• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Attachment dan Kesiapan Menikah pada Dewasa Muda yang Sedang Menjalani Hubungan Jarak Jauh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Attachment dan Kesiapan Menikah pada Dewasa Muda yang Sedang Menjalani Hubungan Jarak Jauh"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Attachment dan Kesiapan Menikah pada Dewasa Muda

yang Sedang Menjalani Hubungan Jarak Jauh

Penyusun: Putri Husna Raditya

Pembimbing:

Mellia Christia, M.Si, M.Phil, Psikolog

Program Studi S1 – Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Abstrak:

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara attachment dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh. Adult Attachment Scale (AAS) (Collins & Read, 1990) digunakan untuk mengukur attachment dan Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004) digunakan untuk mengukur kesiapan menikah. Jumlah sampel penelitian ini adalah 102 individu yang merupakan dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) terdapat hubungan positif yang signifikan antara secure attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh (r=0.237, p<0.05), 2) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara avoidant attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh jauh (r=-0.341, p<0.01), dan 3) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara anxious attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh (r=-0.375, p<0.01). Dalam penelitian ini, secure merupakan attachment style yang paling banyak dimiliki oleh dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh dan area yang diprioritaskan dalam kesiapan menikah adalah minat dan pemanfaatan waktu luang.

Kata kunci: attachment; kesiapan menikah; dewasa muda; hubungan jarak jauh Abstract:

This research was conducted to determine the relationship between attachment and readiness for marriage in young adults who are having a long-distance relationship. Adult Attachment Scale (AAS) (Collins & Read, 1990) was used to measure attachment and Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004) was used to measure readiness for marriage. The sample size for this research was 102 young adults who are having a long-distance relationship. The result of this research indicated that 1) there is a significant positive relationship between secure attachment style and readiness for marriage in young adults who are having a long-distance relationship (r=0.237, p<0.05), 2) there is a significant negative relationship between avoidant attachment style and readiness for marriage in young adults who are having a long-distance relationship (r=-0.341, p<0.01), and 3) there is a significant negative relationship between anxious attachment style and readiness for marriage in young adults who are having a long-distance relationship (r=-0.375, p<0.01). In this research, secure was the attachment style which was the most widely owned by young adults who are having a

(2)

long-distance relationship and an area of eight readiness for marriage areas being a priority was the interested in and the use of leisure time.

Keywords: attachment; readiness for marriage; young adults; long-distance relationship I. Pendahuluan

Menurut Chapman, Pistole, dan Roberts (2005), di dalam suatu hubungan romantis, terdapat dua tipe hubungan apabila dibedakan berdasarkan jarak, yaitu hubungan percintaan jarak dekat (geographically close relationship) dan hubungan percintaan jarak jauh (long-distance relationship). Pada akhir tahun 1970-an, peneliti mulai mencatat adanya prevalensi yang meningkat pada long-distance relationship di masyarakat Amerika (Freitas, 2004). Di Indonesia, belum ada data statistik mengenai jumlah individu yang menjalani long-distance relationship. Akan tetapi, fenomena long-distance relationship ini juga mewabah di Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau (diunduh dari http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia

tanggal 19 April 2013, pukul 17:22). Hal itulah yang memungkinkan banyaknya individu untuk berinteraksi atau berhubungan dengan orang lain di berlainan tempat.

Dikarenakan adanya jarak yang memisahkan, individu yang menjalani hubungan jarak jauh tentunya lebih merasa kesulitan untuk bertemu secara fisik dengan pasangan mereka daripada individu yang tidak menjalani hubungan jarak jauh. Jimenez (2010) mengungkapkan bahwa perpisahan dari significant others—dalam hal ini adalah pasangan—dipersepsikan sebagai suatu ancaman terhadap attachment.

Menurut Bowlby (dalam Pistole, Roberts, & Chapman, 2010), attachment adalah ikatan emosional yang kuat dan perasaan security pada pasangan dalam hubungan romantis yang penting. Terdapat tiga attachment styles, yakni secure, avoidant, dan anxious (Hazan & Shaver, 1987). Dewasa muda yang secure secara umum dapat mempercayai orang yang mereka cintai dan mempersepsikan diri mereka layak dicintai. Mereka mudah untuk dekat dengan orang lain dan tidak merasa khawatir akan ditinggalkan. Cinta digambarkan oleh mereka sebagai sesuatu yang membahagiakan. Mereka mampu menerima dan mendukung pasangan mereka dengan segala kekurangan pasangannya.

Sebaliknya, individu yang avoidant merasa takut akan kedekatan dan intimacy dengan orang lain. Mereka mengembangkan jarak dalam hubungan emosional yang terjalin. Di dalam hubungan romantis, mereka ditandai dengan rendahnya tingkat kepercayaan, ketergantungan, komitmen, dan kepuasan hubungan. Mereka juga memiliki emosi yang naik turun dan

(3)

perasaan cemburu yang sangat besar. Selain itu, mereka tidak memiliki pandangan positif tentang cinta.

Terakhir, individu dewasa yang anxious sangat terobsesi mencari cinta sejati, tetapi seringkali merasa sakit karena tidak dapat menemukannya. Mereka mengekspresikan perasaan emosional mereka secara ekstrem. Meeka menganggap orang lain tidak ingin dekat dengan mereka sebagaimana mereka ingin dekat dengan orang lain. Hubungan romantis individu dewasa yang anxious ditandai oleh obsesi terhadap pasangannya, keinginan adanya hubungan timbal balik dan penyatuan dengan pasangan secara utuh, serta ketertarikan seksual dan perasaan cemburu yang ekstrem.

Dari uraian ketiga attachment styles, dapat disimpulkan bahwa hubungan yang insecure akan memiliki banyak bahaya dan kerugian. Maka dari itu, attachment yang baik penting untuk dimiliki oleh pasangan romantis. Tujuan dari attachment adalah untuk mendapatkan rasa perlindungan dengan cara mempertahankan proksimitas atau kedekatan terhadap figur attachment (Selcuk, Zayas, & Hazan, 2010).

Hubungan dengan attachment yang baik diasumsikan terjadi jika individu melakukan empat tingkah laku terhadap pasangannya, yakni: 1) mempertahankan proksimitas kepada pasangannya, 2) memperlakukan pasangan sebagai safe haven ketika merasa terancam atau sedang butuh kenyamanan, 3) menjadikan pasangan sebagai secure base untuk menjelajahi dunia, dan 4) mengalami separation distress ketika pasangan tidak dapat diakses.

Jika diaplikasikan pada pasangan yang menjalani long-distance relationship, mempertahanan proksimitas terhadap pasangannya tentu merupakan hal yang tidak dapat dilakukan yang disebabkan oleh adanya jarak yang memisahkan. Padahal, attachment merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, terutama bagi individu yang memasuki masa dewasa muda, yaitu antara usia 20—40 tahun (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Dalam masa tersebut, dewasa muda memasuki tahap keenam dalam perkembangan psikososial menurut Erikson, yaitu intimacy versus isolation. Menurut Erikson (dalam Kroger, 2002), masalah yang dialami oleh dewasa muda dalam tahap ini adalah bagaimana untuk menjaga dan melindungi orang yang berkomitmen dengan mereka. Jika dewasa muda tidak dapat memiliki komitmen mendalam kepada orang lain, mereka akan berisiko menjadi terisolasi dan cenderung hanya memikirkan diri sendiri.

Dalam kehidupannya, individu melewati setiap tahapan perkembangan selama hidupnya. Tugas-tugas perkembangan dalam setiap tahap dalam hidup pun butuh untuk tercapai demi penyesuaian yang baik (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Tugas perkembangan bagi dewasa muda salah satunya adalah untuk menikah dan membina keluarga. Jika dilihat

(4)

dari teori attachment, fungsi dasar dari hubungan pernikahan adalah untuk mengatur rasa security pasangan (Selcuk, Zayas, & Hazan, 2010) dan bahwa attachment merupakan salah satu prediktor penting dalam kepuasan pernikahan (Nodar, n.d.). Selanjutnya, Myers (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) mengatakan bahwa orang-orang yang menikah cenderung lebih bahagia daripada orang-orang yang tidak menikah. Menurut Duvall dan Miller (1985), pernikahan adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial yang menyediakan hubungan seksual, melegitimasi kehamilan, dan memunculkan pembagian kerja di antara pasangan.

Dalam sebuah ikatan pernikahan, menyatukan dua individu yang berbeda bukanlah hal yang mudah. Diperlukan adanya kesiapan menikah untuk dapat mengenal pasangannya lebih dalam. Pada umumnya, sebelum memutuskan untuk menikah, individu cenderung memilih untuk berpacaran terlebih dahulu. DeGenova (2008) mengatakan bahwa individu memilih berpacaran terlebih dahulu salah satunya sebagai cara untuk menyeleksi pasangan hidup dalam rangka mendapatkan pasangan yang tepat.

Kesiapan untuk menikah juga penting untuk kelanggengan pernikahan individu. Peneliti menemukan fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perceraian yang cukup tinggi. Menurut Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama RI, pada tahun 2010, dari dua juta orang menikah setiap tahun, terdapat 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian di Indonesia tiap tahunnya. Adapun faktor peceraian yang paling umum

adalah karena ketidakharmonisan dan masalah ekonomi

(

http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraian-tertinggi-di-indonesia/, diunduh pada 16 Januari 2013). Berdasaran data ini, dapat dikatakan bahwa penyebab utama perceraian lebih ke arah hal-hal yang berkaitan dengan penyesuaian diri pasangan terhadap hal baru. Berdasarkan United States Department of Commerce (dalam Whiteway, 2001), hampir 1.2 juta pasangan bercerai pada tahun 1997. Median dari durasi pernikahan pada pasangan yang bercerai pada tahun 1990 adalah 7.2 tahun, dan kebanyakan perceraian terjadi selama sepuluh tahun pertama pernikahan. Dari fenomena ini, dapat dikatakan bahwa tahun-tahun pertama pernikahan merupakan waktu yang rentan akan perceraian.

Risiko perceraian ini dapat dikurangi salah satunya dengan cara meningkatkan kesiapan individu sebelum menikah. Pasangan harus memikirkan banyak hal, misalnya bagaimana kebutuhan sehari-hari akan meningkat, bagaimana cara mendidik anak yang baik, atau mungkin pasangan wanita yang ingin memiliki karir. Dalam pernikahan, terdapat perbedaan peran yang harus dijalani oleh pasangan dibandingkan pada saat berpacaran.

(5)

Hal-hal baru seperti ini membutuhkan penyesuaian agar pernikahan nantinya akan berjalan dengan baik.

Dengan pertimbangan bahwa menyatukan dua individu berbeda dalam satu ikatan pernikahan bukanlah suatu hal yang mudah dan bahwa penyesuaian diri dengan pasangan dapat mengurangi risiko perceraian, pasangan harus memiliki kesiapan menikah atau dalam istilah psikologi dapat disebut sebagai readiness for marriage. Menurut Holman dan Li (1997), “readiness for marriage is a perceived ability of an individual to perform in marital roles, and see it as aspect of the mate selection or relationship development process”. Dapat dikatakan bahwa kesiapan menikah adalah kemampuan yang dipersepsi individu untuk melakukan peran-peran pernikahan, dan melihat hal tersebut sebagai aspek dari pemilihan pasangan atau proses perkembangan hubungan. Kesiapan menikah dalam aspek pemilihan pasangan dimaksudkan untuk menyeleksi pasangan dalam rangka mendapatkan pasangan hidup yang tepat (DeGenova, 2008). Lebih lanjut lagi, dilihat dari teori pemilihan pasangan atau mate selection yang memandang bahwa proses interpersonal merupakan hal yang penting, Cate dan Llyod (dalam Holman & Li, 1997) mengatakan bahwa kesiapan menikah dapat dikatakan sebagai salah satu dari banyak faktor yang menggerakkan hubungan ke jenjang pernikahan.

Menurut Holman dan Li (1997), dari hasil penelitian dan teori didapatkan bahwa kesiapan menikah merupakan bagian dari transisi perkembangan secara sosial sebelum memasuki pernikahan bagi kebanyakan dewasa muda. Menurut Holman, Larson, dan Harmer (dalam Mosko & Pistole, 2010), kesiapan menikah menyinggung kepada persepsi diri apakah siap untuk menikah dan apakah pasangan harus dipilih. Sayangnya, ketersediaan data mengenai tahun pertama pernikahan, persiapan, dan kesiapan pasangan untuk menikah sangat terbatas (Moris & Carter, 1999). Ginanjar (2011) menyatakan bahwa mempersiapkan diri sebelum memasuki kehidupan pernikahan merupakan hal yang sangat penting karena dengan persiapan yang baik akan memberikan banyak manfaat untuk bisa menjalani pernikahan yang lebih baik.

Kesiapan menikah meliputi berbagai macam area yang dibahas oleh berbagai tokoh. Beberapa area tersebut merupakan area-area yang diukur dalam Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah yang dikembangkan oleh Wiryasti (2004). Sesuai dari apa yang dijelaskan oleh Wiryasti (2004), kedelapan area tersebut disusun dengan melihat pada area-area kesiapan menikah yang dikemukakan oleh beberapa tokoh berikut, yaitu Duvall, Hanson, Larson, dan Holman, Fowers dan Olson, serta Stahman dan Hiebert. Kemudian, area-area tersebut disesuaikan dengan kondisi di Indonesia dengan melihat pada area-area apa saja yang paling

(6)

sering muncul dalam memicu adanya perceraian dalam rumah tangga di berbagai tabloid dan majalah, seperti majalah Femina dan tabloid Nova. Adapun area-area tersebut, antara lain komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup. Aspek-aspek inilah yang harus disiapkan oleh pasangan ketika mereka memutuskan untuk menikah.

Sayangnya, pada penelitian mengenai long-distance relationship, ditemukan bahwa pasangan yang menjalani long-distance relationship cenderung tidak termotivasi untuk mendiskusikan hal-hal penting dalam kesiapan menikah, misalnya keuangan, pengasuhan anak, agama, pandangan mengenai karir, pengasuhan untuk meminimalisasi potensi perbedaan pada pasangan dan menjaga interaksi (Stafford, 2010). Selain itu, dikarenakan oleh kesempatan komunikasi yang lebih sedikit, pasangan yang menjalani long-distance relationship memiliki kesempatan yang lebih kecil daripada pasangan yang tidak menjalani long-distance relationship untuk mendiskusikan hal-hal tersebut. Hasil dari penelitian Stafford (2010) adalah bahwa semakin lama hubungan yang terjalin oleh pasangan yang tidak menjalani long-distance relationship, mereka akan mendiskusikan isu-isu mengenai kesiapan menikah. Sebaliknya, bagi pasangan yang menjalani long-distance relationship, hal ini tidak terjadi.

Dengan melihat 1) bahwa attachment dan kesiapan menikah merupakan aspek penting dalam pernikahan, 2) masih kurangnya pengembangan penelitian dalam attachment dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship padahal fenomena long-distance relationship semakin banyak akhir-akhir ini, 3) bahwa kurangnya kehadiran pasangan secara fisik yang merupakan inti dari teori attachment berpengaruh pada hubungan romantis, dan 4) berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia terkait dengan pernikahan, seperti fenomena perceraian, maka peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara attachment dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan penelitian ini dapat memperluas wawasan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan attachment dan kesiapan menikah, menjadikannya sebagai salah satu pertimbangan atau masukan bagi dewasa muda yang sedang menjalani hubungan jarak jauh yang telah merencanakan pernikahannya, dan menjadikan aspek attachment dan kesiapan menikah sebagai aspek penting pada pernikahan. Terkait dengan belum banyaknya penelitian yang mengukur kesiapan menikah di Indonesia, diharapkan penelitian ini menjadi motivasi munculnya penelitian-penelitian lain yang membahas mengenai kesiapan menikah di Indonesia.

(7)

II. Tinjauan Teoretis

II.1. Kesiapan Menikah (Readiness for Marriage)

Definisi kesiapan menikah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang dikemukakan oleh Holman dan Li (1997), yakni kemampuan yang dipersepsi oleh individu untuk melakukan peran-peran dalam pernikahan dan melihatnya sebagai aspek dalam pemilihan pasangan atau proses perkembangan hubungan. Kesiapan menikah dapat dilihat dari aspek pemilihan pasangan karena kesiapan menikah digunakan untuk menyeleksi pasangan dalam rangka mendapatkan pasangan hidup yang tepat (DeGenova, 2008). Selain itu, kesiapan menikah juga merupakan salah satu dari banyak faktor yang menggerakkan hubungan ke jenjang pernikahan (Cate & Llyod, dalam Holman & Li, 1997).

Terdapat delapan area dalam kesiapan menikah menurut Wiryasti (2004), yaitu (1) komunikasi, yang berkaitan kemampuan individu untuk mengekspresikan ide dan perasaannya kepada pasangan, serta mendengarkan pesan yang disampaikan oleh pasangan; (2) keuangan, area ini berkaitan dengan masalah pengaturan ekonomi rumah tangga; (3) anak dan pengasuhan, area ini berkaitan dengan perencanaan untuk memiliki anak dan cara pengasuhan, atau didikan yang akan diberikan kepada anak; (4) pembagian peran suami dan istri, area ini menjelaskan mengenai persepsi dan sikap individu dalam memandang peran-peran dalam rumah tangga, serta kesepakatannya dengan pasangan mengenai pembagian peran yang akan mereka jalani nantinya sebagai suami dan istri; (5) latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, area ini berkaitan dengan nilai-nilai dan sistem keluarga besar (keluarga asal) yang membentuk karakter individu, dan relasi antar anggota keluarga, (6) agama, area ini berkaitan dengan nilai-nilai religius yang menjadi dasar pernikahan; (7) minat dan pemanfaatan waktu luang, yang mengukur mengenai sikap terhadap minat pasangan, dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan; serta (8) perubahan pada pasangan dan pola hidup, yaitu area yang berkaitan dengan persepsi dan sikap terhadap perubahan pasangan serta pola hidup yang mungkin terjadi setelah menikah.

II.2. Attachment

Hazan dan Shaver (1987) mendefinisikan attachment sebagai sebuah proses biososial dimana ikatan afeksi terbentuk antara pasangan kekasih dewasa, seperti halnya ikatan afeksi yang terbentuk pada masa awal kehidupan antara bayi dan orang tua mereka. Hubungan dengan attachment terjadi jika individu melakukan empat tingkah laku terhadap pasangannya: 1) mempertahankan proksimitas kepada pasangannya, 2) memperlakukan pasangan sebagai

(8)

safe haven ketika merasa terancam atau sedang butuh kenyamanan, 3) menjadikan pasangan sebagai secure base untuk menjelajahi dunia, dan 4) mengalami separation distress ketika pasangan tidak dapat diakses. Keempat tingkah laku tersebut sudah ditemui pada bayi berumur satu tahun dalam interaksinya kepada orang tua mereka. Pada usia dewasa, tingkah laku tersebut muncul terhadap pasangan romantis dan teman dekat (Selcuk, Zayas, & Hazan, 2010).

Selcuk, Zayas, dan Hazan (2010) mengatakan bahwa tujuan dari sistem attachment adalah untuk mendapatkan rasa perlindungan dengan cara mempertahankan proksimitas kepada figur attachment. Rasa perlindungan ini meliputi felt security, yakni sebuah keadaan psikologis yang ditandai dengan adanya perasaan keamanan dan kenyamanan, dan kepercayaan bahwa figur attachment mudah diakses dan responsif (Selcuk, Zayas, & Hazan, 2010).

Hazan dan Shaver (1987) membuat teori attachment untuk memahami hubungan cinta usia dewasa. Penelitian Hazan dan Shaver (1987) menghasilkan tiga deskripsi attachment. Para responden diminta untuk memilih deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkan mereka, dan mengategorikan mereka sebagai secure, avoidant, atau anxious. Orang dewasa dengan attachment style yang berbeda dapat diprediksi berbeda pula dalam hal bagaimana mereka menjalani cinta. Misalnya, pasangan yang secure memiliki hubungan yang ditandai oleh kebahagiaan, kepercayaan, dan persahabatan, dimana pasangan yang anxious memiliki hubungan yang ditandai dengan naik turunnya emosi dan kedengkian dengan pasangan mereka.

II.3. Hubungan Jarak Jauh (Long-Distance Relationship)

Definisi dari jarak yang terdapat pada long-distance relationship berbeda-beda diantara penelitian-penelitian sebelumnya. Namun, kebanyakan penelitian menggunakan kriteria “miles separated” walaupun jumlah persis dari mil yang memisahkan berbeda-beda. Misalnya, Schwebel et al. (dalam Skinner, 2005) menggunakan 50 mil atau lebih dalam penelitian mereka, sedangkan Lydon, Pierce, dan O’Regan (1997, dalam Skinner, 2005) dan Knox et al. (dalam Skinner, 2005) menggunakan 200 mil atau lebih untuk mendefinisikan long-distance relationship.

Untuk menentukan definisi operasional dari hubungan jarak jauh yang digunakan dalam penelitian ini, dalam tahap uji coba peneliti menanyakan kepada 52 subjek terkait dengan apa yang dimaksud dengan hubungan jarak jauh. Sebanyak 41 subjek atau 78.85% dari total subjek berpendapat bahwa ketika pasangan berada di kota atau negara yang berbeda maka mereka disebut memiliki hubungan jarak jauh. Sisanya, yaitu sebanyak 11 subjek atau

(9)

21.15% berpendapat bahwa yang menentukan suatu hubungan dikatakan berjarak jauh adalah ketika terdapat banyaknya waktu dan usaha yang diperlukan untuk mencapai tempat pasangan berada. Maka dari itu, peneliti mendefinisikan hubungan jarak jauh ketika pasangan tinggal di kota atau negara yang berbeda sehingga untuk mencapai tempat pasangan membutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit.

II.4. Dinamika Attachment dan Kesiapan Menikah pada Long-Distance Relationship Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hirschberger et al. (dalam Nodar, n.d.) mengenai attachment style dan kepuasan pernikahan, didapatkan hasil bahwa individu yang insecure cenderung untuk tidak puas akan hubungannya daripada individu yang secure. Selain attachment, kesiapan menikah juga dipandang penting dalam pernikahan. Hal ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Holman, Larson, dan Harmer (1994) bahwa kesiapan menikah merupakan variabel yang penting yang mendorong keputusan untuk menikah dan bahwa kesiapan menikah juga merupakan prediktor yang signifikan bagi kepuasan pernikahan. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa attachment dan kesiapan menikah merupakan hal yang penting bagi pernikahan dan kedua variabel tersebut memiliki hubungan pada kepuasan pernikahan individu. Maka dari itu, peneliti berasumsi bahwa terdapat hubungan antara attachment dengan kesiapan menikah dimana attachment terbentuk ketika pasangan menjalani masa berpacaran. Dengan adanya attachment, akan terjadi kedekatan antara pasangan sehingga pasangan akan mengetahui kelebihan dan kekurangan satu sama lain. Dengan mengetahui hal tersebut, tentunya akan ada pembelajaran dan penyesuaian diri terhadap beberapa hal, seperti agama, latar belakang pasangan, pengasuhan anak, pembagian peran suami istri, dimana hal-hal tersebut merupakan area dalam kesiapan menikah.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu aspek penting dalam attachment adalah menjaga proksimitas terhadap figur attachment. Teori adult attachment dapat dimengerti sebagai ikatan emosional antara pasangan romantis orang dewasa (Hazan & Shaver, 1987). Jelas, bagi pasangan yang menjalani long-distance relationship, hal ini tidak selalu dapat terpenuhi mengingat adanya jarak yang memisahkan mereka yang tidak memungkinkan mereka untuk selalu berada dekat dengan pasangannya.

Berdasarkan analisis variabel-variabel, peneliti memiliki hipotesis bahwa attachment berhubungan dengan kesiapan menikah. Namun, apakah terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut masih belum diketahui, apalagi terhadap pasangan yang menjalani long-distance relationship. Hal itu dikarenakan belum banyak diketahuinya penelitian mengenai kesiapan menikah pada pasangan long-distance relationship di Indonesia.

(10)

III. Metode Penelitian III.1. Variabel Penelitian

a. Variabel 1 – Attachment

Definisi konseptual dari attachment adalah attachment terdiri dari tiga attachment style, yakni secure, avoidant, dan anxious. Definisi operasional dari attachment adalah skor yang diperoleh dari alat ukur Adult Attachment Scale (AAS) milik Collins dan Read (1990). Skor dihitung pada masing-masing attachment style, yaitu secure, avoidant, dan anxious.

b. Variabel 2 – Kesiapan Menikah

Definisi konseptual dari kesiapan menikah adalah kemampuan yang dipersepsi individu untuk melakukan peran-peran pernikahan, dan melihat hal tersebut sebagai aspek dari pemilihan pasangan atau proses perkembangan hubungan (Holman & Li, 1997). Definisi operasional dari kesiapan menikah dilihat dari skor total yang terdiri dari area komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, dan perubahan pada pasangan dan pola hidup yang didapatkan oleh partisipan dengan mengerjakan Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah milik Wiryasti (2004).

III.2. Tipe dan Desain Penelitian

Menurut Kumar (2005), tipe penelitian dapat dilihat dari tiga hal, yakni berdasarkan aplikasi penelitian, tujuan penelitian, dan cara memperoleh informasi. Berdasarkan penerapan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian applied research dimana teknik, prosedur, dan metode yang membentuk metodologi penelitian diaplikasikan untuk mendapatkan informasi tentang aspek situasi, isu, fenomena agar informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk memahami suatu fenomena. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian korelasional karena peneliti ingin mengetahui hubungan antara attachment dengan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani long-distance relationship. Terakhir, berdasarkan cara memperoleh informasi, penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Menurut Gravetter dan Forzano (2009), penelitian kuantitatif berdasar pada perhitungan variabel yang didapatkan oleh setiap partisipan guna memperoleh skor, biasanya nilai numerik, yang dikumpulkan untuk memperoleh kesimpulan dan interpretasi berdasarkan analisis statistik.

(11)

Desain penelitian ini disusun berdasarkan sifat penelitian, jumlah kontak antara peneliti dengan sampel penelitian, dan kerangka waktu. Penelitian ini bersifat noneksperimental karena tidak dilakukan manipulasi pada variabel dan dilakukan pada situasi alamiah (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2009). Berdasarkan jumlah kontak antara peneliti dengan sampel penelitian, desain dalam penelitian ini adalah cross-sectional study design. Hal ini didasarkan pada peneliti yang hanya bertemu sekali dengan sampel penelitian (Kumar, 2005). Terakhir, bila dilihat dari kerangka waktunya, penelitian ini masuk dalam kategori prospective study design, dimana penelitian ini ditujukan untuk melihat prevalensi sebuah situasi, masalah dan sikap, terkait dengan apa yang akan terjadi di masa mendatang (Kumar, 2005). Hal ini karena pengukuran attachment dan kesiapan menikah pada sampel penelitian dapat digunakan sebagai salah satu prediktor untuk melihat kesuksesan dan kepuasan pernikahannya kelak.

III.3. Subjek Penelitian

III.3.1. Populasi dan Karakteristik Subjek Penelitian

Sesuai dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, yakni hubungan antara attachment dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship, maka populasi dalam penelitian ini adalah individu yang berada dalam tahap perkembangan dewasa muda dengan rentang usia 20—40 tahun. Adapun karakteristik dari partisipan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah individu yang memiliki pasangan, sedang menjalani hubungan jarak jauh, dan sudah memiliki rencana untuk menikah dengan pasangannya tersebut.

III.3.2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah convenience sampling (atau diketahui sebagai accidental sampling atau haphazard sampling). Convenience sampling merupakan teknik sampling yang paling sering digunakan dalam penelitian ilmiah (Gravetter & Forzano, 2009). Dalam convenience sampling, peneliti memperoleh partisipan yang mudah didapatkan. Partisipan dipilih berdasarkan ketersediaan dan kemauan mereka untuk berpartisipasi.

III.3.3. Jumlah Subjek Penelitian

Gravetter dan Forzano (2009) mengatakan bahwa semakin besar jumlah sampel dalam suatu penelitian maka diharapkan hasil penelitian akan semakin menggambarkan populasi. Untuk mencapai distribusi data yang mendekati kurva normal, diperlukan minimal 30 sampel. Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti memutuskan untuk menggunakan sampel lebih dari 30.

(12)

III.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengambilan data yang digunakan pada penelitian ini yakni dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner adalah daftar pertanyaan dimana subjek penelitian diminta untuk membaca pertanyaan dan menginterpretasikannya lalu menuliskan jawaban mereka (Kumar, 2005). Peneliti memutuskan untuk menggunakan kuesioner sebagai metode pengumpulan data karena kuesioner memungkinkan peneliti untuk mendapatkan subjek yang lebih banyak dan dapat menghemat biaya dan waktu. Dengan kuesioner, peneliti pun dapat menggunakan media google drive berupa formulir dimana partisipan dapat mengadministrasikan sendiri kuesioner tersebut tanpa dipandu oleh peneliti. Jadi, peneliti menggunakan dua bentuk kuesioner, yakni booklet dan google drive berupa formulir melalui media internet.

III.5. Tenik Pengolahan Data

Dalam proses pengolahan data, peneliti menggunakan SPSS (Special Package for Social Science) versi 13.0 sebagai software untuk melakukan perhitungan statistik data penelitian. Adapun teknik analisis dalam pengolahan data yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut.

1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum karateristik sampel penelitian berdasarkan pada mean, frekuensi, tabulasi silang, dan persentase-nya. Adapun data yang peneliti olah dalam statistik deskriptif adalah jenis kelamin, usia, tempat tinggal, tingkat pendidikan, pekerjaan, lama berpacaran, lama menjalani hubungan jarak jauh, dan rencana pernikahan subjek.

2. Pearson Correlation

Teknik pengolahan data pearson correlation digunakan untuk mengetahui besar dan arah hubungan linier antara kedua variabel yang diukur (Gravetter & Wallnau, 2008). Dalam penelitian ini, variabel yang diukur korelasinya adalah korelasi antara masing-masing attachment style (secure, avoidant, dan anxious) dan kesiapan menikah.

3. Independent Sample T-Test

Teknik analisis ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean antara dua kelompok data yang berdiri sendiri satu sama lainnya (Gravetter & Wallnau, 2008). Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean attachment dan kesiapan menikah ditinjau dari variabel jenis kelamin.

(13)

Teknik analisis ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean antara dua kelompok atau lebih yang saling berdiri sendiri satu sama lainnya (Gravetter & Wallnau, 2008). Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean attachment dan kesiapan menikah ditinjau dari variabel usia, tingkat pendidikan, dan lama berpacaran.

IV. Hasil Penelitian

IV.1. Gambaran Umum Attachment

Untuk melihat gambaran attachment yang ditampilkan subjek penelitian, peneliti menghitung skor ketiga attachment style subjek, yakni secure, avoidant, dan anxious, yang kemudian dilihat mana skor yang paling tinggi. Skor yang paling tinggi tersebut menentukan attachment style yang paling dominan ditampilkan subjek. Sebagian besar subjek penelitian ini, yakni sebanyak 71 subjek atau 61.61% dari total keseluruhan subjek, menampilkan attachment yang berciri utama secure, diikuti oleh 20 subjek atau 19.61% dari total keseluruhan subjek memiliki anxious attachment style, dan avoidant sebanyak 11 subjek atau 11.78%.

Peneliti secara spesifik juga melakukan penghitungan untuk melihat gambaran umum skor attachment style subjek ditinjau dari data demografis, yakni lama berpacaran. Dengan melakukan penghitungan tersebut, maka dapat diketahui perbedaan rata-rata skor dari masing-masing aspek demografis. Dalam melakukan perhitungan mengenai hubungan antara attachment dan data demografis penelitian, peneliti menggunakan teknik one-way analysis of variance (ANOVA) untuk melihat gambaran perbedaan rata-rata skor masing-masing attachment style berdasarkan variabel lama berpacaran. Berdasarkan hasil pengolahan data tersebut, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata skor masing-masing attachment style pada variabel lama berpacaran. Hal tersebut dapat diartikan bahwa tidak terdapat perbedaan attachment antara subjek yang lama berpacarannya di atas rata-rata dan di bawah rata-rata.

Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik independent sample T-test untuk melihat gambaran perbedaan rata-rata attachment berdasarkan variabel jenis kelamin. Dari hasil perhitungan, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata skor secure attachment style yang cukup signifikan pada dewasa muda yang sedang menjalani long-distance relationship untuk setiap kelompok kategorisasi berdasarkan variabel jenis kelamin, yaitu dengan nilai t sebesar 0.542, signifikansi 0.589 (p>0.05). Pada avoidant attachment style, juga tidak terdapat perbedaan rata-rata skor yang cukup signifikan berdasarkan variabel jenis kelamin, dengan nilai t sebesar -0.724, signifikansi 0.471 (p>0.05). Sedangkan pada

(14)

anxious attachment style, terdapat perbedaan rata-rata skor yang signifikan berdasarkan variabel jenis kelamin, dengan nilai t sebesar -2.45, signifikansi 0.016 (p<0.05).

IV.2. Gambaran Umum Kesiapan Menikah

Berdasarkan hasil perhitungan statistik deskriptif yang dilakukan peneliti untuk melihat gambaran umum kesiapan menikah wanita dewasa muda yang sedang menjalani long-distance relationship, peneliti mendapatkan nilai minimum dan maksimum untuk skor total kesiapan menikah. Rentang skor yang mungkin didapatkan oleh masing-masing subjek adalah 70—280. Dalam penelitian ini, didapatkan nilai minimum subjek adalah 163 dan nilai maksimumnya adalah 259.

Persebaran skor sebagian besar ada dalam kategori skor kesiapan menikah tinggi, dengan persentase sebesar 96.08% dan 3.92% subjek memiliki skor kesiapan menikah yang tergolong rendah. Hal tersebut dapat diartikan bahwa, subjek penelitian mempersepsikan dirinya cukup mampu untuk memasuki kehidupan pernikahan dan menjalani peran di dalamnya.

Disamping melihat gambaran umum persebaran skor kesiapan menikah, peneliti juga melakukan perhitungan data untuk melihat gambaran umum kesiapan menikah subjek berdasarkan delapan area kesiapan menikah itu sendiri. Delapan area yang merupakan hal penting untuk diketahui tersebut antara lain yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup. Area yang memiliki rata-rata skor per item paling tinggi adalah minat dan pemanfaatan waktu luang, yaitu sebesar 3.37.

Dalam melakukan perhitungan mengenai hubungan antara kesiapan menikah dan data demografis penelitian, peneliti menggunakan teknik one-way analysis of variance (ANOVA). Berdasarkan hasil pengolahan data tersebut, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan mean kesiapan menikah yang cukup signifikan pada wanita dewasa muda yang sedang menjalani long-distance relationship ditinjau dari aspek demografis usia dan pendidikan. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa tidak ada perbedaan kesiapan menikah antara subjek yang berusia di bawah rata-rata dan di atas rata-rata dan subjek dengan latar belakang pendidikan SMA/SMK, S1, dan S2.

Selanjutnya, peneliti juga melakukan perhitungan statistik menggunakan teknik independent sample T-test untk melihat gambaran perbedaan rata-rata kesiapan menikah berdasarkan variabel jenis kelamin. Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata skor kesiapan menikah yang signifikan pada dewasa muda

(15)

yang sedang menjalani long-distance relationship untuk kelompok kategorisasi ditinjau dari variabel jenis kelamin dengan nilai t sebesar 0.737, signifikansi 0.463 (p>0.05).

IV.3. Hubungan antara Attachment dan Kesiapan Menikah

Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel penelitian, yaitu attachment dan kesiapan menikah, peneliti melakukan perhitungan statistik dengan menggunakan pearson correlation pada masing-masing attachment style. Berikut merupakan tabel yang menjelaskan secara rinci mengenai hubungan attachment dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani long-distance relationship.

Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan koefisien korelasi antara secure attachment style dan kesiapan menikah adalah sebesar r=0.323 (p<0.01) dengan arah positif. Hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa semakin positif atau semakin tinggi secure attachment style subjek, semakin tinggi pula kesiapan menikahnya. Oleh karena itu, hipotesis null (Ho1) dalam penelitian ini ditolak dan hipotesis alternatif (Ha1) diterima. Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara secure attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship.

Selanjutnya, juga berdasarkan perhitungan statistik menggunakan pearson correlation, didapatkan koefisien korelasi antara avoidant attachment style dan kesiapan menikah sebesar r=-0.386 (p<0.01) dengan arah negatif. Hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa semakin positif atau semakin tinggi avoidant attachment style subjek, semakin rendah kesiapan menikahnya. Oleh karena adanya hubungan antara avoidant attachment style dan kesiapan menikah, maka dari itu hipotesis null (Ho2) dalam penelitian ini ditolak dan hipotesis alternatif (Ha2) diterima. Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara avoidant attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship.

Pada attachment style terakhir, yaitu anxious, jika dikorelasikan pada kesiapan menikah, didapatkan koefisien korelasi sebesar r=-0.359 (p<0.01) dengan arah negatif. Hal tersebut dapat diartikan bahwa semakin positif atau semakin tinggi anxious attachment style subjek, semakin rendah kesiapan menikahnya. Oleh karena adanya hubungan antara anxious attachment style dan kesiapan menikah, hipotesis null (Ho3) dalam penelitian ini ditolak dan hipotesis alternative (Ha3) diterima. Dengan kata lain, dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara anxious attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship.

(16)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara secure attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani long-distance relationship. Sedangkan avoidant dan anxious attachment style berkorelasi negatif yang signifikan dengan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang menjalani long-distance relationship. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Mikulincer dan Shaver (2007, dalam Mosko & Pistole, 2010) bahwa individu dengan secure attachment style merespon adanya aktivasi attachment dengan mencari kedekatan dengan pasangan dengan strategi yang efektif untuk merasa nyaman. Maka dari itu, tidak mengherankan jika penelitian menunjukkan bahwa individu yang securely attached memiliki hubungan yang lebih saling percaya dan positif. Dengan adanya hal tersebut, akan terjadi kedekatan dengan pasangan sehingga pengetahuan tentang pasangan mengenai persamaan dan perbedaan masing-masing pun bertambah. Tentunya, hal tersebut membuat individu mempelajari dan menyesuaikan diri dengan pasangannya dalam beberapa hal, misalnya latar belakang keluarga pasangan, minat, bagaimana memandang pembagian peran suami istri, dan lain lain yang terdapat pada area-area kesiapan menikah.

Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara avoidant attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship. Hal ini dapat dijelaskan karena mereka memilih keterlibatan emosional yang rendah, bergantung pada diri sendiri, dan memiliki pandangan yang negatif pada pasangan (Mosko & Pistole, 2010). Dengan keyakinan akan hubungan yang rendah, orang yang memiliki avoidant attachment style akan memiliki sikap yang negatif pada pernikahan dan memiliki kesiapan menikah yang rendah karena terlalu bergantung pada diri sendiri, meragukan cinta, dan memiliki keinginan untuk tidak terlalu dekat dengan pasangan. Lebih jauh lagi, penelitian yang dilakukan oleh Mosko dan Pistole (2010) juga menemukan bahwa dewasa muda lebih siap untuk menikah ketika mereka sedang berada pada hubungan yang serius, lebih nyaman ketika berada dekat dengan pasangan, dan attachment avoidance yang rendah. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa attachment avoidance yang rendah dpat berkontribusi pada kesiapan menikah yang lebih tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian pula, didapatkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara anxious attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship. Individu dengan anxious attachment style memang menginginkan kedekatan yang ekstrem pada pasangan, akan tetapi memiliki ketakutan yang berlebihan akan penolakan dan kehilangan. Walaupun keinginan akan kedekatan yang ekstrem ini membuat individu dengan anxious attachment style untuk mengekspresikan cinta

(17)

dan kehangatan, ketakutan berlebihan akan kehilangan membuat mereka waspada untuk mengekspresikan perasaan itu. Lebih jauh lagi, penelitian yang dilakukan oleh Feeney (1998, dalam Feeney, 1999) menunjukkan bahwa perpisahan secara fisik dengan pasangan ternyata membuat individu dengan anxious attachment style cenderung merasakan emosi negatif yang ekstrem, misalnya marah dan putus asa, selama berpisah pada pasangannya, namun cenderung tidak mendiskusikan perasaan ini kepada pasangan mereka. Hal inilah yang membuat tidak adanya interaksi yang lebih mendalam untuk mendiskusikan perbedaan dan persamaan masing-masing pada pasangan sehingga membuat kesiapan menikah yang rendah.

Jika diaplikasikan kepada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship, ternyata berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara individu yang menjalani long-distance relationship dengan yang tidak menjalani long-distance relationship dalam hal intimacy, closeness, satisfaction, trust, dan commitment (Roberts, 2003). Selanjutnya, penelitian-penelitian longitudinal hingga 12 bulan mengindikasikan bahwa pasangan yang menjalani long-distance relationship memiliki breakup-rate sama dengan atau kurang dari pasangan yang tidak menjalani long-distance relationship. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin pasangan long-long-distance relationship telah memilih gaya hidup mereka sendiri dan berkomitmen untuk membuat hubungan mereka berhasil. Oleh karena itu, hal inilah yang mungkin juga terjadi pada subjek penelitian ini. Dilihat dari rata-rata skor kesiapan menikah pada subjek penelitian yang cenderung tinggi, diasumsikan mereka memiliki komitmen dalam hubungan agar hubungan mereka tetap berjalan walaupun dipisahkan oleh jarak.

Dari hasil perhitungan gambaran attachment style pada subjek, dihasilkan data bahwa mayoritas subjek memiliki secure attachment style. Hal ini merupakan temuan yang unik karena individu yang securely attached cenderung akan melakukan tingkah laku proximity seeking kepada pasangannya yang tidak mungkin dilakukan oleh pasangan yang menjalani long-distance relationship. Akan tetapi, tampaknya, jarak bukanlah menjadi penghalang yang berarti untuk membangun secure attachment pada pasangan yang sedang menjalani long-distance relationship walaupun memang ketersediaan pasangan sebagai figur attachment dianggap merupakan syarat penting pada attachment security.

Perpisahan dengan pasangan romantis memang menyebabkan stres yang membuat individu mencoba membangun kembali kedekatan secara fisik. Tentunya, hal ini tidak selalu bisa dilakukan oleh pasangan yang menjalani long-distance relationship. Akan tetapi, ketika pasangan tidak terjangkau, sistem attachment tetap teraktivasi dalam situasi yang membuat stres dan berhubungan dengan proximity seeking kepada pasangan. Mikulincer et al. (2000,

(18)

dalam Jimenez, 2010) menemukan bahwa ketika proximity seeking saat stres dihalangi oleh ketidakterjangkauan pasangan, aksesibilitas terkait kedekatan emosional akan meningkat. Intinya, proximity seeking teraktivasi pada kondisi-kondisi yang stressful tersebut, tidak berpengaruh dengan apakah pasangan secara fisik ada atau tidak. Selain itu, dalam usia dewasa, persepsi akan ketersediaan pasangan secara emosional lebih krusial dibanding kedekatan secara fisik bagi mereka yang menjalani long-distance relationship (Jimenez, 2010).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa area kesiapan menikah yang paling dianggap penting bagi subjek adalah minat dan pemanfaatan waktu luang. Menurut DeGenova (2008), pasangan yang memiliki minat yang sama, melakukan kegiatan bersama, dan melakukan kegiatan bersama teman-teman dan kelompok sosial akan memiliki kepuasan dalam hubungan. Akan tetapi pada kenyataannya, seseorang tidak selalu dapat melakukan kegiatan bersama dengan pasangan, apalagi pada pasangan yang menjalani long-distance relationship. Namun, walaupun terpisah oleh jarak, pasangan yang menjalani long-distance relationship dapat tetap mendukung kegiatan pasangan dari jarak jauh, tetap menghargai pasangan berkegiatan tanpa dirinya, dan juga mengerti bahwa pasangan tidak dapat menjalani aktivitas bersama.

Selain itu, pasangan juga tetap menjalankan aktivitas dan minat walau terpisahkan oleh jarak. Dalam hal ini, memanfaatkan waktu luang bersama pasangan tidak harus bersama secara fisik, misalnya individu dapat membicarakan mengenai musik yang sama-sama disukai, mengenai film yang disukai, dan kegiatan lain yang disukai. Selain itu, bukan hanya jumlah waktu yang dihabiskan bersama namun kualitas hubungan yang mereka rasakan ketika bersama. Hal tersebut yang menyebabkan area minat dan pemanfaatan waktu luang dianggap merupakan area terpenting bagi individu yang menjalani long-distance relationship.

Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa area agama juga merupakan area prioritas bagi dewasa muda yang menjalani long-distance relationship. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mosko dan Pistole (2010) terhadap 249 mahasiswa, yaitu bahwa agama memberikan kontribusi terhadap kesiapan menikah individu yang cenderung semakin tinggi. Sejalan dengan penelitian tersebut, DeGenova (2008) mengatakan bahwa agama berperan dalam mendorong adanya komitmen dalam sebuah pernikahan, dimana hal tersebut akan menjadi salah satu kunci kesuksesan dalam pernikahan melalui adanya aktivitas keagamaan bersama, berbagi nilai-nilai keagamaan dan memiliki orientasi keagamaan yang tinggi yang dimanifestasikan dalam tingkah laku religius (Hatch, James & Schumm, 1986, dalam DeGenova, 2008). Maka dari itu, penting bagi individu yang

(19)

hendak menikah, khususnya bagi individu yang sedang menjalani long-distance relationship untuk memperhatikan peran agama dalam sebuah hubungan. Ditambah lagi jika dikaitkan dengan negara Indonesia yang menganut budaya timur, agama memiliki peran penting yang dijunjung tinggi oleh masyarakat budaya timur.

Hasil penelitian juga menemukan bahwa area komunikasi merupakan salah satu area terpenting bagi subjek. Menurut Jones (2005), individu menginginkan hubungan romantis yang bertujuan untuk dukungan psikologis, intimacy, dan emotional involvement. Komunikasi merupakan hal yang penting bagi fungsi-fungsi hubungan tersebut sehingga komunikasi sangat dijunjung tinggi dalam suatu hubungan romantis (Samter & Burleson, 1990, dalam Jones, 2005). Lebih jauh lagi, jika dikaitkan dalam individu yang menjalani long-distance relationship, dikarenakan adanya jarak, mereka cenderung akan membangun perceived partner availability salah satunya dengan komunikasi (Jimenez, 2010) sehingga dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan hal yang krusial bagi individu yang sedang menjalani long-distance relationship. Maka dari itu, tidak mengherankan jika area komunikasi merupakan salah satu area prioritas bagi dewasa muda yang menjalani long-distance relationship.

Hasil penelitian yang unik juga ditemukan pada penelitian ini yakni bahwa area kesiapan menikah seperti keuangan, anak dan pengasuhan, dan pembagian peran suami-istri kurang diprioritaskan bagi subjek penelitian. Padahal jika kita lihat, area-area tersebut merupakan area yang membutuhkan perencanaan ke depan karena belum terjadi saat ini. Misalnya, seperti hasil penelitian kualitatif yang didapatkan oleh Ghalili et al. (2012) bahwa dengan menghasilkan uang yang cukup, bertahan dengan satu pekerjaan jangka panjang, kebebasan finansial dari orang tua merupakan hal-hal penting bagi seseorang yang ingin memasuki kehidupan pernikahan.

Mungkin hal ini dapat terjadi sama seperti yang dugaan Stafford (2010) bahwa pasangan yang menjalani long-distance relationship akan cenderung tidak termotivasi membicarakan mengenai isu kesiapan menikah seperti keuangan, pengasuhan anak, karir dan pengasuhan untuk meminimalkan potensi perbedaan pada pasangan dan menjaga interaksi agar tetap positif. Temuan yang senada diperoleh oleh Dansie (2012) bahwa pasangan yang menjalani long-distance relationship cenderung menghindari topik pembicaraan yang dapat berujung pada konflik atau ketidaknyamanan agar tidak mengganggu waktu mereka yang terbatas untuk berkomunikasi, atau mereka mungkin memilih untuk menyimpan percakapan yang kurang membuat nyaman tersebut ketika mereka bertemu dan dapat mendiskusikan masalah-masalah penting secara tatap muka (Salhstein, 2004; 2006, dalam Dansie, 2012).

(20)

Hal ini juga dapat terjadi melihat dari usia subjek yang mayoritas berumur 20—25 tahun, baru berpacaran mayoritas dibawah satu tahun, dan cenderung tidak terlalu terburu-buru dalam merencanakan pernikahannya. Mungkin hal inilah yang membuat area keuangan, pengasuhan anak, dan pembagian peran suami-istri belum menjadi prioritas bagi mereka karena mereka masih berada dalam proses pencarian pasangan yang terbaik sehingga mereka belum mendiskusikan hal-hal yang relatif sensitif, seperti beberapa area kesiapan menikah tersebut.

Dengan membicarakan mengenai keuangan, pengasuhan anak yang sangat terkait dengan tanggung jawab di masa depan yang mungkin saja dapat menimbulkan konflik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Stafford (2010) pasangan yang menjalani long-distance relationship cenderung membicarakan mengenai hal yang romantis misalnya mengutarakan rasa sayang dan rindu, membicarakan tentang hubungan mereka, dan membicarakan hal-hal yang terjadi saat ini misalnya kegiatan apa yang dijalani saat ini atau kegiatan yang gemar dilakukan saat ini. Berdasarkan hal tersebut, mungkin saja subjek dalam penelitian ini juga demikian karena mereka tidak dapat bertemu secara fisik sehingga mereka lebih nyaman untuk membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan hal yang romantis atau hal-hal yang sedang terjadi saat ini.

Selain membahas mengenai pengaruh konteks penelitian kepada gambaran umum persebaran attachment dan kesiapan menikah, peneliti juga melakukan analisis terkait gambaran umum kedua variabel tersebut ditinjau dari aspek demografis dan informasi penunjang penelitian. Secara spesifik, ditinjau dari variabel jenis kelamin ditemukan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata skor kesiapan menikah laki-laki dan perempuan. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Larson (1988, dalam Ghalili et al., 2012) yang mengidentifikasi bahwa perempuan cenderung memiliki kesiapan menikah yang secara signifikan lebih tinggi daripada laki-laki.

Ditinjau dari variabel tingkat pendidikannya, yaitu SMA, S1, dan S2, dan usia yang dibedakan menjadi empat kelompok usia, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata skor kesiapan menikah yang cukup signifikan di antara kelompok-kelompok subjek tersebut, sehingga tidak dapat diketahui kelompok sampel dengan tingkat pendidikan dan usia manakah yang memiliki kesiapan menikah yang lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya. Hasil penemuan tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Holman dan Li (1997) bahwa semakin tinggi karakteristik sosiodemografis yang dimiliki seseorang, misalnya usia dan pendidikan, akan semakin tinggi kesiapan menikahnya. Tidak adanya perbedaan rata-rata skor ditinjau dari jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan

(21)

tersebut juga dapat terjadi karena persebaran sampel yang tidak merata, dimana lebih banyak kelompok sampel dengan jenis kelamin perempuan, usia 20—25 tahun, dan kelompok sampel lulusan SMA dibandingkan kelompok sampel dengan jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan lainnya.

Berdasarkan hasil analisis perbedaan mean attachment ditinjau dari variabel jenis kelamin, ditemukan bahwa terdapat perbedaan mean yang signifikan pada skor anxiety attachment style pada perempuan dan laki-laki dimana laki-laki memiliki skor yang lebih tinggi dibanding perempuan. Sedangkan pada skor secure dan avoidant attachment style, tidak terdapat perbedaan mean yang signifikan antara perempuan dan laki-laki.

Tidak adanya perbedaan mean secure attachment style ditinjau dari jenis kelamin sejalan dengan penelitian Giudice (2010) yang menemukan bahwa memang tidak ada perbedaan jenis kelamin yang muncul pada individu yang securely attached. Sedangkan, secara spesifik, ditemukan bahwa rata-rata skor avoidant attachment style laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan meskipun perbedaannya sangat kecil dan secara statistik dinyatakan tidak signifikan. Hasil ini senada pula dengan penelitian yang dihasilkan oleh Schmitt et al. (2003) bahwa laki-laki lebih diindikasikan memiliki attachment avoidance lebih tinggi yang disebabkan oleh perbedaan sosial dan emosional dari kedua jenis kelamin. Laki-laki biasanya ditandai dengan kurang emosional, kurang mengasuh, kurang memiliki keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. Laki-laki juga cenderung kurang mencari dukungan emosional untuk mengatasi stres. Penelitian pada pasangan romantis juga mengindikasikan bahwa laki-laki kurang nyaman dengan kedekatan emosi dengan pasangan (Feeney, 1994, dalam Schmitt et al., 2003).

Selanjutnya, hasil penelitian menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mean anxious attachment style yang signifikan pada laki-laki dan perempuan dimana laki-laki memiliki attachment anxiety yang lebih tinggi daripada perempuan. Temuan ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vorria et al. (2007) yang menemukan bahwa mayoritas subjek perempuan memiliki anxious attachment style. Guidice (2010) menambahkan bahwa anxiety merupakan strategi bagi perempuan untuk memaksimalkan kedekatan dengan pasangan, dalam hal ini sebagai strategi untuk melawan pasangan yang cenderung avoidant. Hasil temuan penelitian ini tidak mendukung penelitian-penelitian sebelumnya bahwa anxiety cenderung dimiliki oleh perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dikarenakan oleh tidak meratanya persebaran jenis kelamin subjek penelitian sehingga hasil penelitian ini kurang mereprestasikan kondisi yang sebenarnya.

(22)

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan mean yang signifikan pada masing-masing attachment style antara subjek yang lama berpacarannya diatas rata-rata dan dibawah rata-rata. Hal ini juga bertolak belakang dengan hasil penelitian oleh Holmes dan Johnson (2009) bahwa attachment yang dimiliki individu akan berubah seiring lamanya mereka menjalani hubungan romantis. Kembali lagi, ini diakibatkan oleh keterbatasan penelitian yang tidak mengontrol lama berpacaran subjek sehingga persebaran subjek tidak merata.

VI. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan terhadap 102 orang dewasa muda, didapatkan kesimpulan jawaban atas rumusan permasalahan utama bahwa 1) terdapat hubungan antara secure attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship, 2) terdapat hubungan antara avoidant attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship, dan 3) terdapat hubungan antara anxious attachment style dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship.

Berdasarkan gambaran umum attachment, secure merupakan attachment style yang memiliki rata-rata skor tertinggi. Sedangkan berdasarkan gambaran umum kesiapan menikah, area minat dan pemanfaatan waktu luang merupakan area yang memiliki rata-rata skor tertinggi atau dengan kata lain area tersebut merupakan area yang paling siap pada dewasa muda yang menjalani long-distance relationship.

VII. Saran

VII.1 Saran Metodologis

• Untuk penelitian selanjutnya, peneliti mengusulkan untuk membatasi subjek berdasarkan jenis kelamin, lama berpacaran, rencana pernikahan, dan lain-lain sehingga sampel yang didapat mewakili populasi dan dapat lebih akurat membedakan setiap karakteristik.

• Untuk penelitian selanjutnya, peneliti mengusulkan untuk membedakan attachment dan kesiapan menikah berdasarkan besarnya jarak yang memisahkan.

• Untuk tipe penelitian yang digunakan, akan lebih baik jika hasil kuantitatif dari data yang ada dilengkapi dengan hasil kualitatif, yang dapat diperoleh melalui wawancara dengan partisipan misalnya. Hal ini tentu dapat memperkaya data dan dapat melihat

(23)

gambaran yang lebih mendalam.

• Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya peneliti menuliskan pada bagian instruksi bahwa sebaiknya pada saat partisipan mengerjakan item-item dalam kuesioner, mereka memberikan jeda waktu dari bagian pertama ke bagian kedua agar mereka tidak merasa lelah dan bosan ketika mengisi kuesioner tersebut.

• Untuk penelitian selanjutnya yakni membuat penelitian longitudinal study untuk melihat bagaimana masa-masa pernikahan dari awal individu akan menikah hingga pada masa pernikahan.

VII.2. Saran Praktis

• Hasil penelitian ini dapat dijadikan masikan bagi konselor pernikahan untuk materi yang diberikan pada dewasa muda yang akan menikah. Yang harus lebih banyak dibahas adalah mengenai anak dan pengasuhan, keuangan, dan latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar. Karena berdasarkan hasil penelitian, banyak subjek yang kurang memerhatikan aspek tersebut padahal area-area tersebut amatlah penting ketika subjek hendak memasuki pernikahan.

• Masukan bagi dewasa muda yang menjalani long-distance relationship bahwa dalam long-distance relationship, attachment yang secure sangat penting untuk dibangun demi bertahannya suatu hubungan.

VIII. Kepustakaan

Chapman, M., Pistole, M. C., & A. Roberts, K. R. (2005). Long Distance and Geographically Close Relationships: Attachment, Maintenance, Conflict, and Stress.

Collins, N. L., & Read, S. J. (1990). Adult Attachment, Working Models, and Relationship Quality in Dating Couples. Journal of Personality and Social Psychology , 58, 644-663.

Dansie, L. (2012). Long-Distance Dating Relationships among College Students: the Benefits and Drawbacks of Using Technology. A Thesis Presented to the Faculty of the Graduate School University of Missouri , 1-52.

DeGenova, M. K. (2008). Intimate Relationships, Marriages, and Families (7th ed.). New York: McGraw-Hill.

(24)

Duvall, E. M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and Family Development (6th ed.). New York: Harper and Row Publishers, Inc.

Feeney, J. A. (1999). Adult attachment, Emotional Control, and Marital Satisfaction. Personal Relationships , 169-185.

Freitas, G. J. (2004). Romantic Attachment Styles and Coping Behaviors in Long Distance Romantic Relationships. Dissertation submitted to the Faculty of the Graduate School of the University of Maryland , 1-190.

Ghalili, Z., Etemadi, O., Ahmadi, S. A., Fatehizadeh, M., & Abedi, M. R. (2012). Marriage Readiness Criteria among Young Adults of Ishafan: A Qualitative Study. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business , 4, 1076-1083.

Ginanjar, A. S. (2011). Sebelum Janji Terucap. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Giudice, M. D. (2010). Sex Differences in Romantic Attachment: A Meta-Analysis. Personality and Social Psychology Bulletin , 193-214.

Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2009). Research Methods for the Behavioral Science. Belmont: Wadsworth.

Gravetter, F. J., & Wallnau, L. (2008). Essentials statistics for the behavioral science (6th ed.). Belmont: Wadsworth.

Hazan, C., & Shaver, P. (1987). Romantic Love Conceptualized as an Attachment Process. Journal of Personality and Social Psychology , 52, 511-524.

Holman, T. B., Larson, J. H., & Harmer, S. L. (1994). The Development and Predictive Validity of a New Premarital Assessment Instrument: The Preparation for Marriage Questionaire. Family Relations , 46-53.

Holman, T. B., & Li, B. D. (1997, March). Premarital Factors Influencing Perceived Readiness for Marriage. Journal of Family Issues, Vol. 18, No. 2 , 124-144.

Holmes, B. M., & Johnson, K. R. (2009). Adult Attachment and Romantic Partner Preference: A Review. Journal of Social and Personal Relationships , 833-852.

(25)

Jimenez, M. F. (2010). The Regulation of Psychological Distance in Long-Distance Relationships. Dissertation: zur Erlangung des akademischen Grades doctor rerum naturalium im Fach Psychologie , 1-107.

Jones, S. M. (2005). Attachment Style Differences and Similarities in Evaluations of Affective Communication Skills and Person-Centered Comforting Messages. Western Journal of Communication , 69, 233-249.

Kroger, J. (2002, January 2). Introduction: Identity Development through Adulthood. Identity, Vol. 1, No. 2 , 1-2.

Kumar, R. (2005). Research Methodology: a step by step guide for beginners (2nd ed.). London: SAGE Publication.

Mosko, J. E., & Pistole, M. C. (2010). Attachment and Religiousness: Contributions to Young Adult Marital Attitudes and Readiness. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families 18(2) , 127-135.

Nodar, M. (n.d.). Effect of Attachment on Marital Satisfaction and Parenthood. 1-11.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (11th ed.). New York: McGraw-Hill.

Pistole, M. C., Roberts, A., & Chapman, M. L. (2010). Attachment, Relationship Maintenance, and Stress in Long Distance and Geographically Close Romantic Relationships. Journal of Social and Personal Relationships, Vol. 27(4) , 535-552. Roberts, A. (2003). Long Distance Romantic Relationships: Attachment, Closeness, and

Satisfaction. Thesis: In Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy .

Schmitt, D. P., Alcalay, L., Allensworth, M., & Allik, J. (2003). Are Men Universally More Dismissing Than Women? Gender Differences in Romantic Attachment Across 62 Cultural Regions. Personal Relationships , 307-330.

Selcuk, E., Zayas, V., & Hazan, C. (2010, December). Beyond Satisfaction: The Role of Attachment in Marital Functioning. Journal of Family Theory & Review 2 , 258-279.

(26)

Skinner, B. (2005). Perceptions of College Students in Long Distance Realtionships. Journal of Undergraduate Research VIII , 1-5.

Stafford, L. (2010). Geographic Distance and Communication during Courtship. Communication Research , 275-297.

Vorria, P., Vairami, M., Gialaouzidis, M., Kotroni, E., Koutra, G., Markou, N., et al. (2007). Romantic Relationships, Attachment Styles, and Experiences of Childhood. Hellenic Journal of Psychology , 4, 281-309.

Whiteway, M. (2001). Adult Attachment Styles and Their Relationship to Marital Satisfaction in Couples in First Marriages of Seven (7) Years or Longer. Dissertation submitted in partial fulfillment of the requirements of the degree of Doctor of Phylosophy, Seton Hall University , 1-92.

Wiryasti, C. H. (2004). Modifikasi dan Uji Validitas dan Reliabilitas Inventori Kesiapan Menikah. Tesis .

http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraian-tertinggi-di-indonesia/

diunduh pada 16 Januari 2013 pukul 15:00 WIB

http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia diunduh pada 19 April 2013, pukul 17:22 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Trust Wanita Dewasa Muda Terhadap Pasangannya yang Menjalin Hubungan Jarak Jauh ... Pertanyaan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kadar kreatinin pada pria dewasa muda instruktur fitnes dengan yang tidak menjalani program pelatihan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara harga diri dan manajemen konflik pada individu dewasa awal yang sedang menjalani hubungan pacaran

Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara perencanaan karir dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan antara Triangulasi Cinta dan Keharmonisan Keluarga dengan Kesiapan Menikah pada dewasa muda

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dinamika koping stres pada wanita dewasa awal yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh demi memperoleh gambaran

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang gambaran kesiapan menikah pada muslim usia dewasa muda (usia 21-25 tahun) baik pria maupun

Makna Cinta pada Istri yang Menjalani Pernikahan Jarak Jauh (long distance marriage) .... Pertanyaan