• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPADATAN POPULASI KERANG BAKAU (Polymesoda bengalensis) PADA EKOSISTEM MANGROVE DI MUARO BUNGUS KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG PADANG SUMATERA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEPADATAN POPULASI KERANG BAKAU (Polymesoda bengalensis) PADA EKOSISTEM MANGROVE DI MUARO BUNGUS KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG PADANG SUMATERA BARAT"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1

KEPADATAN POPULASI KERANG BAKAU (Polymesoda bengalensis) PADA EKOSISTEM MANGROVE DI MUARO BUNGUS KECAMATAN BUNGUS

TELUK KABUNG PADANG SUMATERA BARAT

Epitri Saleleubaja1, Indra Junaidi Zakaria2, Novi3

Program Studi Pendidikan Biologi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI SUMBAR

Email : Tryyun_cute@yahoo.co.id

ABSTRACT

Estuary is one form of aquatic ecosystems have a significant role in human life and other living creatures. Organisms that live in the estuary depends on the state of the substrate and salinity. The mangrove ecosystem is a major ecosystems in coastal areas located along the coast or sea water river estuary. One of the original inhabitants fauna in mangrove ecosystem in Muaro Bungus are mangrove clams (Polynesoda bengalensis). Shellfish P. bengalensis is one of the economic value of fishery products, relatively large size, can be consumed and easily obtainable. These shells are often captured and utilized by the local community as a source of food and livelihoods for economically viable and nutrition are very high. However, at the present time the presence of P. bengalensis continue to decline and thus the public or shellfish taker P. bengalensis hard to get as much as they used to be. The most serious threat to shellfish populations are a result of retrieval activities and shellfish harvesting is done almost every day continuously. This study aims to determine the density of population and water chemistry physics factor mangrove clams (Polymesoda bengalensis) in the mangrove ecosystem in Muaro Bungus sackcloth Bay District of Padang, West Sumatra. This study was conducted in August 2016 in the mangrove ecosystem in Muaro Bungus . This study uses descriptive survey with purposive random sampling to establish three stations by the type of substrate . P.bengalensis sample analysis conducted at the Laboratory of Zoology STKIP PGRI West Sumatra . From the results, the population density of mussels Bakau P.bengalensis on Mangrove ecosystems in Muara Bungus sackcloth Bay District of Padang, West Sumatra with a total density of 2.36 individuals / m2 . Factors chemical physics waters are still within the range of tolerance for the life of the mangrove clams . Temperatures obtained 29-31 ℃ , the average pH of 6.0 , salinitas12,14-16 ‰ , and KOS 2,12,1,19,168 % .

Kata kunci : Polymesoda bengalensis, Population

Pendahuluan

Daerah pesisir dan laut Sumatera Barat mempunyai sumber daya alam yang dapat dikelola, dikembangkan, serta dimanfaatkan guna meningkatkan penghasilan masyarakat serta pendapatan daerah. Seperti tercantum dalam GBHN, bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi kelautan amat penting dalam pembangunan daerah pantai dan laut, oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian sumber daya alam tersebut dalam upaya pelestariannnya. Salah satu kajian sumber daya pesisir dan laut adalah kerang bakau yang hidup di muara atau di estuari.

Muara merupakan salah satu badan perairan yang di dalamnya hidup bermacam-macam organisme. Organisme yang hidup di

muara tergantung pada keadaan substrat dan salinitas. Salinitas di muara sangat berfluktuasi berkisar antara 5-35 permil. Pluktuasi salinitas tersebut tergantung pada topografi muara serta pengaruh pasang surut yang menyuplai pemasukan air tawar yang berasal dari sungai dan air laut, sehingga organisme yang hidup pada muara sangat dipengaruhi oleh salinitas yang berfluktuasi ( Jabang dan Nganro, 2000). Substrat muara pada umumnya berupa lumpur yang dibawa oleh arus sungai dan ombak dari laut, ada juga yang berupa lumpur bercampur pasir.

Polymesoda bengalensis termasuk

kerang yang berukuran besar,mempunyai cangkang yang tebal dan kuat, berwarna hijau

(2)

2 kecoklatan atau hijau kehitaman tergantung umur. Kerang P. bengalensis hidup dengan membenamkan diri dalam substrat lumpur disepanjang kawasan hutan bakau (Peter dan Sivatoshi, 2001). Kerang P. bengalensis mempunyai tubuh yang lunak bilateral simetri dan dibungkus oleh cangkang yang berasal dari lapisan mantel. Adapun sebaran ukuran cangkang kerang P. bengalensis mengikuti pola kepadatan pada substrat dan tiap kedalam substrat menunjukan perbedaan dengan kepadatan populasinya. Faktor ini disebabkan karna tipe-tipe substrat dan kedalam substrat akan ditempati oleh kerang P. bengalensis dengan kelompok umur yang berbeda. Pertumbuhan cangkang juga ditentukan dengan pertambahan panjang cangkang dan pertambahan ukuran tubuh menurut umur kerang.

Kerang P. bengalensis merupakan salah satu hasil perikanan yang bernilai ekonomi, mempunyai ukuran yang besar, biasa dikonsumsi dan mudah didapat. Di beberapa negara kerang dari famili Corbiculidae ini sudah menjadi komoditi ekspor dengan harga yang cukup tinggi, seperti di Belanda, kerang ini dijual seharga $ 2,00 untuk satu kerang dengan ukuran panjang minimal 14 mm, di Meksiko dijual seharga $ 2,50 dengan ukuran minimal 38 mm. Namun sangat disayangkan di Indonesia, terutama Sumatera Barat pemanfaatan sumber daya hewani ini masih sebatas makanan tambahan (lauk) bagi penduduk setempet dan dilakukan dengan cara mengambil langsung dari habitatnya dan belum ada budidayanya (Suin,1992).

Menurut hasil survey ternyata kerang P.

bengalensis di temukan di Muaro Bungus

Kecamatan Teluk Kabung Kota Padang, yang hutannya didominasi oleh Hutan Mangrove dan pohon Nipah dengan tipe substrat pasir berlumpur, berlumpur, lumpur berpasir. Setiap jenis kerang berbeda pola distribusinya pada setiap daerah tergantung dengan ada tidaknya substrat yang cocok dan toleransi kerang itu terhadap faktor lingkungan dimana kerang itu hidup. Hal ini diakibatkan oleh aktifitas manusia yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai bahan bakar dan bangunan sehingga menimbulkan perubahan pada ekosistem mangrove. Hal tersebut memberikan pengaruh terhadap perubahan kondisi fisika, kimia dan biologi hutan mangrove dan mengakibatkan terancamnya kehidupan berbagai keanekaragaman flora dan fauna yang mendiami kawasan hutan mangrove. Keadaan ini juga berpengaruh besar pada pengurangan fungsi hutan mangrove sebagai tempat pemijahan dan pembesaran biota akuatik, sehingga berdampak pada pengurangan jumlah spesies dan populasi biota hutan mangrove diantaranya adalah kerang bakau. Kedalaman merupakan faktor pembatas kemampuan kerang untuk hidup (Desriyanto, 2003). Berdasarkan informasi masyarakat setempat, di Muaro Bungus ini banyak terdapat kerang

P. bengalensis, kerang ini dimanfaatkan oleh

penduduk sekitar sebagai mata pencarian karena bernilai ekonomis dan nilai gizi yang sangat tinggi. Saat ini keberadaan kerang P.

bengalensis dan habitatnya sudah mulai

terganggu. Ancaman yang paling serius terhadap populasi kerang ini adalah akibat pemanenan atau pengambilan kerang yang berlebihan dan terus-menerus akan menyebabkan kepunahan kerang tersebut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini telah dilaksanakan dalam bulan Agustus 2016 di Kawasan Mangrove di Muaro Bungus Kecamatan Teluk Kabung Kota Padang. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, meteran, ,hand refractormeter, ember, tali rafia, kantong plast, parang, petak kuadrat 1 x 1 m², dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah pH meter, kertas label, dan formalin 40 %.

Penelitian dilakukan dengan metode survey deskriptif yaitu pengamatan dan pengambilan sampel langsung di lokasi penelitian. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode Purposive Sistematis Sampling, lokasi penelitian menjadi 3 stasiun. Hutan Mangrove yang substrat berlumpur pada stasiun I vegetasinya masih rapat dan pada stasiun ini mulai terjadi aktivitas penebangan pohon mangrove, hutan mangrove yang ditumbuhi tanaman nipah dengan substrat lumpur berpasir pada stasiun II aktivitas penebangan lebih tinggi dari pada stasiun I, dan pada stasiun III ditumbuhi

(3)

3 tanaman nipah dengan substrat pasir berlumpur. Tiap stasiun diambil 9 plot dengan menggunakan petak kuadrat berukuran 1 x 1 m².

TEKNIK ANALISIS DATA

Dalam penelitian ini dilakukan analisis data dengan menghitung kepadatan populasi dengan rumus kepadatan populasi (KP) = Jumlah Individu (Suin, 2002). Luas Area

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

Tabel 1.Kepadatan populasi kerang bakau (Polymesoda bengalensis) pada Ekosistem Mangrove di Muaro Bungus Kecamatan Bungus Teluk Kabung Padang Sumatera Barat. Stasiun Jumlah individu Kepadatan ind/m2 I 34 1.26 II 15 0,5 III 18 0,6 Total 67 2,36

Tabel 2. Faktor Fisika Kimia Perairan Habitat Kerang Bakau (Polymesoda

bengalensis) pada Ekosistem Bakau

Di Muaro Bungus Kecamatan Bungus Teluk Kabung Padang Sumatera Barat. No Parameter Stasiun I Stasiun II Stasiun III 1 Suhu oC 29 29 30 2 pH 6 6 6 3 Salinitas( ‰) 16 14 12 4 KOS% 2,12 1,19 1,68

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat faktor fisika kimia pada habitat kerang

P.bengalensis pada ekosistem bakau di muaro

bungus Kecamatan Bungus Teluk Kabung, yaitu 29,29-30℃ dan pH sebesar 6 pada semua stasiun. Sedangkan pengukuran salinitas berkisar antara 12,14-16 (‰) dan kadar c-organik berkisar 2,12,1,19-1,69 %.

PEMBAHASAN

Kepadatan populasi kerang bakau tertinggi ditemukan pada stasiun 1 (1,26 ind/m2). Tingginya kepadatan pada stasiun I diduga karena kondisi mangrove masih rapat sehingga dapat menjadi tempat pemijahan dan berlindung ketika pasang juga keadaan substrat yang belum terganggu untuk kehidupan kerang bakau serta masih cukupnya ketersedian makanan yang terdapat pada stasiun I. Setiawan (2013) menemukan kelimpahan kerang tertinggi pada hutan mangrove yang relatif masih baik sehingga sumbangan organik lebih banyak dan suhu lingkungan relatif stabil. Menurut Sari (2014) sebaran dan keberadaan kerang dipenuhi jenis substrat, kesedian makanan, dan kondisi tumbuhan nipah.

Kepadatan populasi kerang bakau dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor lingkungan yaitu suhu, pH, salinitas, KOS dan faktor makanan. Tingginya kepadatan pada stasiun I karena kondisi lingkungan yang lebih baik dan tingginya bahan organik dalam sedimen substrat yang disukai kerang bakau. Selain itu, penyebaran larva, dan pengambilan kerang bakau juga dapat mempengaruhi nilai kepadatan kerang.

Saat penyebaran larva akan mencari habitat yang cocok, berkembang menjadi bivalvia muda, dan menetap sampai dewasa hingga matang gonad (Manzi dan Castagna 1989 cit Lityaningsih, 2013).

Tingginya kepadatan populasi pada stasiun I diduga karena kondisi lingkungan yang masih dalam kisaran baik dan mendukung untuk kehidupan kerang bakau. Kondisi substrat dasar yang masih bagus, belum terganggu sehingga dapat menyimpanan kesedian makanan yang cukup bagi kerang bakau, dengan tipe substrat berlumpur. Pada umum kerang bakau lebih menyukai substrat yang dominan berlumpur dibandingkan substrat berpasir, sesuai dengan sifatnya dengan infauna. Kerang bakau hidup dengan membenamkan diri dalam substrat lumpur disepanjang kawasan hutan bakau (Brant 1974

cit Putri, 2013).

Tingginya kepadatan populasi pada stasiun I juga didukung oleh aktivitas penangkapan yang belum terlalu tinggi, berada jauh dari pemukiman penduduk dan kondisi substrat yang masih dalam keadaan baik, sehingga masih banyak ketersedian makanan yang disukai kerang, diketahui saat penelitian tidak banyak ditemukan sampah plastik yang

(4)

4 terkubur dalam substrat. Irwan (2012) menyatakan kehadiran dan keberhasilan suatu organisme itu tergantung lengkapnya kebutuhan yang diperlukan termasuk lingkungan kompleks. Menurut Nurdin (2006) faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi kerang disebabkan aktivitas yang tinggi bagi pengumpul kerang pada suatu daerah dan dapat mengganggu substrat dasar.

Kepadatan kerang bakau yang terendah ditemukan pada stasiun II dengan kepadatan 0,5 ind/m2 . Rendahnya kepadatan populasi kerang bakau pada stasiun II diduga karena kodisi ekosistem mangrove yang sudah rusak akibat aktivitas penebangan lebih tinggi dari kedua stasiun lainnya, sehingga menyebabkan perubahan kondisi lingkungan terutama KOS. Rendahnya kepadatan populasi pada stasiun II juga diduga karena terjadinya perubahan substrat dasar yang disebabkan aktivitas masyarakat sekitar. Saat pengambilan kerang bakau banyaknya ditemukan sampah plastik dan botol-botol minuman yang tertimbun pada dasar substrat. Stasiun II memang berada di tempat yang rawan dengan segala aktivitas masyarakat setiap harinnya, seperti pembuangan sampah, limbah manusia, penggunaan boat kapal. Suwondo (2012) melaporkan bahwa aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat seperti transportasi, pelabuhan, kawasan pemukiman, dan pembuangan limbah menjadi ancaman bagi keberadaan kerang bakau dan menyebabkan perubahan substrat.

Selisih kepadatan populasi antara stasiun III dan stasiun II tidak jauh beda. Hal ini diduga karena kondisi substrat yang belum terganggu, masih cukupnya ketersediaan makanan. Menurut (Putri, 2013) menyatakan bahwa pada substrat yang dominan pasir kerang secara aktif menyaring makanan ketika pasang naik. Sumber organik berasal dari rumput-rumput dan sisa organisme yang sudah mati. Kepadatan populasi yang sudah tinggi juga didukung penangkapan lebih rendah dibandingkan stasiun II karena individu pada stasiun III memiliki ukuran relatif lebih kecil. Didukung oleh hasil penelitian Sari (2014) individu muda lebih banyak terdapat pada substrat berpasir.

Faktor lain yang menyebabkan rendahnya kepadatan populasi bahwa kerang bakau di stasiun II adalah aktivitas penangkapan yang tinggi dilakukan oleh masyarakat sekitar. Hutan mangrove memiliki

peran penting terhadap lingkungan. Hutan mangrove memiliki peranan atau fungsi yang penting baik fungsi fisik, fungsi kimia, fungsi biologi, fungsi ekonomi dan fungsi wisata, apabila hutan mangrove rusak atau bahkan hilang, banyak kerugian yang harus ditanggung manusia ataupun makhluk hidup lainnya serta lingkungan, seperti moluska, kepiting, ikan, udang, dan biota lainnya. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ridho (2012) tentang kerang darah ( Anadara

granosa ) bahwa kelimpahan kerang darah

paling rendah disebabkan karena kondisi lokasi stasiun berada dekat pemukiman penduduk dan masyarakat banyak melakukan penangkapan kerang darah. Nurdin (2006) melaporkan kurangnya populasi kerang bakau yang dapat dimakan dialam terutama disebabkan oleh eksploitasi yang berlebihan dan perubahan substrat tempat hidup. Menurut Ramanda (2014) faktor yang menyebakan rendahnya kepadatan kerang disuatu daerah karena tingginya penangkapan yang dilakukan pengumpul kerang pada daerah tersebut dan dapat merusak kondisi substrat dasar.

KESIMPULAN

1. Kepadatan Populasi Kerang Bakau

Polymesoda bengalensis Pada Ekosistem

Mangrove di Muaro Bungus Kecamatan Bungus Teluk Kabung Padang Sumatera Barat berkisar 2,36 individu/m2 .

2. Faktor fisika kimia perairan masih dalam kisaran toleransi untuk kehidupan kerang bakau. Suhu didapatkan 29-30℃, pH rata-rata 6,0, salinitas 12,14,16 ‰ dan KOS 2,12, 1,19, 1,68 %.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih kepada Bapak Dr. Indra Junaidi Zakaria, M.Si, Ibu Novi, M.Si, Bapak Drs. Nurhadi, M.Si, Bapak Rizki, S.Si, M.P, dan Ibu Febri Yanti, M.Pd yang telah memberikan banyak saran, kritikan serta masukan dalam penulisan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, N, 2013. Kepadatan dan Pola Distribusi Kerang Bakau

(Polymesoda bengalensis) di Muaro

Nipah Kecamatan Sutera Kabupaten Pesisir Selatan. Skripsi STKIP PGRI: Padang

(5)

5 Ciko, Y. A. 2004. “ Distibusi dan Morfometri

Polymesoda bengalensis Lamarck (PELECYPODA) pada Muara dan

Perairan Hutan Mangrove di Muaro Lamo Kambang Pesisir Selatan Sumatera Barat” Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Andalas. Desriyanto, R. 2003. Keanekaragaman dan

Kepadatan Kerang (Pelecypoda) di Muara dan Perairan Hutan Mangrove Gasan dan Kambang di Sumatera Barat. Sikripsi Sarjana Biologi Universitas Andalas Padang. Effendi, H, 2003. Telaah Kualitas Air Bagi

Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Yogyakarta: Bumi Aksara.

Irwan, Z. D. 2012. Prinsip-prinsip Ekologi Ekosistem, Lingkungan dan Pelestariannya. Jakarta : Bumi Aksara. Jabang, dan Nganro, 2000. Preferensi Makan Kerang Lokan (Batissa violacea) di Estuari Batang Masang Tiku Kab. Agam Sumatera Barat.

Kimball W.J, 1991. Biologi Jilid 3. Jakarta: Erlangga

Kordi, M. G. H. 2011. Budidaya 22 Komoditas Laut (Untuk Konsumsi Lokal dan

Ekspor). Lily Publisher: Yogyakarta.

Kusnadi, A., Hernawan, U.,E, & Triandiza, T. 2008. Moluska Padang Lamun

Kepulauan Kei Kecil. Jakarta: LIPI

Press.

Listyaningsih, D.D. 2013. Kajian Degradasi Ekosistem Terhadap populasi

Polymesoda erosa. Di segera

Anakan, Cilacap. Jurnal.

Nontji, A, 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan

Pancawati, D.N. 2014. Karakteristik Fisika Kimia Perairan Habitat Bivalvia di Sungai Wiso Jepara. Jurnal, (Vol 3, No 4) Hlm 141-146. Putri, M. P. 2013. “Sebaran Cangkang Kerang

Bakau (Polymesoda bengalensis) di Muaro Nipah Kecamatan Sutera Kabupaten Pesisir Selatan”. Skripsi tidak diterbitkan. Padang STKIP PGRI Sumatera Barat.

Ridho, A. 2012. Habitat dan Sebaran Populasi Kerang Darah (A. granosa) di Muara Sungai Indragiri Kabupaten Indragiri. Jurnal.

Sari, P.D. 2014. “ Analisis Lambung Kerang Bakau (Polymesoda bengalensis

Lamarck)” Skripsi tidak diterbitkan. STKIP PGRI : Padang. Setiawan, D. 2013. The Distribution Of

Scallop Seashell (Geloina coaxans) in Panipahan Village Pasir Limau Kapas District Rokan Hilir Regency Riau Province. Jurnal. Suin, M.N. 1992. Ekologi Populasi Hewan

Universitas Andalas. Padang.

Suin, 2002. Metode Ekologi . Universitas Andalas. Padang.

Suin dan R. Syafinah. 2006. Bahan Ajar

Laboratorium Metode Ekologi.

Padang: Andalas University Press. Suwondo, 2012. “Kepadatan dan

Distribusi Bivalvia Pada Mangrove di Pantai Cermin Kabupaten

Serdang Begadai Propinsi Sumatera Utara. Jurnal.

Referensi

Dokumen terkait

1) Semakin tinggi kecepatan feedwater (kecepatan tube), maka koefisien konveksi sisi tube akan semakin meningkat, dengan laju alir massa feedwater konstan.

Berdasarkan pengujian kekasaran permukaan pada hasil pembubutan material ST 90 dengan pemakaian pahat karbida maka hubungan antara kecepatan putaran mesin (n) terhadap nilai

Universitas Terbuka (UT) selaku perguruan tinggi negeri di Indonesia masih berumur muda. Oleh karena itu UT berusaha agar dikenal oleh masyarakat umum. Selain itu UT juga

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Dessi Tri Santi dalam jurnal IJCSS 2013 yang berjudul Sistem Informasi Manajemen Tata Persuratan Kementerian Agama Kabupaten Pacitan

Pada penciptaan karya kriya kulit dengan teknik carving menghasilkan delapan buah karya yang terdiri dari tiga buah dompet panjang, satu buah belt, dua buah tas selempang pria

Saya kira kita batasi pembahasan kita yang ini hanya mengenai anak dulu, bahwa orang dewasa itu saya kira sudah ada pemikiran waktu itu dari Pemerintah, tapi belum kita

Metode Potra-Ptak, Newton-Steffensen dan Varian Newton adalah keluarga metode iterasi berorde konvergensi tiga untuk menyelesaikan persamaan nonlinear. Pada makalah

Untuk mengetahui persentase terbentuknya fasa superkonduktor dan fasa impuritas maka dilakukan perhitungan Fraksi Volume (FV) pada masing- masing sampelsintering.Hasil