung yang dapat dilayari berbagai jenis perahu besar maupun kecil untuk mengangkut hasil bumi dari pedalaman. Untuk itu penguasa di wilayah Banten yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan, maka diperintahkan sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan hutan yang lebat dan berbukit di Gunung Kendeng. Keberadaan pasukan bertugas yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

(43)

K. Adimihardja dalam bukunya Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47–59) menuturkan, di masa itu wilayah ujung Barat Pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Padjadjaran, sebagai pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah pedalaman. Penguasa wilayah ini; Pangeran Pucuk Ulum menganggap keamanan wilayah ini harus dijaga, maka sepasukan tentara kerajaan diperintahkan untuk menjaga kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus inilah yang diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Baduy yang mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng hingga kini.

Y. Garna, dalam Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia (Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, Gramedia Pustaka Utama, 1993), menyangkal pendapat ini. Dia mengetengahkan penuturan Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan di tengah masyarakat Baduy pada 1928. Van Tricht menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh dari luar, masyarakat Baduy sudah ada sejak lama di sana dan merupakan masyarakat asli.

Saya tekankan lagi bahwa menurut Van Tricht, masyarakat Baduy terutama warga masyarakat Etnik Baduy Dalam memiliki sifat yang menolak keras dan tidak bisa mengadopsi kebudayaan luar. Selama ini kearifan adat Baduy terbukti mampu bertahan dari cengkeraman kuasa pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Bahkan masih bertahan dalam pemerintahan nasional, termasuk ketika penguasa Orde Baru, mencoba “menyisipkan”

(44)

pola pembangunan lima tahun ke dalam masyarakat Baduy di tahun ’80-an. Mereka mampu menghindar dengan mengirim utusan menghadap Presiden Soeharto, dan memohon agar mereka dibiarkan menjaga keutuhan adat dan kehidupan mereka sendiri. Selain itu, menurutnya masyarakat Baduy Dalam sangat mempertahankan adatnya untuk melindungi kebudayaannya. Itu terbukti Etnik Baduy Dalam masih sangat ketat untuk mempertahankan kebudayaan nenek moyang mereka dengan sebutan bahwa Etnik Baduy masih tetap memegang pikukuh karuhun. Pendapat Van tricht terkait sejarah Etnik Baduy Dalam ini sejalan dengan pendapat Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5). Menurut dua ahli ini saat itu raja yang berkuasa di wilayah sekitar Baduy adalah Rakeyan Darmasiska, raja ini memerintahkan masyarakat Baduy yang memang sudah tinggal di sana dari dahulu untuk memelihara Kabuyutan (tempat pemujaan nenek moyang). Menjadikan kawasan tersebut sebagai Mandala atau kawaan suci. Masyarakatnya sendiri di kenal memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan (wiwitan: asli,pokok). Sampai sekarang pun masyarakat Baduy masih memegang teguh kepercayaan tersebut.

2.1.2. Perkembangan Desa

Informasi Perubahan Fisik (jalan, bangunan, sungai sawah ladang, dll) dalam kurun waktu 5-10 tahun lalu. Sesuai dengan lingkungan fisik Desa Kanékés secara geografis, memang tidak memungkinkan untuk sementara ini mengalami pembangunan seperti pada desa umumnya. Artinya bahwa pembangunan di Desa Kanékés tidak bisa disamakan dengan pembangunan di wilayah desa di luar Desa Kanékés. Pada Etnik Baduy untuk pembangunan fisik hampir tidak ada, seandainya ada hanya berupa bangunan jembatan. Jembatan ini pun hanya

(45)

menggunakan bambu dan tali. Di perkampungan Baduy Dalam tidak dibenarkan untuk membangun menggunakan bahan-bahan yang diproduksi dari industri mesin. Bahkan kayu digergaji saja tidak akan dipakai untuk bahan dalam membangun rumah. Muncul suatu pertanyaan, mengapa demikian? Hal ini terjadi karena ruang geraknya memang dibatasi oleh adat.

Sebenarnya kalau ditelaah lebih dalam larangan tersebut bukan hanya sekedar yang berhenti begitu saja. Namun harus diterjemahkan bahwa manusia bisa hidup dengan baik apabila bisa menyelaraskan dengan kondisi alam lingkungan dimana mereka berada. Artinya manusia hidup itu bisa melakukan konservasi alam lingkungannya sendiri, sehingga meskipun sumber daya alam dimanfaatkan oleh manusia namun tidak habis dan sebaliknya menjadi berkelanjutan keberadaannya.

Masyarakat adat Baduy berusaha tetap untuk eksis dengan mempertahankan kondisi sumber daya alam lingkungan yang mendukung kebutuhan hidupnya. Misalnya ketika menggunakan sumber daya alam berupa air dari sungai untuk kebutuhan konsumsi, mereka tetap melarangnya untuk mandi karena bukan peruntukannya. Ketika membuka dan mengolah tanah untuk ladang, Etnik Baduy tidak membalik atau mencangkul tanah. Sehingga cukup membersihkan rumput dari permukaan tanah yang disebut dengan ngored. Memang ada peribahasa tentang pemanfaatan alam dengan apa adanya tanpa merusak lingkungan alam. Diantara pesan leluhur (karuhun) yang menunjukkan kesederhanaan dalam menyelaraskan dengan alam untuk hidup Etnik Baduy berbunyi sebagai berikut:

Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang dirusak, Larangan teu meunang dirempak, Buyut teu meunang diubah, Lojor teu meunang dipotong,

(46)

Pondok teu meunang disambung, Nu lain kudu dilainkeun,

Nu ulah kudu diulahkeun, Nu enyak kudu dienyakeun. Artinya:

Gunung tak boleh dihancurkan, Lembah tak boleh dirusak, Aturan tak boleh diubah, Panjang tak boleh dipotong, Pendek tak boleh disambung, Yang bukan harus ditiadakan, Yang jangan harus dinafikan, Yang benar harus dibenarkan.

Dalam hal ini adat tidak dibenarkan dipandang secara negatif, tetapi justru memiliki nilai yang sangat positif dan memiliki makna yang sangat dalam. Diantara nilai positif dalam pelestarian alam lingkungan dapat diberikan beberapa contoh dalam kehidupan sehari-hari diantaranya adalah:

1) Bahwa warga Baduy ketika menebang pohon, tidak semena-mena segala pohon ditebangi tetapi dipilih yang tertua.

2) Demikian pula dengan menanam padi (pare), jagung, singkong (benter) atau ubi jalar selama ini tidak menggunakan cangkul atau beliung. Tapi cukup menggunakan alat yang disebut kored (alat seperti cangkul kecil) yang fungsinya untuk membersihkan rumput di ladang. Ada suatu keyakinan apabila tanah ladang atau pekarangan dicangkul maka identik dengan menyakiti Dewi Sri. Kalau Dewi Sri sakit maka tidak akan memberikan makanan bagi kehidupan. Dimaksud dengan Dewi Sri sakit bisa dimaknai bumi menjadi rusak akibat ulah manusia. Bila bumi sudah rusak maka manusialah yang akan menuai

(47)

hasilnya yaitu keulitan untuk mendapatkan lahan untuk sawah, ladang, termasuk hutan sebagai tempat sumber cadangan air bersih.

3) Mandi tidak menggunakan sabun, sikat gigi tidak menggunakan pasta gigi. Baik sabun atau pasta yang digunakan adalah tumbuhan honje (etlingera elatior).

Gambar 2. 1. Tumbuhan Honje dihutan

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Solidaritas dan Kegotongroyongan.

Masyarakat Etnik Baduy Panamping atau Baduy Tangtu masih tetap menjunjung tinggi solidaritas dan gotong royong yang cukup tinggi. Bentuk ini diantaranya terlihat ketika:

a. Memperbaiki rumah atau membangun rumah warga.

b. Memperbaiki jembatan bambu sebagai penghubung wilayah Baduy Panamping dengan Baduy Tangtu.

c. Membuka ladang adat yang baru (ngacar serang).

(48)

d. Membantu saudara, kerabat atau tetangga baik dalam kesusahan (kematian).

e. Membantu saudara, kerabat atau tetangga ketika melaksanakan upacara daur hidup atau life cycle.

Masyarakat Etnik Baduy masih tetap memegang nilai-nilai adat yang menjunjung tinggi norma, hal itu diantaranya dapat diperhatikan pada Peraturan Desa Kanékés Nomor: 01 tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanékés (Baduy) yang disyahkan di Kaduketug pada tanggal 15 Juli 2007 oleh Jaro Pemerintah/Kepala Desa Kanékés Daina. Peraturan ini juga diundangkan di Kaduketug pada tanggal 15 Juli 2007 oleh Sekretaris Desa, Haji Safin. Selain yang tertera dalam peraturan secara hukum positif, masyarakat Etnik Baduy juga memegang teguh peraturan adat, yang diyakini berasal dari para Karuhun (leluhur) yaitu berupa kata-kata seperti yang diucapkan oleh Jaro Dainah sebagai berikut:

Pikukuh adalah sebuah tata cara kehidupan masyarakat

Baduy dengan konsep tanpa perubahan. Artinya mereka memegang teguh kealamiahan untuk menjaga keseimbangan hidup antara alam dan manusia. Kendati hukum-hukum itu tidak dimunculkan secara tertulis, akan tetapi pikukuh tersebut tetap menjadi pedoman bagi masyarakat Baduy. Untuk menjaga

pikukuh tersebut, maka dilaksanakan aturan untuk

mempertahankannya yang disebut buyut (dalam bahasa Indonesia berarti tabu atau larangan).

Delapan klasifikasi pepatah yang ada di Baduy dan menjadi buyut yang tak boleh dilanggar. Kedelapan klasifikasi pepatah itu adalah 1). Taat pada hukum, 2). Penegakan hukum, 3). Pemeliharaan terhadap alam, 4). Pepatah untuk pemimpin, 5). Tolong-menolong, 6). Hidup/bekerja, 7). Kebersamaan, 8). Pepatah pertanggungjawaban. Konsep lisan yang muncul di dalam kehidupan masyarakat Baduy mengakibatkan terjadinya

(49)

perubahan-perubahan struktur dari pepatah tersebut. Berikut isi dari buyut tersebut yang berisi empat konsep larangan yaitu:

gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung. Artinya:

gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung

Kedekatan Baduy dengan alam seperti gunung dan lebak (lembah) menjadikan komunitas mereka harus menjaga dua wilayah tersebut kendati terdengar kontras. Gunung dan lembah tidak boleh dihancurkan karena jika itu terjadi maka musnahlah segala kehidupan mereka. Dari letak geografis, Baduy berada di dua wilayah itu. Dengan demikian mereka harus memeliharanya sebagai bagian dari keseimbangan kehidupan. Konsep oposisi biner, secara intertekstual mengindikasikan perbedaan, namun di dalam konsep hidup justru memperlihatkan keseimbangan karena konsep kosmos ini terbentuk dan dibentuk dari proses keseimbangan. Di dalam konsep Cina dikenal dengan yin dan

yang. Secara alamiah, kita juga menemukan konsep perbedaan

untuk menjaga keseimbangan itu di dalam tatanan realitas seperti laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, kaya dan miskin, begitu seterusnya. Konsep pikukuh Baduy menegaskan bahwa di dalam perbedaan itu tetap harus dijaga, dipelihara dan tidak dirusak/diubah. Konsep dua hal yang berbeda dan bila disatukan menajdi lebih baik itu dalam istilah ilmiah disebut dengan dikotomis.

(50)

Lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh

disambung). Masyarakat Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam ini telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia yang juga diciptakan, manusia tidak memiliki kepatutan untuk merusak seperti memotong atau menyambung. Konsep hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini jelas memperkuat masyarakat Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang.

Kesederhanaan hidup ini adalah cara mereka untuk menyatukan diri dengan alam. Pikukuh yang menjadi pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh

diubah. Dalam kehidupan keseharian masyarakat Baduy tampak

memegang teguh norma adat, diantaranya bisa diperhatikan bahwa :

1. Pernikahan warga Baduy Tangtu hanya sekali seumur hidup dan hanya dipisahkan oleh maut. Apabila istri atau suami meninggal terlebih dahulu maka bisa menikah lagi apabila dikehendaki.

2. Tidak mengambil barang yang bukan miliknya. 3. Tidak menggunakan listrik, alat elektronik.

4. Tidak naik sepeda motor, mobil. Artinya kemanapun tujuannya hanya ditempuh dengan berjalan kaki.

5. Tidak menggunakan alas kaki seperti; sandal, sepatu, sepatu sandal kemanapun perginya.

6. Ketika mandi tidak menggunakan sabun industri, namun menggunakan batang pohon honje yang batangnya dipukul-pukul dengan batu kali hingga keluar seratnya ketika mandi. Demikian pula ketika menggosok gigi tidak menggunakan pasta gigi industri tetapi menggunakan tumbukan honje.

(51)

Mobilitas Penduduk, Sarana Transpotasi dan Komunikasi. Etnik Baduy Dalam kemanapun tujuannya tetap berjalan kaki, tanpa menggunakan kendaraan apapun bentuknya. Mereka keluar masuk kampung untuk memenuhi kebutuhan keseharian. Seperti membeli ikan asin, telur ayam, minyak sayur, membeli perhiasan bukan emas karena ada larangan untuk warga Baduy Dalam menggunakan perhiasan emas.

Dari informasi seketaris Desa Kanékés Haji Sapin, masyarakat Baduy Dalam belum pernah mengikuti transmigrasi keluar daerah ataupun di dalam wilayah Kanékés sendiri. Kalau secara individu memang terjadi, itupun hanya pindah ke Baduy Panamping atas permintaan sendiri ataupun melaksanakan tindakan disiplin adat. Perpindahan individu atas permintaan sendiri biasanya karena perkawinan.

Gambar 2. 2.

Sebagian Pemandangan Medan di Wilayah Menuju ke Baduy Dalam

(52)

Masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal untuk naik kendaraan apapun, baik sepeda kayuh, sepeda motor ataupun mobil. Bahkan kemanapun perginya tetap berjalan kaki dengan tanpa menggunakan alas kaki. Apabila mereka melakukan larangan tersebut maka dianggap melanggar adat dan akan mendapat sanksi adat. Memang apabila diperhatikan dari sudut lingkungan fisik geografinya, sangat tidak memungkinkan untuk menggunakan berbagai jenis kendaraan. Jalan setapak dengan naik turun bukit dan menyusuri jurang sudah merupakan pemandangan biasa ketika menuju ke kampung-kampung Tangtu ataupun ke kampung panamping.

2.2. Geografi Dan Kependudukan 2.2.1. Geografi

a. Gambaran umum menuju kampung Baduy Dalam

Tim menuju ke Cibeo dibantu dengan 6 tenaga bantuan orang sekaligus sebagai penunjuk jalan. Kondisi medan menuju Cibeo naik turun perbukitan diwilayah pegunungan Kendeng dengan berjalan kaki. Kondisi jalannya berupa tanah liat yang licin (karena hujan setiap sore) dan sesekali susunan batu kali besar kecil (makadam). Sepanjang jalan, di kanan kiri terlihat huma penduduk Baduy dan hutan primer maupun sekunder. Dalam perjalanan sering dijumai di sebuh saung (gubuk di tengah ladang yang menyerupai rumah). Saat istirahat itulah didatangi oleh Jaro Alim (Jaro Cikeusik) dan seorang baresan (polisi adat Baduy) bernama Ayah Kamik. Beliau berdua ingin mengetahui tujuan tim masuk dan mohon untuk dihubungkan dengan Jaro Dainah (Jaro Pamarentah). Setelah dijelaskan oleh Jaro Dainah melalui telpon selulernya baru paham tujuan tim masuk ke Baduy Dalam, akhirnya tim diperbolehkan untuk melanjutkan

(53)

perjalanan. Begitu tim tiba di jembatan yang menghubungan wilayah Tangtu Cibeo dan Cikartawana maka diingatkan lagi bahwa semua alat elektronik harap segera dinonaktifkan.

Desa Kanékés menjadi tempat tinggal masyarakat Baduy merupakan salah satu desa yang termasuk wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Luas keseluruhan wilayahnya lebih kurang 5.101,85 ha, sebagian besar tanahnya merupakan dataran tinggi yang berbukit-bukit dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai dan hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah Utara. Bagian tengah dan Selatan Desa Kanékés merupakan hutan lindung yang mereka sebut dengan leuweung kolot (hutan tua).

Secara geografis desa ini terletak pada koordinat 6˚27’27’’ LU dan 108˚3’9” - 106˚4’55” BT. Posisinya berada pada ketinggian 300 – 600 m dpl dan mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan 45˚. Pada bagin Utara desa jenis tanahnya berupa vulkanik, sementara dibagian tengah berupa tanah endapan (sedimen), sedangkan bagian Selatan berupa tanah campuran. Suhu rata-rata di wilayah desa Kanékés adalah 20˚C, dengan kelembaban cukup tinggi. Curah hujan rata-rata tahunan di wilayah Baduy umumnya mencapai 4.000 mm/tahun. Daerah Baduy memiliki curah hujan tertinggi dibandingkan dengan daerah lain di Kecamatan Leuwidamar. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juni-September dan bulan Oktober-Mei terjadi musim hujan. Pada daerah tersebut juga terdapat bulan-bulan kering dengan curah hujan kurang dari 60 mm dan suhu rata-rata bulanan lebih besar dari 18˚ C.

Desa Kanékés merupakan tanah ulayat yang dilindungi oleh SK Gubernur Jawa Barat tahun 1968 dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 tahun 1990. Kedua Peraturan Daerah tersebut dikuatkan dengan peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32

Gambar

Gambar 3.9.   Lilis (15 thn) Remaja  Puteri Kp Cikeusik  Baduy Dalam  Sumber:  Dokumentasi Peneliti

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh yang signifikan baik secara simultan ataupun parsial antara kualitas pelayanan, dalam hal ini terkait proses

Model yang akan digunakan adalah Brown-Resnick dan Smith sebagai model MSP yang memiliki jangkauan dependensi spasial lebih luas dengan aplikasi menggunakan data curah

Artikel ini berasal dari penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sejarah jamu dalam masyarakat Jawa, tanaman yang dijadikan bahan dasar jamu serta khasiat tanaman, proses

Selanjutnya adalah analisis hubungan pengaruh kriteria dengan metode DEMATEL yang terdiri dari empat tahap yaitu penyusunan kuisioner, wawancara & pengisian kuisioner yang

Jadi pengertian studi kelayakan peroyek atau bisnis adalah penelitihan yang menyangkut berbagai aspek baik itu dari aspek hukum, sosial ekonomi

Beberapa ahli menggunakan teknologi pencitraan otak untuk pertama kalinya terhadap orang yang mengalami kecemasan dalam mengerjakan soal matematika, para ilmuwan

android untuk siswa homeschooling kelas X, serta mengetahui kualitas produk media pembelajaran yang telah dikembangkan sehingga layak digunakan dalam kegiatan pembelajaran