• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA SIMBOLIK KAIN ULOS PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI PALEMBANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA SIMBOLIK KAIN ULOS PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI PALEMBANG"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

34

MAKNA SIMBOLIK KAIN ULOS PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI PALEMBANG

Maria Sherly,1 Sukardi,2 Nelly Ermarita3

ABSTRAK

Masyarakat Indonesia pada umunya telah mengenal tenun ulos. Di Sumatera Utara kerajian tenun yang khas adalah tenun ulos. Ulos merupakan kain tenun yang berbentuk selendang dengan panjang dan lebar tertentu. Pada zaman dahulu kain ulos merupakan simbol atau lambang masyarakat Batak Toba. Hal ini dilihat dari adat-istiadat atau upacara adat yang dilakukan masyarakat Batak Toba. Adat-istiadat tersebut diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga menjadi tradisi yang tetap dilakukan masyarakat batak toba seperti pada upacara pernikahan, kelahiran dan upacara kematian. Berdasarkan bahasan masalah di atas, maka permasalahan yang penulis bahas dalam penelitian ini adalah mengenai makna simbolik kain ulos pada masyarakat Batak Toba di palembang. Tujuan penelitian ini adalah apa saja makna simbolik kain ulos pada masyarakat Batak Toba di Palembang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu memahami dan menafsirkan makna dari suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu. Tehnik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka, observasi, wawancara dan dokumentasi. Tehnik analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif dengan menggunakan tiga macam komponen berupa reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh simpulan bahwa kain ulos merupakan salah satu perlengkapan hidup manusia yang mempunyai makna yang berbeda dalam setiap upacara adat Batak. Dalam adat Batak Toba kain Ulos juga mempunyai fungsi yang berbeda-beda yaitu sebagai pakaian resmi dalam adat, sebagai pakaian pelengkap saat manortor, dan sebagai penghargaan kepada seseorang.

Kata kunci : makna simbolik, ulos, Batak Toba A. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan terdiri dari berbagai suku bangsa. Kemajemukan bangsa Indonesia ditandai dengan berlakunya budaya-budaya daerah dan mengembangkan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sistem nilai budaya, pandangan hidup, dan ideologi merupakan sistem nilai budaya yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran dari masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup. Sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat. Nilai-nilai kebudayaan tersebut dapat dilestarikan untuk diwariskan kepada

generasi yang akan datang (Koenjaraningrat, 1990:190).

Sumatera Utara merupakan pemerintahan tingkat Provinsi yang terdiri dari 17 Kabupaten, 182 Kecamatan dan 5.636 desa, dengan ibu kotanya Provinsi Medan. Sebagaimana daerah-daerah lainnya di Indonesia, Sumatera Utara juga diwarnai oleh beraneka ragam jenis kesenian dan disebabkan oleh kondisi daerah, tidaklah mustahil akan adanya kekhususan gaya seni pada setiap daerah. Keanekaan suku yang terdapat di daerah Sumatera Utara juga, melahirkan bentuk-bentuk kesenian yang memberikan wujud asal suku bangsa itu (Depdikbud, 1982/1983:3).

Menurut Alfan (2013:243), “Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia yang memiliki ciri khas yang unik. Orang Batak dewasa ini

1 Mahasiswa Univ. PGRI Palembang

2 Dosen Univ. PGRI Palembang Prod. Pend. Sejarah 3 Dosen Univ. PGRI Palembang Prod. Pend. Sejarah

(2)

35 sebagian besar mendiami daerah pegunungan Sumatera Utara, mulai dari perbatasan daerah istimewah Aceh di Utara sampai ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera Barat di sebelah Selatan. Selain dari pada itu, orang Batak juga mendiami tanah datar yang berada di antara daerah pegunungan dengan pantai timur Sumatra Utara dan pantai Barat Sumatera Utara dengan demikian, maka orang Batak ini mendiami: Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Daili Toba, Humbang, Silindung, Angkola, dan Mandailing dan Kabupaten Tapanuli Tengah.

Orang Batak terdiri atas beberapa suku bangsa, antara lain: Suku Batak Karo mendiami daerah induk yang meliputi dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian Dairi. Suku Batak Simalungun mendiami daerah induk Simalungun. Suku Batak Pakpak mendiami daerah induk Dairi. Suku Batak Toba mendiami daerah induk yang meliputi daerah tepi danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, Daerah Asahan, Silindung, daerah antara Barus dan Sibolga dan daerah pegunungan Pahae dan Habinsaran. Suku Batak Angkola yang mendiami daerah induk Angkola dan Sipirok, sebagian Sibolga dan batang Toru dan bagian Utara dari Padang Lawas. Suku Batak Mandailing yang mendiami daerah induk Mandailing, Ulu, Pakatan, dan bagian Selatan dari Padang Lawas. Walaupun orang Batak terdiri atas bebrapa suku bangsa, menurut cerita rakyat Batak yang dianggap keramat (Tarombo) semua suku bangsa Batak mempunyai nenek moyang yang satu, yaitu si raja Batak.

‘Kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan hasil dari cipta, karsa, dan rasa manusia (Koenjaraningrat, 2009:144). Sedangkan menurut Rahyono (2009:39), “Kebudayaan merupakan sebuah kata yang

populer dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.” Setiap orang sepertinya tahu apa yang dimaksudkan kebudayaan. Keberagaman suku bangsa yang ada di Indonesia merupakan bagian dari budaya nasional. Suku-suku bangsa tersebut memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing seperti struktur masyarakat, bahasa, kesenian, dan adat istiadat.

Menurut Koenjaraningrat ada 3 (tiga) wujud kebudayaan yaitu :

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peranan, dan sebagainya.

2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Menurut Soelaeman, (1988:13), Unsur-unsur kebudayaan meliputi semua kebudayaan di dunia, baik yang kecil, bersahaja, dan terisolasi, maupun yang besar, kompleks, dan dengan jaringan hubungan yang luas. Menurut B malinowski kebudayaan di dunia mempunyai tujuh unsur universal yaitu:

1) Bahasa

2) Sistem teknologi

3) Sistem mata pencaharian 4) Organisasi sosial

5) Sistem pengetahuan 6) Religi

7) Kesenian

Seni merupakan salah satu dari unsur kebudayaan, yaitu merupakan kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk menciptakan implus melalui salah satu unsur panca indra atau mungkin juga melalui kombinasi dari berbagai unsur panca indra yang menyentuh rasa halus akan lingkungannya sehingga lahir rasa dan nilai-nilai keindahan. Dengan demikian terjadilah suatu hasil karya seni. Salah satu jenis dari kesenian tersebut adalah kain ulos yang terdapat di daerah Batak Toba (pardosi dalam dan andjaya, 1984:22).

(3)

36 Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai makna simbolik kain ulos pada masyarakat Batak Toba di Palembang.

Menurut Sumardjo (2002:134), “Ulos adalah kain tenun Batak yang berbentuk selendang, dengan panjang dan lebar tertentu”. Panjang dan lebar kain Ulos ini disesuaikan dengan pemakaiannya, yakni untuk dililitkan di kepala (dililithon), di sampirkan pada satu atau dua bahu (sampe-sampe atau dihadang), sebagai sarung (diabithon) dan dikaitkan ketat pada pinggang. Ulos merupakan ciri khas kebudayaan Batak Toba tradisional yang berwujud kebudayaan artefaks (konkrit) Sedangkan menurut Ompu Andreas (1985:1), “Ulos adalah jenis pakaian dari orang Batak pada zaman dahulu kala”. Cara memakainya ialah dengan melilitkannya dibadan sampai batas pinggang bagi pria dan sebatas dada bagi wanita. Sepotong lagi dari jenis Ulos yang lain dipakai sebagai penutup dada dan punggung. Adapaun cara berpakaian seperti ini umumnya masih berlangsung hingga sekitar tahun 1850.

Secara umum pembuatan ulos adalah sama, yang membedakannya adalah nama, corak, atau motif dan sifat kedudukan pemakaiannya yang harus sesuai dengan jenis upacara adat ketika memberikannya. Walaupun mempunyai perbedaan, akan tetapi pemberian ulos selalu diartikan dan dihubungkan dengan makna simbol-simbol.

Adat istiadat tersebut diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga menjadi satu tradisi yang tetap dilakukan masyarakat Batak seperti penggunaan atau pemakaian Ulos dalam upacara adat baik upacara perkawinan, kelahiran, meninggalnya seseorang, atau pada saat akan memasuki rumah baru. Jenis dan makna pemberian Ulos dalam setiap upacara tersebut berbeda-beda, misalnya Ulos untuk orang yang meninggal berbeda

B. METODE PENELITIAN

Menurut Sugiyono (2012:3) metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh penelitian dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah dibuat. (Arikunto, 2010:203).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan menggunakan alat atau fasilitas yang digunakan dalam penelitian data. Berdasarkan rumusan masalah, peneliti mendeskripsikan secara rinci dan mendalam tentang makna simbolik kain ulos pada masyarakat Batak Toba di Palembang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif – kualitatif yaitu metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah dengan jalan mengumpulkan data, atau mengklasifikasikan. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang akan bertujuan untuk menggambarkan keadaan suatu fenomena dimana yang menggambarkan dengan kata-kata atau kalimat dipisah- pisah menurut kategorinya untuk memperoleh kesimpulan (Arikunto, 1997:254). Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif etnografi dengan maksud untuk memberikan gambaran secara faktual, sistematis, akurat dan berusaha untuk memahami tentang kain ulos pada masyarakat Batak Toba di Palembang.

Dengan observasi partisipasi, paling sedikit ada lima keuntungan yang bisa diketahui yaitu :

1) Memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan berbagai data yang berbeda

2) Peneliti mampu mereduksi masalah dari reaksi, orang akan merubah

(4)

37 kebiasaannya ketika mereka tahu bahwa mereka akan diteliti

3) Memberikan intuisi kepahaman dari apa yang terjadi dalam budaya dan mengizinkan peneliti untuk berbicara dengan percaya diri tentang arti dari data

4) Membantu peneliti merumuskan pertanyaan yang pantas atau bijaksana, dalam bahasa penduduk asal

5) Beberapa masalah peneliti yang sederhana tidak dapat dibicarakan dengan jalan lain kecuali dengan observasi partisipan

Atas dasar makna dan manfaat observasi partisipasi tersebut, dapat dinyatakan bahwa langkah ini merupakan keharusan bagi peneliti budaya di lapangan. Observasi partisipasi akan mempererat hubungan peneliti dengan informan, sehingga data yang diperoleh semakin leluasa. Lebih dari itu, keterbukaan informan juga akan semakin lebar. Peneliti jug lebih memahami dari berbagai aspek atas budaya yang diteliti. Peneliti akan mampu meraskan bagaimana sebuah fenomena itu menarik bagi dirinya. Keuntungan dan kesulitan budaya yang dialami informan pun akan diketahui oleh peneliti, (endraswara dalam catur utami, 2006:141-142).

Menurut Kuntowijoyo (1994:30) penelitian sejarah dibagi menjadi lima tahap, yaitu:

1. Pemilihan Topik

Dalam penelitian sejarah, tema yang dipilih merupakan tema yang “workable” artinya dapat dikerjakan dalam waktu yang tersedia. Dengan maksud topik tidak terlalu luas, maupun terlalu sempit. Pemilihan tema akan lebih baik dipilih berdasakan kedekatan emosional dan intelektual. Dua syarat subjektif dan objektif ini merupakan syarat yang penting, karena orang hanya akan bekerja dengan baik kalau dia senang dan dapat. Setelah topik didapatkan, baru dibuat rencana penelitian. Dalam rencana penelitian harus terdiri permasalahan yang akan diteliti, historiografi, sumber sejarah,

dan garis besar isi. Topik yang diambil dalam penulisan skripsi ini adalah Makna simbolik kain ulos pada masyarakat Batak Toba di Palembang.

2. Pengumpulan Sumber

Sumber yang dikumpulkan harus sesuai dengan yang akan ditulis. Sumber untuk penulisan disebut juga dengan data sejarah, menurut bahannya dibedakan menjadi dua yaitu bahan tertulis dan bahan tidak tertulis atau dokumen dan artefak. Dokumen yang tertulis dalam skripsi ini berupa buku-buku acuan, karya tulis, surat kabar, dan sébagainya. Sedangkan dokumen yang tidak tertulis berupa foto, benda atau alat. Dalam penulisan skripsi ini, pengumpulan sumber dilakukan dan mengumpulkan dokumen tertulis dan tidak tertulis. Serta dengan pengamatan langsung maupun wawancara dengan instansi terkait maupun dengan pihak-pihak yang memahami tentang makna simbolik kain ulos. Hal ini perlu dilakukan karena keterbatasan sumber yang mengungkapkan tentang makna simbolik kain Ulos pada masyarakat Batak Toba di Palembang.

3. Interpretasi (Penafsiran)

Interpretasi yaitu mengambil kesimpulan dan menetapkan makna yang saling berhubungan dengan fakta-fakta sejarah yang telah diperoleh melalui kritik-kritik sumber. Interpretasi atau penafsiran lebih bersifat subjektifitas. Pada tahap ini, penulis berusaha untuk mengambil kesimpulan dan menetapkan makna yang saling berhubungan dengan fakta-fakta sejarah yang diperoleh setelah rnelalui kritik sumber. Dengan demikian, interpretasi yang diperoleh tidak terlalu banyak menyimpang dan data yang sesungguhnya.

4. Penyajian

Penyajian penelitian dalam bentuk tulisan mempunyai tiga bagian, yaitu pengantar hasil penelitian, dan kesimpulan. Menurut Kuntowijoyo (1994:35) dalam penulisan sejarah aspek kronologi merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, pada penulisan skripsi ini penulis

(5)

38 juga menggunakan aspek kronologi yang diwujudkan dalam bentuk tulisan setelah melalui tahapan-tahapan penelitian. Penulisan tentang makna simbolik kain Ulos pada masyarakat Batak Toba di Palembang. Tehnik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu cara untuk mendapatkan data yang diperoleh dengan jelas dan buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang dibahas (Sugiyono, 2012:82). Untuk menghimpun data-data yang ada kaitannya dengan masalah penelitian ini peneliti menggunakan teknik sebagai berikut:

1. Studi Pustaka

Studi pustaka adalah suatu cara mengumpulkan data dan mempelajari data dan literatur, yang dianggap relevan dan salah satu kegiatan penelitian yang mencakup dan memilih hasil penelitian, mengidentifikasi literatur, dan menganalisis dokumen, serta menerapkan hasil analisis tadi sebagai landasan teori bagi penyelesaian masalah dalam penelitian yang dilakukan. Studi pustaka digunakan untuk memperoleh bahan yang mempertajam orientasi dan dasar teoritis kita tentang masalah penelitian kita, selain itu untuk memperoleh informasi tentang teknik-teknik penelitian yang telah diterapkan.

Pada tahap ini peneliti mencari dan mengumpulkan data dari berbagai kajian literatur berupa buku-buku, arsip-arsip yang berkaitan dengan materi judul penelitian. Usaha ini penulis lakukan dengan melakukan studi kepustakaan dibeberapa perpustakaan antara lain, Perpustakaan PGRI Palembang, Perpustakaan Daerah Palembang, Perpustakaan Balai Aerkeologi Palembang, serta tokoh buku iman bonjol palembang dan Tokoh Buku Gramedia Palembang.

2. Wawancara

Wawancara merupakan perbincangan dua orang atau lebih yang bertujuan untuk bertukar informasi dengan tanya jawab (Sugiyono, 2012:85). Wawancara dalam hal

ini berupa pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh peneliti dengan tujuan agar mempermudah peneliti dalam melakukan proses penggalian informasi. Guide interview memberikan kebebasan informan untuk menyampaikan pendapat, pandangan, pikiran dan perasaan tanpa ada paksaan dari sipeneliti. Dengan teknik wawancara peneliti mencoba bertatap muka langsung dengan ketua adat, ketua marga serta kepada anggota masyarakat setempat.

3. Observasi

Menurut Gulo (2002:116), observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti dan kolaboratornya mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian. Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti melakukan suatu pengamatan langsung dan objek dengan meminta keterangan-keterangan dan mencatat secara sistematis data yang dibutuhkan sehingga dapat diperoleh suatu kesimpulan. Observasi akan dilakukan di desa Talang Betutu Palembang.

Teknik Analisis Data

Analisis adalah suatu upaya mengurai menjadi bagian-bagian, sehingga susunan bentuk sesuatu yang diuraikan itu tampak dengan jelas dan karenanya bisa secara lebih ditangkap maknanya atau dengan lebih jernih dimengerti duduk perkaranya (Satori, 2009:97). Pada penelitian kualitatif, analisis datanya dilakukan secara induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis (Sugiyono, 2010:335).

Berdasarkan pengertian di atas, maka teknik yang paling tepat untuk penulis ambil dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif, data-data kualitatif yang diperoleh dari hasil tentang budaya senjang pada masyarakat Babat Toman Kabupaten Musi Banyuasin dianalisis untuk memperoleh suatu gambaran tentang hasil penelitian yang telah dilakukan.

(6)

39 Menurut Miles dan Huberman (dalam Sutopo, 2006:114) terdapat tiga jalur analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul.

a) Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil.

b) Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga member kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan. Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks naratif (berbentuk catatan lapangan). c) Penarikan kesimpulan merupakan hasil

analisis yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan.

B. HASIL DAN PEMBAHASAN Masyarakat Batak Toba di Palembang

Batak merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Suku Batak merupakan sebuah identifikasi beberapa bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur. Di Sumatera Utara suku bangsa yang dikategorikan sebagai suku Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

Terbentuknya masyarakat Batak Toba di palembang karena tersusun dari berbagai macam marga, dan sebagian yang disebabkan karena adanya migrasi keluarga dari wilayah lain. Masyarakat Sumatera Utara yang kaya dengan budaya adat istiadat dan nilai budaya masing-masing, mulai dari adat istiadat, tari daerah, jenis makanan, pakaian adat dan bahasa masing-masing daerah.

Adapun kerajinan yang terdapat di suku batak yaitu tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari suku Batak. Contoh tenunan ini adalah kain ulos. Ulos merupakan kain adat Batak yang digunakan dalam upacara-upacara perkawinan, kematian, mendirikan rumah, kesenian dan sebagaianya. Bahan utama kain ulos yaitu terbuat dari benang kapas atau rami. Dan warna kain ulos biasanya adalah Hitam, merah dan putih. Adat istiadat masyarakat Batak toba tetap dilestarikan oleh masyarakat Batak Toba yang berada di Palembang. Mereka tidak terlepas padat istiadat mereka yaitu adat istiadat Da lihan Na Tolu

Kerajinan Kain Ulos Batak Toba

Di Sumatera Utara kerajinan tenun yang khas adalah kain ulos Batak. Pada masyarakat Batak sukar dipastikan kapan ulos mulai di kenal. Banyak pandangan yang diberikan oleh para nenek moyang tanpa bukti akurat. Seperti dikisahkan si boru Sopak Panaluan memperoleh peralatan tenun dari ayahnya si Raja Purbalaning Guru Satia Bulan. Ayahnya yang menyuruh putrinya untuk terus bertenun sepanjang hayatnya.

Masyarakat Batak mempunyai pandangan bahwa ada tiga unsur yang memberi kehidupan pada manusia, yakni darah (mudar), nyawa (hosa), dan kehangatan (halason). Secara proses badaniah, darah dan nyawa sudah bersatu dalam tubuh manusia. Sementara keha’ngatan dapat diperoleh melalui usaha manusia dan hubungannya dengan matahari, api dan ulos. Pada akhirnya ulos menjadi salah satu bagian dari adat yang mempunyai tatacara pemberian dan jenis yang diberikan.Ulos hanya dapat diberikan kepada keluarga yang stratanya demikian : 1) Anak perempuan/ menantu beserta

pihak menantu laki-laki 2) Anak laki-laki

(7)

40 Jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan jenis adat dan si penerima ulos. Ada tiga cara pemakaian ulos, yaitu dililitkan (diabithon) di badan, diselendangkan (disampe-sampehon) di bahu, diikatkan di kepal (ditali-talihon) (Debdikbud, 1996 :100).

Adapun bahan utama dalam pembuatan ulos ialah kapas, Indonesia yang beriklim troopis dengan kelembaban tanah yang subur, merupakan syarat yang sangat menguntungkan untuk tumbuhnya kapas. Dimana bahan dasar itu merupakan penghasil benang katun yang paling sesuai untuk pakaian, dalam suhu udara yang panas dan lembab. Dengan kemampuan tinggi dan teknologi tradisional (alat-alat tenun manual), bangsa Indonesia telah dapat mengolah kapas menjadi kain tenun yang mempunyai kekayaan jenis dan corak yang sangat beragam.

Daerah-daerah Indonesia yang terdiri dari berbagai suku masing-masing ini mempunyai tenun dengan nama-nama yang khas. Selain nama dan motifnya yang berbeda, tenun-tenun ini juga mempunyai fungsi dan nilai simbolis yang bermacam-macam pula. Dapat dilihat misalnya, ulos dari daerah Batak, songket dari daerah Palembang, polengan dari daerah Sunda, lurik dari daerah Jawa Tengah, kain lamak dari daerah Bali, ikat dan sarunglau dari daerah Sumbawa dan Roti, tenun toraja dari daerah Sulawesi, palepai dan tampan dari daerah Lampung. Setiap jenis kain tenun daerah-daerah itu, tentu saja masih banyak variasi ragamnya. Seperti misalnya Ulos Batak masih mempunyai jenis-jenis yang lebih khusus sesuai dengan fungsi dan makna simbolisnya (Marah, 1989:2).

Ulos adalah kain tenun Batak yang berbentuk Selendang, dengan panjang dan lebar tertentu. ”Panjang dan lebar kain Ulos ini disesuaikan dengan pemakaiannya, yakni untuk dililitkan di kepala (dililitohon), disampirkan pada satu atau dua bahu (sampe-sampe atau dihadang), sebagai sarung (Diabithon) dan dikaitkan ketat pada

pinggang (Bapak. E sigalingging, wawancara pada tanggal 8 juni 2014).

Sedangkan Bapak A Sitanggang mengungkapkan diterjemah oleh peneliti pada (tanggal 10 juni 2014) Pengertian kain ulos ialah kain yang di tenun, yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain, sebagai pembalut badan (selimut-sarung) pada zaman dahulu, akan tetapi saat ini dapat dgunakan menjadi kemeja atau jas, hande-hande, parompa, tali-tali dan lain-lain. Ulos adalah kain tenun khas Batak yang berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya, atau antara seseorang dan orang orang lain.seperti dalam falsafah Batak yang berbunyi ijuk pangihot ni hodong, ulos penghit ni hhalong, yang artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang di antara sesamanya (menurut Ibu Magdalena, wawancara pada tanggal 11 juni 2014).

Jadi dapat disimpulkan bahwa kain ulos adalah merupakan kain tenun Batak yang berbentuk selendang yang melambangkan kasih sayang dan dapat digunakan dengan berbagai macam upacara adat Batak.

Cara Pembuatan Kain Ulos

Menurut Marbun dalam Depdikbud (2007:3) Ulos memiliki beragam macam jenis, ukuran, cara pemakaian, dan tujuan pemakaiannya. Macam-macam jenisnya, antara lain: Ulos Sadum, Mangiring, Bintang Maratur, Sitoluntuho, Bolean, Sibolang, Suri-Suri, Ragi Hotang, Runjat, Ragi Hidup, dan lainnya. Keanekaragaman nama-nama ulos tersebut dapat saja berbeda penyebutannya di suatu tempat dengan tempat lain. Namun pada prinsipnya masing-masing dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk gorga (ragam hias), ukuran serta tujuan pemakaiannya. Sedangkan untuk ukuran, pada masa kini ulos biasanya dibuat mulai dari ukuran kecil untuk anak-anak, sedang , hingga ukuran

(8)

41 besar. Untuk cara pemakaian, ulos digunakan sebagai bahan pakaian, selendang,dililitkan ke kepala, sebagai pengikat pinggang, dan sebagai alat menggendong anak.

Menurut Sitanggang dalam Debdikbud (2007:4) Cara pembuatan ulos dikenal dengan menggunakan teknologi yang ada dalam dunia pertenunan dikenal dengan sebutan teknik ikat lungsi, yaitu pembuatan ulos dengan cara mengikatkan benang yang disusun memanjang pada alat tenun. Adapun alat-alat dan cara untuk membuat ulos, seperti yang dikenal dalam teknik ikat lungsi yaitu :

1) Terlebih dahulu benang dikeraskan memakain sejenis lem/perekat dengan menggunakan alat yang dinamakan unggas dan pengunggasan.

2) Sesudah selesai diunggas, kemudian benang dikeringkan, lalu digulung dengan alat penghulhulan dengan cara memutar.

Proses selanjutnya ialah bertenun (martonun), yakni dengan cara memasukkan benang kedalam alat tenunyang terbuat dari kayu. Adapun bagian-bagian dari alat tenun adalah: hasoli (gulungan benang pada sebatang lidi sepanjang kira-kira 30 cm), turak (alat untuk memasukan benang dari celah-celah benang yang ditenun, terbuat dari potongan bambu kecil menyerupai seruling yang kedalamnya dimasukkan hasoli), hatudungan (alat untuk mengendorkan tenunan agar turak bisa dimasukkan), baliga (alat untuk merapatkan benang yang telah dimasukkan dengan cara menekan sampai beberapa kali, terbuat dari batang enau yang telah dihaluskan), dan pamunggung alat yang berbentuk busur panah, pada sisi kanan dan kiri terdapat tali untuk ditarik-tarik saat menenun. Bagian-bagian alat tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain selama proses menenun. Selembar ulos membutuhkan banyak benang dengan aneka warna, yang nantinya masing-masing

benang telah digulung dalam hasoli.Hasoli-hasoli itulah yang kemudian masuk di dalam turak kemudian turak keluar masuk diantara benang-benang yang sudah direntangkan sebagai bakal ulos. Begitu terus menerus proses mengerjakan ulos hingga rentangan benang-benang itu sedikit demi sedikit berubah menjadi kain.

Selama masa bertenun tubuh si partonun terikat dengan peralatan tenun sehingga tidak dapat bergerak dengan leluasa. Biasanya alat-alat tenun itu akan dilepaskan kalau si partonun hendak istirahat. Ketekunan seorang partonun menentukan lama tidaknya sebuah ulos selesai dibuat.

Ulos dibuat dari benang kapas atau rami. Cara pembuatannya menggunakan alat penenun tradisional yang digerakkan oleh tangan dan kaki. Pada zaman dahulu kala membuat ulos merupakan pekerjaan yang tidak asing lagi bagi ibu-ibu di Tapanuli, sebab ulos yang diperlukan oleh setiap keluarga Tapanuli akan dibuatnya sendiri, karena pada waktu itu belum ada perusahaan untuk membuat uos yang dipergunakan untuk adat-adat tertentu. Adapun alat-alat menenun tersebut terdiri dari:

a) Alat pengikat pinggang waktu menenun yang disebut “Tundalan”.

b) Alat untuk memisahkan benang yang satu dengan benang yang lain. Diantara benang yang dipisahkan itu diletakkan sehelai benang yang dibawah sebuah alat yang disebut “Baliga”.

c) Alat untuk menjaga agar benang jangan kusut pada saat menenun, merupakan pasangan dari alat Baliga. Alat ini disebut “Langgiyang”.

d) Alat untuk mengukur panjangnya kain tenunan yang disebut “Patubobohon” Sebelum penenun mulai menenun, terlebih dahulu disiapkan benang-benang berwarna sesuai bentuk dan jenis kain ulos yang akan dikerjakan. Di Tapanuli Utara, Karo dan Simalungun biasanya mempunyai

(9)

42 tiga warna khas yaitu Putih, Hitam, Merah (Dakung, 1981/1982:46-47).

Kerajianan menenun ulos dilakukan oleh wanita-wanita Batak dan tempat mengerjakannya biasanya dibawah kolong rumah adat. Untuk mengerjakan selembar kain ulos biasanya memakan waktu dua sampai tiga bulan dan pada umunya tergantung jenis kain ulos yang dikerjakan. Usaha kerajian ulos ini terdapat di Tapanuli Utara, Simalungun, dan Tapanuli selatan.

Dalam masyarakat Batak Ulos mempunyai peranan yang sangat besar. Hal ini dapat dilihat pada saat upacara-upacara tertentu seperti Upacara kelahiran, perkawinan, kematian dan lain-lainnya. Dalam upacara tersebut selalu ada ulos yang diberikan kepada seseorang (Dakung, 1981:48).

Menurut Ibu Magdalena (wawancara pada tanggal 11 juni 2014) untuk membuat kain ulos, diperlukan sebuah alat tenunan yang disebut Hapulotan. Adapun bahan utama alat ini adalah kayu Balok dan papan. Bagian-bagian alat tenun ini adalah:

a) Pamapan (tempat menggulung dan merentang kain dibagian depan), b) Hapit (papan pengapit dibagian

punggung penenun ulos

c) Balobas (mistar penahan benang) d) Pargiunna (papan di bagian ujung

bawah didekat penenun)

e) Hatuling (kayu penahan) dan ditambah alat-alat penggulung benang yaitu kelosan, yang diputar-putar, hulhulan tempat merentangkan benang melingkar secara vertikal, dan anian tempat merentangkan benang secara menyilang mendatar.

Bahan-bahan pembuatan ulos adalah benang katun, benang tese dan benang seratus, yang biasa di datangkan dari jakarta, dan diwilayah budaya Batak ini biasanya bahan benang biasanya di warnai dengan tehnik dicelup sendiri oleh penenunya.

Aturan Ulos (Ruhut Ni Ulos)

Arti Ruhut Ni Ulos secara umum, aturan yang mengatur tentang ulos dimulai dari:

Warna ulos

Yang disebut ulos Batak pada mulanya hanya dua warna paling sedikit dan tiga warna paling banyak. Ulos yang dua warnanya adalah Ulos Sibolang, Ulos Mangiring, dan ulos lainnya. Warna ulos Batak sejak dahulu kala adalah:

a) Merah adalah simbol hidup dan kehidupan

b) Putih adalah simbol dan lambang kepribadian na marhasangapon (suci)

c) Hitam adalah melambangkan perilaku yang mantap (tongam) Ukuran ulos

Secara umum ukuran Ulos Batak berbeda satu sama yang lain. Artinya tidak ada yang sama persis. Dapat dimengerti karena ukuran yang dipergunakan tidak seperti sekarang menggunakan meter dan centimeter. Sedangkan ukuran dahulu adalah jongkal (jengkal) dan dopa (depa) hal ini di tunjukkan dalam umpama Batak:

Sanjongkal tuluk ni ina Sadopa tuluk ni ama

Bolakna patuduhon hinaulina

Ganjangna patuduhon

hasangaponna

Jadi ukuran ulos yang di anggap sebagai pegangan adalah bolakna lima jongkal tuluk ni ina, ganjangna sada satonga dopa tuluk ni ama. Ketentuan ini pun sangat relatif (dari buku: Tuho parngoluan ni adat dalihan natolu).

Ragi Ni Ulos

Semua jenis ulos Batak hendaknya mempunyai RAGI, kecuali ulos panoropi seperti selendang dan sebagainya. Ragi menujukkan jenis ulosnya, lebih dari pada itu Ragi mengandung arti serta menujukkan harapan dari pada pemesan agar sipenerima atau yang di ulosi kelak mendapat pasu-pasu (kevin, 2009:15-16). Bentuk Ulos

(10)

43 Menurut panjang dan lebarnya kain ulos, ulos ini dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni ulos nametmet yang paling kecil. Ulos ini dipakai sebagai perlengkapan pakaian sehari-hari (profan). Ulos panonga adalah ulos menengah yang dipakai untuk melaksanakan upacara , akan tetapi hanya untuk orang tertentu (orang kaya). Selanjutnya ulos nabalga adalah ulos yang terpanjang dan terlebar dan masuk ke dalam kategori derajat tinggi, dan dipakai dalam upacara-upacara penting, sebagai ulos yang dihadiahkan dan diterima seperti ulos ragidup, sibolang, dan ulos runjat (wawancara dengan A sitanggang pada tanggal 10 juni 2014)

Jenis Ulos

Menurut pada mulanya ulos Batak hanya terdiri dari beberapa macam saja. Tapi hampir setiap tahun bertambah terus jumlah ragam ulos yang ditenun pada setiap huta. Nama nyapun sesuai dengan kehendak pemesan. Itulah penyebabnya, baik warna ukuran dan ragi ulos yang ditenun tidak seragam, sehingga tidak sesuai lagi dengan RUHUT ni ulos. Adapun jenis-jenis ulos yang ada di daerah Batak Toba antara lain:

a) Ulos Jugia b) Ulos Ragi Idup c) Ulos Sibolang d) Ulos Ragi Hotang e) Ulos Sadum f) Ulos Runjat g) Ulos Mangiring h) Ulos Bintang Maratur i) Ulos Sitolu Tuho

j) Ulos Suri-Suri Ganjang (kevin, 2009:18).

Sedangkan menurut A Sitanggang mengungkapkan diterjemahkan oleh peneliti bahwa jenis kain ulos adalah sebagai berikut:

a) Ulos Harungguan b) Ulos Bintang Maratur c) Ulos Ragidup

d) Ulos Ragidup Silindung e) Ulos Runjat

f) Ulos Sadum Angkola g) Ulos Sadum Toba h) Ulos Mangiring i) Ulos Sitolu tuho j) Ulos Suri-Suri k) Ulos Sibolang rasta l) Ulos Sitolu Tuho Marjungkit m) Ulos Sibolang

Jenis ulos berdasarkan kegunaannya menurut saya yakni sebagai berikut : 1) Ulos Harungguan

Ulos harungguan adalah ulos yang memiliki semua ragi. Pada dasarnya ulos diberikan sebagai sarana pemberian sarana pemberian berkat. Dari yang berstatus lebih tinggi kepada yang berstatus lebih rendah, mislanya dari hula-hula kepada boru dan dari abang ke adik.

2) Ulos Gomgoman

Pada dasarnya hanya ada tiga ina ni ulos (Induk ulos) yaitu :

a) Ulos mangiring b) Ulos bintang maratur c) Ulos suri-suri ganjang

Ketiga ulos ini disebut ulos gomgoman dan dari tiga ulos inilah kemudian dikembangkan dalam bentuk anekah ragam ulos lainnya. Ulos ini dapat diberikan kepada seseorang oleh tulangnya (paman) dalam suatu acara khusus untuk suatu permohonan kepada Tuhan atas sesuatu yang khusus. Misalnya karena seseorang sudah lama berkeluarga akan tetapi belum mendapatkan anak (menurut bapak Sotan sitanggang, wawancara pada tangga 12 juni 2014).

Fungsi Kain Ulos

Pemakaian ulos jelas berbeda dengan pemakaian “pakaian lain” modern yang hanya berhenti pada “representasi realitas lain” dalam pengertian kognitif belaka. Dalam pemakaian ulos, atau jenis pakaian apapun, makna kognitif dan makna afektif dicapai. Inilah sebabnya ulos memiliki raksa masing-masing. Setiap ulos memiliki makna, fungsi, sifat-sifat daya yang berbeda-beda sehingga penggunaannya disesuaikan dengan raksa tersebut. Berikut fungsi kain

(11)

44 ulos berdasarkan jenis derajat yang paling tinggi.

Ulos yang paling tinggi derajatnya adalah Ragidup, bukan karena proses penenunannya yang rumit, tetapi juga fungsinya dalah kehidupan spiritual masyarakat. Ragidup memiliki daya-daya afektif tertinggi, sehingga diberikan pada upacara-upacara peralihan pokok, seperti kelahiran dan perkawinan.

Ulos ragihotang, ulos ini tidak serumit ragidup, namun tetap berderajat tinggi. Ulos ini digunakan untuk mangulosi orang yang ditimpa kemalangan, untuk mendoakan orang menjadi lebih bijaksana upacara kematian dan ulos ini diberikan kepada ayah pengantin pada saat upacara perkawinan. Ulos sibolang berderajat cukup tinggi pula, dengan pola hias dan proses penenunan yang lebih sederhana. Di gunakan untuk menghormati orang yang diulosi, seperti orang tua pengantin perempuan (boru) kepada ayah pengantin lelaki (hula-hula) atau menantu laki-lakinya, untuk mangulosi kerabat-kerabat pengantin perempuan.

Ulos maratur untuk harapan kesuburan rahim setelah kelahiran anak pertama perempuan (Sumardjo, 2002 : 136).

Kain ulos ini memiliki fungsi yang berbeda-beda. Hal ini biasanya berhubungan dengan jenis upacara adat yang sedang berlangsung. Adapun fungsi kain ulos antara lain:

1. Sebagai Pakaian Resmi Dalam Upacara Adat.

Kain tenun pada khususnya mempunyai arti sosial dilihat dari penggunaannya yaitu untuk menunjuk dan menunjang status sosial anggota masyarakat dari kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Untuk orang Batak Toba stratifikasi sosial mereka di dasarkan atas tiga prinsip yaitu :

1) Perbedaan usia 2) Perbedaan pangkat 3) Perbedaan sifat keaslian

Di sini saya akan bahas dimensi dalam hubungannya dengan fungsi kain ulos

dalam upacara adat. Karena terdapat perbedaan pemakaian kain ulos bagi orang Batak Toba. Adapun perbedaannya didasarkan pada tujuan hidup orang Batak untuk mencapai Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (keturunan), dan Hasangapon (kehormatan). Apabila seseorang sudah gabe yang artinya dari segi usia sudah memiliki keturunan baik anak dan cucu bahkan cicit akan menjadi kebanggan bagi orang tersebut, ditambah dengan hasangapon (kehormatan). Hasangapon disini bisa berupa kekayaan, pangkat dan keturunan. Dengan memiliki kekayaan, pangkat dan keturunan maka orang itu akan terhormat dalam masyarakat. Untuk orang yang sudah gabe atau orang yang sudah memiliki keturunan yang banyak baik anak, cucu bahkan cicit sudah boleh menggunakan atau memakai ulos Raja yaitu ulos Ragi Idup dalam menghadiri acara adat.

Dalam acara adat Batak Toba jenis kain ulos yang digunakan laki-laki tidak sama dengan kain ulos yang digunakan perempuan. Adapun jenis kain ulos yang digunakan perempuan dalam menghadiri undangan dalam upacara adat yaitu :

a) Ulos Bintang Maratur, dipakai sebagai selendang

b) Ulos Mangiring, dipakai sebagai hohop (dililitkan seperti sarung), dan dipakai sebagai selendang

c) Ulos Sitolu-tuho, dipakai sebagai selendang

d) Ulos Ragi Hotang, dipakai sebagai selendang

Sedangkan untuk laki-laki jenis uos yang dipakai adalah:

a) Ulos Runjat dipakai sebagai hohop b) Ulos Ragi Hotang dipakai sebagai

selendang

c) Ulos Ragi idup dipakai sebagai hohop

2. Sebagai Penghargaan Atau Penghormatan

Selain sebagai pelengkap pakaian dalam adat kain ulos juga dapat diberikan

(12)

45 dalam suatu acara adat. Bila diberikan dalam acara adat kain ulos berfungsi sebagai penghargaan atau penghormatan pada seseorang. Menurut adat Batak yang berhak memperoleh penghargaan ulos adalah pengantin baru merupakan sebagai tanda pengakuan bahwa sipenerima ulos adalah keluarga dari si pemberi ulos. Adapun jenis ulos yang diberikan adalah ulos Ragi Hotang.

3. Sebagai Balas Jasa Kepada Orang Tua Pada masyarakat Batak ada upacara adat yang dilakukan seorang anak terhadap orang tuanya sebagai penghormatan. Seperti “Marantahi” dan “Namalumi”. Disini Parantahi adalah upacara adat memberi makan orang tua yang sudah berusia lanjut dan masih dalam keadaan sehat dengan mengundang pihak Dalihan Na Tolu, sedangkan “Namalum” memberi makan orang tua dalam usia lanjut dan sudah sakit-sakitan. Pada saat melaksanakan upacara tersebut seorang anak memberikan ulos kepada orang tuanya dan berharap agar orang tuanya tersebut senang hatinya dan lekas sembuh. Adapun jenis kain ulos yang diberikan ialah ulos Ragi idup

4. Sebagai Pakaian Penari Pada Tari Adat (Manortor)

Semua jenis tarian yang berhubungan dengan upacara adat Batak disebut Tortor.

Tortor merupakan cara agar dapat

berkomunikasi dengan sang pencipta dengan tujuan meminta berkat, keselamatan, kebahagiaan dan lindungan. Dalam setiap penampilan para penari dilengkapi dengan kain ulos. Ulos adalah pakaian utama bagi tortor. Manortor tanpa ulos kehilangan makna kemediaannya dan tidak sakral lagi. Pada saat manortor ulos digunakan sebagai selendang dan sebagai hohop. Pada saat manortor tidak aja jenis kain ulos khusus yang digunakan (menurut Bapak Alosius Sitanggang wawancara pada tanggal 13 juni 2014)

Pemberian Kain Ulos Dalam Upacara-Upacara Adat

1. Pemberian Kain Ulos Dalam Upacara Adat Pernikahan

Perkawinan pada oarang Batak pada umumnya, merupakan suatu pranata, yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat dalam suatu hubungan yang tertentu, kaum kerabat dari si laki-laki (paranak dalam bahasa Toba) dengan kaum kerabat dari si wanita (parboru dalam bahasa toba) (koentjraningrat, 1985:102).

Kita ketahui acara adat perkawinan

Dalihan Natolu dilakukan oleh dua

Hasuhuton Bolon yakni Hasuhuton Parboru dan Paranak. Pada acara adat hanya ada satu Hasuhuton,

Hasuhuton Parboru teridir dari : a. Na Mardongan Tubu (Satu Marga) b. Boru/Bere/Ibebere

c. Hula-Hula

Hasuhuton paranak terdiri dari : a. Na Mardongan Tubu (Satu Marga) b. Boru/Bere/Ibebere

c. Hula-Hula

Adapun jenis ulos yang berperan dalam upacara Pernikahan yaitu :

a. Ulos Pansamot yakni ulos Hela b. Ulos Tu Paramai

c. Ulos Tu Todoan d. Ulos Sihunti Ampang 1). Ulos Pansamot

Yang menerima : orang tua pangoli Yang mangulosi : orang tua namuli

Jenis ulos yang diberikan yaitu Ragi Hotang, Sibolang dan Ragi Idup.

Adapun ucapannya dengan menggunakan Bahasa Batak pada saat mangulosi pengantin. Lalu ulos Ragi idup disampaikan/diuloshon kepada pansamot sekaligus itulah ulos pargomgom. Ulos Hela adapun ulos hela yakni ulos Ragi Hotang, Ulos Sibolang,

2). Ulos Pamarai (sijalo bara)

Yang menerima : paramai dari paranak : yaitu bapak tua. Yang mangulosi: sijalo bara dari pihak Parboru yaitu: Bapak tua

Jenis Ulos yaitu Ulos Sibolang, Ulos Ragi Hotang (kevin, 2009:50).

(13)

46 Sedangkan menurut bapak A sitanggang (wawancara pada tanggal 10 juni 2014) jenis ulos yang digunakan dalam upacara adat pernikahan yaitu :

a). Ulos Pasamot

Ulos pasamot diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada oarang tua ppengantin laki-laki pada saat pesta unjuk, sebagai pemberian awal dari dimulainya hubungan kekerabatan. Ulos yang diberikan ialah ulos Sibolang. Ulos ini kemudian akan menjadi milik anaknya, yaitu hela dari si pemberi ulos.

b). Ulos Hela

Ulos hela adalah ulos dari orang tua perempuan kepada kedua pengantin. Ulos pertama yang diperoleh seseorang sebagai pengukuhan bahwa yang bersangkutan sudah masuk dalam lingkungan paradaton. Adapun jenis ulosnya adalah ulos Ragi Hotang. Pada jaman dahulu ulos ini dibawa secara khusus oleh ibu pengantin, dan langsung diuloskan kepada pengantin dengan doa atau permohonan kepada Tuhan- mulajadi nabolon, kiranya pengantin dapat berkat. Dan jenis ulos yang sering diberikan oleh tamu undangan ialah ulos Sadum.

Pemberian Kain Ulos Pada Upacara Kelahiran

Pada upacara kelahiran biasanya ulos yang diberikan ialah ulos tondi. Ulos tondi atau ulos mula gabe adalah ulos yang diberikan orang tua kepada anak perempuan yang hamil pertama kalinya. Biasanya setelah umur kandungan di atas tujuh bulan. Karena ulos yang akan diberikan adalah ulos Ragi idup. Adapun maksud dari pemberian ulos ini yakni memberi semangat kepada yang hamil dan meminta kepada sang pencipta agar bayi yang akan lahir adalah bayi yang sehat, baik dan kemudian akan menjadi orang yang berguna bagi masyarakat (Sitanggang, 2010:111).

Selain pemberian ulos pada saat menikah orang tua juga memberi ulos

kepada anak perempuannya pada saat mengandung dan pada saat setelah memperoleh anak pertama. Menurut adat Batak pada saat mengandung anak pertama seorang istri akan mendapatkan “ulos tondi” ulos tondi ini di anggap dapat melindungi jiwa, roh wanita hamil dari pengaruh bahaya. Adapun jenis ulos tondi yang biasa diberikan ibunya adalah ulos Ragi idup, ulos Ragi Hotang, dan Ulos Mangiring.

Adapun acara penyerahan ulos kepada putrinya yang sedang mengandung yaitu dilakukan di rumah putri dan menantunya dengan di hadiri kerabat-kerabat terdekat baik dari pihak laki-laki dan perempuan. Pada saat itu pihak hula-hula membawa makanan yang akan dimakan bersama. Makanan yang dibawah berupa nasi dan makanan ikan mas yang disebut ihan si rundur-rundur (ikan yang beraris). Masakan ikan mas tersebut diletakkan diatas piring yang banyaknya hanya 3 ekor saja dan tidak boleh dipotong. Dan pada saat upacara tersebut orang tunya mengatakan “Inilah pembawaan kami, ikan yang berbaris, semoga anak yang dilahirkan hidupnya bersih, baik, suka berkumpul dalam keluarga dan dalam hidupnya tidak pernah mundur selalu maju dan dihargai oleh masyarakat”.

Setelah itu kedua orang tuanya menyelimuti kain ulos ke pundak anak dan menantunya berkata “Sanjongkal urat ni ari Tolu jongkal urat ni singkoru Ulos mula gabe na hu pasahat Sai saur mai mangolu anak dohot boru”.

Ketika pada saat bayi lahir terutama anak pertama orang tua perempuan kembali memberikan ulos. Tetapi kali ini ulos yang diberikan adalah “ulos parompa” yaitu ulos yang akan diberikan ibunya untuk menggendong bayinya. Dengan maksud agar ibunya dapat membimbing dan memberikan pendidikan yang layak bagi anaknya sehingga kelak dapat berguna bagi bangsa (menurut bapak A sitanggang, wawancara pada tanggal 10 juni 2014).

(14)

47 Pemberian Kain Ulos Pada Upacara Kematian

Ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya.

Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut “parolang-olangan” biasanya dari jenis parompa. Bila seseorang meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “tujung”.

Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei” (menurut E Sigalingging, wawancara pada tanggal 8 juni 2014). Pada adat Dalihan Natolu, orang meninggal disebut Mate. Sebutan untuk yang meninggal yaitu :

1) Mate Ponggol

Kata ponngol atau matipul berarti patah. Adat untuk yang meninggal seperti ini cukup sederhana. Adapun ulos yang diberikan dalam upacara ini adalah ulos dari tulang. Ulos penutup mayat untuk mate ponggol disebut ulos ulos parsirangan, bukan ulos saput atau ulos holong.

2) Mate Di Paralang-alangan

Disebut Mate diparalang-alangan karena seseorang itu meninggal setelah berumah tangga akan tetapi belum sempat mempunyai anak. Orang yang meninggal seperti ini disebut juga punu, tidak berketurunan. Pada acara pemberangkatannya ke kubur ada dua ulos, satu untuk penutup jenazah yaitu ulos saput dan ulos tunjung yang dikerudungkan kepada sang istri.

3) Mate Mangkar

Di sebut Mate Mangkar yaitu apabila seseorang meninggal dan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil. Jika si suami yang di tinggal meninggal disebut matompas tataring sebaliknya si istri ditinggal meninggal disebut matipul ulu.

Ulos yang diberikan pada upacara adat mate mangkar ada dua yaitu ulos saput untuk penutup mayat yang meninggal dan ulos tujung kepada pasangan yang ditinggal mati.

4) Mate Sarimatua

Mate sarimatua ialah sebutan untuk seseorang yang meninggal dan telah memiliki cucu. Untuk yang meninggal sari matua, adat pemberian kain ulos sudah berbeda dengan yang mate mangkar. Bila mate mangkar hanya ulos saput dan ulos tujung , maka untuk yang mate sarimatua sudah ada ulos holong yaitu ulos yang diberikan hula-hula ke anak almarhum dan bukan ulos tujung yang diberikan karena seseorang meninggal telah mempunyai cucu maka ulos sampetua yang diberikan. 5) Mate Saur Matua

Mate saur matua ini yang lebih tinggi dari mate sari matua karena mate saur matua ialah kematian seseorang yang telah memiliki cucu dari semua anak-anaknya. Untuk yang meninggal saur matua berbeda dengan meninggal sari matua. Baik dalam pemberian ulos maupun pemotongan ternak boan. Seperti yang telah dijelaskan ulos yang diberikan pada orang meninggal sari matua adalah ulos saput, ulos tujung/ulos sampai tua, dan ulos holong. Untuk yang meninggal saur matua tak mungkin lagi ulos tujung tetapi sudah harus ulos sampetua.

Penyerahan ulos pun tidak lagi dikerudungkan dikepala, tetapi diuloshon di pundaknya. Jika seseorang sudah menerima ulos sampetua, itu berarti dia tidak mungkin lagi mencari pasangan hidup sampai akhir hayatnya. Dengan kata lain si penerima ulos sampetua akan menduda atau menjanda sepanjang hayatnya (Sinaga, 2013:35-40).

Makna Simbolik Kain Ulos

Makna simbolik ulos secara umum terdiri dari tiga bagian yaitu: hapal (tebal) memberikan kehangatan tubuh dan roh bagi yang menerimanya. Sitorop rambu (banyak rambu pada ujung ulos) mempunyai arti

(15)

48 agar mendapatkan banyak keturunan putra dan putri bagi yang menerimanya. Ganjang (panjang) yang mempunyai arti agar orang yang menerimanya panjang umur (wawancara dengan ibu Magdalena pada tanggal 11 juni 2014)

Selain mempunyai fungsi kain ulos juga mempunyai makna khusus bagi orang Batak. Secara umum makna yang terkandung dalam penggunaan kain ulos adalah religius. Dikarenakan pada zaman dahulu kepercayaan nenek moyang orang Batak adalah animisme. Karena pada zaman dahulu setiap menggunakan kain ulos dalam upacara adat selalu di iring dengan permohonan agar roh leluhur selalu melindungi si penerima ulos. Makna kain ulos dalam upacara pernikahan berbeda dengan upacara kematian dan upacara kelahiran.

1. Pada Upacara Pernikahan

Dalam upacara pernikahan yang diberikan adalah ulos Ragi Hotang atau disebut sebagai ulos Hela, ulos ini diberikan kepada pengantin dengan makna agar mereka selalu diberikan keselamatan, kesehatan dalam hidupnya, memperoleh keturunan, panjang umur .

2. Pada Upacara Kelahiran

Makna pemberian kain ulos pada seorang ibu yang sedang mengandung ialah diharapkan agar selama masa kandungan sang ibu selalu diberikan kesehatan dan sampai kelahiran selalu diberikan kesehatan. Adapun jenis ulos yang diberikan ada waktu seorang ibu mengandung adalah ulos Ragi Hidup, Ragi Hotang, atau ulos Mangiring.

3. Pada Upacara Kematian

Makna pemberian kain ulos pada upacara kematian adalah sebagai tanda berduka cita. Adapun ulos yang diberikan dari pihak keluarga adalah ulos saput, ulos tujung, dan ukos holong. Sedangkan ulos yang diberikan pihak lain sebagai tanda turut berduka adalah ulos sibolang, ulos ragi hotang, dan ulos ragi idup (menurut Bapak

Sotan Sitanggang, wawancara pada tanggal 14 juni 2014)

D. SIMPULAN

Sesuai uraian yang dibahas mengenai “Makna Simbolik Kain Ulos Pada Masyarakat Batak Toba Di Palembang”, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :

1. Kain Ulos merupakan salah satu perlengkapan hidup manusia yang mempunyai makna yang berbeda-beda dalam setiap upacara adat Batak. Secara umum makna pemakaian kain ulos adalah religius. Hal ini dikarenakan berhungan erat dengan kepercayaan asli nenek moyang Batak yaitu Animisme. Ulos sebagai lambang atau simbol yang berfungsi sebagai pelindung jiwa atau roh seseorang yang memakainya. 2. Dalam kehidupan orang Batak Toba

diatur dalam adat istiadat .Adat yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba merupakan warisan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. prinsip adat yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan adat-istiadat Batak Toba ialah Dalihan Na Tolu yaitu : Hula-hula, Boru, dan Dongan Tubu.

3. Dalam adat Batak Toba kain ulos mempunyai fungsi yang berbeda-beda dalam kehidupan orang Batak antara lain sebagai pakaian resmi dalam adat, sebagai pakaian pelengkap saat manortor, sebagai penghargaan atau penghormatan kepada seseorang bila diberikan pada saat upacara adat dan sebagai penutup benda-benda adat. Dlam aspek sosial penggunaan kain ulos juga berbeda-beda yaitu seperti pemakaian kain ulos antara yang sudah menikah berbeda dengan orang yang belum menikah, dan berbeda dengan yang sudah memiliki atau belum mempunyai cucu. Dalam aspek budaya kain ulos berfungsi dalam upacara adat. Dalam setiap upacara adat kain ulos diberikan dengan maksud agar dapat

(16)

49 melindungi jiwa atau roh orang yang menerima kain ulos tersebut.

4. Selain sebagai pakaian adat Batak Toba kain ulos juga dapat diberikan kepada seseorang dalam suatu upacar perkawinan, kelahiran dan upacara kematian. Adapun ulos yang diberikan pada upacara perkawinan berbeda dengan upacara kelahiran dan upacara kematian.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dakung, Sugiarto. 1982. Ulos. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Arkeologi Medan Berkala Arkeologi SANGKHAKALA. Gultom, Ibrahim.2010. Agama Malim di

Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara FKIP Universitas PGRI Palembang.2013.

Pedoman Penulisan Skripsi.

Palembang: Univ. PGRI Plg.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Koentjaraningrat.1985. Manusia dan

Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Marsden, William. 2008. Sejarah Sumatera. Jakarta: Komunitas Bumbu.

Rahyono.2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sianipar, Bangarna. 2013. Horas, Dari Batak untuk Indonesia: Rumah Indonesia.

Sinaga, Richard. 2013. Meninggal Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama Siregar M T. 1985. Ulos dalam Tata Cara

Adat Batak. Jakarta: Mufti harun.

Sitanggang. 2010. Raja Napogos. Jakarta: Jala Permata Aksara.

Sitompul. 2009. Ulos Batak Tempo Dulu-Masa Kini. Jakarta: Kerabat.

Soelaeman, Munandar. 1988. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: Eresco.

Sugiyono.2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sumarjdo, Jakob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogyakarta: Qalam. Sutarso.1982. Album Seni Budaya

Sumatera Utara. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Proyek Media Kebudayaan.

Sutopo.2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Takari, Muhammad. 2009. Ulos dan Sejenisnya dalam Budaya Batak di

Sumatera Utara: Universitas

Sumatera Utara.

Winarno, Hermanto. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Sumber Non Buku

http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Utara. di Askes hari kamis tanggal 15 mei 2014 pukul 21:4.

Wawancara dengan A Sitanggang tanggal 10 Juni 2014.

Wawancara dengan Alosius Sitanggang tanggal 13 Juni.

Wawancara dengan Sotan sitanggang tanggal 12 Juni 2014

Wawancara dengan Elpiri sigalingging tanggal 8 Juni 2014

Wawancara dengan Magdalena Hotdina nadap-dan tanggal 11 Juni 2014

Referensi

Dokumen terkait

We have now determined PKC activity; and protein and mRNA expression of PKC isozymes by immuno- labeling and quantitative RT-PCR, respectively, in BA 8/9 and hippocampus of

Mahasiswa meminta tanda tangan Kaur jurusan dan Ketua Jurusan pada form S01-A.. Mahasiswa mengikuti

Fi- nally, behavioral cognitive studies of working memory functions in schizophrenic patients suggested that performance deficits were linked to the “executive load” of the task,

Gugus Jaminan Mutu (GJM) adalah lembaga fungsional yang dibentuk oleh dekan dan diberi tugas untuk mengembangkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di

Despite this, and without correction for age differences, the interviewed parents of the childhood-onset patients had significantly more schizophrenia spectrum disorders (20:

Kualitas sifat fisik dan kandungan nutrisi bungkil inti sawit dari berbagai proses pengolahan crude palm oil (CPO).. The Realities of Bulk Solid Properties

Alternative solutions for students in the category of moderate ability is to provide understanding of the concept of matter, giving about - exercises in the form of

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi mangrove dan kualitas air perairan, struktur komunitas udang dan hubungan kondisi mangrove dan struktur komunitas