Goyangan Lembut Jemari Dukun Bayi
Oyog
Diyah Sri Yuhandani
K a r l i n a
S u r a t m i
Rika Subarniati
dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis
Diyah Sri Yuhandani K a r l i n a S u r a t m i Rika Subarniati Suharmiati Editor Suharmiati Desain Cover
Agung Dwi Laksono
Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749
dan
LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI)
Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta
Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail: penerbit@litbang.depkes.go.id
ISBN 978-602-1099-13-1
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina : Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si
Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si
Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo
Aan Kurniawan, S.Ant
Yunita Fitrianti, S.Ant
Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos
1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat
2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama
3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai
4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak
6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo
7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir
9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao
Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah
mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu
dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan
indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan
menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan
dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR v vii xi xii BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Masalah Penelitian ... 7 1.3. Topik Penelitian ... 8 1.4. Pertanyaan Penelitian ... 8 1.5. Tujuan Penelitian ... 9 1.5.1. Tujuan Umum ... 9 1.5.2. Tujuan Khusus ... 9 1.6. Luaran ... 9 1.7. Manfaat Penelitian ... 9 1.8. Metode ... 11 1.8.1. Kerangka Teori ... 11 1.8.2. Kerangka Konsep ... 12
1.9. Tempat dan Waktu Penelitian ... 13
1.10. Jenis Penelitian ... 14
1.11. Desain Penelitian ... 14
1.12. Populasi dan Informan Penelitian ... 14
1.13. Cara Pemilihan Informasn ... 15
1.14. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data ... 15
1.14.1. Instrumen ... 15
1.14.2. Cara Pengumpulan Data... 16
BAB 2 GAMBARAN UMUM KABUPATEN CIREBON ... 19
2.1. Gambaran Umum Wilayah ... 19
2.1.1. Sejarah Cirebon ... 20
2.1.2. Pusat Pemerintahan Kabupaten Cirebon ... 27
2.1.3. Kecamatan Pabedilan ... 33
2.1.4. Desa Dukuh Widara ... 34
2.2. Kependudukan ... 39
2.2.1. Bahasa ... 39
2.2.2. Sarana dan Prasarana ... 41
2.2.3. Ekonomi dan Mata Pencaharian ... 43
2.2.4. Perekonomian ... 49 2.2.5. Organisasi Sosial ... 50 2.2.6. Sistem Pemukiman ... 55 2.2.7. Sistem Religi ... 57 2.2.8. Kesenian ... 61 2.2.9. Pengetahuan ... 68
BAB 3 GAMBARAN KESEHATAN MASYARAKAT DUKUH WIDARA ... 77
3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak ... 77
3.1.1. Gambaran Kondisi KIA ... 77
3.1.2. Remaja ... 78
3.1.3. Penantian Kehamilan ... 96
3.1.4. Masa Kehamilan ... 100
3.1.5. Persalinan ... 111
3.1.6. Nifas ... 116
3.1.7. Neonatus dan Bayi ... 126
3.1.8. Anak dan Balita ... 132
3.2. Penyakit Menular ... 139
3.3.1. Hipertensi ... 153
3.3.2. Diabetes Melitus ... 154
3.3.3. Gangguan Jiwa ... 156
3.4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ... 161
3.4.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan ... 161
3.4.2. Melakukan Penimbangan Bayi dan Balita ... 164
3.4.3. Memberikan ASI Ekslusif ... 171
3.4.4. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun ... 176
3.4.5. Memakai Jamban Sehat ... 177
3.4.6. Aktivitas Fisik Masyarakat ... 179
3.4.7. Konsumsi Buah dan Sayur ... 181
4.3.8. Merokok Dalam Rumah ... 183
4.3.9. Penggunaan Air Bersih ... 185
4.3.10. Memberantas Jentik Nyamuk... 187
BAB IV OYOG, GOYANGAN LEMBUT JEMARI DUKUN BAYI ... 191
4.1. Dukun Bayi... 192
4.1.1. Karakteristik Dukun Bayi ... 194
4.1.2. Peran Dukun Bayi ... 202
4.1.3. Prinsip Kerja Sak Iklase ... 222
4.2. Tradisi Pijat ... 223
4.2.1. Jenis-jenis Pijat ... 223
4.3. Oyog ... 228
4.3.1. Definisi Oyog ... 228
4.3.2. Proses Oyog: Komunikasi Yang Hangat ... 232
4.3.3. Gerakan Oyog ... 234
4.3.4. Oyog, Anjuran Dari Para Orang Tua ... 237
4.3.5. Jenis-jenis Oyog ... 240
4.3.9. Faktor-faktor Yang Mungkin Mendorong Seseorang
Untuk Dioyog ... 268
4.3.10. Kontradiksi Oyog ... 270
4.3.11. Keberlangsungan Oyog ... 276
4.3.12. Jangkauan Dukun Bayi Melakukan Oyog ... 276
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 277
5.1. Kesimpulan ... 277
5.2. Rekomendasi... 285
INDEKS ... 287
GLOSARIUM ... 292
Tabel 3.1. Kegiatan Posyandu di Desa Dukuh
Widara, tahun 2014 167
Tabel 4.1. Dukun Bayi Yang Ada di Wilayah Kerja
Gambar 1.1. Gambar 2.1.
Kerangka Konsep Penelitian Keraton Kesepuhan Cirebon
13 22 Gambar 2.2. Ornamen di Istana Kesultanan Cirebon
yang bercorak Tiongkok 25
Gambar 2.3. Gebang, salah satu pelabuhan laut
terbesar di Kabupaten Cirebon 28
Gambar 2.4. Peta Wilayah Cirebon 29
Gambar 2.5. Mega Mendung, motif batik khas Cirebon
32
Gambar 2.6. Peta Desa Dukuh Widara 34
Gambar 2.7. Pohon Bidara/Widara 36
Gambar 2.8. Struktur Pemerintahan Desa Dukuh Widara
38 Gambar 2.9. Jalan antar kabupaten yang membelah
desa
41 Gambar 2.10. Pertanian padi sawah, salah satu mata
pencaharian utama penduduk Desa
Dukuh Widara 43
Gambar 2.11. Bawang merah, salah satu hasil
pertanian Desa Dukuh Widara 44
Gambar 2.12. Pembuatan batu bata dengan
memanfaatkan endapan lumpur sungai
Cisanggarung 46
Gambar 2.13. Lembaga kursus bahasa asing untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin
keluar negeri 48
Gambar 2.14. Diagram kekerabatan masyarakat Desa
yang banyak dikunjungi 58
Gambar 2.17. Barongan dan pentul 64
Gambar 2.18. Rombongan Burokan yang akan
melakukan pertunjukan 66
Gambar 3.1. Jamu bersalin komplit 118
Gambar 3.2. Perawatan bayi oleh dukun bayi 129
Gambar 3.3. Kegiatan Posyandu 139
Gambar 3.4. Gambar 3.5.
Penderita gangguan jiwa yang dipasung oleh keluarganya
Tempat Kegiatan Posyandu Blok Kliwon Desa Dukuh Widara
161 170 Gambar 3.6. Kegiatan kelas ibu hamil di Desa
Dukuh Widara 172
Gambar 3.7. Jamu tradisional yang dikonsumsi
saat ibu nifas 174
Gambar 3.8. Anak yang sedang buang air besar di
pekarangan pohon bambu 178
Gambar 3.9. Pembakaran sampah oleh warga di
pekarangan 179
Gambar 3.10. Peralatan masak yang digunakan salah
satu warga masyarakat 182
Gambar 3.11. Tempat masak menggunakan kayu di
rumah salah satu warga 183
Gambar 3.12. Suami yang merokok di dalam rumah
dekat istrinya yang sedang hamil 184 Gambar 3.13. Tempat mandi dan sumber air untuk
mandi warga 185
Gambar 3.14. Tempat penampungan air sementara
Gambar 3.16. Tempat mandi warga 188 Gambar 3.17. Penggunaan kelambu di dalam kamar
tidur warga 189
Gambar 4.1. Gambar 4.2.
Perlengkapan nebus weteng Bubur lolosan
203 206 Gambar 4.3. Memandikan bayi oleh dukun bayi 210 Gambar 4.4. Bayi dalam geyongan yang dihias aneka
bunga dan perwanten 211
Gambar 4.5. Ritual mangku 213
Gambar 4.6. Ari-ari yang disimpan di dalam kendi tanah liat, dengan bunga-bungaan, lowe
ginjel dan angen-angen 215
Gambar 4.7. Ritual nyukur, sajen, dan candil 218
Gambar 4.8. Salah satu gerakan oyog 235
Gambar 4.9. Gerakan oyog yang lain 236
Gambar 4.10. Persamaan manuver Leopold dengan
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah kesehatan tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka berada. Faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan, dan pengetahuan tentang kesehatan, dapat membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan. Hal tersebut merupakan potensi dan kendala yang perlu digali.
Semakin disadari bahwa budaya tidak bisa diabaikan dalam mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Oleh karena itu sangat penting dilakukan Riset Khusus Budaya Kesehatan sebagai upaya peningkatan status kesehatan di masyarakat. Konsekuensi logis harus dipahami bahwa keanekaragam budaya yang ada di wilayah Indonesia memerlukan pemahaman yang cermat untuk setiap daerah dengan Etnik tertentu. Dengan demikian diharapkan adanya pemahaman budaya daerah secara spesifik, dengan menggali unsur kearifan lokal akan dapat digunakan sebagai strategi upaya kesehatan dengan tepat secara lokal spesifik.
Secara objektif, setiap kelompok masyarakat tertentu mempunyai persepsi kesehatan (konsep sehat sakit) yang berbeda. Hal ini sangat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat
yang bersangkutan. Sehingga setiap orang yang terganggu kesehatannya akan mencari jalan untuk menyembuhkan diri dari gangguan kesehatan atau penyakit yang dialaminya. Berbagai upaya tentunya akan dilakukan oleh setiap orang untuk mengatasi masalah tersebut, melalui pencarian pengobatan dengan self treatment maupun upaya mencari pengobatan ke tenaga kesehatan.
Keberadaan budaya kesehatan yang menjadi ciri khas pola kehidupan, dan yang telah menjadi tradisi yang turun temurun, memiliki potensi sangat besar untuk mempengaruhi kesehatan baik dari sisi negatif maupun positif. Kebudayaan yang memiliki dampak positif sudah semestinya dilestarikan, agar tidak pudar bahkan punah oleh arus modernisasi. Namun demikian terhadap budaya yang memiliki pengaruh negatif tidak serta merta harus dihilangkan, karena hal tersebut akan sangat sulit dilakukan. Pemberian pengetahuan kepada masyarakat dan upaya mengkreasikan/memodifikasi budaya itu sendiri untuk mengurangi/menghilangkan pengaruh dari budaya/tradisi tersebut. Memahami status kesehatan masyarakat berdasarkan budaya merupakan salah satu upaya meningkatkan status kesehatan itu sendiri.
Indikator penting yang menentukan derajat kesehatan masyarakat adalah kematian ibu dan bayi. Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup, dan Angka Kematian Bayi ( AKB ) yaitu sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012, menunjukkan bahwa AKI dan AKB di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan untuk mencapai target
Millenium Development Goal’s (MDG’s) pada tahun 2015 , yaitu
102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup1. Morbiditas dan mortalitas pada wanita hamil
dan bersalin merupakan masalah yang besar bagi negara miskin dan berkembang seperti Indonesia.
Kondisi tersebut sangat memprihatinkan banyak pihak, khususnya Angka Kematian Ibu, yang meningkat sangat signifikan dibandingkan dengan survei 5 tahun sebelumnya, yang angkanya hanya berkisar 278/100.000 kelahiran hidup.2 Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia pada tahun 2011, dan merupakan penyumbang terbesar kedua kematian ibudi Indonesia setelah Provinsi Papua.
Berbagai upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dilakukan untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar antara AKI dan AKB di negara maju dan di negara berkembang seperti Indonesia. Selain AKI dan AKB data tentang kondisi kesehatan di masyarakat didapatkan dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar).
Berdasarkan data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi sebesar 31,7%, Balita stunting (36,8%) dan akses sanitasi (43%), sedangkan data Riskesdas 2010 menunjukkan insidens malaria (22,9‰), Balita stunting (35,7%), akses terhadap sumber air minum terlindung (45%), dan akses terhadap pembuangan tinja yang layak sebesar 55,5%. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak hanya pada status kesehatan ibu dan anak saja, namun termasuk masalah penyakit tidak menular, penyakit menular, gizi dan PHBS.3
Data Susenas 2007 menunjukkan bahwa hanya sekitar 35 persen penduduk sakit yang mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan.4 Dari data tersebut di atas nampak bahwa cukup banyak penduduk yang tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan terbukti sebesar 55,4% persalinan terjadi di fasilitas
2Sumber: Badan Pusat Statistik. 2007 3Sumber : Kementerian Kesehatan R.I, 2010 4Sumber: Badan Pusat Statistik. 2007
kesehatan dan sebesar 43,2% melahirkan di rumah. Dari jumlah ibu yang melahirkan di rumah 51,9 persen ditolong bidan dan sebesar 40,2% ditolong dukun bersalin. Masih tingginya pemanfaatan dukun bersalin serta keinginan masyarakat untuk melahirkan di rumah, terkait dengan faktor-faktor sosial budaya.Hasil penelitian Riset Etnografi Kesehatan (REK) tahun 2012 di 12 Etnik di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak terkait budaya kesehatan sangat memprihatinkan.
Pantangan mengkonsumsi makanan yang justru mengurangi asupan pemenuhan gizi sangat mempengaruhi status gizi ibu hamil.5 Keharusan ibu hamil untuk tetap bekerja keras sampai mendekati persalinan juga sangat membahayakan baik bagi ibu maupun janinnya. Mereka beranggapan bahwa ibu yang bekerja keras saat hamil akan memudahkan dan melancarkan persalinannya. Pilihan utama untuk persalinan dilakukan dirumah dan dibantu oleh dukun karena ibu merasa aman dari gangguan roh jahat serta nyaman karena ditunggui oleh keluarga.
Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial budaya. Rencana Strategi Kementerian Kesehatan tahun 2010-2014 tentang program Gizi dan KIA menyebutkan indikator tercapainya sasaran hasil tahun 2014 yaitu persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sebesar 90 persen dan kunjungan neonatal pertama (KN1) sebesar 90 persen serta persentase balita yang ditimbang berat badannya (jumlah balita ditimbang/balita seluruhnya atau D/S) sebesar 85 persen.6
Luaran yang diharapkan adalah meningkatnya kualitas pelayanan ibu dan anak serta pelayanan reproduksi. Untuk mencapai hal tersebut bukanlah hal mudah. Strategi
5Sumber: Kementerian Kesehatan R.I, 2012 6Sumber: Kementerian Kesehatan R.I, 2010
pembangunan kesehatan seperti yang tertuang dalam Rencana Pengembangan Jangka Panjang Bidang Kesehatan tahun 2005 – 2025 antara lain menyebutkan tentang pemberdayaan masyarakat. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan semakin penting. Masalah kesehatan perlu diatasi oleh masyarakat sendiri dan pemerintah. Keberhasilan pembangunan kesehatan, penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan harus berangkat dari masalah dan potensi spesifik daerah termasuk di dalamnya sosial dan budaya setempat. Pemberdayaan masyarakat berbasis pada masyarakat artinya pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga dan masyarakat sesuai dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan permasalahan serta potensi masyarakat (modal sosial).7
Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai Etnik bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia telah mewarnai upaya kesehatan. Upaya kesehatan bisa berupa pelayanan konvensional maupun tradisional dan alternatif komplementer berupa kegiatan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya kesehatan diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Dalam hal pelayanan kesehatan meliputi pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, di dalamnya termasuk pengobatan dan cara-cara tradisional yang terjamin keamanan dan khasiatnya.
Salah satu unsur budaya dalam masyarakat yang terkait dengan kesehatan adalah adanya tenaga tradisional yang berperan dalam bidang kesehatan. Tenaga tradisional dalam bidang kesehatan yang terlibat langsung dalam asuhan kesehatan ibu dan anak adalah dukun bayi. Tenaga tradisional tersebut, merupakan salah satu upaya pelayanan kebidanan dalam etnomedis berupa perawatan dalam pemeliharaan kesehatan
atau penyembuhan dari sakit yang dilakukan oleh dukun, baik pria maupun wanita, biasanya dilakukan di rumah pasien/penderita atau rumah dukun tersebut. Cara-cara mengobati penderita itu sendiri antara lain:
1) Dengan membaca mantra-mantra sebagai ungkapan memohon pertolongan kepada Tuhan YME. Selain itu, doa atau mantra ini akan menciptakan semacam gelombang suara dengan frekuensi tertentu yang mampu memberikan rangsang atau impuls pada otak sehingga memicu dikeluarkannya hormon-hormon yang sifatnya menenangkan. Kondisi demikian hampir menyerupai fungsi dari obat penenang namun tanpa efek samping. 2) Dengan mengusir setan-setan yang mengganggu. Pada
umumnya kegiatan tersebut, disertai dengan menyajikan kurban-kurban ditempat itu. Upacara pengusiran setan memiliki makna sebagai pelepas dosa. Hal ini akan menimbulkan efek secara fisik dan psikologis sehingga pasien merasa terbebaskan dari beban perasaan perbuatan di masa lalu. Efek fisiknya adalah memberikan rasa nyaman dan rileks dikarenakan perasaan sudah terhapus dosa yang perah dilakukannya.
3) Melakukan massage/pijat/mengurut penderita. Hal ini dilakukan sebagai bentuk asuhan sayang pada ibu, karena diyakini oleh para ibu bahwa setiap pijatan memberikan efek relaksasi dan mampu mengurangi rasa nyeri karena berbagai ketidaknyamanan baik dalam kehamilan ataupun dalam persalinan dengan melakukan pemijatan pada daerah tertentu.
4) Pantangan makanan. Pada jenis pengobatan ini, penderita harus melakukan pantangan atau diet yang ditentukan oleh dukun dan pada umumnya berlaku untuk makanan yang berbau amis/anyir, seperti ikan atau ayam.
5) Bertapa. Ritual ini juga sering dilakukan oleh dukun dengan tujuan untuk mendapatkan ilham. Kadang-kadang dukun juga bertapa untuk menyembuhkan penderita. 6) Pemberian obat tradisional. Obat tradisional yang
dimaksud berasal dari tumbuh-tumbuhan segar baik dari daun mudanya, batang, kembang maupun akarnya.
Hasil survey menunjukkan bahwa 84,2% desa/kelurahan di Jawa Barat masih memiliki dukun bayi. Di Wilayah Kabupaten Cirebon terdapat sebanyak 448 orang dukun bayi,8 dan di Desa Dukuh Widara Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon terdapat 6 dukun bayi. Data tersebut menunjukkan bahwa masih tingginyaperan dukun bayi dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di masyarakat,khususnya dalam pelayanan kehamilan, pertolongan persalinan dan nifas.
1.2. Masalah Penelitian
Dari pemaparan latar belakang tersebut diatas, bisa dipahami bahwa masalah kesehatan terkait erat dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya kajian yang mendalam dan spesifik di setiap daerah dengan Etnik tertentu.
Berbagai aspek yang terkait dengan 7 unsur budaya sangat penting dikaji. Harapannya penggalian tentang kondisi kesehatan masyarakat Desa Dukuh Widara yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan menyertakan unsur-unsur budaya tersebut, akan
8Sumber: Kementerian Kesehatan RI .Diretorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Provinsi Jawa Barat. 2011.
membuat gambaran tersebut menjadi lebih konkrit. Pada akhirnya upaya kesehatan yang dilakukan menjadi tepat sasaran.
Selain itu pada bidang KIA khususnya didapatkan informasi masih dilakukannya budaya oyog pada ibu hamil. Budaya tersebut masih berlaku secara turun temurun, namun hingga kini, belum ditemukan bukti tentang kemanfaatannya. Oleh karena itu diperlukannya riset untuk mengetahui bagaimana gambaran Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) khususnya budaya oyog dalam kehamilan, Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Desa Dukuh Widara?
1.3. Topik Penelitian
Penelitian ini mengambil topik budaya kesehatan terkait masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dilaksanakan di Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan kabupaten Cirebon. 1.4. Pertanyaan Penelitian
Dari uraian di atas maka pertanyaan penelitian adalah bagaimana gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat terkait masalah Kesehatan Ibu dan Anak, Penyakit Tidak Menular, Penyakit Menular dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat didi Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan kabupaten Cirebon?
1.5. Tujuan
1.5.1. Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat terkait masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dilaksanakan di Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon.
1.5.2. Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi secara mendalam unsur-unsur budaya yang mempengaruhi kesehatan meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di masyarakat Desa Dukuh Widara.
2) Mengidentifikasi peran dan fungsi sosial masyarakat yang berpengaruh terhadappengambilan keputusan terkait dengan pelayanan kesehatan.
1.6. Luaran/Output
1) Satu buah buku seri Etnografi Kesehatan kabupaten Cirebon
2) Satu buah dokumentasi film Budaya Kesehatan di Kabupaten Cirebon.
3) Satu buah Draf Modul: “Oyog sebagai langkah awal Leopold.”
1.7. Manfaat
Hasil riset ini akan sangat bermanfaat untuk menentukan strategi pembangunan kesehatan dengan memperhatikan
kearifan lokal di berbagai elemen antara lain untuk pengelola program kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Pemerintah Daerah/Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Dinas Kesehatan Daerah. Sementara itu,sebagai pembekalan pengetahuan sangat bermanfaat bagi institusi pendidikan terutama Perguruan Tinggi dan Pendidikan Tenaga Kesehatan lainnya.
1) Bagi Kementerian Kesehatan RI:
Menentukan strategi pembangunan kesehatan di berbagai elemen dengan unsurbudaya lokal spesifik. Bagi Dinas kesehatan dan jajarannya:
2) Memberikan masukan pada program untuk peningkatan status kesehatan, khususnyaakselerasi penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), penanggulangan penyakit tidak menular dan penyakit menular serta peningkatan perilakuhidup bersih dan sehat dengan pendekatan sosial budaya masyarakat setempat.
3) Bagi perguruan tinggi/akademisi:
Menambah pengetahuan dan informasi tentang variasi potensi budaya terkait statuskesehatan masyarakat di Indonesia. Selain itu sangat memungkinkan ditemukan hal-hal baru/inovasi sebagai hasil riset yang dapat diterapkan dalam kurikulum.
4) Bagi masyarakat umum:
Diharapkan dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat dengan pendekatan sosial budaya setempat/ kearifan lokal.
1.8. Metode 1.8.1. Kerangka Teori
Kesehatan merupakan bagian integral dari kebudayaan. Manusia mampu melakukan aktivitas kebudayaan jika dalam keadaan sehat, baik lahir maupun batin sehingga dapat dipahami bahwa kesehatan merupakan elemen penting bagi kebudayaan. Begitu pula sebaliknya, kebudayaan juga menjadi pedoman bagi masyarakat dalam memahami kesehatan. Untuk itu, memahami masalah kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan sangat penting dilakukan, karena masalah kesehatan tidak pernah lepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya9. Mengutip pandangan dari Heddy Shri Ahimsa-putra (2005), bahwa dalam pandangan pakar ilmuwan sosial budaya, masalah kesehatan dalam suatu masyarakat sangat erat kaitannya antara fasilitas kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat, dengan kepercayaan, jenis mata pencaharian serta lingkungan masyarakat tersebut berada. Dilihat dari perspektif ini masalah kesehatan tidak lagi dipahami dan diatasi hanya dengan memusatkan perhatian pada kesehatan tubuh tetapi memiliki makna yang kompleks, yaitu hasil dari proses interaksi antara unsur-unsur internal dengan unsur ekternal tubuh.
Pada masa kehamilan, persalinan dan nifas serta bayi baru lahir, budaya juga memberikan kontribusi atau pengaruhnya, misalnya adanya pantangan-pantangan atau anjuran yang masih dilakukan pada masa-masa tersebut. Pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik, misalnya ada makanan tertentu yang dilarang dikonsumsi misalnya telur, daging dan ikan saat ibu pada
masa nifas. Selain itu secara tradisional juga terdapat praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun bayi untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk menggembalikan rahim ke posisi semula, memasukkan ramuan-ramuan tertentu seperti daun-daunan ke dalam vagina dengan maksud membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan.
1.8.2. Kerangka Konsep Penelitian
Teori Blum menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan seseorang antara lain perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan.10 Lingkungan yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah, lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Teori Koentjaraningrat menjelaskan tentang pengaruh tujuh unsur budaya terhadap kesehatan yang meliputi 1) alam, kedudukan dan tempat tinggal; 2) organisasi sosial dan sistem kekerabatan; 3) sistem teknologi; 4) sistem pengetahuan; 5) system mata pencaharian; 6) sistem religi dan 7) kesenian.11
Kerangka konsep dalam penelitian ini menggabungkan antara kedua teori tersebut. Kerangka konsep tersebut digambarkan dalam gambar sebagai berikut:
10Sumber: Ahimsa, Putra, Heddy Shri, 2005 11Sumber: Koentjaraningrat, 2011
Gambar 1.1.
Kerangka konseppenelitian modifikasi H.L. Blumdan Koentjaraningrat
1.9. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Desa Dukuh Widara Kecamatan Pabedilan. Kabupaten Cirebon yang merupakan daerah tidak bermasalah kesehatan dan tidak miskin (KaF). Pertimbangan khusus pada lokasi ini karena di Kabupaten Cirebon terdapat 448 orang dukun bayi(paraji). Para dukun bayitersebut masih berperan melakukan praktek pelayanan kehamilan dengan budaya oyog, yaitu melakukan pijatan pada daerah perut ibu hamil yang bertujuan untuk mengurangi berbagai keluhan dalam kehamilan seperti nyeri perut bagian bawah dan memperlancar persalinan.
Status Kesehatan n
Pelaya
nan Lingku- ngan
Perilaku Keturunan UNSUR- UNSUR BUDAYA 1. Kondisi alam, kependudukan & tempat
2. Organisasi sos & sistem kekerabatan 3. Sistem pengetahuan 4. Sistem Teknologi 5. Sistem Mata Pencaharian 6. Sistem religi 7. Kesenian
1.10. Jenis Penelitian
Secara konseptual penelitian ini adalah penelitian kualitatif etnografi.
1.11. Desain Penelitian
Riset ini didesain sebagai riset khusus kesehatan nasional dengan desain eksploratif dengan metode etnografi. Pada penelitian etnografi ini, peneliti diharuskan terjun secara langsung ke lapangan untuk mencari data melalui informan yang terpilih.
Desain penelitian dengan etnografi memiliki beberapa manfaat. Beberapa manfaat tersebut antara lain, yaitu 1) memberikan informasi tentang adanya teori-teori ikatan budaya, 2) menemukan teori baru sekaligus mengoreksi teori formal, 3) memahami masyarakat kecil sekaligus masyarakat kompleks, 4) memahami perilaku manusia sebagai perilaku yang bermakna sekaligus perbedaannya dengan perilaku binatang dan 5) yang terpenting adalah memahami manusia sekaligus kebutuhannya.12
1.12. Populasi dan Informan Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di Desa Dukuh Widara. Informan adalah masyarakat yang terlibat secara budaya dan berpengaruh terhadap kesehatan baik dari sisi provider kesehatan, pengguna fasilitas kesehatan, tokoh-tokoh yang berpengaruh, dan semua orang yang dapat memberikan informasiterkait dengan topik penelitian ini.
1.13. Cara Pemilihan Informan
Pemilihan informan secara purposif dengan teknik
snowball sampling. Kriteria informan dalam penelitian ini adalah:
1) Remaja, keluarga, dan tetangganya.
2) Ibu yang sedang atau pernah hamil dan bersalin, suaminya, dan keluarganya.
3) Ibu yang memiliki anak bayi atau balita, suaminya, dan keluarganya.
4) Tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat yang mengetahui budaya setempat.
5) Pengobat tradisional, seperti dukun, paraji (dukun bayi), dan pengobatan alternatif lainnya.
6) Petugas kesehatan Puskesmas dan jaringannya. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah Informan berasal dari warga masyarakat yang merupakan warga asli dan bertempat tinggal di Desa Dukuh Widara serta bersedia menjadi informan penelitian yang dibuktikan dengan pernyataan persetujuan informan. Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah informan yang tidak paham atau kurang memahami unsur-unsur budaya yang diteliti.
1.14. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data 1.14.1.Instrumen
Dalam metode penelitian etnografi, instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Sebagai instrumen penelitian, peneliti melakukan observasi partisipasi, yaitu peneliti tinggal dan hidup bersama masyarakat untuk mengeksplorasi dan mengamati
informasi yang ingin diketahui terkait dengan kesehatan masyarakat setempat.
Instrumen pendukung sebagai pedoman untuk mencari data. Instrumen tersebut meliputi:
1. Pedoman Indepth Interview
Indepth Interview dilakukan kepada key informant (informan utama), yaitu pelaku budaya itu sendiri atau informan lain yang mengetahui tentang budaya setempat. 2. Pedoman pengamatan
Pedoman pengamatan dibuat sebagai pedoman peneliti dalam mengamati fenomenayang ada.
3. Buku catatan harian (logbook).
Buku ini digunakan untuk mencatat setiap kejadian yang dialami peneliti setiapharinya.
4. Kamera foto, video dan perekam suara. 1.14.2. Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung (observasi partisipatoris), wawancara mendalam dan dokumentasi serta penelusuran referensi dan data sekunder.
Dalam metode kualitatif, yang perlu digali adalah berbagai informasi yang bersumber dari masyarakat itu sendiri (emic). Validitas data diukur dari pemahaman masyarakat (yang dijadikan informan penelitian) atas berbagai aspek dari kehidupannya, dan keberadaan program/kebijakan kesehatan.
Selain wawancara dan observasi partisipatoris, peneliti juga akan melakukan penelusuran data sekunder, referensi dan pustaka yang berkaitan dengan substansi peneltian.Wawancara mendalam, observasi partisipatif dan bila dibutuhkan kajian dokumen digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih
mendetail dan mendalam mengenai produk, sarana dan prasarana upaya kesehatan di masyarakat.
1.15. Analisis data
Terdapat empat jenis analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif,yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, analisis tema kultural.
1. Analisis Domain.
Analisis domain dilakukan untuk memperoleh gambaran atau pengertianyang bersifat umum dan relatif menyeluruh tentang apa yang tercakup di suatu focus atau pokok permasalahan yang tengah diteliti.
2. Analisis Taksonomi
Analisis domain jelas masih belum rinci dan mendalam karena ia merupakan produk kegiatan penjelasan umum. Hasil penjajakan menyeluruh tentu saja masih bergerak di tingkat permukaan. Namun demikian hasil analisis domain tersebut dapat dijadikan sandaran bertolak untuk penelaahan yang lebih rinci dan mendalam, yang perlu difokuskan kepada masalah-masalah atau domain-domain tertentu. Analisis lebih lanjut yang lebih rinci dan mendalam disebut analisis taksonomi. Fokus penelitian ditetapkan terbatas pada domain tertentu yang sangat berguna dalam upaya mendeskripsikan atau menjelaskan fenomena atau fokus yang menjadi sasaran semua penelitian.
3. Analisis Komponensial
Pada analisis taksonomi, yang ditunjukan ialah sruktur internal masing-masing domain dengan mengorganisasikan atau menghimpun elemen-elemen yang berkesamaan di suatu domain. Hal ini diperoleh melalui observasi dan
wawancara terfokus. Sedang pada analisis komponensial, yang diorganisasikan bukanlah kesamaan elemen dalam domain, melainkan kontras antar elemen dalam domain yang diperoleh melalui observasi dan wawancara terseleksi. Analisis komponen memfokuskan pada hubungan ganda antara sebuah istilah asli informan dengan simbol-simbol lain.
4. Analisis Tema Kultural
Analisis tema atau discovering cultural themes, mencari ’benang merah’ yang mengintegrasikan lintas domain yang ada dengan dikaitkannya hasil penelitian dengan konsep – konsep seperti nilai-nilai, orientasi nilai, nilai budaya, simbol budaya, premis, etos, ide-ide, pandangan dunia dan orientasi kognitif.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa dalam penelitian kualitatif, analisis sudah dilakukan sejak awal mencari data sampai akhir penelitian. Jadi, sepanjang penelitian dilakukan, peneliti terus menganalisis data yang telah peroleh. Keabsahan data untuk menjamin kredibilitas data kualitatif.
Kredibilitas data membuktikan data yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan dunia nyata serta yang terjadi sebenarnya. Terdapat beberapa teknik yang disampaikan untuk mencapai kredibilitas, yaitu dengan teknik triangulasi sumber, pengecekan antar anggota peneliti, perpanjangan kehadiran peneliti, diskusi teman sejawat, pengamatan secara terus menerus, dan penelusuran referensi.
BAB 2
GAMBARAN UMUM KABUPATEN CIREBON
2.1. Gambaran Umum Wilayah
Cirebon, namanya tercatat dalam sejarah sebagai salah satu tempat awal perkembangan Islam di negeri ini. Dimulai sejak abad 15. “Caruban”, konon itulah nama awal wilayah ini atau “tjarbon” (baca: carbon, dalam Babad Tanah Cirebon13) yang konon berarti: campuran, menandai beraneka ragam masyarakat yang menempatinya. Hal ini bisa mengacu pada percampuran antara masyarakat Jawa dan Sunda yang tinggal di Cirebon mengingat wilayah ini berada di perbatasan antara masyarakat Jawa (Jawa Tengah) dan masyarakat Sunda (Jawa Barat) atau percampuran yang lebih luas karena awal mula berdirinya Cirebon ini dimulai dari sebuah pelabuhan yang di masalalu menjadi tempat persinggahan berbagai Etnik bangsa. Belakangan, pelafalan istilah “Caruban” berubah menjadi “Cerbon” dan pada akhirnya “Cirebon” seperti yang dikenal saat ini.
Sebutan “Cirebon” sendiri juga sering dianggap berasal dari kata “Ci” (Ci/ Cai yang dalam Bahasa Sunda berarti air dan sering menandai nama-nama tempat di Jawa Barat seperti: Ciamis, Cipanas, dll) dan “rebon” (sejenis udang kecil yang
13Sumber: Tim Keraton Kasepuhan Cirebon. 2003. Dalam “Babad Cirebon, Koleksi Naskah Kuno Keraton Kasepuhan Cirebon”,. Perpustakaan Nasional RI.
banyak dijumpai di perairan laut Cirebon sebagai bahan utama pembuat terasi).
Selain itu, istilah lain untuk menyebut Cirebon adalah “Grage” yang konon berasal dari sebutan masyarakat ketika masa kerajaan untuk “Negara Gede” yang kemudian pengucapannya berubah menjadi “Garage/ Grage.”
2.1.1. Sejarah Cirebon
Sejarah Cirebon dimulai dari kisah Prabu Siliwangi yang beristrikan Nyai Subanglarang dari Kerajaan Pajajaran memiliki dua orang anak: Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larang Santang.14 Ketika beranjak dewasa, Walangsungsang tertarik untuk mempelajari agama Islam yang kemudian mendapat penolakan dari ayahandanya. Ia pun kemudian meninggalkan istana, disusul adiknya, Nyai Larang Santang. Walangsungsang kemudian menikah dengan Nyai Endang Geulis, anak dari Ki Gedheng Danuwarsih. Walangsungsang kemudian melanjutkan perjalanan menyinggahi berbagai pertapaan seperti Pertapaan Ciangkup di Desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal, serta Petapaan Gunung Cangak di Desa Mundu Mesigit, hingga akhirnya sampai di Gunung Amparan Jati, dimana ia bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang konon berasal dari Parsi. Setelah memeluk agama Islam, Walangsungsang pun kemudian bergelar Ki Samadollah.
Sementara itu, menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari15, pada abad XIV di pantai Laut Jawa ada sebuah desa
14
Sumber: Dalam “Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon” P.S Sulendraningrat, 1984. Cerita dalam buku ini juga nyaris seperti sebuah ‘dongeng’ dan berbau mitos dengan bukti-bukti sejarah yang minim sehingga kebenaran sejarahnya masih perlu banyak pembuktian.
15Sumber: Seperti termuat dalam website Pemerintahan Kota Cirebon: http://www.cirebonkota.go.id/
nelayan kecil bernama Muara Jati, yang menjadi tempat singgah kapal-kapal asing. Penguasa kerajaan Galuh (Pajajaran) menunjuk Ki Gedeng Alang-Alang (Ki Danu Sela, adik dari Ki Danurwasih), sebagai pengurus pelabuhan. Ia kemudian memindahkan pemukiman di Lemah Wungkuk dan kemudian diangkat sebagai
Kuwu atau pemimpin pemukiman, dan sebagai wakilnya adalah
Ki Samadollah. Ki Danu Sela kemudian bergelar Ki Ageng Pengalang Alang dan Ki Samadollah begelar Ki Cakrabumi.
Ki Samadollah dan adiknya, Nyai Larang Santang kemudian pergi ke Tanah Suci atas perintah gurunya.16 Sementara istri Ki Samadollah tidak bisa ikut karena sedang hamil. Di sanalah, Nyai Larang Santang kemudian dinikahi oleh Maulana Sultan Muhammad yang bergelar Syarif Abdullah yang konon merupakan keturunan Bani Hasyim. Nyi Larang Santang kemudian berganti nama menjadi Syarifah Mudaim dan dari pernikahan ini melahirkan putra, Syarif Hidayatullah yang kelak bergelar Sunan Gunung Jati. Konon Syarif Hidayatullah ini masih menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad SAW.
Sepulang dari Tanah Suci, Ki Samadollah kemudian diberi nama Haji Abdullah Iman. Ketika kemudian Ki Ageng Alang-alang wafat, ia menggantikannya menjadi kuwu dan bergelar Pangeran Cakrabuana.
Pada masa kepemimpinan Cakrabuana inilah Kebon Pesisir ramai dikunjungi banyak orang dari berbagai tempat. Cakrabuana pun kemudian membangun Keraton Pangkungwati, nama yang diambil dari nama putri sulungnya hasil pernikahan dengan Nyai Endang Geulis. Cakrabuana kemudian mendapat gelar Tumenggung (Naradipa) dari Prabu Siliwangi dan bergelar Sri Mangana.
16Sumber: Dalam Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon. P.S. Sulendraningrat. 1984
Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Syekh Jati mulai mengajarkan Islam. Ia menyinggahi beberapa tempat, salah satu di antaranya Banten. Ia kemudian menikahi adik dari Bupati Kawunganten. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten inilah kemudian lahir Pangeran Saba Kingkin, yang kelak bergelar Maulana Hasanuddin dan mendirikan Kerajaan Banten.
Gambar 2.1.
Keraton Kasepuhan, Cirebon Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Pada tahun 1479 M, Pangeran Cakrabuana menyerahkan Istana Pakungwati kepada Syarif Hidayatullah, keponakan sekaligus menantunya. Ia kemudian dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.
Pangkungwati berada di bawah kekuasaan Pajajaran, yang ditandai dengan pengiriman upeti. Namun pada masa kepemimpinan Syekh Syarif Hidayatullah, yakni pada tahun 1482
Masehi, ia membuat maklumat kepada Raja Pajajaran untuk tidak mengirim upeti lagi dan menyatakan kemerdekaan Cirebon.17 Dalam hal ini, Cirebon mendapat dukungan Kerajaan Demak18. Hal itu konon dipicu karena Kerajaan Pajajaran menolak ajakan masuk Islam dari Syarif Hidayatullah yang sudah berulangkali mengirimkan permohonan. Peristiwa tersebut tercatat dalam sejarah, terjadi pada tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa
Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12
Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang kemudian diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon. 19
Tindakan Cirebon ini kemudian menimbulkan kekhawatiran Pajajaran, bahwa negeri-negeri lain akan terpengaruh juga. Oleh karena itu selanjutnya Pajajaran mengirimkan pasukan untuk menangkap Syarif Hidayatullah tapi mengalami kegagalan. Dengan kemenangan Cirebon, kemudian banyak pengikut Pajajaran yang menyatakan diri masuk Islam dibawah pengaruh Kesultanan Cirebon .
Dalam sejarah, tercatat bahwa Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati memerintah Pangkungwati dari tahun 1479-1568. Pada masa pemerintahannya ini, Kesultanan Cirebon berkembang dengan pesat. Demikian juga dengan penyebaran agama Islam. Ia pun bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Pedagang-pedagang asing ramai
menyinggahi Pelabuhan Muara Jati, terutama pedagang Tiongkok
17
Sumber: Negara Gede (Grage) bernama Cirebon. Referensi : Negara Kerthabumi (karya P.Wangsakerta 1702 M) http://paguyubanwongcirebon. wordpress.com/ (akses: 22 Agustus 2014)
18
“Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya. Hasan Basyari. Zul Fana: Cirebon, 1989.
19 Sumber: “Sejarah Kabupaten Cirebon”, http://sraksruk.blogspot.com/ 2012/11/ sejara-kabcirebonjawa-Barat.html (akses tanggal 22 Agustus2014)
yang memperdagangkan keramik atau porselen. Untuk memperkuat hubungan antara dua negeri, Syarif Hidayatullah kemudian menikahi Putri Tiongkok yang bernama Ong Tien yang kemudian berganti nama Nyi Ratu Rara Sumanding.20 Bisa dipahami kemudian jika pengaruh Tiongkok ini demikian kental dalam bangunan-bangunan istana yang dihiasi berbagai ornamen khas Tiongkok.
Dalam upaya pengembangan kekuasaan Kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah dibantu oleh Fatahillah/ Falatehan21, seorang Panglima Perang dari Demak yang diutus Kesultanan Demak untuk memimpin pasukan yang akan diperbantukan kepada Kesultanan Cirebon untuk merebut Pelabuhan Sunda Kelapa dari Portugis. Fatahillah kemudian menikah dengan salah seorang putri Syarif Hidayatullah, Ratu Wulung Ayu yang kemudian melahirkan putra, Pangeran Muhammad Arifin.
20
Sumber: Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya. Hasan Basyari. Zul Fana: Cirebon, 1989.
21
Sumber: Ada beberapa versi tentang identitas Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dalam buku yang ditulis oleh Hasan Basyari, “Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya” dinyatakan secara tegas bahwa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah bukanlah Fatahillah. Sementara dalam beberapa buku sejarah, seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Muljana (2009), disebutkan bahwa kemungkinan Fatahillah, Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama. Lihat juga “Kerajaan Islam Nusantara abad XVI & XVII”, Drs. M. Harun Yahya, PT. Kurnia Kalam Sejahtera, Yogyakarta, 1995.
Gambar 2.2.
Ornamen di Istana Kesultanan Cirebon yang bercorak Tiongkok Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Ketika Sunan Gunung Jati memutuskan untuk memfokuskan diri pada kegiatan dakwah, ada beberapa versi yang menyebut tentang penerus kekuasaan. Satu versi menyebutkan bahwa Kesultanan Cirebon diserahkan kepada Fatahillah. Namun Fatahillah hanya memerintah selama dua tahun karena pada tahun 1570 ia meninggal dunia dan kemudian dimakamkan bersebelahan dengan makam Sunan Gunung Jati. Penerus selanjutnya adalah Pangeran Pasarean.
Versi lain menyebutkan bahwa Fatahillah tidak pernah menjadi pemimpin Cirebon (namanya memang tidak tertera dalam silsilah di Keraton Kasepuhan). Oleh karena itu, ketika Sunan Gunung Jati berhenti menjadi Sultan, pemerintahan kemudian diserahkan kepada putranya, Pangeran Pasarean dengan Fatahillah sebagai penasehatnya. Namun tak lama memerintah, ia kemudian wafat.
Sepeninggal Pangeran Pasarean tidak ada penerus yang bisa dicalonkan sebagai Sultan. Kemudian diangkatlah Aria Kamuning, anak angkat Syarif Hidayatullah yang juga menantu dari Fatahillah. Ia kemudian bergelar Dipati Carbon 1. Pengangkatan Aria Kamuning ini menimbulkan kontroversi
karena ia bukanlah keturunan langsung dari Sultan Carbon. Setelah memerintah selama sekitar 12 tahun, pada tahun 1565, pemerintahan kemudian diserahkan kepada putranya yang masih muda, Pangeran Mas yang kemudian bergelar Panembahan Ratu I.
Pada masa kepemimpinan Panembahan Ratu, konon Cirebon mengalami kemunduran, sementara Kerajaan Banten semakin berkembang. Setelah Panembahan Ratu wafat, ia kemudian digantikan oleh cucunya, Pangeran Karim atau Pangeran Rasmi yang kemudian bergelar Panembahan Girilaya yang kemudian bergelar Panembahan Ratu II, karena ayahnya, Pangeran Sedaing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah sudah meninggal. Dari pernikahannya dengan Putri Tegalsari, Panembahan Ratu II dikarunia 3 orang putra: Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya dan Pangeran Wangsakerta.22
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu II ini, Kesultanan Cirebon terjepit di antara dua Kesultanan Besar: Kerajaan Banten dan Mataram. Sepeninggal Panembahan Ratu II, Kesultanan Cirebon mengalami kekosongan karena Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya di Mataram. Di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon kemudian terbagi tiga: Kesultanan Kasepuhan, dipimpin oleh Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Kasultanan Katjarbonan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I. Pembagian wilayah kesultanan ini juga dimaksudkan sebagai upaya Kesultanan Banten untuk memecah kekuatan Cirebon agar tidak beraliansi kepada Mataram.
22
Perpecahan di Kesultanan Cirebon pun kemudian tak bisa terhindarkan lagi. Kondisi ini diperparah dengan masuknya Kolonial Belanda yang selanjutnya banyak mencampuri dalam hal mengatur Kesultanan Cirebon dalam upaya mengendalikan daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa.23 Cirebon kemudian berkembang menjadi Karesidenan Chirebon yang meliputi Kotamadya dan empat Kabupaten: Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Cirebon pun kemudian menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah Cirebon pun kemudian tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh walikota dan bupati. 2.1.2. Pusat Pemerintahan Kabupaten Cirebon
Pada awalnyaPusat pemerintahan Kabupaten Cirebon juga berada di Kotamadya Cirebon. Tetapi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1979 Tanggal 2 Oktober 1979, ibukota Kabupaten Dati II Cirebon dipindahkan ke Kota Sumber, Kecamatan Sumber, yang berada di sebelah Selatan Kota Cirebon.
Secara administratif, Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Letaknya strategis, karena berada di jalur pantura, jalan
antar provinsi yang menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa. Secara geografis, kabupaten ini terletak pada 108°40’ - 108°48’ Bujur Timur dan 6°30’ - 7°00’ Lintang Selatan.24 Luas wilayah daerah administratifnya adalah 990, 36 Km², dengan jarak terjauh Barat-Timur: 54 km dan Utara-Selatan: 39 km, sedangkan ketinggian dari permukaan laut adalah 0-130 mdpl. Topografi wilayahnya beraneka ragam. Laut, dataran rendah hingga pegunungan. Gunung tertinggi adalah Gunung Ceremai, dengan ketinggian 3076 m, merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat, dan tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru.
Gambar 2.3.
Gebang, salah satu pelabuhan laut (nelayan) terbesar di Kabupaten Cirebon Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut: - Sebelah Utara: Kabupaten Indramayu (Jawa Barat) - Sebelah Barat: Kabupaten Majalengka (Jawa Barat) - Sebelah Selatan : Kabupaten Kuningan (Jawa Barat)
- Sebelah Timur: Kabupaten Brebes (Jawa Tengah)
Gambar 2.4. Peta Wilayah Cirebon
Sumber: httP://wisatacrb.wordpress.com/
Kabupaten Cirebon terdiri atas 40 kecamatan, terbagi atas 412 desa dan 12 kelurahan. Tiga kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2007 adalah Kecamatan Jamblang (Pemekaran Kecamatan Klangenan sebelah Timur), Kecamatan Suranenggala (Pemekaran Kecamatan Kapetakan sebelah Selatan), dan Kecamatan Greged (Pemekaran Kecamatan Beber sebelah Timur).
Berikut adalah nama-nama kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon: 1. Waled 2. Pasaleman 3. Ciledug 4. Pabuaran 5. Losari,
6. Pabedilan 7. Babakan 8. Gebang, 9. Karangsembung 10. Karangwareng, 11. Lemahabang, 12. Susukan Lebak 13. Sedong 14. Astanajapura 15. Pangenan 16. Mundu 17. Beber 18. Greged 19. Talun 20. Sumber 21. Dukupuntang 22. Palimanan 23. Plumbon 24. Depok 25. Weru 26. Plered 27. Tengah Tani 28. Kedawung 29. Gunungjati 30. Kapetakan 31. Waled 32. Pasaleman 33. Ciledug 34. Pabuaran 35. Losari, 36. Pabedilan 37. Babakan
38. Gebang, 39. Karangsembung 40. Karangwareng, 41. Lemahabang, 42. Susukan Lebak 43. Sedong 44. Astanajapura 45. Pangenan 46. Mundu 47. Beber 48. Greged 49. Talun 50. Sumber 51. Dukupuntang 52. Palimanan 53. Plumbon 54. Depok 55. Weru 56. Plered 57. Tengah Tani 58. Kedawung 59. Gunungjati 60. Kapetakan
Menurut data statistik tahun 2013, jumlah penduduk di kabupaten ini sebesar 2.281.204 jiwa tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Cirebon dengan penduduk terbesar berada di Kecamatan Sumber (86.415 jiwa). Kepadatan penduduk di masing-masing kecamatan memang tidak merata karena penduduk cenderung lebih banyak di daerah-daerah perkotaan, yang menyediakan lapangan kerja relatif lebih banyak.
Mata pencaharian utama penduduk adalah pertanian, sektor tersebut menyumbang 30% dari Pendapatan Domestik
Regional Bruto (PDRB) dengan produk utama adalah padi, selanjutnya perikanan dan peternakan. Salah satu produk perikanan yang terkenal dari Cirebon adalah petis dan terasi. Terasi Cirebon konon sudah terkenal sejak jaman dulu. Terasi terbuat dari rebon, sejenis udang kecil, oleh karena itu sebutan “Kota Udang” seringkali disematkan untuk menyebut Kota Cirebon.
Gambar 2.5
Mega Mendung, motif batik khas Cirebon Sumber: Muha, Sejarah Batik Trusmi, http://sanggarbatikkatura.com/sejarah-batik-trusmi
Cirebon juga dikenal sebagai daerah penghasil batik yang berpusat di Desa Trusmi, Plered. Istilah Trusmi sendiri konon berasal dari kata “terus bersemi”, yang menandai adanya pohon di daerah tersebut yang setiap kali ditebang akan tumbuh/ bersemi kembali.25 Pembuatan batik ini konon sudah dimulai sejak jaman Kesultanan Cirebon. Pada masa itu, salah seorang dari Desa Trusmi diminta Sultan untuk membuat duplikat batik yang ada di Keraton tanpa boleh membawa contohnya. Ternyata
pembatik Trusmi tersebut mampu melakukannya. Maka selanjutnya dikenal daerah Trusmi sebagai daerah pembuat batik. Adapun motif yang terkenal adalah motif batik Mega Mendung.
2.1.3. Kecamatan Pabedilan
Kecamatan Pabedilan terletak di bagian Timur Kabupaten Cirebon. Ibukota kecamatan terletak di Desa Pabedilan Kidul, sekitar 43 km dari ibukota Kabupaten. Kecamatan ini terbentuk pada tahun 1994, dahulu sebagian wilayahnya masuk Kecamatan Losari, dan sebagian Kecamatan Ciledug. Bisa dipahami kemudian kalau desa-desa di kecamatan ini memiliki dua budaya, yakni Sunda (untuk desa-desa yang dulunya masuk Kecamatan Ciledug yang berbatasan dengan Kab. Kuningan) dan Jawa (untuk desa-desa yang dulunya masuk Kecamatan Losari, berbatasan dengan Kabupaten Brebes). Menurut data Sensus tahun 2013, jumlah penduduknya adalah sebesar 60.667 jiwa dengan luas wilayah adalah 22. 824 ha, yang meliputi 13 desa, yaitu:
1) Dukuhwidara 2) Kalimukti 3) Kalibuntu 4) Sidaresmi 5) Babakan Losari 6) Babakan Losari Lor 7) Pabedilan Kidul 8) Pabedilan Kulon 9) Pabedilan Kaler 10) Pabedilan Wetan 11) Pasuruan 12) Silihasih 13) Tersana
2.1.4. Desa Dukuh Widara
Desa Dukuh Widara merupakan salah satu desa di Kecamatan Pabedilan dan dulunya masuk dalam wilayah Kecamatan Losari. Luas wilayah desa ini adalah 203, 908 ha, 42, 147 ha diantaranya adalah pemukiman, 147, 888 ha persawahan dan sisanya berupa kebun, makam, pekarangan dan prasarana umum lainnya. 26
Gambar 2.6. Peta Desa Dukuh Widara
Sumber: Profil Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan, Pemerintah Kabupaten Cirebon.
Wilayah desa dibagi ke dalam 5 RW dan 5 Dusun (1 RW: 1 Dusun). Dusun, lebih dikenal dengan sebutan “Blok”. Nama-nama Blok, terutama untuk wilayah pemukiman, umumnya mengacu kepada 5 hari pasaran dalam Bahasa Jawa, yakni Blok Pon, Blok Wage, Blok Kliwon, Blok Manis dan Blok Pahing (nama-nama yang sama dijumpai di hampir semua desa sekitar, termasuk
26 Sumber: Data Profil Desa/ Kelurahan Desa Dukuh Widara, Kec. Pabedilan, PemKab Cirebon. Badan Pembangunan Masyarakat & Pemerintahan Desa tahun 2013.
desa-desa yang penduduknya adalah Etnik Sunda seperti Sidaresmi, Babakan Losari dan sekitarnya). Batas-batas desa adalah:
- Sebelah Utara : Desa Pasuruan (Kecamatan Pabedilan) - Sebelah Selatan : Desa Kalimukti (Kecamatan Pabedilan) - Sebelah Timur : Kali Cisanggarung (berbatasan dengan - Kabupaten Brebes, Jawa Tengah)
- Sebelah Barat : Desa Kalibuntu (Kecamatan Pabedilan) Topografi Desa Dukuh Widara merupakan dataran rendah, dengan ketinggian 4 mdpl dan suhu harian rata-rata 29°C.
2.1.4.1. Sejarah Desa Dukuh Widara
Nama Desa Dukuh Widara konon berasal dari nama sejenis tumbuhan, “pohon widara/bidara” yang dulunya banyak tumbuh di tempat itu.27 Adalah Pangeran Suryanegara dari Keraton Cirebon yang memimpin “babat alas” (pembukaan lahan) di daerah itu pada tahun 1800-an. Desa pertama yang didirikan adalah Astana Langgar (Kecamatan Losari), dua desa dari Desa Dukuh Widara sekarang. Perluasan desa ini kelak akan sampai ke tempat yang sekarang adalah Desa Kalibuntu (4 desa ke arah Selatan Astana Langgar).
Setelah beberapa waktu, Syekh Muhkyidin, cucu Suryanegara, melakukan babat alas Dukuh Widara dengan dibantu Pangeran Singadiladri, Pangeran Buyut Sajem dan Pangeran Jasanulun. Lokasi yang pertama kali dibuka sekarang merupakan Blok Pon yang kemudian juga dikenal sebagai Blok Desa yang berada di pinggir Sungai Cisanggarung. Pembukaan ini
27Sumber: Wawancara dengan Ulis/Sekretaris Desa Dukuh Widara, 19 Mei 2014
awalnya belum dimaksudkan untuk mendirikan desa, tapi lebih sebagai tempat semedi di pinggir Kali Cisanggarung. Hingga seiring waktu, semakin banyak orang yang berdatangan dan terbentuklah pemukiman.
Gambar 2.7.
Pohon Bidara/Widara (Ziziphus Mauritiana). Sumber: http://terapiherbaldaunbidara.wordpress.com/
Dukuh Widara terbentuk menjadi Pedukuhan pada masa kolonial Belanda, tahun 1916. Pemimpinnya adalah Wilaharta dengan juru tulis Martadisastra. Pada tahun 1918, terjadi pergantian pemimpin oleh Cakmat dengan juru tulisnya, Kindi. Setelah masa itu tak diketahui lagi catatan sejarahnya hingga pada tahun 1941, kepemimpinan Dukuh Widara oleh Bunaim yang menjadi pejabat sementara untuk kemudian digantikan oleh KH Abdul Kohar. Keturunan KH Abdul Kohar ini masih bisa hidup dan tinggal di Desa Dukuh Widara. Selanjutnya pada tahun 1942 dipimpin oleh KH Mukaral, yang merupakan pemimpin pertama yang dipilih menggunakan sistem kelompok. Tahun 1944,
pemimpinnya adalah Kuwu Sulkim, selanjutnya pada tahun 1947 dipimpin oleh Kuwu Muja.
Pada tahun 1948, adalah awal digunakannya pemilihan dengan sistem biting (lidi) yang menetapkan Kuwu Salim, dilanjutkan oleh KH Mukarom (1967) dan Pejabat Moh Idris (1969), selanjutnya Haji Mukarom terpilih lagi tahun 1971. Selanjutnya pada tahun 1980 merupakan awal pemilihan dengan sitem coblos dan terpilih Haji Mudri. Pergantian pimpinan berturut-turut Sudarno (tahun 1990), PJS Sungkono (tahun 1998), dan Sofiudin pada tahun 2001, beliau menjabat selama 10 tahun (2 x 5 tahun) hingga tahun 2011. Pemilihan dengan sistem contreng dilakukan setelah kepemimpinan Sofiudin berakhir dan menobatkan Slamet sebagai Kuwu Desa Dukuh Widara hingga sekarang (masa jabatan 6 tahun).
Pohon Widara, yang dulunya banyak tumbuh di desa itu saat ini nyaris tak bisa dijumpai lagi. Pohon Widara yang cenderung besar dengan dahan dan daun yang rimbun (mirip pohon beringin), acapkali dianggap masyarakat sebagai ‘pohon yang berpenunggu’ sehingga masyarakat kemudian lebih memilih menebangnya daripada membiarkannya tumbuh.
2.1.4.2. Pemerintahan Desa
Pemerintahan desa di Desa Dukuh Widara, sebagaimana umumnya sistem adminsitrasi yang sudah diseragamkan oleh pemerintah, yakni dipimpin oleh seorang Kepala Desa dan dipilih melalui sistem pemungutan suara. Sedangkan pejabat-pejabat di bawahnya dipilih oleh Kepala Desa. Dalam Undang-Undang RI No. 22 tahun 1999, pemerintah desa diberi kewenangan untuk mengatur pemerintahannya sendiri, termasuk implementasi budaya lokal. Salah satunya diwujudkan dalam peristilahan,
dimana istilah-istilah dalam jabatan pemerintahan desa menggunakan istilah lokal. Yakni:
- Kuwu : Kepala Desa
- Ulis : Sekretaris Desa
- Lebe :Kepala Urusan (Kaur) Kesra - Polisi Desa :Kaur Pemerintahan
- Raksa Bumi :Kaur Ekbang (Ekonomi Pembangunan) - Cap Gawe :Kaur Umum
- Lugu : Kepala Dusun
Berikut struktur organisasi pemerintahan di Desa Dukuh Widara:
Gambar 2.8.
Struktur Pemerintahan Desa Dukuh Widara
Sumber: Profil Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan, Pemerintah Kabupaten Cirebon.
2.2. Kependudukan 2.2.1. Bahasa
Jumlah penduduk pada akhir tahun 2013 adalah 6443 jiwa (3273 laki-laki dan 3170 perempuan) yang terbagi ke dalam 1825 KK.28 Kepadatan penduduk adalah 316/km. Mayoritas penduduk adalah ber-Etnik Jawa (±98 %) dan sisanya adalah berEtnik Sunda, dan satu dua orang pendatang. Etnik Jawa di Desa Dukuh Widara adalah “Jawa Cirebon” terutama dalam hal bahasa, memiliki perbedaan dengan mayoritas Etnik Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta ataupun Jawa Timur. Bahasa Jawa Cirebon sekilas mirip dengan dialek “ngapak” Banyumasan atau Tegal, tapi juga tidak bisa dibilang sama karena memilki beberapa kosakata yang berbeda. Hal ini disebabkan interaksi dengan berbagai Etnik bangsa sejak berabad silam, terutama Cina, Arab, Belanda dan juga Sunda. Beberapa kosakata adalah bentuk lama, yang masih digunakan dalam pewayangan seperti “isun (ingsun)” , “manjing”, dan “sira”.
Adanya perbedaan bahasa ini, menyebabkan tercetusnya wacana bahwa orang Jawa Cirebon bisa dikategorikan sebagai Etnik tersendiri, yakni “Etnik Cirebon” atau “Etnik Bangsa Cirebon” yang tersebar di sekitar Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon dan juga wilayah-wilayah sekitarnya seperti Kabupaten Indramayu, bagian Utara Kabupaten Majalengka , bagian Utara Kabupaten Kuningan, bagian Utara Kabupaten Subang, serta sebagian Pesisir Utara Kabupaten Karawang, lalu di sekitar Kecamatan Losari di Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah.29 Meski begitu, hal ini masih perlu pembuktian lebih lanjut, apakah
28 Sumber: Data Profil Desa/ Keluharahan Desa Dukuh Widara, Kec. Pabedilan, Pemkab. Cirebon, Badan Pemb. Masy. & Pemerintahan Desa tahun 2013 29Sumber: “Orang Cirebon”, http://wikipedia.org/
Bahasa Jawa Cirebon adalah bahasa yang mandiri atau sebenarnya hanya dialek bahasa saja. Karena berdasarkan penelitian perbedaan kosakata Bahasa Jawa Cirebon dengan bahasa Jawa di Jawa Tengah/Yogyakarta hanya mencapai 75% dan 76 % dengan dialek Jawa Timur, sementara untuk bisa diakui sebagai bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.
Sementara itu, menurut Koentjaraningrat (1984), bahasa Cirebon termasuk dalam rumpun bahasa Jawa Pesisir Utara bagian Barat, dengan Cirebon sebagai pusatnya.30
Berikut beberapa contoh perbedaan bahasa Jawa Cirebon dengan bahasa Jawa Tengah/Yogyakarta/Jawa Timur:
Bhs Indonesia Jawa Cirebon Jateng/ DIY
Saya/Aku Isun/Kita Aku
Kamu Sira Kowe
Tidak Beli/ Ora Ora
Masuk Manjing Mlebu
Dari Sing Seko
Akan Pan Arep
Tidak Ada Langka Ora Ono
Dapat Buleh Entuk
Bagi orang Jawa yang memilki dialek berbeda, mungkin memang akan sedikit kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang yang menggunakan dialek Jawa Cirebon, namun setelah beberapa waktu, biasanya akan mulai terbiasa dan bisa memahaminya dengan baik.
30Sumber: Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
2.2.2. Sarana dan Prasarana
Desa Dukuh Widara bisa dikategorikan sebagai sebuah desa semi urban. Hal ini ditandai dengan kemudahan akses terhadap berbagai layanan publik mulai dari transportasi, pendidikan, kesehatan dan sarana umum lainnya. Desa Dukuh Widara hanya berjarak sekitar 4 km dari ibu kota kecamatan dan sekitar 45 km dari ibu kota kabupaten. Kota-kota terdekat adalah Losari (±3 km) dan Ciledug (±3 km). Transportasi sangatlah mudah. Desa ini dilalui oleh jalan antar provinsi (alternatif) yang menghubungkan jalur pantura (Kecamatan Losari) di sebelah Utara ke Kecamatan Ciledug, Waled hingga Kabupaten Kuningan, dengan kondisi jalan beraspal yang cukup baik. Selain kendaraan pribadi, untuk mempermudah akses masyarakat, tersedia angkutan umum berupa mobil angkudes dan andong yang beroperasi dari pagi hingga sore hari, dengan rute Losari-Ciledug. Sementara untuk menuju ibu kota kabupaten, angkutan umum Cirebon-Losari beroperasi setiap waktu.
Gambar 2.9.
Jalan antar kabupaten yang membelah desa Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014