• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN KESEHATAN MASYARAKAT DUKUH WIDARA

3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak

3.1.1. Gambaran Kondisi Kesehatan Ibu dan Anak

3.1.2.4. Pola interaksi sosial

Sebagai remaja akhir, Mah sudah memiliki pola hubungan yang jelas, dia memilih bergaul hanya dengan teman sekolah pada siang hari, selama sekolah dan bergaul dengan

teman di desanya pada malam hari di mushola di desanya. Ia memiliki pacar dan telah bisa mengatur diri tentang waktu untuk bersama-sama pacarnya. Kebanyakan remaja di desanya juga memiliki pola yang sama. Akan tetapi Mah tidak memahami apakah di desanya ada kegiatan karang taruna atau tidak. Sebagai tambahan ada kegiatan sepak bola pada sore hari untuk laki-laki dan biasanya perempuannya menonton.

Informasi yang didapatkan dari Mah, sedikit berbeda dari informasi yang didapatkan dari AN yang mengatakan, bahwa ia cukup tertekan dengan aturan nenek dan orang tuanya, yang sangat membatasi pergaulannya. Ia merasakan bahwa berbagai aturan yang diberikan oleh keluarga besarnya, terutama neneknya tidak memberikan manfaat untuknya dan justru bersifat mengekang.

Dari deskripsi tentang remaja dan beberapa aspek yang mempengaruhinya, nampak ada beberapa aspek yang berbeda antara kedua kelompok remaja tersebut. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri Kejiwaan dan Psikososial Remaja. Ciri-ciri Kejiwaan dan Psikososial remaja menurut Arifin (2003) yang dikutip Eny Kusmiran (2011) :52

a. Usia Remaja Muda (12-15 Tahun) 1) Sikap protes terhadap orang tua

Remaja pada usia ini cenderung tidak menyetujui nilai-nilai hidup orangtuanya, sehingga sering menunjukkan sikap protes terhadap orangtuanya. Mereka berusaha mencari identitas diri dan sering kali disertai dengan menjauhkan diri dari orangtuanya. Dalam upaya pencarian identitas diri, remaja cenderung melihat kepada tokoh-tokoh diluar lingkungan keluarganya, yaitu guru, figur ideal yang terdapat di film, atau tokoh idola.

2) Preokupasi dengan badan sendiri

Tubuh seorang remaja usia ini mengalami perubahan yang cepat sekali. Perubahan-perubahan ini menjadi perhatian khusus bagi diri remaja.

3) Kesetiakawanan dengan kelompok seusia

Para remaja pada kelompok umur ini merasakan keterikatan dan kebersamaan dengan kelompok seusia dalam upaya mencari kelompok senasib. Hal ini tercermin dalam cara berperilaku sosial.

Kemampuan untuk berpikir secara abstrak. Daya kemampuan berfikir seorang remaja mulai berkembang dan dimanifestasikan dalam bentuk diskusi untuk mempertajam kepercayaan diri.

4) Perilaku yang labil dan berubah-ubah

5) Remaja sering memperlihatkan perilaku yang berubah-ubah. Pada suatu waktu tampak bertanggung jawab, tetapi dalam waktu lain tampak masa bodoh dan tidak bertanggung jawab. Remaja merasa cemas akan perubahan dalam dirinya. Perilaku demikian menunjukkan bahwa dalam diri remaja terdapat konflik yang memerlukan pengertian dan penanganan yang bijaksana. b. Usia Remaja Penuh (16-19 Tahun)

1) Kebebasan dari orang tua

Dorongan untuk menjauhkan diri dari orangtua menjadi realitas. Remaja mulai merasakan kebebasan, tetapi juga merasa kurang menyenangkan. Pada diri remaja timbul kebutuhan untuk terikat dengan orang lain melalui ikatan cinta yang stabil.

2) Ikatan terhadap pekerjaan atau tugas

Sering kali remaja menunjukkan minat pada suatu tugas tertentu yang ditekuni secara mendalam. Terjadi pengembangan akan cita-cita masa depan yaitu mulai

memikirkan melanjutkan sekolah atau langsung bekerja untuk mencari nafkah.

3) Pengembangan nilai moral dan etis yang mantap

Remaja mulai menyusun nilai-nilai moral dan etis sesuai dengan cita-cita.

4) Pengembangan hubungan pribadi yang labil

Adanya tokoh panutan atau hubungan cinta yang stabil menyebabkan terbentuknya kestabilan diri remaja.

5) Penghargaan kembali pada orangtua dalam kedudukan yang sejajar.

Menganalisis dari hasil wawancara pada kasus remaja, bisa dicermati, salah satu masalah dalam kesehatan reproduksi remaja, antara lain kasus kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Masalah ini semakin meningkat seiring perkembangan informasi dan teknologi.

Banyak faktor yang bisa menyebabkan kasus ini. Jika ditelaah lebih lanjut, salah satu faktor mungkin menjadi penyebab terjadinya KTD di Desa dukuh Widara adalah pola asuh orang tua terhadap remaja.

Gaya pengasuhan orang tua didefinisikan oleh Darling dan Steinberg (1993) sebagai “sekumpulan sikap yang dikomunikasikan kepada remaja dan bersama menciptakan suasana emosional dimana perilaku orang tua diekspresikan. Gaya pengasuhan tidak hanya terdiri atas peraturan, pembatasan, dan tuntutan tetapi juga aspek yang sangat penting yaitu komunikasi dan kehangatan orang tua. Etzkin (2004) menyatakan bahwa komunikasi orang tua tentang isu seksual adalah kunci penting dalam keterlibatan keluarga pada kehidupan remaja53. Pengasuhan orang tua erat dengan banyak aspek dan perkembangan remaja, orang tua yang berwibawa

dicirikan oleh tingginya tingkat kehangatan, adanya dukungan orang tua, pengaturan batasan komunikasi terbuka dan pengawasan tinggi telah lama diyakini sebagai gaya pengasuhan yang ideal54.

Menurut Santrock (2003) pengasuhan orang tua tersusun berurutan. Pertama pengasuhan tidak meliputi tema penting dari sosialisasi timbal balik dan kesesuaian, remaja mensosialisasikan orang tua seperti orang tua mensosialisasikan remaja. Kedua orang tua menggunakan kombinasi dari beberapa tehnik dari pada hanya satu tehnik, walaupun beberapa tehnik lebih dominan.

Pengasuhan yang konsisten akan mempengaruhi remaja terhadap gaya pengasuhan yang diterapkan. Orang tua yang bijaksana dapat merasakan pentingnya bersikap lebih permisif dalam situasi tertentu, dan lebih otoriter pada situasi yang lain namun dapat lebih otoritatif disituasi yang lain lagi.55

Pandangan yang lebih dikenal adalah pandangan Diana Baumrind, yang menyakini bahwa orang tua seharusnya tidak bersikap menghukum maupun menjauhi remaja tetapi sebaiknya membuat aturan dan menyayangi mereka. Dia menekankan tiga jenis cara menjadi orang tua, yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial remaja yaitu otoriter, otoritatif, dan permisif (Santrock, 2003). Orang tua dengan gaya pengasuhan otoritatif (dukungan yang tinggi dengan pengawasan yang moderate)konsisten berhubungan dengan remaja yang berperilaku positif, sedangkan gaya pengasuhan otoriter (pengawasan yang tinggi dan dukungan yang rendah) atau orang

54Sumber: Devore & Ginsburg. 2005 55Sumber: Santrock, John W. 2007

tua yang permisif neglectful secara umum berhubungan dengan remaja yang berperilaku negatif (Baumrind, 1991).

Huebner dan Howell (2003) dalam penelitian yang dilakukannya membagi gaya pengasuhan orang tua atas pengasuhan otoritatif dan non otoritatif. Gaya pengasuhan otoritatif adalah pengasuhan yang mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberi batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Gaya pengasuhan ini memberi kesempatan remaja untuk memiliki otoritas akan perilakunya. Komunikasi verbal timbal-balik dapat berlangsung dengan bebas, orang tua bersikap hangat dan membesarkan hati remaja.

Gaya pengasuhan non otoritatif terdiri atas pengasuhan otoriter dan permisif. Gaya pengasuhan otoriter merupakan gaya pengasuhan yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Gaya pengasuhan ini membuat remaja tidak memiliki kebebasan dalam berperilaku. Orang tua otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Gaya pengasuhan permisif terdiri dari pengasuhan permisif tidak peduli dan memanjakan. Pengasuhan permisif tidak peduli adalah suatu pola dimana orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja, hal ini berkaitan dengan perilaku sosial yang tidak cakap terutama kurangnya mengendalian diri. Pengasuhan permisif memanjakan merupakan suatu pola dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka.

Menurut Maccoby dan Martin (1983) gaya pengasuhan orang tua sendiri terdiri dari dua elemen penting yaitu pengasuhan responsiveness (mengacu pada pengasuhan hangat dan memberikan dukungan) dan demandingness mengacu pada kontrol tingkah laku). Hal ini juga merupakan suatu penerapan

metode disiplin pada remaja. Metode disiplin ini meliputi konsep positif dan konsep negatif. Konsep positif terjadi bila penerapan disiplin merupakan pendidikan dan bimbingan yang menekankan pengendalian diri. Konsep negatif terjadi apabila pengendalian diri remaja berasal dari kekuatan luar. Aspek-aspek gaya pengasuhan orang tua meliputi pengawasan yaitu usaha orang tua untuk mengawasi dan mempengaruhi kegiatan remaja, komunikasi orang tua dan remaja, disiplin yang diterapkan dengan fungsi sebagai pedoman dalam melakukan penilaian terhadap tingkah laku remaja, hukuman dan hadiah.

Menurut Santrock (2003) terdapat peningkatan secara drastis penelitian mengenai pengasuhan bersama antara ayah dan ibu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kurangnya koordinasi antara ayah dan ibu, kurang berperannya salah satu orang tua, kurangnya kerjasama dan kehangatan dan tiadanya hubungan dengan salah satu orang tua, semuanya merupakan kondisi yang menyebabkan remaja berada dalam risiko masalah.

Tradisi sunat perempuan di kabupaten Cirebon, nampaknya masih cukup banyak dilakukan. Dari beberapa wawancara yang dilakukan pada remaja, baik laki-laki maupun perempuan belum pernah mendengar dan mengetahui tentang sunat perempuan. Informasi tentang sunat perempuan banyak didapatkan dari paraji atau dukun bayi dan ibu dari remaja tersebut.

WHO mendefinisikan sunat perempuan sebagai semua tindakan/prosedur meliputi pengangkatan sebagian atau seluruh organ genitalia eksterna perempuan atau bentuk perlukaan lain terhadap organ genetalia perempuan dengan alasan budaya, atau alasan nonmedis lainnya. Tindakan bedah transeksual tidak termasuk dalam hal ini. Medikalisasi artinya keterlibatan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan sunat perempuan.Hal ini mungkin dimaksudkan untuk risiko kesehatan dibandingkan jika dikerjakan

oleh dukun bayi atau tukang sunat tanpa sepengetahuan kesehatan yang adekuat. Tetapi, hal ini ternyata dianggap menjadi berbahaya dan bertentangan dengan etika dasar kesehatan.

WHO secara konsisten dan jelas menyampaikan bahwa sunat perempuan dalam bentuk apapun tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan di manapun, termasuk rumah sakit dan sarana kesehatana lainnya. WHO berdasar pada etika dasar kesehatan bahwa mutilasi tubuh yang tidak perlu tidak boleh di lakukan oleh tenaga kesehatan. Female Genital Mutilation (FGM) membahayakan dan tidak berguna bagi wanita. Medikalisasi sunat perempuan juga cenderung akan mempertahankan tradisi ini. Masyarakat akan lebih yakin dengan anggapan adanya dukungan dan legalitas dari provider kesehatan.

Di Indonesia sendiri pada 31 Mei sampai 1 Juni 2005 telah diselenggarakan ”Lokakarya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan” berkaitan dengan sunat. Peserta lokakarya terdiri dari unsur-unsur Menteri Pemberdayaan Perempuan, Departemen Kesehatan, Departemen Agama, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Kesehatan Rakyat, Institusi Pendidikan (Fakultas Kedokteran, Sekolah Kebidanan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Islam Negeri), organisasi profesi (IBI, IDAI, POGI), ormas perempuan termasuk agama, media massa, yayasan yang berkaitan dengan pelayanan medis, dan institusi penelitian. Kesimpulan yang dihasilkan yaitu bahwa sunat perempuan tidak memiliki landasan ilmiah dan lebih didasari pada tradisi dan budaya, tidak ada landasan agama.

Atas dasar tersebut, di sampaikan rekomendasi yang berisi :

1) Mendukung kebijakan Kemenkes untuk melarang tenaga kesehatan dan sarana kesehatan melakukan sunat perempuan.

2) Mendesak semua pihak terkait untuk melakukan pendidikan publik tentang risiko sunat perempuan merupakan pelanggaran hak asasi.

3) Meningkatkan pemahaman pada kalangan tokoh agama, adat, dan penegak hokum terhadap masalah sunat perempuan.

4) Memasukkan larangan melakukan sunat perempuan dalam kurikulum pendidikan serta menjelaskan dampak negatifnya.

5) Mendesak Menteri Kesehatan, Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan Menteri Agama untuk minta fatwa MUI yang melarang dilakukannya sunat perempuan.

Rekomendasi tersebut telah diikuti dengan dikeluarkannya surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan oleh Depkes RI, yang mengharapkan agar semua tenaga kesehatan secara tegas menolak permintaan sunat perempuan.56

Bidan dan dukun bayi yang berada di Desa Dukuh Widara dalam melaksanakan sunat perempuan berbeda-beda mulai hanya ditoreh saja dan tidak ada jaringan atau selaput yang terbawa, sampai denganterdapat dukun bayi yang melakukan sunat dengan ditoreh sampai ada darah yang menetes. Penggalian tentang alasan yang melatar belakangi tindakan sunat perempuan, diungkapkan oleh beberapa dukun antara lain karena alasan agama maka mereka wajib disunat. Ada juga bidan

56Sumber: Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan Selasa, 13 Mar 2007 09:49:48 Jakarta

yang melakukan sunat tersebut hanya mengikuti tradisi yang berlaku dimasyarakat, jadi melakukannya hanya untuk memenuhi permintaan.