• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM KABUPATEN CIREBON

2.1. Gambaran Umum Wilayah

2.1.1. Sejarah Cirebon

Sejarah Cirebon dimulai dari kisah Prabu Siliwangi yang beristrikan Nyai Subanglarang dari Kerajaan Pajajaran memiliki dua orang anak: Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larang Santang.14 Ketika beranjak dewasa, Walangsungsang tertarik untuk mempelajari agama Islam yang kemudian mendapat penolakan dari ayahandanya. Ia pun kemudian meninggalkan istana, disusul adiknya, Nyai Larang Santang. Walangsungsang kemudian menikah dengan Nyai Endang Geulis, anak dari Ki Gedheng Danuwarsih. Walangsungsang kemudian melanjutkan perjalanan menyinggahi berbagai pertapaan seperti Pertapaan Ciangkup di Desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal, serta Petapaan Gunung Cangak di Desa Mundu Mesigit, hingga akhirnya sampai di Gunung Amparan Jati, dimana ia bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang konon berasal dari Parsi. Setelah memeluk agama Islam, Walangsungsang pun kemudian bergelar Ki Samadollah.

Sementara itu, menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari15, pada abad XIV di pantai Laut Jawa ada sebuah desa

14

Sumber: Dalam “Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon” P.S Sulendraningrat, 1984. Cerita dalam buku ini juga nyaris seperti sebuah ‘dongeng’ dan berbau mitos dengan bukti-bukti sejarah yang minim sehingga kebenaran sejarahnya masih perlu banyak pembuktian.

15Sumber: Seperti termuat dalam website Pemerintahan Kota Cirebon: http://www.cirebonkota.go.id/

nelayan kecil bernama Muara Jati, yang menjadi tempat singgah kapal-kapal asing. Penguasa kerajaan Galuh (Pajajaran) menunjuk Ki Gedeng Alang-Alang (Ki Danu Sela, adik dari Ki Danurwasih), sebagai pengurus pelabuhan. Ia kemudian memindahkan pemukiman di Lemah Wungkuk dan kemudian diangkat sebagai

Kuwu atau pemimpin pemukiman, dan sebagai wakilnya adalah

Ki Samadollah. Ki Danu Sela kemudian bergelar Ki Ageng Pengalang Alang dan Ki Samadollah begelar Ki Cakrabumi.

Ki Samadollah dan adiknya, Nyai Larang Santang kemudian pergi ke Tanah Suci atas perintah gurunya.16 Sementara istri Ki Samadollah tidak bisa ikut karena sedang hamil. Di sanalah, Nyai Larang Santang kemudian dinikahi oleh Maulana Sultan Muhammad yang bergelar Syarif Abdullah yang konon merupakan keturunan Bani Hasyim. Nyi Larang Santang kemudian berganti nama menjadi Syarifah Mudaim dan dari pernikahan ini melahirkan putra, Syarif Hidayatullah yang kelak bergelar Sunan Gunung Jati. Konon Syarif Hidayatullah ini masih menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad SAW.

Sepulang dari Tanah Suci, Ki Samadollah kemudian diberi nama Haji Abdullah Iman. Ketika kemudian Ki Ageng Alang-alang wafat, ia menggantikannya menjadi kuwu dan bergelar Pangeran Cakrabuana.

Pada masa kepemimpinan Cakrabuana inilah Kebon Pesisir ramai dikunjungi banyak orang dari berbagai tempat. Cakrabuana pun kemudian membangun Keraton Pangkungwati, nama yang diambil dari nama putri sulungnya hasil pernikahan dengan Nyai Endang Geulis. Cakrabuana kemudian mendapat gelar Tumenggung (Naradipa) dari Prabu Siliwangi dan bergelar Sri Mangana.

16Sumber: Dalam Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon. P.S. Sulendraningrat. 1984

Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Syekh Jati mulai mengajarkan Islam. Ia menyinggahi beberapa tempat, salah satu di antaranya Banten. Ia kemudian menikahi adik dari Bupati Kawunganten. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten inilah kemudian lahir Pangeran Saba Kingkin, yang kelak bergelar Maulana Hasanuddin dan mendirikan Kerajaan Banten.

Gambar 2.1.

Keraton Kasepuhan, Cirebon Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Pada tahun 1479 M, Pangeran Cakrabuana menyerahkan Istana Pakungwati kepada Syarif Hidayatullah, keponakan sekaligus menantunya. Ia kemudian dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.

Pangkungwati berada di bawah kekuasaan Pajajaran, yang ditandai dengan pengiriman upeti. Namun pada masa kepemimpinan Syekh Syarif Hidayatullah, yakni pada tahun 1482

Masehi, ia membuat maklumat kepada Raja Pajajaran untuk tidak mengirim upeti lagi dan menyatakan kemerdekaan Cirebon.17 Dalam hal ini, Cirebon mendapat dukungan Kerajaan Demak18. Hal itu konon dipicu karena Kerajaan Pajajaran menolak ajakan masuk Islam dari Syarif Hidayatullah yang sudah berulangkali mengirimkan permohonan. Peristiwa tersebut tercatat dalam sejarah, terjadi pada tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa

Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12

Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang kemudian diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon. 19

Tindakan Cirebon ini kemudian menimbulkan kekhawatiran Pajajaran, bahwa negeri-negeri lain akan terpengaruh juga. Oleh karena itu selanjutnya Pajajaran mengirimkan pasukan untuk menangkap Syarif Hidayatullah tapi mengalami kegagalan. Dengan kemenangan Cirebon, kemudian banyak pengikut Pajajaran yang menyatakan diri masuk Islam dibawah pengaruh Kesultanan Cirebon .

Dalam sejarah, tercatat bahwa Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati memerintah Pangkungwati dari tahun 1479-1568. Pada masa pemerintahannya ini, Kesultanan Cirebon berkembang dengan pesat. Demikian juga dengan penyebaran agama Islam. Ia pun bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng

Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Pedagang-pedagang asing ramai

menyinggahi Pelabuhan Muara Jati, terutama pedagang Tiongkok

17

Sumber: Negara Gede (Grage) bernama Cirebon. Referensi : Negara Kerthabumi (karya P.Wangsakerta 1702 M) http://paguyubanwongcirebon. wordpress.com/ (akses: 22 Agustus 2014)

18

“Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya. Hasan Basyari. Zul Fana: Cirebon, 1989.

19 Sumber: “Sejarah Kabupaten Cirebon”, http://sraksruk.blogspot.com/ 2012/11/ sejara-kabcirebonjawa-Barat.html (akses tanggal 22 Agustus2014)

yang memperdagangkan keramik atau porselen. Untuk memperkuat hubungan antara dua negeri, Syarif Hidayatullah kemudian menikahi Putri Tiongkok yang bernama Ong Tien yang kemudian berganti nama Nyi Ratu Rara Sumanding.20 Bisa dipahami kemudian jika pengaruh Tiongkok ini demikian kental dalam bangunan-bangunan istana yang dihiasi berbagai ornamen khas Tiongkok.

Dalam upaya pengembangan kekuasaan Kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah dibantu oleh Fatahillah/ Falatehan21, seorang Panglima Perang dari Demak yang diutus Kesultanan Demak untuk memimpin pasukan yang akan diperbantukan kepada Kesultanan Cirebon untuk merebut Pelabuhan Sunda Kelapa dari Portugis. Fatahillah kemudian menikah dengan salah seorang putri Syarif Hidayatullah, Ratu Wulung Ayu yang kemudian melahirkan putra, Pangeran Muhammad Arifin.

20

Sumber: Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya. Hasan Basyari. Zul Fana: Cirebon, 1989.

21

Sumber: Ada beberapa versi tentang identitas Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dalam buku yang ditulis oleh Hasan Basyari, “Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya” dinyatakan secara tegas bahwa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah bukanlah Fatahillah. Sementara dalam beberapa buku sejarah, seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Muljana (2009), disebutkan bahwa kemungkinan Fatahillah, Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama. Lihat juga “Kerajaan Islam Nusantara abad XVI & XVII”, Drs. M. Harun Yahya, PT. Kurnia Kalam Sejahtera, Yogyakarta, 1995.

Gambar 2.2.

Ornamen di Istana Kesultanan Cirebon yang bercorak Tiongkok Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Ketika Sunan Gunung Jati memutuskan untuk memfokuskan diri pada kegiatan dakwah, ada beberapa versi yang menyebut tentang penerus kekuasaan. Satu versi menyebutkan bahwa Kesultanan Cirebon diserahkan kepada Fatahillah. Namun Fatahillah hanya memerintah selama dua tahun karena pada tahun 1570 ia meninggal dunia dan kemudian dimakamkan bersebelahan dengan makam Sunan Gunung Jati. Penerus selanjutnya adalah Pangeran Pasarean.

Versi lain menyebutkan bahwa Fatahillah tidak pernah menjadi pemimpin Cirebon (namanya memang tidak tertera dalam silsilah di Keraton Kasepuhan). Oleh karena itu, ketika Sunan Gunung Jati berhenti menjadi Sultan, pemerintahan kemudian diserahkan kepada putranya, Pangeran Pasarean dengan Fatahillah sebagai penasehatnya. Namun tak lama memerintah, ia kemudian wafat.

Sepeninggal Pangeran Pasarean tidak ada penerus yang bisa dicalonkan sebagai Sultan. Kemudian diangkatlah Aria Kamuning, anak angkat Syarif Hidayatullah yang juga menantu dari Fatahillah. Ia kemudian bergelar Dipati Carbon 1. Pengangkatan Aria Kamuning ini menimbulkan kontroversi

karena ia bukanlah keturunan langsung dari Sultan Carbon. Setelah memerintah selama sekitar 12 tahun, pada tahun 1565, pemerintahan kemudian diserahkan kepada putranya yang masih muda, Pangeran Mas yang kemudian bergelar Panembahan Ratu I.

Pada masa kepemimpinan Panembahan Ratu, konon Cirebon mengalami kemunduran, sementara Kerajaan Banten semakin berkembang. Setelah Panembahan Ratu wafat, ia kemudian digantikan oleh cucunya, Pangeran Karim atau Pangeran Rasmi yang kemudian bergelar Panembahan Girilaya yang kemudian bergelar Panembahan Ratu II, karena ayahnya, Pangeran Sedaing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah sudah meninggal. Dari pernikahannya dengan Putri Tegalsari, Panembahan Ratu II dikarunia 3 orang putra: Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya dan Pangeran Wangsakerta.22

Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu II ini, Kesultanan Cirebon terjepit di antara dua Kesultanan Besar: Kerajaan Banten dan Mataram. Sepeninggal Panembahan Ratu II, Kesultanan Cirebon mengalami kekosongan karena Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya di Mataram. Di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon kemudian terbagi tiga: Kesultanan Kasepuhan, dipimpin oleh Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Kasultanan Katjarbonan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I. Pembagian wilayah kesultanan ini juga dimaksudkan sebagai upaya Kesultanan Banten untuk memecah kekuatan Cirebon agar tidak beraliansi kepada Mataram.

22

Perpecahan di Kesultanan Cirebon pun kemudian tak bisa terhindarkan lagi. Kondisi ini diperparah dengan masuknya Kolonial Belanda yang selanjutnya banyak mencampuri dalam hal mengatur Kesultanan Cirebon dalam upaya mengendalikan daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa.23 Cirebon kemudian berkembang menjadi Karesidenan Chirebon yang meliputi Kotamadya dan empat Kabupaten: Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan.

Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Cirebon pun kemudian menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah Cirebon pun kemudian tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh walikota dan bupati. 2.1.2. Pusat Pemerintahan Kabupaten Cirebon

Pada awalnyaPusat pemerintahan Kabupaten Cirebon juga berada di Kotamadya Cirebon. Tetapi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1979 Tanggal 2 Oktober 1979, ibukota Kabupaten Dati II Cirebon dipindahkan ke Kota Sumber, Kecamatan Sumber, yang berada di sebelah Selatan Kota Cirebon.

Secara administratif, Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Letaknya strategis, karena berada di jalur pantura, jalan

antar provinsi yang menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa. Secara geografis, kabupaten ini terletak pada 108°40’ - 108°48’ Bujur Timur dan 6°30’ - 7°00’ Lintang Selatan.24 Luas wilayah daerah administratifnya adalah 990, 36 Km², dengan jarak terjauh Barat-Timur: 54 km dan Utara-Selatan: 39 km, sedangkan ketinggian dari permukaan laut adalah 0-130 mdpl. Topografi wilayahnya beraneka ragam. Laut, dataran rendah hingga pegunungan. Gunung tertinggi adalah Gunung Ceremai, dengan ketinggian 3076 m, merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat, dan tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru.

Gambar 2.3.

Gebang, salah satu pelabuhan laut (nelayan) terbesar di Kabupaten Cirebon Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut: - Sebelah Utara: Kabupaten Indramayu (Jawa Barat) - Sebelah Barat: Kabupaten Majalengka (Jawa Barat) - Sebelah Selatan : Kabupaten Kuningan (Jawa Barat)

- Sebelah Timur: Kabupaten Brebes (Jawa Tengah)

Gambar 2.4. Peta Wilayah Cirebon

Sumber: httP://wisatacrb.wordpress.com/

Kabupaten Cirebon terdiri atas 40 kecamatan, terbagi atas 412 desa dan 12 kelurahan. Tiga kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2007 adalah Kecamatan Jamblang (Pemekaran Kecamatan Klangenan sebelah Timur), Kecamatan Suranenggala (Pemekaran Kecamatan Kapetakan sebelah Selatan), dan Kecamatan Greged (Pemekaran Kecamatan Beber sebelah Timur).

Berikut adalah nama-nama kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon: 1. Waled 2. Pasaleman 3. Ciledug 4. Pabuaran 5. Losari,

6. Pabedilan 7. Babakan 8. Gebang, 9. Karangsembung 10. Karangwareng, 11. Lemahabang, 12. Susukan Lebak 13. Sedong 14. Astanajapura 15. Pangenan 16. Mundu 17. Beber 18. Greged 19. Talun 20. Sumber 21. Dukupuntang 22. Palimanan 23. Plumbon 24. Depok 25. Weru 26. Plered 27. Tengah Tani 28. Kedawung 29. Gunungjati 30. Kapetakan 31. Waled 32. Pasaleman 33. Ciledug 34. Pabuaran 35. Losari, 36. Pabedilan 37. Babakan

38. Gebang, 39. Karangsembung 40. Karangwareng, 41. Lemahabang, 42. Susukan Lebak 43. Sedong 44. Astanajapura 45. Pangenan 46. Mundu 47. Beber 48. Greged 49. Talun 50. Sumber 51. Dukupuntang 52. Palimanan 53. Plumbon 54. Depok 55. Weru 56. Plered 57. Tengah Tani 58. Kedawung 59. Gunungjati 60. Kapetakan

Menurut data statistik tahun 2013, jumlah penduduk di kabupaten ini sebesar 2.281.204 jiwa tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Cirebon dengan penduduk terbesar berada di Kecamatan Sumber (86.415 jiwa). Kepadatan penduduk di masing-masing kecamatan memang tidak merata karena penduduk cenderung lebih banyak di daerah-daerah perkotaan, yang menyediakan lapangan kerja relatif lebih banyak.

Mata pencaharian utama penduduk adalah pertanian, sektor tersebut menyumbang 30% dari Pendapatan Domestik

Regional Bruto (PDRB) dengan produk utama adalah padi, selanjutnya perikanan dan peternakan. Salah satu produk perikanan yang terkenal dari Cirebon adalah petis dan terasi. Terasi Cirebon konon sudah terkenal sejak jaman dulu. Terasi terbuat dari rebon, sejenis udang kecil, oleh karena itu sebutan “Kota Udang” seringkali disematkan untuk menyebut Kota Cirebon.

Gambar 2.5

Mega Mendung, motif batik khas Cirebon Sumber: Muha, Sejarah Batik Trusmi, http://sanggarbatikkatura.com/sejarah-batik-trusmi

Cirebon juga dikenal sebagai daerah penghasil batik yang berpusat di Desa Trusmi, Plered. Istilah Trusmi sendiri konon berasal dari kata “terus bersemi”, yang menandai adanya pohon di daerah tersebut yang setiap kali ditebang akan tumbuh/ bersemi kembali.25 Pembuatan batik ini konon sudah dimulai sejak jaman Kesultanan Cirebon. Pada masa itu, salah seorang dari Desa Trusmi diminta Sultan untuk membuat duplikat batik yang ada di Keraton tanpa boleh membawa contohnya. Ternyata

pembatik Trusmi tersebut mampu melakukannya. Maka selanjutnya dikenal daerah Trusmi sebagai daerah pembuat batik. Adapun motif yang terkenal adalah motif batik Mega Mendung.