• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Mangrove

Menurut Nybakken (1986) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Sementara itu, Bengen (2002) mendefinisikan hutan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan bersubstrat lumpur, sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak optimal.

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin 1991).

Batasan umum pengertian hutan mangrove adalah hutan terutama tumbuh pada tanah aluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon, seperti Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Cerrops, Lumnitzera, Exoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Menurut Noer et al. (1999) bahwa sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan hanya pada habitat mangrove (true mangrove),

(2)

sementara jenis lain ditemukan di sekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (mangrove associate).

Ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Dahuri et al. (1996), menyatakan bahwa secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi.

Potensi ekonomi sumberdaya hutan mangrove sebagai penyedia sumberdaya kayu dan udang serta ikan, juga berfungsi ekologis untuk menahan banjir dan bagi nursery ground jenis-jenis udang (Fauzi 1999a). Fungsi ekologis ekosistem mangrove menurut Dahuri et al. (1996) adalah sebagai berikut : a) Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara

ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang.

b) Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan.

c) Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir. d) Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar

(environmental service), khususnya bahan-bahan organik.

e) Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan, seperti cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya.

f) Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.

(3)

Mangrove yang tumbuh di sekitar perkotaan atau pusat pemukiman dapat berfungsi pertama sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan-bahan organik. Kedua, hutan mangrove sebagai energi bagi lingkungan perairan sekitarnya. Ketersediaan berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosistem hutan mangrove telah menjadikannya sebagai sumber energi dari tingkat tropik yang lebih rendah ke tingkat tropik yang lebih tinggi. Ketiga, hutan mangrove merupakan pensuplai bahan organik bagi lingkungan perairan. Di dalam ekosistem mangrove terjadi mekanisme hubungan yang memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya.

2.2 Alokasi dan Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Kehidupan masyarakat di sekitar hutan, tidak dapat dipisahkan dengan ekosistemnya. Hal ini diwujudkan dalam bentuk hubungan kekerabatan dan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya. Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai peranan penting dalam memelihara keseimbangan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan berbagai fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan. Potensi ekonomi tegakan mangrove berasal dari tiga sumber, yaitu hasil hutan, perikanan muara sepanjang pantai dan ekoturisme. Disamping menghasilkan bahan dasar untuk industri seperti kertas, rayon, kayu bakar dan arang yang dalam konteks ekonomi mengandung nilai komersial tinggi, ditunjukkan dengan kemampuannya dalam menyediakan produknya yang dapat diukur dengan uang. Menurut Saenger et al. (1983) diacu dalam Dahuri et al. (1996) telah terindentifikasi lebih dari 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan hidup manusia, baik produk langsung, seperti bahan bakar, bahan bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, obat-obatan dan makanan, maupun produk tidak langsung seperti tempat dan bahan makanan. Ekosistem hutan mangrove yang memiliki fungsi-fungsi ekologis yang penting antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat pembesaran bagi biota-biota tertentu dan juga mampu menekan terjadinya abrasi dan kerusakan pantai, dapat meredam pengaruh gelombang serta tahan terendam di perairan dengan kadar garam yang beragam dan mampu menahan lumpur, sehingga mempercepat terbentuknya “tanah timbul”.

(4)

Dengan memperhatikan peran dan potensi ekosistem hutan mangrove yang sangat besar tersebut, maka setiap pemanfaatan hutan tersebut perlu memperhatikan prinsip pemanfaatan yang optimal dan lestari, sehingga tidak mengurangi daya dukung lingkungan itu sendiri yang selanjutnya akan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Dalam perkembangannya, hutan mangrove ini telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti kehutanan, perikanan (tambak), pertanian, industri, pemukiman, pertambangan dan pariwisata. Adanya berbagai kepentingan dari berbagai pihak dalam memanfaatkan areal hutan mangrove, sering menimbulkan konflik dan mengarah pada pengelolaan dengan pertimbangan yang sempit dan tidak berkelanjutan (Dahuri 2003).

Definisi pengelolaan sumberdaya alam (SDA) menurut Soerianegara (1977) adalah upaya manusia dalam mengubah SDA agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksi.

Dahuri et al. (1996) mengatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional, harus dilaksanakan sebaik-baiknya berdasarkan azas kelestarian, keserasian dan azas pemanfaatan yang optimal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dampak pembangunan yang negatif, seperti terjadinya penurunan nilai-nilai sumberdaya pesisir dan laut yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan itu sendiri. Keadaan ini disebabkan antara lain penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan dan kemampuan daya dukungnya, tidak disertainya dengan usaha-usaha konservasi serta rendahnya peran serta masyarakat terhadap aktivitas-aktivitas pembangunan yang telah direncanakan penataannya.

Menurut Adrianto (2004) bahwa alternatif pengelolaan dapat diterapkan kepada ekosistem mangrove dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi, kemungkinan dan prioritas pembangunan, aspek teknis, politis dan sosial masyarakat di kawasan mangrove. Alternatif dapat berupa kawasan preservasi hingga kawasan penggunaan ganda (multiple uses) yang memberikan ruang kepada pemanfaatan ekosistem mangrove untuk tujuan produktif. Contoh alternatif pengelolaan ekosistem mangrove terlihat pada Tabel 1.

(5)

Tabel 1. Contoh Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pilihan Pengelolaan Deskripsi

Kawasan lindung Larangan pemanfaatan produktif

Kawasan Kehutanan subsisten Pengelolaan kawasan hutan mangrove oleh masyarakat ; pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat

Kawasan hutan komersial Pemanfaatan komersial produk hutan mangrove

Akua-silvikultur Konversi sebagian kawasan hutan mangrove untuk kolam ikan

Budidaya perairan

semi-intensif Konversi hutan mangrove untuk budidaya perairan dengan teknologi semi intensif Budidaya perairan intensif Konversi hutan mangrove untuk budidaya

perairan dengan teknologi intensif Pemanfaatan hutan komersial

dan budidaya perairan semi intensif

Pemanfaatan ganda dengan tujuan

memaksimalkan manfaat dari hutan mangrove dan perikanan

Pemanfaatan ekosistem mangrove subsisten dan

budidaya perairan semi intensif

Pemanfaatan ganda dengan tujuan memberikan manfaat mangrove kepada masyarakat local dan perikanan Konversi ekosistem mangrove Konversi kawasan mangrove menjadi

peruntukan lain. Sumber : Adrianto (2004)

Pengelolaan sumberdaya alam harus dirumuskan dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk optimasi fungsi ekosistem/system/habitat dengan kondisi perairan. Secara garis besar, kegiatan tersebut berupa kegiatan pelestarian, pengembangan dan rehabilitasi ekosistem. Kegiatan pelestarian ekosistem ditujukan terhadap ekosistem yang fungsinya dalam keadaan optimum agar fungsi tersebut dapat lestari. Pemanfaatan yang baik adalah pendayagunaan sumberdaya sesuai dengan daya dukung sumberdaya yang bersangkutan. Oleh sebab itu guna mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi (Supriharyono 2000).

Lemahnya manajemen pengelolaan hutan mangrove baik dalam sistim silvikultur, SDM, perencanaan, kelembagaan, pelaksanaan dan pengawasan serta

(6)

keterbatasan data informasi sumberdaya hutan mangrove serta IPTEK mendorong terjadinya degradasi hutan mangrove (Dahuri et al. 1996).

2.3 Valuasi Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati perlu memperhatikan dua pertimbangan penting pertama bahwa keanekaragaman hayati dapat memberikan manfaat yang luas kepada manusia, kedua aktivitas manusia yang berlangsung, belum merugikan keanekaragaman hayati dan mengancam kesinambungan dan stabilitas ekosistem, seperti barang dan jasa (Pimm et al. 1995; Simon and Wildavsky 1995) diacu dalam Nunes et al. (2001).

Keanekaragaman hayati sebagai sumber nilai ekonomi, dapat dilihat pada Gambar 1, yang menunjukkan hubungan antara keanekaragaman hayati, ekosistem, spesies dan kesejahteraan manusia.

1 4 2 6 3 5

Sumber : Nunes et al. (2001)

Gambar 1. Nilai Ekonomi Keanekaragaman hayati

Berdasarkan Gambar 1, maka dapat diklasifikasikan nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati, yaitu pertama hubungan 1 – 6 bahwa manfaat atau fungsi dan nilai-nilai dari ekosistem sebagai pendukung kehidupan manusia, misalnya fungsi ekosistem sebagai pengendali banjir dan pengisian air tanah. Kedua

hubungan 1 – 4 – 5 bahwa ekosistem sebagai perlindungan habitat bagi spesies-spesies yang terkait, contohnya dampak dari kerusakan habitat akan menurunkan nilai dan permintaan turis untuk kawasan wisata. Ketiga hubungan 2 – 5 bahwa manfaat dari semua keanekaragaman spesies untuk kepentingan manusia, karena sebagai input dalam proses produksi, contohnya industri barang yang diperdagangkan dan keempat hubungan 3 bahwa pengetahuan dan moral manusia

Biodiversity

Ecosystem

Human welfare Species

(7)

akan keberlanjutan dan nilai keberadaan dari keanekaragaman hayati untuk generasi mendatang (Nunes et al. 2001). Oleh karena itu, pelestarian keanekaragaman hayati sebaiknya dilihat sebagai suatu bentuk pembangunan perekonomian. Sumberdaya alam hayati memiliki nilai ekonomi, investasi dalam pelestarian sebaiknya dilihat dari segi ekonomi, yang memerlukan sarana yang dapat dipercaya dan diandalkan dalam mengukur keuntungan pelestarian sumberdaya hayati, mengukur akibat yang menguntungkan atau kondisi yang lebih baik yang dihasilkan oleh tindakan pelestarian.

Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan SDA yang semakin langka (Kramer et al. 1995). Menurut Munasinghe (1995) penilaian kontribusi fungsi ekosistem bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sangat kompleks, mencakup nilai-nilai sosial dan politik. Contohnya, nilai kawasan konservasi sangat ditentukan oleh aturan-aturan manajemen yang berlaku untuk areal tersebut. Dengan kata lain, nilai tersebut tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor fisik, biotik dan ekonomi, tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya tersebut.

Dalam kerangka pemikiran ekonomi, cakupan konsep ekologi hanya membatasi diri dalam menanggulangi dampak negatif, baik langsung maupun tidak langsung, dari kegiatan pembangunan dengan kata lain konsep ekologi lebih mengarah kepada pengelolaan dampak pembangunan atas pihak-pihak yang terkena atau secara potensial terkena pengaruh. Sementara itu, teori ekonomi selain menawarkan alternatif bagi pengelola, imbas-pengaruh kegiatan ekonomi (impact and accident) yang mencakup bahkan menekankan peran manusia sebagai sektor atau pelaku kegiatan ekonomi (Ismawan 1999).

2.4 Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove dan Teknik Evaluasi Pengelolaannya

Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya alam khususnya ekosistem mangrove sangat berperan dalam penentuan kebijakan pengelolaannya, sehingga alokasi dan alternatif pengelolaannya dapat efisien dan berkelanjutan. Kerangka nilai ekonomi yang sering digunakan dalam evaluasi ekonomi sumberdaya alam termasuk mangrove adalah konsep total economic value (TEV)

(8)

yang terdiri atas tiga tipe nilai, yaitu nilai pakai langsung (direct use value), nilai pakai tak langsung (indirect use value) dan nilai non-pakai (non use value). Nilai pakai langsung diturunkan dari pemanfaatan langsung (interaksi) antara masyarakat dengan ekosistem mangrove. Nilai ini terdiri atas pemanfaatan konsumtif (seperti kayu bakar, pertanian, pemanfaatan air, kegiatan berburu dan pemanfaatan perikanan) dan pemanfaatan non-konsumtif (seperti rekreasi, manfaat riset dan pendidikan). Nilai pakai tak langsung didefinisikan sebagai nilai fungsi ekosistem mangrove dalam mendukung atau melindungi aktifitas ekonomi atau sering disebut sebagai “jasa lingkungan”. Sebagai contoh fungsi ekosistem mangrove sebagai penahan banjir, fungsi perlindungan air tanah. Nilai pilihan (option value) terkait dengan nilai pakai (use values) yang merupakan pilihan pemanfaatan ekosistem mangrove di masa datang. Nilai non pakai merupakan representasi dari individu yang tidak dalam posisi memanfaatkan ekosistem mangrove, tetapi memandang bahwa kelestarian ekosistem mangrove tetap perlu sebagai sebuah intrinsic value (kantian value). Salah satu representasi dari nilai intrinsic ini adalah nilai keberadaan (existence value) (Adrianto 2004). Metode valuasi ekonomi secara umum terdiri atas dua pendekatan, yaitu

pertama pendekatan manfaat (benefit) menyangkut langsung dengan nilai pasar (market value), nilai pasar pengganti (substitute atau surrogate) atau barang-barang komplementer (complementary goods). Benefit transfer untuk menilai perkiraan benefit dari tempat lain ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan, dimana sumberdaya yang memiliki ekosistem yang relatif sama (Fauzi 1999b). Contoh dari nilai pasar adalah effect of production (EOP) untuk melihat bagaimana pengaruh terhadap produksi dari sumberdaya alam, human capital approach (HCA) atau Loss of Earning Approach (LEA) dengan melihat pengaruh kerusakan lingkungan terhadap nilai tenaga kerja (upah), sedangkan contoh dari nilai pengganti adalah travel cost method (TCM) untuk melihat biaya yang dikeluarkan untuk mendatangi tempat rekreasi, wage differential (WD) yang menggunakan tingkat upah sebagai tolok ukur untuk mengukur kualitas lingkungan dan property value (PV) nilai asset pribadi digunakan memperkirakan nilai lingkungan. Kedua pendekatan biaya (cost) contohnya replacement cost, shadow project, preventive expenditure dan

(9)

P

P*

0 Q* Q

A = Jumlah yang dibayar oleh konsumen B = Surplus konsumen

relocation cost. Metode valuasi berdasarkan survei yang mengukur keinginan membayar (willingness to pay) dan keinginan untuk menerima (willingness to accept) dengan mengeksplore preferensi dari konsumen melalui pendekatan contingen valuation method (CVM).

Pengukuran untuk barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang diperdagangkan (traded goods) dengan harga yang terukur dapat dilihat dari perubahan dalam surplus konsumen. Surplus konsumen berlandaskan pada pemikiran ekonomi neo-klasikal (neo-classical economic theory) yang berdasar pada kepuasan konsumen (Fauzi 2004)

Surplus konsumen atau Dupuits’s consumer’s surplus (karena pertama kali dikenalkan oleh Dupuit Tahun 1952) adalah pengukuran kesejahteraan ditingkat konsumen yang diukur berdasarkan selisih keinginan membayar dari seseorang dengan apa yang sebenarnya di bayar (Fauzi 2000).

Kurva permintaan yang digambarkan dengan slope (kemiringan) yang negatif atau disebut juga kurva permintaan Marshall, seperti terlihat pada Gambar 2.

B

E

A

Kurva Permintaan Sumber : Fauzi (2000)

Gambar 2. Kurva Permintaan Konsumen

Kurva pada Gambar 2, menggambarkan jumlah barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen pada tingkat harga dan waktu tertentu. Tingkat harga barang dan

(10)

jasa berbanding terbalik dengan jumlah barang dan jasa yang diminta, jika harga naik, maka jumlah yang diminta menurun (Fauzi 2000).

Gambar 2, memperlihatkan bahwa seluruh daerah di bawah slope kurva permintaan menunjukkan keinginan membayar (WTP) oleh konsumen pada barang Q. Keseimbangan harga di pasar ditunjukkan oleh P*, maka konsumen akan mengkonsumsi sebesar Q*. Apabila konsumen ingin membayar lebih dari P*, namun sebenarnya yang dibayar hanya pada P*, maka kelebihan keinginan membayar konsumen diposisi P*EP. Kelebihan ini merupakan surplus bagi konsumen atau menjadi tolak ukur untuk menilai tingkat kesejahteraan konsumen.

Pendugaan total nilai ekonomi sumberdaya mangrove menurut Adrianto (2005), didekati melalui pengukuran tingkat kepuasan (utility) melalui surplus konsumen yang dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut :

n n X X X Q β β β2... β 2 1 1 0 = dan

U

=

0a

f

(

Q

)

dQ

sehingga

CS

=

U

Pt

dimana : CS = Consumer surplus

Q = Jumlah sumberdaya yang diminta

Xi = Harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi/diminta diturunkan dari fungsi permintaan

X2 ….Xn = Karakteristik sosial ekonomi konsumen/rumah tangga

U = Utilitas terhadap sumberdaya

a = Batas jumlah sumberdaya rata-rata yang dikonsumsi/diminta

f(Q) = fungsi permintaan Pt = harga yang dibayarkan

Menurut Nunes et al. (2001) diacu dalam Adrianto (2004) menyebutkan ada dua kategori valuasi ekonomi yaitu (1) mengeksplorasi data pasar yang ada dan dikaitkan dengan komoditas lingkungan, teknik valuasi dalam kategori ini adalah travel cost (TC) melalui pendekatan generalisasi biaya kunjungan (generalized travel cost), hedonic price (HP) menggunakan pendekatan hedonik untuk mengestimasi, averting behavior (AB) menggunakan pendekatan generalisasi biaya pengeluaran untuk menilai jasa-jasa lingkungan termasuk biaya pencegahan kerusakan (avoided damage costs), biaya pengganti

(11)

(replacement cost), biaya kompensasi (compensation costs) dan production function (PF) yang mengestimasi nilai ekonomi sebuah komoditas lingkungan melalui hubungan input-output produksi. (2) stated preferences method yang berdasarkan preferensi melalui teknik Contingent Valuation (CV). Teknik mengukur total nilai ekonomi untuk ekosistem mangrove dalam konteks keanekaragaman hayati terlihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Manfaat Ekosistem Mangrove dan Metode Penilaian Ekonominya. Interpretasi nilai

ekonomi Keanekaragaman hayati Manfaat Metode penilaian ekonomi Genetic and species

diversity Input bagi proses produksi (misalnya industri farmasi, pertanian, perikanan)

CV = +, TC = -, HP = +, AB = +, PF = +

Natural areas and

lanscape diversity Perlindungan habitat (misalnya perlindungan area rekreasi)

CV = +, TC = +, HP = -, AB = -, PF = +

Ecosystem functions

and ecological services Nilai-nilai ekologi (misalnya fungsi pengendalian banjir)

CV = -, TC = -, HP = +, AB = +, PF = +

Non use biodiversity Nilai keberadaan dan

moral CV = +, TC = -, HP = -, AB = -, PF = - Sumber : Nunes et al. (2001) diacu dalam Adrianto (2004)

Keterangan : tanda (+) artinya metode penilaian ekonomi yang terpilih dan (-) artinya metode yang tidak terpilih, CV = Contingent Valuation, TC = Travel Costs, HP = Hedonic Price, AB = Averting Behavior, dan PF = Production Function.

Cost Benefit Analysis (CBA) juga salah satu teknik yang sering digunakan dan membantu dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan ekosistem mangrove. CBA digunakan untuk mengukur semua keuntungan/dampak positif (benefit) dan biaya (cost) sebuah pengelolaan dari awal sampai akhir dalam bentuk nilai uang dan memberikan ukuran efisiensi ekonomi (Kusumastanto 2000).

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Adrianto (2004) bahwa dalam proses pengambilan keputusan terhadap alternatif pengelolaan digunakan analisis Cost Benefit Analysis (CBA), dimana proses pengambilan keputusan didasarkan pada analisis terhadap besaran (magnitude) dari kerugian pengelolaan yang ditransfer ke dalam komponen biaya (costs) dan keuntungan pengelolaan yang di

(12)

representasikan ke dalam komponen manfaat (benefits), dimana pengelolaan dikatakan layak apabila manfaat bersih (net benefits) adalah positif. Selanjutnya alternatif pengelolaan ekosistem mangrove tidak dilakukan dalam satu waktu, melainkan dalam periode waktu tertentu. Arus manfaat dan biaya harus di diskon agar manfaat dan biaya dapat dibandingkan dalam satu dasar waktu yang disebut nilai sekarang (Present Value).

Pemilihan keputusan yang strategis dengan mempertimbangkan beberapa alternatif pengelolaan, dapat dilakukan dengan membandingkan net benefits dari alternatif pengelolaan yang satu (NBA) dengan alternatif pengelolaan yang lainnya (NBB), sehingga apabila pengambilan keputusan cenderung untuk memilih alternatif A, maka NBA harus lebih besar dari NBB, dan A ≠ B. Alternatif pengelolaan yang dipilih untuk mencapai tujuan yaitu kriteria efisiensi, equity dan sustainable digunakan analisis Multi Criteria Analysis (MCA) (Adrianto 2004).

Multi criteria analysis adalah suatu kerangka kerja (framework) terstruktur untuk menginvestigasi, menganalisis dan memecahkan keputusan yang terkendala dengan berbagai tujuan dan kriteria dan merupakan teknik pengambilan keputusan yang berbasis non parametric (Fauzi 2004). Struktur dari MCA tersebut adalah mendefinisikan masalah, mendeskripsikan alternatif (kontinyu atau diskret), analisis dari dampak alternatif, defenisi kriteria, evaluasi prioritas kebijakan, seleksi alternatif dan presentasi hasil (numerik dan visual) (Adrianto 2004).

(13)

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI

Pembangunan pesisir fokusnya pada ekosistem mangrove yang dinamis terhadap isu dan konflik kepentingan dalam pemanfaatannya, maka pembangunan pesisir perlu dipikirkan khususnya untuk menyelamatkan potensi sumberdaya pesisirnya. Oleh karena itu segenap stakeholder perlu membuat perencanaan pengelolaan sumberdaya, sehingga pemanfaatannya seefisien mungkin dan berkesinambungan secara ekonomi dan sosial. Untuk mengetahui kondisi sumberdaya mangrove dewasa ini, perlu adanya valuasi lingkungan, ekonomi (manfaat dan sumberdaya mangrove) dan sosial-ekonomi-budaya.

Ekosistem mangrove yang berperan penting bagi semua kehidupan tersebut ternyata dalam pengelolaannya sering dilaksanakan dengan kurang bijaksana antara lain disebabkan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Perubahan ekosistem mangrove yang tak terkendali menjadi tambak, pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan, industri atau pelabuhan, merupakan bukti penyebab penurunan lahan mangrove tersebut.

Pengelolaan wilayah pesisir merupakan suatu proses atau upaya untuk mengendalikan kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir, sehingga dapat menjamin keuntungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, sekarang dan di masa mendatang. Oleh karena itu untuk menyelidiki cara pengelolalan yang baik, sifat ekosistem mangrove yang “dinamis” dan kondisi lingkungan yang “unik” perlu dipahami terlebih dahulu. Adanya kesamaan perspektif tentang tujuan, pola pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove merupakan wahana untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Konflik pemanfaatan yang terjadi di kawasan mangrove, terkadang disebabkan belum diketahuinya manfaat dan fungsi dari potensi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa datang, menyebabkan nilai tersebut luput dari perhitungan ekonomi, sehingga salah satu yang dapat membantu masalah ini adalah dengan menghitung potensi ekonomi dari sumberdaya tersebut. Tingkat kapasitas produksi lestari setiap tahun ditentukan melalui analisis nilai ekonomi ekosistem mangrove

(14)

Dalam konteks pemanfaatan langsung digunakan pendekatan pasar (market-based-approach) khususnya yang komersial (Adrianto 2004). Penilaian terhadap sumberdaya alam khususnya pada ekosistem mangrove dihitung melalui penjumlahan satuan uang (benefit) dan cost yang berhubungan dengan pemanfaatan SDA tersebut. Perubahan kualitas lingkungan secara kualitatif, sehingga dapat diinterpretasikan berapa banyak yang menjadi lebih baik (better- off) dan berapa banyak yang menjadi lebih buruk (worse- off). Dengan kata lain berapa besar nilai manfaat dan berapa besar nilai yang rusak (cost and benefit).

Ruitenbeek (1992) menyarankan bahwa penggunaan beberapa bentuk analisis ekonomi yang terpenting mampu menyatukan hubungan ekologis dari berbagai komponennya.

Pendekatan penilaian total ekonomi, yaitu mengestimasi nilai total ekonomi hutan mangrove berdasarkan pada klasifikasi use-value terdiri atas manfaat langsung (optimal use) dan manfaat tidak langsung dan non-use-value terdiri atas manfaat pilihan (option value) dan manfaat keberadaan (existensi value). Mengestimasi nilai ekonomi hutan mangrove berdasarkan pada pendekatan produktifitas dan preferensi (Revealed preference-based valuation). Analisis manfaat dan biaya yang dibangun berdasarkan asumsi ekonomi neo-klasik (utility konsumen) melalui consumer surplus atau Marshallian consumer’s surplus, dimana asumsi tersebut paling sesuai untuk menemukan alternatif pemanfaatan sumberdaya yang alokasinya paling efesien. Pendekatan Net Present value (NPV), Cost Benefit Analysis (CBA) digunakan untuk menentukan alternatif pengelolaan yang strategis dari sumberdaya mangrove sehingga pembentukan sistem sumberdaya mangrove dapat optimal.

Menurut Adrianto (2004) bahwa dalam konteks evaluasi pemanfaatan sumberdaya alam seperti ekosistem mangrove, selain mempertimbangkan faktor efisiensi juga perlu memasukkan pertimbangan equity dan sustainability agar diperoleh pertimbangan yang lebih komprehensif. Sistem pengelolaan yang efektif akan menjamin tidak saja bagi kelangsungan sumberdaya alam yang ada, tetapi juga peningkatannya selama digunakan, jadi memberikan dasar untuk pembangunan yang berkelanjutan.

(15)

Keterangan : = Garis Koordinasi

= Ruang Lingkup Metode Analisis Gambar 3. Alur Kerangka Pendekatan Studi

Mangrove Resource System Natural Resource

Pemanfaatan better off and worse off

Benefit and Cost

Alternatif Pengelolaan Strategis Pengelolaan Ekosistem

Mangrove yang Optimal

Efisiensi, Equity andEkologi

Human Uses Ecological uses

NPV,CBA,MCA Nilai Ekonomi

Sumberdaya mangrove

Productivity

Approach Productivity Approach Replacement Cost Manfaat Pilihan (Option value) Benefit Transfer Manfaat eksistensi (existensi value) Contingent Valuation Method Consumers Surplus RTP

• Tambak Udang + Ikan

• Nelayan

• Pengambil Kayu

• Pengambil Bibit Alam

• Penangkapan Kepiting Non RTP • Wiraswasta • Pegawai Negeri • Buruh • Petani • Pelajar Valuasi Ekonomi

Actual Use (Direct) Indirect Use

Gambar

Tabel 1. Contoh Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove  Pilihan Pengelolaan  Deskripsi
Gambar 1. Nilai Ekonomi Keanekaragaman hayati
Tabel 2. Manfaat Ekosistem Mangrove dan Metode Penilaian Ekonominya.  Interpretasi nilai

Referensi

Dokumen terkait

Kata Muhammad Yunus, “kita dapat meluaskan pandangan sempit ekonom tentang masyarakat dengan beranggapan bahwa ada dunia yang dihuni oleh dua jenis manusia, yaitu yang satu

Kemudian dari laporan keuangan tersebut dikur indikator efisiensi, efektifitas dan transparansi dengan metode kuantitatif dan hasil dari pengurukuran tersebut

Selanjutnya, industri pangan harus mempunyai rencana dan langkah yang diperlukan untuk mencegah atau untuk meminimalkan risiko, termasuk menyusun prosedur

Edible coating pati ganyong dengan variasi konsentrasi bubuk kunyit putih (1, 2, dan 3 %) memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap masa simpan pada susut bobot,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa amilum umbi gadung, gembili dan porang memiliki bentuk bulat tidak beraturan serta tipe konsentris, sedangkan amilum umbi uwi

Ada bidang yang mengurus personalia (manajemen personalia), keuangan (manajemen keuangan), logistik-obat dan peralatan (manajemen logistik), pelayanan

Pada dasarnya penguraian kerangka pemikiran dalam penulisan tesis ini didasarkan kepada apakah pelayanan informasi publik di Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Medan (STPP

Temuan-temuan tersebut di atas memberikan sinyal bagi penelitian ini bahwa variabel gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pimpinan lembaga DPRD pada setiap