• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAJAK DAN KAITANNYA DENGAN PERTANAHAN. Zaidar, SH, M.Hum. Fakultas Hukum Bagian Hukum Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PAJAK DAN KAITANNYA DENGAN PERTANAHAN. Zaidar, SH, M.Hum. Fakultas Hukum Bagian Hukum Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PAJAK DAN KAITANNYA DENGAN PERTANAHAN Zaidar, SH, M.Hum

Fakultas Hukum Bagian Hukum Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara

1. PENDAHULUAN

Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan berdasarkan Undang-undang , tanpa ada tangan prestasi secara langsung yang dapat ditunjuk. Kegunaannya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Pajak kaitannya dengan pertanahan ialah terhadap Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tanggal 27 Desember 1985 jo Undang-undang No. 12 Tahun 1994 “bahwa bumi adalah permukaan bumi/tubuh bumi yang ada di bawahnya”. Dalam penjelasan Undang-undang No. 12 Tahun 1985 disebutkan permukaan bumi meliputi tanah perairan, pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Jadi tanah merupakan sebagian dari bumi yang dimaksud dengan Undang-undang.

Sebagai dasar pertimbangan untuk dikenakannya PBB dan BBHTB terhadap bumi, karena bumi memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui pajak. Atas dasar kenikmatan/ kedudukan ekonomi yang lebih baik atas penguasaan tanah, maka pemerintah mengenakan pajak atas penguasaan dan perolehan hak tanah tersebut.

Oleh karena itu sesuai dengan ketentuan Perpajakan yang Self Assesment bahwa dalam Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dengan jelas, benar, lengkap dan ditandatangani oleh Wajib Pajak (WP), dan disampaikan ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak setempat.

Sedangkan untuk BPHB self assesment diantaranya adanya kewajiban wajib pajak menghitung sendiri besar pajaknya dan melakukan pembayaran pajak tanpa menunggu diterbitkannya surat ketetapan pajak.

I. PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)

Dasar hukum dikenakan PBB adalah Undang-undang No. 12 tahun 1985 tanggal 27 Desember 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang perubahan atas Undang-undang No. 12 Tahun 1985.

(2)

Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 1998 sebagai dasar penetapan sebenarnya Nilai Jual Kena Pajak dan peraturan lainnya sebagai ketentuan operasional penetapan PBB.

Subjek dan Objek Pajak

Subjek pajak sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang No. 12 tahun 1985 adalah “Orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai hak dan/atau memperoleh menfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh menfaat atas bangunan.

Sedangkan Objek Pajak PBB sesuai Pasal 2 ayat (1) “Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Bangunan adalah konstruksi tekhnik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan”.

Termasuk pengertian bangunan adalah :

- Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, emplasemen dan lain-lain, yang merupakan satu kesatuan dengan kopleks banguna tersebut.

- Jalan tol. - Kolam renang. - Pagar mewah. - Tempat olah raga.

- Galangan kapal, dermaga. - Taman mewah.

- Tempat penampungan/kilang minyak air dan gas, pipa minyak. - Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB.

1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial kesehatan, pendidikan dan kebudayaan yang nyata-nyata tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau sejenis dengan itu. 3. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman

nasional, tanah pengembalaan, tanah yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

4. Digunakan oleh Perwakilan Diplomatik, konsulat, berdasarkan asas perlakuan timbal balik.

5. Digunakan oleh badan atau perwakilan Organisasi Internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan.

(3)

Dasar Pengenaan Dan Cara Menghitung Pajak.

Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek (NJOP), besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan oleh Menteri Keuangan RI. Wadah klasifikasi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 523/KMK.04/1998 Tanggal 18 Desember 1998.

Klasifikasi bumi dibagi atas :

Golongan A : 50 Klasifikasi Golongan B : 50 Klasifikasi Klasifikasi bangunan dibagi atas :

Golongan A : 20 Klasifikasi Golongan B : 20 Klasifikasi

Tarif PBB adalah 0,5% Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Kena Pajak sesuai dengan Pasal 6 ayat (3), sedangkan Nilai Jual Kena Pajak yang berlaku sekarang sesuai PP No. 25 Tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002 adalh 20% bagi sektor Pedesaan dan perkotaan yang Nilai Jual Objek Pajaknya < 1.000.000.000,- sedangkan untuk NJOP > 1.000.000.000,- dan PBB di luar sektor Pedesaan dan Perkotaan adalah 40%.

Dengan demikian perhitungan PBB adalah : PBB 05% x NJKP

Untuk NJOP di atas milyar, PBB = 0,5% x 40% x NJOP Untuk NJOP di bawah 1 Milyar, PBB = 0,5% x 20% x NJOP Keberatan

Wajib pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas : - Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

- Surat Ketetapan Pajak (SKP)

Dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang antara lain : - Surat keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan

menyatakan alasan dengan jelas.

- Keberatan diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT, kecuali wajib pajak dapat menunjukkan bukti bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasannya.

- Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.

(4)

Atas dasar kondisi tertentu terhadap Wajib Pajak, maka Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan RI dengan memberikan pengurangan pajak yang tertuang :

a. Karena kondisi tertentu Objek Pajak (OP) yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/atau sebab-sebab tertentu lainnya.

b. Dalam hal Objek Pajak 9OP) terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.

Pembayaran Dan Penagihan

PBB yang terutang berdasarkan SPPT harus dulunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal di terimanya SKP/STP.

Apabila PBB atas SPPT/SKP pada saat jatuh tempo belum dibayar/kurang bayar maka dikenakan denda administrasi sebesar 2% per bulan dan maksimal 24 bulan. Pajak terutang dapat dibayar pada Bank, Kantor Pos dan Giro dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan RI.

Dasar penagihan pajak adalah SPPT, SKP dan STP (Surat tagihan Pajak atas pokok/kurang bayar ditambah denda). Apabila surat tagihan pajak tidak dibayar sesuai dengan waktu yang ditentukan dapat ditagih dengan surat paksa.

Untuk pemungutan PBB telah dilimpahkan penagihannya kepada Gubernur untuk Daerah Tingkat I dan/atau Bupati atau Walikota untuk Daerah Tingkat II sesuai oleh Menteri Keuangan RI No. 1007/KMK/1985. Pembagian Hasil Penerimaan

PBB adalah merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut :

a. 10% biaya penerimaan Pusat

b. 9% biaya untuk melakukan pemungutan

c. 16,2% biaya untuk Pemerintah Daerah Tingkat I d. 64,8% biaya untuk Pemerintah Daerah Tingkat II.

Berdasarkan keputusan Menteri Keuangan No. 83/KMK.04/1994 tanggal 19 Maret 1994, 10% bagian Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh Daerah Tingkat II SKB DJA dan DJP Kep. 56/A/44/1996 jo Kep. 50/Pj.6/1996 yaitu 15% dari 10% dibagi secara merata dan 35% dari 1% dibagikan kepada Dati II yang berhasil mencaai Rencana Penerimaan yang ditetapkan.

(5)

BPHTB atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas anah dan atau bangunan yang selanjutnya disebut pajak.

1. Dasar Hukum

Undang-undang No. 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2000. Undang-undang BPHTB ini sebagaimana pengganti ketentuan mengenai pungutan Bea Balik Nama (BBN) atas pemindahan harta tetap yang berupa tanah atau bangunan berdasarkan ordonansi BBN staatsblad 1924 No. 21.

2. Objek Pajak (pasal 2)

Yang menjadi Objek Pajak (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi :

A. Pemindahan hak karena : 1. Jual Beli ;

2. Tukar Menukar (BPHTB dikenakan kedua belah pihak) ; 3. Hibah ;

4. Hibah Wasiat ; 5. Waris ;

6. Pemasukan dalam Perseroan atau Badan Hukum lainnya ; 7. Pemisahan Hak yang mengakibatkan Peralihan ;

8. Penunjukan Pembeli dalam Lelang ;

9. Pelaksanaan Putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap ;

10. Penggabungan Usaha ; 11. Peleburan Usaha ; 12. Pemekaran Usaha ; 13. Hadiah ;

B. Pemberian hak baru karena : 1. Kelanjutan pelepasan hak 2. Di luar pelepasan hak.

3. Hak atas Tanah dan atau Bangunan (Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 2 ayat (3) :

Adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak atas tanah dimaksud adalah : hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas rumah susun dan hak pengolahan.

4. Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB (Pasal 3) : Adalah objek pajak yang diperoleh :

(6)

a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas pelaksanaan timbal balik ;

b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum ;

c. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan ;

d. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perubahan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama ;

e. Orang pribadi atau badan karena wakaf ;

f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. 5. Subjek Pajak (Pasal 4) :

Yang menjadi Subjek Pajak (BPHTB) adala orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan.

6. Tarif Pajak (Pasal 5) :

Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen) : 7. Dasar Pengenaan Pajak (Pasal 6) :

a. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) ; b. NPOP adalah harga transaksi/nilai pasar/harga transaksi atau yang

tercantum dalam Risalah Lelang. Apabila harga transaksi/nilai pasar tidak ada atau lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan maka dasar pengenaan pajak (BPHTB) yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak PBB ;

c. Besarnya NJOP PBB dapat diketahui antara lain melalui SPPT PBB tahun terjadinya perolehan hak. Apabila SPPT PBB tahun terjadinya perolehan hak belum diterima, Wajib Pajak dapat memintanya ke KP PBB atau Kantor Kelurahan/Kantor Kepala Desa. Apabila SPPT PBB tahun terjadinya perolehan hak belum diterbitkan atau tanah dan atau bangunan tidak dikenakan PBB berdasarkan surat keterangan tentang besarnya NJOP PBB tersebut pada KP PBB dengan mengajukan permohonan secara tertulis. Apabila tanah dan atau bangunan belum terdaftar di KP PBB atau belum dikenakan PBB dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan lampirannya (LSPOP) untuk diterbitkan SPPT-nya dan pajak yang terutang dibayar sesuai dengan ketentuan.

8. Cara Menghitung Pajak (Pasal 7 dan 8) :

a. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) atau 5% x NPOPKP.

NPOPKP adalah NPOP dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) atau NPOPKP = NPOP - NPOPTKP. Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Kauangan :

(7)

1. Untuk Wilayah Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai sebesar Rp. 15.000.000,-

2. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk suami/ istri ditetapkan untuk wilayah Kabupaten Asahan, kabupaten Labuhan Batu dan Kota Tanjung Balai ditetapkan sebesar Rp.75.000.000,-

Contoh cara menhitung pajak yang terutang (dengan NPOPTKP) Rp.15.000.000,-

- NPOP = Rp. 100.000.000,-

- NPOPTKP = Rp. 15.000.000,- - NPOPKP = Rp. 85.000.000,-

- BPHTB yang terutang 5% x Rp. 85.000.000,- Rp. 4.250.000,-

b. Khusus untuk perolehan hak karena waris, hibah wasiat dan pemberian hak pengelolaan, cara menghitung besarnya pajak yang terutang sebagai berikut :

1. Waris (pasal 3 ayat (2) jo PP No. 111 tahun 2000) :

i. erolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh ahli waris dari pewaris yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia dan terutang BPHTB sejak tanah tersebut didaftarkan ;

ii. Besarnya BPHTB yang terutang adalah 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang ;

Contoh cara menghitungnya :

Seorang ahli waris memperoleh warisan sebidang tanah dan bangunan di atasnya dengan nilai pasar Rp. 40.000.000,- NJOP PBB-nya Rp. 50.000.000,- dan NPOPTKP Rp. 75.000.000,- maka besarnya BPHTB yang terutang :

- NPOP Rp. 50.000.000,- - NPOPTKP Rp. 75.000.000,- - NPOPKP Rp. Nihil

- BPHTB Terutang 5% x Rp. Nihil = Rp. Nihil

- BPHTB yang terutang = 50% x Rp. Nihil Rp. Nihil

Seorang ahli waris memperoleh warisan sebidang tanah dan dan bangunan di atasnya dengan nilai pasar Rp. 200.000.000,- NJOP PBB-nya Rp. 250.000.000,- dan NPOPTKP Rp. 75.000.000,- maka besarnya BPHTB yang terutang :

- NPOP Rp. 250.000.000,- - NPOPTKP Rp. 75.000.000,- - NPOPKP Rp. 175.000.000,-

(8)

- BPHTB yang seharusnya terutang : 5% x Rp. 175.000.000,- = Rp.

- BPHTB yang terutang = Rp. 50% x Rp. 8.750.000,- = Rp. 4.375.000,-

2. Hibah Wasiat (Pasal 3 ayat (2) jo. PP No. 111 Tahun 2000) :

i. Perolehan hak atas wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah waisiat yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

ii. Besarnya BPHTB yang terutang adalah 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.

Contoh cara menghitung.

Seorang anak memperoleh hibah wasiat dari ayah kandungnya sebidang tanah dan bangunan di atasnya dengan nilai Rp. 250.000.000,- NJOP PBB-nya Rp. 240.000.000,- dan NPOPTKP-nya Rp. 75.000.000,- (menggunakan NPOPTKP sebagaimana dimaksud pada angka 8.a.2), maka besarnya BPHTB yang terutang adalah :

- NPOP Rp. 250.000.000,- - NPOPTKP Rp. 75.000.000,- - NPOPKP Rp. 175.000.000,- - BPHTB yang seharusnya terutang

5% x Rp. 175.000.000,- = Rp. 8.750.000,- - BPHTB yang terutang = 50% x Rp. 8.750.000,- = Rp. 4.375.000,-

Yayasan Panti Ausahan “A” memperoleh hibah wasiat dari seseorang seibidang tanah dan bangunan di atasnya dengan nilai pasar Rp. 250.000.000,- NJOP PBB-nya Rp. 240.000.000,- dan NPOPTKP-nya Rp. 75.000.000,- (menggunakan NPOPTKP sebagaimana dimaksud pada angka 8.a.2) maka besarnya BPHTB yang terutang :

- NPOP Rp. 250.000.000,- - NPOPTKP Rp. 75.000.000,- - NPOPKP Rp. 175.000.000,- - BPHTB yang seharusnya terutang

5% x Rp. 175.000.000,- = Rp. 8.750.000,- - BPHTB yang terutang = 50% x Rp. 8.750.000,- = Rp. 4.375.000,-

3.a. Saat terutang pajak atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan (penerima hak) mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota.

(9)

b. NPOP-nya adalah nilai pasar saat pendaftaran. Dalam hal nilai pasar lebih rendah dari NJOP PBB tahun terjadinya perolehan hak;

c. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota hanya dapat melakukan pendaftaran pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSB.

4. Hak Pengelolaan (Pasal 3 ayat (2) jo PP No. 112 Tahun 2000) : adalah hak menguasai dari negara atas tanah yang kewenangan

pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga.

a. Besarnya BPHTB karena pemberian hak pengelolaan dalam hal penerima hak adalah Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota, lembaga Pemerintah lainnya, dan PERUM.

Perumnas adalah 0% dari BPHTB yang sehqrusnya terutang dalam hal pemberian hak pengelolaan selain tersebut di atas. Contoh cara menghitung :

- NPOP = Rp. 50.000.000,- - NPOPTKP = Rp. 15.000.000,- - NPOPKP = Rp. 35.000.000,- b. BPHTB yang seharusnya terutang

5% x Rp. 35.000.000,- = Rp. 1.750.000,-

BPHTB yang harus dibayar atas perolehan hak tersebut 0% x Rp. 1.750.000,- = Rp. 0,00

50% x Rp. 1.750.000,- = Rp. 875.000,- dalam hal penerima hak pengelolaan bukan Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota, Lembaga Pemerintah Lainnya dan Perum PRUMNAS.

c. Saat terutang pajak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya Keputusan Pemberian Hak.

d. NPOP-nya adalah nilai pasar. Dalam hal nilai pasar lebih rendah dari pada NJOP PBB, NPOP yang digunakan adalah NJOP PBB tahun terjadinya perolehan hak.

c. Penandatanganan dan penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan hanya dapat dilakukan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB (SBB) atau Surat Ketarangan Bebas BPHTB (SKB) dalam hal penerima hak pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota, Lembaga Pemerintah lainnya dan Perum PERUMNAS (Surat Keterangan Bebas BPHTB sebagai pengganti SSB).

(10)

i. Lembar ke-1 untuk Wajib Pajak ;

ii. Lembar ke-2 untuk Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; iii. Lembar ke-3 untuk KP. PBB.

9. Saat dan Tempat Pajak Terutang (Pasal 9) :

a. Saat yang menentukan pajak terutang adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, sejak tanggal putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sejak tanggal penerima hak karena waris atau hibah wasiat mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan, dan sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak.

b. Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak (Akta/Risalah Lelang). Surat Keputusan Pemberian Hak hanya dapat ditandatangani atau hanya dapat dilakukan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSB.

c. Tempat terutang pajak adalah wilayah Kabupaten atau kota atau propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.

10. Tata Cara Pembayaran Pajak.

Pasal 10 jo Keputusan Menteri Keuangan RI No. 517/KMK.04/2000) : a. Pemenuhan kewajiban membayar BPHTB berdasarkan sistem Self

Assesment, yaitu Wajib Pajak menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang tanpa menunggu terbitnya Surat Ketatapan Pajak;

b. Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos atau Bank BUMN atau bank BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat Setoran BPHTB (SBB) yang dibuat rangkap 5 :

- Lembar ke-1 untuk wajib pajak;

- Lembar ke-2 untuk KP. PBB melalui Bank/Kantor Pos Operasional V;

- Lembar ke-3 untuk KP. PBB disampaikan oleh WP; - Lembar ke-4 untuk Bank/Kantor Pos Persepsi;

- Lembar ke-5 untuk PPAT/Notaris/Kepala Kantor Lelang/Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota disampaikan oleh WP;

dalam hal BPHTB yang sharusnya terutang nihil, maka WP tetap harus mengisi SSB dengan keterangan Nihil yang diketahui oleh PPAT/ Notais/Kepala Kantor Lelang/Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Lembar 2,3 dan 4 SSB Nihil sisampaikan oleh WP ke KP. PBB.

c. SSB harus diisi dengan benar, jelas dan lengkap serta ditandatangani oleh WP dan petugas Bank/Kantor Pos Persepsi yang menerima pembayaran serta dibubuhi cap disampaikan oleh WP ke KP. PBB dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal pembayaran dengan melampirkan foto copy STTS PBB tahun perolehan hak dan tahun-tahun sebelumnya yang belum kadaluarsa;

(11)

d. SSB tersebut sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, juga berfungsi sebagai Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) PBB;

e. Apabila WP mengalami kesulitan dalam mengisi SSB, tidak mengetahui Nomor Objek Pajak (NOP) PBB, tidak mengetahui Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB tahun terjadinya perolehan hak, hendaklah menghubungi Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP.PBB) yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan/atau bangunan;

f. Formulir SSB dapat diperoleh di Kantor PPAT/Notaris, Kantor Lelang, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, KP. PBB, Bank/Kantor Pos Persepsi dan tempat lain yang ditunjuk oleh Kepala KP. PBB.

11. Penetapan dan Penagihan Pajak (Pasal 11, 12, 13, 14 dan 15) :

a. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar Direktur Jenderal Pajak (Kepala KP. PBB) dapat menerbitkan Surat Keterangan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB).

b. Apabila ditemukan data baru dan data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkan SKBKB, Kepala KP. PBB dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT). Jumlah kekurangan pajak dalam SKBKBT ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari kekurangan tersebut, kecuali WP melaporkan sendiri sebelum dilakukan pemeriksaan.

c. Direktur Jenderal Pajak (Kepala KP.PBB) dapat menerbitkan Surat Tagihan BPHTB (STB) apabila :

1. Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;

2. Dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;

3. WP dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau bunga. Cara menghitung bunga :

- Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SSB yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar sebelum dilaksanakan pemeriksaan, sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung sejak berakhirnya penyampaian SSB sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SSB.

- Dalam hal pajak terutang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran, sanksi administrasi berupa 2% dihitung sejak jatuh tempo sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan BPHTB (STB) untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.

- STB diterbitkan untuk menagih hutang pajak yang bersifat jelas dan pasti sesuai pengakuan Wajib Pajak dalam SSB serta tidak mengandung persengketaan antar fiskus dan Wajib Pajak. Oleh karenanya terhadap STB tidak dapat diajukan

(12)

keberatan oleh Wajib Pajak , STB dapat digunakan untuk menagih bunga penagihan dalam hal Surat Ketetapan Pajak atau STB tidak atau kurang dibayar setelah lewat jatuh tempo. d. Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam

SKBKB atau STB ditambah denda 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung sejak saat terutang pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKP atau STB;

c. Kepala KP. PBB atas nama Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak atau STB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; Surat Keputusan tersebut dapat berupa menambah, mengurangkan atau menghapuskan jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak atau STB;

Apabila setelah diterbitkan surat keputusan pembetulan ternyata masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-perundangan perpajakan dapat dilakukan pembetulan lagi. (Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-01/PJ.6/1999 tanggal 6 Januari 1999).

f. SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh WP. Apabila kurang atau tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa berdasarkan UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2000.

12. Keberatan dan Banding (Pasal 16,17,18 dan 19) :

a. WP dapat mengajukan keberatan kepada direktur Jenderal Pajak (Kepala KP. PBB atas : SKBKB, SKBKBT, SKBLB dan SKBN. Keberatan diajukan secara tertulis dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut WP dan disertai alasan yang jelas dan melampirkan foto copy SSB, Asli SKBKB/SKBKBT/SKBN foto copy Akta/Risalah Lelang/Surat Keputusan Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim serta foto copy KTP/SIM/Paspor/Kartu Keluarga/Identitas lain yang diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya surat ketetapan, kecuali jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena di luar kekuasaannya.

Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai suatu keberatan.

Keputusan keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.

b. Terhadap keputusan keberatan, WP dapat mengajukan permohonan bansing kepada Badan Peradilan Pajak. Permohonan diajukan secara tertulis dengan alasan-alasan yang jelasn dalam jangka waktu paling

(13)

lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima dengan melampirkan Salinan Keputusan Keberatan.

c. Pengajuan keberatan dan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

d. Apabila keberatan dan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebasar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. 13. Pengurangan BPHTB (Pasal 20 ayat (2) UU BPHTB jo Keputusan

Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 518/KMK.04/2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-221/Pj/2002 tanggal 8 Maret 2002).

A. Atas permohonan WP dapat diberikan pengurangan BPHTB dalam hal :

1. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan objek pajak yaitu :

a. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis ;

b. Wajib Pajak badan yang memperoleh hak baru selain hak pengelolaan dan telah menguasai tanah dan/atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari pejabat pemerintah daerah setempat ;

c. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah sederhana (RS), dan rumah susun sederhana serta rumah sangat sederhana (RSS) yang diperoleh langsung dari pengembang dan dibayar secara angsuran ; atau d. Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang

pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.

2. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu yaitu :

a. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah nilai Jual Objek Pajak;

b. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus; c. Wajib Pajak badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan

moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehinggaWajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;

(14)

d. Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger);

e. Wajib Pajak badan yang melakukan pembangunan usaha (merger) atau lepeburan usaha (konsolidasi) dengan atau terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan nilai buku dalam rangka penggaungan atau peleburan usaha dari Direktur Jenderal Pajak;

f. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta; atau

g. Wajib Pajak orang pribadi veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (Polri), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan Polri atau janda/dudanya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas Pemerintah.

3. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat. B. Pengajuan Permohonan Pengurangan.

1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan sebagaimana pada huruf a angka q angka 2a, 2b, 2c, 2f dan angka 3 kepada Kepala KP. PBB, sedangkan permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2a dan 2d kepada Direktur Jenderal Pajak.

2. Permohonan diajukan paling lambat jangka waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal pembayaran kecuali terjadi keadaan di luar kekuasaannya, diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dengan melampirkan : a. Untuk permohonan tersebut pada huruf a angka 1, angka 2a,

2b, 2c, 2f dan angka 3. - Foto copy SSB

- Foto copy atka/risalah lelang/keputusan pemberian hak baru/putusan hakim

- Foto copy KTP/SIM, Paspor/Kartu Keluarga/Identitas lain; - Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa.

b. Untuk permohonan tersebut pada huruf a angka 2c, 2d, - SSB dilegalisir;

(15)

yang ada hubungannya dengan penggabungan usaha (merger) atau dokumen lain yang membuktikan adanya restrukturisasi usaha dan atau utang usaha karena kebijaksanaan pemerintah.

3. Kepala KP. PBB atau Direktur Jenderal Pajak setelah menerma permohonan, memberikan tanda tangan;

4. Permohonan pengurangan tersebut pada huruf a angka 2c dan 2d diajukan sebelum Akta ditandatangani PPAT/Notaris dan Akta hanya dapat ditandatangani setelah WP menunjukkan tanda terima permohonan pengurangan dari Direktur Jenderal Pajak beserta SSB yang telah dilegalisir;

5. Atas permohonan Wajin Pajak Kepala KP. PBB atau Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan sederhana;

6. Permohonan yang tidak memenuhi syarat tidak dianggap sebagai surat permohonan pengurangan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan Kepala KP. PBB atau Kanwil Direktorat Jenderal Pajak memberitahukan kepada Wajib Pajak.

C. 1. WP dapa menghitung sendiri besarnya pengurangan BPHTB sebelum melakukan pembayaran sepanjang untuk permohonan sebagaimana tersebut pada huruf a angka 1, 2a, 2b, 2c dan 2 f dan angka 3 namun dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal pembayaran, WP wajib mengajukan permohonan pengurangan kepada Kepala KP. PBB. Apabila tidak mengajukan permohonan atau dari hasil pemeriksaan dalam rangka penyelesaian permohonan pengurangan menghasilkan keputusan menolak atau mengabulkan tetapi jumlah BPHTB yang terutang setelah pengurangan ternyata lebih besar daripada yang telah dibayar, maka terhadap jumlah yang kurang dibayar tersebut diterbitkan STB ditambah denda 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan (dua puluh empat bulan).

2. Pengisian SSB tetap dilakukan sebagaimana mestinya kecuali huruf D (jumlah setoran), diisi sebagai berikut :

- Memberikan tada “X” pada huruf D butur c dan mengisi keterangan “Pengurangan dihitung sendiri”;

- Jumlah setoran baik dengan angka maupun dengan huruf diisi sebesar BPHTB yang seharusnya dibayar dikurangi dengan besarnya pengurangan menurut perhitungan Wajib Pajak;

- Besarnya pengurangan mengacu kepada ketentuan

sebagaimana dimaksud pada huruf a.

3. Apabila setelah diadakannya pemeriksaan atau dari keterangan lain ternyata jumlah BPHTB yang seharusnya terutang lebih besar dari jumlah menurut perhitungan Wajib Pajak dalam SSB, maka terhadap kekurangan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Kurang Bayar BPHTB (SKBKB) ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka

(16)

waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

4. Terhadap BPHTB yang kurang dibayar dalam SKBKB tidak dapat diberikan pengurangan kembali.

D. Pemberian Pengurangan.

Besarnya pengurangan BPHTB ditetapkan oleh Kepala KP. PBB atau kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan sederhana yang dituangkan dalam berita acara.

1. Kepala KP. PBB atau Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangannya harus memberikan keputusan dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya permohonan;

2. Keputusan dapat berupa mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian atau menolak;

3. Apabila lewat jangka waktu 3 bulan keputusan belum diberikan, maka permohonan dianggap dikabulkan dengan mengacu kepeda ketentuan huruf a.

4. Keputusan pengurangan untuk Wajib Pajak tersebut pada huruf a angka 1, 2a, 2b, 2c, 2f dan angka 3 diberikan oleh Kepala KP. PBB atas nama Manteri Keuangan dalam hal pajak yang terutang lebih dari Rp. 2.500.000.000,- sedangkan keputusan pengurangan untuk wajib pajak tersebut pada huruf a angka 2c dan 2d diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.

5. Dalam hal kewenangan memberikan keputusan kepada Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak maka Kepala KP. PBB meneruskan permohonan pengurangan BPHTB kepada Kanwil Direktorat Jenderal Pajak atasannya dalam jangka waktu paling lama 14 hari sejak tanggal diterimanya surat permohonan.

6. Keputusan pengurangan :

a. Yang diterbitkan oleh Kepala KP. PBB disampaikan kepada Wajib Pajak dan tembusannya kepada Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Pajak ;

b. Yang diterbitkan oleh Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak dan tembusannya kepada kepala KP. PBB yang bersangkutan dan Direktur Jenderal Pajak;

c. Yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang bersangkutan.

7. Dalam hal wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan BPHTB tahun pajak 2000 dan belum diterbitkan keputusannya, maka keputusan pengurangan tersebut mengacu pada ketentuan yang berlaku pada saat terutangnya BPHTB.

(17)

Keputusan Dirjen Pajak No : KEP-24/PJ.6/1997 dan Surat Bersama (SKB) Dirjen Pajak dan Dirjen

KEP - 27 / PJ.6 / 1997 Anggaran Nomor : ____________________ 6399b/ A.6 / 61 / 1997

A. Pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB dapat diberikan dalam hal:

1. Pajak yang dibayar lebih besar dari yang seharusnya terutang; 2. Pajak yang dibayar tidak seharusnya terutang;

3. Permohonan pengurangan dikabulkan;

4. Keberatan atas Surat Ketetapan BPHTB dikabulkan sebagian atau seluruhnya;

5. Permohonan banding terhadap keputusan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya;

6. Perubahan peraturan.

B. Untuk memperoleh pengembalian, WP harus mengajukan

permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak (Kepala KP. PBB) dengan menyebutkan jumlah kelebihan pembayaran disertai alasan yang jelas dengan melampirkan dokumen pendukung antara lain : 1. Asli SSB;

2. Foto copy Surat Keputusan Keberatan/Banding atau Surat Keputusan Pengurangan;

3. Foto copy Akta/Risalah Lelang/Keputusan Pemberian Hak Baru/ Putusan Hakim;

4. Foto copy KTP/SIM/Paspor/Kartu Keluarga/Identitas lain.

C. Kelebihan pembayaran karena keberatan atau banding yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya, dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

15. Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB (Pasal 23 Jo Keputusan Menteri Keuangan No. 519/KMK.04/2000) :

1. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah dengan imbangan sebagai berikut :

a. 20% untuk Pemerintah Pusat; b. 80% untuk Pemerintah Daerah. 2. Jumlah 80% dari dirinci sebagai berikut :

a. 16% untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan dan disalurkan melalui Rekening Kas Daerah Propinsi;

b. 64% untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota.

3. Jumlah 20% bagian Pemerintah Pusat dibagikan secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota setelah dikurangi untuk :

(18)

a. Pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB sebesar pengeluaran tahun anggaran sebelumnya;

b. Biaya administrasi peningkatan pelayanan BPHTB sebesar 1% dari bagian Pemerintah Pusat;

c. Pemberian imbalan bunga sebesar pengeluaran pada tahun anggaran sebelumnya.

4. Hasil penerimaan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3 merupakan pendapatan asli daerah dicantumkan di dalam APBD.

16. Ketentuan Bagi Pejabat (Pasal 24, 25 dan 26 UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000) :

A. 1. PPAT / Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran pajak;

2. Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran pajak;

3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran pajak;

4. Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran pajak;

5. Bukti pembayaran pajak dimaksud berupa Surat setoran BPHTB (SSB).

B. 1. PPAT/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara Melaporkan pembuatan akta atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan ke Direktorat Jenderal Pajak (KB. PBB) selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan berikutnya ;

2. Laporan bulanan tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan di dalam :

- PP No. 34 Tahun 1997

- Keputusan Menteri Keuangan No. 636/KMK.04/1997 - SKB Kepala BUPLN dan Dirjen Pajak

No KEP - 27/PN/1997 KEP - 28 /Pj.6/1997

- SKB Menteri Negara Agraria/Kepala BPN dan Dirjen Pajak No. SKB : 2 Tahun 1998

KEP - 179/Pj/1998

- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-34/PJ.6/1997

C. 1. PPAT/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan pada huruf A angka 1 dan angka 2 dikenakan sanksi administrai dan denda sebesar Rp. 7.500.000,- untuk setiap

(19)

2. PPAT/Notaris yang melanggar ketentuan pada huruf B dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,- untuk setiap pelanggaran;

3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah yang melanggar ketentuan pada huruf A angka 3 dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;

4. Pejabat pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan pada huruf A angka 4 dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. Kepala Kantor Lelang Negara yang melanggar ketentuan pada huruf B, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Keterlibatan pejabat dalam pelaksanaan Undang-undang BPHTB ini merupakan bagian dari tugas dan fungsinya selaku pejabat dimaksud dan bukan sekedar membantu.

17. Undang-undang lain yang diacu, diperhatikan, dan dikaitkan dengan pembentukan dan pelaksanaan Undang-undang BPHTB Pembentukan dan pelaksanaan Undang-undang ini memperhatikan, mengacu dan dikaitkan dengan Undang-Undang lainnya, yaitu :

a. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; b. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan;

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000;

c. UU No. 12 Tahun 1985 tetang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1994;

d. UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun;

e. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak; f. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000.

18. Uraian kerja instansi terkait dalam menunjang pengawasan pelaksanaan pengenaan dan pembayaran BPHTB

a. PPAT /Notaris, KLN, Kantor Pertanahan melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Menyerahkan formulir SSB rangkap 5 yang telah disediakan kepada WP yang hendak membuat akta jual beli, pemenang lelang, atau WP yang mengajukan pendaftaran permohonan hak atas tanah.

2. Dengan berkoordinasi dengan KP. PBB, melakukan penelitian keabsahan SSB, melakukan pengecekan jumlah BPHTB yang dibayar sesuai dengan NJOP PBB yang berlaku atau jumlah BPHTB

(20)

yang seharusnya dibayar, dan jika nilai transaksi lebih besar dari NJOP PBB (bagi Notaris/PPAT) melakukan pengecekan jumlah BPHTB yang dibayar sesuai dengan nilai transaksi.

3. Dalam hal BPHTB yang dibayar oleh Wajib Pajak kurang dari yang seharusnya, maka Wajib Pajak diharuskan terlebih dahulu melunasi BPHTB yang seharusnya terutang.

4. Menyampaikan laporan bulanan pembuatan akta PPAT (untuk PPAT), pembuatan Akta Notaris (Notaris), pembuatan risalah lelang (KLN) disertai foto copy SSB kepada Kepala KP. PBB paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, dan tembusannya dikirimkan ke Kepala Dinas/Sub Dinas Pendapatan Daerah.

5. Membantu memberikan penjelasan dan sosialisasi BPHTB di wilayah kerjanya.

b. Dinas/Sub Dinas Pendapatan Daerah melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Mengadministrasikan laporan bulanan pembuatan akta PPAT/Akta Notaris, laporan bulanan pembuatan risalah lelang dari Kantor Lelang dan laporan tindak lanjut penyelesaian Wajib Pajak yang belum atau kurang bayar BPHTB dari Kantor Pertanahan setempat.

2. Melakukan evaluasi laporan bulanan dari PPAT dan Kantor Lelang serta laporan hasil tindak lanjut penyelesaian dari Kantor Pertanahan setempat.

3. Mengkoordinasikan secara periodik upaya-upaya intensifikasi pengenaan BPHTB.

4. Memberikan penjelasan dan sosialisasi BPHTB di wilayah kerjanya.

c. Kantor Pelayanan PBB melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Mengadministrasikan laporan/pemberitahuan bulanan dan PPAT/Notaris, Kantor Pertanahan, Kantor Lelang Negara serta SSB lembar 3 dan Wajib Pajak.

2. Meneliti data SSB lembar 3 dan lembar 2.

3. Mengadministrasikan rekening koran dan SSB lembar 2 dari BOV. 4. Mengkonfirmasikan data rekening koran dengan SSB lembar 2. 5. Melaporkan realisasi penerimaan BPHTB kepada Kepala Kanwil

DJP.

6. Menerbitkan, mengadministrasikan dan menagih STB, SKBKB, dan SKBKBT yang telah dibayar lunas oleh Wajib Pajak.

7. Membantu wajib pajak dalam hal terjadi kesalahan setor BPHTB dan memproses lebih lanjut ke KPKN.

8. Meneliti pemenuhan kewajiban BPHTB berdasarkan SSB, laporan bulanan PPAT, laporan bulanan risalah lelang oleh Kepala Kantor Lelang/Pejabat Lelang serta pemberitahuan bulanan kantor pertanahan.

(21)

9. Menerbitkan STB, SKBKB dan SKBKBT atas wajib pajak yang belum atau kurang bayar BPHTB dan menginformasikan kepada Kantor Pertanahan yang bersangkutan.

10. Memberikan data NJOP dan informasi lain yang diperlukan berkenaan dengan pelaksanaan BPHTB kepada Kantor Pertanahan dan Dipenda serta unit-unit/instansi terkait.

11. Berkoordinasi dengan unit-unit/instansi terkait dalam upaya peningkatan pengawasan pembayaran BPHTB.

12. Memberitahukan kepada Kepala Kantor Pertanahan nama-nama PPAT yang tidak lengkap mengisi laporan dan/atau kurang aktif menyampaikan laporan bulanan pembuatan akta.

13. Memberikan penjelasan dan sosialisasi BPHTB di wilayah kerjanya.

14. Memutahirkan data PBB berdasarkan SSB lembar 3.

d. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Mengadministrasikan laporan pelaksanaan BPHTB dan KP.PBB dan unit-unit/instansi terkait.

2. Menghimpun dan memberitahukan daftar PPAT yang tidak lengkap mengisi laporan dan/atau kurang aktif menyampaikan laporan PPAT kepada Kepala Kanwil BPN.

3. Memberikan data NJOP dan informasi lain yang diperlukan dalam pelaksanaan BPHTB kepada Kanwil BPN dan Dipenda.

4. Melakukan pengawasan pelaksanaan pemutakhiran data PBB berdasarkan SSB lembar 3.

5. Melakukan pengawasan penerbitan STB, SKBKB, SKBKBT.

6. Memberikan penjelasan dan sosialisasi BPHTB di wilayah kerjanya.

e. Bank Persepsi (Bank Tempat Pembayaran) melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Menerima pembayaran BPHTB sesuai jumlah nominal rupiah pada SSB.

2. Memberikan pengesahan/validasi pada setiap lembar SSB.

3. Menyerahkan SSB yang telah diberikan tanda

pengesahan/validasi lembar 1, 3 dan 5 kepada wajib pajak.

4. Mengadministrasikan penerimaan Pembayaran BPHTB dan SSB ke-4

5. Melimpahkan penerimaan pembayaran BPHTB dengan dilampiri SSB lembar 2 kepada BO V setiap Hari Jum’at atau hari kerja berikutnya apabila hari Jum’at libur.

6. Menyampaikan rekening koran mingguan rangkap 2 kepada BO V. 7. Menyusun rekening koran sampai dengan akhir bulan dan

menyampaikan kepada KPKN dan BO V.

8. Membantu memberikan penhjelasan mengenai BPHTB di wilayah kerjanya.

(22)

Daftar Singkatan

A. BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan B. SPOP : Surat Pemberitahuan Objek Pajak

C. LSPOP : Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak

D. SPPT PBB : Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan

E. STTS PBB : Surat Tanda Terima Setoran Pajak Bumi dan Bangunan F. NJOP : Nilai Jual Objek Pajak

G. NPOP : Nilai Perolehan Objek Pajak

H. NPOPKP : Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak I. NPOPTKP: Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak J. SSB : Surat Setoran BPHTB

K. STB : Surat Tagihan BPHTB

L. SKBKB : Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar

M. SKBKBT : Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan N. SKBLB : Surat Ketetapan BPHTB Lebih Bayar

O. SKBN : Surat Ketetapan BPHTB Nilai Bayar P. SKB : Surat Ketetapan Bebas BPHTB

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilaksanakan di Akademi Meteorologi dan Geofisika Jakarta dari bulan Januari – Mei 2013. Dalam melakukan analisa, data yang digunakan adalah data kemiringan

Hasil belajar mahasiswa pada siklus I diperoleh nilai rata-rata 76,77% meningkat pada siklus II dengan nilai rata-rata 83,63 dengan demikian dapat disimpulkan

Mengetahui jenis pakan sumber protein apakah yang menghasilkan produksi kroto semut rangrang (Oecophylla smaragdina) tertinggi yang dibudidaya. Hasil dari penelitian ini

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa Sig 0.000 lebih kecil sama dengan 0.05 maka Ho5 ditolak, yakni Net Profit Margin, Dividend Payout Ratio, Leverage dan Ukuran Dewan

Apabila seluruh sumber daya intelektual yang dimiliki perusahaan dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik maka akan menciptakan value added bagi perusahaan sehingga

Dari hasil analisis deskriptif tersebut, diperoleh hasil 14 atau 41% home industri sambel pecel di kota Madiun mempunyai hasil produksi yang tinggi karena berada di

Hal ini sesuai dengan penelitian Basu dan Van (1998) dalam teori “Luxury Axiom” menyatakan bahwa rumah tangga mengirim anak-anak mereka untuk bekerja hanya ketika didorong

Di kebanyakan provinsi di paling selatan Iran, salinitas tanah adalah masalah yang berkembang, khususnya di irigasi daerah pertanian, dan telah