MANAJEMEN KONFLIK SECARA KONSTRUKTIF PADA
KARYAWAN
COFFEE SHOP
DI SLEMAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Sony Hendarto Munindro
NIM : 019114120
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
MANAJEMEN KONFLIK SECARA KONSTRUKTIF PADA
KARYAWAN
COFFEE SHOP
DI SLEMAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Sony Hendarto Munindro
NIM : 019114120
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
Waktu ibarat pohon rindang yang berbuah lebat. Beberapa orang berebut untuk mendapatkan buahnya, sementara sebagian lainnya menunggu jatuhnya buah dibawah. Ada juga yang duduk dibawahnya untuk berteduh, dan ada sebagian lagi yang berlalu begitu saja tanpa peduli.
(Iwa K)
Fa'ina ma'al 'usri yusran, sesudah kesulitan akan datang kemudahan (Alam Nasrah: 6)
Don't forget just pretends, time of sorrow soon will end. It's not so easy
(Dramagods, Something about You)
After years of expensive education. A car full of books and anticipation. I'm an expert on Shakespeare and that's a hell of a lot. But the world don't need scholars as much as I thought.
(Jamie Cullum, Twentysomething)
Hidup seseorang takkan pernah berarti, sebelum dia berhasil memperjuangkan sesuatu.
(Dr. Martin Luther King. Jr)
Life for nothing, or die for something (John Rambo, Rambo IV)
Jazz is a mental attitude rather than a style. It uses a certain process of the mind expressed spontaneously through some musical instrument. I'm concerned with retaining that process.
(Billy Evans)
Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang telah melimpahkan segala Rahmat,
Hidayah, nikmat dan inspirasi yang takkan pernah terhitung dari kelahiran
hingga kematianku kelak
Bapakku, Eddy Munindro, Mamah, Venny Hendrastuti
Tidak ada balasan yang sebanding jika aku diminta untuk membalas segala
yang telah kalian berikan padaku dari kecil hingga sampai saat ini, takkan
pernah cukup, sungguh sebuah karunia besar, seluruh usaha kalian untukku.
I love you forever.. :')
Saudaraku, Ninuk, Ciput, Unggul, Keke, Aufa, yang telah mengingatkanku,
membantuku dalam suka dan duka, lifes like rock, keep struggling!
Semua guru dan dosen, yang telah menanamkan berbagai macam ideologi
dalam otak ini, hingga pada akhirnya aku membuktikan manisnya gula... Kalian
lah yang membukakan cakrawala, mengenalkanku tentang pengetahuan dan
kebenaran
WAP, seseorang yang selalu hadir dalam kegundahan hati. “...” (speechless)
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN
MANAJEMEN KONFLIK SECARA KONSTRUKTIF PADA KARYAWAN
COFFEE SHOP DI SLEMAN
Sony Hendarto Munindro
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Coffee shop sebagai tempat bernaungnya karyawan, menciptakan interaksi antar individu didalamnya. Perbedaan latar belakang di antara karyawan membentuk persepsi dan pola pikir, sehingga dalam interaksi sosial para karyawan cenderung terjadi perbedaan pendapat, kegagalan komunikasi, dan konflik. Dengan kecerdasan emosional, karyawan diharapkan bisa mengelola konflik yang terjadi secara konstruktif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dan manajemen konflik secara konstruksif pada karyawan coffee shop di Sleman. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan manajemen konflik secara konstruktif pada karyawan coffee shop
di Sleman. Arah hubungannya adalah semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi manajemen konflik secara konstruktif, sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional semakin rendah manajemen konflik secara konstruktifnya.
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Subjek penelitian adalah karyawan coffee shop yang tersebar di berbagai tempat di Sleman. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa yang bekerja part-time, berjumlah 64 orang.
Penelitian ini menggunakan Skala Kecerdasan Emosional dan Skala Manajemen Konflik secara Konstruktif. Diperoleh reliabilitas alat ukur sebesar 0,938 untuk skala Kecerdasan Emosional, dan 0,923 untuk skala Manajemen Konflik secara Konstruktif.
Hasil analisis data menyatakan bahwa sebaran data normal dan memiliki korelasi linier. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi
Product Moment dari Pearson melalui program SPSS for windows versi 13.00, dengan taraf signifikansi 0,05 (1 ekor), diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar 0,505 dengan probabilitas 0,000 (p < 0,05). Artinya ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dan manajemen konflik secara konstruktif pada karyawan coffee shop di Sleman.
Kata Kunci: Kecerdasan Emosional, Manajemen Konflik secara Konstruktif, Karyawan, Coffee Shop
THE CORRELATION BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND CONSTRUCTIVE CONFLICT MANAGEMENT OF COFFEE SHOP
EMPLOYEES ON SLEMAN
Sony Hendarto Munindro
Faculty of Psychology Sanata Dharma University
Yogyakarta
Coffee shop as work place, giving social interaction to employees inside. Differences between employees forming perception, so an social interaction sometimes they put on confrontation, and conflict. With emotional intelligence, employee should managed conflict with constructive approach.
The purpose this study as to examining the correlation between emotional intelegence and constructive conflict management of coffee shop employees on Sleman. The research hypothesis was there is a positive correlation between emotional intelligence and constructive conflict management of coffee shop employees on Sleman. The higher emotional intelligence, the higher constructive conflict management. On the contrary, the lower emotional intelligence, the lower constructive conflict management level.
The research type was a correlation research. The subject of this research were coffee shop employee who part-time work on coffee shops was distributed in any place in Sleman. The subject on this research is 64 subjects. This research using Emotional Intelligence scale and Constructive Conflict Management scale. Reliability on Emotional Intelligence scale is 0,938, then for Constructive Conflict Management scale obtained 0,923.
The result of this study showed that the data distribution is normal and had a linear correlation. The research data was analysis used Pearson’s product moment through SPSS program for windows version 13.00, with significant standard 0,05 (one-tailed). The correlation coefficient (r) was 0,505 with probability 0,000 (p<0,05). The result means that there was a positive correlation between emotional intelligence and constructive conflict management of coffee shop employees on Sleman.
Keywords: Emotional Intelligence, Constructive Conflict Management, Employees, Coffee Shop
Puji syukur kepada Allah SWT atas berkah dan rahmatNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Hubungan antara Kecerdasan
Emosional dan Manajemen Konflik secara Konstruktif pada Karyawan Coffee
Shop di Sleman. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Penulis menyadari adanya berbagai
permasalahan dan kendala yang muncul saat melaksanakan dan menyusun
penelitian ini. Proses penulisan ini dari awal sampai akhir sangat banyak
melibatkan kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si sebagai Dekan, dosen wali. Terima
kasih atas bimbingan dan bantuannya selama ini.
2. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi., M.Si sebagai Kaprodi Fakultas
Psikologi USD. Terima kasih atas nasihat dan motivasinya selama ini.
3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si sebagai dosen pembimbing
skripsi. Terima kasih untuk bantuan dan bimbingan yang amat singkat dan
sungguh berarti.
4. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si sebagai dosen penguji skripsi. Terima kasih
banyak untuk bantuan, masukan, dan revisi selama dan setelah ujian
skripsi.
kasih untuk bantuan, masukan, dan revisi selama dan setelah ujian skripsi.
6. Segenap kru Sekretariat, laboratorium, dan ruang baca Fakultas Psikologi
USD, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Doni, Mas Muji, Pak Gik. Terima
kasih untuk segala hospitality dan bantuan yang telah diberikan selama
menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi ini.
7. Semua dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan pengetahuan dan
kebijaksanaan selama 8 tahun ini.
8. Orang tuaku, Eddy Munindro dan Venny Hendrastuti. Terima kasih telah
mendukung dengan sepenuh hati anak laki-lakimu ini, dengan keringat dan
cucuran air mata. Akhirnya aku bisa mewujudkan impian kalian menjadi
manusia seutuhnya. I Love You All... :)
9. Saudaraku, Ninuk, Ciput, Unggul, Keke, dan Aufa (welcome in the world,
my cousin). Yang ikut mendoakan keberhasilanku ini. Secepatnya kita
akan segera berkumpul lagi.
10. Teman-teman penghabisan di Psikologi. Mira, Anas, Dessy, Aris, Seto,
Dion, Silva, Jelly, Rini, Gibon, Aconk dan yang belum disebutkan.
Akhirnya, kita bisa keluar dari “neraka” ini. Hahahahaha....
11. Sahabat-sahabatku, Anita, Yayack, Adi, Carlo Deny, Rini, Drian, Een,
Adrie, Maria, Mayang, Shela, Ul2, Handung, dan masih banyak lagi
lainnya, Terima kasih untuk doa dan dukungannya. I miss you all, d'you
missed me?
kasih untuk doannya. Kapan kita sing a song hyuk??
13. The best friend, Mira. Makasih mie, untuk segala motivasi, dukungan,
doanya selama ini.
14. Brexia Anwar “Awank” Baihaqi, Thanks dab untuk inspirasinya “with
honours”. 150 hari menjelang deadline...
15. Klaten homebase, Anggie, devid, Tya... Weh, sanji saiki lulus!! Sanjingan
wis dadi wong saiki!! Alhamdulillah.
16. Teman TK yang masih tersisa, Ibnu “Jhonny Saizhoku” Purwo Nuriman.
Jon, sekarang aku lulus lho... Makasih buat pinjeman propertinya :D
17. Sahabat selama di Jogja, Vendy Widyanto. Maturnuwun, untuk segala
dukungan dan bantuannya, segala kesalahan mohon dimaafkan.
18. Riantri Suwasono dan Tony Widagdo di Gorontalo. Sukses bro ning
perantauan!
19. Ronny “Awank” Matuda, dan semua kru Bjong Coffee Shop. Mas, aku
saiki wis dadi tukang insinyur. Bjong is de best lah pokokmen :)
20. Fitri, Alaf, Michael, Inung, Indra, Galih, sebagai “mata-mata” di tiap
coffee shop. Terimakasih untuk bantuan “ilegal”nya menyebarkan skala
penelitian ini dari “belakang”. Terimakasih sudah membantu konspirasiku.
21. Teman-teman kost “wisma 240”, ayik, edo, galih, wawan, ian, risal, edo,
andika, ikbal, pak aris, ari, indra, candra, roy, unggul, dito, bapak ibu kost,
dan semua teman yang belum disebutkan. Terimakasih untuk dukungan
Senang tinggal bersama kalian disini...
22. Mbah google... mbah sudah memberikan berbagai macam kebijaksanaan,
pengetahuan, dan sebuah dunia tanpa batas, di mana segala sesuatu bisa
didapatkan hanya dengan memasukan kata kunci dalam kotak search.
Harus saya akui, bahwa mbah lah yang sebenarnya menjadi dosen
pembimbing skripsi saya :D
23. statistikpsikologi.blogspot.com. Blog statistiknya pak agung. Terimakasih
untuk tutorial SPSSnya, asumsi linear, korelasi, regresi, uji T, uji
normalitas, komolgorov smirnov, dll
24. Teman-teman blogger di blogspot, wordpress, multiply, terimakasih untuk
inspirasinya. Pendidikan dan pengetahuan sekarang tak lagi harus dengan
bangku sekolahan.
25. Pak Rudi “Momo” Muliyono, Hipnoterapis. Terimakasih pak, untuk
terapinya pada tanggal 19 Januari 2009. Efeknya, saya selalu mendapatkan
apa yang saya perjuangkan. Hingga saya berhasil membuktikan, bahwa
pikiran adalah energi terbesar di alam semesta ini, ternyata Tuhan adalah
Mental energy itu sendiri. Manusia adalah ciptaan terbaik berdasarkan
CitraNya.
26. OCers dimanapun kalian berada. Kalian telah memberikan inspirasi paling
ekstrim... Overclock otak!! Otakku kini bekerja pada frekuensi 4.8 Ghz,
setara dengan core 2 quad extreme!!
kamu lah, skripsi ini berawal dan berakhir. Terimakasih kekasih
elektronikku...
28. Seluruh karyawan coffee shop dimanapun kalian berada. Upah kalian besar
di sorga. Semoga dengan berhasilnya skripsiku ini, kalian juga
mendapatkan reward dari manajer masing-masing berupa kenaikan upah,
hahahaha...
29. Persaudaraan Mason. Inspirasi terbesar akan Tuhan, manusia adalah
ciptaan terbaik berdasarkan CitraNya. We'll the Creator on little scale.
30. My true love, WAP. 'til I realized, life meant to be... I love you more than
all :'(
31. Dan semua pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu...
Terimakasih atas segala bantuannya...
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, sehingga
kritik dan saran akan penulis terima dengan terbuka. Akhir kata, semoga tulisan
ini bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, Oktober 2009
Hormat Saya,
Sony Hendarto Munindro
HALAMAN JUDUL...
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional...
B. Manajemen Konflik secara Konstruktif...
1. Pengertian Konflik...
2. Konflik Kerja pada Karyawan...
5. Aspek-aspek Manajemen Konflik secara Konstruktif...
C. Karyawan Coffee Shop...
1. Pengertian Coffee Shop...
2. Pengertian Karyawan...
D. Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Manajemen
Konflik secara konstruktif pada Karyawan Coffee Shop di
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data...
1. Skala Kecerdasan Emosional...
2. Skala Manajemen Konflik secara Konstruktif...
F. Validitas dan Reliabilitas...
I. Uji Coba Alat Penelitian...
a) Analisis Aitem...
b) Reliabilitas...
Bab IV Pelaksanaan dan Hasil Penelitian...
Tabel 1
Blue Print Skala Kecerdasan Emosional...
Blue Print Skala Manajemen Konflik secara Konstruktif...
Penyebaran Aitem Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Uji
Coba...
Penyebaran aitem skala Manajemen Konflik secara Konstruktif
Lampiran A
Lampiran B
Lampiran C
Lampiran D
Lampiran E
Lampiran F
Skala Penelitian (Sebelum Uji Coba)...
Tabulasi Uji Coba...
Uji Validitas dan Reliabilitas...
Skala Penelitian (Setelah Uji Coba)...
Tabulasi Penelitian...
Uji Normalitas, Uji Linearitas, Uji Hipotesis...
60
61
62
63
64
65
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen
(subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (interdependence) satu
sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Kast &
Rosenzweigh dalam Robbins, 1996). Dalam proses interaksi antara suatu
subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi
kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan
dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi.
Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya ketidakcocokan atau
ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan,
kegagalan komunikasi, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan
inilah yang akhirnya membawa individu ke dalam suasana konflik.
Memasuki tahun 2007, perkembangan coffee shop di Yogyakarta meningkat
pesat. Coffee shop menjadi sebuah tempat alternatif lain bagi mereka yang
menginginkan suasana santai tanpa alkohol, dengan menu utama kopi (“Warung
Kopi Kian Menjamur di Jogja”, 2007). Coffee shop sebagai sebuah
kecenderungan baru kehidupan di Yogyakarta telah memberikan sebuah warna
baru dalam kewirausahaan, di mana memberikan peluang bisnis dan kesempatan
kerja.
Coffee shop sebagai sebuah perusahaan mempekerjakan karyawan sebagai
motor penggerak usaha mereka. Coffee shop sebagai tempat bernaungnya
karyawan, menciptakan interaksi antar individu didalamnya. Perbedaan latar
belakang di antara karyawan membentuk persepsi dan pola pikir, sehingga dalam
interaksi sosial para karyawan cenderung terjadi perbedaan pendapat, kegagalan
komunikasi, dan konflik.
Konflik sebagai bagian dari proses sosial melibatkan individu atau
kelompok, dimana segala yang berhubungan dengan usaha pencapaian tujuan
hampir dipastikan akan selalu berhadapan dengan berbagai pertentangan atau
konflik yang melibatkan antar kelompok (Miyarso, 2004). Konflik yang terjadi
dalam interaksi sosial antar karyawan coffee shop merupakan konflik
interpersonal, walaupun tidak menutup kemungkinan terjadi konflik antar
kelompok (gap) dalam keseluruhan total karyawan.
Dampak terjadinya konflik menurut Soekanto (1990) antara lain adalah
bertambahnya solidaritas dalam kelompok, retaknya kesatuan, perubahan
kepribadian para individu, munculnya akomodasi, dominasi, dan takluknya salah
satu pihak. Dampak tersebut tentunya mempengaruhi kinerja karyawan dan
kelangsungan hidup perusahaan, dalam hal ini coffee shop.
Konflik interpersonal mempengaruhi emosi pihak-pihak yang terlibat,
sehingga tidak jarang perasaan atau emosi lebih cenderung meluap saat konflik
terjadi, dalam hal ini marah. Marah, keadaan emosional yang tidak stabil
antara pihak-pihak yang terlibat semakin buruk, hal ini tentunya akan
mempengaruhi kinerja dan stabilitas perusahaan.
Sebagai contoh dalam lingkungan coffee shop, konflik cenderung terjadi
akibat kegagalan komunikasi dan sikap kurang hormat salah satu karyawan
terhadap karyawan lain, dimana karyawan ini merasa memiliki kemampuan yang
lebih, sehingga menjadi sombong dan memandang rendah karyawan lain.
Hasilnya, pekerjaan yang seharusnya dilakukan berkelompok (team work), pada
akhirnya berjalan sendiri-sendiri, dan hubungan antar pihak-pihak yang terlibat
kian renggang, karena tidak ada kepedulian untuk membuat keadaan menjadi
lebih baik. Berdasarkan fenomena tersebut, konflik yang tidak terselesaikan, atau
tidak berakhir secara menang-menang mengakibatkan produktivitas menurun, dan
hubungan antar karyawan menjadi renggang.
Menurut sumber yang didapat dari pengelola coffee shop, konflik yang
terjadi pada karyawan coffee shop cenderung merupakan konflik interpersonal.
Konflik terjadi antara karyawan satu dengan lainnya, akibat dari ketidakcocokan
individu, sehingga pada akhirnya konflik ini menyebabkan pihak yang kalah,
merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk keluar dari coffee shop. Kondisi
seperti ini hampir ditemukan dalam setiap coffee shop yang diteliti. Konflik
merupakan bagian dari suatu proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya
interaksi sosial (Soekanto, 1990).
Dibutuhkan kecerdasan emosional di antara pihak-pihak yang terlibat untuk
Kemampuan untuk mengelola konflik secara positif, dimana semua kepentingan
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya bisa terpenuhi disebut dengan manajemen
konflik secara konstruktif
Kemampuan seseorang menangani emosi atau suasana hatinya dengan baik
sehingga dapat dikelola secara efektif merupakan bagian dari kecerdasan emosi.
Salovey dan Mayer (dalam Hariwijaya, 2005; Stein & Book, 2004)
mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi merupakan himpunan bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi
baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan
menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Goleman
(1999) mengatakan bahwa tanpa kecerdasan emosi, orang tidak akan bisa
menggunakan kemampuan-kemampuan kognitif sesuai dengan potensi yang
maksimal.
Individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, akan mampu
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, mampu mengelola emosinya
sehingga mampu untuk menunda kepuasan atau kenikmatan sebelum tercapainya
suatu tujuan, mampu bertahan menghadapi kegagalan dan berusaha bangkit,
memiliki rasa percaya diri, sadar akan kemampuan diri, mampu menggerakkan
hasrat menuju sasaran, cermat membaca situasi sosial, serta memiliki
keterampilan untuk bekerja sama (Hariwijaya, 2005).
Dari uraian di atas secara ringkas dapat dikatakan bahwa dengan kecerdasan
dan menyelesaikan konflik yang terjadi secara konstruktif. Banyaknya
pengalaman dalam interaksi sosial mengenai pengambilan keputusan berat
sebelah dalam penyelesaian konflik yang dirasa membuat sebagian pihak merasa
dikalahkan, inferior, sementara pihak yang lain merasa menang dan berkuasa,
sementara win-win solution sepertinya jarang bisa didapatkan, menjadi dasar
penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Maka, penulis ingin membuktikan
apakah ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosi dengan manajemen
konflik secara konstruktif, dalam hal ini pada karyawan coffee shop di Sleman.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan yang positif antara
kecerdasan emosional dan manajemen konflik secara konstruktif pada karyawan
coffee shop di Sleman?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang positif antara
kecerdasan emosional dan manajemen konflik secara konstruktif pada karyawan
coffee shop di Sleman.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
kecerdasan emosional dan manajemen konflik secara konstruktif,
khususnya dalam bidang psikologi Industri dan Organisasi.
2. Secara Praktis
Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan pemahaman dan
informasi bagi karyawan tentang kecerdasan emosi dalam manajemen
konflik secara konstruktif, sehingga ketika terjadi konflik di antara
karyawan, pengelolaan konflik akan bersifat konstruktif dan menciptakan
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan
diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
berhubungan dengan orang lain (Goleman, 1999). Goleman (dalam Mutadin,
2002) mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial
yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati
individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat
emosional yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan
sosial serta lingkungannya.
Sementara Howes dan Herald (dalam Mutadin, 2002) mengatakan pada
intinya, kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang
menjadi pintar menggunakan emosi. Pendapat yang sejalan dikemukakan Salovey
dan Mayer (dalam Hariwijaya, 2005; Stein & Book, 2004) yang mendefinisikan
kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau, mengenali emosi, dan
mengendalikan emosi sendiri dan orang lain, serta menggunakan emosi-emosi itu
untuk memadukan pikiran dan tindakan, sehingga membantu perkembangan
emosi dan intelektual.
Cooper dan Sawaf (dalam Mutadin, 2002) mengatakan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang
manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar
mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya
dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam interaksi sosial.
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah serangkaian kemapuan dalam menerapkan kepekaan emosi
untuk mengenali perasaan diri sendiri atau orang lain dan mengelolanya dalam
berinteraksi dengan lingkungan sosial. Hal ini juga berarti menempatkan emosi
dalam porsi yang tepat dalam mengendalikan perasaan positif atau negatif,
sehingga membantu individu dalam bersosialisasi dengan orang lain dalam
lingkungan dan menyikapi masalah hidupnya.
2. Aspek-aspek kecerdasan emosional
Dari berbagai teori tentang kecerdasan emosional yang ada, penulis
mengacu pada teori kecerdasan emosional milik Goleman (1999), karena dengan
jelas menyebutkan komponen tentang kecerdasan emosional.
Goleman (1999) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi terdiri dari lima
komponen atau aspek-aspek, antara lain :
a. Mengenali emosi diri
dengan kesadaran diri yang baik akan mampu mengenali emosi yang sedang
mereka rasakan dan mengapa, menyadari keterkaitan antara perasaan mereka
dengan yang mereka pikirkan, perbuat dan katakan, mengetahui bagaimana
perasaan mereka mempengaruhi kinerja, serta mempunyai kesadaran yang
menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaran-sasaran mereka.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap
dengan tepat. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri
ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan, dan bangkit
kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk
kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan
perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan
dirinya sendiri.
c. Memotivasi diri
Memotivasi diri berarti dapat memanfaatkan emosi yang dimiliki sehingga
dapat mencapai tujuan. Dalam hal ini kemampuan menata emosi sebagai alat
untuk mencapai tujuan. Seseorang yang memiliki motivasi tinggi, kemungkinan
untuk mencapai tujuan yang diharapkan juga tinggi.
Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai
berikut:
(1) Kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati agar tidak menghambat
(2) Kemapuan untuk mengurangi derajat kecemasan yang berpengaruh
terhadap unjuk kerja seseorang.
(3) Kekuatan berpikir positif.
(4) Kemampuan untuk optimis, dan
(5) Keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa
yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek.
Kunci motivasi adalah memanfaatkan emosi sehingga mendukung kesuksesan
seseorang.
d. Mengenali emosi orang lain
Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran
diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia
akan terampil memahami perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak
mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan
mampu memahami perasaan orang lain. Mengenali emosi orang lain berarti
memahami orang lain, mengindra perasaan dan perspektif orang lain serta
secara aktif menunjukkan minat terhadap kepentingan-kepentingan mereka
(Goleman, 1999). Individu yang mampu berempati dengan baik, akan
memperhatikan isyarat-isyarat emosi dan mendengarkannya dengan baik,
menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap perspektif orang lain, serta
membantu berdasarkan pemahaman terhadap kebutuhan dan perasaan orang
lain.
Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan
sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa
memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan
sosial. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan
semacam inilah yang menyebabkan seseorang seringkali dianggap angkuh,
mengganggu, atau tidak berperasaan. Individu yang memiliki ketrampilan
sosial mampu mengendalikan emosi dengan baik ketika berhubungan dengan
orang lain, cermat membaca situasi, berinteraksi dengan lancar, mampu
memimpin dan mengorganisir orang lain, serta pintar menangani perselisihan
yang muncul dalam setiap interaksi.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional berbeda dengan kecerdasan intelektual. Seperti yang
telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa kecerdasan intelektual
merupakan pembawaan sejak lahir, dan cenderung tetap atau sulit untuk diubah
(Goleman, 1999). Tidak demikian halnya dengan kecerdasan emosional,
kecerdasan emosional bisa terus dilatih menjadi semakin baik seiring
bertambahnya umur. Hal-hal
yang mempengaruhi kecerdasan emosi secara garis besar terbagi dua, yakni :
a. Faktor yang berasal dari dalam diri individu.
Faktor yang bersumber dari dalam individu, seperti susunan saraf pusat atau
seseorang. Stimulus yang diterima oleh indera ditransfer dan diproses menjadi
informasi yang kita pahami. Respon yang dihasilkan melibatkan nalar dan
emosi, seperti respon bersedih saat melihat sesuatu yang mengharukan, takut
atau marah saat merasa terancam. Seseorang yang bisa mengatur keadaan
emosionalnya seperti misalnya bisa segera bangkit dari kesedihan berarti
memiliki susunan saraf yang baik, karena dengan susunan saraf yang baik, dia
dapat menerjemahkan informasi yang masuk menjadi persepsi yang positif.
b. Faktor yang berasal dari luar diri individu.
Faktor dari luar individu diantaranya adalah pengalaman, proses belajar,
perlakuan orang sekitar, serta hal lain yang dapat mempengaruhi individu untuk
mengubah sikap, baik dari lingkungan langsung, maupun media-media lain
seperti buku, film dan lain sebagainya. Lebih lanjutnya, seperti faktor
pengalaman, misalnya reaksi individu terhadap suatu peristiwa di masa lalu
yang memiliki muatan emosi seperti peristiwa traumatis akan muncul kembali
di masa sekarang, jika individu dihadapkan pada hal yang dapat
mengingatkannya kembali pada peristiwa di masa lalu, walaupun kapasitasnya
berbeda ataupun kejadiannya tidak sama persis. Selain itu yang turut
berpengaruh terhadap kualitas kecerdasan emosi adalah perlakuan orang sekitar
terhadap individu yang bersangkutan, seperti keluarga sebagai lingkungan
terdekat, perlakuan orang-orang di lingkungan tempat individu meperoleh
pendidikan, dan perlakuan dari lingkungan masyarakat sekitar. Individu yang
perkembangan kecerdasan emosinya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosi terbagi menjadi dua, yakni; berasal dari dalam
dan dari luar individu. Faktor yang berasal dari dalam diri individu meliputi
susunan syaraf pusat, sedangkan faktor yang berasal dari luar diri individu atau
lingkungan, yakni: pengalaman, perlakuan orang-orang sekitar terhadap dirinya,
proses belajar, dan hal lain yang dapat mempengaruhi individu untuk mengubah
sikapnya, baik lingkungan langsung maupun tidak, seperti informasi dari pihak
lain.
B. Manajemen Konflik secara Konstruktif
1. Pengertian Konflik
Kata konflik berasal dari bahasa latin confligere, conflictum yang berarti:
saling berbenturan (Kartono, 1985). Kartono (1985) mengemukakan 2 pengertian
konflik, yaitu:
1) Pengertian yang negatif, dikaitkan dengan: sifat binatang yang buas,
kekerasan barbarisme, destruktif, penghancuran, irrasionalisme, tidak
adanya kontrol emosional, pemogokan, huru-hara, perang, dll.
2) Pengertian yang positif, dikaitkan dengan pengertian petualangan,
hal-hal baru inovasi, pembersihan, pemurnian, pembaharuan, pencerahan,
kreasi, pertumbuhan, rasionalitas yang dialektis, mawas diri, tawakal,
Johnson (dalam Supratiknya, 1995) mengatakan bahwa konflik adalah
situasi dimana tindakan salah satu pihak menghalangi, menghambat, atau
mengganggu tindakan pihak lain. Kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat
tidak sepaham, dan saling berlawanan.
Robbins (1996) menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi
yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang)
yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun
pengaruh negatif. Pendapat ini sejalan dengan definisi Luthans (1981), konflik
adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentengan.
Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri
diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan
permusuhan.
Dampak terjadinya konflik menurut Soekanto (1990) antara lain adalah
bertambahnya solidaritas antar individu dalam kelompok, retaknya kesatuan,
perubahan kepribadian para individu, munculnya kompromi, akomodasi, dominasi
dan takluknya salah satu pihak. Dampak konflik dapat bersifat positif ataupun
negatif, tergantung penyelesaiannya.
Dari beberapa definisi konflik diatas dan dampak yang ditimbulkan, dapat
disimpulkan bahwa konflik adalah situasi di mana terjadi suatu pertentangan
dalam interaksi sosial karena salah satu pihak menghalangi, menghambat, tidak
2. Konflik Kerja pada Karyawan
Konflik kerja pada karyawan diidentifikasikan menurut jenis konflik.
Stoner dan Wankel (dalam Winardi, 1994) mengidentifikasikan ada 3 jenis
konflik, yaitu: konflik intrapersonal, konflik interpersonal, dan konflik organisasi.
1. Konflik Intrapersonal terjadi karena adanya inkonsistensi pada
elemen-elemen kognitif seseorang (Roloff dalam Winardi, 1994). Menurut
Festinger dalam Theory of Cognitive Dissonance, adanya
keyakinan-keyakinan yang tidak konsisten bersifat meresahkan bagi mereka yang
mengalaminya (Winardi, 1994), seperti perasaan tidak mampu
menjalankan peran dan tanggung jawab yang dipikulnya.
2. Konflik interpersonal merupakan konflik yang terjadi antara individu
dengan individu lainnya. Konflik interpersonal terjadi karena perbedaan
persepsi dan kegagalan komunikasi antar individu. Orang-orang dalam
satu tempat kerja yang sama jelas berbeda satu sama lain, termasuk peran
dan tingkat pengalamannya (Edelman dalam Isenhart & Spangle, 2000).
3. Konflik Organisasi adalah konflik perilaku antar kelompok dalam
organisasi dimana anggota kelompok menunjukkan dominasi,
membandingkan dengan kelompok lain dan mereka menganggap bahwa
kelompok lain tidak sejalan dengan pandangan mereka atau menghalangi
tujuan dan harapan-harapan mereka.
Dari ketiga jenis konflik diatas, konflik kerja pada karyawan adalah jenis
sebuah perusahaan. Konflik kerja antar karyawan merupakan konflik yang terjadi
antara karyawan satu dengan karyawan lain.
3. Pengertian Manajemen Konflik
Manajemen konflik atau pengelolaan konflik adalah cara seseorang
menghadapi konflik (Winardi, 1994). Dalam penelitian ini, penulis membatasi
jenis manajemen konflik secara konstruktif.
Manajemen konflik dikatakan konstruktif bila penanganannya dilakukan
terbuka, mempunyai alasan yang kuat, serta dilakukan secara tenang dan rasional
(Edelman dalam Isenhart & Spangle, 2000). Manajemen konflik juga dikatakan
konstruktif apabila pihak-pihak yang terlibat dalam konflik puas akan hasilnya
dan masing-masing mendapatkan apa yang diperjuangkannya, dan hubungan antar
mereka tetap baik (Hardjana, 1996). Kondisi puas antara keduabelah pihak
(menang-menang) meniadakan alasan untuk melanjutkan atau menimbulkan
konflik yang ada, karena tidak adanya hal yang perlu dihindari ataupun ditekan.
Semua persoalan-persoalan yang relevan dibicarakan secara terbuka (Winardi,
1994). Manajemen konflik secara konstruktif adalah cara seseorang mengelola
konflik dengan terbuka, melibatkan kerja sama antar pihak, dan hasil yang didapat
bersifat menang-menang.
4. Gaya Manajemen Konflik.
manajemen konflik :
a. Kompetisi
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak mencoba memaksakan
kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa
sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat,
kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan tersebut sangat vital.
Hanya perlu diperhatikan situasi menang – kalah (win-lose solution) akan
terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi
konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan
atasan – bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan
organisasi) di atas kepentingan bawahan.
b. Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi tersebut
secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik
yang terjadi. Situasi menang-kalah terjadi lagi disini. Menghindari konflik bisa
dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana,
mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa terjadi jika
pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali, ditambah lagi jika salah
satu pihak menjadi stres karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan
persoalan tersebut.
c. Akomodasi
pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai
self sacrifying behavior. Hal ini dilakukan jika satu pihak merasa bahwa
kepentingan pihak lain lebih utama atau ada pihak yang ingin tetap menjaga
hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan antara kepentingan
pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.
d. Kompromi
Tindakan ini dapat dilakukan jika keduabelah pihak merasa bahwa kedua hal
tersebut sama-sama penting dan hubungan baik menjadi yang utama.
Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk
mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution).
e. Kolaborasi
Menciptakan situasi menang-menang dengan saling bekerja sama.
Dari 5 jenis gaya manajemen konflik diatas, pendekatan yang dipandang
paling berhasil untuk mengelola konflik secara konstruktif adalah gaya
Kolaborasi/ kerjasama. Gaya kolaborasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan
hasil kerjasama dari keduabelah pihak yang terlibat konflik (Winardi, 1994).
5. Aspek-Aspek Manajemen Konflik secara Konstruktif
Gaya Kolaborasi dipandang merupakan pendekatan yang paling berhasil
dalam menangani konflik karena bersifat paling konstruktif, yaitu
mengoptimalkan hasil bersama dari pihak-pihak yang berkonflik dan bersifat
secara konstruktif adalah gaya manajemen konflik kolaboratif.
Filley (dalam Winardi, 1994) mengidentifikasikan ciri-ciri orang yang
mengelola konflik secara kolaboratif, yaitu:
1) Memandang konflik sebagai sesuatu yang wajar dan dapat menyebabkan
timbulnya suatu pemecahan yang lebih kreatif apabila ditangani secara tepat.
2) Memberikan kepercayaan kepada pihak lain dan mengakui adanya persoalan
perasaan dalam hal mencapai keputusan-keputusan.
3) Beranggapan bahwa sikap dan posisi setiap orang perlu diperhatikan dan
menyadari bahwa apabila konflik diselesaikan hingga memuaskan semua
pihak, maka komitmen terhadap pemecahan tersebut kiranya akan
dibangkitkan.
4) Beranggapan bahwa setiap orang memiliki peranan sama dalam hal
memecahkan konflik yang dihadapinya dan bahwa pandangan-pandangan serta
pendapat-pendapat setiap pihak memiliki bobot yang sama.
5) Tidak mengorbankan seseorang demi kebaikan suatu organisasi
C. Karyawan Coffee Shop
1. Pengertian Coffee Shop
Coffee shop adalah suatu usaha di bidang makanan yang dikelola secara
komersial yang menawarkan pada tamu makanan atau minuman ringan dengan
pelayanan dan dalam suasana tidak formal tanpa diikuti suatu aturan servis yang
harganya lebih murah (Melteka dalam Sugiarto & Sulartiningrum, 1996).
Pengertian coffee shop atau warung kopi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2001) adalah sebuah tempat yang menjual kopi dan jenis minuman
lain, serta makanan-makanan kecil dengan harga yang murah.
Dari dua pengertian diatas maka coffee shop berarti sebuah usaha
komersial yang menawarkan kopi, jenis minuman lain beserta makanan-makanan
ringan dengan harga murah dan pelayanan serta suasana yang tidak formal.
Ciri-ciri coffee shop menurut Soekresno (2000) adalah sebagai berikut:
1). Harga makanan dan minuman relatif murah.
2). Penerimaan pelanggan tanpa sistem penerimaan tempat.
3). Para pelanggan yang datang tidak terikat menggunakan pakaian
formal.
4). Sistem penyajian makanan dan minuman yang dipakai adalah
American service/ ready plate atau self service bahkan counter
service.
5). Tidak menyediakan live music.
6). Penataan meja dan bangku cukup rapat antara satu dengan yang lain.
7). Daftar menu oleh pramusaji tidak dipresentasikan kepada tamu atau
pelanggan namun dipasang di counter atau langsung di setiap meja
makan untuk mempercepat proses pelayanan.
8). Menu yang disediakan sangat t erbatas dan membatasi menu-menu
9). Jumlah tenaga service relatif sedikit dengan standar kebutuhan.
Dalam perkembangannya dan sesuai dengan kenyataan yang ada
dilapangan, ciri-ciri coffee shop diatas tidaklah baku, namun menyesuaikan
dengan konsep dan selera pengelola, dan di disain untuk menarik minat dan
memberi kenyamanan pada pelanggan.
2. Pengertian Karyawan
Karyawan dalam perusahaan dibagi menjadi 2, yaitu karyawan
administrasi dan karyawan lapangan (Atmosudirjo, 1995).
Karyawan administrasi adalah orang yang bekerja pada suatu lembaga,
kantor, perusahaan dengan mendapatkan gaji di mana dalam kesehariannya
pekerjaannya dikerjakan sendiri atau berkelompok sesuai perintah atasan dan
memiliki wewenang dalam mengambil keputusan (Poerwadarminta, 2001).
Setiap perusahaan atau organisasi memerlukan tata usaha guna
melakukan pengelolaan secara teratur dan terorganisir. Dengan adanya keteraturan
dan tata kerja, tujuan perusahaan atau organisasi akan mudah tercapai. Orang yang
memberikan suatu gerakan dalam tata kerja disebut atministrator, yaitu orang
yang mampu memimpin perusahaan atau organisasi untuk tumbuh dan
berkembang sesuai dengan tujuannya (Atmosudirjo, 1995). Administrator dalam
coffee shop disebut manajer.
Karyawan Lapangan adalah orang yang bekerja pada suatu lembaga,
langsung harus mengerjakan sendiri pekerjaannya sesuai dengan perintah atasan
(Poerwadarminta, 2001). Karyawan lapangan bekerja langsung dibawah kendali
administrator atau manajer. Dalam perusahaan, karyawan lapangan disebut buruh,
pegawai atau pekerja, melakukan tugas dibawah perintah manajer. Karyawan
lapangan dalam coffee shop disebut karyawan.
Coffee shop sebagai sebuah usaha komersil, mempekerjakan karyawan
untuk melakukan tugas masing-masing sesuai dengan bidang pekerjaan. Manajer
memiliki wewenang dan peran penting dalam menentukan tata kerja dan
kebijakan, dalam rangka mencapai tujuan coffee shop, sementara karyawan
melakukan pekerjaan langsung yang diberikan atasan (manajer).
D. Hubungan antara Kecerdasan Emosional dan Manajemen Konflik secara
Konstruksif pada Karyawan Coffee Shop
Coffee shop sebagai sebuah perusahaan mempekerjakan karyawan sebagai
motor penggerak usaha mereka. Coffee shop sebagai tempat bernaungnya
karyawan, menciptakan interaksi antar individu didalamnya. Perbedaan latar
belakang di antara para karyawan membentuk persepsi dan pola pikir, sehingga
dalam interaksi sosial para karyawan cenderung terjadi perbedaan pendapat,
kegagalan komunikasi dan konflik. Konflik merupakan bagian dari suatu proses
sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial (Soekanto, 1990).
Konflik dalam sebuah perusahaan memberi berbagai dampak antara lain
kesatuan, perubahan kepribadian para karyawan, munculnya kompromi,
akomodasi, dominasi dan takluknya salah satu pihak. Dampak konflik dapat
bersifat positif ataupun negatif, tergantung penyelesaiannya.
Perusahaan memiliki sebuah tujuan, di mana tiap-tiap elemen didalamnya
(karyawan) memiliki andil dalam mencapai tujuan. Konflik antar karyawan dalam
perusahaan, dalam hal ini yaitu coffee shop, terjadi lantaran kegagalan
komunikasi, perbedaan persepsi, dan perbedaan karakter. Orang-orang dalam satu
tempat kerja yang sama jelas berbeda satu sama lain, termasuk peran dan tingkat
pengalamannya (Edelman dalam Isenhart & Spangle, 2000).
Banyak orang memandang konflik sebagai faktor yang merusak hubungan.
Pada kenyataannya, justru rusaknya hubungan lebih karena kegagalan mengelola
konflik secara konstruktif (Supratiknya, 1995). Dalam sebuah perusahaan,
tiap-tiap karyawan yang terlibat konflik berusaha untuk mengelola dan menyelesaikan
konflik yang terjadi. Penyelesaian dilakukan dengan cara dan ide masing-masing
pihak, di mana ide-ide mereka saling bertentangan satu sama lain. Dan ketika
tidak ada kata sepakat, atau salah satu kepentingan pihak harus dikalahkan, salah
satu pihak merasa konflik telah selesai, sementara pihak yang lain tidak puas dan
merasa dikalahkan, menganggap konflik diantara mereka kian panas. Dari sini
hubungan pihak yang terlibat konflik menjadi rusak, hal ini adalah salah satu
contoh pengelolaan konflik yang destruktif.
Manajemen konflik dikatakan konstruktif bila penanganannya dilakukan
(Edelman dalam Isenhart & Spangle, 2000). Manajemen konflik juga dikatakan
konstruktif apabila pihak-pihak yang terlibat dalam konflik puas akan hasilnya
dan masing-masing mendapatkan apa yang diperjuangkannya, dan hubungan antar
mereka tetap baik (Hardjana, 1996).
Dalam manajemen konflik secara konstruktif, dibutuhkan sebuah
keterbukaan, saling memahami, pengendalian emosi, dan pikiran rasional.
Keterbukaan diantara pihak-pihak yang terlibat, memandang konflik sebagai
sesuatu adversity (peluang, bukan hambatan), memahami emosi diri sendiri dan
orang lain. Kemampuan seseorang menangani emosi atau suasana hatinya dengan
baik sehingga dapat dikelola secara efektif merupakan bagian dari kecerdasan
emosi. Kemampuan ini yang dibutuhkan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik,
sehingga konflik menjadi sebuah pembelajaran yang membangun bagi mereka.
Salovey dan Mayer (dalam Hariwijaya, 2005; Stein & Book, 2004)
mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi merupakan himpunan bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi
baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan
menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Goleman
(1999) mengatakan bahwa tanpa kecerdasan emosi, orang tidak akan bisa
menggunakan kemampuan-kemampuan kognitif sesuai dengan potensi yang
maksimal.
Dari uraian tersebut, secara singkat bisa disimpulkan bahwa untuk mencapai
bertambah erat, kondisi puas antara keduabelah pihak (menang-menang), dan
meniadakan alasan untuk melanjutkan atau menimbulkan konflik yang ada,
dibutuhkan kecerdasan emosional untuk mencapainya. Dalam manajemen konflik
secara konstruktif, dibutuhkan sebuah keterbukaan, saling memahami,
pengendalian emosi, dan pikiran rasional. Keterbukaan pihak-pihak yang terlibat,
memandang konflik sebagai sesuatu adversity (peluang, bukan hambatan),
memahami emosi diri sendiri dan orang lain, sehingga diharapkan konflik dapat
diselesaikan dengan hasil puas diantara pihak-pihak yang terlibat
(menang-menang).
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara kecerdasan
emosional dan manajemen konflik secara konstruktif pada karyawan coffee shop.
Semakin tinggi kecerdasan emosional yang dimiliki maka akan semakin tercapai
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian korelasional. Jenis penelitian korelasional
merupakan jenis penelitian yang berbentuk hubungan antara dua variabel.
Penelitian korelasional bertujuan untuk menganalisis variasi pada satu variabel
berkaitan dengan variabel pada satu atau lebih variabel lain, berdasarkan koefisien
korelasi (Azwar, 1999a). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara dua variabel yaitu kecerdasan emosional dan manajemen konflik secara
konstruktif.
B.Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas : Kecerdasan Emosional
2. Variabel tergantung : Manajemen Konflik secara Konstruktif
C. Definisi Operasional
1. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu mengenali perasaan diri
sendiri dan perasaan orang lain, memahami diri sendiri, kemampuan memotivasi
diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam berhubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional diteliti dengan
menggunakan skala Kecerdasan Emosional, yang berisi pernyataan-pernyataan
yang mengacu pada komponen-komponen kecerdasan emosional, meliputi :
a. Mengenali emosi diri
Mengenali perasaan dalam diri sewaktu perasaan itu terjadi, memahami
mengapa perasaan itu muncul, menyadari keterkaitan antara perasaan dengan
yang dipikirkan, diputuskan, diperbuat, dan dikatakan.
b. Mengelola emosi
Kemampuan mengungkapkan perasaan dengan tepat, kemampuan mengelola
perasaan seperti tidak berlarut dalam kesedihan, dapat menahan amarah.
c. Memotivasi diri
Kemampuan memanfaatkan emosi atau menggunakannya secara efektif
sehingga mendukung kesuksesan seseorang, dapat dilihat antara lain melalui:
kekuatan berpikir positif, optimis, kemampuan untuk fokus pada suatu objek
atau pekerjaan, kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati, supaya tidak
menghambat pemikiran
d. Mengenali emosi orang lain
Kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, kemampuan untuk
menunjukkan minat terhadap kepentingan orang lain, membantu orang lain
berdasarkan pemahaman terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain.
Memiliki kemampuan berinteraksi sosial yang baik dengan orang lain, seperti:
kemampuan untuk membina kedekatan hubungan, kemampuan untuk
meyakinkan dan mempengaruhi orang lain, kemampuan untuk membuat orang
lain merasa nyaman, kemampuan untuik menangani perselisihan dalam setiap
kegiatan manusia, kemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain
dengan cukup lancar.
Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek menunjukkan semakin tinggi
kecerdasan emosinya. Semakin rendah skor yang diperoleh subjek maka
menunjukkan semakin rendah kecerdasan emosinya.
2. Manajemen Konflik secara Konstruktif
Manajemen Konflik secara konstruktif berarti mengelola konflik secara
terbuka, dimana terdapat interaksi positif didalamnya yaitu : ada rasa saling
percaya, memandang sikap dan posisi orang lain, kerjasama diantara pihak-pihak
yang terlibat, dan tidak mengorbankan seseorang demi kepentingan. Manajemen
konflik dikatakan konstruktif bila penanganannya dilakukan terbuka, mempunyai
alasan yang kuat, serta dilakukan secara tenang dan rasional, pihak-pihak yang
terlibat puas akan hasilnya dan masing-masing mendapatkan apa yang
diperjuangkannya, dan hubungan antar mereka tetap baik. Manajemen konflik
secara konstruktif diteliti dengan menggunakan skala manajemen konflik secara
konstruktif, yang berisi pernyataan-pernyataan yang mengacu pada
1. Memandang konflik sebagai sesuatu yang wajar dan dapat
menyebabkan timbulnya suatu pemecahan yang lebih kreatif apabila
ditangani secara tepat.
2. Memberikan kepercayaan kepada pihak lain dan mengakui adanya
persoalan perasaan dalam hal mencapai keputusan-keputusan.
3. Beranggapan bahwa sikap dan posisi setiap orang perlu diperhatikan
dan menyadari bahwa apabila konflik diselesaikan hingga memuaskan
semua pihak, maka komitmen terhadap pemecahan tersebut kiranya akan
dibangkitkan.
4. Beranggapan bahwa setiap orang memiliki peranan sama
dalam hal memecahkan konflik yang dihadapinya dan bahwa
pandangan-pandangan serta pendapat-pendapat setiap pihak memiliki bobot yang
sama.
5. Tidak mengorbankan seseorang demi kebaikan suatu organisasi.
Skor yang tinggi menunjukkan tingkat manajemen konflik secara konstruktif
yang tinggi, dan skor yang rendah menunjukkan tingkat manajemen konflik
secara konstruktif yang rendah juga pada subjek.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah karyawan beberapa coffee shop di Sleman,
dimana sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa atau mahasiswi yang
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penyebaran skala
penelitian secara langsung kepada subjek yang akan diteliti. Skala penelitian
tersebut berupa pernyataan-pernyataan, dimana subjek yang diteliti diminta untuk
memilih jawaban yang paling sesuai dengan keadaan dirinya. Setiap aitem
pernyataan diharuskan untuk diisi/dijawab oleh subjek penelitian.
Subjek diberikan 4 alternatif jawaban dan diminta untuk memilih salah
satunya saja. Jawaban tersebut terdiri dari : “SS’ (sangat sesuai), “S” (sesuai),
“TS” (tidak sesuai), “STS” (sangat tidak sesuai). Jenis skala seperti ini merupakan
skala Likert, yang dimodifikasi menjadi tipe skala dengan menyajikan hanya 4
alternatif jawaban. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan untuk
menghindari bias, karena alternatif kelima diartikan sebagai netral, ragu-ragu,
jarang, kadang-kadang tidak. Selain itu, jawaban tengah bisa menimbulkan
central tendency effect, dimana subjek akan cenderung untuk memilih jawaban
yang ada di tengah (Hadi, 2000).
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu
skala Kecerdasan Emosional dan skala Manajemen Konflik secara Konstruktif
yang disusun dengan menggunakan metode summated rating (rating yang
dijumlahkan). Metode summated rating adalah metode penskalaan yang
menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Azwar,
1999).
Konstruktif disusun dalam bentuk pernyataan favorable dan unfavorable.
Pernyataan favorable adalah pernyataan yang mendukung objek sikap dalam
skala. Pernyataan unfavorable adalah pernyataan yang tidak mendukung objek
sikap dalam skala. Setiap jawaban dalam tiap item pada kedua skala diberi nilai
masing-masing. Jawaban atas pernyataan favorable memiliki nilai sebagai
berikut : “SS” diberi nilai 4, “S” diberi nilai 3, “TS” diberi nilai 2, “STS” diberi
nilai 1. Untuk pernyataan unfavorable adalah sebagai berikut : “SS” diberi nilai 1,
“S” diberi nilai 2, “TS” diberi nilai 3, “STS” diberi nilai 4. Lebih jelasnya
dipaparkan pada tabel dibawah ini:
Tabel 1.
Skor jawaban pada skala Kecerdasan Emosional dan skala Manajemen konflik secara konstruktif
Kategori Sangat Sesuai (SS)
Sesuai (S)
Tidak Sesuai (TS)
Sangat Tidak Sesuai (STS)
Favorable 4 3 2 1
Unfavorable 1 2 3 4
Untuk menjaga supaya pembuatan aitem terarah pada tujuan maka
disertakan tabel spesifikasi. Tabel ini memuat uraian isi yang akan diungkap pada
kedua skala, antara lain :
1. Skala kecerdasan emosional
Skala ini dibuat untuk mengukur tingkat kecerdasan emosional subjek.
Pernyataan-pernyataan dalam skala Kecerdasan Emosional ini disusun
berdasarkan 5 aspek kecerdasan emosional, yang terdiri dari :
2) Mengelola emosi
3) Memotivasi diri
4) Mengenali emosi orang lain
5) Membina hubungan dengan orang lain
Jumlah aitem yang direncanakan untuk masing-masing aspek yang hendak
diukur beserta penyebarannya dalam skala akan dipaparkan dalam tabel blue print
berikut ini :
Tabel 2.
Blue Print Skala Kecerdasan Emosional
Aspek Kecerdasan Emosional Favorable Unfavorable Total
1 Mengenali emosi diri 7 7 14
(20%)
2 Mengelola emosi 7 7 14
(20%)
3 Memotivasi diri 7 7 14
(20%)
4 Mengenali emosi orang lain 7 7 14
(20%) 5 Membina hubungan dengan
orang lain
7 7 14
(20%)
Total 35 35 70
(100%)
2. Skala Manajemen Konflik secara Konstruktif
Skala ini dibuat untuk mengukur tingkat manajemen konflik secara
konstruktif pada subjek. Pernyataan-pernyataan dalam skala manajemen konflik
secara konstruktif ini disusun berdasarkan 5 aspek manajemen konflik secara
konstruktif, yang terdiri dari :
2) Saling percaya
3) Memperhatikan sikap dan posisi orang lain
4) Peran yang sama dalam konflik
5) Tidak mengorbankan orang lain
Jumlah aitem yang direncanakan untuk masing-masing aspek yang hendak
diukur beserta penyebarannya dalam skala akan dipaparkan dalam tabel blue print
berikut ini :
Tabel 3.
Blue Print Skala Manajemen Konflik secara Konstruktif Aspek Manajemen Konflik
2 Saling percaya 7 7 14
(20%) 3 Memperhatikan sikap dan
posisi orang lain
7 7 14
(20%) 4 Peran yang sama dalam
konflik
melakukan fungsi ukurnya (Hadi, 1991). Sebuah alat ukur dapat dikatakan valid
jika alat ukur tersebut dapat memberikan hasil ukur sesuai dengan maksud
sejauh mana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang
hendak diukur atau sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak
diukur (Azwar, 1999b).
2. Analisis aitem
Analisis aitem dilakukan untuk memilih aitem-aitem yang berkualitas,
yang dapat digunakan dalam pengambilan data penelitian serta membuang
aitem-aitem yang tidak lolos seleksi dan tidak dapat digunakan dalam pengambilan data
penelitian. Analisis yang digunakan adalah analisis korelasi antara aitem-total
(rix) dengan teknik korelasi product moment dari program SPSS for Windows ver.
13.0. Sebagai kriteria digunakan batasan rix ≥ 0,30. Aitem dengan rix minimal
0,30 dianggap memuaskan, sedangkan aitem dengan rix kurang dari 0,30
memiliki daya diskriminasi rendah.
3. Reliabilitas
Reliabilitas adalah proporsi variabilitas skor tes yang disebabkan oleh
perbedaan yang sebenarnya diantara individu, sedangkan ketidakreliabelan adalah
proporsi variabilitas skor tes yang disebabkan oleh eror pengukuran (Azwar,
2003). Dengan demikian, dapat dikatakan reliabel apabila hasil pengukuran dalam
beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama
diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek
memang belum berubah. Dalam hal ini relatif sama berarti tetap adanya toleransi
terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran.
dipercaya dan dikatakan tidak reliabel. Pendekatan yang digunakan dalam
perhitungan reliabilitas alat tes ini adalah reliabilitas koefisien alpha dari
Cronbach, sebab koefisien alpha mempunyai nilai praktis dan efisien yang tinggi
karena hanya dilakukan satu kali pada kelompok subjek.
G. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah
analisis korelasi Product Moment dari Pearson untuk mengetahui hubungan antara
variabel bebas dan variabel tergantung. Teknik ini dipilih karena data yang
dihasilkan berjenis interval, yaitu angka-angka skala yang memiliki jarak yang
sama (Hadi, 1984). Intensitas hubungan antar variabel Kecerdasan Emosional dan
variabel Manajemen Konflik secara Konstruktif dinyatakan dalam koefisien
korelasi. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS for Windows ver.
13.0.
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Membuat alat ukur penelitian, yaitu skala kecerdasan emosional dan skala
manajemen konflik secara konstruktif dengan metode rating yang
dijumlahkan (summated rating) untuk diuji cobakan pada kelompok uji coba
yang memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok subjek
2. Melakukan uji coba. Penelitian ini memakai try out data terpakai, di mana
data yang didapatkan tetap dipakai setelah uji validitas dan reliabilitas.
3. Melakukan uji validitas dan reliabilitas skala untuk mendapatkan aitem yang
sahih dan data yang reliabel. Aitem yang sahih adalah aitem tersisa dari skala
setelah aitem yang gugur setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas.
4. Mengolah data penelitian dengan menggunakan SPSS for Windows versi
13.0 dengan teknik korelasi product moment dari Pearson.
5. Membuat pembahasan dan kesimpulan berdasarkan hasil analisis tersebut.
I. Uji Coba Alat Penelitian
1. Pelaksanaan Uji Coba Alat Penelitian
Uji coba skala Kecerdasan Emosional dan skala Manajemen Konflik
secara Konstruktif yang telah dijadikan satu dalam bentuk bundel, dibagikan
kepada responden pada tanggal 26 dan 27 agustus 2009, lalu tanggal 7 dan 8
september 2009. Pengambilan data penelitiaan secara keseluruhan dilakukan di
beberapa coffee shop di Sleman yaitu: Goeboex Coffee Selokan Mataram, Grisse
Coffee and Tea Kledokan, Mato Kopi Selokan Mataram, Kedai Kopi Yogyakarta
Selokan Mataram dan Ringroad, Bjong coffee shop Nologaten, Peacock Coffee
Hotel Mustokoweni, Djendelo Koffie Tiga Serangkai, dan Dhimana Cafe Jl.
Tantular Selokan Mataram.
Skala yang dibagikan kepada responden berjumlah 75 buah, namun hanya