• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. GAMBARAN UMUM, KONDISI FISKAL, KEMISKINAN, DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. GAMBARAN UMUM, KONDISI FISKAL, KEMISKINAN, DAN KETAHANAN PANGAN DI JAWA BARAT"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

5.1. Kondisi Wilayah Provinsi Jawa Barat

Jawa Barat merupakan provinsi yang dibentuk pertama kali di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378) berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1950. Kemudian pada tahun 2000 Banten melepaskan diri dari Provinsi Jawa Barat dan resmi berdiri menjadi Provinsi Banten dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2000. Pada tahun 2001 Jawa Barat terdiri dari 16 daerah kabupaten yaitu : Bogor, Bandung, Bekasi, Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Bekasi dan Karawang, dan terdiri 9 daerah kota yaitu : Bogor, Bandung, Sukabumi, Cirebon, Depok, Bekasi, Tasikmalaya, Cimahi dan Banjar.

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Provinsi Jawa Barat, Visi Provinsi Jawa Barat adalah ” Jawa Barat dengan Iman dan Taqwa sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibu Kota Negara Tahun 2010.” Dengan visi pembangunan pangan ” Terciptanya sistem ketahanan pangan yang andal dan bertumpu pada optimalisasi pemanfaatan potensi produksi dan keragaman pangan nasional”. Untuk mencapai visi tersebut dalam pengelolaan pemerintahan perlu memiliki tekat yang kuat untuk mewujudkannya, sehingga ditetapkan visi ”Akselerasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Guna Mendukung Pencapaian Visi Jawa Barat 2010.” Dalam rangka mewujudkan visi akselerasi tersebut ditetapkan lima misi pemerintah Provinsi Jawa Barat yaitu : (1) meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia Jawa Barat, (2)

(2)

mengembangkan struktur perekonomian regional yang tangguh, (3) memantapkan kinerja pemerintahan daerah, (4) meningkatkan implementasi pembangunan berkelanjutan, dan (5) meningkatkan kualitas kehidupan sosial yang berdasarkan agama dan budaya daerah.

Berbagai upaya akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk menuju pencapaian target indikator makro pembangunan, upaya tersebut antara lain melalui pengembangan enam core busines Jawa Barat yaitu : (1) pengembangan sumber daya manusia, (2) agribisnis, (3) bisnis kelautan, (4) pariwisata, (5) industri manufaktur, dan (6) jasa yang didukung oleh penataan ruang yang mantap dan tersedianya infrastruktur yang memadai. Keberhasilan dalam mendorong core businis ini, pada gilirannya diharapkan dapat menjadi pendorong dalam proses pembangunan dalam rangka akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat tahun 2010.

Untuk mewujudkan sinergitas dan akselerasi pencapaian prioritas pembangunan, telah dirumuskan tujuan bersama (common goal) yang menjadi komitmen semua pihak serta pelibatan secara aktif lintas SKPD dan para pelaku pembangunan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan Provinsi Jawa Barat ditetapkan delapan tujuan bersama (common goal ) sebagai berikut : (1) peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, (2) ketahanan pangan, (3) peningkatan daya beli masyarakat, (4) peningkatan kinerja aparatur, (5) penanganan pengelolaan bencana, (6) pengendalian dan pemulihan kualitas lingkungan, (7) pengelolaan, pengembangan dan pengendalian infrastruktur, dan (8) kemandirian energi dan kecukupan air baku. Untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut dilaksanakan

(3)

prioritas pembangunan daerah beserta fokus-fokus yang harus dilaksanakan pada masing- masing prioritas.

Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak diantara 5o50’ - 70o50’ LS dan

104o48’ – 108º 48’ BT. Luas wilayah Jawa Barat 44 354.61 Km2 atau 4 435 461 Ha. Lahan di Jawa Barat cukup subur karena mengandung endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai, sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar digunakan sebagai lahan pertanian dan Jawa Barat ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional. (BPS, 2005). Tabel 4 menunjukkan struktur penggunaan lahan di Jawa Barat.

Tabel 4. Struktur Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 2005

Penggunaan Lahan Luas ( Ha ) Persentase ( % )

Hutan Primer 321 377 .68 8.66 Hutan Sekunder 269 885 .68 7.27 Kawasan Industri 15 825 .21 0.43 Kawasan Pertambangan 3 350 .92 0.09 Kebun Campuran 849 294 .72 22.89 Tegalan 368 265 .51 9.93 Padang Ilalang 128 207 .61 3.46 Perkebunan 646 100.43 17.41 Pemukiman 178 329 .75 4.81 Sawah 752 130.90 20.27 Semak 53 244.10 1.44 Sungai, waduk dll 54 932.49 1.48 Tambak 51 525.09 1.39 Tanah Kosong 17 591.20 0.47 Jumlah 3 710 061.29 100

(4)

Dengan kondisi topografis pegunungan pada bagian selatan dan pedataran pada bagian utara, sekitar 20.2 persen luas wilayahnya terdiri dari sawah, sekitar 40 persen perkebunan dan kebun campuran, 15 persen hutan, 4.81 persen pemukiman dan penggunaan lahan lainnya. Hal ini akan mempengaruhi pembentukan dan aksesibilitas berbagai sarana prasarana di Jawa Barat. Pada daerah-daerah selatan yang bergunung, aksesibilitas relatif memiliki kendala alam lebih besar daripada daerah utara yang berupa dataran dan sebagian besar wilayahnya berupa lahan persawahan beririgasi teknis.

Sumber air untuk pengairan di Jawa Barat terdiri dari sungai, situ, waduk yang jumlahnya cukup banyak untuk mengairi lahan persawahan di Jawa Barat. Potensi sumber daya air yang cukup baik di Jawa Barat menjadi faktor pendukung yang penting dalam mewujudkan Provinsi Jawa Barat sebagai lumbung pangan terbesar di Indonesia. Data sumber air dan areal beririgasi di Jawa Barat selengkapnya tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Potensi Sumber Daya Air di Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2007

Uraian Kuantitas Satuan (Persen)

Sungai 3 048 Buah 100.00

Sungai Lintas 1 878 Buah 61.61

Sungai Lintas Provinsi 4 Buah 0.13

Sungai Lintas Kabupaten/ Kota 1 874 Buah 61.48

Sungai Lokal Kabupaten 1 170 Buah 38.39

Situ 53 Buah

Waduk 20 Buah

Areal Irigasi 1 086 908 Ha 100.00

Irigasi Kewenangan Pusat 407 168 Ha 37.50

Irigasi Kewenangan Provinsi 85 730 Ha 7.90

Irigasi Kewenangan Kabupaten/ Kota 97 339 Ha 9.00

Irigasi Desa 382 691 Ha 33.10

Sawah Tadah Hujan 113 980 Ha 10.50

(5)

5.2. Kondisi Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota di Provinsi Jawa Barat

Desentralisasi fiskal membawa perubahan pada struktur penerimaan pemerintah daerah baik yang berasal dari pendapatan asli daerah maupun transfer dana dari pemerintah pusat, pengelolaan sumber-sumber penerimaan dan pengeluaraan pemerintah daerah, dan juga terhadap hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Penerimaan dan pengeluaran daerah kabupaten/ kota di Jawa Barat selama implementasi desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang signifikan. Pada Tabel 6 ditunjukkan keragaan rata-rata per tahun penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/ kota seluruh Jawa Barat kondisi sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.

Penerimaan daerah setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang cukup signifikan, jika sebelum desentralisasi penerimaan daerah secara riil di Jawa Barat rata-rata per tahun sebesar 575.10 milyar rupiah maka setelah desentralisasi fiskal meningkat menjadi 3 544.54 milyar rupiah. Peningkatan penerimaan pemerintah daerah ini disebabkan peningkatan semua komponen penerimaan daerah baik dari PAD, bagi hasil maupun dana transfer dari pusat.

Kebijakan desentralisasi fiskal yang memberi kewenangan daerah untuk menggali potensi pajak dengan mengeluarkan perda terhadap beberapa jenis pajak dan retribusi daerah memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dan retribusi daerah, sehingga penerimaan daerah dari pos pajak daerah dan retribusi daerah meningkat. Namun kenaikan tersebut apabila dilihat secara proporsional dengan seluruh kenaikan penerimaan daerah, proporsi dari penerimaan pajak dan retribusi daerah justru semakin menurun hal ini karena adanya peningkatan penerimaan dari pos DAU yang relatif besar proporsinya. Sehingga PAD

(6)

walaupun secara absolut meningkat tetapi proporsinya juga menurun yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal kontribusinya sebesar 18.78 persen terhadap penerimaan daerah menurun menjadi 10.11 persen pada masa desentralisasi fiskal, pajak dan retribusi daerah turun dari 6.96 persen dan 9.76 persen menjadi 4.15 persen dan 4.17 persen.

Tabel 6. Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota

Rata-rata Per Tahun di Jawa Barat Tahun 1995 - 2005 (Tahun Dasar 1993) (Milyar rupiah)

Uraian Sebelum Desentralisasi

Fiskal (1995 – 2000)

Sesudah Desentralisasi Fiskal (2001 -2005)

Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Laba BUMD PAD Lainnya Dana Perimbangan Bagi Hasil

Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil SDA DAU & DAK Pinjaman Daerah Sisa Anggaran Pendapatan Lain

Total Pendapatan Daerah Pengeluaran Rutin

Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian & Irigasi Sektor Pertanian

Sektor Irigasi Sektor Industri Sektor Infrastruktur Sektor Pelayanan Umum Sektor Lainnya

Total Pengeluaran Daerah

108.03 (18.78) 40.05 ( 6.96) 56.11 ( 9.76) 2.21 ( 0.38) 17.98 ( 3.13) 426.41 (74.15) 91.89 (15.98) 39.40 (13.81) 12.49 ( 2.17) 334.52 (58.17) 3.32 ( 0.58) 21.57 (03.75) 7.48 (01.30) 575.10 ( 100 ) 416.74 (64.37) 230.67 (35.62) 11.56 ( 1.74) 7.37 ( 1.14) 4.19 ( 0.65) 1.11 ( 0.17) 121.98 (16.84) 56.84 ( 8.78) 39.18 ( 6.05) 647.46 ( 100 ) 358.26 ( 10.11) 146.96 ( 4.15) 147.85 ( 4.17) 6.22 ( 0. 20) 55.99 ( 1.58) 2 859.45 (80. 67) 462.83 (13.06) 388.86 (10.97) 73.98 ( 2.09) 2 396.62 (67.61) 15.61 ( 0.44) 154.94 ( 4.37) 156.30 ( 4.41) 3 544.54 ( 100 ) 2 671.15 (76.87) 803.67 (23.13) 57.54 ( 1.66) 25.25 ( 0.73) 32.29 ( 0.93) 3.74 ( 0.11) 315.97 ( 9.08) 278.60 ( 8.02) 147.82 ( 4.25) 3 474.82 (100 )

Sumber : Statistik Keuangan Daerah Kabupaten/ Kota, berbagai tahun terbitan. Angka di dalam ( ) merupakan persentase.

(7)

Komponen bagi hasil pajak dan sumber daya alam juga meningkat secara signifikan yang disebabkan oleh peningkatan porsi bagi hasil pajak dan sumberdaya yang diberikan kepada daerah seperti pajak bumi bangunan, pengelolaan sumberdaya hutan, tambang dan perikanan sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 1999 dan UU No 33 Tahun 2004, namun secara relatif sharenya terhadap penerimaan daerah menurun dari 15.98 persen sebelum desentralisasi fiskal menjadi 13.06 persen setelah desentralisasi fiskal.

Komponen dana transfer dari pemerintah pusat yang berupa dana Subsidi Daerah Otonom (SDO) pada masa sebelum desentralisasi fiskal dan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan sangat besar, bahkan merupakan komponen yang peningkatannya paling besar. Apabila sebelum desentralisasi fiskal sebesar 334.52 milyar rupiah dengan share terhadap penerimaan sebesar 58.17 persen maka meningkat menjadi 2 396.62 milyar rupiah dengan share sebesar 67.61 persen. Tingginya dana tranfer dari pemerintah pusat ini karena besarnya pengeluaran yang dibutuhkan untuk membiayai pembelanjaan pemerintah daerah dan kondisi ini menunjukkan tingkat ketergantungan keuangan pemerintah daerah sebagai sumber pembiayaan terhadap pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal yang diharapkan menumbuhkan kemandirian daerah dalam menggali dan mengelola keuangannya tetapi justru menimbulkan ketergantungan terhadap pusat. Sebagai masa transisi mungkin masih bisa dibenarkan, namun dengan berjalannya waktu diharapkan pemerintah daerah akan semakin pandai dalam menggali potensi penerimaan daerah dengan melibatkan masyarakat dan pihak swasta sehingga akan semakin mandiri dan ketergantungan dengan pemerintah pusat bisa semakin dikurangi.

(8)

Desentralisasi fiskal membawa perubahan yang besar terhadap pengeluaran daerah, yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal pengeluaran sebesar 647.46 milyar rupiah maka meningkat manjadi 3 474.82 milyar rupiah. Komponen pengeluaran mengalami peningkatan pada semua sektor, namun yang paling besar terjadi pada komponen pengeluaran rutin yaitu apabila sebelum desentralisasi fiskal sebesar 416.79 milyar rupiah dengan share sebesar 64.37 persen maka meningkat menjadi 2 671.15 milyar rupiah dengan nilai share sebesar 76.87 persen. Tingginya pengeluaran rutin setelah desentralisasi fiskal karena terjadinya peningkatan yang cukup signifikan terhadap jumlah pegawai pusat yang didaerahkan pada masa awal desentralisasi juga adanya peningkatan terhadap pengeluaran sehubungan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, perencanaan dan evaluasi pembangunan di daerah.

Pengeluaran pembangunan secara absolut mengalami peningkatan yaitu dari 230.67 milyar rupiah sebelum desentralisasi menjadi 803.67 milyar rupiah setelah desentralisasi, namun sharenya mengalami penurunan dari 35.62 persen menjadi 23.13 persen. Turunnya proporsi dana pembangunan dalam pengeluaran daerah membawa konsekuensi pada penurunan proporsi pengeluaran sektoral. Pengeluaran pembangunan sektor pertanian pada masa sebelum desentralisasi sebesar 1.14 persen terhadap total pengeluaran. Pada masa desentralisasi fiskal pengeluaran pembangunan sektor pertanian sebesar 0.73 persen dari total pengeluaran walaupun secara absolut meningkat dari 7.37 milyar menjadi 25.25 milyar rupiah.

Kapasitas fiskal adalah kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya dengan sumber pembiayaan yang diperoleh dari pendapatan daerah tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Kapasitas fiskal merupakan penjumlahan dari PAD dan dana bagi hasil

(9)

dari sumber daya alam dan pajak, dan idealnya semua pengeluaran daerah mampu dibiayai oleh kapasitas fiskal daerah. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal kapasitas fiskal di Jawa Barat sebesar 0.35 artinya kemampuan keuangan daerah dari PAD dan Bagi Hasil besarnya hanya sebesar 35 persen untuk dapat membiayai pengeluaran yang dibutuhkan daerah. Sedang pada masa desentralisasi fiskal kapasitas fiskal malah menurun menjadi 0.23. Kondisi ini mencerminkan terjadinya penurunan kemandirian keuangan daerah yang semakin besar pada pelaksanaan desentralisasi fiskal. DAU keberadaannya diperlukan sebagai penyeimbang bagi daerah yang kaya dengan daerah yang miskin.

5.3. Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Barat

Kontribusi ekonomi Jawa Barat terhadap perekonomian nasional rata-rata selama tahun 2001 – 2005, adalah 13.8 persen. Kontribusi ini lebih besar bila dibandingkan dengan provinsi lainnya. Sebelum masa krisis moneter dan sebelum pembentukan Provinsi Banten, peran ekonomi Jawa Barat dalam perekonomian nasional jauh lebih besar.Tingkat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat selalu lebih tinggi daripada perekonomian nasional. Artinya Jawa Barat telah menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi nasional yang dominan. Namun pada saat terjadi krisis moneter, perekonomian Jawa Barat mengalami tingkat kemunduran yang sangat besar, yaitu lebih besar daripada penurunan perekonomian nasional. Setelah masa krisis moneter berlalu, pemulihan ekonomi Jawa Barat relatif lambat. Dari tahun 2001- 2005 pada masa implementasi desentralisasi fiskal ekonomi Jawa Barat mengalami pertumbuhan namun tingkat pertumbuhannya lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi nasional, dan

(10)

karena mengalami akselerasi relatif lebih baik sehingga pada tahun 2006 laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mulai ada di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2006 laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat mencapai 6.02 persen, sedangkan ekonomi nasional sebesar 5.40 persen dan pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 6.41 persen sedang laju pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5.25 persen. 0 1 2 3 4 5 6 7 2001 2003 2005 2007 Laju Pertumbuhan Ekonomi Jabar Laju Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Gambar 8. Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Jabar dan Nasional pada Masa Desentralisasi Fiskal Tahun 2001-2007 (%)

Transformasi ekonomi nasional yang terjadi sejak tahun 80-an hingga tahun 2000-an telah membawa konsekuensi pada rendahnya pertumbuh2000-an sektor pert2000-ani2000-an di Jawa Barat. Pertumbuhan sektor industri, sektor-sektor utilitas dan jasa sedemikian pesat sehingga jauh meninggalkan sektor pertanian. Sampai dengan tahun 2005, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi sekitar 43.2 persen dari seluruh ekonomi Jawa Barat,

(11)

disusul sektor jasa penunjang seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 19.6 persen. Sektor pertanian hanya memberikan kontribusi sekitar 14.4 persen. Berikut tersaji Perkembangan dan Struktur PDRB di Jawa Barat.

Tabel 7. Perkembangan dan Struktur PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 2001 - 2005 Harga Konstan Tahun 2000

(dalam Trilyun Rupiah)

Struktur PDRB 2001 2002 2003 2004 2005 1. Pertanian 31.88 E32.40 34.46 34.73 34.94 1.1. Pangan 23.54 23.69 24.85 25.49 25.28 1.2. Perkebunan 1.82 1.85 1.95 1.90 2.03 1.3. Peternakan 4.20 4.49 5.12 5.28 5.22 1.4. Kehutanan 0.52 0.59 0.77 0.44 0.48 1.5. Perikanan 1.80 1.78 1.77 1.82 1.71

2. Penggalian dan Pertambangan 8.95 8.23 7.71 7.20 7.02

3. Industri Pengolahan 91.76 93.93 96.98 105.33 114.30

3.1. Industri Pengolahan Migas 2.63 2.61 2.61 2.30 2.32

3.2. Industri Pengolahan Non Migas 90.13 91.32 94.37 103.04 111.98

4.Listrik, Gas dan Air Bersih 4.52 4.92 5.34 5.65 5.76

5.Bangunan / Kontruksi 5.14 5.98 6.60 7.78 8.11

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 41.72 42.76 45.53 47.26 50.61

7. Perhubungan dan Telekomunikasi 9.03 9.38 10.31 10.33 11.14

8.Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

6.43 6.97 7.25 7.72 7.67

9.Jasa-jasa 14.36 14.94 15.84 16.82 18.20

PDRB 213.79 219.53 230.00 242.94 257.54

Sumber : PDRB Jawa Barat (BPS), 2005.

Tingginya kontribusi sektor industri pengolahan selama ini relatif kurang memiliki kaitan kuat dengan perkembangan sektor pertanian. Dalam jangka pendek kondisi ini dapat dimaklumi untuk mempercepat peningkatan pendapatan untuk

(12)

selanjutnya membuka peluang usaha masyarakat di Jawa Barat. Namun demikian perhatian terhadap perkembangan sektor pertanian dalam jangka panjang patut mendapat perhatian serius untuk dapat dikaitkan dengan pengembangan sektor industri. Sektor pertanian di Jawa Barat didominasi oleh subsektor tanaman pangan yang berkontribusi lebih dari 70 persen dalam perolehan PDRB sektor pertanian di Jawa Barat. Pertumbuhan dan kontribusi sektor perekonomian Jawa Barat tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8. Rata-rata Pertumbuhan dan Kontribusi Sektor Ekonomi Jawa Barat Tahun 2001-2005

( %)

Sektor Perekonomian Kontribusi Pertumbuhan

1. Pertanian 14.40 2.38 1.1. Pangan 10.48 2.21 1.2. Perkebunan 0.81 3.26 1.3. Peternakan 2.12 5.35 1.4. Kehutanan 0.24 0.99 1.5. Perikanan 0.75 1.24

2. Penggalian dan Pertambangan 3.20 5.16

3. Industri Pengolahan 43.17 6.79

4.Listrik, Gas dan Air Bersih 2.28 5.42

5.Bangunan / Kontruksi 2.29 10.81

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 19.59 5.79

7. Perhubungan dan Telekomunikasi 4.33 5.99

8.Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 3.12 3.31

9.Jasa-jasa 6.92 6.30

PDRB 100.00 5.47

(13)

Sektor industri pengolahan, sektor utilitas dan sektor jasa di Jawa Barat pada umumnya tumbuh cepat di atas rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE). Kondisi ini terkait dengan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dan struktur kota yang semakin kuat. Sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah sektor bangunan sebesar 10.81persen, sektor jasa-jasa 6.8 persen, dan sektor industri pengolahan 6.79 persen. Sektor konstruksi berkembang sebagai respon terhadap peningkatan jumlah penduduk yang membutuhkan tempat tinggal dan respon terhadap perkembangan kegiatan ekonomi. Sektor pertanian tumbuh relatif lambat (di bawah LPE), yaitu sekitar 2.38 persen per tahun, sub sektor pangan yang berkontribusi terbesar pada sektor pertanian di Jawa Barat tumbuh lebih lambat dibanding sektor pertanian. Melambatnya pertumbuhan sektor pangan salah satunya disebabkan adanya perlambatan pada laju peningkatan produksi padi (levelling off) yang merupakan komponen pangan utama di Jawa Barat. Hal ini patut mendapat perhatian dari Pemerintah Jawa Barat untuk perencanaan pembangunan ke depan, diharapkan tingginya kontribusi dan pertumbuhan dari sektor industri pengolahan di Jawa Barat mempunyai kaitan kuat dengan perkembangan sektor pertanian juga subsektor pangan hal ini sesuai dengan potensi wilayah yang dimiliki oleh Jawa Barat. Pengembangan industri di Jawa Barat diharapkan dapat memacu pengembangan sektor pertanian dan subsektor pangan melalui penggunaanya dalam bahan baku.

Studi empirik Bank Dunia dalam World Development Report menyebutkan bahwa perkembangan sektor industri yang berhasil sejalan dengan keberhasilan dalam pertumbuhan yang sustainable dan perbaikan produktivitas sektor pertanian. Pengalaman historis negara-negara industri menunjukkan pertumbuhan berkelanjutan akan terjadi jika ditunjang dengan pertumbuhan sektor pertanian yang memadai.

(14)

Sub-sektor pertanian yang tumbuh besar adalah sub-sektor peternakan sebesar 5.36 persen dan sub-sektor perkebunan tumbuh sekitar 3.26 persen. Sektor pertambangan dan penggalian di Jawa Barat mengalami penurunan yang relatif tajam, yaitu ratarata -5.16 persen. Sub-sektor perikanan turun sekitar -1.24 persen.

Sektor pertanian walaupun kontribusi dalam perekonomian Jawa Barat hanya 14.40 persen karena pertumbuhannya yang relatif lambat, namun sektor ini menampung tenaga kerja yang cukup besar. Tahun 2001 – 2005 pada masa implementasi desentralisasi fiskal sektor pertanian sanggup menampung tenaga kerja sebesar 4 856 ribu jiwa atau sebesar 33.72 persen dari total tenaga kerja. Sementara sektor industri yang kontribusi dalam perekonomian sebesar 43.17 persen hanya menampung tenaga kerja sebesar 2 834 ribu jiwa atau 19.68 persen dari total penyerapan tenaga kerja. Tingginya beban penyerapan tenaga kerja dengan kontribusi pada perekonomian yang semakin kecil karena semakin kecilnya laju pertumbuhan pada sektor pertanian, menyebabkan pada sektor pertanian terjadi penurunan produktitivitas per tenaga kerja atau penurunan pada kesejahteraan petani. Peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian yang tidak proporsional dengan peningkatan PDRB, selain dipengaruhi oleh proses perubahan struktural ekonomi yang tidak seimbang juga karena sektor pertanian berfungsi sebagai employment of last resort dimana sektor pertanian akan menyerap tenaga kerja seiring dengan adanya peningkatan angkatan kerja namun angkatan kerja yang masuk pada sektor pertanian adalah yang menjadikan sektor pertanian sebagai pilihan terakhir. Sehingga tenaga kerja pada sektor pertanian kualitasnya relatif lebih rendah dari sektor lain dan menghasilkan produktivitas yang relatif lebih rendah dan pada sektor pertanian ditemukan banyaknya pengangguran tidak

(15)

kentara. Hal ini menyebabkan banyaknya kemiskinan terdapat pada sektor pertanian. Menurut data BPS sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Penduduk di sektor pertanian menempati proporsi 55 persen dari total penduduk miskin dan diketahui 75 persen diantaranya pada subsektor tanaman pangan. Jumlah tenaga kerja berdasarkan sektor perekonomian tersaji pada Tabel 9 dibawah ini.

Tabel 9. Jumlah Tenaga Kerja Menurut Sektor Perekonomian Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2001 – 2005

Sektor Perekonomian Jumlah Tenaga Kerja ( Ribu Jiwa) Persentase (%)

Pertanian 4 856 33.72

Industri 2 834 19.68

Jasa 6 332 43.97

Sektor Lainnya 879 6.10

Total Tenaga Kerja 14 402 100.00

Sumber : Statistik Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat, Tahun 2001 – 2005.

5.4. Kemiskinan di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Dilihat dari persebaran penduduk miskin menunjukkan bahwa sekitar 20.48 juta orang atau sekitar 56.67 persen terdapat di pulau Jawa, dan sebagian besar berada di daerah perdesaan. Dari fenomena ini menunjukkan bahwa Pulau Jawa menanggung beban yang sangat berat dalam memenuhi kesejahteraan penduduknya, terlebih bila dikaitkan dengan kondisi lahan pertanian di Pulau Jawa yang semakin menipis akibat pertambahan penduduk yang relatif tinggi dan meningkatnya konversi lahan pertanian untuk kepentingan perumahan dan industri. Konversi lahan pertanian terus meningkat dari sebesar 85 500 hektar per tahun pada tahun 1981 – 1999, menjadi 141 286 hektar per tahun pada tahun 1999 – 2002. Kondisi ini telah menyebabkan meningkatnya jumlah

(16)

petani gurem yaitu petani yang menguasai lahan rata-rata 0.25 hektar. Pada saat ini diperkirakan jumlah rumah tangga petani gurem sudah mencapai 75 persen dari total rumah tangga petani di Jawa, padahal pada tahun 1993 masih 70 persen ( BPS, 2005).

Tabel 10. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2004

Provinsi

Jumlah Penduduk Miskin (Ribu jiwa)

Kota Desa Total

Tingkat Kemiskinan ( % )

Kota Desa Total

Nangroe Aceh Darusalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DKI Jogjakara Jawa Timur Banten Bali

Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Indonesia 98.40 958.80 1157.20 633.40 1166.70 1800.10 167.80 304.60 472.40 160.50 583.90 744.40 130.80 194.30 325.10 455.10 924.20 1379.30 112.80 232.30 345.10 317.30 1244.40 1561.70 33.00 58.80 91.80 277.10 - 277.10 2243.20 2411.00 4654.20 2346.50 4497.30 6843.80 301.40 314.80 616.20 2230.60 5081.90 7312.50 279.90 499.30 779.20 87.00 144.90 231.90 492.50 539.10 1031.60 122.70 1029.40 1152.10 143.80 414.40 558.20 33.00 161.10 194.10 63.50 167.50 231.00 84.30 233.90 318.20 35.90 156.30 192.20 70.50 415.80 486.30 152.20 1089.30 1241.50 38.00 380.40 418.40 43.70 215.40 259. 10 41.10 356.50 397 .60 23.00 83.90 107.80 49.10 917.70 966.80 11 369.00 24 777.90 36 146.90 17.58 32.66 28.47 12.02 17.19 14.93 12.28 9.67 10.46 6.44 18.36 13.12 17.34 10.46 12.45 20.13 21.33 20.92 25.43 21.16 22.39 20.17 22.81 22.22 7.73 10.06 9.07 3.18 - 3.18 11.21 13.08 12.10 17.52 23.64 21.11 15.96 23.65 19.14 14.62 24.02 20.08 5.69 11.99 8.58 5.05 8.71 6.85 32.66 21.09 25.38 18.11 29.77 27.66 13.29 14.15 13.91 6.13 12.20 10.44 5.28 8.33 7.19 5.63 18.68 11.57 4.37 11.76 8.94 15.33 23.33 21.69 6.11 18.65 14.90 9.21 25.39 21.90 18.63 32.70 29.01 11.99 39.86 32.13 10.50 13.10 12.42 7.71 49.28 38.69 12.13 20.11 16.66

(17)

Namun berdasarkan tingkat kemiskinan maka provinsi yang mempunyai tingkat kemiskinan tertinggi terdapat di luar Jawa yaitu Provinsi Papua, Maluku, Gorontalo, NAD, NTT, NTB. Tingkat kemiskinan dari enam provinsi diatas jauh diatas tingkat kemiskinan Indonesia dengan jumlah penduduk yang hanya sebesar 4.97 juta jiwa . Sementara pulau Jawa yang memiliki luas kurang dari 10 persen wilayah Indonesia harus menampung penduduk miskin 20.48 juta jiwa penduduk miskin atau 56.67 persen dari total penduduk di Indonesia. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun apabila dilihat dari tingkat kemiskinan Jawa Barat memiliki tingkat kemiskinan di bawah tingkat kemiskinan rata-rata nasional, bahkan merupakan provinsi ketiga di Pulau Jawa yang mempunyai tingkat kemiskinan terendah setelah DKI Jakarta dan Banten.

Tingkat kemiskinan di Jawa Barat dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang berfluktuatif seiring dengan terjadinya penurunan kemiskinan di Indonesia. Pada waktu terjadi krisis kemiskinan meningkat tajam baik Indonesia maupun Jawa Barat kemudian menurun kembali dengan penurunan yang relatif kecil. Tingkat kemiskinan di Jawa Barat selalu berada di bawah tingkat kemiskinan Indonesia. Gambar 9 disajikan perbandingan perkembangan tingkat kemiskinan di Jawa Barat dan di Indonesia.

Persebaran penduduk miskin di wilayah Provinsi Jawa Barat tidak merata, daerah kabupaten jumlah penduduk miskin relatif lebih besar dibanding daerah kota. Daerah yang mempunyai struktur ekonomi berbasis pertanian jumlah penduduk miskin relatif lebih besar dibanding dengan daerah yang mempunyai struktur ekonomi berbasis industri dan perdagangan.

(18)

Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan BPS, 2005.

Gambar 9. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Indonesia dan Jawa Barat ( % )

0 5 10 15 20 25 30 35 40 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Persentase Penduduk Miskin Indonesia Persentase Penduduk Miskin Jabar

Kabupaten Cianjur, Indramayu, Kuningan, Majalengka yang dikenal sebagai sentra penghasil beras di Jawa Barat menunjukkan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi dengan laju pengurangan kemiskinan yang relatif lambat. Hal ini perlu mendapat perhatian bagi pemerintah bagaimana petani-petani di daerah sentra beras, dimana komodiiti beras telah mengalami levelling off pada peningkatan produksinya bisa meningkat produktivitasnya. Peningkatan produktivitas petani beras bisa dilakukan selain melalui peningkatan produktivitas tanaman padi juga perlu diupayakan sumber-sumber pertumbuhan baru dari sektor tanaman pangan selain padi dan subsektor lain seperti peternakan dan perikanan melalui usahatani terpadu. Selain itu juga perlu diupayakan terciptanya nilai tambah bagi petani pada tingkat off farm activities dengan melakukan kegiatan agribisnis maupun agroindustri pangan. Kota Bekasi, Depok dan Bandung yang dikenal sebagai daerah industri dan perdagangan menunjukkan tingkat kemiskinan paling

(19)

kecil di Jawa Barat. Berikut disajikan perkembangan dan persebaran jumlah penduduk miskin di kabupaten/ kota di Wilayah Provinsi Jawa Barat.

Tabel 11. Perkembangan dan Keragaan Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten / Kota di Jawa Barat Tahun 2003 – 2005

( % )

No

Kabupaten/ Kota PendudukMiskin Tahun 2003 Penduduk Miskin Tahun 2004 Penduduk Miskin Tahun 2005 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab.Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Jawa Barat 12.54 17.03 18.49 12.53 15.40 16.21 16.22 20.36 19.64 18.89 14.40 18.65 16.59 13.99 14.55 6.61 7.34 8.29 3.51 9.00 3.66 5.62 13.16 12.56 16.32 19.05 12.78 15.48 17.99 15.18 19.50 17.33 17.66 12.82 17.46 16.07 13.09 13.60 6.86 8.22 7.67 3.95 7.76 3.15 4.96 12.70 11.94 14.70 17.36 11.84 15.37 16.14 14.73 18.95 16.59 17.42 11.74 16.49 14.67 12.60 13.28 6.35 7.85 6.16 3.38 7.52 3.04 4.84 12.10

Sumber : BPS Jawa Barat, 2005.

Laju pengurangan kemiskinan di Jawa Barat berjalan sangat lambat pada masa implementasi desentralisasi fiskal. Apabila dicermati pada masing- masing kabupaten/ kota di Jawa Barat penurunan kemiskinan berjalan sangat fluktuatif yaitu ada yang

(20)

tingkat kemiskinannya naik kemudian turun namun secara rata-rata berkecenderungan menurun.

5.5. Kinerja Ketahanan Pangan di Wilayah Propinsi Jawa Barat

Ketahanan pangan adalah keterjaminan akses terhadap kecukupan pangan sepanjang waktu agar dapat melakukan aktifitas dan hidup sehat. Sedang kerawanan pangan merupakan kondisi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian masyarakat. Ada beberapa aspek yang menyebabkan terjadinya kerawanan pangan yaitu : (1) aspek produksi, (2) aspek distribusi, dan (3) aspek konsumsi. Melalui aksesibilitas terhadap pangan akan menjadi penentu tercapainya konsumsi pangan dan selanjutnya akan mempengaruhi status gizi masyarakat yang merupakan faktor determinan terhadap derajat kesehatan masyarakat yang dicerminkan pada ukuran umur harapan hidup.

Ketahanan pangan merupakan satu dari delapan common goals Provinsi Jawa Barat yang pada tahun 2007 difokuskan pada ketahanan pangan fokus beras melalui sinergitas lintas SKPD, dimana tujuan bersama tersebut merupakan komitmen program dan kegiatan yang disepakati untuk dikerjakan melalui model pendekatan sinergitas lintas SKPD Provinsi dengan penggalangan segenap pelaku pembangunan Jawa Barat yang relevan. Sasaran common goals ketahanan pangan fokus beras pada tahun 2007 adalah : (1) terpenuhinya stok beras regional Jawa Barat, (2) tertatanya distribusi dan perdagangan beras, dan (3) menurunnya tingkat kehilangan pasca panen.

(21)

Provinsi Jawa Barat sebagai daerah produsen beras nomer satu di Indonesia, menggunakan indikator produksi padi dan beras sebagai salah satu ukuran kinerja ketahanan pangan. Walaupun banyak terjadi kendala yang salah satunya adalah alih fungsi lahan sawah yang cukup signifikan, namun produksi padi sawah Jawa Barat pada masa implementasi desentralisasi tahun 2001 – 2005 terus mengalami peningkatan dengan laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang disebabkan laju luas panen sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar 1.70 persen. Peningkatan produksi padi hampir terjadi di seluruh kabupaten/ kota kecuali Kabupaten Bandung, Kota Bogor, Kota Depok dan Kota Bekasi (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2007). Gambar 10 menunjukkan perkembangan produksi padi sawah, padi ladang dan padi sawah + ladang di Jawa Barat.

Sumber : Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2006.

Gambar 10. Produksi Padi Ladang, Padi Sawah, Padi Ladang + Sawah Tahun 2001 – 2005 Jawa Barat (Ton)

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 8000000 9000000 10000000 2001 2002 2003 2004 2005 Produksi Padi Ladang Produksi Padi Sawah Produksi Padi Ladang + Sawah

Peningkatan produksi belum cukup untuk dapat dijadikan ukuran kinerja ketahanan pangan, tetapi perlu juga diketahui ketersediaan beras yang tersedia untuk

(22)

dikonsumsi serta jumlah konsumsi beras bagi masyarakat. Berikut ini disajikan perkembangan produksi beras, ketersediaan beras untuk konsumsi, jumlah konsumsi beras dan kondisi persediaan daerah.

Tabel 12. Perkembangan Produksi Gabah, Produksi Beras, Ketersedian Beras untuk Konsumsi, Jumlah Konsumsi Beras dan Kondisi Persediaan Beras Daerah Tahun Produksi Padi (Ton GKG) Produksi Beras (Ton) Ketersediaan Konsumsi Beras (Ton) Total Konsumsi Beras (Ton) Surplus/ Defisit (Ton) Rasio S / K 2001 9 166 872 5 958 466.8 5 362 620.1 4 475 033.5 + 887 586.5 1.20 2002 8 776 889 5 704 977.9 5 134480.1 4 557 650.6 + 576 829.4 1.13 2003 9 602 302 6 241 496.3 5 617 346.7 4 696 897.4 + 920 449.3 1.20 2004 9 787217 6 361 691.1 5 725 522.1 4 795 304.3 + 930 217.8 1.19 2005 9 418 572 6 122 071.8 5 509 864.6 4 888 511.3 + 621 353.3 1.13 Sumber : Dinas Tanaman Pangan Jawa Barat, 2005 dan BPS Jawa Barat, 2005.

Pada tahun 2001 produksi padi sawah dan ladang Jawa Barat mencapai 9 166 872 ton GKG apabila dikonversi ke beras sebesar 5 958 466.8 ton beras, dengan populasi penduduk sebanyak 37 291 946 jiwa dan apabila jumlah kebutuhan per kapita sebanyak 120 kg per tahun, maka surplus beras Jawa Barat dengan memperhitungkan tercecer dan benih sebesar 887 586.5 ton beras. Berdasarkan rasio antara ketersediaan beras untuk konsumsi dengan jumlah konsumsi, pada tahun 2001 di Jawa Barat mengalami surplus beras sebesar 20 persen dari tingkat ketersediaan konsumsi beras. Sebanyak 14 kabupaten mengalami surplus beras sedang sisanya dua kabupaten Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung serta semua kota di Jawa Barat mengalami defisit beras. Selama

(23)

tahun 2001 sampai 2005 pada masa implementasi desentralisasi fiskal Jawa Barat secara umum mengalami surplus beras pada kisaran 13 sampai 20 persen.

Produksi palawija di Jawa Barat masih di bawah kebutuhan penduduk berdasarkan norma gizi, dimana pencapaian produksi komoditas jagung baru mencapai 51.83 persen, umbi-umbian 55.36 persen dan kacang-kacangan 19.82 persen (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2005). Pada Tabel 13 ditunjukkan perkembangan potensi sumber pangan non beras yang dihasilkan Jawa Barat.

Tabel 13. Perkembangan Produksi Sumber Pangan Palawija di Jawa Barat Tahun

2001 – 2005 (Ton) Nama Pangan 2001 2002 2003 2004 2005 Jagung 464 163 461 930 549 441 587 189 573 263 Kedele 29 790 19 893 29 090 23 712 24 494 Kacang Tanah 66 468 91 867 97 723 100 684 91 817 Kacang Hijau 12 602 11 178 13 950 15 612 13 228 Ubi Kayu 1 800 257 1 661 558 2 074 023 2 054 747 2 044 674 Ubi Jalar 367 786 342 794 389 640 390 382 389 043

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2005.

Indikator kinerja ketahanan pangan dari aspek konsumsi secara agregat diukur dari rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein per kapita. Indikator ini memberikan gambaran kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi, yang ditentukan secara langsung oleh kemampuan daya beli dan perilaku. Pada Gambar 11 ditunjukkan bahwa konsumsi energi per kapita per hari penduduk Jawa Barat masih belum memenuhi standar kecukupan gizi yaitu sebesar 2200 kkal /kapita / hari. Perkembangan rata-rata

(24)

tingkat konsumsi energi per kapita penduduk Jawa Barat mengalami penurunan, penurunan konsumsi energi pada tahun 1996 – 1999 relatif lebih kecil dibanding penurunan pada tahun 1999 – 2005 pada masa desentralisasi fiskal. Namun untuk tingkat konsumsi protein sudah memenuhi standar kecukupan gizi yaitu sebesar 52 gram per kapita per hari, walaupun dalam perkembangannya juga mengalami penurunan tetapi tingkat penurunan tidak sebesar pada penurunan konsumsi energi.

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120% 1996 1999 2002 2005 Konsumsi Energi Konsumsi Protein

Sumber : Susenas BPS, berbagai tahun terbitan.

Gambar 11. Perkembangan Persentase Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein per Kapita per Hari

Penduduk Jawa Barat

Pencapaian konsumsi energi per kapita penduduk menurut kabupaten / kota masih jauh dari Angka Kecukupan Gizi (AKG energi 2 200 Kkal), hanya ada satu kota Bekasi yang pencapaian konsumsi energi diatas 80 persen AKG dan ada empat kabupaten/ kota yaitu : Kabupaten. Karawang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut dan Kota Bandung yang pencapaian konsumsi berada diatas 70 - 80 persen. Sedang

sisanya merupakan kabupaten/ kota yang mengalami defisit konsumsi energi (<70 persen AKG). Pencapaian konsumsi protein per kapita seluruh kabupaten/ kota

(25)

sudah diatas batas 80 persen AKG, bahkan beberapa kabupaten/ kota mecapai diatas 100 persen AKG.

Angka rata-rata konsumsi energi di atas belum memberikan gambaran besarnya masalah defisit energi pada populasi penduduk. Kabupaten yang mempunyai.proporsi rumah tangga mengalami defisit konsumsi energi paling tinggi adalah dialami dua kabupaten, yaitu Majalengka dan Purwakarta. Kabupaten/ kota dengan proporsi rumah tangga defisit energi sedang sebanyak sembilan kabupaten/kota yaitu : Kabupaten Bogor, Cianjur, Kuningan, Indramayu, Ciamis serta Kota Bogor, Sukabumi, Depok dan Tasikmalaya dan sisanya merupakan kabupaten/ kota dengan proporsi rumah tangga defisit energi rendah.

Berdasarkan data pencapaian konsumsi protein terhadap AKG semua kabupaten/ kota diatas 80 persen, ternayata bila dirinci pada tingkat rumah tangga masih cukup banyak rumah tangga yang mengalami defisit protein. Kabupaten yang proporsi rumah tangga mengalami defisit protein tinggi adalah Kabupaten Majalengka, Purwakarta dan Tasikmalaya. Sedang yang termasuk kategori sedang adalah Kabupaten Bogor, Cianjur, Kuningan, Indramayu, Bekasi, Kerawang, Subang, Garut, Ciamis, Kota Bogor, Kota Sukabumi dan Kota Bandung. Sedang sisanya termasuk kabupaten/ kota dengan proporsi rumah tangga defisit konsumsi protein rendah.

Indikator lain yang mencerminkan penyerapan pangan oleh tubuh adalah status gizi, dimana status gizi merupakan gambaran kerawanan pangan di tingkat individu. Rumah tangga dengan ketahanan pangan yang baik, belum menjamin bahwa seluruh anggota keluarga terlindungi dari status gizi yang baik terlebih untuk anggota keluarga yang peka terhadap kerawanan pangan seperti ibu hamil dan balita. Prevalensi balita gizi

(26)

kurang dan buruk merupakan salah satu indikator yang mengambarkan kondisi terjadinya kerawanan pangan pada anggota masyarakat yang peka terhadap kerawanan pangan. Pada Tabel 14 ditunjukkan bahwa angka prevalensi gizi kurang dan buruk di Jawa Barat secara umum terjadi kecenderungan meningkat, walaupun ada beberapa kabupaten / kota yang mengalami penurunan. Angka prevalensi gizi kurang dan buruk terbesar didapat oleh Kabupaten dan Kota Cirebon yang pada tahun 2005 mencapai seperempat dari populasi balita yang ada.

Tabel 14. Perkembangan dan Keragaan Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Buruk Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 – 2005

( % )

Kabupaten/ Kota Balita Gizi Buruk

Tahun 2003

Balita Gizi Buruk Tahun 2004

Balita Gizi Buruk Tahun 2005 Kab Bogor Kab Sukabumi Kab Cianjur Kab Bandung Kab Garut Kab Tasikmalaya Kab Ciamis Kab Kuningan Kab Cirebon Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Subang Kab Purwakarta Kab Karawang Kab Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Jawa Barat 14.51 15.01 16.61 11.22 12.93 16.14 13.11 12.20 21.54 12.94 11.93 15.92 10.68 9.12 14.18 10.99 11.48 11.67 10.13 18.04 18.05 10.14 13.57 19.70 20.90 23.00 14.90 21.00 14.60 7.70 17.90 24.70 17.30 17.50 19.90 16.60 16.30 22.30 20.50 21.30 17.10 16.20 26.90 18.40 18.90 18.80 16.58 18.24 23.28 15.20 20.18 14.20 8.26 18.21 25.40 19.55 12.50 23.70 18.20 14.26 24.80 18.70 16.85 13.60 12.30 24.20 16.40 12.50 17.64

(27)

Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator penyerapan pangan, dimana angka kematian bayi merupakan indikator yang bisa mencerminkan perubahan status sosial dan ekonomi. Tingginya angka kematian bayi di suatu daerah bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti kemiskinan, penyakit infeksi, pendidikan yang rendah, akses ke pelayanan kebutuhan dasar yang rendah. Angka kematian bayi merupakan jumlah bayi yang mati dalam usia dibawah satu tahun dari 1000 kelahiran.

Tabel 15. Perkembangan dan Keragaan Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten / Kota di Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 – 2005

(Jiwa / 1000 Kelahiran Hidup) Kabupaten/ Kota Angka Kematian

Bayi Tahun 2003 Angka Kematian Bayi Tahun 2004 Angka Kematian Bayi Tahun 2005 Kab Bogor Kab Sukabumi Kab Cianjur Kab Bandung Kab Garut Kab Tasikmalaya Kab Ciamis Kab Kuningan Kab Cirebon Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Subang Kab Purwakarta Kab Karawang Kab Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Jawa Barat 53.54 58.67 60.00 40.67 57.01 54.90 56.75 48.77 55.00 55.25 42.37 64.58 47.67 63.41 60.30 51.00 29.00 40.26 36.21 39.33 40.30 44.20 49.96 47.41 51.45 52.10 38.50 56.98 55.50 53.51 48.50 54.70 49.78 41.85 55.64 42.39 57.32 58.50 50.22 28.47 38.96 36.10 37.71 35.54 33.38 46.57 45.85 44.50 54.00 38.76 48.76 53.40 56.70 49.30 52.80 56.40 44.20 66.20 49.45 62.58 60.48 52.60 25.80 41.70 32.30 38.20 34.80 32.40 43.70

(28)

Angka harapan hidup merupakan indikator yang dapat menggambarkan dampak kerawanan pangan yang terjadi di suatu wilayah. Umur harapan hidup dipengaruhi oleh kondisi kesehatan termasuk status gizi. Seseorang yang sejak lahir hingga usia lanjut hidup dengan kondisi kesehatan, sosial, ekonomi yang baik lebih berpeluang mencapai usia hidup yang tinggi. Berikut disajikan perkembangan dan keragaan angka harapan hidup menurut kabupaten/ kota di Jawa Barat.

Tabel 16. Perkembangan dan Keragaan Harapan Hidup Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 – 2005

( Tahun )

Kabupaten/ Kota Angka Harapan

Hidup 2003 Angka Harapan Hidup 2004 Angka Harapan Hidup 2005 Kab Bogor Kab Sukabumi Kab Cianjur Kab Bandung Kab Garut Kab Tasikmalaya Kab Ciamis Kab Kuningan Kab Cirebon Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Subang Kab Purwakarta Kab Karawang Kab Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Jawa Barat 66.10 63.00 64.10 66.80 59.90 66.10 64.00 65.10 63.30 63.50 66.70 63.70 65.60 64.10 62.90 67.00 68.00 66.20 68.80 67.60 68.10 71.80 64.50 67.20 65.10 64.60 68.45 62.30 66.60 65.10 65.90 62.80 67.00 67.80 64.20 66.50 64.80 65.80 68.50 68.40 67.50 70.80 68.20 69.60 71.90 65.70 68.85 65.70 65.65 70.20 63.20 65.35 65.85 66.65 64.10 67.40 67.87 64.08 66.95 65.97 65.08 68.13 71.30 69.10 71.50 70.60 70.80 72.10 66.80 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2005.

(29)

Secara nasional usia harapan hidup telah mengalami peningkatan demikian pula dengan Jawa Barat. Pencapaian angka harapan hidup ternyata tidak harus sejalan dengan peningkatan ekonomi semata tetapi juga dominan dipengaruhi faktor pendidikan dan kesehatan. Pencapaian angka harapan hidup di daerah perkotaan relatif lebih tinggi dibanding daerah perdesaan.

Gambar

Tabel  4.  Struktur Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 2005
Tabel  5. Potensi Sumber Daya Air di Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2007
Tabel 6. Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah  Kabupaten / Kota
Tabel 7. Perkembangan   dan  Struktur   PDRB   Provinsi    Jawa   Barat    Tahun   2001  -  2005  Harga Konstan Tahun 2000
+7

Referensi

Dokumen terkait

In the recent past, the use of unmanned aerial vehicles (UAVs) has increased, which can be ascribed to technical developments of electronic components and the possibility of

As shown in following screenshot, the node displays all the available passes, render layers and scenes present in the current rendered file.. Multiple Render Layers nodes can

Title Sub Title Author Publisher Publication year Jtitle Abstract Notes Genre URL.. Powered by

Seluruh Dosen Jurusan Teknik Industri Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah memberikan ilmu kepada saya selama 4 tahun mencari ilmu.. General Manager

Banyak pelajar di Indonesia yang tidak menyukai bahasa inggris dan menganggap belajar bahasa inggris itu sulit padahal diera globalisasi dengan teknologi yang canggih pelajar

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peranan kepemimpinan Kepala Desa di Desa Cemba sebesar 48,4% atau dikategorikan Cukup Baik, cara penyelesaian konflik

Hasil: Keterlambatan motorik menunjukkan hasil yang cukup signifikan berpengaruh terhadap riwayat imunisasi, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat