• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Trauma bisa timbul akibat gaya mekanik, tetapi bisa juga karena gaya nonmekanik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Trauma bisa timbul akibat gaya mekanik, tetapi bisa juga karena gaya nonmekanik."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Trauma Kapitis

Trauma bisa timbul akibat gaya mekanik, tetapi bisa juga karena gaya non-mekanik.20 Trauma kapitis (cedera kepala = craniocerebral trauma = head injury) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.21

2.2. Anatomi Kepala 2.2.1. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,

connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.22

2.2.2. Tulang Tengkorak23

Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah.

(2)

2.2.3. Meningia24

Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang. Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran terdiri atas 3 lapisan, yaitu :

a. Durameter (Lapisan sebelah luar)

Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan dura meter propia di bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Durameter pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer otak.

b. Selaput Arakhnoid (Lapisan tengah)

Selaput arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter yang membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral.

c. Piameter (Lapisan sebelah dalam)

Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trebekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari flaks serebri. Tentorium memisahkan

(3)

Gambar 2.1. Lapisan Meningea 2.2.4. Otak

Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak (Trunkus serebri).23 Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat terdiri dari otak besar.25

(4)

Gambar 2.2 Otak a. Otak besar (cerebrum)

Otak besar merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak. Masing-masing disebut fosa kranialis anterior atas dan fosa kranialis media.24 Otak besar terdiri dari dua belahan, yaitu belahan kiri yang mengendalikan tubuh bagian kanan, dan belahan kanan yang mengendalikan tubuh bagian kiri.25

Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan bawah. Kedua lapisan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (zat kelabu) yaitu pada pada bagian korteks serebral dan zat putih yang terdapat pada bagian dalam yang mengandung serabut saraf.22 Fungsi otak besar yaitu sebagai pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan kehendak. Selain itu otak besar juga mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti bergerak, mendengar, melihat, berbicara, berpikir dan lain sebagainya.25

(5)

b. Otak kecil (cerebellum)

Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan kerja otot ketika bergerak.25

c. Batang Otak (Trunkus serebri)24 Batang otak terdiri dari :

c.1. Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan mensepalon, kumpulan dari sel saraf yang terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap kesamping. Diensefalon ini berfungsi sebagai vaso konstruksi (memperkecil pembuluh darah), respiratori (membantu proses pernafasan), mengontrol kegiatan reflex, dan membantu pekerjaan jantung.

c.2. Mensefalon

Atap dari mensefalaon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas, dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua disebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior. Mensefalon ini berfungsi untuk sebagai pusat pergerakan mata, mengangkat kelopak mata, dan memutar mata.

c.3. Pons varolli, merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu memiliki jalur lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak serabut yang berjalan menyilang menghubungkan kedua lobus cerebellum dan menghubungkan cerebellum dengan korteks serebri.23

(6)

c.4. Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons varolli dengan medulla spinalis. Medulla oblongata memiliki fungsi yang sama dengan diensefalon.24

2.2.5. Cairan Cerebrospinalis

Cairan cerebrospinal adalah hasil sekresi plexus khoroid. Cairan ini bersifat alkali, bening mirip plasma dengan tekanannya 60-140 mm air. Sirkulasi cairan cerebrospinal yaitu cairan ini disalurkan oleh plexus khoroid ke dalam ventrikel-ventrikel yang ada di dalam otak. Cairan itu masuk ke dalam kanalis sentralis sumsum tulang belakang dan juga ke dalam ruang subarakhnoid melalui celah-celah yang terdapat pada ventrikel keempat. Setelah itu cairan ini dapat melintasi ruangan di atas seluruh permukaan otak dan sumsum tulang belakang hingga akhirnya kembali ke sirkulasi vena melalui granulasi arakhnoid pada sinus sagitalis superior.

Oleh karena susunan ini maka bagian saraf otak dan sumsum tulang belakang yang sangat halus terletak diantara dua lapisan cairan. Dengan adanya kedua ‘bantalan air’ ini maka sistem persarafan terlindungi dengan baik. Cairan cerebrospinal ini berfungsi sebagai buffer, melindungi otak dan sumsum tulang belakang dan menghantarkan makanan ke jaringan sistem persarafan pusat.23

2.3. Penyebab Trauma Kapitis

Trauma kapitis ini dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (yang terbanyak) baik pejalan kaki maupun pengendara motor atau mobil. Selain itu, trauma kapitis juga terjadi akibat jatuh, peperangan (luka tembus peluru),dan lain-lain.26

(7)

2.4. Patofisiologi Trauma Kapitis

Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis tergantung pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain=lesi media), dan lesi kontra (counter coup).21 Berdasarkan hal tersebut cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder

Gambar 2.3 Coup-Counter Coup 2.4.1. Kerusakan Primer22

Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi sedangkan kerusakan difus adalah suatu keadaan patologis penderita koma

(8)

(penderita yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa gambaran Space Occupying Lesion (SOL) pada CT-Scan atau MRI.

2.4.2. Kerusakan Sekunder

Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK), hidrosefalus dan infeksi.

2.5. Epidemiologi Trauma Kapitis

2.5.1. Distribusi Frekuensi Trauma Kapitis a. Orang

Menurut Data CDC (1997), di Amerika Serikat penderita trauma kapitis untuk laki kira-kira dua kali lebih tinggi daripada perempuan dengan IR penderita laki-laki 91,9 per 100.000 penduduk dan IR perempuan 47,7 per 100.000 penduduk.27 Menurut Miller (2004) anak-anak < 15 tahun berisiko untuk mengalami trauma kapitis (33%) dan berumur > 65 tahun 70-88%.28 Angka kematian pada pasien yang berusia 15-24 tahun yaitu 32,8 kasus per 100.000 orang dan tingkat kematian pada pasien yang sudah berusia lanjut (≥ 65 tahun) adalah sekitar 31,4 orang per 100.000 orang.11 Menurut penelitian Junandar Siahaan (2000) di RS. Santa Elisabeth Medan, proporsi penderita trauma kapitis terbanyak pada kelompok umur 17-24 tahun (23,8%).29

b. Tempat

Penelitian Tagliaferri et al di Eropa (2006), rata-rata kematian akibat trauma kapitis sekitar 15 kasus per 100.000 dan CFR yaitu 11 per 100.30 Penelitian Kleiven

(9)

di Swedia (1987-2000) terdapat 22.000 pasien trauma kapitis menunjukkan IR tahunan sebesar 229 per 100.000 penduduk.31. Di Norwegia IR trauma kapitis pada tahun 2005-2006 mengalami penurunan menjadi 83,3 per 100.000 penduduk. Penurunan ini dapat dilihat mulai dari tahun 1974 IR trauma kapitis yaitu 236 per 100.000 penduduk menjadi 200 per 100.000 pada tahun 1979–1980, dan menjadi 169 per 100.000 penduduk pada tahun 1993.32

Di Australia pada tahun 1996-1997 terdapat IR penderita trauma kapitis sebesar 149 per 100.000 penduduk. Kelompok umur yang berisiko tinggi mengalami trauma kapitis yaitu 15-19 tahun (284 per 100.000) dan anak-anak pada umur 0-4 tahun (244 per 100.000). Kelompok umur yang berisiko rendah untuk terkena trauma kapitis yaitu 45-64 tahun (69 per 100.000).33

Menurut penelitian Arifin di RS. dr. Hasan Sadikin Bandung (februari-April 2008) terdapat 120 kasus trauma kapitis. Dari seluruh kasus terdapat 95 orang (79,2%) dengan trauma kapitis sedang dan 25 orang (20,8%) dengan trauma kapitis berat.34

c. Waktu

Di Inggris, menurut Thornhill S dkk (2000) terdapat 71% penderita trauma kapitis yang berumur > 14 tahun.35 Di Amerika Serikat, menurut Centers for Disease Control

and Prevention (2002-2006) terdapat 1,7 juta orang yang mengalami trauma kapitis

setiap tahunnya dengan CFR 3,1%, dan dirawat dirumah sakit sebesar 16,2%. Trauma kapitis adalah faktor penyumbang ketiga (30,5%) dari semua kematian terkait trauma di Amerika Serikat.36

(10)

Menurut Dawodu (2004), IR trauma kapitis ringan di Amerika Serikat yaitu 131 kasus per 100.000 penduduk, IR trauma kapitis sedang 15 kasus per 100.000 penduduk, dan IR trauma kapitis berat 14 kasus per 100.000 penduduk.11

Di Indonesia, menurut Depkes RI tahun 2007 cedera menempati urutan ke-7 pada 10 penyakit utama penyebab kematian terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit dengan CFR 2,94% dan pada tahun 2008 menempati urutan ke-6 dengan CFR 2,99%.1

Menurut penelitian Lusiyawati di Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali (2009), dari sepuluh kasus penyakit yang terbanyak terdapat 32,28% trauma kapitis, yang terbagi menjadi 20,05% trauma kapitis ringan, 9,12% trauma kapitis sedang, 2,11% trauma kapitis berat.37

2.5.2. Determinan Trauma kapitis a. Host

a.1. Jenis Kelamin

Jenis kelamin laki-laki lebih besar terkena trauma kapitis dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan laki-laki lebih banyak berada diluar rumah sehingga tingkat keterpaparannya lebih besar.38 Penderita trauma kapitis di Australia hampir 70% adalah laki-laki.33 Menurut penelitian Arifin (Februari-April 2008) di RS. dr. Hasan Sadikin Bandung jumlah penderita laki-laki yaitu 77 orang (64,2%) dan penderita perempuan yaitu 43 orang (35,8%).34 Penelitian Adi Kurniawan tahun 2007 di RS PKU Muhammadiyah di Yogyakarta kejadian trauma kapitis terbanyak pada laki-laki sebesar 57 % dengan tingkat kematian sebesar 61 %. 17

(11)

a.2. Umur.

Umur yang berisiko tinggi untuk terkena trauma kapitis yaitu < 5 tahun, 15-24 tahun dan > 65 tahun.40,11 Menurut penelitian Arifin, jumlah penderita trauma kapitis berdasarkan kelompok umur <15 tahun ada 23 orang (19,2%), 16-25 tahun ada 36 orang (30%), 26-35 tahun ada 28 orang (23,3%), 36-45 tahun ada 13 orang (10,8%), 46-55 tahun 12 ada orang (10,0%) dan > 55 tahun sebanyak 8 orang (6,7%).34

a.3. Alkohol

Etanol (ethyl alkohol) memberikan efek pada fungsi neuron terutama fungsi neurologi dan neuropsikologi. 65% dari penderita trauma kapitis pada orang dewasa terlibat dengan alkohol.39 Menurut penelitian Cuningham dkk (2001) di Pusat Trauma pada the American College of Surgeons, diperoleh bahwa dari 58 orang pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas dan menderita trauma kapitis terdapat 41% yang di dalam darahnya ditemukan alkohol (BOC=Blood Alcohol Consentration).40

b. Agent

Menurut CDC (2002-2006), jatuh merupakan faktor yang mempengaruhi paling besar untuk terjadinya trauma kapitis dengan proporsi 35,2% kemudian kecelakaan lalu lintas sebesar 17,3%, dipukul sebesar 16,5%, serangan sebesar 10% dan lain-lain sebesar 21%.36 Menurut penelitian Lee (1998) penyebab tertinggi terjadinya Trauma kapitis yaitu kecelakaan lalu lintas (62,2%), jatuh (9%) dan lain-lain (28,8%) .13 Pada anak kurang dari 4 tahun cedera kepala sering disebabkan oleh jatuh dari meja, kursi, tangga, tempat tidur dan lain-lain. Sedangkan pada anak yang lebih besar sering disebabkan oleh mengendarai sepeda atau karena kecelakaan lalu lintas.41

(12)

c. Environment 38

Penyebab terbanyak terjadinya trauma kapitis adalah kecelakaan lalu lintas. Determinan yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan lalu lintas yaitu :

c.1. Tidak tersedianya rambu-rambu lalu lintas.

c.2. Panjang jalan yang tersedia tidak dapat menampung banyaknya kendaraan sehingga kemacetan terjadi dimana-mana dan memacu terjadinya kecelakaan.

c.3. Pengerjaan jalanan atau jalan yang fisiknya kurang memadai seperti berlobang- lobang dapat memacu terjadi kecelakaan

c.4. Adanya kabut, hujan, jalan licin juga membawa resiko kejadian kecelakaan lalu lintas yang lebih besar.

2.6. Klasifikasi Trauma Kapitis

Secara klinis, trauma kapitis dibagi atas : 2.6.1. Komosio serebri (Geger Otak) 43

Komosio serebri adalah keadaan dimana si penderita setelah mendapat trauma kapitis mengalami kesadaran yang menurun sejenak (tidak lebih dari 10 menit). Kemudian si penderita dengan cepat siuman kembali tanpa mengalami suatu kelainan neurologis.

Gejala-gejala yang dapat dilihat adalah : a. Penderita tidak sadar sejenak (± 10 menit) b. Wajahnya pucat

c. Kadang-kadang disertai muntah d. Nadi agak lambat : 60-70/ menit e. Tensi normal atau sedikit menurun

(13)

f. Suhu normal atau sedikit menurun

g. Setelah sadar kembali mungkin tampak ada amnesia retrogad h. Tidak ada Post-Traumatic Amnesia (PTA)

2.6.2. Kontusio serebri (memar otak)21

Kontusio serebri adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil (perdarahan yang terjadi diantara bagian-bagian atau sela-sela jaringan) nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan maka disebut laserasio serebri.

2.6.3. Hematoma epidural

Hematoma epidural ialah perdarahan yang terjadi diantara tulang tengkorak dan durameter. Perdarahan epidural terjadi pada 1-3% kasus trauma kapitis. Perdarahan ini terjadi akibar robeknya salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus venosus durameter, dan robeknya arteria diploika.44

Gejala-gejala yang dapat dijumpai yaitu : 43

a. Adanya suatu “lucid interval” yang berarti bahwa diantara waktu terjadinya trauma kapitis dan waktu terjadinya koma terdapat waktu dimana kesadaran penderita adalah baik.

b. Tensi yang semakin bertambah tinggi c. Nadi yang semakin bertambah lambat

d. Sindrom weber, yaitu midriasis (pupil mengecil) di sisi ipsilateral dan hemiplegi di sisi kontralateral dari garis fraktur.

(14)

f. Foto Roentgen : garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalan arteri meningea media atau salah satu cabangnya.

2.6.4. Hematoma subdural44

Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara durameter dan arakhnoidea. Hematoma ini timbul karena adanya sobekan pada “bridging veins”. Menurut saat timbulnya gejala-gejala klinis, hematoma subdural dibagi atas 3 jenis :

a. Hematoma subdural akut

Gejala-gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.

b. Hematoma subdural sub-akut

Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.

c. Hematoma subdural kronik

Gejala-gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang baru, kapsula masih tipis atau belum terbentuk di daerah permukaan arakhnoidea. Kapsula merekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak. Kapsula ini mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Karena dindingnya yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume hematoma. Pembuluh darah ini dapat pula pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.

(15)

Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subdural arakhnoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala-gejala seperti tumor serebri. Sebagian besar hematoma subdural ditemukan pada pasien berusia diatas 50 tahun.

Seringkali trauma kapitis yang menyebabkan hematoma subdural juga menimbulkan lesi pada jaringan otak berupa hematoma serebri, laserasi atau kontusio serebri yang menyebabkan keadaan pasien menjadi lebih parah dengan mortalitas yang lebih tinggi. Gejala-gejala hematoma subdural akut sama dengan gejala-gejala hematoma epidural, yaitu midriasis pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral. Mungkin dapat juga dijumpai defisit neurologis lainnya. Pada perdarahan campuran keadaan umum dapat lebih buruk dan defisit neurologisnya dijumpai lebih banyak. Defisit neurologis yang terjadi mungkin disebabkan oleh lesi parenkimnya dan bukan oleh penekanan hematomanya.

Pada hematoma subdural sub-akut gejala-gejala berkembang lebih lambat. Hematoma subdural kronik pada sebagian kasus menimbulkan gejala tumor serebri, sisanya tidak memberikan gejala atau hanya gejala ringan yang dapat diabaikan atau diobati sendiri oleh pasien. Hal ini terjadi bila perdarahannya kecil dan penyerapannya berjalan dengan baik. Gejala-gejala yang dapat timbul ialah nyeri kepala yang kronis dan progresif, mungkin hemiparesis, anisokori pupil (pupil tidak sama besar), kaku kuduk, apatis (tidak acuh), amnesia, perubahan kepribadian dan perilaku misalnya menjadi acuh tidak acuh terhadap orang lain atau dirinya sendiri, tanda-tanda demensia, dan mungkin pula kejang.

(16)

2.6.5. Hematoma intraserebral44

Hematoma intraserebral terjadi bersama dengan kontusio sehingga secara umum lebih buruk baik dioperasi maupun tidak. Dorongan yang mengancam terjadianya herniasi oleh bekuan darah di tengah otak disertai edema lokal yang hebat biasanya berprognosis buruk daripada hematoma epidural yang dioperasi. Pada suatu hematoma intraserebral, seorang penderita yang setelah mengalami trauma kapitis akan memperlihatkan gejala : hemiplegi, papiledem (pembengkakan pada mata) serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat, dan artreiografi karotis dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.

2.6.6. Fraktura kranii

Pada setiap penderita dengan trauma kapitis sebaiknya diperiksa secara rutin dengan foto Roentgen kepala terutama untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak. Penderita dengan trauma kapitis sebaiknya dipalpitasi dengan teliti untuk mengetahui ada tidaknya suatu hematoma karena dibawah hematoma mungkin tersembunyi suatu garis fraktur. Pada fraktur impresi (juga disebut fraktur depresi), bagian yang patah menonjol ke dalam rongga tengkorak.44

Biasanya fraktur kepala berbeda dengan fraktur tulang di tulang panjang. Disini tidak diperlukan fiksasi maupun reposisi-fiksasi karena kedudukan selalu baik, kecuali bila terjadi fraktur impresi pada kalvarium yang harus ditangani agak cepat (sebelum 8 minggu) karena potensial menyebabkan epilepsi pascatrauma. Juga fraktur basis kranii memerlukan perawatan lama karena selalu bersama kontusio serebral yang berat dan kadang-kadang ada likuore (otore:perdarahan pada telinga atau rinore:perdarahan di

(17)

hidung) yang apabila ditunggu 4 minggu tidak menutup secara spontan, memerlukan operasi penutupan kebocoran dura.45

2.6.7. Post-concussion syndrome45

Pada Post-concussion syndrome secara umum terdapat gejala-gejala psikiatrik-neurastenik-hipokhondrik seperti palpitasi, konsentrasi menurun, demensia ringan, mudah tersinggung, gangguan seksual, berkeringat, cepat lelerusakan jaringan otak), psikologik (termasuk premorbid personality) dan sosio-ekonomi (pekerjaan, tingkat pendidikan, lingkungan dan keuangan). Pada umumnya sindrom pascatrauma jarang disebabkan oleh satu faktor saja. Ketiga faktor tersebut dapat berkombinasi sehingga menimbulkan masalah yang kompleks.

2.7. Akibat Jangka Panjang Trauma Kapitis45 2.7.1. Kerusakan Saraf Kranial

a. Anosmia

Kerusakan nervus olfaktoris menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang yang total disebut anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Hiposmia pada umumnya akan sembuh, sedangkan anosmia bilateral sulit diharapkan kesembuhannya setelah periode 2 bulan terlewati. Dalam proses penyembuhan tardapat 2 penyimpangan sensasi bau (parosmia) yaitu berupa bau seperti benda terbakar atau bau-bau lain yang tidak sedap. Setelah beberapa hari, parosmia akan menghilang dan sensai bau akan kembali normal.

Bahaya anosmia adalah bagi mereka yang bekerja di tempat yang harus mengenali bau-bau tertentu. Mereka tidak dapat mencium adanya gas yang bocor atau adanya kebakaran. Penderita tidak dapat menikmati sedapnya bau makanan, maka anosmia akan

(18)

mengurangi kenikmatan hidup. Penderita anosmia juga akan mengalami kesulitan bila bekerja sebagai juru masak, pencampur parfum, peramu tembakau, dan pencicip teh atau kopi. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia

b. Gangguan Penglihatan dan Oftalmoplegi

Gangguan penglihatan bilateral sangat jarang terjadi. Kerusakan nervus optikus adalah akibat trauma di region frontal atau frontotemporal, timbul segera setelah mengalami trauma. Biasanya disertai hematoma (perdarahan) disekitar mata dan proptosis (pergeseran atau penonjolan mata kedepan) akibat adanya perdarahan dan edema (sembab) di dalam orbita (lekuk mata).

Gejala klinik bergantung pada lokasi trauma, umumnya berupa penurunan visus (daya lihat), skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negatif, atau hemianopia bitemporal.

Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya disertai ptosis dan pupil yang midriatik. Meskipun lesi nervus okulomotoris sering berdiri sendiri, nervus troklearis dan nervus abdusens dapat pula menyertainya.

c. Hemiparesis dan Paresis fasialis

Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan menifestasi klinik dari kerusakan daerah pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya yang berkaitan dengan trauma kapitis adalah perdarahan otak (subdural, epidural, intraparenkhimal), empiema subdural, herniasi transtentorial.

Keadaan ini disebabkan oleh edema pada sarafnya sendiri atau edema jaringan di sekitarnya. Sebagian besar paresis fasialis traumatik menyertai fraktur di fosa media yang mengenai os petrosus atau mastoid. Gejala kliniknya berupa gangguan pengecapan pada

(19)

lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut peot atau mencong, kesemuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.

e. Gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula, dan saraf. Dengan demikian adanya trauma yang berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain. Pengobatan biasanya hanya simtomatik, jarang sekali dilakukan tindakan bedah. Proses penyembuhan bergantung pada derajat trauma dan organ yang mengalami kerusakan.

2.7.2. Disfasia

Disfasia adalah kesulitan untuk memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit sistem saraf pusat. Penderita dengan disfasia memerlukan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada obat yang spesifik untuk disfasia kecuali speech theraphy. Kemungkinan kesembuhan disfasia sangat kecil. Meskipun ada perbaikan, hampir semua penderita tidak dapat sembuh sempurna.

2.7.3. Fistula karotiko-kavernosus

Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteria karotis interna dengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh adanya trauma pada dasar tengkorak. Adanya hubungan pendek ini menimbulkan dua akibat penting yaitu hipertensi venosa simultan (khususnya vena-vena didalam orbita dan isinya, menyebabkan gangguan drainase venosa) dan vascular stealing syndrome pada area yang dipasok oleh arteria karotis interna, yang kemudian menimbulkan hipoksia otak. Gejala

(20)

dan tanda klinik Fistula karotiko-kavernosus adalah : bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar oleh penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai hioeremia dan pembengkakan konjungtiva, diplobia (penglihatan kembar) dan penurunan visus (daya lihat), nyeri kepala dan nyeri pada orbita, pulsasi pada mata, dan kelumpuhan otot-otot penggerak mata.

2.8. Kelainan dan Komplikasi Trauma Kapitis 44 2.8.1. Tekanan Intrakranial (TIK) Meninggi

Pada trauma kapitis tekanan intrakranial dapat meninggi pada perdarahan selaput otak (hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma subaraknoidal), perdarahan di dalam jaringan otak (kontusio serebri berat, laserasio serebri, hematoma serebri besar, dan perdarahan ventrikel), dan kelainan pada parenkim otak (edema serebri berat).

Tekanan pada vena jugularis menaikkan TIK yang berlangsung sementara saja. Demikian pula batuk, bersin, mengejan yang mengakibatkan tekanan di dalam sistem vena meningkat. Pada hipoksia terjadi dilatasi arteriol yang meningkatkan volume darah di otak dengan akibat TIK meningkat pula. Pada Trauma kapitis yang dapat meningkatkan TIK adalah hematoma yang besar (lebih dari 50cc), edema yang berat, kongesti yang berat dan perdarahan subarakhnoidal yang mengganggu aliran cairan otak di dalam ruangan subarakhnoidea.

Bila TIK meninggi, mula-mula absorbsi cairan otak meningkat kemudian bagian-bagian sinus venosus di dalam dura meter tertekan. Bila massa desak ruangan berkembang cepat dan melebihi daya kompensasi maka TIK akan meningkat dengan tajam. Arteri-arteri pia-arahnoidea melebar. Bila autoregulasi baik aliran darah akan dipertahankan pada taraf normal, akibatnya volume darah otak bertambah.

(21)

Bila TIK meninggi terus dengan cepat, aliran darah akan menurun dan TIK akan tetap rendah meskipun tekanan darah naik. Bila kenaikannya sangat lambat seperti pada neoplasma jinak otak, kemungkinan TIK tidak meninggi banyak karena selain penyerapan otak yang meningkat, otak akan mengempes dan mengalami artrofi ditempat yang tertekan yang dapat menetralisir volume massa desak ruang yang bertambah. 2.8.2. Komplikasi infeksi pada trauma kapitis

Kemungkinan terjadinya infeksi sekunder pada trauma kapitis meningkat bila durameter robek terutama sekali bila terjadi di daerah basal yang letaknya berdekatan dengan sinus-sinus tulang dan nasofaring. Keadaan ini jug bisa terjadi bila ada fraktur basis kranii.

2.8.3. Lesi akibat trauma kapitis pada tingkat sel

Lesi dapat mengenai semua jenis sel di dalam jaringan otak yaitu neuron dengan dendrit dan aksonnya, astrosit, oligodendrosit, sel ependim maupun sel-sel yang membentuk dinding pembuluh darah. Bila badan sel neuron rusak, maka seluruh dendrit dan aksonnya juga akan rusak. Kerusakan dapat mengenai percabangan dendrit dan sinapsis-sinapsinya, dapat pula mengenai aksonnya saja. Dengan kerusakan ini hubungan antar neuron pun akan terputus. Lesi sekunder juga dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan demikian.

2.8.4. Epilepsi pasca Trauma Kapitis

Pada sebagian penderita trauma kapitis dapat terjadi serangan kejang. Serangan ini dapat timbul dini pada minggu-minggu pertama sesudah trauma, mungkin pula timbul kasip berbulan-bulan sesudahnya. Epilepsi kasip cenderung terjadi pada pasien yang mengalami serangan kejang dini, fraktur impresi dan hematoma akut. Epilepsi juga lebih

(22)

sering terjadi pada trauma yang menembus durameter. Lesi di daerah sekitar sulkus sentralis cenderung menimbulkan epilepsi fokal.

2.8.5. Respirasi pada Trauma Kapitis berat Kelainan Repirasi akut pascatrauma yaitu : a. Perubahan pola pernapasan, yang berupa :

a.1. Pernapasan Cheyne-Stokes yang disertai periode pernapasan berhenti dan bernapas lagi. Setelah beberapa lamanya pernapasan berhenti, mulai bernapas lagi dengan amplitudo yang mula-mula kecil. kemudian berangsur membesar lalu mengecil lagi dan berhenti.

a.2. Trakipnea, frekuensi pernapasan tinggi (> 25 per menit) a.3. Hiperpnea, ampitudo pernapasan besar

a.4. Pernapasan tidak teratur

a.5. Apnea, Pernapasan terhenti. Pada keadaan ini bantuan pernapasan harus cepat dilakukan untuk menolong jiwa pasien

b. Aspirasi

Pada keadaan koma, reflex batuk dapat menurun. Bila pasien muntah, muntahan mungkin terhirup ke dalam trakea dan menimbulkan aspirasi. Isi perut yang masuk ke dalam bronki akan menimbulkan edema, perdarahan, dan bronkospasme. Isi perut yang masuk ke dalam bronki harus diusahakan dihisap keluar melalui trakeostomi. c. Trauma pada alat napas

Trauma pada toraks dapat menimbulkan fraktur iga-iga, dapat terjadi hemotoraks dan pneumotoraks yang semuanya akan mengganggu pernapasan.

(23)

d. Edema pulmonum neurogen

Pada trauma kapitis yang berat dapat terjadi edema pulmonum. Mekanismenya mungkin kontriksi vena pulmonum yang disebabkan aktivitas adrenergik alfa yang berlebihan.

2.9. Pencegahan

Upaya pencegahan trauma kapitis pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu:

2.9.1. Pencegahan Primordial

Pencegahan Primordial ialah pencegahan yang dilakukan kepada orang-orang yang belum terkena faktor risiko yaitu berupa safety facilities : koridor (sidewalk), jembatan penyeberangan (over head bridge), rambu jalanan (traffic signal); dan peraturan (law enforcement).

2.9.2. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yaitu, upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang tejadinya trauma8, seperti : a. Tidak mengemudi di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan.

b. Penggunaan helm, sabuk pengaman (seat belt) c. Pengendalian/ pembatasan kecepatan kendaraan

d. Membuat lingkungan yang lebih aman bagi manula dan anak-anak, seperti : meningkatkan penerangan seluruh rumah, lantai tidak licin, membuat pegangan pada kedua sisi tangga.36, 38

(24)

2.9.3. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya trauma yang terjadi.8 Pada pencegahan sekunder dilakukan diagnosis yang berupa anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan radiologis

a. Anamnesis43

Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya kecelakaan yang dialami pasien. Selain itu perlu dicatat pula tentang kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah atau tidak, adanya kejang. Keliarga pasien ditanyakan apa yang terjadi. b. Pemeriksaan fisik umum

Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital : kesadaran, nadi, tensi darah, frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu tubuh. Tingkat kesadaran dicatat yaitu kompos mentis (kondisi segar bugar), apatis, somnolen (ngantuk), sopor (tidur), soporokomo atau koma.43 Selain itu ditentukan pula Skala Koma Glasgow sebagai berikut :22

Respon Mata ≥1 tahun 0-1 tahun

4 Membuka mata

spontan

Membuka mata spontan 3 Membuka mata oleh

perintah

Membuka mata oleh teriakan 2 Membuka mata oleh

nyeri

Membuka mata oleh nyeri 1 Tidak membuka mata Tidak membuka mata Respon

Motorik

≥1 tahun 0-1 tahun

6 Mengikut perintah Belum dapat dinilai 5 Melokalisasi nyeri Melokalisasi nyeri 4 Menghindari nyeri Menghindari nyeri

3 Fleksi abnormal

(decortisasi)

Fleksi abnormal (decortisasi) 2 Ektensi abnormal Ektensi abnormal (deserebrasi)

(25)

1 Tidak ada respon Tidak ada respon Respon

Verbal

>5tahun 2-5 tahun 0-2 tahun 5 Orientasi baik dan

mampu

berkomunikasi

Menyebutkan kata-kata yang sesuai

Menangis kuat 4 Disorientasi tapi mampu berkomunikasi Menyebutkan kata-kata yang tidak sesuai

Menangis lemah 3 Menyebutkan

kata-kata yang tidak sesuai (kasar, jorok) Menangis dan menjerit Kadang-kadang menangis/ menjerit lemah 2 Mengeluarkan suara Mengeluarkan suara

lemah

Mengeluarkan suara lemah 1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada

respon

Nilai tertinggi dari pemeriksaan Skala Koma Glasgow (SKG) adalah 15 dan terendah adalah 3. Berdasarkan nilai SKG trauma kapitis dapat dibagi atas :26

Kategori SKG Gambaran klinik Skening

Otak Trauma kapitis

ringan

13-15 Pingsan ≤ 10 menit, defisit neurologis (-)

Normal Trauma kapitis

sedang

9-12 Pingsan > 10 menit s/d ≤ 6 jam, defisit neurologis (+)

Abnormal Trauma kapitis berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit

neurologis (+)

Abnormal

Pemeriksaan Skala Koma Glasgow tidak dapat dilakukan bila kedua mata tertutup, misalnya bila kelopak mata membengkak. Rangsangan nyeri untuk menimbulkan respon motorik dilakukan dengan menekan pertengahan sternum dengan kapitulum metakarpal (telapak tangan) pertama jari tengah. Bila ada tetraplegi tentu tes ini tidak akan berguna.43

(26)

c. Pemeriksaan Neurologis43

Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap seperti biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan obyektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningens, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik (nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12, yaitu : nervus I (nervus olfaktoris), nervus II (nervus optikus), nervus III (nervus okulomotoris), nervus IV (troklearis), nervus V (trigeminus), nervus VI (Abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII (oktavus), nervus IX (glosofaringeus) dan nervus X (vagus), nervus XI (spinalis) dan nervus XII (hipoglosus), nervus spinalis (pada otot lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan saraf motorik.

d. pemeriksaan radiologis, yang berupa : d.1. Foto Rontgen polos43

Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepala

(27)

menggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah).

Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.

d.2. Compute Tomografik Scan (CT-Scan)

CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan-potongan melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan jelas.43

Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada penderita trauma kapitis : c.1. SKG < 15 atau terdapat penurunan kesadaran

c.2. Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak c.3. Adanya tanda klinis fraktur basis kranii

c.4. Adanya kejang

c.5. Adanya tanda neurologis fokal c.6. Sakit kepala yang menetap.22

d.3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih jelas.44 Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik dalam menilai cedera sub-akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural hematoma, lebih baik dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan hematoma secara lebih

(28)

akurat karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa posisi, dan lebih baik dalam pencitraan cedera batang otak.

Sedangkan kerugian MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : membutuhkan waktu pemeriksaan lama sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien trauma kapitis berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam penilaian fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan.22

2.9.4. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah terjadi komplikasi trauma kapitis yang lebih berat atau kematian.5 Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan sekaligus konseling yang bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama perilaku berlalu lintas) dan gaya hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian penting dari proses pemulihan penderita trauma kapitis. Tujuan dari rehabilitasi setelah trauma kapitis yaitu untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk melaksanakan fungsinya di dalam keluarga dan di dalam masyarakat.

Contoh dari rehabilitasi yaitu terapi peningkatan kemampuan penderita untuk berjalan dan membantu penderita yang cacat akibat trauma kapitis untuk beradaptasi terhadap lingkungannya dengan cara memodifikasi lingkungan tempat tinggal sehingga penderita dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan mudah. Terapi kejiwaan juga diberikan kepada penderita yang mengalami gangguan psikologis, selain itu dukungan keluarga juga membantu proses penyembuhan psikis penderita.46

Gambar

Gambar 2.1. Lapisan Meningea  2.2.4.   Otak
Gambar 2.2 Otak  a.   Otak besar (cerebrum)
Gambar 2.3 Coup-Counter Coup  2.4.1.   Kerusakan Primer 22

Referensi

Dokumen terkait

Selain tani dan buruh, bekerja sebagai nelayan juga banyak dilakukan terutama oleh penduduk yang tinggal dekat dengan laut.. Penduduk bekerja dengan memanfaatkan keadaan

Promosi dilakukan untuk menggalang dukungan dari para delegasi negara lain sehingga memilih Indonesia menjadi tuan rumah Annual Meeting ICOLD ke 82 tahun 2014 di Bali,

PENERAPAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SD KELAS 2B. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Hubungan Kemampuan Kinestetik Anak dengan Gerak Tari Kreasi Binatang Laut Anak Usia Dini.... Penelitian Terdahulu yang

Dapat disimpulkan hasil penelitian di SMAN 10 Bandung bahwa model pembelajaran problem based learning berpengaruh dengan signifikan terhadap penguasaan gerak

Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah, dan kekuatan serta kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

Sidik ragam analisis jumlah klorofil daun karet (mg/L)

Jadi dalam penelitian ini penulis akan mencari, mengungkap dan membuat laporan data empiris tentang penyelenggaraan administrasi pemerintah kelurahan dan