• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengantar Kerangka Teoritis

Kajian pengelolaan situ dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kelembagaan. Pendekatan ini akan menekankan pada “fakta” mengenai apa yang terjadi dalam pengelolaan situ, yaitu terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga kondisi aktual terjadi. Kegiatan yang akan diamati merupakan interaksi yang beroperasi pada dua level, yaitu pengembangan dan spesifikasi kelembagaan atau aturan main (rule of the game) dan kegiatan yang mencakup interaksi manusia di dalam kelembagaan yang tersedia (the

game). Aoki (2001) dalam Rachbini (2006) melengkapi konstelasi tersebut

dengan perlunya pengamatan terhadap unsur penting yang ketiga yaitu pelaku (players of the game). Selain itu berdasarkan kajian Ostrom (1990) maka faktor karakteristik fisik sumber daya dan faktor luar (teknologi dan politik) juga mempengaruhi kondisi aktual yang ada. Selain itu karena subyek penelitian tidak terlepas dari aturan hukum mengenai substansi penelitian maka akan dikaji juga peraturan perundangan yang terkait. Meskipun dalam pendekatan kelembagaan ada berbagai teori namun yang akan dibahas lebih lanjut selain konsep dan teori kelembagaan adalah teori yang mempunyai relevansi erat dengan subyek penelitian ini, yaitu konsep sumberdaya bersama.

2.2. Konsep Rezim Sumberdaya dan Hak Kepemilikan

Pengelolaan sumberdaya (resource) merupakan landasan penting dalam pembangunan suatu negara karena efektivitas pengelolaan sumberdaya sangat menentukan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Di berbagai belahan dunia banyak terjadi kecenderungan pemanfaatan sumberdaya yang semakin tidak terkendali, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan, terutama pada sumberdaya-sumberdaya yang karena karakterisitiknya

(2)

tidak dapat dimiliki secara individual. Kurang tertatanya aturan mengenai pemanfaatan berbagai bentuk “sumberdaya bersama” mengakibatkan terjadinya degradasi pada sumberdaya yang dimanfaatkan. Terjadinya degradasi terhadap sumberdaya ini sangat dipengaruhi oleh sistem manajemen yang dipergunakan dalam memanfaatkannya.

Dibawah ini Rustiadi, et.al., (2009) memberikan contoh bagaimana mendefinisikan barang menurut tingkat persaingan dan eksklusivitasnya. Barang privat adalah barang yang memperlihatkan kepemilikan pribadi serta memiliki ciri (1) excludable, artinya tidak bisa dikonsumsi semua orang, karena bila sudah dikonsumsi oleh seseorang akan mengurangi pihak lain untuk mengkonsumsinya, dan (2) terbatas (karena adanaya persaingan). Contoh barang privat adalah barang yang dimiliki sehari-hari, seperti roti, beras yang dikonsumsi seseorang. Sedangkan barang publik seperti common goods mencakup sumberdaya milik bersama (common property resources/ CPR’s), barang klub (clubs group), dan barang publik (public groups).

Tabel 2. Klasifikasi Barang/ Benda Berdasarkan Sifat Persaingan dan Sifat Eksklusivitasnya

Excludability/ Kemampuan Melarang Akses Pihak Luar)

Pembagian Cara Klasik Barang Ekonomi

Ya Tidak Ya Barang milik pribadi

(Private good)

Sumber daya bersama (common poll resource)

Rivalness

(Persaingan)

Tidak Barang Klub (Club good)

Barang publik (Public good) Sumber: Ostrom (2000) dalam Ernan Rustiadi et.al,. (2009)

Ciri yang paling bisa dikenali dari sumberdaya milik bersama adalah sebagai berikut:

1. Terlampau besarnya biaya untuk menghambat secara fisik maupun dengan menggunakan instrumen hukum positif dan menggunakan sumberdaya (excludabilities).

2. Manfaat yang dipetik oleh seseorang diperoleh berdampak mengurangi manfaat yang tersedia untuk orang lain (rivallness).

(3)

Gambar 1. Perkembangan Hak-hak kepemilikan (Sumber : Lynch & Harwell 2002)

Sedangkan jika dilihat perkembangan mengenai hak-hak kepemilikan (Feeny et al., 1990; Lynch & Harwell 2002) dapat dilihat sebagai berikut :

1. Akses terbuka (open access): Tidak ada hak kepemilikan terhadap sumber daya. Sumber daya bebas dan terbuka diakses oleh siapapun. Tidak ada regulasi yang mengatur. Hak-hak pemilikan (property right) tidak didefinisikan dengan jelas.

2. Milik privat (private property): Sumber daya dimiliki oleh organisasi swasta. Sumber daya ini bukan milik negara. Ada aturan yang mengatur hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumber daya alam. Manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik. Hak kepemilikan dapat dipindahtangankan.

3. Dikuasai masyarakat (common property). Sumber daya dikuasai oleh sekelompok masyarakat dimana para anggota memiliki kepentingan untuk kelestarian pemanfaatan. Pihak luar bukan anggota tidak boleh memanfaatkan. Hak pemilikan tidak bersifat ekslusif, dapat dipindah-tangankan sepanjang sesuai aturan yang disepakati bersama. Aturan pemanfaatan mengikat anggota kelompok.

4. Dikuasai negara (state property): Hak pemanfaatan sumber daya alam secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah berkewenangan memutuskan tentang akses, tingkat dan sifat eksploitasi sumber daya alam.

Public Property Rights (Milik Negara)

Private Property Rights (Bukan Milik Negara)

Group Rights (Hak-hak Komunitas) Individual Rights (Hak-hak Individu) Private Community-Based Property Rights Komunitas-Privat Individu-Privat Individu-Publik Kelompok-Publik

(4)

Dari rezimentasi sumberdaya di atas maka Ostrom (2000) menggambarkan bahwa terjadi perubahan dalam atribut pengelolaan terkait dengan penggunaan (flow) dalam kerangka penyediaan terbatas namun terus terjadi dalam waktu tertentu dan pencadangan (stock) digunakan untuk pembatasan atau perlindungan dari eksploitasi. Jika dilihat maka rezimentasi sumberdaya jika dilihat dari konsep titik kritis pemanfaatan (eksploitasi) adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Atribut Stock dan Flow dalam Rezimentasi Sumberdaya Kepemilikan Privat Kepemikan Bersama (CPRs) Kepemilikan Negara (Publik)

Flow Parsel Parsel Tetap

Stock Parsel Tetap Tetap

Sumber: Ostrom (2000)

Keterangan: Parsel dapat dibagi-bagi dan didistribusikan pemanfaatannya, tetap tidak dapat dibagi atau diditribusikan

Dari keterangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa rezim sumberdaya milik bersama jika dimaksudkan sebagai pencadangan (stock dalam pemanfaatan) maka harus dijaga dari eksploitasi. Sebaliknya, dalam kepemilikan negara, jika dimaksudkan sebagai sumberdaya yang dapat dibagi dan didistribusikan maka kepemilikan oleh negara hanya dapat dimanfaatkan oleh negara, tidak dapat didistribusikan. Hal ini kontras dengan fakta pemanfaatan hutan lindung (milik negara) berdampingan (di tempat dan waktu yang sama) dengan pertambangan (milik negara atau privat).

2.2.1. Permasalahan Universal Pengelolaan Sumberdaya Bersama

Dua masalah utama dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya bersama adalah free rider problem (masalah penunggang gelap), karena sifatnya barang publik cenderung mengarah pada kegagalan pasar yang instan. Dalam mekanisme pasar dimana individu-individunya semua hanya mencari keuntungan pribadi, maka pengelolaan barang publik tidak dapat dikelola secara efisien. Masalah yang timbul akibat adanya pemanfaat-pemanfaat barang publik yang mendapat manfaat mengkonsumsi barang tetapi tidak berkontribusi dalam proses

(5)

produksinya disebut free rider problem. Oleh karenanya, fenomena public goods selalu memunculkan free rider. Ketika suatu barang menjadi sumber daya bersama, maka setiap orang cenderung menggunakannya secara berlebihan (over

used). Apabila hal ini terjadi secara terus menerus maka terjadilah “the tragedy of the commons”.

2.2.2. Dari ”Tragedy of The Commons” ke “The Drama of The Commons” Penduduk dunia semakin bertambah sehingga kebutuhannya juga bertambah. Hal ini menimbulkan beberapa masalah karena lahan tidak bertambah. Kondisi ini menyebabkan wilayah-wilayah dan sumberdaya-sumberdaya yang tadinya dianggap tidak terbatas dan tidak terpikir untuk diatur, maka sekarang harus mulai dicarikan solusinya. Tragedy of the commons merupakan fenomena penting yang mendasari konsep-konsep dalam ekologi manusia dan studi lingkungan. Mayoritas isu lingkungan memiliki aspek-aspek

the commons di dalamnya. Inti dari semua teori sosial adalah perbedaan antara

manusia yang dimotivasi oleh kepentingannya yang sempit dan manusia yang dimotivasi oleh pandangan terhadap orang lain atau untuk masyarakat secara keseluruhan. Sebenarnya tragedy of the commons dapat dihindari melalui suatu mekanisme yang dapat menyebabkan individu memandang barang-barang atau sumberdaya sebagai milik bersama serta adanya kelembagaan yang mengaturnya.

Salah satu masalah utama yang terkait dengan penggunaan sumberdaya common-pool recources (CPRs) adalah biaya untuk

membatasi/mencegah akses pengguna potensial. Penunggang gelap (free rider) dapat menyebabkan munculnya biaya tinggi dari sumberdaya common-pool dan barang-publik. Masalah penunggang gelap dapat terselesaikan apabila aturan-aturan diadopsi dan diterima dalam mengatur kegiatan-kegiatan individu dan biaya transaksi pengendalian (social cost) masih bisa lebih rendah dari manfaat (social benefit).

Kelembagaan adalah aturan-aturan yang dibangun masyarakat untuk menentukan “yang dilakukan dan yang tidak dilakukan” berkaitan dengan situasi tertentu. Banyak tipe pengaturan kelembagaan telah dikembangkan untuk mencoba mengurangi permasalahan penggunaan yang berlebihan dan penunggang

(6)

gelap, misalnya distribusi konflik. Karakteristik khusus bagi common-pool

resources dan penggunanya mempengaruhi institusi dalam mengatur penggunaan

sumberdaya tersebut. Semakin seragam, sederhana dan semakin kecil skala sumberdaya maka akan semakin mudah untuk merancang institusi dan untuk mencegahnya dari over-use serta perusakan. Begitu pula sumberdaya yang rumit dengan penggunaan interaktif dan externalitas negatif akan sulit untuk dikendalikan. Karakteristik individu pengguna, seperti preferensi, aset, dan karakteristik kelompok (keeratan, tingkat kepercayaan, homogenitas dan ukuran) akan mempengaruhi institusi. Penggunaan common-pool resources dipengaruhi juga oleh institusi yang mengatur dan keberadaan teknologi.

2.2.3. Jenis (Rejim) Penguasaan Sumberdaya Bersama

Rejim penguasaan/pemilikan (ownership) sumberdaya dapat

digolongkan atas empat kelompok rejim, yakni: kepemilikan privat, kepemilikan oleh negara (state ownership), kepemilikan bersama/umum (common property) dan kepemilikan tanpa aturan (open access). Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa tidak ada fakta konsisten yang menunjukkan bahwa satu rejim merupakan pilihan yang terbaik untuk pengelolaan semua tipe sumberdaya bersama. Ostrom (1990) mengamati sejumlah sumberdaya bersama, common-pool recources

(CPRs) yang dikelola oleh masyarakat lokal dengan self management tertentu

justru menjadi lebih baik dan bertentangan dengan ramalan tragedy of the

commons menurut Garret Hardin, yang menyatakan pengelolaan oleh masyarakat

akan mendorong ke arah over used dari suatu sumberdaya bersama.

Permasalahan pengelolaan CPRs terus berkembang dan menghasilkan tantangan-tantangan baru. Pemilihan bentuk/sistem kelembagaan rejim pengelolaan CPRs yang terbaik sangat tergantung dari berbagai hal yang bersifat kompleks, yaitu:

(7)

(1) Faktor Karakteristik Sumberdaya

a) Skala sumberdaya berukuran kecil/lokal, memudahkan dimonitor dengan tingkat akurasi yang cukup baik. Stock dan flow CPRs berskala besar (skala regional dan global) membutuhkan teknik-teknik pengukuran yang canggih (sophisticated)

b) Sumberdaya bersifat stabil dan mudah didelineasi

c) Eksternalitas negatif dari pemanfaatan sumberdaya relatif kecil d) Tingkat pemanfaatan sumberdaya yang moderat

e) Dinamika sumberdaya relatif sudah dipahami dan teridentifikasi (2) Faktor karakteristik pengguna (CPRs appropriators)

a) Pengguna-pengguna yang memiliki tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi akan cenderung memiliki kesepakatan-kesepakatan bersama tentang pembatasan-pembatasan penggunaan sumberdaya.

b) Pengguna-pengguna yang memiliki keterkaitan dan resiprositas dalam rentang waktu yang lama akan mendorong kerjasama dan membangun

social capital.

c) Heterogenitas pengguna terhadap realitas ekologis yang berlangsung menyusun ulang kesepakatan-kesepakatan yang ada

(3) Disain Kelembagaan (Institutional design)

Elemen-elemen esensial untuk suksesnya kelembagaan pengelola CPRs ditentukan oleh kemampuan dari CPRs appropriators untuk:

a) Berkomunikasi

b) Membuat peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya dengan baik c) Menerapkan penalti bagi perilaku pelanggaran aturan

(4) Faktor luar a) Politik b) Teknologi

Dalam karakteristik pengguna hubungan antar individu, struktur, dan lingkungan memberikan ruang tafsir sendiri, yaitu mengapa beberapa aktor dalam ruang (dan struktur) yang sama, memiliki siasat-siasat yang berbeda dalam beraktivitas di ruang tersebut. Mc Cay (2002) memandang CPRs sebagai suatu

(8)

narasi besar, sehingga tidak memungkinkan menjelaskan perbedaan-perbedaan yang sifatnya subjektif terkait dengan peristiwa (event), situasi dan konteks ketika peristiwa tersebut terjadi. Untuk menghindari penjelasan yang sifatnya deduktif, melalui narasi besar maka dibutuhkan penjelasan mengenai perubahan kebiasaan terkait dengan peristiwa, situasi dan konteks tersebut. Penjelasan inilah yang disebut sebagai penjelasan alternatif atas pertanyaan ‘jika peristiwa x tidak terjadi apakah y terjadi’. Jika dikaitkan dengan kelembagaan CPRs, maka jawaban tersebut akan memberikan ruang perbedaan dari teori CPRs yang dipandangnya telah mapan.

Rezim CPRs merakit institutional design yang berpihak kepada keberlanjutan fungsi sumberdaya karena pengaturan sumberdaya atau commons

pool resources oleh pemerintah sering mengalami kegagalan, disebabkan oleh : 1)

Pemerintah sering membuat kebijakan yang mengabaikan indegenous institution seperti hak ulayat atau hak pribadi yang sering diambil alih oleh pemerintah dan 2) Sumberdaya yang dimiliki pemerintah tidak diimbangi oleh kemampuan serta kapasitas pemerintah sebagai pengelola dan pemanfaat sumberdaya.

Performa yang baik bagi suatu institutional design dalam menangani

commons pool resources adalah : 1) Mengikutsertakan partisipasi resource users

dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah/ institusi, 2) Pemerintah membuat aturan-aturan yang mudah untuk dimonitor/diawasi dalam pelaksanaannya, 3) Membuat aturan-aturan yang enforceable, 4) Mengatur dan melaksanakan mekanisme sanksi oleh pelanggar, 5) Ajudifikasi tersedia secara low cost, 6) Institusi monitoring dengan aparat yang akuntable, 7) Institusi yang mengatur

commons pool resources dibuat dalam level-level berhierarki sesuai fungsinya dan

8) Adanya prosedur yang memungkinkan adanya revisi peraturan (Agrawal, 2002).

Ostrom (1990) menganalisa desain institusi dengn mengidentifikasi delapan prinsip desain yang menjadi syarat untuk pengelolaan sumberdaya bersama, yaitu:

1. Kejelasan batasan/definisi sumberdayanya

(9)

3. Pengaturan kolektif yang mengikutsertakan lebih banyak pengguna dalam penyediaan sumberdaya dan proses pengambilan keputusan

4. Monitoring yang efektif

5. Penerapan sanksi terhadap pengguna yang tidak menghargai aturan masyarakat

6. Mekanisme penyelesaian konflik yang murah dan memudahkan akses 7. Minimal mengenal hak untuk mengatur

8. Dalam kasus CPRs berskala besar/luas, pengaturan berlapis-lapis terbagi atas kelompok-kelompok kecil/lokal

2.3. Komponen Pengelolaan

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air, udara dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang diperlukan memiliki keterbatasan dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga memiliki keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana.

Keberadaan sumberdaya alam sangat menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Namun sebaliknya ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyak ditentukan oleh aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan.

Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam, namun eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan serta daya dukung lingkungan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan. Banyak faktor yang menyebabkan turunnya kualitas lingkungan dan kerusakan

(10)

lingkungan yang dapat diidentifikasi dari pengamatan di lapangan, oleh sebab itu dalam makalah ini dicoba diungkap secara umum sebagai gambaran potret lingkungan hidup, khususnya dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah.

Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Dengan demikian, pengertian pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.

Bagi Indonesia, mengingat bahwa kontribusi yang dapat diandalkan dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal pembangunan adalah dari sumberdaya alam, maka sumberdaya alam memiliki peranan penting dalam perekonomian. Namun demikian, dilain pihak, keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan. Demikian juga aturan sebagai landasan pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan mendukung pembangunan dari sektor ekonomi kurang diperhatikan. Hal ini berakibat pada penurunan daya dukung lingkungan dan menipisnya ketersediaan sumberdaya alam yang ada serta penurunan kualitas lingkungan hidup.

Kompleksitas dan ketidakpastian memberikan tantangan bagi para pengambil keputusan dan penganalisa sumber daya. Untuk menghadapinya diperlukan pendekatan pengelolaan yang adaptif. Pengelolaan adaptif merupakan suatu pendekatan kebijakan sumber daya alam yang mengandung pemaksaaan sederhana. Dengan mengaitkan tujuan kemanusiaan dan ilmu pengetahuan, pengelolaan adaptif merupakan suatu jalan untuk mencapai keberlanjutan di masa mendatang Lee (1993) dalam Mitchell (2000). Mengingat kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup serta permasalahan yang bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan pendekatan manajemen, maka pada

(11)

tataran operasional implementasi kelembagaan, khususnya untuk pengelolaan situ dapat dipilah menjadi empat aspek yaitu: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pemanfaatan dan pelestarian. Aspek perencanaan meliputi penyusunan rencana induk pengembangan secara terintegrasi dan peraturan penyelenggaraan yang berupa perencanaan teknis. Aspek pemanfaatan meliputi implementasi perencanaan dengan mempertimbangkan kondisi teknis, kondisi ekologi dan kondisi sosial ekonomi serta sumberdaya hayati yang terdapat di dalam situ. Aspek pengamanan atau pengendalian pemanfaatan dilaksanakan dengan tidak mengubah bentuk/fungsi kawasan dan tetap menjaga estetika serta keasliannya. Aspek pelestarian dilakukan untuk menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat situ.

2.4. Kelembagaan

Kelembagaan diartikan sebagai lembaga atau organisasi, yaitu bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka mencapai suatu tujuan yang ditentukan, dalam ikatan mana terdapat seseorang/beberapa orang yang disebut atasan dan seseorang/ sekelompok orang disebut bawahan (Siagian, 1995). Menurut Pakpahan, A. (1986) ada tiga unsur yang menetukan faktor kelembagaan yaitu (1) Batas yurisdiksi, (2) Property right dan (3) Aturan representasi. Suatua kebijakan berhasil atau idak tergantung kepada apakah kebijakan yang dimaksud menghasilkan keragaan yang dinyatakan atau tidak dinyatakan.

Batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam sumberdaya. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atas batas otortas yang dimiliki oleh suatu institusi, atau mengandung makna kedua-duanya. Dalam istilah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah misalnya terkandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Konsep hak kepemilikan adalah mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam menyatakan kepunyaannya terhadap sumber daya yang merupakan kekuatan akses dari kontrol terdapat sumber daya. Dalam hal situ, keterlibatan masyarakat setempat dalam perencanaan dan akomodasi kepentingan

(12)

akan mengakibatkan peningkatan kesejahteraan sekaligus kelestarian sumber daya dan lingkungan tetap terjaga.

Han van Dijk (1994) membedakan batas yurisdiksi ini dengan sistem tenurial dan sistem teritorial. Kedua konsep tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu berkenaan dengan adanya klaim hak penguasaan atas suatu sumber daya. Tenure dapat dipahami sebagai penegasan mengenai suatu hak khusus yang dimiliki oleh individu atau kelompok terhadap suatu objek yang jelas batas-batasnya, misalnya terhadap sebidang tanah atau suatu jenis pohon tertentu. Suatu klaim tenure mensyaratkan adanya faktor investasi dari manusia kedalamnya, misalnya investasi tenaga, modal, dan kontrol terhadap proses-proses alamiah melalui perubahan jenis tutupan vegetasi (misalnya dengan adanya praktek budidaya tanaman tertentu di atas sebidang tanah).

Sementara itu batas-batas klaim dalam sistem penguasaan teritorial biasanya lebih fleksibel secara sosial maupun geografis. Teritorial mencakup klaim hak atau penguasaan terhadap suatu kawasan (teritori) tertentu, dimana pengukuhan terhadap klaim tersebut didasarkan pada aspek-aspek ideologis, moral, legal atau alasan-alasan politik; bukan mengacu pada aspek- aspek ekologis tetapi lebih didasarkan kepada persepsi orang terhadap kondisi-kondisi ekologis dan sosio-politik mereka. Klaim penguasaan berupa territoriality tidak mensyaratkan faktor investasi manusia seperti halnya dalam tenure. Dengan kata lain, suatu klaim penguasaan territoriality bisa sama dan sebangun dengan tenure, tetapi bisa juga melampaui batas-batas tenure.

Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi adalah mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi lebih banyak ditentukan oleh keputusan politik organisasi. Aturan representasi menurut Mc Kean adalah suatu cara agar orang dapat memanfaatkan sumberdaya secara berkelanjutan, tidak sekadar ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, namun juga dapat memilikinya atau menguasainya secara perdata. Masih dalam Mc Kean, dengan

(13)

mengambil contoh desa-desa di Jepang, maka aturan representasi yang menyangkut pengambilan keputusan atau otoritas juga terkait dengan organisasi (dalam konteks ini organisasi tradisional) yang mengatur pemanfaatan sumberdaya bersama, yang di dalamnya termasuk lumbung padi, pengairan, dimana jika terdapat ancaman terhadap sumberdaya tersebut maka otoritas ini yang kemudian mengubah aturan.

Ketiga unsur kelembagaan di atas harus dibuat secara sosial, artinya masyarakat mengetahui fungsi kelembagaan agar tidak terjadi pemakluman atas pelanggaran batas, kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Sedangkan menurut Soekanto, S. (1997), kelembagaan dapat diartikan dalam dua makna, yaitu lembaga sebagai institusi (institution) dan pelembagaan

(institutionalization). Lembaga dalam pengertian institut merupakan organ-organ

yang berisikan konsep dan struktur dalam menjalankan fungsi masyarakat. Sedangkan pelembagaan dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilewati oleh suatu norma atau aturan untuk dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati oleh masyarakat.

Lembaga tumbuh dari kebiasaan yang menjadi adat-istiadat, kemudian berkembang menjadi tata kelakuan dan bertambah matang apabila telah diadakan penjabaran terhadap aturan dan perbuatan. Untuk menjalankan aturan dan perbuatan tersebut terbentuklah struktur yakni sarana atau struktur prasarana. Dengan demikian lembaga merupakan konstelasi dari perangkat kaidah-kaidah yang mengacu pada organisasi, baik abstrak maupun konkrit (Soekanto, 1997). Lembaga yang mengacu pada organisasi abstrak adalah lembaga yang diakui dan diterima oleh masyarakat namun tidak memiliki justifikasi hukum. Contohnya adalah lembaga-lembaga adat. Sedangkan lembaga yang mengacu pada organisasi yang kongkrit adalah lembaga yang diakui secara formal dan mempunyai justifikasi hukum, contohnya lembaga-lembaga pemerintah.

Kelembagaan merupakan social form atau kelompok sosial yang berfungsi ibarat organ-organ dalam tubuh masyarakat. Bertrand, sebagaimana dikutip oleh Nasdian dan Utomo (2005) mengemukakan bahwa kelembagaan sosial adalah tata abstraksi yang lebih tinggi dari group, organisasi dan sistem lainnya. Menurut Sugiyanto (2002), kelembagaan dalam pendekatan bahasa

(14)

merupakan terjemahan dari dua istilah, yaitu institute yang merupakan wujud kongkrit dari lembaga yang juga berarti organisasi dan institution yang merupakan wujud abstrak dari lembaga yang berarti pranata dan merupakan sekumpulan norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia.

Koentjaraningrat (1981), menggunakan istilah pranata sosial untuk menjelaskan kelembagaan sosial, yang merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Soekanto (1990), mendefinisikan kelembagaan sebagai himpunan norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Sesungguhnya masih banyak lagi pendapat ahli tentang kelembagaan, namun apa yang dimaksud pada umumnya adalah sama. Kelembagaan merupakan sekumpulan norma yang stabil, mantap, dan berpola serta berfungsi untuk tujuan tertentu di masyarakat. Kelembagaan dapat ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern atau dapat berbentuk tradisional sekaligus modern dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial.

Pada penelaahan lebih jauh, Syahyuti (2003) menunjukkan bahwa jika masuk kedalamnya, maka terlihat ada dua aspek dalam kelembagaan, yaitu: 1) Aspek kelembagaan nilai dan 2) Aspek keorganisasian struktur. Keduanya merupakan komponen pokok dalam setiap kelompok sosial. Perhatian pokok aspek kelembagaan adalah perilaku dengan kompleks faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku tersebut. Sekumpulan faktor-faktor tersebut adalah berupa ide-ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan. Sedangkan pokok utama aspek keorganisasian adalah struktur, yaitu: menjelaskan tentang bagian-bagian pekerjaan dalam aktivitas kelembagaan, bagaimana kaitan antar fungsi-fungsi yang berbeda, penjenjangan antar bagian, konfigurasi otoritas, kesalinghubungan antar otoritas serta berhubungan dengan lingkungan.

Masih dalam tulisan Syahyuti, dengan mempelajari kinerja suatu kelembagaan berarti dapat dipahami seluruh aspek kelembagaan. Kinerja kelembagaan dalam hal ini didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan keluaran yang sesuai dengan tujuannya serta relevan dengan

(15)

kebutuhan pengguna. Sitorus (1998), mengemukakan ada dua hal untuk menilai kinerja kelembagaan, yaitu produknya sendiri berupa jasa atau material pelayanan dan faktor manajemen yang membuat produk tersebut dapat dihasilkan. Kedua hal tersebut, pelayanan dan pengelolaan dalam kajian ini, terkait dengan tinjauan penguatan kelembagaan, digunakan sebagai aspek dalam kategorisasi keragaan kinerja kelembagaan. Djatiman (1997) menggolongkan institusi atau kelembagaan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:

1. Bureaucratic institution; adalah institusi yang datangnya dari pemerintah dan tetap akan menjadi milik birokrasi, contohnya pemerintah desa;

2. Community Based Institution; adalah institusi yang dibentuk pemerintah berdasarkan atas sumber daya masyarakat yang diharapkan menjadi milik masyarakat, seperti koperasi;

3. Grass Root Institution; adalah institusi yang murni tumbuh dari masyarakat dan merupakan milik masyarakat, contohnya arisan.

Kata kelembagaan memiliki dua jenis pengertian, yaitu kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi. Sebagai aturan main, Schmid (1972) dalam Pakpahan (1990) mengartikan kelembagaan sebagai perangkat yang terdiri dari hubungan-hubungan yang teratur antara orang-orang yang mendefinisikan hak-hak, keterbukaan terhadap hak orang lain, hak-hak khusus, serta tanggungjawab. Oleh karena itu kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya yang memiliki kontribusi sangat besar dalam memecahkan masalah aktual yang dihadapi masyarakat, seperti pengaturan penggunaan/alokasi sumberdaya yang efisien, merata dan berkelanjutan.

Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud kongkrit yang membungkus aturan main tersebut, seperti pemerintah, bank, koperasi, dan sebagainya. Institusi, menurut Douglas North dalam Rachbini (2006) merupakan aturan main di dalam masyarakat atau lebih formal, dimana manusia membagi keterbatasan untuk membentuk interaksi antar manusia. Institusi bisa berwujud formal dan bisa berwujud informal. Institusi formal biasanya ada dalam masyarakat yang lebih modern dan aturan main di dalamnya dituliskan dalam kesepakatan formal, baik dalam bentuk undang-undang, hukum, aturan organisasi,

(16)

dan sebagainya. Sedangkan aturan yang informal tidak tertulis, tetapi hidup dan dipraktikkan oleh masyarakat karena telah menjadi kesepakatan kolektif dalam perjalanan hidup serta sejarah masyarakat itu sendiri.

Institusi juga bisa dengan sengaja diciptakan dan bisa juga tidak sengaja hadir karena secara spontan masyarakat memerlukannya. Institusi yang sengaja diciptakan hadir atau ada karena adanya institusi-institusi formal yang sengaja dibangun untuk menciptakan aturan main agar kehidupan masyarakat menjadi lebih berharga dan lebih baik. Sedangkan institusi yang muncul spontan terjadi karena adanya kebutuhan mendesak sehingga masyarakat tanpa rekayasa bersama menghadirkannya untuk kebutuhan bersama pula.

Menurut Aoki (2001) dalam Rachbini (2006), institusi memiliki tiga unsur penting, yang saling terkait satu sama lain.

1. Aturan main (rules of the game) 2. Pelaku (players of the game)

3. Strategi keseimbangan dalam permainan (equilibrium strategies of the

game)

Aturan main merupakan unsur paling penting dalam institusi karena semua ada dalam kerangka kesepakatan bersama, dimana tindakan dan perilaku harus sesuai dengan aturan main tersebut. Unsur kedua adalah pelaku yang terlibat dan berpartisipasi dalam kerangka institusi tersebut, baik dalam masyarakat maupun organisasi. Yang tidak kalah pentingnya adalah strategi keseimbangan dalam permainan karena institusi datang untuk mengatur kebersamaan dalam keseimbangan yang teratur.

Saat ini dari aspek pengelolaan situ maka kelembagaan yang ada antara lain dapat dilihat pada Tabel berikut ini

Tabel 4. Kelembagaan dalam Aspek Pengelolaan Situ

Tingkat Nama Lembaga

Pusat • Kementrian Lingkungan Hidup

• Kementrian Dalam Negeri, Ditjen Bangda • Bappenas

(17)

Daerah • BPLHD • Bappeda • Dinas PU

• Dinas Pariwisata dan Kebudayaan • Dinas Kelautan dan Pertanian • Walikota

2.5. Peraturan Pengelolaan Situ

Hukum lingkungan Indonesia telah mulai berkembang sejak zaman penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda. Hukum pada masa itu lebih berorientasi pada pemakaian (used-oritented law). Sedangkan hukum Indonesia berubah menjadi tidak hanya mengenai pemakaian tetapi juga perlindungan

(environment-oriented law). Perubahan ini tidak terlepas dari lahirnya hukum internasional

yang ditandai dengan Deklarasi Stockholm 1972. Perkembangan hukum lingkungan Indonesia sangat dipengaruhi oleh hukum lingkungan internasional.

Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping juga perangkat hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.

Dalam pelaksanaan pembangunan di era otonomi daerah, pengelolaan situ mengacu pada beberapa perundangan dan peraturan yang ada yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel berikut ini

(18)

Tabel 5. Peraturan Pengelolaan Situ

Tingkat Nama perundangan dan peraturan

Undang-Undang • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah

• Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air

• Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI Peraturan Pemerintah • Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, • Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008

tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Peraturan Menteri • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

06/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penggunaan Sumber Daya Air

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lebih banyak menekankan pada pemeliharaan lingkungan hidup dan pencegahan pencemaran pada sumber daya alam termasuk air. Yang dimaksud dengan “pemeliharaan lingkungan hidup” adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Konservasi sumber daya alam meliputi, antara lain, konservasi sumber daya air, ekosistem hutan, ekosistem pesisir dan laut, energi, ekosistem lahan gambut, dan ekosistem karst. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping

(19)

maksimum, Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hokum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

Sejalan dengan lajunya pembangunan nasional yang dilaksanakan, permasalahan situ yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan lingkungan. Beberapa situ di perkotaan tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga. Masalah pencemaran ini disebabkan oleh masih rendahnya kesadaran para pelaku dunia usaha ataupun kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat dengan kualitas lingkungan yang baik. Dengan kata lain, permasalahan lingkungan tidak semakin ringan namun justru akan semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya alam dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan UU Lingkungan Hidup maka kualitas situ menjadi tanggung jawab BPLHD.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dikatakan pada Pasal 2 ayat (4) dan (5) bahwa:

• Ayat (4): Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya.

• Ayat (5): Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.

Kemudian dalam Pasal 17 ayat (1) dikatakan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:

(20)

a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;

b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan

c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Sedangkan dalam Pasal 17 ayat (2) dikatakan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antar pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:

a. Pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;

b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antar pemerintahan daerah; dan

c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya.

Konsekuensi pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 mengenai pengelolaan lingkungan hidup titik beratnya ada di daerah, walaupun pengelolaan sumberdaya air yang mencakup lintas sektoral dan lintas wilayah memerlukan keterpaduan untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. Pengelolaan sumberdaya air perlu dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumberdaya air.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka seharusnya sebagian besar kewenangan pengelolaaan lingkungan termasuk situ dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Kementrian PU membentuk Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) untuk melakukan pengelolaan sungai Ciliwung Cisadane yang sebagian besar meliputi wilayah Propinsi DKI Jakarta. BBWSCC mempunyai tugas pokok dan program pengelolaan

(21)

sumberdaya air di sepanjang aliran Sungai Ciliwung Cisadane yang mencakup wilayah Jabodetabek. Namun faktanya terjadi tumpang tindih kewenangan regulasi beberapa situ di Wilayah DKI Jakarta yang bersinggungan dengan wilayah aliran Sungai Ciliwung Cisadane, sehingga menyebabkan pengelolaan situ tidak maksimal.

Jakarta sebagai ibukota negara secara khusus diatur melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana Provinsi DKI Jakarta diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah, kecuali hal-hal yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang ini. Dalam Pasal 26 dikatakan salah satu kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah otonom mencakup seluruh urusan pemerintahan penetapan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penggunaan Sumber Daya Air maka pengelolaan sumberdaya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. Pengelolaan sumberdaya air dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumberdaya air. Koordinasi dilakukan oleh wadah yang bernama Dewan Sumber Daya Air atau dengan nama lain, misalnya Panitia Tata Pengaturan Air Provinsi. Wadah tersebut memiliki tugas pokok menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air yang beranggotakan unsur pemerintah dan non pemerintah dalam jumlah seimbang atas dasar prinsip keterwakilan.

Dewan Sumber Daya Air merupakan suatu wadah koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air dalam Pengelolaan SDA yang mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan

(22)

keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air serta sumber air, baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. Fungsi Dewan Sumber Daya Air Nasional adalah memberikan pertimbangan kepada presiden dalam menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah atas dasar masukan dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometerologi dan hidrogeologi ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan usul Dewan Sumber Daya Air Nasional.

Dewan Sumber Daya Air Nasional untuk tingkat pusat, wilayah sungai lintas propinsi dan wilayah sungai strategis nasional dibentuk oleh pemerintah pusat. Dewan Sumber Daya Air tingkat Propinsi dan atau pada wilayah sungai lintas Kabupaten/Kota dibentuk oleh pemerintah propinsi. Dewan Sumber Daya Air tingkat Kabupaten/Kota dan atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dibentuk oleh pemerintah kabupaten/kota. Hubungan kerja antar tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota dan wilayah sungai bersifat konsultatif dan koordinatif. Sebagai tindak lanjut dari UU Sumber Daya Air maka telah dibentuk Dewan Sumber Daya Air di Wilayah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2011.

Dengan kondisi tersebut maka pengelolaan situ perlu ditingkatkan kualitasnya melalui dukungan penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas, sumberdaya manusia yang berkualitas, perluasan penerapan etika lingkungan serta asimilasi sosial budaya yang semakin mantap. Perlu segera didorong terjadinya perubahan cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika lingkungan melalui internalisasi kedalam kegiatan/proses produksi dan konsumsi dan menanamkan nilai serta etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses pembelajaran sosial serta pendidikan formal pada semua tingkatan.

Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah penegakan hukum. Dengan semakin pesatnya pembangunan nasional yang dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ada beberapa kelemahan yang perlu mendapat perhatian, antara lain adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan landasan aturan yang seharusnya sebagai pegangan untuk menjadi

(23)

pedoman dalam melaksanakan serta mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan situ cukup banyak tetapi lemah dalam implementasinya. Ada beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuannya sendiri. Hal ini disebabkan lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam hal pengawasan.

2.5. Hasil Penelitian Yang Berkaitan

Rosnila (2004) melakukan penelitian mengenai perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap keberadaan situ di Depok. Pergeseran fungsi kota ke daerah pinggiran telah mempercepat terjadinya perubahan penggunaan lahan yang mengarah pada perkotaan. Kondisi ini berdampak pada penurunan luas dan kualitas situ. Luas pada tujuh situ yang diteliti, selama kurun waktu 1991–2001 memiliki kecenderungan menurun. Kondisi umum pada ketujuh situ telah mengalami pendangkalan akibat sedimentasi, banyaknya gulma yang tumbuh, pengurugan dan alih fungsi lahan di areal situ. Perubahan penggunaan lahan di DTA situ menunjukkan terjadinya penurunan luas vegetasi campuran yang diikuti tegalan dan lahan sawah. Sebaliknya permukiman dan lahan terlantar justru mengalami penambahan luas. Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan luas situ adalah jarak desa, dimana situ berlokasi ke ibukota kabupaten/kota yang membawahi, laju perubahan luas permukiman, laju perubahan luas lahan sawah, laju perubahan luas lahan terlantar dan jarak desa dimana situ berlokasi ke ibukota kabupaten/kota yang terdekat. Hasil analisis menunjukkan pendapat masyarakat terhadap pembuangan limbah industri dan limbah domestik ke dalam situ, kegiatan perikanan dan kegiatan rekreasi memiliki perbedaan yang nyata antara situ yang relatif alami dengan situ yang terpengaruh oleh aktivitas manusia.

Dewasa ini, disadari bahwa faktor lain yang turut menentukan kelestarian sumberdaya alam adalah faktor kelembagaan. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam harus dapat berfungsi dengan baik. Menurut

(24)

Sinurat (2002), besarnya potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah, akan mengakibatkan banyak lembaga ataupun instansi yang merasa berkepentingan memanfaatkan sumberdaya di wilayah tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya permasalahan yang menimbulkan konflik dalam pengelolaan sumberdaya dikawasan tersebut.

Konflik tersebut terjadi akibat tumpang tindih pemanfaatan ruang antar

stakeholder dan tumpang tindih fungsi serta kewenangan antar lembaga/instansi

pemerintah, baik secara vertikal maupun horisontal. Akibatnya pengelolaan sumberdaya tidak optimal dan berkelanjutan (unsustainable development). Upaya dan strategi yang perlu diterapkan dalam pengelolaan wilayah yaitu: (a) mampu mengakomodasi mekanisme koordinasi kegiatan antar sektor dalam pengelolaan, pengembangan dan konservasi kekayaan alam di wilayah pesisir; (b) mampu mengkoordinasikan kegiatan penelitian dan memanfaatkan hasil-hasilnya termasuk pengelolaan data dan informasi mengenai wilayah pesisir serta mekanisme diseminasinya dan (c) mampu mengembangkan peraturan-peraturan dalam upaya pelaksanaan dan penegakan hukum secara efektif dan efisien. Pendekatan pengelolaan pesisir secara terpadu dengan melibatkan semua stakeholder merupakan implementasi dari kebijakan dalam mengatasi konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya wilayah.

Perlunya perbaikan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya disebabkan oleh banyaknya sumberdaya alam yang mengalami degradasi atau kerusakan. Hal ini disebabkan oleh kegagalan pengelola dalam menerapkan kebijakan di lapangan (Rustamaji, 2002). Kajiannya tentang faktor pendorong dan penghambat proses pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan dalam rangka implementasi otonomi daerah Kabupaten Kutai Barat Propinsi Kalimantan Timur. Menurutnya pembaharuan kebijakan dan kinerja pengelolaan hutan dapat tercapai apabila faktor pendorong lebih besar dari pada faktor penghambatnya dan kebijakan dapat dilaksanakan apabila rumusan operasionalnya sesuai dengan harapan rasional para pihak terkait atas kinerja institusi pengelolaan hutan. Berdasarkan pemahaman konsep institusi serta peran institusi, maka faktor-faktor pembaharuan tersebut ditetapkan sebagai unit analisis dengan tujuan memahami peran membangun kapasitas yang diperlukan bagi lembaga pemerintah, swasta

(25)

maupun masyarakat dalam kondisi tertentu untuk mencapai kinerja yang diharapkan.

Masduki (2005) melakukan penelitian tentang analisis konflik penggunaan lahan dalam pengembangan wilayah Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan. Perencanaan pengembangan wilayah perkampungan Situ Babakan melibatkan banyak pihak (stakeholders) termasuk instansi lingkup Pemerintah DKI Jakarta. Potensi konfllik yang terjadi disebabkan oleh benturan kepentingan dalam penggunaan lahan sebagai areal permukiman, ruang terbuka hijau dan lahan usaha. Dalam penelitian ini dikaji potensi konflik kepentingan antara pengguna lahan dan faktor-faktor pendorongnya serta memformulasi strategi resolusi yang dapat disepakati oleh semua pihak. Perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan studi peta dan analisis deskriptif. Aksesibilitas kepada jalan utama yaitu Jalan Mohamad Kahfi II merupakan faktor pendorong utama terhadap perubahan ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun. Sebagian besar pelaku usaha yang berada di dalam areal wisata Situ Babakan tidak keberatan untuk ditertibkan, sepanjang diatur dalam peraturan yang disepakati dan disediakan lahan untuk melakukan kegiatan usaha secara resmi. Diberlakukannya sistem struktur insentif dan disinsentif sebagai langkah untuk mengendalikan laju perubahan lahan dinilai dapat menjaga fungsi perkampungan ini sebagai wilayah konservasi budaya. Penerapan sistem ini juga dapat mendorong partisipasi masyarakat pelaku usaha untuk meningkatkan kegiatan ekonomi di dalam wilayah perkampungan.

Perbedaan tesis ini dengan hasil penelitian yang lain adalah cakupan situ yang menjadi pembahasan pada awalnya bersifat umum sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai keragaman permasalahan yang dihadapi terutama berkaitan dengan situ-situ yang ada di wilayah perkotaan. Kemudian juga dibahas aspek common property, aspek kelembagan dan aspek kebijakan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan pengelolaan situ yang meliputi penataan dan pelestarian situ sehingga keragaan situ dapat optimal. Selama ini berbagai penelitian sebagian besar khususnya yang berkaitan dengan situ dilakukan berdasarkan pendekatan non

(26)

kelembagaan sehingga perlu dilengkapi dengan kajian dengan pendekatan kelelembagaan. Secara ringkas hasil penelitian sebelumnya disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 6. Hasil Penelitian Sebelumnya

Peneliti Judul Tesis Topik Penelitian

Rosnila (2004)

Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Keberadaan Situ

Pengaruh aktivitas manusia dan kondisi lokasi situ terhadap kondisi situ

Sinurat (2002)

Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Timur Rawa Sragi Kabupaten Lampung Selatan

Analisis konflik kelembagaan bagi SDA potensial dan merumuskan alternatif kebijakan

Rustamadji (2002)

Kajian Proses Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Hutan dalam Rangka Otonomi Daerah

Faktor pendorong dan penghambat proses pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan dalam rangka implementasi otonomi daerah Masduki

(2005)

Analisis Konflik Penggunaan Lahan dalam Pengembangan Wilayah Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan

Potensi konflik kepentingan antara pengguna lahan dan faktor-faktor pendorongnya serta memformulasi strategi resolusi yang dapat disepakati oleh para pihak

Mustafa Dinamika dan Model Institusi

Pengelolaan Kawasan yang Berkelanjutan: Studi Kasus pada Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur

Konflik pengelolaan aset alami untuk menuju pada pengelolaan

Gambar

Gambar 1. Perkembangan Hak-hak kepemilikan   (Sumber : Lynch & Harwell 2002)

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mengalami deflasi selama 3 bulan berturut-turut, Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk periode Oktober 2020 diperkirakan akan kembali mengalami Inflasi sebesar 0,08%

Tahapan penelitian akan dimulai dari tahapan pengumpulan data, mendefinisikan strukur data pada basis data alumni, implementasi SQL menggunakan driver MySQL.Tujuan

Hak eksklusif yang dimiliki pemegang hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diberikan oleh Negara atas dasar Permohonan yang diajukan secara tertulis oleh Pemohon melalui

Mangkuk itu digunakan untuk mengisi air ke dalam sebuah bekas yang berisi padu 1 090 cm 3.. Cari

Adapun judul PTK ini adalah “Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan Pembelajaran Kooperatif Student Teams Achievement Division (STAD) Bagi Siswa Kelas VI SD

(2012) menunjukkan bahwa pengkajian komunitas kupu-kupu secara spasial (berdasarkan perbedaan lokasi) serta temporal (berdasarkan perbedaan periode) memberikan informasi

masukkan unsur pengacara suatu hal yang tidak mungkin, karena menurut Pasal 2 ayat (3) di situ telah ditentukan siapa anggotanya Panitia Piutang Negara itu yaitu terdiri dari

(2) Ada perbedaan hasil belajar yang signifikan antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran student facilitator and explaining (kelas eksperimen)