• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN KESEHATAN MASYARAKAT DUKUH WIDARA

3.2. Penyakit Menular

3.3.3. Gangguan Jiwa

Data awal pasien dengan gangguan jiwa didapatkan dari profil Puskesmas Kalibuntu. Berdasarkan profil tersebut, Di Desa Dukuh Widara terdapat 3 pasien penderita gangguan jiwa yaitu Ny AS,

Informasi yang didiapatkan dari aparat desa setempat, bahwa Ny AS, adalah seorang TKW yang bekerja di Arab Saudi. Selama 6 tahun bekerja di sana, Ny As meminta kakaknya untuk memegang hasil kerjanya. Namun sayangnya, menurut keterangan Bp. Nura, uangnya nggak jelas. Gejala awal gangguan jiwa dirasakan sudah lama setelah tinggal di Indonesia .

”Awalnya katanya panas, pusing, mungkin kemauan banyak tidak terelaisasi, mau nuntut sama siapa, ngadu sama siapa, orang yang mengasuh anaknya. Awalnya memang sedikit nakal. Terus ada intruksi dari Puskesmas, jangan sampai telat obat. Teriak-teriak saja, kalau mau jalan kesana tidak bisa dicegah. Untuk argumen, semasa lagi normal bagus. Bukan orang berpendidikan tapi dari segi pengalaman bagus. Jadi ini bahasanya siti aisyah atau bukan?”

Menurut keterangan Bp Nura, penyebab sakitnya Ny AN bukan karena halhal mistik walaupun sempat ada dugaan seperti itu. Pengobatan ke orang “pintar” masih sering dilakukan. Kadang pengobatan ke dokter kemana mana, tetap seperti saja. setelah dibawa ke paranormal sembuh, ini jadi dilema (dengan kepercayaan pengobatan kedokteran).

Jadi kemungkinan yang terjadi seperti kasus tersebut adalah kesambet. Menurut ilmu ipa dulu, di bawah pohon karena pertukaran oksigen dengan tumbuhan kalah, bahasa orang kita kesambet.

Masih menurut Bp Nura, salah satu penderita gangguan Jiwa yang lain adalah Bp Kar. Kondisi sekarang sudah mau kerja lagi walaupun serabutan. Salah satu faktor yang mungkin mengawali gangguan jiwa ini adalah karena rumah tangga masalh rumah tangga.

“Ada suami yang meneng, tapi bukan kalah. Tapi dianggap kalah. Karena tidak mau ribut karena tekanan istri. di kampung ketika ada pekerjaan banyak susah cari orang, lagi nggak ada kosong. Jadi intinya serba binggung. Dari situ stress”.

Beberapa hari kemudian kunjungan dilakukan kepada Ibu eni, Kakak Ny AS. Menurut Ibu Eni, telah merawat adiknya sejak ± 2 tahun yang lalu. Sejak saat itu sampai dengan sekarang AS sudah kumat 3 kali kambuh. Kambuh yang pertama dan kedua cukup parah, sampai mau pergi dari rumah, tetapi saat kambuh ketiga tidak begitu banyak, paling hanya ngomong sendiri.

Kondisi sekarang Ny AS sudah sembuh dan telah bekerja di jakarta, meninggalkan anaknya diasuh kakaknya, Ibu Eeni. Menurut Ibu Eni, ia mengenal gangguan jiwa dengan istilah lain yang dikenal adalah depresif berat. Bagaimana awal depresi? Berikut cerita Ibu Eni

Dulu sih udah pernah. Pada saat di bawa ke belitung sama suaminya, balik, depresi disana. Kerjanya di belitung suaminya, bekerja dengan orang cina, kelapa sawit pulang2 sakit. saya jemput di bandara, saya obatin, alhamdulillah sembuh.

Menurut cerita Ibu Eni, Ny AS, pergi ke Belitung turut suaminya. Suami Mba As, bekerja di kebun kelapa sawit. Namun pada waktu pulang ternyata Mba AS, sudah depresi. Kondisi ini tentunya sangat mengagetkan Ibu Eni dan keluarga Mba AS. Betapa tidak, selama ini tidak pernah terdengar kabar yang kurang menyenangkan. Walaupun jauh Mba As sangat sering berkomunikasi dengan Ibu Eni melalui telf, dan selama itu Ibu Eni, selalu pernah mendengar kabar yang sangat menyenangkan. Kabar tentang kebahagiaan kehidupan Mba As bersama suami dan anaknya yang kini telah berusia 2 tahun.

Pada awalnya pengobatan dilakukan ke dokter spesiais jiwa yang berada di wilayah tersebut. Namun seiring dengan waktu yang berjalan, dikarenaka kondisi keuangan yang tidak memungkinkan, pengobatan terhadap Mba As dilanjutkan ke sebuah rumah sakit di wilayah kabupaten Cirebon. Pengobatan yang dilakukan ke rumah sakit tersebut juga tidak lama dilakukan karena masalah yang sama yaitu keuangan. Beberapa saat setelah itu, Ibu Eni bertemu dengan dokter di Puskesmas dan mendiskusiakan tentang kelanjutan pengobatan Mba AS.Sebagai solusinya, Mba As melanjutkan pengobatan ke Puskesmas. Ibu Eni dan keluarga sangat bersyukur dengan perkembangan tersebut. Selain biaya yang murah, jarak yang terjangkau dan kemajuan pengobatan yang baik, baru 7 kali datang ke Puskesmas, Mba As sudah menunjukkan kemajuan yang sangat bagus. Bahkan telah dinyatakan sembuh. Hal ini tentunya sangat menggembirakan karena Mba as sepertinya telah pulih dari kondisinya. Berbagai keluhan yang sering muncul, seperti bicara sendiri, kadang menangis dan kadang marah, sudah tidak lagi ada.

Dengan kondisinya yang telah membaik, Mba AS kembali lagi menusul suaminya bersama anaknya. Tidak lagi ada trauma dengan kehidupan suaminya. Cerita duka ternyata berulang kembali, cerita yang selama ini selalu disembunyikan oleh Mba AS. Itu juga ketika kondisinya tidak sadar, Yah Mba AS, kambuh lagi tidak berapa lama ketika ia menyusul suaminya. Ternyata selama tinggal bersama dengan suaminya, Mba As sering bahkan sangat sering ditinggal suaminya yang entah kemana perginya. Mba As, akhirnya pulang dengan kondisi yang sama dengan dahulu, depresi berat. Keberadaan suami Mba As yang demikian, terbukti juga oleh Ibu Eni. Ibu an telf ke nomer suaminya Mba AS dan ternyata yang menerima telf tersebut adalah seorang

perempuan. Situasi seperti ini, aganya yang menimbulkan beban-beban yang terpendam.

Istilah yang sering digunakan oleh masyarakat d desa Dukuh Widara, menyikapi orang –orang seperti Mba As, dengan istilah gila/edan. Demikian juga kebanyakan tetangganya menyebut kondisi Mba As dengan gila/edan. Rupanya Ibu Eni, kurang menyukai sebutan tersebut, bahkan kalau anaknya sendiri yang menyebutnya, biasanya Ibu Eni akan marah besar. Karena, menurutnya bahwa istilah gila/edan itu hanya diperuntukkan untuk orang yang memiliki gangguan jiwa. Khusus untuk adiknya Ibu Eni, menyebutnya dengan depresi berat.

Masyarakat di sana menganggap bahwa penyakit jiwa ini bukan penyakit keturunan dan dapat disembuhkan. Penderita akan dibiarkan berkeliaran di jalanan, asalkan dianggap tidak menimbulkan bahaya bagi orang yang lain. Salah satu penderita penyakit jiwa di daerah tersebut dianggap dapat melakukan tindakan yang membahayakan orang lain di sekitarnya, sehingga penderita tersebut dilakukan tindakan pasung. Menurut keluarga penderita pasung tersebut, penyebab penderita sampai terkena penyakit jiwa adalah dikarenakan masalah pribadi. Dan karakter penderita yang sedikit tetutup. Penderita sudah pernah di rawat di rumah sakit jiwa, dan sudah dinyatakan sembuh, sudah pernah juga dilakukan pengobatan alternative ke paranormal, namun setelah pulang dari perawatan rumah sakit ternyata penderita kambuh kembali dan melakukan tindakan yang dianggap membahayakan orang lain. Berbagai penyebab penyakit jiwa di desa Dukuh Widara ini dikarenakan beberapa hal, seperti permasalahan ekonomi keluarga, karena kekecewaan pada keluarga yang dipercayai, dan karena hubungan pribadi dengan lawan jenis. Puskesmas Kalibuntu sendiri memfasilitasi rujukan untuk penderita penyakit jiwa agar berobat ke Rumah Sakit

Daerah Waled untuk mendapatkan pengobatan oleh dokter spesialis penyakit jiwa.

Gambar 3.4.

Penderita Gangguan Jiwa yang dipasung oleh keluarganya Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

3.4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.4.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan

Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan (Linakes) tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 208 (12,46%).71 Puskesmas Kalibuntu sebagai Puskesmas Wilayah Desa Dukuh Widara saat ini masih belum merupakan Puskesmas dengan Rawat Inap atau Puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergency Dasa), sehingga Puskesmas ini belum bisa menjadi tempat untuk persalinan. Data

71Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan 2013

persalinan terakhir bulan Juni di Puskesmas Kalibuntu menunjukkan bahwa di Desa Dukuh Widara dari 12 persalinanyang ada ternyata masih ada 2 orang (16,7%) melakukan persalinan di rumah. Masih terdapatmasyarakat yang menginginkan persalinan di rumah, ketika ibu hamil merasakan akan melahirkan, sehingga keluarga pasien akan memanggil bidan ke rumah. Masih ada bidan yang bersedia menolong persalinan di rumah pasien karena mempunyai persepsi daripada nantinya persalinan di tolong oleh dukun karena bidannya datang terlambat, Alasan lain karena pasien sudah tidak memungkinkan di bawa ke tempat bidan, karena sudah merasa dekat waktu persalinan. Bidan yang lain di Desa Dukuh Widara, justru merasa lebih nyaman jika pasiennya melahirkan di tempat prakteknya, karena akan mempermudah dalam pemantauan kemajuan persalinan. Bidan tidak harus bolak-balik ke rumah pasien dalam pemantauan kemajuan persalinan tersebut. Persalinan di rumah masih dianggap lebih enak, lebih nyaman oleh ibu yang akan melahirkan, dibandingkan di tempat persalinan lainnya, misalnya di tempat Bidan Praktek Mandiri (BPM) atau Rumah Sakit. Hal tersebut terlihat dari adanya rencana persalinan di rumah oleh beberapa informan yang diwawancarai.

“Lebih nyaman kayanya, enak di rumah. Masyarakat disini lebih banyak milih dirumah. Paling kalau yang milih di bidan atau dirumah sakit karena udah ga bisa, ada masalah dalam melahirkan”72

Dan dari informan yang melahirkan di Bidan mengatakan jika melahirkan di bidan juga karena memang bidan yang menyarankan untuk melahirkan di tempat bidan.

“karena bidannya ga mau ke sini, saya disuruh kesana”73

Sesuai teori kebutuhan dasar manusia “Maslow”, bahwa kebutuhan dasar manusia terdiri dari kebutuhan fisiologis (makanan, air, eliminasi, bebas dari rasa sakit, serta aktivitas), rasa aman, rasa cinta, harga diri, aktualisasi diri.

Perasaan aman dan lebih nyaman melahirkan di rumah sebagai kebutuhan dasar seorang ibu yang akan melahirkan dapat disebabkan beberapa hal, karena persalinan di rumah mereka merasa nyaman berada di rumah sendiri dan berada dekat dengan orang–orang yang dicintai yaitu keluarga, di samping itu jika merasakan mulas dan melahirkannya malam hari, tidak membuat repot orang lain karena harus ada yang mengantar ke tempat praktek bidan. Masih terdapat anggapan jika melahirkan normal, mengapa harus di tempat yang lain. Mereka yakin jika ada komplikasi atau kondisi tidak normal, maka bidan juga akan membawanya ke fasilitas yang lebih memadai/ tinggi.

“Klo lahiran di rumah itu bagus berarti ga masalah, ga pernah salah. Klo sampe di bawa ke rumah sakit berarti bermasalah”.74

“Di bidan kan susah, ga ada yang nganter-nganter, malem. Sebenernya enak di rumah. Kecuali lahirannya susah ya di bawa, kalau normal ya di rumah aja. Kalau kata bidannya gengser udah dirumah aja, kalau susah ya di bawa”75

Sebenarnya semua persalinan sudah diharapkan berada di tempat atau di fasilitas kesehatan. Masyarakat Desa Dukuh

73Sumber: Wawancara dengan Wasrini 74Sumber: Wawancara denganIim Masruroh 75Sumber: Wawancara dengan Khodijah

Widara sudah banyak yang menyadari bahwa semua persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, sehingga semua persalinan sekarang pada umumnya sudah dilakukan oleh bidan, apabila dalam kondisi yang masih normal. Masyarakat lebih memilih bidan untuk menolong persalinan karena bidan dianggap orang yang lebih mengerti akan kesehatan jika dibandingkan dukun, terutama jika dukun baru dan dukun bukan karena turun temurun (turunan), dianggap masih sangat diragukan. Mereka merasa persalinan oleh bidan lebih nyaman dan dukunpun sudah menyadari setiap persalinan harus ditolong oleh bidan sehingga jika ada persalinan, dukun akan memberitahu bidan atau dengan menyuruh keluarga pasien untuk memanggil bidan. Keberadaan dukun bayi/paraji hanya mendampingi bidan saat persalinan, untuk membantu menjaga kenyamanan ibu yang akan melahirkan, dan dalam perawatan bayi baru lahir, atau hanya mengurusi bayinya. Pandangan tentang cara tenaga kesehatan yaitu bidan dalam menolong persalinan sudah dianggap cukup baik menurut masyarakat.

3.4.2. Melakukan Penimbangan Bayi dan Balita (Usia 0-59