• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN TATA UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA DI DESA SIDOMULYO 1998

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERUBAHAN TATA UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA DI DESA SIDOMULYO 1998"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh:

Nama Mahasiswa : Ignatius Eko Fredianto Nomor Mahasiswa : 024314009

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA JOGJAKARTA

(2)

SKRIPSI

PERUBAHAN TATA UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA

DI DESA SIDOMULYO 1998

Disusun Oleh: Ignatius Eko Fredianto

NIM: 024314009

Telah Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing I

(3)

SKRIPSI

PERUBAHAN TATA UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA

DI DESA SIDOMULYO 1998

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Ignatius Eko Fredianto

024314009

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada Tanggal 6 Juni 2007

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tandan Tangan

Ketua : Prof. Dr. PJ. Suwarno, S. H …………..

Sekretaris : Drs. H. Purwanta, M. A …………..

Anggota : Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum …………..

Anggota : H. Purwanta, M. A …………..

Anggota : Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum …………..

Yogyakarta, Juni 2007

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Dekan,

(4)

Persembahan

Skripsi ini Kupersembahkan buat:

Almamaterku tercinta, kebanggaanku : Fakultas Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Jogyakarta.

Kedua orang tuaku: M. Sutarno dan Ch. Titik Suwarni Yuniarti yang selalu memberikan yang terbaik buat putra-putranya dengan kesabaran dan penuh kasih. Mauritius Bangun Dwi Hardika

(5)
(6)

Halaman Pernyataan Keaslian Karya

Skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi. Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.

Penulis bertanggung jawab penuh atas kebenaran fakta-fakta berdasarkan sumber-sumber yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini.

Jogjakarta, 21 Mei 2007

Penulis

(7)

ABSTRAK

Penulisan skripsi dengan Judul "Perubahan Tata Upacara Perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo 1998" ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa perubahan tata upacara perkawinan adat Jawa di Desa Sidomulyo ketika berhadapan dengan perubahan sosial masyarakatnya sebagai akibat krisis ekonomi yang dimulai sejak tahun 1997, yang secara urnum merupakan hagian dari Sejarah Kebudayaan dengan melihat perkembangan kebudayaan Jawa di daerah luar Jawa atau di luar tempat kebudayaan itu berasal.

Sebagai sebuah penulisan sejarah maka metode penelitian yang digunakan dalani penulisan skripsi ini melalui tahap-tahap: ditentukan wilayah penelitian. dan intorman guna pengumpulan sumber dari kepustakaan dan wawancara lisan: dengan teknik pengumpulan data, sumber-sumber yang kredibel dan otentik dianalisis diinterpretasikan ditafsirkan untuk merekonstruksi perstiwa yang dikaji.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini untuk menunjukkan bahwa masyarakat Desa Sidomulyo yang merupakan masyarakat transmigran dari suku Jawa telah alih generasi mencoba bertahan hidup di luar daerah tempat kebudayaan itu terlahir (daerah asal), bertahan hidup dalam dua hal: pertama survival pada tingkatan kebutuhan hidup yaitu bagaimana dapat bertahan hidup. mencapai kesuksesan dalam hidup secara materi, yang dihadapkan pada realitas berupa perubahan sosial yang sedikit banyak mempengaruhl pada perubahan struktur sosial masyarakatnya yang diakibatkan oleh krisis ekonomi; yang kedua survival pada tataran kebudayaan artinya masyarakat Sidomulyo sebagai suku Jawa mempunyai identitas yang mencoba bertahan untuk tetap diakui keberadaannya, mencoba untuk tidak berbenturan sehingga diharapkan terjadi keselarasan atau tolerasi antar suku, antar budaya dan lingkungan sosialnya.

(8)

ABSTRACT

The writing of thesis titled "the change in the arrangement of Javanese traditional wedding in Sidomulyo in 1998" is aimed at describing and analyzing the shift in the arrangement of Javanese wedding in Sidomulyo village when faced with the social change of its society due to the economical crises beginning in 1997. which is generally a part of cultural history, looking at the Javanese culture developing outside Java or in the place out of the origin of the culture.

As a historical writing, the method of the research adopted in this thesis included the following steps: the determination of the research area and the informant for collecting the data and other source from the library and interview. \Vith this data collecting technique, credible and authentic sources are analyzed and interpreted to reconstructing the reviewed event.

The obtained result of the research is to indicate that the society of Sidomulyo village is the migrant society coming from Java which comprises of tlie subsequent generation who tries to survive the place out of the origin of the culture. The survival of the society is viewed from second perspectives: firstly the survival from the level of living need . that is how to survive, to pursue the success in the material life, who are faced to the reality in the form of social change which at some extent affects tlie society's social structure which is caused by economical crisis: secondly the survival from the level of culture, meaning that sidomulyo people as the Javanese ethnic has the identity to tiy to survive in order that their existence is recognized, and to try to avoid the collision therefore it is hoped that the harmony and tolerance occur among ethnics. culture and social environment.

(9)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan segala puji dan memanjatkan rasa syukur luar biasa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna atas setiap cinta, jalan, pertolongan, kemudahan, rahmat dan hidayahNya, penulis berhasil mewujudkan skripsi dengan judul: Perubahan Tata Upacara Perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo 1998.

Penulis menghaturkan rasa hormat dan mengucapkan terimakasih kepada Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum. selaku Pembimbing Tunggal yang sudah bersedia banyak meluangkan waktu dan kesempatan untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini sampai terwujud, motivator, nasehat, hal-hal bijak, dan bertukar pikiran tentang banyak hal lintas ruang dan waktu.

Dalam Penulisan skripsi ini penulis banyak sekali melibatkan bantuan, dukungan, bimbingan, masukan dan sumbangan pemikiran, baik itu moril maupun materil, secara langsung maupun tidak langsung dari segenap pihak. Oleh karena itu sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan rasa terimakasih yang tak terhingga dan menjunjung hormat kepada:

1. Bapak Dr. Fr. B. Alip, M. Pd., M. A. selaku Dekan beserta staf kerja yang sudah memberikan kesempatan serta ijin kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

(10)

3. Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso yang telah memberikanku gambaran cara-cara berpikir logis dan sistematis untuk penulis.

4. Bapak Drs. H. Purwanta, M. A. yang sudah menyumbangkan pemikiran-pemikiran filosofi hidup bagi penulis.

5. Bapak Drs. Manu Joyoatmojo, Bapak Prof. Dr. P. Y. Suwarno, S. H., Bapak Drs. Anton Haryono, M. Hum., Bapak Paulus Suparmo, S. Ip., Romo Dr. F. X. Baskara T. Wardaya S. J., dan Ibu Dra. Juningsih, M. Hum yang mengajarkanku tentang kedisiplinan.

6. Mas Tri di Sekretariat Fakultas Sastra yang banyak disibukkan keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah.

7. Bapak Dr. St. Sunardi, Bapak Dr. Budiawan yang memberikanku pencerahan dalam menikmati ilmu pengetahuan.

8. Pimpinan UPT. Perpustakaan dan segenap staf kerja Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Jogjakarta yang telah banyak membantu dalam pengumpulan sumber literatur.

9. Sejumlah responden dari masyarakat Desa Sidomulyo yang memberikan keterangan (lisan) digunakan sebagai sumber dalam penulisan skripsi ini. 10.Segenap warga Kecamatan Belitang yang bersedia menerima penulis untuk

meneliti di daerah mereka.

11.Guru-guru sekolahku yang telah banyak berjasa mencetak generasi-generasi mengagumkan.

(11)

Nana”, Eka “Britpop”, Vianey, Krisna, Bertha “Bams”, Eddi, Agus , Nanno, Mamik, Feny, Roger “Dower”, Ada, Dary, Keke, Atiek, Halim “Cino.” Yuhan “Bang Jo Tile”, Nanto “A’a Atto”, Elang, dan Vila, dan rekan-rekan calon sejarawan semua di Jurusan Ilmu Sejarah, Kalian sangat istimewa!

13.Keluargaku tercinta di Belitang, Bapak Ibu tercinta, adikku.

14.Keluargaku di Jogja Pakde Uci Bude Hartik, Andri, Ari, Mas Anda, Mas Arul, dan seluruh keluarga di Bantul Bangun Jiwo.

15.Teman-temanku

16.Dan masih banyak pihak lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut andil untuk tersusunnya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan terdapat kekuarangan-kekuarangan karena khilaf dan keterbatasan. Oleh karena itu kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan agar karya ini bisa lebih baik lagi. Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis bercita-cita semoga hasil penelitian ini berguna bagi pembaca yang budiman.

Jogjakarta, 21 Mei 2007

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

HALAMAN ABSTRAK... vii

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 6

1. Identifikasi Masalah ... 6

BAB KEDUA : DINAMIKA BUDAYA DAN MASYARAKAT DESA SIDOMULYO ... 16

A. Sejarah Terbentuknya Sidomulyo ... 16

B. Letak Geografis dan Batas Wilayah... 16

C. Sosial Budaya Masyarakat Desa Sidomulyo... 21

1. Bahasa ... 22

2. Pendidikan... 24

(13)

4. Organisasi Sosial... 26

5. Peralatan dan Teknologi... 26

6. Sistem Religi ... 26

7. Kesenian... 27

BAB KETIGA : PERUBAHAN TATA UPACARA PERKAWINAN ... 29

A. Tata Upacara Perkawinan Adat Jawa... 29

1. Proses sebelum upacara perkawinan ... 29

1.1Nontoni... 29

2. Proses pelaksanaan upacara perkawinan... 36

2.1 Siraman ... 36

B. Perubahan Tata Upacara Perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo 45 1. Proses Tata Upacara Perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo 45 a. Proses Sebelum Upacara Perkawinan ... 46

1. Melamar ... 48

2. Penyampaian Undangan... 49

3. Pemasangan tarub... 50

4. Pembentukan Panitia... 50

5. Midodareni ... 51

b. Proses Pelaksanaan Upacara Perkawinan ... 51

1. Tahap Persiapan ... 51

2. Tahap Pelaksaan... 52

3. Tahap Akhir ... 53

c. Proses Sesudah Upacara Perkawinan... 53

BAB KEEMPAT : DAMPAK PERUBAHAN BAGI MASYARAKAT DAN TRADISI ... 55

A. Bagi masyarakat Desa Sidomulyo ... 55

1. Masyarakat Berhadapan Pada Modernisasi... 55

(14)

a. Organisasi Sosial ... 58

b. Peralatan dan Teknologi... 59

c. Sistim Religi... 59

d. Kesenian ... 60

3. Persepsi masyarakat terhadap perubahan... 61

B. Pada Tata Upacara Perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo ... 61

1. Pergeseran Fungsi Upacara Perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo ... 61

1.1.Fungsi Religi ... 61

1.2.Fungsi Sosial ... 62

1.3.Fungsi Budaya... 63

2. Esensi atau Nilai yang terkandung dalam tata upacara perkawinan 65 2.1 Nilai ritual ... 65

2.2 Nilai budaya ... 66

BAB KELIMA : PENUTUP... 68

A. Kesimpulan... 68

B. Rekomendasi ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(15)

DAFTAR TABEL

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tinggi rendahnya kebudayaan dan adat istiadat menunjukkan tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa. Peradaban dan kebudayaan itu bentuk dari tata nilai yang luhur dan suci yang diwariskan secara turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya. Peradaban di dalam masyarakat, berkembang sesuai dengan kemajuan jaman. Unsur-unsur pokok dan tata nilai dari sebuah tradisi dari sebuah kebudayaan tertentu sudah seharusnya dipertahankan, dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

Penulisan sejarah kebudayaan sudah sejak lama ada tetapi kemudian cenderung terlupakan karena perkembangan jaman yang lebih didominasi oleh topik di luar kebudayaan seperti sejarah politik, sejarah peristiwa dan orang-orang besar dan sebagainya. Porsi untuk penulisan sejarah kebudayaan dirasa masih sedikit dibandingkan dengan penulisan lain diluar topik kebudayaan. Seperti halnya pada penulisan sejarah kebudayaan Indonesia belum mendapat porsi dan perhatian yang banyak. Hal ini terlihat dengan minimnya penulisan dan minimnya sumber tertulis mengenai kebudayaan suatu daerah tertentu di Indonesia.

(17)

yang ada pada bangsa ini menjadi menarik, terlebih sebagai sebuah kekayaan budaya bangsa, sebagai tradisi leluhur yang harus dipertahankan. Selain itu, tulisan ini juga berupaya untuk memperluas wawasan tentang khasanah budaya bangsa sendiri yang hingga saat ini porsinya masih sedikit, yakni tentang sejarah kebudayaan.

Bangsa ini tidak boleh tenggelam dalam kekhilafannya mengesampingkan jati diri dan atau identitas budayanya sendiri. Lamprectht (1856-1915) menyebutkan “sejarah kebudayaan ialah sejarah dari seeleleben, kehidupan rohaniah sebuah bangsa.”1 Negara juga mempunyai keterkaitan dan peranan penting dengan budaya. Jadi sudah selayaknya negara bersahabat, ramah, tidak kejam, dan netral dengan budaya. Jacob Burckhardt (1818-1897) dalam karyanya Die Culture Der Renaissance in Italien menulis :

“Negara mempunyai hubungan dengan budaya, sebagai pendorong munculnya bentuk budaya dan sebaliknya, negara adalah bagian dari sistem budaya.”2

Merujuk pendapat di atas yang menyatakan bahwa negara adalah bagian dari sistem budaya. Dengan demikian negara mempunyai hubungan yang erat dengan budaya karena keduanya merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Keberadaan sebuah negara terbentuk melalui sebuah proses yang banyak dikupas dari segi peristiwa terbentuknya yang kemudian menjadi kajian bagi sejarah seperti pada sejarah terbentuknya suatu negara. Negara juga merupakan sebagai sebuah hasil dari kebudayaan masyarakat. Maka dapat dikatakan negara sebagai

1

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Jogjakarta: PT. Tiara Wacana, 1994), hal. 115

2Ibid

(18)

sebuah bentuk dan hasil dari kebudayaan dan di dalam negara terdapat berbagai bentuk kebudayaan.

Dengan demikian Sejarah kebudayaan juga dianggap perlu untuk dikaji karena sejarah kebudayaan merupakan bagian dari sejarah umum. Joseph H. Greenberg menuliskannya sebagai berikut:

“Sejarah kebudayaan adalah bagian dari sejarah umum, mengenai perkembangan-perkembangan historis bangsa-bangsa yang belum mengenal tulisan, pada waktu sekarang dan masa lampau.”3

Sejarah kebudayaan dikatakan sebagai bagian dari sejarah umum, dalam pengertian bahwa sejarah kebudayaan memperkaya, membentuk satu kesatuan sebagai bagian dari sejarah umum. Dapat pula dikatakan sejarah lokal sebagai bagian dari sejarah nasional. Fungsinya sama yaitu sebagai bagian yang membentuk sejarah umum, membentuk sejarah nasional.

Penulisan sejarah lokal di Indonesia, dalam hal ini daerah-daerah di luar pulau Jawa masih dirasa sedikit porsinya. Sejarah lokal dipahami sebagai sejarah yang mengambil topik pembahasan hanya pada skope spasial satu daerah saja. Kalau melihatnya secara administratif wilayah, sejarah lokal bermakna sejarah suatu Provinsi atau daerah jika itu dilihat dari skala Nasional.4 Sejarah lokal atau sejarah daerah juga ada yang menyebutnya sebagai sejarah mikro. Sejarah lokal misalnya sejarah dari suatu daerah tertentu, didalamnya dapat berupa sejarah muncul dan perkembangan daerah itu atau sebaliknya seperti sejarah hancur atau hilangnya daerah itu. Dalam hal ini sejarah lokal banyak mengambil konsentrasi

3

Taufik Abdullah dan Abdul Soerjomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, (Jakarta: PT. Gramedia,1985) hal. 213.

4

(19)

pada bidang sosial-budaya masyarakat. Dalam bidang sosial budaya masyarakat, seperti contohnya pada keseragaman tentang pemaknaan pada perayaan pada tiap siklus hidup manusia. Dalam hampir semua masyarakat di dunia dengan berbagai kebudayaan yang sudah dimiliki, perayaan pada tiap siklus hidup manusia sebagai sebuah kebudayaan yang ada pada tiap masyarakatnya.

Hidup individu di seluruh dunia, dibagi oleh adat masyarakatnya dalam beberapa siklus kehidupan. Pada waktu seorang individu beralih dari satu tingkat hidup ke tingkat hidup lain biasanya diadakan pesta atau upacara. Pesta atau upacara pada saat peralihan sepanjang tingkat hidup itu ada dalam hampir semua kebudayaan di seluruh dunia, hanya saja tidak semua saat peralihan dianggap sama pentingnya dalam semua kebudayaan.5

Suatu peralihan yang terpenting pada tingkat kehidupan dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga ialah perkawinan.6 Dengan demikian perkawinan menutup suatu masa tertentu dalam kehidupan individu.

Tata nilai kehidupan dalam masyarakat adalah semua aktifitas yang tercermin dalam kehidupan masyarakat. Hal ini termasuk pula upacara perkawinan. Dipandang dari sudut kebudayaan, perkawinan merupakan pengatur prilaku manusia sebagai pengatur prilaku seks, selain itu juga memiliki fungsi lain dalam kehidupan kebudayaan dan masyarakat. Manusia sebagai pemberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada anak yang dihasilkan, memenuhi kebutuhan hidup manusia akan teman hidup, harta, gengsi, dan kelas

5

Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. 1981. Hal. 89

6Ibid,

(20)

masyarakat serta sebagai pemeliharaan hubungan baik antara kelompok kerabat tertentu.7

Upacara perkawinan merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya. Penyelenggaraan upacara perkawinan itu sangat penting bagi pembinaan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Hal itu disebabkan salah satu fungsi dari upacara perkawinan adalah sebagai penguat norma serta nilai budaya yang telah berlaku secara simbolis ditampilkan melalui perayaan dalam bentuk upacara perkawinan.

Pelaksanaannya tata upacara perkawinan pada perkembangannya mengalami pergeseran baik itu dalam hal bentuk, pemaknaan, serta merosotnya nilai dan norma yang terkandung didalamnya. Maka kemudian dapat dikatakan terjadi perubahan pada tata upacara perkawinan. Dan upacara perkawinan sebagai bagian dari sebuah kebudayaan.

Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari daerah padat ke daerah yang masih jarang penduduk. Transmigrasi membawa serta kebudayaan dan adat istiadatnya atau dikatakan sebagai “usungan kebudayaan.” Pada lokasi baru transmigransi, upacara perkawinan adat Jawa sebagai bagian dari kebudayaan Jawa ini mendapat tempat dan perhatian (tidak dilupakan bahkan untuk ditinggalkan). Keberadaan penduduk dari suku Jawa yang tidak terpisah meskipun ditempatkan pada lokasi baru menjadi modal kuat pada pertahanan dan pelestarian budaya, adat istiadat masyarakat.

Perubahan pada tatanan sosial budaya juga sekaligus memberikan

7Ibid,

(21)

pengaruh pada perubahan tradisi dalam hal ini pada tata upacara perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo. Dalam proses perubahan itu modernisasi menjadi daya dorong efektif pada munculnya motifasi untuk sebuah perubahan pada tatanan kehidupan sosial budaya masyarakatnya.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Perubahan tata upacara perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo merupakan tema yang coba diangkat sebagai salah satu permasalahan tentang Sejarah Kebudayaan dan perkembangannya dalam masyarakat. Dimana masyarakat Sidomulyo sebagai masyarakat bentukan alih generasi dari generasi awal atau pendatang.

Seperti umumnya pendatang dari pulau Jawa terutama Jawa Tengah, generasi awal juga mengusung adat dan kebudayaan Jawa dan kemudian diteruskan dengan alih generasi pada generasi berikutnya. Disadari atau tidak usungan kebudayaan itu mencoba bertahan dan berkembang sesuai kondisi masyarakat pendukungnya dan sebagian menerobos daerah teretorial kebudayaan lokal.

(22)

Desa Sidomulyo. Tradisi ini yang paling kentara untuk melihat usungan adat dan Budaya Jawa sehingga hal ini cukup untuk menjadi alasan utama pemilihan topik.

2. Batasan Masalah

Sumatera menjadi sasaran program transmigrasi sekitar tahun 1930-an sampai dengan tahun 1980-an.

Desa Sidomulyo menjadi salah satu lokasi penempatan para transmigran dari pulau Jawa. Kiranya pembahasan ini tidak mencakup seluruh pulau Sumatera namun hanya dalam lingkup kecil di Desa Sidomulyo Propinsi Sumatera Selatan. Berhadapan dengan realitas kehidupan pada setiap daerah lokasi penempatan transmigran tentunya memiliki permasalahan dengan keunikan masing-masing ketika usungan kebudayaan itu berhadapan dengan relitas sosial masyarakat, dan perubahan jaman entah berbenturan, tumpang-tindih, atau bahkan memunculkan sebuah budaya baru yang dapat diterima masyarakat pendukungnya.

Pada tahun 1998 perubahan tata upacara perkawinan Adat Jawa sangat kentara terutama di Desa Sidomulyo. Tahun 1998 sebagai titik untuk melihat akumulasi dari perubahan itu. Maka tahun itu kemudian diambil untuk melihat perubahan yang banyak terjadi sebagai akumulasi perubahan yang disebabkan bebrbagai faktor sosial budaya masyarakatnya. Agar penelitian lebih fokus lagi, permasalahan akan dibatasi pada:

(23)

b. Prinsip “integrasi” dan prinsip “fungsi” digunakan sebagai sudut pandang untuk kemudian dilihat perubahan pada tatanan sosial masyarakat yang mempunyai hubungan kausalitas pada terjadinya perubahan tata upacara perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo.

C. Perumusan Masalah

1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perubahan tata upacara perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo?

2. Bagaimana perubahan tata upacara perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo tahun 1998 ?

3. Sejauh mana dampak perubahan pada masyarakat Desa Sidomulyo ?

D. Tujuan Penelitian a. Akademis

Penulisan ini bertujuan mendeskripsi dan menganalisa tentang perubahan tata upacara perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo pada tahun 1998 yang dipengaruhi oleh perubahan pada tatanan sosial, ekonomi dan budaya.

b. Praktis

(24)

E. Manfaat Penelitian 1. Teoretis

Penulisan ini dapat digunakan untuk memberikan data atau informasi tentang perubahan tata upacara perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo pada tahun 1998 yang behubungan dengan perkembangan secara umum Sejarah Kebudayaan Jawa yang ada di luar pulau Jawa.

2. Praktis

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana S1 Ilmu Sejarah. Serta untuk menambah penulisan tentang Sejarah Kebudayaan Jawa di luar pulau Jawa terutama yang menyangkut adat istiadat dan tata upacara perkawinan.

F. Kajian Pustaka

(25)

Perpaduan antara Budaya Jawa dengan ajaran-ajaran agama Islam kemudian menghasilkan kebudayaan baru yang diterima oleh masyarakat pendukungnya yaitu masyarakat Kauman.

Skripsi dengan judul Upacara Tradisi Perkawinan Jawa dan Perubahan Bentuk Sumbangan di Yogyakarta (studi kasus pada upacara perkawinan keluarga

Moelyono dan keluarga Bambang Sutrisno) yang ditulis oleh Novita Purnamasari. Tulisan ini mengambil sudut pandang pada struktur masyarakat dan pelapisan sosial. Tradisi nyumbang dalam pesta perkawinan kamudian menjadi sarana untuk menentukan tingkatan sosial masyarakat. Nyumbang bagi masyarakat Yogyakarta adalah usaha untuk memelihara hubungan baik, cara menunjukkan eksistensi diri dan meningkatkan prestise sosial dalam masyarakat serta menjadi usaha yang dilakukan masyarakat untuk menabung karena sumbagan dapat menjadi sumber pembiayaan yang dapat diharapkan kelak dikemudian hari. Upacara perkawinan bagi masyarakat Jawa dilakukan untuk menunjukkan keberadaan diri sebuah keluarga dalam masyarakat. Penyelenggaraan upacara perkawinan merupakan usaha masyarakat untuk menunjukkan status sosial.

Skripsi dengan judul Upacara Adat Perkawinan Orang Cina Totok di Surabaya mendeskrepsikan sebuah akulturasi budaya yang ditulis oleh Lidyawati

(26)

Budaya Jawa menjadi faktor pada terjadinya perubahan yang dimaksud. Meskipun masih ada beberapa unsur budaya asli yang masih dipertahankan.

Penulisan pada pembahasan topik yang sama di daerah lain seperti penulisan tentang Pola Perkawinan Dalam Masyarakat Kauman Daerah Istimewa Yogyakarta dan pada penulisan tentang Upacara Tradisi Perkawinan Jawa dan Perubahan Bentuk Sumbangan di Yogyakarta (studi kasus pada upacara perkawinan keluarga Moelyono dan keluarga Bambang Sutrisno lebih menitik beratkan pada struktural fungsional masyarakatnya sebagai pendorong perubahan. Pembagian masyarakat pada kelas-kelas sosial menurut seleksi alam dan aturan atau kesepakatan masyarakat pendukungnya yang pada gilirannya menyebabkan perubahan pada pola perkawinan. Sedangkan pada penulisan tentang Upacara Adat Perkawinan Orang Cina Totok di Surabaya lebih mendeskripsikan sebuah akulturasi budaya. Terjadi penggabungan budaya dalam hal ini Budaya Jawa, Eropa dan Cina sendiri sehingga menghasilkan budaya baru. Meskipun masih tetap ada beberapa unsur-unsur dari budaya asli yang masih tetap dipertahankan.

(27)

G. Landasan Teori

Pada konteks pembahasan mengenai perubahan tata upacara perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo, prinsip “integrasi” dan prinsip “fungsi” digunakan untuk menjelaskan tentang perubahan dari tata upacara perkawinan itu sendiri sebagai sebuah unsur kebudayaan dan budaya yang tetap melekat dan dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya Hal itu antara lain disebabkan tata upacara perkawinan dipandang masih berfungsi untuk mendukung jalannya hidup dan kehidupan mereka. Meskipun demikian ada beberapa pertimbangan yang menurut seleksi alam atau juga berdasarkan kesepakatan bersama pada akhirnya tata cara itu tidak dipatuhi sepenuhnya karena dinilai kurang memiliki nilai fungsi bagi masyarakatnya.

Perubahan pada tata upacara perkawinan Adat Jawa dalam hal ini lebih dilihat pada beberapa faktor sosial yang terjadi dan mempengaruhi pada perubahan itu. Beberapa faktor itu diataranya perpindahan penduduk dalam hal ini transmigrasi dan berbagai permasalahan yang terkandung dalam perpindahan penduduknya termasuk pada pada pola integrasi. Masyarakat Sidomulyo tidak berasal dari satu lokasi yang sama tetapi dari percampuran berbagai transmigran dari wilayah Jawa Tengah seperti; Solo, Jogyakarta, Wonogiri dan sebagainya yang memiliki kekhasan dan ciri tersendiri.

(28)

asing tersebut dapat menyesuaikan diri dengan bentuk kebudayaan setempat sesuai dengan kepribadian masyarakatnya.8 Prinsip fungsi yang dikemukakan oleh Kroeber yaitu unsur-unsur tersebut memiliki fungsi yang cukup penting di dalam masyarakat.9 Upacara perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo memiliki fungsi tetap meskipun terjadi perubahan pada tata upacaranya. Perubahan itu dilihat lebih pada pertimbangan ekonomis dan praktis.

H. Metodologi Penelitian 1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan beberapa langkah-langkah sebagai metode penelitian dalam memperoleh data yang berupa sumber primer :

a. Observasi, yaitu terjun langsung ke lapangan untuk melihat lebih dekat proses upacara perkawinan terutama dengan memperhatikan unsur-unsur yang mengalami perubahan

b. Wawancara, dengan wawancara langsung pada tokoh agama, pemuka adat, dan tokoh-tokoh masyarakat guna mendapatkan data tentang proses perkawinan dan aspek perubahannya.

2. Analisis Data

Dalam analisis data pengumpulan data dan sumber perlu ditekankan validitas atau keaslian sebagai landasan utama dalam membangun sebuah idea dan tesis. Metode wawancara dan observasi menjadi salah satu metode untuk mempertahankan validitas data dan sumber yang diperoleh untuk kemudian

8

Drs. Hb. Hery Santosa. “Manfaat Antropologi dalam Historiografi Indonesia.”,

Makalah. Yogyakarta: USD. 1994. hal. 6-7.

(29)

dituangkan dalam membangun gagasan sehingga diperoleh tesis. Secara lebih rinci data dan sumber baik primer maupun skunder diolah dengan dideskripsikan dan diinterpretasikan untuk dapat menggambarkan perubahan pada tata upacara perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo dan persepsi masyarakat pada perubahan.

3. Historiografi

Dalam tahapan terakhir ini penulis akan menyajikan sebuah rekonstruksi suatu peristiwa sejarah dalam bentuk tulisan yang mudah dipahami.

I. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini akan ditulis dalam lima bab yaitu bagian pertama merupakan pendahuluan pada bagian ini dijelaskan latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, kajian pustaka, landasan teori, metodoligi penelitian, serta sistematika penulisan dan jadwal penelitian.

Kemudian bagian kedua merupakan penjelasan mengenai dinamika sosial budaya masyarakatnya, yang berisi tentang sejarah singkat Desa Sidomulyo, letak geografis, dan batas wilayah, keadaan sosial budaya, yang meliputi; bahasa, pendidikan, sistem religi dan kesenian.

(30)

Pada bagian keempat dihilat dampak dari perubahan itu yang pertama dampak bagi masyarakat Desa Sidomulyo sendiri dan yang kedua untuk melihat dampak perubahan bagi tradisi yaitu menjelaskan tentang perubahan-perubahan fungsi pada tata upacara perkawinan Adat Jawa di Desa Sidomulyo baik itu perubahan fungsi upacara perkawinan Adat Jawa seperti pada perubahan bentuk, fungsi religi, fungsi sosial dan fungsi budaya. Perubahan itu juga dilihat pada esensi atau nilai yang terkandung didalamnya antara lain nilai ritual dan nilai budaya. Pada bagian ini juga diketengahkan bagaimana persepsi masyarakat pada perubahan itu.

(31)

BAB II

DINAMIKA BUDAYA DAN MASYARAKAT DI DESA SIDOMULYO

A. Sejarah Terbentuknya Desa Sidomulyo

Penduduk Desa Sidomulyo sebagian besar adalah keturunan dari Suku Jawa yang datang melalui program transmigrasi. Mereka tersebar di 127 desa transmigrasi dari 210 desa yang ada di wilayah OKU Timur.10 Penempatan transmigran untuk daerah Belitang berlangsung dari tahun 1930-an melalui program kolonisasi massal yang dilakukan pemerintah Belanda.11 Pelaksanaan tahap pertama tahun 1930-an dilaksanakan penempatan transmigran untuk wilayah Belitang sejumlah 100 orang.12 Penempatan transmigran untuk daerah Belitang pada periode tahun 1965-1980, tercatat ada sebelas tahap penempatan untuk daerah Belitang pada tahun yang sama.13 Penempatan transmigran pada daerah ini didasarkan pada permintaan Tengku Hasan Abdulah, yang pada waktu itu penguasa dan ketua adat Komering, agar wilayah Belitang diberi “tambahan” penduduk.14

Desa Sidomulyo secara administratif berada di wilayah Kecamatan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Propinsi Sumatra Selatan.

Sejarah berdirinya Desa Sidomulyo ini, ditelusuri dengan cacatan resmi atau dokumentasi yang mengungkapkan tentang keberadaan Desa Sidomulyo. Selain itu data yang diperoleh berupa cerita-cerita atau kisah-kisah dari

Wawancara dengan Sudisuwarno tanggal 2 Oktober 2006. di Desa Argopeni

13

www.nakerstran.go.id

14Op.cit

(32)

masyarakat setempat yang disampaikan secara lisan yang diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Cacatan harian seorang warganegara Belanda mengatakan:

Maandag, 19 December 1949.

Vanmorgen om half vijf was het reveille en om half zeven vertrokken we. Ik ben precies vijftien maanden en tien dagen in Belitang geweest, in kampong Sidomuljo. Ik vond het jammer om weg te gaan, want ik heb het in Belitang altijd erg naar mijn zin gehad. En als je ergens zo lang geweest bent en je kent er verschillende mensen en je hebt er vrienden gemaakt, dan is het niet prettig om weg te gaan.

Om ongeveer acht uur kwamen we hier in Muntjakkabau aan. Dat was natuurlijk een drukte van belang, want iedereen was druk bezig zich te installeren.15.

Senin tanggal 19 Feberuari 1949,

(pagi itu saya terbangun pukul setengah lima dan kami berangkat pukul setengah tujuh pagi. Tepat tanggal 15 Februari saya sudah 10 hari berada di Belitang sendirian, di Kampung Sidomulyo. Saya mengalami berbagai hambatan maka saya memutuskan untuk pergi, oleh karena itu saya menganggap tidak ada yang menarik dari Belitang. Dan apabila terlalu lama sendiri akan terasa perbedaan antar penduduk, hal ini bagi saya tidak menyenangkan maka saya memilih untuk pergi.

Kira-kira sekitar 8 jam jarak antara Sidomulyo dengan Muncak Kabau. Sudah sewajarnya daerah ini ramai karena tiap orang sibuk dengan kepentingannya masing-masing).

Merujuk cacatan harian itu, dapat diketahui bahwa desa Sidomulyo sudah dikenal pada tahun 1949, dan pada tahun itu desa ini sudah memiliki penduduk yang cukup ramai.

Ada beberapa cerita kesaksian dari penduduk antara lain menurut keterangan dari bapak Jumarno selaku sesepuh masyarakat Desa Sidomulyo, menjelaskan bahwa daerah ini sebelum terbentuk menjadi sebuah desa dulunya merupakan pemukiman kecil yang disebut penduduk ladang yang dihuni kurang

15

(33)

dari 10 kepala keluarga (penduduk rantauan/transmigran) yang berasal dari Solo, Propinsi Jawa Tengah.

“Isek okeh alas karo alang-alang, aku yo neng alas nebang.”16

(masih banyak hutan belantara, saya membuka hutan dengan menebangnya).

Di sekeliling pemukiman kecil masih banyak hutan dan semak belukar yang kemudian ditebangi untuk jadi lahan garapan masyarakatnya masih suka berpindah pindah baru kemudian menetap. Seiring dengan bertambahnya kebutuhan hidup dan tempat tinggal maka mereka membuka hutan tersebut. Berawal dari cara hidup masyarakat petani yang masih berpindah-pindah tempat dengan membuka hutan untuk menjadikannya sebagai lahan pertanian maka kemudian mereka membentuk komunitas sendiri. Penduduk yang ada waktu itu kemudian menggabungkan diri terus netep.17 (penduduknya menggabungkan diri kemudian menetap). Sebagian dari mereka menetap dan membagi tanah dengan kesepakatan bersama-sama. Dalam perkembangan selanjutnya perkampungan itu berkembang menjadi desa yang padat penduduk seiring dengan perjalanan waktu. Informasi lain diperoleh dari Bapak Barino, tokoh masyarakat Desa Sidomulyo. Ia menjelaskan bahwa sekitar kurang lebih Tahun 1940, ia bersama keluarganya dengan para tetangga dan bersama orang-orang yang ikut mendaftar transmigrasi dengan tujuan Sumatera.

Tahun 1930-an didatangkan penduduk dari pulau Jawa dalam program kolonisasi massal yang dilakukan pemerintah Belanda ke beberapa wilayah di

16

Wawancara dengan Jumarno Tanggal 10 Oktober 2006 di Desa Sidomulyo

(34)

Sumatera Selatan dan salah satunya di daerah Ogan Komering Ulu.18 Mereka ditempatkan pada daerah-daerah penempatan transmigrasi dan menetap. Para transmigran hidup berkelompok dengan lahan yang diberikan pemerintah. Pemerintah memberi lahan 2 hektar untuk persawahan (tanah garapan) dan 0,5 hektar untuk pekarangan.19 Namun ada dari sebagian transmigran yang membuka lahan sendiri (tebang hutan) di lokasi lain (di sekitar daerah unit penempatan transmigran tersebut).

Perpindahan penduduk dari Jawa ke daerah ini, tidak ada unsur pemaksaan dari pemerintah waktu itu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Baryono yang mengatakan:

“aku melu transmigrasi neng Sumatera ora dipekso, biyen ono pendaftaran nggo seng gelem melu transmigran, aku melu wae.”20

(saya ikut transmigrasi ke Sumatera tidak dipaksa, dulu ada pendaftaran untuk yang mau ikut transmigrasi, aku ikut saja)

Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu memberikan kebebasan siapa saja yang bersedia ikut program transmigrasi. Hal ini dapat dibuktikan dari tanggapan penduduk seperti yang diungkapkan oleh bapak Baryono.

“Seng melu transmigran roto-roto seko wilayah Solo, Surakarta, Yogyakarta, termasuk aku melu pendaftaran solo.”21

(yang ikut transmigrasi rata-rata dari wilayah Solo, Surakarta, Yogyakarta, termasuk saya ikut pendaftaran Solo)

Pelaksanaan trasmigrasi oleh Pemerintah Belanda waktu itu hanya ditujukan untuk penduduk dari Jawa yang dianggap cukup padat. Sebagian penduduk yang ikut trasmigrasi berasal dari wilayah Jawa Tengah

(35)

Pada perkembangan selanjutnya dengan bertambahnya penduduk asli maupun pendatang, Desa Sidomulyo menjadi daerah perkampungan hingga sekarang. Berdasarkan keterangan dari Kartowinangun selaku ketua adat, ”ceritone diawali seko musyawarah warga kampung neng ngarep omahe sesepuh

masyarakat waktu kui isek mbah Sentono, terus kabeh podo sepakat Sidomulyo

dadi jeneng deso.”22 (ceritanya dimulai dari musyawarah warga kampung di

depan rumah sesepuh masyarakat, waktu itu sesepuhnya masih mbah Sentono, terus semua sepakat Sidomulyo menjadi nama desa).

Setelah beberapa kali mengadakan musyawarah akhirnya warga kampung sepakat Sidomulyo sebagai nama desa mereka. Nama Desa Sidomulyo bila dilihat dari etimologi berasal dari kata sido dan mulyo. Sido yang artinya jadi (menjadi) dan mulyo artinya kaya, makmur, ramai.23 Pemberian nama itu dengan harapan nantinya akan menjadi desa yang ramai dan makmur.

B. Letak Geografis dan Batas Wilayah

Desa Sidomulyo terletak antara dua jalur menuju Ibukota Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) bagian Timur dan Ibukota Propinsi Sumatera Selatan. Jarak antara Desa Sidomulyo dengan Gumawang sebagai Ibukota Kecamatan Belitang sejauh kurang lebih 8 kilometer, dan jarak dengan Martapura sebagai Ibukota Kabupaten OKU Timur kurang lebih 84 kilometer, sedangkan jarak dengan Palembang sebagai Ibukota Propinsi 360 kilometer.

Adapun batas-batas wilayah Desa Sidomulyo sebagai berikut :

22

Wawancara dengan Kartowinangun Tanggal 16 September 2006 di Desa Sidomulyo.

(36)

- Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Harjowinagun - Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Desa Tawang Rejo - Sebelah Barat : Berbatasn dengan Desa Triyoso

- Sebelah Timur : Berbatasn dengan Desa Tanjung Raya dan Rejo Sari24 Belitang terbagi menjadi tiga kecamatan yaitu Kecamatan Belitang I, Belitang II dan Belitang III. Desa Sidomulyo termasuk kedalam Kecamatan Belitang I, dengan Gumawang sebagai ibukota kecamatan. Daerah Mesuji Kecamatan Ogan Komering Ilir (OKI), Kecamatan Madang Suku I, Madang suku II, Madang Suku III, merupakan daerah-daerah asli bentukan penduduk lokal. Hal itu terlihat dari etimologi bahasa penamaan daerahnya sedangkan daerah Belitang merpupakan daerah bentukan transmigran begitu juga dengan penamaan desa-desa di Kecamatan Belitang seperti Desa Sidomulyo, Sumberejo, Jogya, Solo, dan sebagainya.

C. Keadaan Sosial Budaya masyarakat Desa Sidomulyo

Belitang termasuk pada Desa Sidomulyo awalnya merupakan salah satu basis pelestarian budaya Jawa di Sumatera yang masih kuat hingga sekarang. Berbagai pertunjukan seni tradisional masih terus digelar, seperti reog, jatilan, ketoprak, dan wayang kulit. Soal wayang kulit, dari sekitar 100 dalang Wayang Purwa yang ada di Sumsel, sebanyak 67 dalang tinggal di daerah Belitang. Sementara untuk budaya suku asli sendiri sudah hampir tidak terlalu menonjol. Sampai saat ini budaya suku asli yang masih ada hanyalah ”runcak-runcakan” atau lebih populer di kenal dengan sebutan ”lempar selendang.” Namun secara

24

(37)

garis besar, budaya di Belitang lebih di dominan oleh budaya orang-orang pendatang

Keadaan sosial budaya masyarakat Desa Sidomulyo tidak terlepas dari unsur kebudayaan yang universal. Seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat antara lain bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, peralatan dan teknologi, mata pencaharian, sistem religi dan kesenian.25

1. Bahasa

Bahasa merupakan alat komunikasi dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa orang akan kesulitan dalam berkomunikasi dalam kehidupan sisoal. Masyarakat Sidomulyo terdiri dari dua suku yaitu suku Jawa yaitu para para transmigran yang telah alih generasi dan suku Komering sebagai penduduk asli.

Ada hal yang menarik dalam penggunaan bahasa sehari-hari karena secara alami masyarakat baik penduduk asli maupun pendatang berusaha menyesuaikan diri dalam hal berkomunikasi dengan lawan bicara. Penyesuaian diri yang dimaksud di sini dapat dilihat dalam tiga bentuk. Pertama antara penduduk asli dengan penduduk asli maka dalam komunikasi mereka menggunakan bahasa Komering. Yang kedua antara penduduk asli dengan penduduk keturunan pendatang (transmigran yang telah laih generasi) dalam hal ini suku Jawa, maka kencenderungan orang pendatang berusaha menyesuaikan diri yaitu dengan berkomunikasi dalam bahasa Komering meskipun tidak seluruh percakapan. Dan hanya segelintir orang dari penduduk asli yang bila berkomunikasi dengan

25

(38)

penduduk keturunan pendatang (suku Jawa), mau menggunakan bahasa Jawa ngoko. Sedangkan yang ketiga apabila yang berkomunikasi sama-sama dari suku

Jawa (keturunan pendatang) maka mereka akan menggunakan bahasa Jawa ngoko. Dari pengamatan beberapa lama selama tinggal di sana, keturunan pendatang yang merupakan suku Jawa jarang bahkan tidak pernah menggunakan bahasa jawa krama yang masyarakat dari Jawa Tengah mengenalnya ada tiga tingkatan bahasa

Jawa madya yaitu krama inggil, krama madya dan ngoko. Artinya aturan-aturan tentang tata bahasa, lawan bicara tidak sepenuhnya ditaati. Komunikasi antar pendatang dari suku Jawa lebih sering menggunakan bahasa Jawa ngoko dan menarik pula pada perkembangan dewasa ini mereka lebih banyak menggunakan bahasa Komering misalnya niku yang berarti kamu, pagas yang berarti bunuh, dan seterusnya.. Tetapi tentu semua orang, terutama pendatang, tidak mengerti bahasa setempat. Untuk itu mereka mempergunakan bahasa pengantar untuk wilayah bekas Kesultanan Palembang. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa melayu palembang, seperti seperti kau (kamu), dimano (dimana), nak kemano (mau kemana), galak idak (mau apa tidak) dan seterusnya sebagai bahasa pengantar percakapan sehari-hari. Selain bahasa Melayu-Palembang dan bahasa Indonesia, bahasa Jawa menjadi salah satu bahasa percakapan sehari-hari di Desa Sidomulyo.

(39)

Bangun Harjo, SidoMulyo, Donoharjo, Sido Dadi, Banyumas, Tegalrejo, dan seterusnya dan seterusnya.26

2. Pendidikan

Sudah menjadi kenyataan bahwa pemerintah pusat timpang dalam pemerataan pembangunan yang sebagian besar berpusat terpusat di pulau Jawa. Maka tak heran pembangunan di daerah-daerah luar pulau Jawa terabaikan dan terkesan lamban dalam pembangunan disemua sektor, termasuk dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada tingkat pendidikan setiap penduduknya yang masih rendah.

Masyarakat Desa Sidomulyo umumnya untuk kelompok umur 30 tahun keatas mayoritas berpendidikan sekolah dasar, hal ini terlihat dalam tabel berikut :

Tabel I. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2005

No Tingkat Pendidikan Jumlah %

1 Belum sekolah 1111 19,14

2 Tidak tamat SD 735 12,66

3 Tamat SD 1930 33,26

4 Tamat SLTP 568 9,78

5 Tamat SLTA 1408 24,26

6 Perguruan tinggi 50 0,68

Jumlah 5802 100

Sumber : Monografi Desa Sidomulyo Tahun 2005

Sebagian besar penduduk terutama yang berusia 30 tahun keatas mengenyam pendidikan sampai tingkat SD. Pada generasi pertama penduduk penduduk pendatang dalam hal pendidikan seperti kurang menjadi perhatian utama karena umunya masih terfokus pada usaha-usaha bertahan hidup, pada

26Op.cit.

(40)

lokasi, tempat hidup baru di daerah trasmigran disamping minimnya sarana dan prasarana.

3. Mata pencaharian

Berdasarkan monografi Desa Sidomulyo dapat diketahui sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan sebagian pedagang ataupun buruh, serta beberapa bekerja di instansi pemerintahan daerah.

Sistim irigasi yang cukup baik dan tingginya tingkat kesuburan tanah menjadikan daerah Belitang sebagai daerah penghasil beras yang cukup besar untuk Propinsi Sumatera Selatan. Selain pada tingkat kesuburan tanah dan irigasi yang baik ketrampilan penduduk pendatang dalam mengolah lahan dan bercocok tanam tentunya menjadi dukungan tersendiri pada tingkat sumberdaya manusia yang memadai. Berikut adalah tabel tentang jenis mata pencaharian masyarakat Desa Sidomulyo :

Tabel II. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Sidomulyo Berdasarkan KK Tahun 2005

No Jenis matapencaharian Jumlah (jiwa) %

1 Petani 4522 96,52

2 Pedagang 12 0,25

3 Pegawai negeri 56 1,19

4 Polisi/TNI 7 0,14

5 Buruh 58 1,2

6 Tukang 30 0,64

Jumlah 4685 100

Sumber : Monografi Desa Sidomulyo Tahun 2005

(41)

Pada perkembangan beberapa tahun terakhir sektor wiraswasta mengalami peningkatan terutama pada industri rumah tangga pembuatan genteng.

4. Organisasi sosial

Masyarakat Desa Sidomulyo membentuk berbagai organisasi sosial masyarakat seperti koprasi paguyuban petani yang berfungsi membantu petani dalam mendapatkan suntikan modal juga berbagai informasi tentang pertanian terutama pada persawahan. Sebagai masyarakat transmigran yang telah alih generasi mereka juga membentuk perkumpulan keluarga guna mempererat persaudaraan seperti trah. Para pemuda juga mempunyai wadah organisasi selain yang berlatarbelakang agama yaitu Karang Taruna.

5. Peralatan dan teknologi

Dalam perkembangan yang ada sekarang ini, masyarakat Desa Sidomulyo sudah menggunakan peralatan dan teknologi yang cukup maju. Seperti pada sektor pertanian yang menjadi andalan utama untuk daerah ini, sudah menggunakan alat-alat pertanian yang moden.

6. Sistem religi

(42)

selamatan untuk tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan seribu hari. Masyarakat Desa Sidomulyo masih melaksanakan beberapa ritual keagamaan terutama dengan latar belakang adat Jawa meskipun tidak sepenuhnya. Artinya masyarakat melaksanakan hanya sebatas ungkapan syukur dan formalitas untuk menunjukkan identitas diri sebagai masyarakat dengan latar belakang budaya Jawa.

7. Kesenian

Manusia membedakan antara “pengetahuan” (kebenaran) dan “etika” (kebaikan), berdampingan dengan sebuah bidang ketiga, yaitu penghayatan seni (keindahan).27 Kesenian menjadi sebuah kebutuhan penyelaras antara kebenaran dan kebaikan antara pengetahuan dan etika. Menurut S. Budhisantoso kesenian merupakan ungkapan rasa keindahan, salah satu kebutuhan manusia yang universal, tidak hanya dimiliki oleh orang kaya atau orang yang berkecukupan melainkan juga kebutuhan orang miskin ataupun mereka yang serba kesulitan.

Kesenian sebagai salah satu cabang dari unsur kebudayaan telah banyak mewujudakan hasil-hasil seni diantaranya seni rupa, seni suara, seni musik, seni tari, dan lainnya yang bertujuan untuk mengatur hubungan manusia, tetapi hal itu juga untuk mewujudkan perasaan-perasaan seseorang.

Alat musik yang dipergunakan oleh masyarakat Desa Sidomulyo hingga saat ini tetap memiliki ciri kas Jawa, seperti alat pukul yang dibuat dari logam berbentuk bulat yang atasnya ada benjolan sebesar telur ayam biasanya disebut alat musik gending. Sedangkan pada kesenian lainnya masyarakat Desa

27

(43)
(44)

BAB III

PERUBAHAN TATA UPACARA PERKAWINAN

A. Tata Upacara Perkawinan Adat Jawa

1. Proses sebelum upacara perkawinan

1.1.Nontoni

Melihat dari dekat keadaan keluarga dan gadis yang sesungguhnya. Dilakukan oleh seorang congkok (wali) atau wakil dari keluarga pemuda yang akan mencari jodoh. Dalam hal ini dibicarakan sekitar kebutuhan untuk biaya perkawinan

1.2. Meminang

Disebut juga melamar, setelah taraf nontoni berakhir diteruskan dengan taraf meminang. Apakah rencana perkawinan dapat dilanjutkan atau tidak. Kalau ternyata ada kecocokan maka congkok meneruskan tugasnya untuk mengadakan perundingan lebih lanjut dengan istilah ngebunebunesuk, anjejawah sonten. Barang-barang yang disediakan dalam upacara lamaran pengantin antara lain28 :

a. Sirih ayu mempunyai makna agar dapat terlaksana dengan selamat (rahayu)

b. Kain batik dengan motif yang melambangkan kebahagiaan seperti: Kain sidamukti, satria wibawa, sidaluhur, sidadrajat, sidamulya.

c. Beberapa potong kain kebaya

d. Ikat pinggang (stagen)dari benang lawe berwarna putih sebagai tanda kemauan yang kaut

e. Buah-buahan segar yang mempunyai makna agar selalu sehat sejahtera f. Beras, kelapa, gula, garam, dan minyak sayur lambang kebutuhan pokok

28

(45)

g. Cincin polos sepasang yang mempunyai makna kemauan yang telah bulat untuk sama-sama menempuh hidup berumah tangga (pelaksanaan tukar cincin sebelum resmi ijab, dengan cara memasang cincin masing-masing di jari manis tangan kiri. Pada saat upacara panggih cincin dipindahkan dari jari manis tangan kiri kejari manis tangan kanan yang disebut dengan tukar kalpika)

h. Pihak keluarga calon pengantin laki-laki membarikan sejumlah uang sebagai ungkapan saling bantu antara kedua pihak keluarga calon pengantin yang nantinya uang tersebut digunakan untuk keperluan upacara perkawinan, dengan jumlah uang disesuaikan menurut kemampuan masing-masing.

1.3.Paningset

Setelah terdapat kesepakatan antara orang tua calon pengantin putra dan calon pengantin putri, maka orang tua calon pengantin putra menyampaikan sepucuk surat kepada orang tua calon pengantin putri dengan maksud untuk menentukan waktu pelaksanaan paningset29. Surat tersebut dijawab oleh orang tua calon pengantin putri yang isinya menentukan hari, tanggal, tahun serta jam penyerahan paningset dapat dilangsungkan. Berikut adalah tata urutan upacara paningset antara lain30 :

1. Ayah sang gadis menerima cacatan mengenai macam-macam barang sebagai tanda ikatan anak gadisnya serta menyampaikan ucapan terima kasih kepada calon besannya.

2. Tamu yang bertugas menyerahkan barang-barang tanda pengikat perlu meneliti macam-macam dan jenisnya serta jumlahnya apakah telah sesuai dengan cacatan yang diterima oleh orang tua dari sang gadis ataukah tidak. Hal ini menjaga agar tidaknya timbul prasangka yang kurang baik.

3. Setelah itu ayah sang gadis meninggalkan tempat untuk memberi tahukan kepada istrinya mengenai jumalh barang-barang tanda pengikat dengan menyampaikan atau memperlihatkan cacatan dari calon besan. Setelah selesai kambali ketempat untuk menemui tamunya.

4. Tamu yang bertugas menyerahkan barang-barang tanda pengikat kepada ayah sang gadis sesuai cacatan.

5. Ibu sang gadis menerima barang-barang tanda ikatan disertai ucapan terima kasih atas pemberian calon besan, dan disaksikan para tamu yang hadir

29

Ibid

(46)

pada waktu itu. Barang-barang tanda ikatan yang paling pokok adalah berupa:

a. Satu lembar kain batik bermotif truntum b. Satu lembar kain pelangi untuk kemben

c. Sebentuk cincin lintring pengantin itu cincin yang terdiri dari dua lilitan seolah-olah dua cincin dijadikan satu berdampingan satu sama lain d. Pengiringan tanda ikatan terdiri dari:

- Enam lembar kain batik dan enam lembar kemben batik (enam potong bahan baju perempuan)

- Sebentuk cincin bermata Satu e. Pelengkap tanda ikatan terdiri dari:

- Hasil bumi (beras, kelapa, kacang tanah, dan sebagainya) - Buah-buahan

- Kue-kue

Pelengkap tanda ikatan ini sebaiknya dibagi-bagikan kepada tetangga-tetangga. Hal ini secara tidak resmi memberitahukan kepada tetangga bahwa anak gadisnya sudah diikat oleh seseorang perjaka sekaligus untuk memohon doa restu agar mendapatkan keselamatan.

1.4. Srah-srahanan

Bila hari perkawinan sudah dekat, keluarga calon pengantin putra memberikan hadiah kepada keluarga calon pengantin wanita sejumlah hasil bumi, peralatan rumah tangga, dan kadang-kadang disertai sejumlah uang. Barang-barang dan uang tersebut dipergunakan untuk menambah biaya penyelenggaraan perkawinan nantinya. Semua benda yang akan diserahkan kepada pihak mempelai wanita ini selanjutnya disebut pasok tukon.31

Sesaji pada waktu Srah-srahan dilaksanakan apabila waktu telah dekat kira-kira dua atau tiga hari sebelum pelaksanaan ijab kabul menurut agama masing-masing, orang tua pihak calon pengantin putra menyerahkan barang-barang kepada orang tua calon pengantin putri32. Penyerahan barang-barang

31

Ibid

(47)

tersebut sesuai dengan kemampuan orang tua calon pengantin putra. Meskipun demikian ada hal-hal yang pokok yang perlu mendapat perhatian yaitu33 :

a. Ayam jantan dan betina (sepasang), apabila salah satu ada yang hamil semuanya terbuat dari tembaga (untukm masa sekarang diganti dengan alat-alat dapur)

d. Jolen berisi: nasi dengan segala lauk pauknya disertai bermacam-macam kue.

e. Jolen yang berisi: pakaian lengkap untuk calon pengantin putri (bukan busana pengantin tetapi pakaian biasa, unag secukupnya, perhiasan secukupnya dan minyak wangi).

Keterangan :

1. Apabila salah satu orang tua calon pengantin sudah meninggal dunia maka dalam upacara srah-srahan disertai dengan gong bendhe-bendhe.

2. Untuk saat sekarang jarang yang masih memiliki jolen, untuk menggantikan jolen dapat juga dipergunakan nampan besar asal cukup besar dan rapi.

3. Bila rombongan pembawa jolen telah tiba dirumah calon pengantin putri, disambut dengan gending upacara srah-srahan yaitu Nalanganjur Pelog Barang.

1.5.Pingitan

Menjelang saat perkawinan kurang lebih tujuh hari sebelumnya, calon pengantin putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh menemui calon pengantin putra dan kadang-kadang dianjurkan untuk puasa. Selama masa pingitan calon pengantin putri melulur seluruh badan.

(48)

1.6. Tarub

Seminggu sebelum upacara perkawinan dimulai, pihak calon pengantin putri memasang tarub dan tratak. Kalau dikota-kota besar dua atau tiga hari sebelumya upacara perkawinan dimulai.

Setelah pemasangan tarub disusul dengan pemasangan tratak, yaitu memasang hiasan-hiasan dengan dengan macam-macam daun-daun dan buah buahan. Tempat-tempat yang perlu dipasang tarub yaitu bagian depan rumah, tempat pentas untuk macam-macam hiburan, di bagian depan dapur, di kanan kiri samping rumah (bila mungkin).34

Untuk memasang tarub dan tratak tarub biasanya dipilih dan dicari hari yang paling baik dengan maksud agar pelaksanaan selanjutnya tidak mengalami gangguan atau halangan apapun. Sebelum menentukan hari yang baik untuk pemasangan tarub dan tratak tarub perlu kiranya diberikan petunjuk perhitungan sistem nilai hari dan pasaran sebagai berikut35 :

Tabel III. Petunjuk Perhitungan Sistem Nilai Hari dan Sepasaran

No Hari Nilai Pasaran Nilai

Selanjutnya untuk menentukan hari yang baik dapat dipilih perhitungan seperti daftar dibawah ini:

Tabel IV. Jumlah Hari Makna dan Artinya

No Jumlah Nilai Makna/Arti Sifatnya

1 7 atau 13 Makmur, tentram dan damai baik

34

Ibid

(49)

2 8 atau 14 Siluman laki-laki buruk

3 9 atau 15 Jongkok buruk

4 10 atau 16 Sungguh-sungguh dan berbudi luhur Baik

5 11 atau 17 Siluman perempuan Buruk

6 12 atau 18 Bencana alam buruk

Agar lebih jelas berikut ini contoh cara menghitung nilai dari hari dan pasaran yang baik untuk pemasangan tarub dan tarub tratak, misalnya:

Hari Kamis nilai = 8 Pasaran nilai = 8__ +

16

Jumlah nilai 16 dalam daftar di atas masuk dalam urutan ke-4 makna atau sifatnya sungguh-sungguh dan berbudi luhur. Jadi jumlha nilai itu adalah hari dan pasaran yang baik untuk memasang tarub dan tarub tratak.

Tarub tersebut dibuat dari anyaman janur tua (daun kelapa) yang dianyam

secara kusus dan khas. Anyaman tersebut dinamakan betepe. Hiasan tarub harus memenuhi persyaratan yang disebut sarana tarub (sarana tarub)36 antara lain :

1. Janur kuning dengan segala macam bentuk dan model atau motif

2. Kelapa gading dan kelapa muda yang dipasang kanan kiri pada pintu gerbang

3. Satu tandan pisang raja yang masih di pohon dan sudah hampir masak 4. Pohon tebu wulung, padi dan lain-lain

Arti simbolis tarub berasal dari kata benda artinya "bangunan secara darurat" yang dipakai untuk sementara waktu selama perhelatan berlangsung.

Tarub dibangun khusus di sekeliling bangunan rumah orang yang akan

mempunyai hajatan sebagau tujuan37 :

a. Secara lahiriah: Membuat tambahan bangunan atau ruangan untuk tempat duduk para tamu yang diundang dan keperluan lain lain agar tidak kepanasan dan kehujanan.

b. Secara batiniah: mempunyai arti simbolis, pembuatan tarub ada persyaratan kusus dan tiap-tiap persyaratan mengandung arti religius. Persyaratan kusus disebut srana dan sesaji tarub dengan tema pokok agar selama menyelenggarakan upacara adat selamat, tanpa ada aral melintang.

36

Ibid

(50)

Srana tarub disebut tawuhan yang terdiri dari:

1. Sepasang pohon pisang raja yang telah berbuah dan hampir masak mengandung arti:

a. Agar mempelai kelak dapat menjadi pemimpin keluarga, lingkungan dan masyarakat luas secara baik;

b. Seperti pohon pisang yang dapat tumbuh dan hidup dimanapun juga serta dapat mengahasilkan buah. Diharapkan agar pasangan pengantin kelak dapat membangun keluarga di mana saja dan dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan seperti halnya pohon pisang. 2. Sepasang tebu wulung yaitu tebu dengan kulit berwarna

kemerah-merahan. Secara simbolis dapat diartikan:

a. Tebu diartikan dengan melihat dari singkatan dari atebing kalbu. Atebing artinya ketekatan/kebulatan, kalbu arti sanubari. Jadi arti keseluruhan dari atebing kalbu adalah adanya kebulatan tekat dari hati sanubari sehingga tidak mudah dipengaruhi;

b. Wulung artinya tebu wulung yang berwarna hitam kemerah-merahan, melambangkan adanya kematangan jiwa (mulus/matang)

Artinya keseluruhan dari kedua pengantin diharapkan agar segala sesuatu yang telah dipikirkan masak-masak dilaksanakan dengan tekat bulat dan pantang menyerah (mulak sarira hangrasa wani);

3. Dua tandan buah kelapa gading yang masih muda (cengkir), secara simbolis dapat diartikan:

a. Kelapa gading yaitu kelapa yang kulitnya kuning melambangkan kedua pengantin sudah saling tertarik dan saling mencintai;

b. Kelapa muda yaitu kelapa muda yang masih kecil dan belum dapat dimakan dinamakan cengkir. Akronim yang berasal dari kata kencenging pikir artinya kedua pengantin agar memiliki pikiran yang teguh agar tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun.

Arti keseluruhan ialah agar kedua pengantin mempunyai pendirian yang kuat dalam membina rumah tangga dikemudian hari, saling asih, asah, asuh.

4. Macam-macam daun yang baru saja ditebang antara lain: a. daun beringin

(51)

Perlengkapan busana pengantin apabila saatnya telah tiba sesudah pasang tarub maka busana diatur sebagai berikut38 :

1. Bapak calon pengantin putri memakai busana kain bermotif truntum (cakar ayam), sabuk sindur yaitu sabuk yang terbuat dari kain selendang warna putih dan tengah-tengahnya merah.

2. Ibu calon pengantin putri sabuk sindur dipakai sebagai ikat pinggang juga dan cara pemakaiannya tertutup oleh baju kebaya. Pada waktu upacara ijab kabul, bapak dan ibu masih tetap memakai truntum dan kain sindur. Pada waktu upacara adat berlangsung bapak dan ibu pengantin baik putra maupun putri boleh memakai kain bebas tetapi masih tetap memakai ikat pinggang sindur, sanum apabila tidak tersedia busana lainnya dapat juga memakai busana kain sindur. Biasanya motif kain kebaya, beskap dan surjan masih tetap sama hanya dalam resepsi jenisnya lain dan biasanya lebih baik.

3. Untuk pengantin putri apabila pemasangan tarub telah selesai, calon pengantin putri berbusana kain yang bermotif nitik, sedangkan baju kebaya yang dipakai bebas asal masih baru. Busana pengantin putra masih bebas. Dalam malam midodareni calon pengantin berdua sudah boleh disebut pengantin, karena dalam malam midodareni biasanya sudah mendekati waktu ijab kabul. Busana yang dipakai oleh kedua pengantin dalam malam midodareni adalah kain bermotif binatang misalnya kupu-kupu, burung-burungan dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar anak-anaknya kelak tidak meniru sifat-sifat seperti binatang. Pengantin putri tidak diperbolehkan mempergunakan perhiasan.

4. Untuk pengantin putra berbusana kain dengan corak sama dengan pengantin putri, memakai ikat kepala (blangkon menurut gaya masing-masing), berkalung karset, memakai keris, namun praktisnya pada malam midodareni cukup memakai jas lengkap.

2. Proses pelaksanaan upacara perkawinan 2.1. Siraman

Pada malam midodareni tata rias untuk kedua pengantin putra dan putri diawali dengan memandikan dan mencuci rambut kedua pengantin dengan air kembang setaman yang disebut siraman. Air kembang setaman adalah sebagai berikut39 :

38

Ibid

(52)

1. Air ditempatkan di dalam tempayan boleh menggunakan jembangan terbuat dari tanah liat atau ember plastik tetapi harus baru

2. Air di dalam tempayan yang tersebut diberi kembang setaman seperti bunga melati, bunga menur, bunga kantil, bunga kenanga, dan bunga mawar.

3. Setelah itu juru rias memandikan dengan cara mengguyur kepala calon pengantin putri tiga kali dan selanjutnya diteruskan oleh bapak dan ibu calon pengantin putri dan diteruskan oleh para panisepuh sebanyak lima atau tujuh orang dengan masing-masing menyiram tiga kali.

Upacara siraman berlangsung sehari sebelum akad nikah. Akad nikah dilangsungkan menurut agama masing-masing dan hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara adat. Upacara siraman kedua pengantin dimulai dengan40 :

a. Siraman pengantin putri

1. Pengantin putri pada upacara siraman sebaiknya mengenakan kain dengan motif grompol yang dirangkapi dengan kain mori putih bersih sepanjang dua meter, dengan rambut terurai;

2. Yang bertugas menyirami pengantin putri adalah ayah dan ibu pengantin putri disusul ayah dan ibu pengantin putra diteruskan oleh orang-orang tua serta keluarga yang dianggap telah pantas sebagai teladan. Siraman ini dilanjutkan dan diakhiri oleh juru rias dan akhirnya dilakukan oleh pengantin sendiri.

b. Siraman pengantin putra

Urut-urutan upacara siraman pengantin putra sama seperti siraman pengantin putri tetapi yang menyiram pertama adalah ayah dan ibu pengantin putra.

Setelah upacara memandikan calon pengantin, calon pengantin putri dipaes dilanjutkan dengan selamatan. Menjelang malam hari pengantin putri mengadakan malam midodareni.

Untuk memandikan pengantin atau siraman terdapat beberapa tuntunan doa secara umum sebagai berikut41 :

1. Saya berniat memandikan pengantin bertumpahan batu gilang menggunakan gayung pulung sari

2. Disiram tanggal satu nampak seperti tanggal sepuluh dan bila disiram tanggal sepuluh seperti bulan purnama tanggal lima belas

3. turunnya para bidadari sekethi kurang satu bagaikan dewi Supraba 4. Turunlah, songsonglah sang pengantin

40

Ibid

(53)

5. Cahaya bersinar bagaikan sang rembulan, simbar jaja di dada sang pengantin

6. Memiliki cahaya, cahaya sang Subawaya 7. Songsonglah sang pengantin.

2. 2. Upacara Malam Midodareni

Dalam upacara malam midodareni pengantin putri mengenakan busana polos artinya dilarang mengenakan perhiasan apapun kecuali cincin pertunangan.42 Pada malam midodareni itulah baru dapat dikatakan pengantin dan sebelumnya disebut calon pengantin. Pada malam itu pengantin putra datang kerumah pengantin putri untuk berkenalan dengan keluarga dan rekan-rekan pengantin putri. Setibanya pengantin putra salah seorang pendamping menyerahkan kepada ayah dan ibu pengantin putri. Hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah43 :

1. Empat kain sindur untuk dipakai oleh orang tua kedua belah pihak

2. Empat meter kain mori putih yang dibagi menjadi dua bagian masing-masing dua meter

3. Dua lembar tikar yang akan digunakan untuk duduk pengantin putri waktu dirias

4. Dua buah kendi untuk siraman pengantin putra-putri

5. Dua butir kelapa gading yang masih utuh dan masih ada tangkainya 6. Sebutir telur ayam mentah dan baru

7. Sebungkus bunga setaman

8. Satu bauh baskom yang telah ada airnya untuk membasuh kaki pengantin putra

9. Dua helai kain sindur dengan bentuk segi empat digunakan pada upacara tampa kaya atau kantungan yang terbuat dari kain apa saja. Pada Upacara tampa kaya yang perlu disediakan adalah; kantungan yang berisi unag logam, beras, kacang hijau, kedelai, jagung dan lain-lain.

10.Dahar klimah yaitu upacara makan bersama-sama pengantin saling

menyuapi. Pada upacara dahar klimah makanan yang perlu disiapkan adalah nasi kuning ditaburi dengan bawang merah yang telah digoreng, telur dadar diiris kecil-kecil, ikan teri yang telah digoreng, dan opor ayam. Sesaji pada waktu midodareni yaitu nasi santan satu nampan kecil yang

42

Ibid

(54)

diatasnya diletakkan ayam inkung jantan dan betina yang telah masak disertai lauknya. Lauk tersebut terdiri dari sepiring sayur kol diiris-iris kecil, ketimun diiris-iris bergerigi, taoge pendek dan kemangi.

2.3. Ijab kabul

Upacara akad nikah/ijab kabul dilaksanakan menurut agamanya masing-masing. Dalam hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara selanjutnya. Misanlnya bagi pemeluk agama Islam akad nikah dengan mendatangkan penghulu. Setelah upacara akad nikah selesai pengantin putra tetap menunggu di luar untuk menantikan upacara selanjutnya. Yang perlu mendapat perhatian ialah selama upacara akad nikah pengantin putra tidak boleh mengenakan keris dan kain yang dipakai kedua pengantin tidak boleh bermotif hewan begitu pula blangkon yang dipakai oleh pengantin putra.44

Menjelang upacara panggih pengantin putra secara resmi diserahkan kepada orang tua pengantin putri. Dalam upacara tersebut pengantin putra diiringi oleh para keluarga dan rekan-rekan terdekat. Dalam penyerahan pengantin putra wakil dari keluarga putra berdiri agak jauh dari depan pintu yang disambut oleh wakil dari keluarga pengantin putri, sedangkan pengantin putri telah menantikan di dalam dan pengantin putra berdiri dibelakang wakilnya.45

2.4. Panggih

Setelah melaksakana akad nikah disusul dengan upacara panggih yaitu pengantin putra dan putri dipertemukan secara adat.46

44

Ibid

45

Ibid

Gambar

Tabel I. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2005
Tabel II. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Sidomulyo  Berdasarkan KK Tahun 2005
Tabel III. Petunjuk Perhitungan Sistem Nilai Hari dan Sepasaran
Tabel V. upacara panggih secara kronologis
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian hiou pertama sekali dilakukan oleh pihak parboru/tondong na bayu yaitu dari kedua orangtua pengantin perempuan dan yang pertama sekali mendapatkan hiou adalah kedua

Di desa Tarikolot, dampak yang ditimbulkan dari hadirnya industri telah merubah pola kehidupan masyarakat, terutama perubahan perilaku sosial seperti pergeseran perilaku

Upacara perkawinan adat Jawa gaya Solo Putri di Kabupaten Lumajang diperkenalkan pertama kali oleh orang-orang yang berasal dari Jawa timur kulonan (bagian barat) di

Upacara adat bersih-desa Tawun diyakini masyarakat setempat sebagai upacara yang memiliki nilai sakral yang sangat penting bagi kehidupan mereka, sehingga upacara ritual ini

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan mengenai Persepsi Masyarakat Tentang Perubahan Desa menjadi Kampung Adat (DesaAdat) di Desa Kuala Gasib Kecamatan

Melihat hal itu, maka penulis melakukan penelitian dengan tiga fokus pokok pembahasan yaitu: pertama, Bagaimana prosesi perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat

Dari hasil penelitian dapat ditunjukan bahwa Masyarakat Desa Nalumsari Masih Melestarikan Adat/Tradisi “Langkahan“ Pada Upacara Perkawinan (Yang Melangkahi Kakaknya)

Pada upacara kidung ini sendiri, setelah dilihat dari segi pelaksanaan serta kepercayaan yang ada dibaliknya, nampak adanya usaha masyarakat yang menjalankan tradisi yang