• Tidak ada hasil yang ditemukan

ICASERD WORKING PAPER No.55

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ICASERD WORKING PAPER No.55"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ICASERD WORKING PAPER No.55

Keragaan, Kendala dan Manfaat

Penerapan Teknologi PHT Kakao Rakyat

di Kolaka, Sulawesi Tenggara

Valeriana Darwis

Juli 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

(2)

ICASERD WORKING PAPER No. 55

Valeriana Darwis

Juli 2004

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496

E-mail : caser@indosat.net.id

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Departemen Pertanian

Keragaan, Kendala dan Manfaat

Penerapan Teknologi PHT Kakao Rakyat

di Kolaka, Sulawesi Tenggara

(3)

Keragaan, Kendala dan Manfaat Penerapan Teknologi PHT Kakao Rakyat di Kolaka, Sulawesi Tenggara

Valeriana Darwis

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRAK

Program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan salah satu upaya menuju pertanian organik yang memerlukan perubahan cara berpikir dengan pendekatan atau falsafah pengendalian hama dan penyakit. Konsepsi atau falsafah PHT merupakan pendekatan ekologis dan ekonomis dari pengendalian hama dalam kerangka pengelolaan ekosistem pertanian secara menyeluruh. Program PHT untuk komoditas perkebunan dirintis tahun 1997 dan dilaksanakan pada tahun 1998 di lima provinsi untuk lima komoditas, Pada tahun 2002 mulai diperluas menjadi 7 provinsi termasuk salah satunya adalah Provinsi Sulawesi Tenggara dengan komoditas kakao. Dalam mengikuti program tersebut ada beberapa manfaat yang dirasakan oleh petani kakao di Provinsi Sulawesi Utara, antara lain mengetahui jenis OPT kakao, menerapkan teknologi pengendalian OPT, yaitu : panen sering, pemangkasan, sanitasi, pemupukan. Petani mulai mengurangi pemakaian pestisida baik dari jenis, volume maupun frekuensinya. Sedangkan yang menjadi kendala dalam mengikuti program ini adalah kekurangan tenaga kerja dan susahnya mendapat ramuan dalam membuat pestisida nabati (pesnab).

Kata kunci : kendala, manfaat, PHT, kakao

PENDAHULUAN

Program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan salah satu upaya menuju pertanian organik yang memerlukan perubahan cara berpikir dengan pendekatan atau falsafah pengendalian hama dan penyakit. Konsepsi atau falsafah PHT merupakan pendekatan ekologis dan ekonomis dari pengendalian hama dalam kerangka

pengelolaan ekosistem pertanian secara menyeluruh. Menurut Stren et al., (1959) dalam

Untung (1997) PHT merupakan penggabungan antara pengendalian kimiawi dengan pengendalian hayati menjadi konsep pengelolaan agroekosistem untuk menekan populasi/kerusakan hama yang menguntungkan secara ekonomis dengan menggunakan berbagai cara pengendalian terpadu secara harmonis. Ini berarti bahwa setiap pengendalian hama harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara ekologis dan ekonomis, sehingga pelaksanaan PHT dapat menjaga kelestarian lingkungan dan sekaligus mempertahankan dan meningkatkan efisiensi produksi yang kesemuanya berarti peningkatan daya saing komoditas bersangkutan.

Tujuan yang ingin dicapai dalam proyek PHT (PHTPR.2001) pada sub sektor perkebunan adalah mendorong penerapan PHT sebagai suatu cara pendekatan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dinamis dan aman terhadap

(4)

lingkungan oleh petani perkebunan rakyat melalui pemberdayaan kelompok tani dengan dukungan perangkat pemerintah yang terkait. Diharapkan nantinya kegiatan ini akan berpengaruh terhadap (1) peningkatan produktifitas hasil dan pendapatan petani, (2) pengurangan biaya produksi melalui pengurangan penggunaan pestisida, (3) meningkatnya mutu hasil dan menghasilkan produk perkebunan bebas residu pestisida. (4) mempertahankan dan melindungi kelestarian lingkungan.

PHT perkebunan rakyat di Indonesia mulai dirintis tahun 1997, tetapi dalam pelaksanaannya dimulai pada tahun 1998. Lokasi PHT pertama kali di terapkan di lima provinsi (Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Utara dan sumatera Selatan) dengan lima komoditas unggulan (teh, kopi, lada, kakao dan kapas). Setelah diimplementasikan dan dievaluasi pada tahun 2002 kegiatan tersebut di perluas ke tujuh provinsi lainnya dan salah satunya adalah Provinsi Sulawesi Tenggara dengan komoditas kakao. Dengan uraian diatas maka tulisan ini bertujuan ingin melihat keragaan, manfaat dan kendala penerapan PHT kakao di Sulawesi Tenggara.

METODA PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2003 dengan metode survai. Lokasi penelitian dilakukan di Propinsi Sulawesi Tenggara yang merupakan wilayah sentra produksi dan sekaligus juga merupakan wilayah lokasi SLPHT kakao. Dengan pertimbangan yang sama dipilih kabupaten dan kecamatan contoh, yaitu Kolaka dan Lodonge. Untuk Kecamatan Ladonge dipilih dua desa yang dibedakan dari jarak dari desa tersebut ke pasar kecamatan, dengan tujuan apakah dengan perbedaan kelembagaan atau faktor pendukung memberikan kinerja yang berbeda. Dengan kriteria tersebut, maka terpilih desa Ladonge yang dekat dengan pasar kecamatan dan sebaliknya Desa Raraa dan Desa Pange-pange untuk lokasi penelitian yang jauh dari pasar kecamatan.

Data yang dikumpulkan terdiri data primer dan sekunder, data primer diperoleh dari wawancara langsung ke petani, kelompok tani, tokoh masyarakat, pedagang sarana produksi, pengolah hasil, pedagang output disetiap tingkatan, penyuluh, serta aparat dari dinas terkait. Jumlah petani responden dikelompokan kedalam 30 petani peserta PHT dan 30 petani non peserta PHT dengan lokasi yang berjauhan. Pemilihan responden petani peserta PHT dilakukan secara acak dari 50 petani yang ikut PHT. Petani non PHT dilakukan secara acak dari populasi petani kakao yang ada di lokasi penelitian.

(5)

Sementara itu data sekunder diperoleh dari dinas perkebunan, perdagangan, statistik dan dinas terkait lainnya.

Data dan informasi tersebut dikumpulkan dan dianalisa dengan metode deskriptif kualitatif dan analisa tabulasi silang.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Kakao Sulawesi Tenggara

Tanaman kakao sudah lama dikenal di Indonesia. Pada masa tahun 70-an pengembangan budidaya komoditi ini dilaksanakan secara besar-besaran dan pada waktu itu mulai dikelompokan ke dalam 3 golongan usaha perkebunan, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta. Dari ketiga bentuk usaha perkebunan tersebut, perkebunan rakyat yang paling menonjol baik dari luas areal maupun produktivitasnya. Dari waktu ke waktu perkembangan komoditas ini terus meningkat, dan akhirnya membentuk beberapa daerah sentra penghasil kakao di Indonesia dan salah satunya adalah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Areal tanaman perkebunan kakao meningkat terus, karena adanya kebijakan dari pemda setempat yang memasukan tanaman kakao termasuk tanaman prioritas yang dipacu. Disisi lain juga diharapkan penambahan lahan akan mengakibatkan terjadi penambahan produksi dengan cara meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas ini sudah dilakukan pemerintah daerah dengan memberikan berbgaai pelatihan, hal sama juga dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, perusahaan swasta, maupun bantuan dari luar negeri. Dengan adanya berbagai program peningkatan kakao tersebut bagi petani ini merupakan langkah nyata untuk ikut memajukan agrobisnis kakao ini. Hal ini tergambarkan dari keseriusan dalam mengikuti semua program yang ada, bahkan petani yang kebetulan tidak dapat ikut serta, mereka mencari informasi ke petani peserta.

Sejalan dengan meningkatnya luas areal kakao, produksi komoditas ini juga menunjukan kenaikkan yang cukup tinggi, dengan pertumbuhan sekitar 9,8 persen pertahun selama periode 1990-2002. Pata tahun 1990 produksi yang dicapai baru sekitar 23.570 ton, tetapi dalam masa 12 tahun kemudian produksi tersebut meningkat sangat pesat sehingga mencapai 93.900 ton (Tabel 1). Ini berarti bahwa respon petani terhadap

(6)

perkembangan kakao sangat positif, walaupun petani masih menghadapi berbagai kendala.

Produktivitas tanaman kakao sangat berfluktuatif. Produktivitas paling tinggi terjadi pada tahun 1993 (1.115 kg/ha) dan yang terendah pada tahun 1996 (891 kg/ha) lebih tinggi dari rataan nasional (950,90 kg/ha). Adapun produktivitas yang stagnan dapat disebabkan oleh : adopsi teknologi yang tidak berkembang, hama/penyakit yang menyerang tanaman, serta komposisi umur dari tanaman tersebut.

Tabel.1. Perkembangan areal, produksi dan produktivitas Kakao di Sulawesi Tenggara (1990-2002) Tahun Areal (000 Ha) Produksi (000 Ton) Produktivitas (Kg/Ha) 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 59,137 75,124 74,372 76,337 84,274 92,061 95,065 97,027 96,658 109,510 113,275 116,801 127,547 23,57 38,18 39,25 48,58 44,04 51,13 54,50 62,94 75,77 71,49 69,36 86,66 93,90 1020,17 1109,47 958,89 1115,02 906,26 918,67 891,23 952,63 1129,51 951,35 899,19 1019,51 986,99 Trend 4,13 9,8 2,43

Sumber : Statistik perkebunan Sulawesi Tenggara, 1990-2002

Salah satu sentra penghasil kakao di Sulawesi Tenggara adalah Kabupaten Kolaka dan kecamatan yang paling banyak menghasilkan biji kakao adalah Kecamatan Ladongi. Luas areal kakao rakyat di Kabupaten Kolaka pada kurun waktu lima tahun belakangan ini memperlihatkan terjadinya penambahan luas sebesar 6,31 persen pertahun atau rata-rata tanam areal 71 767 Ha/tahun atau 6,31 persen pertahun (Tabel 2). Sementara luas tanam kakao rakyat cenderung meningkat. Produksinya berfluktuatif dari 59.899 ton pada tahun 1998 menjadi 55.926 ton pada tahun 2000 dan 74.614 ton pada tahun 2002. Fluktuatif produksi tersebut terjadi karena fluktuatif produktivitas kakao yang pertumbuhannya selama periode 1998-2002 dapat dikatakan tidak meningkat, sebagai akibat dari keadaan hama/penyakit dan iklim.

(7)

Tabel. 2. Perkembangan luas areal dan produksi kakao rakyat di Kabupaten Kolaka

Tahun Areal ( Ha) Produksi ( Ton) Produktivitas

1998 1999 2000 2001 2002 63959 67815 70518 74834 81709 59899 57812 55926 63595 74614 936 852 793 850 913 Trend 6,31 5,65 - 0,02

Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Kolaka, 2002

Pelaksanaan Kegiatan PHT Kakao

Penerapan teknologi PHT di tingkat petani memiliki tujuan, yaitu (1) secara ekonomis menguntungkan, (2) secara sosial tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat, dan (3) secara teknis dapat diterapkan oleh petani. Penerapan teknologi tersebut diharapkan dapat meningkatkan dan memantapkan produktivitas, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, mempertahankan populasi hama atau kerusakan yang ditimbulkannya tetap berada pada tingkat yang secara ekonomis tidak merugikan, dan sekaligus menjaga kualitas dan keseimbangan lingkungan dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi Utara, 2001).

Selanjutnya diinformasikan, bahwa untuk dapat mewujudkan keinginan tersebut, maka penerapan teknologinya harus sesuai dengan prinsip PHT yang telah disepakati oleh Program Nasional, yaitu (1) budidaya tanaman sehat, (2) melestarikan musuh alami, (3) pengamatan kebun secara rutin, dan (4) petani menjadi manejer dan ahli di kebunnya sendiri. Prinsip-prinsip tersebut, dalam penerapannya dilakukan dengan menggabungkan berbagai kultur teknis yang dikenal dengan komponen PHT yang meliputi: (1) panen sering, (2) sanitasi, (3) pemangkasan, dan (4) pemupukan.

Rekomendasi teknis yang diterapkan dalam pelaksanaan SL-PHT merupakan penjabaran dari prinsip dan komponen pengendalian hama terpadu itu sendiri yang meliputi berbagai kegiatan seperti :

Budidaya Tanaman Sehat

Dalam upaya menciptakan budidaya tanaman sehat atau menciptakan suasana kebun yang sehat dilakukan dengan memadukan cara kultur teknik melalui panen sering

(8)

yang diikuti dengan sanitasi, pemangkasan (produksi dan bentuk), sambung samping dan sambung pucuk.

Panen sering

Buah kakao memerlukan kurang lebih 20,5 minggu sejak dari pembuahan sampai dengan masak sempurna. Sementara perkembangan hama untuk meletakkan telur terjadi sebelum buah masak sempurna. Dengan demikian memanen buah pada saat buah masak awal akan memberi peluang sebagian larva ikut terpanen dan akan memberi pengaruh terhadap penurunan hama. Memanen buah pada saat masak awal yang dikombinasikan dengan frekuensi panen sesering mungkin (7 hari sekali), dapat menurunkan populasi hama, bahkan tidak berbeda nyata dengan perlakuan insektisida

(Tay, 1987; Mumford & Ho , 1988; Wood, 1987; dalam Wiryadiputra et al., dan Yusdja et

al., 1992 1994). Rotasi panen tergantung pada musim, pada musim buah banyak

biasanya panen dilakukan 1 minggu sekali dan pada waktu buah kurang dilakukan 1–2 minggu sekali.

Sanitasi

Sanitasi kebun merupakan suatu perlakuan yang harus dibiasakan dan cukup penting untuk hampir semua komoditi perkebunan. Untuk kakao sanitasi dengan cara membenam semua kulit buah, daun dan sampah lain dipermukaan penting buat kontrol hama Pengerek Buah Kakao (PBK) dan Busuk Buah Kakao (BBK).

Pemangkasan

Tanaman kakao dengan cabang-cabang yang masih lengkap memungkinkan tanaman tumbuh dengan sangat rimbun, apabila tidak dilakukan pemangkasan, maka akan menekan pertumbuhan generatip dan akan menciptakan suatu lingkungan yang baik bagi perkembangan penyakit, karena kelembabannya bertambah tinggi.

Pemangkasan adalah kegiatan memotong atau membuang bagian-bagian tertentu yang tidak dikehendaki dan bagian yang sakit dari tanaman kakao. Dalam petunjuk studi SLPHT 2001 dijelaskan tentang manfaat dari pemangkasan tanaman kakao, yaitu lain :

1. Membentuk pohon yang baik dengan percabangan yang seimbang, sehingga penyebaran daun merata dan penerimaan sinar matahari menjadi merata.

(9)

2. Membuang cabang-cabang yang tidak diinginkan, antara lain tunas air, tunas sapu, cabang yang sakit, cabang kering dan cabang-cabang yang terlindung. 3. Menjamin aerasi (sirkulasi udara) di dalam kebun yang baik.

4. Meningkatkan produksi kakao.

Pemupukan

Kegiatan pemupukan baik dengan menggunakan pupuk anorganik (Urea, TSP dan KCl) maupun pemupukan organik berupa bokashi yang dibuat sendiri oleh peserta PHT secara berimbang, tepat cara dan tepat waktu dapat meningkatkan produktivitas dan ketahanan tanaman terhadap serangan OPT. Menurut informasi dari Dinas Perkebunan propinsi Sultra, bahwa dosis pemupukan anorganik yang efektif adalah Urea 165 gram/pohon, TSP-36 288,75 gram/pohon, dan KCl 127 gram/pohon. Sedangkan waktu pemupukan yang baik pada akhir musim hujan atau menjelang musim kemarau, cara pemupukan ditugal 4 lubang sedalam 10 cm dengan jarak 0,75 cm dari pohon. Pelestarian Musuh Alami

Upaya yang diterapkan adalah pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) tanpa penyemprotan pestisida kimia dan memelihara pohon pelindung seperti durian, sirsak, dan mengkudu yang berada di sekitar kebun kakao, dengan maksud sebagai tempat berkembangnya musuh alami. Pada prinsipnya pengendalian hama penyakit dilakukan apabila dari data hasil pengamatan populasinya melebihi musuh alami yang ada atau tingkat serangan hama, penyakit telah merugikan secara ekonomi.

Sebagai alternatif penyemprotan digunakan pestisida nabati (pesnab) yang dibuat sendiri oleh peserta PHT. Adapun bahan baku untuk pembuatan pestisida nabati tersebut yaitu : Ubi Gadung, Broto wali, Tembakau, Daun Sirih, Buah Maja (isinya), Kapur Barus Akar Tuba, dan Air secukupnya.

Pestisida nabati merupakan racun hama tanaman kakao yang ekonomis, praktis dan ramah lingkungan. Tindakan pengendalian hama secara terpadu dengan kegiatan SL-PHT selama ± 5 (lima) bulan dengan pertemuan 20 kali memberikan hasil signifikan dalam menekan populasi dan tingkat serangannya. Untuk mengetahui perkembangan hama, penyakit dan keberadaan musuh alami dilakukan pengamatan setiap minggu dengan maksud untuk mengetahui perkembangan tingkat serangan hama, penyakit dan keberadaan musuh alami secara umum. Dengan penerapan akan prinsip-prinsip dasar

(10)

seperti diuraikan di atas pada akhirnya diharapkan akan mampu menciptakan pelaku utama (petani) menjadi ahli dalam pengelolaan kebunnya sendiri. Disamping itu, petani akan mampu untuk mentransfer pengetahuan dan keterampilan teknisnya kepada sesama petani lain.

Pengetahuan dan Pengenalan Petani terhadap OPT dan Musuh Alami Kakao

Pendeskripsian mengenai pengetahuan dan penerapan teknologi PHT ini dilakukan pada bulan Juni 2003 (7 bulan setelah kegiatan SL-PHT). Untuk melihat apakah diterapkan atau tidak teknologi yang diadopsi petani memang harus dilakukan penelitian yang komprehensif dan berkelanjutan, dari mulai perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi di lapang oleh aparat yang terkait. Namun demikian, pendiskripsian yang dilakukan mengenai seberapa jauh tingkat pengetahuan dan kemampuan petani menerapkan teknologi PHT merupakan langkah awal yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan program PHT.

Salah satu pendiskripsian tentang pengetahuan dan penerapan teknologi PHT oleh petani adalah pengenalan terhadap OPT dan musuh-musuh alaminya. Dari Tabel 3, terlihat bahwa sebagian besar responden sudah dapat mengenali dan mengetahui keberadaan OPT yang menyerang tanaman kakao dikebunnya. Untuk petani alumni memberikan respon 100 persen sudah mengetahui keberadaan OPT yang berada di kebunnya, sedangkan respon petani non PHT terhadap pengetahuan OPT sangat bervariasi, namun dari sekian banyak OPT yang sudah cukup dikenal petani non PHT adalah penyakit Busuk Buah Kakao (BBK), hama Pengerek Buah Kakao (PBK) dan Helopeltis sp., respon yang diberikan dalam mengetahui OPT tersebut masing-masing 100 persen, 90 persen dan 70 persen.

Bagi petani alumni PHT, pengetahuan tentang jenis OPT ini tentunya diperoleh dari program PHT yang pernah diikutinya, dimana salah satu materi pokok dalam PHT adalah pengamatan agroekosistem, termasuk pengamatan dan pengenalan OPT dan musuh-musuh alaminya. Sedangkan untuk petani non PHT pengetahuan mengenai OPT ini diperoleh dari sesama petani yang telah mengikuti PHT dan atau PPL. Dari sekian jenis OPT yang dikenalinya merupakan hama penyakit yang umum menyerang pertanaman kakao, seperti BBK dan PBK dimana penyebarannya sudah merata di hampir semua kebun, dan keberadaannya dapat ditemukan hampir sepanjang tahun.

(11)

Tabel 3. Pengetahuan petani alumni peserta PHT dan Non PHT dalam pengenalan OPT dan musuh alami di lokasi penelitian Sultra, 2003 (%)

No. Uraian Alumni SL-PHT Non SL-PHT

1. Pengetahuan tentang jenis OPT

di perkebunan kakao : a. PBK b. BBK c. Helopeltis sp. d. Penggerek batang e. Kanker batang f. Tikus g. Tupai h. Tidak tahu 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 0,00 90,00 100,00 70,00 43,33 56,67 13,33 0,00 0,00 2. Pengetahuan tentang serangan hama yang

dapat merugikan :

a. Dari sebaran populasi hama yang

terdapat di kebun

b. Dari banyaknya populasi pohon yang rusak

c. Dilihat dari hasil produksi yang menurun d. Perkiraan saja e. Tidak tahu 13,33 36,67 50,00 0,00 0,00 6,67 20,00 70,00 3,33 0,00 Total 100 100

3. Pengetahuan tentang musuh alami dan cara mengenalinya :

a. Jenis musuh alami (1) Semut hitam (2) Semut angkrang (3) Laba-laba (4) Tidak tahu b. Cara mengenalinya (1) Warna (2) Bentuk (3) Sarang (4) Pemangsaan (5) Tidak tahu 100,00 100,00 100,00 0,00 100,00 100,00 100,00 86,67 0,00 73,33 60,00 50,00 26,67 66,67 60,00 33,33 0,00 33,33

Sumber : M. Siregar, et al., 2004

Jenis OPT yang potensial atau yang dapat merugikan, dapat dilihat dari intensitas serangan dan akibat yang ditimbulkannya. Semakin tinggi intensitas dan akibat yang ditimbulkan dapat menunjuk pada jumlah sebaran populasi OPT, banyaknya populasi pohon yang terserang, dan hasil produksi yang menurun.

Tabel 3, memperlihatkan bahwa petani alumni PHT menyatakan jenis hama penyakit yang dapat merugikan berdasarkan pada sebaran jumlah populasi OPT (13,33%), banyaknya populasi pohon yang terserang (36,67%), dan dari hasil produksi

(12)

yang menurun (50%). Sedangkan pada petani non SL-PHT memberikan respon terhadap sebaran jumlah populasi OPT (6,6%), pada banyaknya populasi pohon rusak (20%), dan dari hasil produksi yang menurun (70%), dan hanya 3,3 persen yang merespon berdasarkan pada perkiraan saja.

Besarnya respon terhadap hasil produksi yang menurun, sangatlah logis karena dari pengalaman petani melakukan panen dapat menentukan jumlah hasil produksinya. Sedangkan tingginya terhadap respon banyaknya populasi pohon yang terserang, diperoleh petani alumni PHT selama ikut pelatihan.

Dari beberapa musuh alami yang banyak terdapat di perkebunan kakao sudah dikenal oleh sebagian besar petani PHT. Biasanya petani mengenali musuh alami dari bentuk fisik dan tempat hidupnya. Hal ini ditunjukkan dengan respon (100%) petani PHT mengenali musuh alami berdasarkan pada bentuk dan warnanya, seperti semut hitam, semut merah (angkrang) dan laba-laba, dan sebagian besar (86,7%) sudah mengetahui dari cara pemangsaannya. Begitu pula respon dari petani non PHT yang sebagian besar sudah mengenali musuh-musuh alami, (76%) menyatakan mengenal semut hitam dan (50%) mengenali semut angkrang, hanya sebagian kecil (26,67%) yang tidak mengetahui keberadaan dari musuh-musuh alami tersebut. Pengetahuan mengenai keberadaan musuh-musuh alami ini biasanya diperoleh dari sesama petani yang pernah mengikuti PHT dan atau dari petugas (PPL).

Dari hasil pengamatan, menunjukkan bahwa pemanfaatan musuh alami oleh petani di lokasi penelitian, masih bersifat alami, artinya pemanfaatan musuh alami belum sampai pada tingkat pembudidayaan atau penangkaran tetapi masih secara alami saja. Penerapan Komponen Teknologi PHT dalam Cara Pengendalian OPT

Cara pengendalian OPT yang dilakukan petani alumni PHT maupun non PHT dengan menggunakan gabungan dari berbagai cara kultur teknis, seperti panen sering yang dikuti sanitasi, dan pemangkasan. Tabel 4, memperlihatkan cara pengendalian OPT yang dilakukan oleh petani alumni PHT dan petani non PHT.

Tabel di atas menunjukkan, bahwa petani alumni PHT dalam merespon cara pengendalian OPT terutama penyakit BBK 100 persen menggunakan cara mekanis dan sanitasi, serta dengan menggunakan pestisida 63,3 persen. Selanjutnya dalam pengendalian hama PBK mendapatkan respon dengan cara sanitasi dan mekanis masing-masing 93 persen dan 90 persen. Rendahnya cara kultur teknis melalui mekanis

(13)

dan sanitasi, serta pestisida nabati menunjukkan masih terbatasnya penyebaran teknologi PHT ke petani Non–SLPHT.

Tabel 4. Cara pengendalian OPT yang dilakukan petani alumni PHT dan non PHT di Kabupaten Kolaka, 2003

Cara pengendalian

Alumni SL-PHT Non SL-PHT

No.

Jenis OPT

Meka-nis Sani-tasi Kimia Pes nab Meka-nis Sani-tasi Kimia Pes-nab

1. Penggerek Buah (PBK) 90,0 93,3 46,7 53,3 0,0 0,0 96,7 3,3 2. Busuk Buah Kakao (BBK) 100,0 100,0 63,3 36,7 0,0 0,0 100,0 0,0 3. Penggerek Batang 86,7 93,3 66,7 33,3 0,0 0,0 100,0 0,0 4. Kanker Batang 86,7 93,3 40,0 30,0 0,0 0,0 100,0 0,0 5. Helopeltis Sp. 90,0 90,0 70,0 60,0 0,0 0,0 100,0 0,0 6. Tupai 33,3 0,0 33,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 7. Tikus 33,3 0,0 33,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Sumber : M. Siregar, et al., 2004

Pengendalian yang disebutkan pada Tabel 4, merupakan bagian dari adopsi teknologi komponen PHT yang sudah dijelaskan di muka. Pengendalian dengan berbagai cara yang terkait dengan komponen PHT ini dilakukan bukan hanya untuk pengendalian pada satu jenis OPT saja, namun lebih menekankan pada pentingnya pelaksanaan pengendalian OPT dengan menerapkan komponen PHT yang sudah terbukti banyak memberikan hasil dalam pengendalian OPT.

Implementasi dilapangan dalam melakukan pengendalian OPT memiliki perbedaan antar perlakuan untuk setiap jenis komponen PHT tesebut. Tabel 5. menunjukkan penerapan komponen PHT yang dilakukan oleh petani alumni PHT dan non PHT.

Dari Tabel 5, menunjukan bahwa petani alumni SL mayoritas (43,33%) melakukan panen sering dengan sebulan 2 kali, dan (36,67%) melakukan sebulan sekali, sedangkan perlakuan untuk seminggu sekali sebanyak 20 persen. Untuk petani non

(14)

PHT mayoritas (63,33%) melakukan panen sering sebulan sekali dan (36,67%) melakukannya sebulan 2 kali. Pada komponen kegiatan sanitasi, mayoritas dari petani alumni SL (56,67%) melakukan dalam waktu sebulan 2 kali, dan petani non SL (53,33%) sebulan sekali. Sedangkan pada kegiatan pemangkasan, yang terdiri dari pemangkasan ringan dan berat, menunjukkan bahwa mayoritas petani alumni (60%) melakukan pemangkasan ringan sebulan 2 kali dan (40%) melakukan sebulan sekali. Untuk petani non PHT (76,67%) melakukan pemangkasan ringan sebulan sekali, dan (23,33%) melakukan dalam sebulan 2 kali. Sedangkan untuk pemangkasan berat mayoritas petani alumni SL (66,67%) melakukan setahun 2 kali, dan (33,33%) melakukannya setahun sekali. Berbeda dengan petani non PHT dimana pemangkasan berat mayoritas (93,33%) dilakukan dalam setahun sekali dan hanya (6,67%) melakukan setahun 2 kali. Untuk kegiatan pemupukan ditunjukan bahwa petani alumni mayoritas (56,67%) melakukan pemupukan setahun dua kali, sedangkan petani non PHT mayoritas (73,33%) melakukan pemupukan setahun sekali.

Selanjutnya, pada Tabel 5, menunjukkan bahwa pengendalian dengan menggunakan pestisida nabati dilakukan oleh hampir semua petani alumni PHT terutama dalam pengendalian hama helopeltis sp., (60%), PBK (53,3%) dan BBK (36,7%). Sedangkan petani non PHT dalam pengendalian OPT dengan pesnab ini hanya merespon 3,3 persen dalam menanggulangi hama PBK.

Namun demikian, pengendalian dengan cara hayati/biologi dengan menggunakan pestisida nabati masih harus terus ditingkatkan lagi terutama dalam penggalian berbagai jenis tumbuhan, komposisi dan formulanya. Mengingat, komponen yang paling tinggi dalam usahatani kakao adalah pembelian pestisida maka perlu perhatian yang lebih serius upaya penyediaan bahan pestisida nabati. Upaya penanaman sela baik sebagai tanaman pagar, tanaman di pematang, atau sebagai tanaman pelindung dengan menggunakan tanaman-tanaman yang berfungsi pestisida nabati akan meningkatkan upaya penggunaannya.

Bila melihat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa hampir semua responden petani masih menggunakan pestisida dalam pengendalian OPT. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya (1) untuk menjaga kehilangan hasil yang lebih tinggi lagi, (2) sebagai langkah preventif, (3) pestisida memiliki tingkat efektifitas yang lebih tinggi di banding cara dan perlakuan pengendalian lainnya. Namun demikian dalam penggunaannya

(15)

petani alumni PHT sudah menunjukkan perubahan dalam hal jenis, frekuensi dan cara aplikasinya.

Jenis pestisida yang umum digunakan petani di lapang pada saat melakukan penelitian adalah Matador, Uniset, Furadan, Akodan dan Decis. Hal menarik untuk dikaji lebih jauh adalah, menurut pengakuan beberapa petani diantara pestisida-pestisida yang umum mereka gunakan menunjukkan penurunan pada tingkat efektifitasnya, dibanding dengan pada saat pertama kali pestisida itu digunakan.

Kondisi itu sangat dikhawatirkan, karena pengalaman yang terjadi di tanaman pangan, pengendalian dengan menggunakan pestisida selain dapat membunuh hama sasaran juga dapat menimbulkan resistensi dan resurjensi, juga dapat membunuh musuh–musuh alami.

Dengan adanya program ini, diharapkan petani akan lebih bijak dalam penggunakan pestisida baik jenis, frekuensi, dan teknik aplikasinya, dimana penggunaannya bila perlukan saja dan berdasarkan pengamatan sehingga dapat memberikan kesempatan pada musuh-musuh alami untuk tetap hidup dan berkembang biak, dan berfungsi secara maksimal.

Faktor lain yang membuat sulitnya melakukan pengendalian adalah luasnya hamparan perkebunan, dimana petani menanam dalam sistem monokultur. Disamping itu, di wilayah-wilayah tertentu terdapat juga hamparan untuk perkebunan komoditas lainnya seperti lada, kopi dan rambutan, yang memberi kesempatan pada OPT untuk mencari dan mendapatkan tanaman inang alternatif untuk tetap survive.

Penerapan Teknologi dan Dampak Perubahannya

Pola perubahan dalam pemakaian pestisida setelah mengikuti pelatihan PHT tampak dalam Tabel 6, dimana terlihat petani alumni PHT setelah mengikuti sekolah ini, menunjukkan adanya perubahan dalam menentukan jenis, volume dan frekuensi aplikasi dalam pengendalian OPT.

Semua petani alumni PHT (100%) dalam penggunaan jenis pestisida menyatakan sudah mengalami menurun, dibanding sebelum mengikuti PHT. Begitupun dalam jumlah dan frekuensi, sebagian besar petani menyatakan sudah mengalami penurunan masing-masing (76,66%) dan (93,33%) dibanding sebelum mengikuti PHT.

(16)

Tabel 5. Penerapan komponen PHT yang dilakukan petani alumni PHT dan non PHT di kabupaten Kolaka, 2003

Alumni PHT Non PHT

Frekuensi Frekuensi

Jenis kegiatan 1 mingu

sekali 1 bln sekali 1 bln 2 kali 1 thn sekali 1 thn 2 kali 1 mingu sekali 1 bln sekali 1 bln 2 kali 1 thn sekali 1 thn 2 kali Panen sering 20,00 36,67 43,33 0 0 0 63,33 36,67 0 0 Sanitasi 30,00 13,33 56,67 0 0 0 53,33 46,67 0 0 Pemangkasan - Ringan - Berat 0 0 40,00 0 60,00 0 0 33,33 0 66,67 0 0 76,67 0 23,33 0 0 93,33 0 6,67 Pemupukan 0 0 0 43,33 56,67 0 0 0 73,33 26,67

(17)

Sedangkan sumber informasi tentang jenis, cara penggunaan dan manfaat pestisida yang digunakan pada petani PHT, diperoleh dari PPL, pedagang, kelompok dan lainnya. Dari sekian banyak sumber informasi, bahwa informasi dominan pestisida (73,33%) diperoleh dari pedagang/kios, menyusul informasi yang bersumber dari sesama petani/kelompok tani (20%).

Sedangkan persepsi petani alumni PHT dalam pengambilan keputusan pengendalian OPT dengan menggunakan pestisida adalah berdasarkan pada pengamatan kerusakan akibat serangan OPT tersebut (60%), dalam arti penggunaan pestisida dilakukan setelah adanya pengamatan dan kerusakan akibat OPT. Pengendalian atas dasar pertimbangan preventif dilakukan oleh sekitar 26,66 persen, dalam arti pengendaliannya ditujukan sebagai langkah berjaga-jaga saja tanpa melihat lebih jauh mengenai ada tidaknya kerusakan, dan pengendalian berdasarkan ambang ekonomi dilakukan oleh sekitar 13,33 persen petani

Dalam melakukan tindakan pengendalian dengan pestisida pada petani alumni PHT menunjukan, bahwa sebagian besar petani melakukan pengendalian dengan menyemprot pada seluruh persil kebun dilakukan oleh sekitar 60 persen. Pengendalian pada sekitar persil kebun yang terserang saja dilakukan oleh petani alumni PHT sekitar 26,66 persen. Besarnya respon petani terhadap penyemprotan pestisida pada seluruh persil ini merupakan cerminan dari kekhawatiran petani untuk terus berupaya agar tanamannya tidak terserang OPT sehingga penyemprotan pada seluruh persil tetap dilakukan oleh sebagian besar petani.

Sebelum melakukan tindakan pengendalian OPT, petani PHT biasanya melakukan pengamatan terlebih dahulu disekitar kebun. Pola dan cara pengamatan yang dominan dilakukan petani seperti dalam Tabel 6, pola pengamatan yang dominan dilakukan adalah 1 kali seminggu (46,66%), dan 2 kali sebulan (20%), dan pernyataan yang paling rendah dalam pola pengamatan yang tidak teratur (6,00%). Sedangkan cara pengamatan yang dominan dilakukan adalah dengan memasuki kebun dan mengamatinya (100%).

(18)

Tabel 6. Perubahan penggunaan teknologi dan dampaknya terhadap petani alumni SL-PHT di kabupaten Kolaka, 2002

No. Uraian Persentase

1. Perubahan dalam pemakaian pestisida :

a. Jenis - turun - tetap - naik b. Volume - turun - tetap - naik c. Frekuensi - turun - tetap - naik 100 0 0 76,66 23,33 0 93,33 6,66 0

2. Sumber informasi tentang jenis, penggunaan dan manfaat pestisida :

a. Jenis - PPL - Pedangan/kios - Kelompok tani - Lainnya b. Penggunaan - PPL - Pedangan/kios - Kelompok tani - Lainnya a. Manfaat - PPL - Pedangan/kios - Kelompok tani - Lainnya 6,66 73,33 20,00 0 40,00 26,66 20,00 13,33 3,33 73,33 16,66 0

3. Dasar pertimbangan pengendalian dengan pestisida

- ambang ekonomi - pengamatan kerusakan - preventif 13,33 60,66 26,66

4. Tindakan pengendalian dengan pestisida :

- hanya pada bagian yang terserang hama - yang pada persil yang terserang

- pada seluruh persil

13,33 26,66 60,00

5. Kegiatan pengamatan agroekosistem

- tiap hari - 1 kali seminggu - 2 kali seminggu - 1 kali sebulan - 2 kali sebulan - tidak teratur 0 46,66 16,66 10,00 20,00 6,00

(19)

No. Uraian Persentase

6. Cara melakukan pengamatan :

- masuk kebun dan mengamati pohon

- memasang perangkap dan menghitung hama 100 0

7. Perubahan dalam pengendalian OPT

- Tidak menggunakan pestisida secara rutin - menggunakan metoda mekanik

- mengandalkan musuh alami

20,00 73,33 6,66

8. Kendala dalam pelaksanaan program PHT :

- kekurangan tenaga kerja

- tidak ada kerja sama antar petani - belum paham sepenuhnya - tidak ada dukungan dari aparat

93,33 66,66 26,66 16,66

Dalam penerapan teknologi pengendalian OPT, khususnya yang dilakukan petani alumni PHT ternyata sebagian besar (76,66%) memilih pengendalian secara mekanik, karena pengendalian dengan cara ini lebih sederhana, mudah dan relatif murah disamping itu dapat dikombinasikan dengan cara pengendalian lainnya. Meskipun hasil dari cara ini kadang tidak optimal, namun sangat membantu dalam mengurangi populasi OPT.

Namun, dengan adanya perubahan pengendalian dan aplikasinya dilapang, menuntut banyaknya tenaga kerja dan curahan waktu kerja dalam kegiatan tersebut. Di antara kendala yang dihadapi petani dalam penerapan teknologi PHT, baik yang dirasakan oleh alumni PHT maupun non PHT adalah kurangnya tenaga kerja. Mayoritas petani PHT ( 93,33%) menyatakan kekurangan tenaga kerja. Hal ini akan berpengaruh dalam melakukan kegiatan pengendalian yang memerlukan banyak tenaga dan curahan waktu kerja seperti pengendalian dengan cara fisik/mekanik dan hayati. Kendala lain adalah kurangnya kerjasamanya antara petani dalam pengendalian OPT terutama pasca pelatihan yang memberikan respon 66,66 persen, dan persepsi petani terhadap fungsi dan peranan PHT sesama petani lain belum sama (26,66%) dan yang menyatakan tidak ada dukungan dari aparat hanya 16,66 persen.

KESIMPULAN

Petani yang ikut program PHT lebih banyak mengetahui tentang jenis OPT yang menyerang tanaman kakaonya, bertambahnya pengetahuan tentang musuh alami dan cara mengenalinya dibandingkan petani yang tidak ikut program. Proses

(20)

difusi inovasi dan adopsi teknologi PHT dari petani peserta program ke petani non peserta program PHT juga belum berjalan secara efektif.

Petani yang ikut program PHT telah berhasil mengadopsi teknologi komponen PHT dalam menerapkan empat cara pengendalian OPT, yaitu panen sering, pemangkasan, sanitasi dan pemupukan yang baik.

Petani yang ikut program PHT mengalami perubahan dalam adopsi teknologi dalam budidaya kakao diantaranya adalah penurunan dalam pemakaian pestisida baik dari jenis, volume maupun frekuensinya ke arah penggunaan pestisida nabati. Selain itu petani juga mulai merawat tanaman di seluruh persil, lebih sering melakukan pengamatan dilapang.

Adapun kendala yang dihadapi petani dalam melaksanakan program PHT ini adalah kurangnya tenaga kerja, kurangnya kerjasama antar petani serta susahnya mendapat ramuan dari pestisida nabati (pesnab). Upaya konsolidasi kelompok tani PHT Kakao rakyat dengan salah satu kegiatan dengan arisan tenaga kerja untuk kegiatan-kegiatan yang memerlukan banyak tenaga kerja akan meningkatkan efektivitas penerapan program PHT. Disamping itu, introduksi tanaman penyelia bahan pestisida nabati baik sebagai tanaman pagar, tanaman pematang dan tanaman pelindung dapat mengurangi penggunaan pestisida kimiawi dan menjaga keberlanjutan program PHT.

DAFTAR PUSTAKA

Masjidin Siregar, Valeriana Darwis, Chairul Muslim dan Deri Hidayat. Identifikasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan PHT Dalam Rangka Mendorong Pengembangan Agribisnis Kakao. Laporan Hasil Penelitian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. 2003

Proyek PHTPR, 2001. Petunjuk Pelaksanaan SL-PHT untuk Pemandu. Dinas Perkebunan dan Hotikultura Sulawesi Tenggara. 2002

Proyek PHTPR, 2001. Petunjuk Studi-studi Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu. Dinas Perkebunan dan Hotikultura Sulawesi Tenggara. 2002

Untung, K. 2003. Strategi Implementasi PHT dddalam Pengembangan Perkebunan Rakyat Bebasis Agribisnis. Pengembangan dan Implementasi PHT Perkebunan Rakyat Berbasis Agribisnis. Risalah Simposium Nasional. Bagian Proyek PHT Tanaman Perkebunan.Bogor, 17 – 18 September 2003.

Wiryadiputra, et al., 1994. Teknik Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao, Conomorpha

Cramerella (Snellen). Prosiding Penanggulangan Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) di Indonesia. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia

Yusdja, Yusmichad, Chaerul Saleh, Mukelar Amir, M Arifin dan Al Sri Bagyo (1992). Studi Baseline Aspek Sosial Ekonomi Pengendalian Hama Terpadu. Monograph Series No. 6 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Gambar

Tabel 3.  Pengetahuan petani alumni peserta PHT dan Non PHT dalam pengenalan OPT dan  musuh alami di lokasi penelitian Sultra, 2003 (%)
Tabel 4.   Cara pengendalian OPT yang dilakukan petani alumni PHT dan non PHT di Kabupaten  Kolaka, 2003
Tabel 5.  Penerapan komponen PHT yang dilakukan petani alumni PHT dan non  PHT di kabupaten Kolaka, 2003
Tabel 6.    Perubahan penggunaan teknologi dan dampaknya terhadap petani alumni SL- SL-PHT  di kabupaten Kolaka, 2002

Referensi

Dokumen terkait

Grafik Efiniensi Penggunaan Ransum Kelinci R e x pada Tingkat Pakan dan Umur Potong yang Berbeda... Hal i n i

mikrokontrol Atmega8535 dan sensor air yang digunakan untuk mendeteksi ketinggian air lalu akan membaca nilai resistansi pada saat sensor terkena air, sensor akan mengirim data

“Husukon maho sahali nai ise do ho?” Dungi dialusi si piso sumalim na palsu ma “ai sitakal tabu do ahu tulang”, dungi disukun tulangna muse tu ibana “jadi boasa margabus

Perwakilan BPKP Provinsi Banten adalah salah satu entitas akuntansi di bawah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi

Semakin besar jumlah pengeluaran pembangunan yang harus dipenuhi oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maka penyediaan dana untuk

Praktikum konservasi pada sistem beban tidak seimbang yang telah dilakukan, dengan tujuan praktikum yaitu untuk mengevaluasi sistem kelistrikan dilihat dari keseimbangan beban yang

Hal ini ditunjukkan dari kronologi kasus Satyam, dimana pada mulanya Raju melakukan konspirasi untuk menggelembungkan laba, terlihat adanya kelemahan kontrol internal

Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman