• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Program Keluarga Berencana (KB) 2.1.1 Pengertian, Visi, dan Misi

Program KB adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insiden kehamilan berisiko tinggi, kesakitan dan kematian (BKKBN, 2006).

Paradigma baru KB Nasional (KBN) telah diubah visinya dari mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan “Keluarga Berkualitas Tahun 2015”. Menurut Saifuddin (2006), keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Paradigma baru program KB ini menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Visi tersebut dijabarkan ke dalam 6 (enam) misi, yaitu:

1. Memberdayakan masyarakat untuk membangun keluarga kecil berkualitas;

2. Menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, kemandirian, dan ketahanan keluarga;

(2)

4. Meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi;

5. Meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender melalui program KB; dan

6. Mempersiapkan SDM berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai dengan usia lanjut.

2.1.2 Tujuan dan Manfaat

Menurut Mochtar (2000), keluarga berencana bertujuan untuk membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara mengatur kelahiran anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun manfaat KB menurut Mochtar (2000) adalah: (1)

2.1.3 Alat Kontrasepsi KB Pria

Menurunkan angka kematian; (2)Mencegah kehamilan terlalu dini; (3)Mencegah kehamilan terjadi di usia tua; (4)Menjarangkan kehamilan dan persalinan; dan (5) Mencegah terlalu sering hamil dan melahirkan.

Kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti ”melawan” atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan sel telur yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Kontrasepsi menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan antara sel telur dan sel sperma (Suratun, dkk 2008). Sedangkan menurut Siswosudarmo (2001), pada dasarnya prinsip kerja kontrasepsi adalah meniadakan pertemuan antara sel telur (ovum) dengan sel mani (sperma). Kontrasepsi ada yang bersifat permanen dan ada yang

(3)

bersifat tidak permanen dan memungkinkan pasangan untuk mendapatkan anak apabila diinginkan (Aidillah, 2006). Jadi penggunaan kontrasepsi merupakan salah satu variabel yang memengaruhi fertilitas (Sarwono, 2002).

Menurut Hartanto (2004), ada dua pembagian cara kontrasepsi yaitu :

1. Kontrasepsi Sederhana. Kontrasepsi sederhana terbagi atas kontrasepsi tanpa alat dan kontrasepsi dengan alat/obat. Kontrasepsi sederhana tanpa alat dapat dilakukan dengan senggama terputus dan pantang berkala. Kontrasepsi dengan alat/obat dapat dilakukan dengan menggunakan kondom, diafragma atau cup, cream, jelly atau tablet berbusa (vaginal tablet).

2. Kontrasepsi Modern/Metode Efektif. Menurut Hartanto (2004), cara kontrasepsi modern antara lain : pil, AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim), suntikan, implant, serta metode mantap, yaitu dengan operasi tubektomi (sterilisasi pada wanita) dan vasektomi (sterilisasi pada pria).

Menurut Siswosudarmo (2001), ada beberapa komponen keefektifan alat kontrasepsi, antara lain :

1. Keefektifan teoritis, adalah kemampuan sebuah cara kontrasepsi untuk mencegah kehamilan apabila cara tersebut digunakan sebagaimana mestinya.

2. Keefektifan praktis (pemakaian), adalah keefektifan yang terlihat dalam kenyataan di lapangan setelah pemakaian jumlah besar, meliputi segala sesuatu yang mempengaruhi pemakaian, seperti kesalahan, penghentian, kelalaian, dan lain-lain.

(4)

3. Keefektifan program, adalah keefektifan sebuah cara dalam sebuah program baik di tingkat lokal, propinsi, maupun nasional.

4. Keefektifan biaya (cost effectiveness), adalah perbandingan antara sebuah cara atau program dengan hasil yang diharapkan, baik berupa jumlah akseptor, jumlah yang terus memakai, efek samping, penurunan angka kesuburan, dan lain-lain.

Menurut Saifuddin (2003), tidak ada satu pun metode kontrasepsi yang aman dan efektif bagi semua klien, karena masing-masing mempunyai kesesuaian dan kecocokan individual bagi setiap klien. Namun secara umum persyaratan metode kontrasepsi ideal adalah sebagai berikut:

1. Aman, artinya tidak akan menimbulkan komplikasi berat bila digunakan.

2. Berdaya guna, artinya bila digunakan sesuai dengan aturan akan dapat mencegah terjadinya kehamilan.

3. Dapat diterima, bukan hanya oleh klien melainkan juga oleh lingkungan budaya di masyarakat.

4. Terjangkau harganya oleh masyarakat.

5. Bila metode tersebut dihentikan penggunaannya, klien akan segera kembali kesuburannya.

Kontrasepsi pada pria menurut BKKBN (2006) adalah vasektomi (Medis Operasi Pria) dan kondom.

a. Vasektomi

Vasektomi berasal dari perkataan : (a) vas = vas deferen = saluran mani = saluran yang menghubungkan testis dengan urethra dan menjadi saluran untuk

(5)

transpor sel mani, (b) ektomi = memotong dan mengangkat. Jadi vasektomi dalam arti yang murni berarti memotong dan mengangkat saluran vas deferens kanan dan kiri. Akan tetapi, yang dimaksud dengan vasektomi untuk KB menurut BKKBN (2008) adalah bilateral partial vasektomi, yaitu memotong sebagian kecil vas deferen kanan dan kiri masing-masing kurang daripada 1 cm. Dengan demikian vasektomi hanya menghalang-halangi transpor bibit laki-laki (spermatozoa). Vasektomi merupakan upaya untuk menghentikan fertilitas di mana fungsi reproduksi merupakan ancaman atau gangguan terhadap kesehatan pria dan pasangannya serta melemahkan ketahanan dan kualitas keluarga (Saifuddin, 2003).

Kontrasepsi jenis vasektomi dalam sehari-harinya biasa disebut dengan kontrasepsi mantap (kontap) karena merupakan suatu metode operatif minor pada pria yang sangat aman, sederhana dan sangat efektif, memerlukan waktu yang sangat singkat dan tidak memerlukan anastesi umum (Anna, 2006). Senada dengan pendapat tersebut, Tjokronegoro (2003) mengatakan vasektomi adalah cara KB yang mantap di mana saluran air mani (vas deferens) diputuskan sehingga sperma dari dalam testis tidak akan keluar bersama cairan mani lain pada saat bersetubuh.

Vasektomi adalah satu-satunya cara sterilisasi pria yang diterima sampai saat ini. Vasektomi harus dibedakan dengan kebiri (pengambilan kedua testis) karena dengan vasektomi hanya perjalanan sperma dari testis ke dunia luar yang diputus, tepatnya dengan memotong dan mengambil sebagian dari vas deferens. Seseorang yang telah menjalani vasektomi masih mengeluarkan semen tetapi bebas sel sperma (spermatozoa) dan masih memiliki keinginan berhubungan seksual (libido) secara

(6)

normal, bahkan potensi dan kepuasannya pun tidak berubah. Vasektomi merupakan operasi kecil yang cukup dilakukan dengan anestesi lokal (Hartanto (2004).

Menurut BKKBN (2007), kelebihan metode kontrasepsi vasektomi adalah: 1. Mudah pelaksanaannya dengan pembiusan setempat kurang lebih 15 menit; 2. Bekas operasi hanya merupakan luka yang cepat sembuh;

3. Tidak mengganggu hubungan seksual;

4. Tingkat kegagalan rendah hanya ± 0,3 dari 100 tindakan vasektomi; dan 5. Merupakan metode mantap.

Sedangkan menurut Hartanto (2004), keuntungan vasektomi antara lain: (1)Tidak ada mortalitas (kematian); (2)Morbiditas (akibat sakit) kecil sekali; (3)Tidak perlu mondok di rumah sakit; (4)Waktu operasi hanya 15 menit dan dilakukan dengan pembiusan setempat; (5)Sangat efektif (kemungkinan gagal tidak ada) karena dapat diperiksa kepastiannya di laboratorium; dan (6)Tidak membutuhkan biaya yang besar.

Pelayanan vasektomi ini hanya diberikan kepada akseptor yang memenuhi syarat sebagai berikut, yaitu: (1)Tidak ingin memiliki anak lagi di kemudian hari; (2)Telah memiliki jumlah anak yang ideal, sehat jasmani dan rohani; (3)Rumah tangga bahagia dan harmonis; (4)Telah persetujuan dari istri; dan (5)Sukarela tanpa paksaan.

Menurut Siswosudarmo (2001), syarat seseorang yang menginginkan kontap antara lain: (1) Harus sudah memiliki sekurang-kurangnya satu anak, meskipun kebanyakan dokter baru mau melakukan sterilisasi kalau pasangan tersebut sudah

(7)

memiliki sekurang-kurangnya dua anak, (2) Faktor sosial ekonomi memengaruhi pertimbangan untuk memilih cara ini, (3) Adanya perkawinan (keluarga) yang stabil, sebab perceraian setelah kontap menimbulkan penyesalan yang sangat sulit diatasi. Tidak mudah menilai kestabilan dalam rumah tangga, tetapi lamanya perkawinan dan jumlah anak, umur suami dan istri setidaknya dapat mencerminkannya.

Menurut BKKBN (2007), vasektomi tidak disarankan untuk: 1. Pasangan muda yang masih ingin mempunyai anak;

2. Pasangan yang kehidupan perkawinannya bermasalah; 3. Pasangan yang mengalami gangguan jiwa;

4. Pasangan yang belum yakin terhadap keinginan pasangannya; dan

5. Pria/suami yang menderita diabetes, kelainan jantung dan pembekuan darah, hernia dan testisnya membesar dan nyeri.

b. Kondom

Kondom merupakan salah satu alat kontrasepsi pria yang paling mudah dipakai dan diperoleh, baik melalui apotek maupun toko obat dengan berbagai merek dagang. Kondom terbuat dari karet/lateks, berbentuk tabung tidak tembus cairan, dimana salah satu ujungnya tertutup rapat dan dilengkapi kantung untuk menampung sperma (BKKBN, 2007).

Menurut Hartanto (2004), manfaat kondom untuk pasangan suami istri adalah: (1)Efektif untuk mencegah kehamilan, (2)Tidak ada efek samping, (3)Dapat dibeli dengan mudah dan murah, dan (4)Ideal untuk seks yang tidak direncanakan. Kondom di samping sebagai alat KB juga berfungsi untuk mencegah Infeksi Menular Seksual

(8)

(IMS) termasuk Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency

Syndrome (HIV/AIDS).

Menurut Hartanto (2004) kelebihan kondom adalah sebagai berikut: (1)Bila digunakan secara tepat dapat mencegah kehamilan dan penularan penyakit menular seksual; (2)Kondom tidak memengaruhi kesuburan jika digunakan dalam jangka panjang; dan (3)Kondom mudah didapat dan tersedia dengan harga yang terjangkau.

Sedangkan keterbatasan kondom adalah sebagai berikut:

1. Kekurangan penggunaan kondom memerlukan latihan dan tidak efisien;

2. Karena sangat tipis maka kondom mudah robek bila tidak digunakan atau disimpan sesuai aturan;

3. Beberapa pria tidak dapat mempertahankan ereksinya saat menggunakan kondom;

4. Setelah terjadi ejakulasi, pria harus menarik penisnya dari vagina bila tidak, dapat terjadi kehamilan atau penularan penyakit menular seksual; dan

5. Kondom yang terbuat dari latex dapat menimbulkan alergi bagi beberapa orang.

2.2. Partisipasi

Menurut Theodorson dalam Mikkelsen (2003), partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud bukan bersifat pasif, tetapi secara aktif ditunjukkan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan seseorang dalam suatu kelompok sosial

(9)

untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakat di luar pekerjaan atau profesinya sendiri. Sedangkan Mikkelsen (2003) memberikan tafsiran yang berbeda tentang partisipasi, yaitu:

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek pembangunan, tetapi mereka tidak ikut terlibat dalam pengambilan keputusan; 2. Partisipasi adalah proses untuk membuat masyarakat menjadi lebih peka untuk

meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek pembangunan;

3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan sesuatu hal;

4. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara komunitas lokal dan pihak penyelenggara, pengimplementasian, pemantauan, dan pengevaluasian staf agar dapat memperoleh informasi tentang konteks sosial ataupun dampak sosial; 5. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang

ditentukan oleh dirinya sendiri; dan

6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.

Partisipasi masyarakat merupakan sesuatu yang harus ditumbuhkembangkan dalam proses pembangunan, tetapi di dalam praktiknya tidak selalu diupayakan sunguh-sungguh (Slamet, 2003). Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan, kemauan dan kemampuan individu dalam melakukan kegiatan tersebut.

(10)

Conyer dalam Soetomo (2006), mengemukakan partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat secara sukarela yang didasari oleh determinan dan kesadaran diri masyarakat itu sendiri dalam program pembangunan. Conyers dalam Soetomo (2006), menyatakan ada 5 (lima) cara untuk melibatkan keikutsertaan masyarakat yaitu:

1. Survai dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan;

2. Memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melakukan tugasnya sebagai agen pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan dalam perencanaan;

3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang yang semakin besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi;

4. Perencanaan melalui pemerintah lokal; dan

5. Menggunakan strategi pembangunan komunitas (community development). Mikkelsen dalam Soetomo (2006) mengembangkan asumsi teoritik bahwa pembangunan menjadi positif apabila ada partisipasi masyarakat dan sebaliknya kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti adanya penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat itu sendiri dan secara eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana program.

Club du Sahel dalam Mikkelsen (2003) mengemukakan beberapa pendekatan untuk memajukan partisipasi yaitu:

(11)

1. Pendekatan pasif, pelatihan dan informasi; yakni pendekatan yang beranggapan bahwa pihak eksternal lebih menguasai pengetahuan, teknologi, keterampilan, dan sumber daya. Dengan demikian partisipasi tersebut memberikan komunikasi satu arah, dari atas ke bawah dan hubungan pihak eksternal dan masyarkat bersifat vertikal.

2. Pendekatan partisipasi aktif; yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi secara lebih intensif dengan para petugas eksternal. Contohnya pendekatan partisipasi ini adalah pelatihan dan kunjungan.

3. Pendekatan partisipasi dengan keterikatan; masyarakat atau individu diberikan kesempatan untuk untuk melakukan pembangunan, dan diberikan pilihan untuk terikat pada sesuatu kegiatan dan bertanggung jawab atas kegiatan tersebut.

4. Pendekatan dengan partisipasi setempat; yaitu pendekatan dengan mencerminkan kegiatan pembangunan atas dasar keputusan yang diambil oleh masyarakat setempat.

Menurut Adi (2008) yang mengutip pendapat Mikkelsen (2003), partisipasi yang sesungguhnya berasal dari masyarakat itu sendiri yang merupakan tujuan dalam suatu proses demokrasi. Menurut Chambers (1996), istilah partisipasi digunakan untuk mengggambarkan proses permberdayaan (empowering process). Dalam hal ini, partisipasi dimaknai sebagai suatu proses yang memampukan (enable) masyarakat lokal untuk melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara untuk mengatasinya, mendapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputussan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin

(12)

mereka pilih. Chambers (1996) menggambarkan bahwa “kita” (pelaku perubahan) berpartisipasi dalam program “mereka” (masyarakat lokal) sehingga terjadi apa yang disebut proses pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan pendapat Chambers dan Mikkelsen (2003) di atas, maka Adi (2008) menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah, dan potensi yang ada dalam masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengevaluasi perubahan yang terjadi. Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai tahap perubahan ini akan membuat masyarakat menjadi lebih berdaya dan dapat semakin memiliki ketahanan dalam menghadapi perubahan. Sebaliknya, bila masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam berbagai tahapan perubahan dan hanya bersifat pasif dalam setiap perubahan yang direncanakan oleh pelaku perubahan. Masyarakat cenderung akan menjadi lebih tergantung pada pelaku perubahan. Bila hal ini terjadi terus-menerus, maka ketergantungan masyarakat pada pelaku perubahan akan meningkat.

Menurut Craig dan Mayo dalam Yustina (2003), “empowerment is road to participation”. Pemberdayaan merupakan syarat bagi terciptanya suatu partisipasi

dalam masyarakat. Belum adanya partisipasi aktif dalam masyarakat untuk menciptakan kondisi yang kondusif pada proses pembangunan mengisyaratkan belum berdayanya sebagian masyarakat kita. Keberdayaan memang menjadi syarat untuk berpartisipasi, karena merupakan sesuatu yang sulit bagi masyarakat. Ketika mereka

(13)

dikehendaki untuk berpartisipasi namun tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang segala aktivitas yang mendukung proses pembangunan.

Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari keikutsertaan langsung masyarakat dalam program Pemerintah maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti: sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam kebijakan Pemerintah. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khususnya dalam pengambilan keputusan (Kusdamayanti, 2007).

Menurut Mikkelsen (2003), salah satu faktor yang menjadi perhatian untuk menelaah tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor sosial budaya. Faktor sosial budaya memengaruhi keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan proses pembangunan. Hadi dalam Dwiyanti (2005) mengemukakan bahwa faktor penghambat untuk meningkatkan partisipasi publik di Indonesia adalah:

1. Faktor sosial, seperti: tingkat pendidikan, pendapatan dan komunikasi;

2. Faktor budaya, meliputi: sikap dan perilaku, pengetahuan dan adat istiadat; dan 3. Faktor politik; dan

4. Faktor birokrasi para pengambil keputusan.

Menurut Mikkelsen (2003), rendahnya partisipasi masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

(14)

1. Adanya penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat dan penolakan eksternal terhadap Pemerintah;

2. Kurangnya dana;

3. Terbatasnya informasi, pengetahuan atau pendidikan masyarakat; dan 4. Kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Menurut Depkes RI (2006), partisipasi adalah keadaan dimana individu, keluarga, maupun masyarakat umum ikut serta bertanggung jawab terhadap kesehatan diri, keluarga, ataupun kesehatan masyarakat lingkungannya. Dalam suatu masyarakat bagaimanapun sederhananya, selalu ada suatu stimulus. Mekanisme ini disebut pemecahan masalah atau proses pemecahan masalah.

Dalam hal keikusertaan ber-KB, partisipasi pria adalah suatu proses dimana individu, keluarga dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program KB. Peningkatan partisipasi masyarakat menumbuhkan berbagai peluang yang menungkinkan seluruh anggota masyarakat untuk secara aktif berkontribusi dalam pembangunan sehingga dapat menghasilkan manfaat yang merata bagi seluruh warganya (Depkes RI, 2003).

2.2.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Ber-KB

Mikkelsen (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi masyarakat yaitu:

1. Faktor sosial yaitu dilihat dari adanya ketimpangan sosial masyarakat untuk berpartisipasi;

(15)

2. Faktor budaya yaitu adanya kebiasaan atau adat istiadat yang bersifat tradisional statis dan tertutup terhadap perubahan;

3. Faktor politik, yaitu apabila proses pembangunan yang dilaksanakan kurang melibatkan masyarakat pada awal dan akhir proses pembangunan sehingga terkendala untuk berpartisipasi dan pengambilan keputusan.

Hikmat (2001) mengatakan bahwa perbedaan latar belakang kultur (budaya) dapat menimbulkan perbedaan terhadap suatu objek. Partisipasi masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan berpusat pada rakyat setempat dengan menumbuhkan dan mengembangkan nilai sosial budaya.

Menurut Suparlan dalam Budimanta (2003), kebudayaan adalah seperangkat ide-ide, norma, nilai dan pengetahuan yang dipakai oleh manusia untuk memahami lingkungan dan dipakai untuk mendorong terwujudnya perilaku. Taylor dalam Poerwanto (2000) mengatakan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum dan adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Soekanto dalam Purwatiningsih, dkk (2005) mengatakan bahwa pengetahuan, adat-istiadat erat hubungannya dalam peningkatan partisipasi masyarakat, dan anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menerima sanksi yang berlaku dalam masyarakat. Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan. Sedangkan menurut Djatmiko (2003), partisipasi masyarakat

(16)

dipengaruhi oleh kemampuan dan kemauan untuk berpartisipasi dalam program pemerintah.

Menurut Margono dalam Mardikanto (2003), tumbuh kembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu:

a. Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi Adanya kesempatan yang diberikan, merupakan faktor pendorong tumbuhnya kemauan, dan kemauan akan menentukan kemampuannya. Sebaliknya, adanya kemauan akan mendorong seseorang untuk meningkatkan kemampuan serta memanfaatkan setiap kesempatan.

Mardikanto (2003), menyatakan banyak program pembangunan yang kurang memperoleh partisipasi masyarakat karena kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan kurangnya informasi yang disampaikan kepada masyarakat mengenai kapan dan dalam bentuk apa mereka dapat atau dituntut untuk berpartisipasi. Pemberian kesempatan berpartisipasi pada masyarakat, bukanlah sekedar pemberian kesempatan untuk terlibat dalam pelaksanaan kegiatan agar mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat atau menggangu tercapainya tujuan pembangunan. Tetapi pemberian kesempatan berpartisipasi harus dilandasi oleh pemahaman bahwa masyarakat setempat layak diberi kesempatan karena memiliki kemampuan yang diperlukan dan memiliki suatu hal untuk berpartisipasi dan memanfaatkan setiap kesempatan membangun bagi perbaikan mutu hidupnya (Mardikanto, 2003).

(17)

b. Adanya kemauan untuk berpartisipasi

Mardikanto (2003) menyatakan kemauan untuk berpartisipasi merupakan kunci utama bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat. Kesempatan dan kemampuan yang cukup belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan untuk membangun.

Kemauan untuk membangun ditentukan oleh sikap dan mental yang dimiliki masyarakat yang menyangkut: (1) Sikap untuk meninggalkan nilai-nilai penghambat pembangunan; (2) Sikap terhadap penguasa atau pelaksanan pembangunan pada umumnya; (3) Sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas diri; (4) Sikap kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah, dan tercapainya tujuan pembangunan; dan (5) Sikap kemandirian atau percaya diri atas kemampuannya untuk memperbaiki mutu hidupnya.

c. Adanya kemampuan untuk berpartisipasi

Menurut Mardikanto (2003), kemampuan untuk berpartisipasi adalah:

1. Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun (memperbaiki mutu hidupnya);

2. Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan, yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, dan ketrampilan yang dimiliki; dan

(18)

3. Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumber daya dan kesempatan (peluang) lain yang tersedia secara optimal.

Berdasarkan konsep di atas, maka tumbuh dan berkembanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan dapat diupayakan melalui:

1. Penyuluhan yang intensif dan berkelanjutan, yang tidak saja berupa penyampaian informasi tentang adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat, melainkan juga dibarengi dengan dorongan dan harapan-harapan agar masyarakat mau berpartisipasi, serta upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kemampuannya untuk berpartisipasi, dan

2. Berkaitan dengan dorongan dan harapan yang disampaikan, perlu adanya penjelasan kepada pria tentang besarnya manfaat ekonomi maupun non ekonomi yang dapat secara langsung atau tidak langsung dinikmati sendiri maupun yang dinikmati oleh generasi mendatang.

2.2.2 Faktor-faktor Pembentuk Partisipasi Masyarakat

Menurut Notoatmodjo (2007), elemen-elemen pembentuk partisipasi adalah: 1. Motivasi. Persyaratan utama masyarakat untuk berpartisipasi adalah motivasi.

Tanpa motivasi masyarakat sulit untuk berpartispasi di segala program. Timbulnya motivasi harus dari masyarakat itu sendiri, dan pihak luar hanya merangsangnya saja.

2. Komunikasi. Suatu komunikasi yang baik adalah yang dapat menyampaikan pesan, ide dan informasi masyarakat. Sebagian media massa merupakan alat

(19)

yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan yang akhirnya dapat menimbulkan partisipasi.

3. Kooperasi. Kerjasama dengan instansi-instansi di luar kesehatan masyarakat dan instansi kesehatan sendiri adalah mutlak diperlukan. Terjelmanya team work antara mereka akan membantu menumbuhkan partisipasi.

4. Mobilisasi. Partisipasi bukan hanya terbatas pada tahap pelaksanaan program saja, tetapi partisipasi masyarakat dapat dimulai seawal mungkin sampai ke akhir mungkin, dari identifikasi masalah, menentukan prioritas, perencanaan program, pelaksanaan sampai dengan monitoring program.

Ross dalam Notoatmodjo (2005) berpendapat ada tiga prakondisi tumbuhya partisipasi, yaitu:

1. Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang yang memadai sehingga dapat mengidentifikasi masalah, prioritas masalah dan melihat secara konfrehensif;

2. Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan, dan belajar untuk mengambil keputusan; dan

3. Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif.

Dalam bidang kesehatan, partisipasi ini dikenal dengan partisipasi dalam pelayanan kesehatan. Sistem pelayanan kesehatan mengintegrasikan komponen-komponen yang berhubungan dengan kesehatan yang mencakup pengetahuan dan kepercayaan, aturan dan pranata-pranata, dan jenis-jenis sumber serta praktisi pelayanan yang tersedia (Kalangie, 1994).

(20)

2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Ber-KB 2.3.1 Sosial Budaya

Kebudayaan sebagai konsep dasar dapat menjelaskan kaitannya dengan gejala-gejala sosial dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam berbagai pranata kesehatan maupun non kesehatan tetapi terkait seperti pelayanan kontrasepsi dan keluarga berencana. Kaitan-kaitan tersebut dinyatakan sebagai gejala sosial budaya. Sehubungan dengan hal tersebut, gagasan-gagasan budaya dapat menjelaskan hubungan timbal balik antara gejala sosial dan pelayanan kesehatan (Kalangie, 1994). Penggunaan konsep budaya dalam perilaku masyarakat terkait dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai dan norma dalam lingkungan sosialnya. Seseorang dapat saja memperlihatkan perilaku psikologis di samping perilaku budaya.

Menurut Taylor dalam Soekanto (1982), kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat-istiadat dan kebiasaan dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang di dapat manusia sebagai angggota masyarakat. Menurut Taylor dalam Wiranata (2002), kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalam terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, adat-istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang di peroleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut Koentjaranigrat (1997), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

(21)

Menurut Koentjaranigrat (1997), wujud dari suatu budaya dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) hal yaitu: (1)Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan, (2)Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3)Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak yang terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan, konsep, serta keyakinan. Dengan demikian sistem kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang dalam Bahasa Indonesia disebut adat-istiadat. Dalam adat-istiadat terdapat juga sistem norma dan di situlah salah satu fungsi sistem budaya adalah menata serta menetapkan tindakan dan tingkah laku manusia. Dalam sistem budaya ini terbentuk unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Sehingga tercipta tata kelakuan manusia yang terwujud dalam unsur kebudayaan sebagai suatu kesatuan (Koentjaranigrat, 1997).

Keterkaitan sosial budaya dengan manusia dapat diamati dari sifat-sifat kebudayaan antara lain: (1)Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia, (2)Budaya telah ada terlebih dahulu dari pada lahirnya suatu organisasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan, (3)Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya, dan (4)Budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan yang dilarang, dan tindakan yang diizinkan (Horton dan Hunt, 1991).

(22)

Menurut Setiadi, dkk (2002), substansi/isi utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang muncul di masyarakat dalam bentuk pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan.

1. Pengetahuan (Knowledge)

Purwodarminto dalam Azwar (2005) menyatakan bahwa pengetahuan adalah segala apa yang diketahui berkenaan dengan suatu hal objek. Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan hal ini terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitip merupakan domain sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior).

Bloom dalam Notoatmodjo (2005), menyebutkan pengetahuan atau knowledge adalah individu hasil tahu apa yang dilakukan dan bagaimana

melakukannya. Pengetahuan adalah hasil tahu seseorang terhadap suatu objek melalui indera yang dimilikinya dan dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

Roger dalam Notoatmodjo (2003), proses perubahan perilaku atau penerimaan ide baru adalah suatu proses kejiwaan yang dialami individu sejak pertama kali menerima informasi atau memperoleh pengetahuan mengenai suatu hal yang baru sampai saat ini memutuskan untuk menerima atau menolak ide baru tersebut. Proses tersebut berjalan melalui 4 tahap, yaitu: (1) Pengetahuan (Knowledge), dalam hal ini subjek mengenal suatu hal yang baru serta memahaminya,

(23)

(2) Persuasi (Persuation), dalam hal ini individu membentuk sikap positip atau negatip terhadap ide atau objek baru tersebut, (3) Decision, masyarakat telah memutuskan untuk mencoba tingkah laku baru, untuk itu perlu adanya motivasi yang kuat dari petugas kesehatan dan juga penerangan yang jelas agar putusan mereka tidak merupakan paksaan, dan (4) Confirmation, apabila masyarakat atau individu telah mau melaksanakan tingkah laku yang baru sesuai dengan norma-norma kesehatan, kita tinggal menguatkan tingkah laku yang baru.

Margono dalam Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa pengetahuan adalah kemampuan untuk mengerti dan menggunakan informasi. Selanjutnya disebutkan bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur yang diperlukan seseorang agar dapat melakukan sesuatu. Unsur-unsur tersebut adalah:

1. Pengetahuan/pengertian dan pemahaman tentang apa yang dilakukan;

2. Keyakinan dan kepercayaan tentang manfaat dan kebenaran dari apa yang dilakukannya;

3. Sarana yang diperlukan untuk melakukannya; dan

4. Dorongan atau motivasi untuk berbuat yang dilandasi oleh kebutuhan yang dirasakan.

2. Kepercayaan (Belief)

Menurut (KBBI) Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), definisi kepercayaan adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yg dipercayai itu adalah benar atau nyata.

(24)

Menurut Fishbein dan Azjen dalam Dahniar (2009) kepercayaan atau keyakinan dengan kata ”belief’” memiliki pengertian sebagai inti dari setiap tingkah laku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap suatu objek.

3. Adat Istiadat

Masyarakat mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan tersebut dengan sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana tersebut (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Koenjaranigrat (1996), adat istiadat mengandung sistem norma yang menjadi salah satu fungsi sistem budaya untuk menata serta menetapkan tindakan-tindakan dan tingkah laku manusia. Dalam sistem budaya ini terbentuk unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan lainnya sehingga tercipta tata kelakuan manusia yang terwujud dalam unsur kebudayaan sebagai satu kesatuan norma atau tata cara yang berkembang di masyarakat.

Menurut Koenjaranigrat (1997), adat istiadat adalah pedoman yang bernilai dan memberi arah, atau norma yang yang terdiri dari aturan-aturan untuk bertindak yang apabila dilanggar akan menjadi tertawaan, ejekan, dan celaan sesaat oleh masyarakat di sekitarnya. Menurut Honingman dalam Wiranata (2002), wujud dari kebudayaan adalah tindakan dan aktivitas manusia dalam suatu perbuatan yang

(25)

berpola dari manusia dalam masyarakat. Sebagai suatu sistem ide dan konsep dari serangkaian tindakan yang ideal yang memberikan corak dan jiwa serta tatanan kehidupan yang seimbang dan serasi yang disebut sebagai adat-istiadat, bersifat umum dan turun temurun. Apabila dilanggar akan menimbulkan suatu rasa yang tidak enak (tabu).

2.3.2 Dukungan Istri

Menurut Sarwono (2003), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan. Menurut Santoso (2005), dukungan adalah suatu usaha untuk menyokong sesuatu atau suatu daya upaya untuk membawa sesuatu.

Dalam unit terkecil, keluarga merupakan wadah tempat berlangsungnya dukungan. Bailon dan Maglaya dalam Sudiharto (2007) menyatakan bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka hidup dalam satu rumah tangga, melakukan interaksi satu sama lain menurut peran masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu budaya. Keluarga juga dapat diartikan suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang di rekat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang

(26)

berdasarkan kepentingan bersama. Dukungan keluarga merupakan suatu proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda-beda pada setiap tahap siklus kehidupan (Friedman, 1998).

Menurut Chaplan dalam Friedman (1998), jenis-jenis dukungan adalah:

1. Dukungan instrumental; Istri merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti uang, peralatan, waktu serta pelayanan (Taylor, 1995). Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stres karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. 2. Dukungan informatif; Istri berfungsi sebagai sebuah kolektor dan penyebar

informasi tentang dunia yang mencakup memberi nasehat, petunjuk, sarana-sarana atau umpan balik. Bentuk dukungan yang diberikan oleh istri adalah dorongan semangat, nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu, istri dapat memberikan dukungan informasi dengan memberikan saran tentang apa yang harus dilakukan dalam menghadapi masalah.

3. Dukungan emosional; Istri sebagai individu yang berkontribusi yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi yang meliputi ungkapan empati, kepedulian, perhatian sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol. Pada saat seperti ini keluarga atau teman dapat memberikan dukungan emosional dengan meyakinkan

(27)

orang tersebut bahwa dia adalah orang yang berharga yang sangat diperhatikan oleh lingkungannya (Taylor, 1995).

4. Dukungan penghargaan; Istri membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi. Bentuk dukungan yang diberikan berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu, perbandingan yang positif dengan individu lain.

2.4. Landasan Teori

Partisipasi merupakan sesuatu yang harus ditumbuhkembangkan dalam proses pembangunan. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan sesuatu kegiatan yang merupakan keterlibatan sukarela dan ikut serta dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan Mikkelsen (2003).

Keberhasilan KB bukan semata-mata karena partisipasi perempuan yang aktif tetapi juga partisipasi pria dan dukungan keluarga. Partisipasi pria menjadi faktor yang menentukan keberhasilan program KB dengan berbagai faktor yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan keluarga untuk hidup sejahtera serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu dan merata. Menurut Mikkelsen (2003), salah satu faktor yang menjadi perhatian untuk menelaah tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor sosial budaya. Menurut pendapat Mikkelsen (2003), Setiadi, dkk (2002), Soekanto dalam Purwatiningsih, dkk

(28)

(2004), dan Taylor dalam Soekanto (1982), faktor sosial budaya yang dimaksud adalah pengetahuan, kepercayaan, dan adat istiadat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa partisipasi pria dalam ber-KB dipengaruhi oleh faktor sosial budaya (pengetahuan, kepercayaan, dan adat istiadat) serta dukungan keluarga (khususnya dukungan istri).

2.5. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori di atas, maka dirumuskan kerangka konsep sebagai berikut:

Variabel Independen (X) Variabel Dependen (Y)

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat dijelaskan bahwa sosial budaya yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, dan adat istiadat yang dimiliki oleh anggota

Sosial budaya: 1. Pengetahuan 2. Kepercayaan 3. Adat istiadat Dukungan Istri Partisipasi pria dalam ber- KB: • Berpartisipasi • Tidak berpartisipasi

(29)

Polri Resor Serdang Bedagai dan dukungan yang diberikan istri berpengaruh terhadap partisipasi mereka dalam ber-KB.

Definisi konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sosial budaya adalah segala sesuatu yang melatarbelakangi kepribadian individu

yang mengikat anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu yang meliputi: pengetahuan, kepercayaan, dan adat-istiadat (Koentjaranigrat, 1997).

a. Pengetahuan adalah segala apa yang diketahui berkenaan dengan suatu hal/objek (Azwar, 2005).

b. Kepercayaan adalah anggapan atau keyakinan yang merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap suatu hal/objek (Fishbein dan Azjen dalam Dahniar, 2009).

c. Adat-istiadat adalah pedoman yang bernilai dan memberi arah yang berkembang di masyarakat, dan apabila dilanggar akan menjadi tertawaan, ejekan, dan celaan (Koentjaranigrat, 1997).

2. Dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan, dalam hal ini dorongan yang diberikan istri kepada suami untuk berpartisipasi dalam ber-KB pria (Sarwono, 2003).

3. Partisipasi adalah keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu (Mikkelsen, 2003).

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis menunjukan bahwa kepadatan kepiting bakau ( Scylla serrata ) betina matang gonad pada tiap fase bulan pengamatan (Agustus 2010-Januari 2011) relatif sangat

Wilayah Maluku merupakan salah satu daerah di timur Indonesia yang memiliki potensi tsunami yang cukup tinggi, ini dibuktikan dengan lebih dari 25 kejadian tsunami yang terekam di

Pengukuran panjang tubuh dan penentuan jenis kelamin ikan hiu karang sirip hitam (Carcharhinus melanopterus ) dilakukan secara langsung dan visual di lokasi TPI

Berdasarkan perubahan sistem informasi penyewaan bus pariwisata yang berjalan dan setelah kebutuhan-kebutuhan sistem yang baru telah ditentukan, maka langkah-langkah

Untuk itu diperlukan bukti yang kuat yang membuktikan bahwa gugatan perdata atau dakwaan pidana adalah tidak benar, dan membuktikan bahwa yang dilakukan dokter sudah

Ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajanan mastery learning (belajar tuntas) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Selain itu,

Sedangkan untuk hasil uji f diperoleh nilai F hitung 26,247 > F tabel 3,08 dengan tingkat signifikan 0,000 < 0,05, yang berarti bahwa variabel gaya kepemimpinan dan

Oleh kerana kajian ini adalah bertujuan untuk menentukan sama ada terdapat perbezaan yang signifikan di antara faktor demografi iaitu jantina dan opsyen guru