• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : DEWI HERLINA A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh : DEWI HERLINA A"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KELAYAKAN USAHA

PENDEDERAN DAN PENGGELONDONGAN IKAN KERAPU MACAN DI

BALAI BUDIDAYA LAUT (BBL) PULAU SEMAK DAUN

KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

PROVINSI DKI JAKARTA

Oleh : DEWI HERLINA

A 141 036 66

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(2)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI SAYA DENGAN JUDUL

KAJIAN KELAYAKAN USAHA PENDEDERAN DAN PENGGELONDONGAN

IKAN KERAPU MACAN DI BALAI BUDIDAYA LAUT (BBL) PULAU SEMAK

DAUN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI

JAKARTA, BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM

PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2006

Dewi Herlina A 1 4103666

(3)

RINGKASAN

DEWI HERLINA. Kajian Kelayakan Usaha Pendederan Dan Penggelondongan Ikan Kerapu Macan di Balai Budidaya Laut (BBL) Pulau Semak Daun, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. ( Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI ).

Penurunan produksi ikan kerapu nasional terjadi akibat adanya kelebihan tangkap (over fishing) di beberapa wilayah perairan tangkap di Indonesia. Sementara itu, perairan Kepulauan Seribu memiliki potensi untuk pengembangan ikan kerapu macan dan permintaan sangat tinggi untuk komoditas tersebut, terutama untuk pasar internasional. Kegiatan budidaya ikan kerapu macan di Balai Budidaya Laut (BBL) Pulau Semak Daun merupakan salah satu upaya memenuhi permintaan tersebut. Namun mengingat usaha tersebut masih baru dan statusnya sebagai pilot project yang umumnya tidak bersifat profit oriented, maka analisis kelayakan usaha perlu dilakukan untuk melihat apakah usaha tersebut layak atau tidak secara finansial. Namun demikian, aspek-aspek yang dianalisis dalam penelitian ini tidak hanya aspek finansial, aspek aspek pasar, aspek teknis dan aspek manajemen, yang saling terkait satu sama lain dalam menentukan kelayakan usaha.

Kerangka pemikiran berisi teori-teori yang berkaitan erat dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini dan merupakan acuan untuk menjawab permasalahan tersebut. Adapun teori-teori yang dianggap berkaitan erat dan menjadi solusi untuk permasalahan dalam penelitian ini meliputi; teori analisis proyek, yang mengkaji unsure-unsur kelayakan suatu usaha; teori biaya dan manfaat; proyeksi cash flow; pengukuran kemanfaatan proyek; inflasi; konsep nilai waktu dari uang dan terakhir adalah identifikasi terhadap factor-faktor yang mempengaruhi kelayakan usaha pendederan dan penggelondongan ikan kerapu macan di BBL Pulau Semak Daun.

Penelitian dilakukan di Pulau Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Lokasi penelitian ini ditetapkan dengan sengaja (purposive). Pulau Semak Daun dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa : 1) Usaha budidaya ikan kerapu di Pulau Semak Daun ini merupakan usaha yang masih baru didirikan 2) Status Pulau Semak Daun yang dikategorikan pemerintah kedalam program percontohan (Pilot Programme) dan lokasi percontohan (Pilot Location). Penelitian ke lokasi berlangsung pada Bulan Mei 2006 sampai dengan Bulan Juni 2006.

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung berdasarkan hasil pengamatan di lapang dan wawancara tidak terstruktur yang diajukan kepada enam orang responden, terdiri dari; ketua tim proyek budidaya laut di Kepulauan Seribu dari PKSPL IPB selaku pengelola usaha, pengusaha ikan kerapu macan di Pulau Semak Daun (petani pemilik), pekerja yang terlibat dalam usaha dan staf pada pemerintahan setempat. Data sekunder berasal dari beberapa sumber diantaranya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Suku Dinas Perikanan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan literatur lain yang ada di perpustakaan LSI IPB, perpustakaan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB serta buku-buku referensi yang relevan dengan penelitian ini.

(4)

Analisis deskriptif digunakan untuk dalam menganalisis kelayakan aspek non fianansial (aspek pasar, aspek teknis dan aspek manajemen). Dalam aspek finansial usaha, analisis yang dilakukan meliputi analisis investasi usaha dan analisis pendapatan usaha, dengan menggunakan berbagai kriteria sebagai dasar untuk menentukan kelayakan suatu usaha secara finansial. Adapun krieteria-kriteria yang akan digunakan dalam analisis investasi usaha antara lain; Net Present Value ( NPV), analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh selama umur ekonomis proyek; Net Benefit Cost |Ratio (Net B/C), analisis ini bertujuan untuk mengetahui berapa besarnya penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis proyek; Internal Rate of Return (IRR), yang digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan internal yang diperoleh dari investasi yang ditanamkan; Payback Periods (PP), yang dilakukan untuk melihat waktu pengembalian investasi dengan membandingkan investasi dengan keuntungan selama satu tahun. Selain itu dilakukan analisis pendapatan usaha tani, untuk melihat tingkat cost per unit output dan tingkat keuntungan usaha dalam waktu satu tahun. Untuk mengetahui kepekaan suatu usaha terhadap perubahan yang mungkin terjadi maka digunakan juga analisis switching value dan analisis sensitivitas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha budidaya kerapu macan di BBL Pulau Semak Daun, layak dari segi spek pasar, karena peluang pasara yang dapat dimasuki masih sangat besar dan strategi pemasaran yang digunakan juga sesuai untuk kondisi pasar yang dihadapi. Sedangkan dilihat dari aspek teknis usaha ini juga layak. Kriteria yang digunakan dalam menentukan kelayakan aspek ini antara lain; kriteria kesesuaian lahan dan teknologi budidaya yang digunakan. Dilihat dari faktor kesesuaian lahan, lokasi budidaya ini sangat memenuhi syarat kesesuaian lahan. Sedangkan dilihat dari kelayakan teknik budidaya, maka teknik yang dilakukan di BBL Pulau Semak Daun ini dikatakan layak, hal ini terbukti dengan tinggi tingkat produksi yang ditentukan oleh tingkat kelangsungan hidup (SR) dari benih yang diproduksi. Namun, usaha ini tidak layak secara finansial, hal ini terkait dengan tingkat harga di bawah biaya per unit output yang ditetapkan sebagai harga subsidi bagi petani pembesar. Usaha tersebut akan layak dikembangkan pada tingkat harga minimal sama dengan biaya per unit output atau sama dengan harga pasaran.

Agar BBL Pulau Semak Daun dapat terus melaksanakan kegiatannya dalam mengusahakan benih ikan kerapu macan, maka Pemda Kepulauan Seribu harus tetap mempertahankan subsidi yang ada. Sedangkan bagi calon investor, seluruh aspek usaha pada BBL Pulau Semak Daun dapat diterapkan, kecuali aspek finansial. Agar layak diusahakan maka harga jual yang ditetapkan sebaiknya mengikuti harga pasaran yakni Rp 15.000,00 per ekor benih.

(5)

JUDUL : KAJIAN KELAYAKAN USAHA PENDEDERAN DAN

PENGGELONDONGAN IKAN KERAPU MACAN DI BALAI

BUDIDAYA LAUT (BBL) PULAU SEMAK DAUN, KABUPATEN

ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA

NAMA : DEWI HERLINA

NRP : A 14103666

Mengetahui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP 131415082

Mengetahui

Dekan Fakutas Pertanian

Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, MAgr NIP. 130 422 698

(6)

KAJIAN KELAYAKAN USAHA

BUDIDAYA IKAN KERAPU MACAN PADA KARAMBA JARING

APUNG DI BALAI BUDIDAYA LAUT PULAU SEMAK DAUN

KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU

PROVINSI DKI JAKARTA

Oleh : DEWI HERLINA

A 141 036 66

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Juli 1982 di Baturaja, Sumatera

Selatan. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan

Bapak Jakfar Siregar dan Ibu Asmaboty.

Pendidikan formal yang dilalui penulis antara lain : Sekolah Dasar

Xaverius II Baturaja lulus tahun 1994, SMP Negeri II Baturaja lulus tahun 1997,

SMU Negeri I Baturaja lulus tahun 2000. Tahun 2003 penulis menyelesaikan

pendidikan Diploma III pada Program Studi Manajemen Bisnis Perikanan,

Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan

pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian,

Institut Pertanian Bogor.

Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program

Sarjana Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Kelayakan Usaha

Pendederan dan Penggelondongan Ikan Kerapu Macan di Balai Budidaya Laut

(BBL) Pulau Semak Daun, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

kekuatan dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini juga, Penulis menyampaikan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Ayah, Ibu dan adik-adik, atas doa dan motivasi yang selalu mengalir

memenuhi hari-hari Penulis.

2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, selaku dosen pembimbing yang selalu

memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan skripsi.

3. Ir. Popong Nurhayati, MM, selaku dosen penguji pada sidang hasil penelitian.

4. Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto, MS dan rekan-rekan PKSPL IPB, atas

bantuan dan motivasi yang tak ternilai harganya.

5. Seluruh sahabat Penulis, baik di kampus maupun di kost-an.

Akhir kata Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

memerlukan.

Bogor, Agustus 2006

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Kajian Kelayakan Usaha Pendederan dan Penggelondongan Ikan Kerapu Macan Pada Karamba Jaring Apung di Balai Budidaya Laut (BBL) Pulau Semak Daun, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan bagi Pemerintah Daerah dan calon investor dalam merencanakan pendirian usaha budidaya ikan kerapu macan, baik di Perairan Kepulauan Seribu maupun perairan lainnya. Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penelitian ini, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis, pembaca dan para stake holder sumberdaya perikanan kerapu.

Bogor, Agustus 2006

Penulis

Dewi Herlina

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perikanan Laut di Indonesia ... 8

2.2. Gambaran Peluang Usaha Budidaya Ikan Kerapu di Indonesia... 9

2.3. Perkembangan Budidaya Ikan Kerapu Sistem KJA ... 13

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 17

3.1. Analisis Proyek ... 17

3.1.1. Kelayakan Aspek Pasar ... 19

3.1.2. Kelayakan Aspek Teknis ... 19

3.1.3. Kelayakan Aspek Manajemen ... 21

3.1.4. Kelayakan Aspek Finansial ... 22

3.2. Teori Biaya dan Manfaat ... 24

3.3. Proyeksi Cash Flow ... 25

3.4. Pengukuran Kemanfaatan Proyek ... 26

3.5. Inflasi ... 28

3.6. Konsep Nilai Waktu dari Uang ... 29

3.7. Aspek-aspek yang Mempengaruhi Kelayakan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan ... 31

IV. METODE PENELITIAN ... 35

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 35

4.2. Jenis dan Sumber Data... 35

4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 37

4.3.1. Analisis Kelayakan Aspek Pasar...37

4.3.2. Analisis Kelayakan Aspek Teknis...38

4.3.3. Analisis Kelayakan Aspek Manajemen...39

4.3.4. Analisis Kelayakan Aspek Finansial...40

4.3.4.1. Analisis Investasi Usaha...40

4.3.4.2. Analisis Pendapatan Usahatani...42

4.3.5. Analisis Switching Value... 4.3.6. Analisis Sensitivitas...44

4.3.7. Penarikan Kesimpulan...44

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 46

5.1. Lokasi dan Kondisi Wilayah ... 46

5.2. Gambaran Usaha ... 47

(11)

VI. ANALISIS KELAYAKAN USAHA ... 51

6.1. Analisis Aspek Pasar ... 51

6.1.1. Potensi Permintaan dan Penawaran pasar ... 51

6.1.2. Strategi Pemasaran ... 54

6.1.3. Keputusan Kelayakan Berdasarkan Aspek Pasar... 55

6.2. Analisis Aspek teknis ... 56

6.2.1. Lokasi Usaha... 56

6.2.2. Teknik Budidaya ... 57

6.2.2.1. Teknik Budidaya di BBL ... 57

6.2.2.2. Teknik Budidaya Ikan Kerapu Macan Pada Usaha Milik Petani Anggota Kelompok ... 62

6.2.3. Keputusan Kelayakan Usaha BBL Pulau Semak Daun Berdasarkan Aspek Teknis ... 63

6.3. Analisis Aspek Manajemen ... 64

6.3.1. Bentuk Usaha dan Struktur Organisasi ... 65

6.3.2. Komposisi Tenaga Kerja dan Deskripsi Pekerjaan ... 66

6.3.3. Kebutuhan Gaji dan Upah Tenaga Kerja... 67

6.3.4. Keputusan Kelayakan Berdasarkan Aspek Manajemen ... 67

6.4. Analisis Aspek Finansial ... 68

6.4.1. Identifikasi Biaya dan Manfaat ... 68

6.4.1.1. Biaya... 68

6.4.1.2. Manfaat... 71

6.4.2. Proyeksi Cash Flow ... 72

6.4.2.1. Komponen-komponen Initial Cash Flow ... 72

6.4.2.2. Komponen-komponen Operational Cash Flow ... 73

6.4.2.3. Komponen-komponen Terminal Cash Flow ... 73

6.4.3. Kriteria Kelayakan Usaha ... 73

6.4.3.1. Asumsi-Asumsi yang Digunakan dalam Analisis Finansial...74

6.4.3.2. Analisis Kelayakan Investasi Usaha………75

6.4.3.3. Analisis Pendapatan Usaha ……….76

6.4.4. Analisis Switching Value...77

6.4.5. Analisis Sensitivitas...77

6.4.6. Keputusan Kelayakan Berdasarkan Aspek Finansial ... 79

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan... 81

7.2. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Matriks Kesesuian untuk Cage Culture (Karamba Jaring Apung)……....39

2. Perkembangan Ekspor Nasional Ikan Kerapu 1997-2004...52

3. Jumlah Produksi Ikan Kerapu di Perairan Kepulauan Seribu...52

4. Jumlah Benih Ikan Kerapu Macan pada BBL Pulau Semak Daun...58

5. Jenis dan Proyeksi Jumlah Penggunaan Pakan Ikan Kerapu

Macan di BBL Pulau Semak Daun...60

6. Investasi Usaha Ikan Kerapu Macan di BBL Pulau Semak Daun…...68

7. Komponen Biaya Variabel Usaha budidaya Ikan Kerapu Macan

di BBL Pulau Semak Daun………...70

8. Komponen Biaya Variabel Usaha Pembesaran Ikan Kerapu

Macan...71

9. Nilai Kiteria Investasi Pada Harga Jual Subsidi dan Harga

Normal...76

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelayakan Usaha

Budidaya Ikan Kerapu Macan………34

2. Metode Analisis Data………...45

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Penyusutan Investasi Usaha Budidaya Kerapu Macan di BBL

Pulau Semak Daun………..……….….83

2. Analisis Usaha Budidaya Kerapu Macan di BBL Pulau Semak Daun dengan Harga Jual Subsidi (Rp 10.000 per ekor)……….………...84

3. Analisis Usaha Budidaya Kerapu Macan di BBL Pulau Semak Daun dengan Harga Jual Normal (Rp 15.000 per ekor)………..………...85

4. Taksiran Rugi Laba Usaha Pembesaran Ikan Kerapu Milik Petani

Kelompok dengan Benih dari BBL……….…....86

5. Taksiran Rugi Laba Usaha Pembesaran Ikan Kerapu Milik Petani

Kelompok dengan Benih dari Luar BBL………...87

6. Cash Flow Usaha Budidaya Kerapu Macan di BBL

(dengan Harga Jual Subsidi)……….….88

7. Cash Flow Usaha Budidaya Kerapu Macan di BBL

(dengan Asumsi Harga Jual Normal)……….…90

8. Analisis Sensitivitas dengan Asumsi Terjadi Penurunan Tingkat

Kelangsungan Hidup (SR) Kerapu Macan Menjadi 65%...91

9. Analisis Sensitivitas dengan Asumsi Terjadi Peningkatan Biaya

Variabel Sebesar 10%...93

10. Analisis Switching Value (60.807%) dengan Asumsi Terjadi

Penurunan Tingkat SR Kerapu Macan (Harga Rp 15.000,-)………...95

11. Analisis Switching Value (9.9602%) dengan Asumsi Terjadi

(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan suatu potensi yang dapat

memberikan manfaat ekonomi yang tinggi kepada masyarakat. Dewasa ini

sumberdaya perikanan dan kelautan dijadikan sebagai salah satu sektor

tumpuan dalam upaya memulihkan kondisi ekonomi bangsa yang sedang dalam

krisis. Beberapa alasan yang memungkinkan sektor ini dapat membangkitkan

perekonomian antara lain; pertama Indonesia merupakan negara maritim dengan

perairan laut yang luas dan potensi sumberdaya hayati yang melimpah.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sari (2006), bahwa wilayah perairan laut

Indonesia yang luasnya sekitar 5,8 juta km2 dengan lebih dari 17.508 pulau serta

garis pantai sejauh 81.000 km ini, memiliki pantai berkarang yang menyimpan

beragam flora dan fauna sekitar 3.124.747 ha.

Alasan kedua bahwa sumberdaya yang dimiliki beraneka ragam dan besar,

namun belum dimanfaatkan secara optimal. Menurut Subiyanto (2003), dari

keseluruhan perairan pantai berkarang yang sudah tergarap baru sekitar satu %.

Alasan ketiga bahwa adanya pertambahan penduduk menyebabkan peningkatan

permintaan terhadap barang dan jasa, sedangkan potensi sumberdaya alam

daratan cenderung makin menurun, sehingga permintaan akan berkembang ke

barang dan jasa kelautan, selain itu terjadi juga perubahan pola makan

masyarakat ke arah jenis hidangan laut. Alasan keempat bahwa peningkatan

pengetahuan dan penguasaan teknologi dibidang perikanan dan kelautan dapat

mendorong pengoptimalan pemanfaatan sektor ini.

Salah satu sumberdaya perikanan yang telah dimanfaatkan dalam jumlah

besar adalah komoditas perikanan karang, seperti ikan kerapu. Ikan kerapu

(16)

2

besarnya terdapat di pulau-pulau kecil. Menurut Departemen Kelautan dan

Perikanan (2000) dalam Subiyanto (2003), pada tahun 1997, kawasan ini

memasok sekitar 90% dari total produksi ikan kerapu dunia. Indonesia

merupakan produsen terbesar dunia urutan kedua dengan pertumbuhan produksi

14,7% per tahun. Produksi ikan kerapu di Indonesia sebagian besar berasal dari

kegiatan penangkapan di laut. Posisi produksi ikan kerapu budidaya terhadap

penangkapan dilaporkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (2002) bahwa dari

sekitar 58.905 ton produksi ikan kerapu di Indonesia pada tahun 2001, hanya

sekitar 7.500 ton (sekitar 13%) yang berasal dari budidaya.

Perdagangan ikan kerapu di Indonesia berkembang dengan cepat pada

pertengahan tahun 1990-an dengan jumlah ekspor sebesar 300 ton pada tahun

1989 menjadi 3.800 ton pada tahun 1995. Besarnya tingkat pemanfaatan

sumberdaya ikan karang terutama ikan kerapu disebabkan adanya permintaan

pasar luar negeri terhadap ikan karang hidup konsumsi yang juga dikenal dengan

sebutan Live Reef Fish for Food (LRFF). Adapun negara-negara tujuan ekspor

untuk ikan kerapu di Indonesia meliputi Hongkong, Taiwan, Singapura, Cina dan

Jepang. Hongkong merupakan pengimpor utama ikan karang hidup untuk

konsumsi dari Indonesia. Permintaan untuk ikan kerapu di Hongkong meningkat

tajam dari tahun 1960-an. Diketahui pada tahun 2000, dari total kebutuhan impor

ikan kerapu hidup di Hongkong sebesar 14.000 ton, Indonesia mampu memasok

sebanyak 9,39% atau sekitar 1.314,6 ton (Subiyanto, 2003). Besarnya peluang

ekspor ini disadari oleh pemerintah khususnya Departemen Kelautan dan

Perikanan, hingga akhirnya pemerintah membuat kebijakan memasukkan kerapu

sebagai salah satu dari empat komoditas unggulan nasional disamping udang,

tuna dan rumput laut. Selain dari luar negeri, permintaan ikan kerapu untuk

(17)

3

merupakan penyebab ikan kerapu sangat digemari oleh sejumlah kalangan atas

di Indonesia.

Salah satu wilayah yang memilki kontribusi dalam produksi ikan kerapu

nasional adalah perairan Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu merupakan suatu

wilayah khas yang terletak di wilayah Teluk Jakarta dengan berbagai potensi

perikanan yang cukup beragam antara lain ikan konsumsi, ikan hias, terumbu

karang (coral reef), rumput laut, serta mangrove. Ikan konsumsi yang paling

banyak atau paling disukai untuk ditangkap oleh nelayan di perairan Kepulauan

Seribu adalah ikan karang jenis ikan kerapu (famili Serranidae), salah satunya

ikan kerapu macan. Menurut Sari (2006), rata-rata jumlah produksi ikan kerapu

di Perairan Kepulauan Seribu sejak tahun 1994 sampai dengan 2004 adalah

sebesar 50,50 ton per tahun yang berasal dari kegiatan penangkapan, dan pada

tahun 2004 dicapai angka 90,54 ton, namun ada kecenderungan menurun.

Kecenderungan penurunan produksi ikan kerapu hasil tangkapan diduga terjadi

akibat adanya kelebihan tangkap (over fishing). Hal ini menjadi dasar pemikiran

bahwa alternatif produksi harus dialihkan pada usaha budidaya.

Peluang usaha budidaya ikan kerapu di Kepulauan Seribu cukup besar

karena pulau ini memiliki potensi sumber hayati dan pantai berkarang yang luas,

dimana pantai seperti ini merupakan habitat paling baik bagi ikan kerapu.

Berdasarkan penelitian Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB

(2002), potensi budidaya ikan kerapu di Kepulauan Seribu yaitu 359,49 ha yang

terdapat di Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan, Kelurahan Pulau

Tidung, Kelurahan Pulau Pari dan Kelurahan Pulau Panggang yang di dalamnya

terdapat Pulau Semak Daun, tempat penelitian ini dilakukan. Hal yang sama

juga disampaikan oleh Soebagio (2004), dari penelitiannya diketahui bahwa

(18)

4

karang, salah satunya adalah ikan kerapu macan terutama dengan sistem

Karamba Jaring Apung (KJA).

Kesadaran akan besarnya potensi alam Pulau Semak Daun, merupakan

alasan utama pemerintah setempat khususnya Suku Dinas (Sudin) Perikanan

dan Kelautan Daerah Administrasi Kepulauan Seribu, untuk mulai melibatkan

masyarakat setempat dalam memanfaatkan lahan yang ada. Pemanfaatan lahan

ini diharapkan dapat menjadi alternatif mata pencaharian masyarakat Kepulauan

Seribu yang notabene adalah nelayan dan dianggap memiliki pengetahuan serta

pengalaman mengenai cara budidaya ikan laut termasuk ikan kerapu macan.

Pada akhir tahun 2004, Sudin Perikanan dan Kelautan Daerah Administrasi

Kepulauan Seribu yang bekerjasama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir

dan Lautan (PKSPL-IPB), suatu Lembaga Penelitian dan Pengembangan

Masyarakat (LPPM) di Institut Pertanian Bogor, mulai mendirikan sebuah Balai

Budidaya Laut (BBL) di Pulau Semak Daun. BBL tesebut mulai beroperasi pada

awal tahun 2006 dan mengusahakan benih ikan kerapu macan dengan sistem

KJA. Keberadaan balai ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan usaha

budidaya kerapu khususnya kerapu macan di wilayah Kepulauan Seribu.

Umumnya sebuah kegiatan Pilot Project, BBL ini membutuhkan biaya yang

tinggi untuk penggunaan teknologi budidaya, namun dalam usahanya tidak

bertujuan komersil. BBL ini memiliki misi untuk membantu petani pembesaran

ikan kerapu macan di daerah setempat, dengan cara menyediakan benih

bermutu dengan harga yang terkangkau. Harga benih yang ditetapkan oleh BBL

lebih rendah daripada harga di pasaran. Dengan kondisi usaha seperti ini, maka

perlu dilakukan analisis kelayakan usaha untuk melihat apakah usaha budidaya

kerapu macan di BBL Pulau Semak Daun ini layak dan dapat berkembang,

bahkan dapat direplikasi dalam bentuk usaha komersial. Dalam penelitian ini,

(19)

5

finansial yang meliputi; aspek pasar, aspek teknis dan aspek manajemen, yang

saling terkait satu sama lain dalam menentukan keberhasilan usaha.

1.2. Perumusan Masalah

BBL di Pulau Semak Daun, didirikan akhir tahun 2004 dan mulai beroperasi

pada awal tahun 2006. Dengan demikian usaha ini termasuk usaha yang masih

relatif baru. Umumnya suatu Pilot Project, BBL ini membutuhkan biaya yang

relatif tinggi dalam kegiatannya. Biaya yang tinggi dikeluarkan untuk menerapkan

teknologi budidaya yang ideal dalam rangka menyediakan benih yang berkualitas

tinggi bagi petani pembesar. Namun, BBL Pulau Semak Daun ini tidak bertujuan

mencari keuntungan, sehingga benih yang dijual harganya sangat terjangkau

bagi petani pembesaran kerapu. Harga jual yang ditetapkan oleh BBL ini lebih

rendah dari harga pasaran. Harga ini merupakan bentuk subsidi yang diberikan

oleh pemerintah setempat kepada petani pembesaran ikan kerapu macan yang

ada di sekitar Kepulauan Seribu khususnya petani anggota kelompok.

Berdasarkan gambaran kondisi usaha di atas, maka perlu dilakukan

analisis kelayakan usaha untuk mengetahui apakah BBL Pulau Semak Daun ini

layak atau tidak jika dilihat dari aspek finansial, aspek pasar, aspek teknis, dan

aspek manajemen. Hal ini penting mengingat status BBL sebagai balai

percontohan bagi petani ikan yang ingin mereplikasi usaha ini kedalam bentuk

usaha komersil.

Aspek finansial menjadi aspek yang paling penting dalam penelitian ini

karena seperti yang diungkapkan di atas, BBL menetapkan harga jual yang jauh

dibawah harga pasaran. Dengan kondisi tersebut, maka perlu dianalisis apakah

usaha kerapu macan di BBL ini masih layak secara finansial. Selanjutnya analisis

terhadap aspek pasar, aspek teknis dan aspek manajemen juga penting

(20)

6

keberhasilan usaha sangat ditentukan oleh keberhasilan memasarkan produk

yang dihasilkan. Apalagi usaha kerapu macan pada BBL Pulau Semak Daun ini

masih relatif baru, sehingga perlu diketahui apakah aspek pasar pada BBL ini

sudah layak untuk tujuan pengembangan kedepan?. Dalam analisis aspek pasar

perlu diketahui tingkat permintaan dan penawaran ikan kerapu macan di

pasaran, sehingga diketahui berapa besar peluang pasar yang dapat diraih?

Selain itu fasilitas-fasilitas apa saja yang menunjang kegiatan pemasaran kerapu

macan?. Bagaimana strategi bauran pemasaran yang dapat diterapkan di BBL

Pulau Semak Daun?

Kelayakan dalam aspek teknis juga sangat penting karena, jika aspek ini

tidak layak maka sudah dapat dipastikan bahwa keseluruhan kegiatan usaha

tidak akan berhasil. Dalam penelitian ini permasalahan teknis yang diidentifikasi

terdapat pada usaha kerapu macan di BBL meliputi masalah pemilihan lokasi

usaha dan teknologi budidaya yang digunakan. Dalam penentuan lokasi usaha

perlu diperhatikan apakah lokasi tersebut mendukung dari segi kondisi alamnya

dan ketersediaan input yang digunakan dalam usaha?. Begitu juga dengan

teknologi budidaya yang digunakan saat ini apakah sudah berhasil bila dilihat

dari tingkat volume produksi yang dapat dicapai?

Aspek lain yang penting untuk dianalisis kelayakannya adalah aspek

manajemen, sebab kelayakan aspek pasar dan aspek teknis tidak akan berguna

jika tidak dapat dikelola dengan baik. Dalam penelitian ini, analisis terhadap

aspek manajemen dikaitkan dengan status BBL sebagai Pilot Project yang

melibatkan dua institusi yang bertindak sebagai pendana dan pengelola dalam

kegiatan usaha. Identifikasi masalah dilakukan untuk mengetahui apakah

terdapat masalah manajemen dalam BBL tersebut, untuk selanjutnya dianalisis

apakah aspek manajemen usaha pembenihan dan penggelodongan benih ikan

(21)

7

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis kelayakan usaha budidaya kerapu

macan di BBL Pulau Semak Daun, ditinjau dari aspek finansial, aspek pasar,

aspek teknis, dan aspek manajemen.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :

1. Pemerintah Daerah Administrasi Kepulauan Seribu khususnya Suku Dinas

Perikanan dan Kelautan Administrasi Kepulauan Seribu, sebagai bahan

pertimbangan dalam rencana mereplikasi usaha budidaya kerapu macan di

pulau-pulau lainnya di wilayah Kepulauan Seribu.

2. Calon investor/pengusaha, sebagai informasi dan pertimbangan sebelum

menanamkan modal pada usaha budidaya ikan kerapu macan.

3. Peneliti kelayakan usaha berikutnya, khususnya mengenai budidaya ikan

(22)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perikanan Laut di Indonesia

Perikanan adalah kegiatan ekonomi dalam memanfaatkan sumberdaya

ikan. Menurut Sari (2006), secara garis besar perikanan terdiri atas perikanan

tangkap dan perikanan budidaya, baik darat maupun laut. Perikanan tangkap

adalah kegiatan ekonomi yang melakukan penangkapan terhadap hewan air dan

tumbuhan air. Sedangkan perikanan budidaya adalah kegiatan ekonomi yang

melibatkan manusia dalam membudidayakan hewan dan tumbuhan air.

Kemudian sesuai dengan Undang-Undang Perikanan no 9 tahun 1995, yang

disebut sumberdaya ikan adalah semua jenis biota yang hidup di air, mulai dari

ikan samapai rumput laut. Sumberdaya perikanan yang terdapat di perairan

Indonesia ada beribu jenis dan jika dikelompokkan berdasarkan habitat dan

sifatnya maka terdiri atas: 1) sumberdaya ikan demersal (hidup di dasar

perairan); 2) sumberdaya ikan pelagis kecil (hidup di permukaan perairan); 3)

sumberdaya ikan pelagis besar; 4) sumberdaya ikan lainnya, seperti mollusca

dan crustacea.

Sumberdaya perikanan di Indonesia menyebar di seluruh perairan

Indonesia dan seakan terbagi menjadi dua wilayah perairan. Pertama di bagian

Indonesia Barat, meliputi perairan: Selat Malaka, Timur Sumatera, Laut Jawa,

Laut Cina Selatan dan Timur Kalimantan. Kedua, bagian Indonesia Timur yang

meliputi perairan: Sulawesi, Irian, Maluku, Nusa Tenggara dan Laut Banda.

Perairan Indonesia bagian barat ditandai dengan perairan yang subur, dangkal

dengan sumberdaya ikan yang dominan adalah ikan demersal dan pelagis kecil,

sedangkan pelagis besar hanya di Barat Sumatera, Selatan Jawa dan Selat

Makassar. Di bagian Indonesia Timur, disamping ikan pelagis kecil dan

(23)

9

yang sangat besar di bagian Indonesia Barat telah mengakibatkan eksploitasi

terhadap sumberdaya perikanan yang sangat besar di indonesia Barat jika

dibandingkan di Indonesia Timur. Beberapa perairan yang telah mengalami over

eksploitasi seperti Utara Jawa, Selat Malaka dan Selat Bali. Sedangkan perairan

Indonesia Timur yang kaya sumberdaya ikan, masih sangat rendah tingkat

eksploitasinya, kecuali terhadap sumberdaya udang di Laut Arafura dan Teritorial

Irian Jaya (Sari, 2006).

2.2. Gambaran Peluang Usaha Budidaya Ikan Kerapu di Indonesia

Budidaya laut merupakan wujud dari campur tangan manusia dalam

membudidayakan suatu organisme. Seperti yang diungkapkan oleh Soebagio

(2004), budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan

organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka

mendapatkan keuntungan. Budidaya laut merupakan bagian dari kegiatan

budidaya perikanan (akuakultur), sebagai suatu bentuk intervensi manusia dalam

proses produksi organisme akuatik untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan

sosial.

Ada terdapat beberapa macam sistem budidaya laut antara lain; sistem

Pen Culture (sistem kandang), Cage Culture (Karamba Jaring Apung) dan sistem longline (tali panjang). Terdapat dua sistem yang paling sering diterapkan oleh petani ikan di Indonesia yakni; sistem Pen Culture dan Cage Culture. Pen Culutre

merupakan metode budidaya yang membatasi areal di laut dengan luasan

tertentu dengan menggunakan kurungan tancap atau kurungan pagar. Selain

pada pembudidayaan ikan laut, kedua sistem ini juga dapat diterapkan untuk

pembudidayaan ikan air tawar dan air payau. Dibandingkan pada penerapannya

dalam budidaya air tawar dan air payau, keberhasilan kedua sistem ini dalam

(24)

10

Beberapa komoditas laut yang selama ini sudah dapat dibudidayakan di

Indonesia antara lain teripang, rumput laut, kerang, beberapa jenis ikan karang

seperti ikan kerapu serta beberapa dari golongan krustasea seperti udang dan

lobster. Pembudidayaan teripang selama ini hanya dilakukan pada perairan

pantai yang merupakan tempat habitat asalnya saja. Pembudidayaan teripang

diluar habitat asalnya masih dianggap riskan, karena selama ini diketahui bahwa

produktivitas teripang masih sangat tergantung pada alam. Di Indonesia, baru

sedikit daerah yang berhasil membudidayakan teripang, salah satu wilayah yang

cukup berhasil dalam pembudidayaan teripang adalah Desa Pasipadangan dan

Desa Bangko, Kabupaten Muna. Di daerah ini, teripang dibudidayakan pada

periran pantai di kawasan pasang surut. Dari gambaran diatas diketahui bahwa

kendala yang dihadapi dalam pengembangan usaha budidaya teripang adalah

sulitnya memperluas lokasi budidaya karena sifat komoditas yang masih sangat

tergantung pada habitat asalnya.

Selanjutnya untuk budidaya rumput laut agak lebih mudah bila

dibandingkan dengan teripang karena dapat dilakukan pada habiat yang bukan

habitat asalnya. Selama ini budidaya rumput laut berhasil dilakukan pada daerah

pasang surut dengan dasar perairan berupa substrat karang. Di Indonesia,

daerah-daerah yang menjadi basis budidaya rumput laut antara lain; Kabupaten

Dompu (NTB), Kabupaten Bantaeng (Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Muna

(Sulawesi Tenggara). Saat ini usaha budidaya rumput laut dapat dikatakan

berprospek cerah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bappenas (2005),

bahwa permintaan terhadap rumput laut dari berbagai industri pengolahan

semakin meningkat dari waktu ke waktu, sementara lokasi untuk

pembudidayaannya bisa diupayakan. Namun demikian usaha ini memilki

kendala teknis yaitu jika hanya diusahakan pada lahan yang tidak terlalu luas

(25)

11

Selanjutnya mengenai budidaya komoditas kerang, terdapat beberapa

jenis kerang yang berhasil dibudidayakan di perairan Indonesia, antara lain; tiram

mutiara, kerang hijau, kerang dara dan abalon. Kerang merupakan salah satu

komoditas laut yang juga memilki prospek cerah untuk dibudidayakan di

Indonesia, karena keluarga kerang merupakan sumberdaya hayati yang banyak

tersedia di perairan Indonesia (Bappenas, 2005). Kelebihan dari usaha budidaya

kerang ini ialah dalam proses budidayanya tidak memerlukan pakan dan bersifat

sangat ramah lingkungan. Namun untuk budidaya jenis kerang tertentu

diperlukan penguasaan teknologi yang spesifik, misalnya jenis kerang mutiara.

Di Indonesia, daerah yang berhasil dan menjadi pusat budidaya kerang adalah

Desa Bottot Kabupaten Tapanuli Tengah dan beberapa daerah di Nusa

Tenggara Barat (NTB). Penelitian mengenai budidaya kerang mutiara dilakukan

oleh Purnama (1997) yang merupakan hasil studi kasus pada PT. Bima Sakti

Mutiara, Bima-NTB. Hasil penelitian Purnama menunjukkan bahwa usaha yang

dilakukan oleh perusahaan tersebut cukup berhasil dan layak untuk

dikembangkan. Gambaran mengenai usaha budidaya kerang di atas

menunjukkan bahwa sampai saat ini budidaya kerang baru bisa diusahakan

pada skala besar dan dengan teknologi tinggi.

Selanjutnya mengenai budidaya ikan karang khususnya ikan kerapu.

Jenis ikan kerapu yang ada di perairan Indonesia diklasifikasikan dalam 7 genus

yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopholis, Chromileptes, Ephinephelus,

Plectropomus, dan Variola. Dari ketujuh genus tersebut umumnya hanya genus Chromileptes, Plectropomus dan Ephinephelus yang termasuk komersial terutama untuk pasaran internasional, seperti ikan kerapu bebek (Cheilinus

undulatus), ikan kerapu sunu (genus Plectropomus), ikan kerapu lumpur dan ikan kerapu macan (genus Ephinephelus). Di Indonesia, produksi ikan kerapu

(26)

12

tinggi. Harga jual ikan kerapu dalam kondisi hidup jauh lebih tinggi dari pada ikan

dalam keadaan mati (segar). Harga ikan kerapu bebek hidup ditingkat produsen

atau pembudidaya jaring apung mencapai Rp 350.000 per kilogram, dan kerapu

macan Rp 90.000 per kilogram. Rendahnya produksi ikan kerapu disebabkan

masih sangat tergantungnya pada kegiatan penangkapan yang hanya bisa

menggunakan alat tangkap berupa kail (hand line dan long line). Sebagaimana

diketahui, jenis alat tangkap ini hanya bisa menangkap ikan secara satu per satu,

sehingga produksinya menjadi sangat terbatas. Tidak seperti ikan permukaan

misalnya kembung, cakalang, sardin dan sebagainya yang hidupnya

bergerombol, sehingga mudah ditangkap dengan jaring dalam jumlah besar.

Selain itu penangkapan dengan alat kail hanya dapat menghasilkan ikan dalam

keadaan mati (segar) bukan ikan dalam keadaan hidup.

Sementara itu pada dasarnya, kegiatan pembudidayaan ikan kerapu

memiliki peluang keberhasilan yang relatif tinggi. Sebagaimana yang

diungkapkan Nugroho, dkk (1989), bahwa usaha kerapu relatif lebih mudah dari

pada budidaya udang tambak, sehingga dari segi kemampuan dan keterampilan

SDM umumnya tidak jadi masalah. Sedangkan diantara jenis ikan kerapu yang

ada, ikan kerapu macan merupakan ikan yang paling mudah dibudidayakan.

Namun demikian, syarat teknis yang menjadi penentu keberhasilan usaha

budidaya kerapu harus terpenuhi, misalnya harus tersedia benih secara

kontinyu. Bagi petani pembesaran kerapu, masalah ini merupakan masalah

yang paling sering dihadapi. Benih kerapu biasa di peroleh petani dari kegiatan

penangkapan di alam, dan ada juga yang dari hatchery. Namun mengingat jenis

ikan kerapu yang dapat dibudidayakan secara massal masih sangat terbatas,

maka selama ini petani masih sangat tergantung pada hasil tangkapan di alam.

Penelitian mengenai interaksi optimal perikanan tangkap dan budidaya

(27)

13

perikanan kerapu di Perairan Kepulauan Seribu. Dari penelitian ini diketahui

bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan kerapu hasil tangkapan di perairan

Kepulauan Seribu telah melebihi tingkat pemanfaatan optimal yang disarankan.

Produksi penangkapan dan produksi budidaya ikan kerapu pada interaksi

optimal penangkapan dan budidaya adalah 32.798 kilogram/tahun untuk

penangkapan dan 28.348 kilogram/tahun untuk budidaya. Dari penelitian ini juga

dapat diketahui bahwa adanya kegiatan alih profesi dari nelayan menjadi

pembudidaya menyebabkan peningkatan Net Present Value (NPV).

Berdasarkan gambaran usaha budidaya laut diatas dapat disimpulkan

bahwa hampir seluruh usaha budidaya laut yang sudah ada saat ini terutama

budidaya ikan kerapu macan memilki peluang yang besar untuk dikembangkan,

asal saja kendala teknis yang umumnya merupakan permasalahan utama usaha,

dapat diatasi. Oleh sebab itu, sebelum memulai suatu usaha budidaya laut,

analisis kelayakan usaha perlu dilakukan terutama kelayakan teknis usaha

tersebut.

2.3. Perkembangan Budidaya Ikan Kerapu Sistem KJA

Budidaya jenis ikan laut umumnya menggunakan sistem budidaya KJA

(Cage Culture), walaupun ada juga yang menggunakan sistem jaring tancap

(Pen Culture). Penggunaan KJA sudah dimulai sejak tahun 1954 di Jepang,

kemudian menyebar sampai ke Malaysia pada tahun 1973 dan pada saat itu

mulai dibudidayakan ikan kerapu jenis E.salmoides. Di Indonesia teknik KJA

sudah dimulai sejak tahun 1976 di Daerah Kepulauan Riau dan sekitarnya,

sedangkan di Teluk Banten teknik KJA dimulai pada tahun 1979.

Pembesaran ikan dengan metode KJA adalah salah satu di antara sistem

akuakultur yang paling produktif dan sudah diterapkan baik di negara-negara

(28)

14

sistem KJA bila dibandingkan dengan sistem budidaya lainnya adalah bahwa

dengan KJA ikan dapat dipelihara dengan kepadatan tinggi tanpa khawatir akan

kekurangan oksigen.

Agar usaha budidaya ikan kerapu dengan KJA dapat berjalan dengan baik,

maka lokasi KJA ditempatkan harus benar-benar layak. Beberapa faktor yang

harus diperhatikan dalam penentuan lokasi KJA antara lain; gangguan alam,

gangguan pencemaran, gangguan predator, gangguan lalu lintas kapal dan

kondisi hidrografi. Konstruksi KJA terdiri atas komponen; rakit apung, kurungan,

pelampung dan jangkar.

Pada awal perkembangan usaha budidaya ikan kerapu dengan KJA, benih

ikan kerapu yang akan dibudidayakan berasal dari alam. Hal ini terjadi karena

pada saat itu teknologi penyediaan benih secara modern dengan teknologi

rekayasa belum berhasil dikembangkan, sehingga para nelayan yang ingin

memenuhi trend pasar, mencari alternatif dengan cara memperoleh benih dari

alam. Namun beberapa tahun terakhir, pengadaan benih ikan kerapu secara

modern telah berhasil dikembangkan. Menurut Bappenas (2005), berkat

kontribusi pakar perikanan dalam negeri, pengadaan benih beberapa jenis ikan

kerapu secara modern telah berhasil dikembangkan. Adapun jenis ikan kerapu

tersebut antara lain; ikan kerapu lumpur, ikan kerapu sunu, ikan kerapu macan

dan ikan kerapu napoleon.

Keberhasilan pengembangan dan sosialisasi teknologi budidaya ikan

kerapu oleh pemerintah, menyebabkan peningkatan jumlah pengusaha yang

masuk dalam bisnis budidaya kerapu, baik pada kegiatan pembenihan maupun

pembesaran. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya luas areal budidaya

pembesaran kerapu dengan karamba jaring apung (KJA) dari 15 hektar tahun

1994 menjadi 51 hektar tahun 2000, atau naik dengan rata-rata 53% per tahun

(29)

15

meningkat dari sekitar 30 ribu ton menjadi 60 ribu ton, atau naik rata-rata 35%

per tahun. Kenaikan paling pesat terjadi di kawasan Lampung, yaitu dari satu

pengusaha yang mengelola 8 unit KJA tahun 1999 menjadi 36 pembudidaya

yang secara keseluruhan mengelola 267 unit KJA tahun 2002 (Sunaryanto dkk,

2001).

Di Indonesia, terdapat beberapa daerah lainnya yang sudah berhasil

mengembangkan budidaya kerapu, terutama dengan sistem KJA antara lain di

daerah Kabupaten Muna, Bali, Kepulauan Riau dan Bangka. Untuk budidaya

pembenihan kerapu, kenaikan paling signifikan terjadi di kawasan Bali

khususnya di daerah Gondol. Pada tahun 1997, hanya satu orang petani yang

mencoba menjadi pembenih skala rumah tangga dengan produksi sekitar 8500

ekor per tahun, dan pada tahun 2001, jumlahnya meningkat menjadi sekitar 1500

pembenih skala rumah tangga dengan volume produksi sekitar 1,5 juta ekor

setahun (Sunaryanto dkk, 2001).

Saat ini, umumnya para petani telah mampu mengaplikasikan teknologi

pembenihan ikan kerapu khususnya untuk jenis kerapu macan, bebek, dan

lumpur, dengan capaian tingkat kelolosan hidup (survival rate = SR) antara 40%

- 60%. Untuk menghasilkan benih ukuran 5 - 7 cm, diperlukan waktu sekitar 2 - 4

bulan (tergantung jenisnya). Perkembangan teknologi pasca panen juga telah

memungkinkan untuk mengangkut benih kerapu tersebut ke berbagai wilayah di

Indonesia. Dengan pertimbangan untuk meningkatkan nilai tambah budidaya

kerapu nasional, pemerintah telah mengambil kebijaksanaan untuk tidak

mengekspor ikan kerapu dalam bentuk benih, melainkan dalam bentuk ikan

ukuran konsumsi (0,5 - 1,0 kilogram). Melihat gambaran perkembangan usaha

budidaya kerapu saat ini, dapat diduga bahwa usaha ini akan layak

(30)

16

Penelitian yang berkenaan dengan kelayakan usaha budidaya ikan kerapu

dilakukan oleh Sitorus (2004), yang merupakan kegiatan studi kasus di salah

satu perusahaan budidaya laut di Sumatera Utara. Dalam penelitiannya,

diketahui bahwa usaha budidaya kerapu yang dilakukan perusahaan tersebut

cukup berhasil dan layak diteruskan, hanya saja perusahaan perlu berhati-hati

terhadap kemungkinan penurunan harga jual kerapu, sebab pada tingkat

(31)

17

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka pemikiran berisi teori-teori yang berkaitan erat dengan

permasalahan yang ada dalam penelitian dan merupakan acuan untuk menjawab

permasalahan tersebut.

3.1. Analisis Proyek

Proyek menurut Gittinger (1986), sebuah proyek pertanian merupakan

suatu kegiatan investasi di bidang pertanian yang mengubah sumber-sumber

finansial menjadi barang-barang kapital yang dapat menghasilkan keuntungan

atau manfaat setelah beberapa waktu tertentu. Pemilihan diantara berbagai

alternatif penggunaan sumberdaya perlu dilakukan karena sumber-sumber

tersebut sifatnya terbatas.

Tujuan diadakannya analisis proyek adalah untuk melihat apakah suatu

proyek yang dilaksanakan menghasilkan keuntungan atau tidak. Menurut

Gittinger (1986), analisis proyek bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan

yang dapat dicapai melalui investasi dalam suatu proyek, menghindari

pemborosan sumber-sumber yaitu dengan menghindari pelaksanaan proyek

yang tidak menguntungkan, mengadakan penilaian terhadap peluang investasi

yang ada sehingga dapat dipilih alternatif proyek yang paling menguntungkan

dan menentukan prioritas investasi. Adapun alasan dilakukannya analisis

terhadap suatu proyek pada dasarnya adalah mencoba untuk menentukan atau

menilai biaya-biaya dan manfaat yang timbul dengan adanya proyek dan

membandingkannya dalam situasi tanpa proyek, sehingga dari analisis proyek

juga dapat diketahui apakah proyek tersebut layak untuk dilaksanakan atau

(32)

18

Dalam melaksanakan analisis proyek terdapat aspek-aspek yang saling

berkaitan yang secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang

diperoleh dari suatu investasi tertentu. Gittinger (1986), mengatakan bahwa

aspek-aspek ini harus dipertimbangkan pada setiap tahap dalam perencanaan

proyek dan siklus pelaksanaan. Menurut Husnan dan Suwarsono (1999),

beberapa aspek yang mempengaruhi kelayakan suatu proyek sebut antara lain:

aspek pasar, aspek teknis, aspek keuangan, aspek hukum, aspek finansial, dan

aspek ekonomi negara.

Menurut Gittinger (1986), aspek pasar yaitu hal-hal yang berkenaan

dengan rencana pemasaran output yang dihasilkan oleh proyek. Sedangkan

aspek teknis, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan penyediaan input dan

output berupa barang-barang nyata dan jasa-jasa. Analisis secara teknis akan

menguji hubungan-hubungan teknis yang mungkin dalam suatu proyek yang

diusulkan, misalkan keadaan tanah, iklim dan teknologi yang digunakan.

Selanjutnya Husnan dan Suwarsono (1999) berpendapat bahwa aspek

manajemen, yaitu hal-hal yang berkenaan dengan pertimbangan mengenai

sesuai atau tidaknya proyek dengan susunan organisasi proyek agar sesuai

dengan prosedur organisasi setempat juga berkenaan dengan kesanggupan

atau keahlian staf yang ada untuk menangani proyek. Aspek finansial, yaitu

semua yang berkenaan dengan pengaruh-pengaruh finansial proyek terhadap

peserta proyek.

Kelayakan aspek-aspek di atas akan menentukan apakah suatu usaha

yang sedang dianalisis layak atau tidak untuk diusahakan. Dalam hal ini layak

berarti memberikan manfaat bagi pengusaha yang bersangkutan. Adapun

aspek-aspek yang dianalisis kelayakannya dalam penelitian ini meliputi aspek

non finansial dan aspek finansial. Aspek non finansial meliputi; aspek pasar,

(33)

19

3.1.1. Kelayakan Aspek Pasar

Dalam aspek pasar, analisis kelayakan usaha dilakukan terhadap

kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan rencana pemasaran produk dan rencana

penyediaan input produksi (Gittinger, 1986). Kelayakan aspek pasar akan

sangat berkaitan besarnya penerimaan yang akan diperoleh dalam usaha,

karena aspek ini akan menentukan besarnya penekanan biaya pemasaran dan

peningkatan nilai jual output yang dapat diupayakan. Kotler (1993)

mendefenisikan pemasaran sebagai suatu proses sosial dan manajerial dimana

individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan

menciptakan, menawarkan dan bertukar sesuatu yang bernilai satu sama lain.

Dalam memasarkan suatu produk hendaknya manajer pemasaran menerapkan

strategi bauran pemasaran yang meliputi empat komponen yaitu; produk, harga,

saluran distribusi dan promosi.

3.1.2. Kelayakan Aspek Teknis

Menilai kelayakan aspek teknis merupakan langkah awal yang harus

dilakukan sebelum memutuskan untuk memulai atau mengembangkan usaha.

Apabila dari segi teknis saja suatu usaha sudah tidak layak maka tidak mungkin

usaha tersebut dapat berjalan dengan baik dan dikatakan layak untuk

dikembangkan. Menurut Husnan dan Suwarsono (1999), aspek teknis

merupakan suatu aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan proyek

secara teknis dan pengoperasiannya setelah proyek tersebut selesai dibangun.

Menurut Gittinger (1986), analisis secara teknis berhubungan dengan input

proyek (penyediaan) dan output (produksi) berupa barang-barang nyata dan

jasa-jasa. Aspek-aspek lain dalam analisis proyek hanya akan berjalan bila

analisis secara teknis dapat dilakukan. Analisis aspek teknis akan menguji

hubungan-hubungan teknis yang mungkin dalam suatu proyek pertanian yang

(34)

20

pertanian; ketersediaan air; pH air; salinitas air; suhu udara; kecepatan arus;

kandungan oksigen terlarut; pengadaan input produksi; potensi dan keinginanan

untuk mengadakan mekanisasi; pemupukan; dan alat-alat kontrol yang

diperlukan.

Dalam suatu usaha, khususnya bidang pertanian hubungan-hubungan

teknis di atas sangat menentukan keberhasilan usaha terutama keberhasilan

proses produksi. Masing-masing komponen dalam aspek teknis ini saling terkait

satu sama lain dan ketidaklayakan salah satu komponen akan mengganggu

proses produksi usaha secara keseluruhan. Misalkan jika salah satu input usaha

tidak tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai maka hal ini akan

menggangu atau bahkan menghambat jalannya proses produksi. Atau jika

lingkungan fisik yang ada secara teknis tidak memenuhi syarat habitat yang

sesuai dengan makhluk hidup yang dibudidayakan, maka usaha ini juga tidak

akan berhasil. Mengenai metode atau cara-cara pembudidayaan yang

dilakukan, maka perlu dikaji apakah secara teknis cara-cara yang dilakukan oleh

tenaga kerja sudah optimal dan mencapai tingkat produksi yang relatif tinggi.

Mengingat output yang diusahakan merupakan makluk hidup yang terkait dengan

sifat biologis, maka dalam produksi kerapu perlu diperhatikan apakah kebutuhan

gizi dari pakan yang diberikan sudah terpenuhi agar dapat tercapai pertumbuhan

yang baik.

Selain fasilitas produksi, kelayakan teknis fasilitas pemasaran juga harus

dipenuhi karena akan menentukan keberhasilan pemasaran output, khususnya

dalam upaya menekan biaya pemasaran dan mempertahankan kualitas output

yang dihasilkan untuk mencapai nilai jual yang paling tinggi. Sebagaimana

diketahui bahwa output usaha perikanan termasuk barang yang mudah rusak

(highly perishable) sehingga membutuhkan fasilitas dan penanganan yang baik

(35)

21

Menurut Gittinger (1986), bila analisis secara teknis telah dilakukan,

analisis teknis harus terus menerus memastikan bahwa pekerjaan secara teknis

tersebut berjalan lancar dan memang tepat untuk dilakukan, dan bahwa

perkiraan-perkiraan secara teknis cocok dengan kondisi sebenarnya, dan bahwa

petani-petani yang menggunakan teknologi yang diusulkan pada lahan mereka

dapat mewujudkan hasil-hasil seperti yang diperkirakan. Walaupun berdasarkan

evaluasi teknis yang telah dilakukan terhadap suatu usaha menyatakan bahwa

secara teknis usaha tersebut layak, namun menurut Husnan dan Suwarsono

(1999), analis tetap harus memperhatikan pengalaman pada proyek lain yang

serupa di lokasi lain yang menggunakan teknik dan teknologi serupa. Hal ini

penting untuk membantu dalam pengambilan keputusan akhir apakah usaha

tersebut akan dikembangkan atau tidak.

3.1.3. Kelayakan Aspek Manajemen

Aspek manajemen merupakan aspek yang penting untuk dianalisis dalam

suatu usaha, karena walaupun semua aspek yang lain sudah baik, namun jika

tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pihak pengelola maka kegiatan

usaha tersebut tidak akan efisien. Kelayakan pada aspek manajemen pada

suatu usaha khususnya usaha budidaya ikan sangat penting, mengingat usaha

ini memiliki karakter yang khas, yang berbeda dengan usaha pertanian lainya

yang diupayakan di lahan daratan. Apabila pada lahan di darat masalah

penguasaan lahan sangat jelas berdasarkan ukuran-ukuran standar dan

kepemilikan akte lahan, maka lain halnya dengan lahan budidaya perikanan yang

umumnya masalah penguasaan lahannya tidak begitu jelas. Selain itu bentuk

usaha apakah berupa usaha komersial atau non komersial (proyek) juga akan

membutuhkan pengkajian manajemen yang berbeda.

Menurut Gittinger (1986), masalah-masalah dalam persiapan proyek

(36)

22

tumpang tindih (overlapping), yang secara jelas mempunyai pengaruh yang

penting terhadap pelaksanaan proyek. Untuk dapat dilaksanakan, suatu proyek

harus dihubungkan secara tepat dengan struktur kelembagaan di suatu negara

atau daerah.

Secara ringkas, Kadariah (1988) menjelaskan bahwa dalam aspek

organisasi perhatian utama ditujukan pada hubungan antara administrasi proyek

dan bagian administrasi pemerintah lainnya untuk melihat apakah hubungan

antara masing-masing wewenang (authority) dan tanggung jawab (responsibility)

dapat diketahui dengan jelas. Sedangkan aspek manajerial menyangkut

kemampuan staf proyek untuk menjalankan administrasi kegiatan dalam ukuran

besar (large scale activities). Keahlian manajemen hanya dapat dievaluasi

secara subyektif; namun kalau hal ini tidak mendapat perhatian khusus, maka

banyak kemungkinan terjadi pengambilan keputusan yang kurang baik dalam

proyek yang direncanakan.

3.1.4. Kelayakan Aspek Finansial

Maksud analisis dari suatu kegiatan adalah untuk memperbaiki pemilihan

investasi, karena sumber-sumber yang tersedia bagi pembangunan ialah

terbatas, maka perlu sekali diadakan pemilihan antar berbagai macam kegiatan.

Dalam analisis pengembangan usaha melalui evaluasi proyek, ada dua macam

analisis yang bisa dilakukan yaitu analisis finansial dan analisis ekonomi. Dalam

analisis finansial, proyek dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang yang

menanam modalnya dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam

proyek, sedangkan analisis ekonomi proyek dilihat dari sudut perekonomian

secara keseluruhan (Kadariah, 1988).

Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis ekonomi, melainkan dibatasi

pada analisis finansial saja. Menurut Kadariah (1988), analisis finansial ini

(37)

23

yang turut serta dalam mensukseskan proyek, sebab tidak ada gunanya

melaksanakan proyek yang menguntungkan dilihat dari sudut perekonomian

sebagai keseluruhan, jika mereka yang menjalankan kegiatan produksi tidak

bertambah baik keadaannya.

Selain itu dalam analisis finansial yang perlu diperhatikan adalah waktu

diperoleh penerimaan (returns) untuk menentukan apakah individu atau

perusahaan tersebut mampu atau tertarik untuk menanamkan modalnya dalam

kegiatan proyek. Hal ini penting karena bagi pengusaha, dalam jangka waktu

tertentu bila tidak diperoleh return yang memadai maka kemungkinan mereka

akan kehabisan modal. Lain halnya dengan analisis ekonomi, yang perlu

diperhatikan adalah besarnya manfaat bersih tambahan yang diperoleh dari

semua sumber yang digunakan dalam proyek untuk masyarakat atau

perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat siapa yang menyediakan

sumber-sumber tersebut (Kadariah, 1988).

Untuk membuat suatu analisis finansial usaha, diperlukan data mengenai

arus penerimaan yang terdiri atas produksi total, penerimaan pinjaman, bantuan,

nilai sewa dan nilai sisa. Selain itu diperlukan juga data mengenai arus

pengeluaran yang terdiri atas biaya investasi, biaya produksi, pengembalian

pinjaman dan bunga, pemeliharaan peralatan dan bangunan serta biaya lain

seperti pajak, kontribusi dan biaya pemasaran.

Selanjutnya kriteria yang digunakan dalam analisis finansial usaha berupa

kriteria kelayakan investasi. Analisis ini ditekankan pada penilaian kelayakan

investasi karena investasi merupakan unsur yang bersifat jangka panjang dan

akan mengalami perubahan nilai sepanjang tahun. Karena sifatnya yang jangka

panjang ini, maka keputusan penanaman dan penarikan investasi tidak dapat

dilakukan dengan mudah atau tanpa perhitungan, sebab apabila terjadi

(38)

24

kerugian yang biasanya berjumlah relatif besar. Dengan diadakannya analisis

kelayakan investasi ini, maka resiko kegagalan investasi dapat dikurangi.

3.2. Teori Biaya dan Manfaat

Gittinger (1986) memberikan definisi tentang biaya dan manfaat. Biaya

adalah segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan dan manfaat adalah

segala sesuatu yang membantu suatu tujuan. Biaya-biaya yang dimasukan

dalam perhitungan analisis usaha pertanian umumnya adalah biaya-biaya yang

dapat dikuantifikasi atau yang berpengaruh langsung seperti biaya investasi,

biaya operasional dan biaya lain-lain. Menurut Kadariah (1988), yang dimaksud

dengan biaya investasi ialah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh

barang-barang fisik yang akan digunakan dalam usaha untuk jangka waktu yang relatif

lama (umumnya lebih dari 1 tahun). Sedangkan biaya operasional adalah biaya

tahunan untuk keperluan rutin selama umur ekonomis proyek.

Biaya total dibagi menjadi dua bagian, yaitu tetap total dan biaya variabel

total. Biaya tetap total adalah biaya yang tidak berubah meskipun outputnya

berubah, biaya ini sering disebut biaya overhead atau biaya yang tidak dapat

dihindarkan. Biaya variabel merupakan biaya yang berkaitan langsung dengan

output, yang bertambah besar dengan meningkatnya produksi dan berkurang

dengan menurunnya produksi.

Selanjutnya menurut Kadariah (1988), penurunan biaya dapat berupa;

keuntungan dari mekanisasi (penggunaan alat atau teknologi yang dapat

menyebabkan turunnya biaya per unit produk), penurunanan biaya

pengangkutan (karena adanya alat pengangkutan yang lebih baik untuk

mengangkut produk dari daerah produksi ke daerah pasar), penurunan atau

penghindaran kerugian (misalnya proyek pengawetan tanah untuk menghindari

(39)

25

Menurut Kadariah (1988), manfaat proyek dapat dibagi dalam (1) manfaat

langsung, (2) manfaat tidak langsung, dan (3) manfaat yang tidak dapat

dinyatakan dengan jelas (intangible). Manfaat langsung dapat berupa; kenaikan

dalam nilai hasil (output) dan penurunan biaya. Kenaikan dalam nilai output

dapat disebabkan oleh; kenaikan dalam produk fisik, perbaikan mutu produk

(quality improvement), perubahan dalam lokasi dan waktu penjualan, perubahan

dalam bentuk (grading and Processing). Manfaat yang digunakan dalam analisis

kelayakan finansial ini merupakan manfaat langsung, dimana manfaat dapat

dinilai dengan uang.

Manfaat tidak langsung atau manfaat sekunder proyek adalah manfaat

yang timbul atau dirasakan diluar proyek karena adanya realisasi sesuatu

proyek. Sedangkan manfaat yang tidak dapat dinyatakan dengan jelas

(intangible benefits) sesuatu proyek adalah manfaat yang sulit dinilai dengan

uang, seperti; perbaikan lingkungan hidup, perbaikan pemandangan karena

adanya taman yang indah, perbaikan distribusi pendapatan, integrasi nasional,

pertahanan nasional dan lain sebagainya (Kadariah, 1988).

3.3. Proyeksi Cash Flow

Dalam analisis finansial, selain analisis rugi laba diperlukan juga proyeksi

aliran kas (cash flow). Proyeksi cash flow memilki arti penting bahwa dengan kas

investor bisa melakukan investasi dan membayar kewajiban finansial (terutama

bila proyek dibiayai dengan modal pinjaman), sedangkan laba tidak dapat

digunakan sebagai alat memenuhi berbagai keperluan kas tersebut. Arti penting

proyeksi aliran kas ini sangat terkait dengan nilai waktu dari uang yang

menyatakan bahwa nilai uang saat ini lebih berharga daripada nanti (Husnan dan

Suwarsono, 1999). Terutama untuk proyek budidaya ikan kerapu macan ini,

(40)

26

hasilnya baru diterima setelah tahun berikutnya. Dalam penelitian ini aliran kas

yang berhubungan dengan proyek budidaya ikan kerapu dikelompokkan menjadi

3 bagian yaitu ; aliran kas permulaan (Initial Cash Flow), aliran kas operasional

(Operational Cash Flow) dan aliran kas terminal (Terminal Cash Flow). Menurut

Husnan dan Suwarsono (1999), initial cash flow merupakan pengeluaran untuk

investasi pada awal periode, sedangkan aliran kas yang timbul selama operasi

proyek disebut sebagai operasional cash flow. Aliran kas yang diperoleh pada

waktu proyek berakhir disebut terminal cash flow. Initial cash flow umumnya

bernilai negatif, operational dan terminal cash flow umumnya bernilai positif.

Aliran kas ini harus dinyatakan dengan dasar setelah pajak. Pada initial cash

flow, bukan hanya biaya investasi yang dimasukkan, tetapi juga biaya-biaya pendahuluan dan sebelum operasi misalnya biaya eksplorasi potensi lokasi

usaha.

3.4. Pengukuran Kemanfaatan Proyek

Menurut Gittinger (1986), bila biaya dan manfaat proyek sudah

diidentifikasi, dihitung dan dinilai, maka analisis sudah dapat menentukan proyek

mana yang akan diterima atau ditolak dari berbagai proyek yang diusulkan.

Dalam mengukur kemanfaatan proyek dapat digunakan metode perhitungan

berdiskonto dan tidak berdiskonto. Namun analisis akan menghadapi dua

masalah yakni harus memperoleh cara agar dapat mengevaluasi proyek-proyek

yang membutuhkan waktu pelaksanaan yang lama dan proyek-proyek yang

mempunyai arus biaya dan manfaat yang berbeda-beda pada masa yang akan

datang. Metode yang biasa digunakan untuk mengatasi masalah ini adalah

peramalan melalui perhitungan diskonto yang sesuai untuk diaplikasikan kepada

proyek-proyek pertanian antara lain; Manfaat sekarang netto (net present value),

(41)

27

dan biaya (benefit-cost ratio) dan perbandingan manfaat-investasi netto (net

benefit-investment ratio).

Menurut Kadariah (1988), terdapat beberapa macam kriteria investasi yang

umum digunakan dalam analisis finansial yaitu; Net Present Value (nilai bersih

sekarang), Internal Rate of Return (tingkat hasil internal) dan Net Benefit Cost

Ratio (rasio manfaat biaya neto). Ketiga alat analisis ini merupakan alat analisis yang memperhatikan konsep nilai waktu dari uang, sehingga menggunakan

faktor diskonto (discount factor) dalam perhitungannya. Mengenai konsep nilai

waktu dari uang, Gittinger (1986) mengatakan bahwa nilai sekarang (present

values) adalah lebih baik daripada nilai yang sama pada masa yang akan datang, dan hasil yang diperoleh lebih dulu adalah lebih baik daripada yang

diperoleh kemudian. Hal ini terkait dengan adanya kecenderungan terjadinya

peningkatan inflasi setiap tahun. Dengan adanya faktor diskonto maka masalah

nilai waktu dari uang ini dapat diatasi. Menurut Gittinger (1986), diskonto adalah

proses memperoleh nilai sekarang dari suatu nilai yang akan datang, sehingga

diskonto merupakan suatu teknik dan dengan teknik tersebut orang dapat

“menurunkan” manfaat yang akan diperoleh pada masa mendatang dan arus

biaya menjadi “nilai biaya pada masa sekarang”. Penggunaan discount factor ini

penting karena kegiatan investasi dilakukan dimasa sekarang sedangkan

hasilnya akan diperoleh dimasa mendatang.

Menurut Kadariah (1988), Net Present Value (NPV) merupakan selisih

antara present value dari benefit dan present value dari biaya. Net B/C

merupakan perbandingan antara jumlah nilai saat ini (Present Value total) dari

keuntungan bersih pada tahun-tahun dimana keuntungan bersih bernilai positif

dengan keuntungan bersih bernilai negatif. Kedua alat analisis ini memiliki

kelemahan yang sama yakni kesulitan dalam menentukan tingkat discount rate

(42)

28

kepentingan masyarakat dalam arti luas, maka yang dipakai adalah the

opportunity cost of capital ialah manfaat yang hilang karena modal dipakai untuk suatu proyek dan nilai ini memilki relativitas yang tinggi.

Sedangkan Internal Rate of Return (IRR) adalah nilai discount rate i yang

membuat NPV dari proyek sama dengan nol. IRR memilki kelebihan antara lain;

terhindar dari kesulitan pemilihan discount rate yang sesuai dan bagi calon

investor lebih mudah dibaca karena bentuknya berupa rate of return

mempermudah untuk dibandingkan dengan tingkat bunga yang berlaku. Dengan

analisis ini, suatu proyek dikatakan layak untuk dikembangkan bila dalam

perhitungannya diperoleh nilai NPV>0, IRR>discount rate, net B/C.

Ada satu lagi alat analisis yang biasa digunakan untuk melihat waktu

pengembalian investasi yakni Payback Periods, yang merupakan metode analisis

yang dilakukan untuk melihat waktu pengembalian investasi dengan

membandingkan investasi dengan keuntungan selama satu tahun. Alat analisis

ini cukup sederhana namun memilki kelemahan yakni tidak memperhatikan

konsep nilai waktu dari uang (time value of money) dan juga tidak

memperhatikan aliran kas masuk setelah payback.

3.5. Inflasi

Manfaat dan biaya proyek dinyatakan dalam ukuran uang, kalau terjadi

inflasi, biasanya kenaikan harga hasil/manfaat proyek lebih cepat dari pada

kenaikan harga input/biayanya, sehingga inflasi menyebabkan manfaat netto

proyek kelihatan makin besar jika diukur berdasarkan harga konstan pada tahun

pengambilan keputusan tentang dilaksanakan atau tidaknya suatu proyek.

Hanya jika diperkirakan ada unsur manfaat atau biaya yang perkembangan

harganya akan menyimpang dari laju perkembangan harga pada umumnya,

(43)

29

Menurut Gittinger (1986), dalam menganalisis proyek pendekatan yang

dapat digunakan adalah menganalisis proyek dengan harga konstan/tetap.

Dengan cara ini dianggap bahwa hanya satu harga (atau beberapa harga yang

akan datang) yang selalu digunakan dalam perhitungan. Hal ini diasumsikan

bahwa inflasi akan mempengaruhi harga pada tingkat yang hampir sama

sehingga perbandingan antar harga barang-barang masih akan tetap sama.

Jadi, analis hanya memerlukan harga yang akan datang untuk mengetahui

perubahan relatif, bukan setiap perubahan harga komoditi.

3.6. Konsep Nilai Waktu dari Uang (Time Value of Money)

Mengenai konsep nilai waktu dari uang, Gittinger (1986) mengatakan

bahwa nilai sekarang (present values) adalah lebih baik daripada nilai yang

sama pada masa yang akan datang, dan hasil yang diperoleh lebih dulu adalah

lebih baik daripada yang diperoleh kemudian. Hal ini terkait dengan adanya

kemungkinan terjadinya inflasi sepanjang tahun. Dalam evaluasi kelayakan

investasi, dimensi waktu harus dimasukkan dalam perhitungannya, untuk itu

masalah nilai waktu dari uang ini dapat diatasi dengan menggunakan faktor

diskonto. Diskonto adalah proses memperoleh nilai sekarang dari suatu nilai

yang akan datang, sehingga diskonto merupakan suatu teknik dan dengan teknik

tersebut orang dapat “menurunkan” manfaat yang akan diperoleh pada masa

mendatang dan arus biaya menjadi “nilai biaya pada masa sekarang”.

Penggunaan discount rate ini penting karena kegiatan investasi dilakukan

dimasa sekarang sedangkan hasilnya akan diperoleh dimasa mendatang.

3.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelayakan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Macan

Secara konseptual, penelitian ini dibangun dari tujuan untuk melihat

Gambar

Gambar 1.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelayakan Usaha  Budidaya Ikan Kerapu M acan
Tabel 1.   Matriks Kesesuian untuk Cage Culture (Karamba Jaring Apung)
Gambar 2.  Metode Analisis Data Analisis Kelayakan Usaha
Gambar 3. Peta Lokasi Pemanfaatan  Pulau Semak Daun
+4

Referensi

Dokumen terkait

Jika tidak, bisa terlepas dari mesin secara tidak sengaja, menyebabkan luka pada Anda atau orang di sekitar Anda... • Jangan dipaksakan ketika

dan pengelolaan sumber daya alam; (4) Organisasi kelompok masyarakat pengguna yang terlegitimasi kewenangannya oleh seluruh pihak untuk mengatur pemanfaatan dan

Konsep penyutradaraan dalam dokumenter ini lebih pada penggunaan bentuk potret yang dipilih pada objek, karena dokumenter ini akan bercerita tentang segala

Konsep kunci pengaktulisasikan museologi tersebut bila diuraikan dengan menggunakan museological research maka akan tampak penyebaran hasil penelitian yang berupa knowledge dan

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh luas wilayah yang ada, banyaknya PUS yang menikah terhadap tingkat kepadatan penduduk, maka data yang diperoleh penulis

Salah satu metode untuk menghitung efisiensi dari organisasi yang mempunyai banyak input dan output adalah metode Data Envelopment Analysis (DEA), yaitu metode programasi linier

Respon petani sangat tinggi untuk menerapkan teknologi pupuk hayati pada lahan pertanaman padi karena petani langsung melihat tampilan pertumbuhan tanaman yang

Adalah merupakan kegiatan yang berisi dan menilai serta memilih satu atau lebih segmen pasar yang akan dimasuki oleh suatu perusahaan. Apabila perusahaan ingin