BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah 2.1.1 Konsep Desentralisasi
Terjadinya negara kesatuan yang sentralistik ternyata banyak menimbulkan dampak-dampak negatif yang tidak mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Sentralisasi kekuasaan tidak memberikan insentif kepada daerah-daerah untuk meningkatkan produktivitasnya, maupun dalam memelihara sumberdaya dasar wilayah kearah berkelanjutan, oleh karena itu adanya wacana desentralisasi, kekuasaan pusat yang dilimpahkan kepada daerah-daerah otonom, diharapkan akan memperbaiki kinerja ekonomi secara lebih produktif dan berkelanjutan di masa depan. (Anwar, 2000).
Di dalam arti ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi itu adalah pelimpangan kekuasaan dari pusat kepada daerah-daerah untuk mengurus rumah tangga sendiri. Logeman dalam Supriatna (1993) dalam Lumbessy (2005) mengemukakan bahwa kelaziman desentralisasi dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
a. Dekonsentrasi (Deconcentratie) atau “ambtelijke decentralisatie” yaitu berkaitan dengan pelimpahan kekuasaaan dari alat perlengkapan negara tingkat lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan didalam melaksanakan tugas pemerintahan.
b. Desentralisasi ketatanegaraan atau “ staatkundige decentralisatie yang sering disebut juga pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en bertuurendebevoerheid) kepada daerah otonomi di dalam lingkungannya.
Rondinelli, (1981) menyatakan bahwa desentralisasi sebagai : “The transfer or delegatian of legal and outhority to plan, make decisions and manage public functions from the central governmental its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of government, semi autonomous public corporation,
areawide or regional development authorities; functional authorities, autonomous local government, or non-governmental organizational”. (desentralisasi merupakan transfer atau pendelegasian wewenang politik dan hukum untuk merencanakan, membuat keputusan dan memanage fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat dan lembagalembaganya terhadap organisasi-organisasi di lapangan dari lembaga-lembaga tersebut, unit-unit pemerintah, otoritas pembangunan regional; wewenang fungsional; pemerintahpemerintah otonomi lokal; atau lembaga-lembaga non-pemerintahan).
Berdasarkan pendapat tersebut desentralisasi dikategorikan atas tiga kategori, yaitu: 1) Dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang kurang ekstensif, yang
sekedar merupakan pergeseran beban kerja dari kantor-kantor pusat departemen kepada staff, itu mungkin tidak diberikan kewenangan untuk merumuskan bagaimana yang dibebankan kepadanya harus dilaksanakan. 2) Delegasi adalah bentuk desentralisasi dalam wujud pembuatan keputusan dan
kewenangan-kewenangan manajemen untuk menjalankan fungsi-fungsi publik tertentu pada organisasi-organisasi tertentu dan hanya dikontrol secara tidak langsung oleh departemen pusat.
3) Devolusi diartikan sebagai wujud kongkrit dari desentralisasi politik (political decentralization).
Menurut G. Shabbir Cheeman dan Dennis A. Rondinelli, desentralisasi dalam bentuk yang murni mempunyai karakteristik mendasar sebagai berikut:
1. Unit-unit pemerintahan setempat bersifat otonom, mandiri, dan jelas-jelas sebagai unit pemerintahan bertingkat yang terpisah dari pusat. Pusat melakukan sedikit, atau tidak ada kontrol langsung oleh pusat terhadap unit-unit tersebut.
2. Pemerintah daerah mempunyai batas-batas geografis yang jelas dan diakui secara hukum di mana mereka menggunakan kekuasaan dan menjalankan fungsi-fungsi publik.
3. Pemerintah daerah mempunyai status dan kekuasaan mengamankan
4. Implikasi desentralisasi adalah kebutuhan mengembangkan pemerintahan lokal sebagai institusi, yang dilihat warga setempat sebagai organisasi yang memberikan pelayanan, dan sebagai unit pemerintahan yang mempunyai pengaruh.
5. Dengan desetralisasi berarti ada hubungan timbal balik, saling
menguntungkan, dan hubungan yang terkoordinasikan antar pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah.
Desentralisasi bermakna penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonomi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang diserahkan tersebut, mencakup semua kewenangan bidang pemerintahan, kecuali kewenengan politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dalam peraturan pemerintah (UU No. 32 Tahun 2004).
Dalam perspektif Cheeman dan Rondinelli (1983), rationale untuk kebijakan desentralisasi:
1. Memungkinkan pejabat-pejabat untuk menyusun dan menyesuaikan rencana
serta program pembangunan dengan kebutuhan-kebutuhan wilayah dan kelompok yang heterogen.
2. Mampu memotong sejumlah besar red tape dan prosedur yang rumit sebagai karakteristik perencanaan dan manajemen terpusat dan over concentration kekuasaan serta sumber-sumber di pusat.
3. Kontrak/hubungan yang lebih dekat antara pejabat-pejabat pemerintahan dan masyarakat setempat memungkinkan keduanya untuk mendapatkan informasi yang lebih baik guna memformulasi perencanaan atau program yang lebih realistik dan efektif.
4. Dalam pembuatan keputusan dan alokasi sumber-sumber, desentralisasi
memungkinkan keterwakilan yang lebih besar untuk bermacam-macam kelompok politik, agama, etnis, dan suku.
5. Desentralisasi memberikan kesempatan kepada pejabat-pejabat setempat
desentralisasi juga dapat meningkatkan kemampuan pejabat-pejabat tersebut untuk menangani urusan-urusan yang biasanya tidak ditangani secara baik oleh departemen-departemen pusat (seperti pemeliharaan jalan dan infrastruktur yang jauh dari ibukota negara).
6. Efisiensi dari pemerintah pusat meningkat karena membebaskan
pejabat-pejabat pusat dari tugas-tugas rutin, di mana tugas -tugas tersebut bisa dilaksanakan secara lebih efektif oleh petugas lapangan atau pejabat-pejabat lokal. Ini akan memungkinkan pejabat-pejabat pusat untuk menyusun perencanaan dengan lebih hati-hati, serta mengawasi kebijakan pembangunan secara lebih efektif.
7. Desentralisasi memungkinkan pemerintahan yang lebih fleksibel, inovatif dan kreatif. Daerah bisa menjadi semacam laboratorium untuk eksperimen kebijakan-kebijakan dan program-program baru dengan melokalisir pada tempat-tempat tertentu.
8. Desentralisasi dalam perencanaan pembangunan dan fungsi manajemen
memungkinkan pemimpin-pemimpin lokal untuk memberikan pelayanan dan fasilitas lebih efektif, mengintegrasikan daerah-daerah terpecil (dan terbelakang) ke dalam ekonomi regional, memonitor, dan Mengkaji proyek-proyek pembangunan secara lebih efektif dibandingkan jawatan-jawatan perencanaan dari pusat.
Daya tarik desentralisasi tidak semata-mata bahwa dia adalah lawan dari sentralisasi, dan oleh karena itu diasumsikan memiliki kemampuan mengobati akibat-akibat buruk dari sentralisasi. Desentralisasi juga mempunyai banyak sisi positif (B.C. Smith: 1985). Hal ini secara umum dihubungkan dengan sejumlah tujuan-tujuan ekonomis dan politis. Desentralisasi secara ekonomis dianggap mampu meningkatkan efisiensi. Desentralisasi dapat mengurangi biaya, meningkatkan output, dan human resources dapat dimanfaatkan secara lebih efektif. Secara politis, desentralisasi memperkuat demokrasi dan accountability, meningkatkan kecakapan warga dalam berpolitik, dan memperkuat integrasi nasional.
Desentralisasi dapat pula dilihat sebagai pembalikan konsentrasi kekuasaan pemerintahan pada satu pusat, dan memberikan kekuasaan tersebut kepada pemerintah-pemerintah setempat. Desentralisasi secara luas mencakup delegasi kekuasaan atau fungsi kepada jenjang-jenjang yang lebih rendah dalam suatu hierarki teritorial, apakah jenjang tersebut adalah satu dari unit-unit pemerintahan di dalam suatu negara, atau jawatan-jawatan dalam organisasi berskala besar. Desentralisasi sebagai sebuah kondisi, diperlukan untuk pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Kecuali itu, banyak negara harus merespons tuntutan-tuntutan politik setempat akan otonomi luas. Negara sulit mengabaikan ‘public hostility’ terhadap sentralisasi dan uniformitas. Sehingga desentralisasi mungkin dapat digunakan untuk menghadapi gerakan-gerakan seccesionists atau separatis. Apakah kemudian desentralisasi merupakan sebuah respons yang cukup memadai terhadap tuntutan-tuntutan otonomi, di antaranya akan sangat tergantung kepada seberapa ekstrim tuntutan tersebut, dan derajat repressiveness (kekerasan) negara di masa lampau (B.C. Smith : 1985).
Abe (2002:7) mengemukakan : segi positif dari desentralisasi adalah Pertama, bagi pemerintah pusat, desentralisasi tentu akan menjadi jalan (wahana) yang mengurangi beban pusat. Kedua, program atau rencana-rencana pembangunan yang hendak diwujudkan, akan lebih realistik, lebih mengena dan lebih dekat dengan kebutuhan lokal. Ketiga, memberikan kesempatan kepada daerah untuk belajar mengurus rumah tangganya sendiri, dan dengan demikian belajar untuk bisa menangkap dan merumuskan aspirasi masyarakat setempat. Keempat, dengan adanya pemberian kewenangan (politis kearah devolusi), maka berarti akan membuka peluang bagi keterlibatan rakyat dalam mengontrol jalannya pemerintah.
Secara spesifik, berdasarkan kepentingan nasional tujuan utama dari desentralisasi adalah: (a) Untuk mempertahankan dan memperkuat integrasi bangsa, (b) Sebagai sarana untuk training bagi calon-calon pemimpin nasional, (3) Untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi kepentingan daerah, tujuan utama dari desentralasasi meliputi, antara lain, (a) untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal (political equality, Local accountability, dan local responsiveness); (b) untuk peningkatan pelayanan publik; (c) untuk
menciptakan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah (Susanto et al, 2004).
2.1.2 Konsep Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu autos = sendiri dan nomos = Undang-undang, yang berarti perundangan sendiri (Izelf Wetgeving). Ada beberapa ahli yang memberi pengertian tentang otonomi, diantaranya yaitu Manan (1994) yang mendefinisikan otonomi sebagai kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Otonomi daerah adalah keleluasaan dalam bentuk hak dan kewenangan serta tanggung jawab badan pemerintah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sebagai manivestasi desentralisasi. Defenisi lebih sederhana disampaikan oleh Mahwood dalam Agusniar (2006) yaitu kebebasan dari pemerintah daerah dalam membuat dan mengimplementasikan keputusan.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan sedangkan Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 32 Tahun 2004).
Pemberian otonomi kepada daerah menurut Bratakusumah dan Riyadi (2003) merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka mengelolah pembangunan di daerahnya. Kreativitas, inovasi dan kemandirianlah diharapkan akan dimiliki oleh setiap daerah, sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat. Hal penting lain adalah dengan adanya otonomi daerah, kualitas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakatnya akan meningkat, dengan kata lain penyediaan barang-barang publik (public goods) dan pelayan publik (public service) dapat lebih terjamin.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa implementasi otonomi daerah harus lebih berorientasi pada upaya pemberdayaan daerah, bila dilihat dari kontek kewilayahan (teritorial), sedangkan bila dilihat dari struktur tata pemerintahan, berupa pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelolah sumber-sumber daya yang dimiliki dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip kesatuan bangsa dan negara. Kemudian dalam konteks kemasyarakat, pemberdayaan yang diupayakan harus lebih berorientasi pemberdayaan masyarakat di masing-masing daerah, sehingga lebih berpartisipas dalam pembangunan.
Menurut Bratakusumah dan Riyadi (2003) ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam upaya memberdayakan masyarakat, yaitu (1) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (2) perluasan akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan (3) pengembangan program untuk lebih meningkatkan kemampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk aktif serta dalam mengembangkan sumberdaya produktif yang tersedia, sehingga memiliki nilai tambah guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Dijelaskan pula oleh Mustopadidjaja (1999) dalam Agusniar (2006), bahwa dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang baik, ada tujuh prinsip yang harus dikembangkan dan diimplementasikan dengan segala konsekuensi dan implikasinya, yaitu:
1. Demokratisasi dan pemberdayaan; 2. Pelayanan;
3. Desentralisasi;
4. Transparansi dan akuntabilitas; 5. Partisipasi;
6. Konsistensi kebijakan dan kepastian hukum.
Lebih lanjut diterangkan bahwa ada beberapa permasalahan yang perlu dipahami dalam penerapan otonomi, yaitu:
1. Kita harus memahami bahwa otonomi daerah adalah suatu sistem
otonomi adalah subsisten dalam sistem ketatanegaraan dan merupakan sistem yang utuh dalam pemerintahan. Artinya, seluas apapun otonomi daerah diterapkan tidak akan pernah lepas dari kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Perlu dipahami pula bahwa untuk dapat melaksanakan otonomi secara baik dan benar diperlukan adanya political will (kemauan politik) dari semua pihak, baik pemerintah pusat, masyarakat maupun pemerintah daerah, kemauan politik ini sangat penting, karena diyakini dapat mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda ke dalam suatu wadah pemahaman yang berorientasi pada satu tujuan. Dengan kemauan politik ini pula diharapkan pemikiran-pemikiran parsial, primoordial, rasial (etnosentris) dan separatisme dapat terbendung, bahkan dapat direkomendasikan secara optimal menjadi suatu kekuatan yang besar bagi proses pembangunan;
3. Perlu adanya komitmen bersama untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan aturan yang berlaku guna mencapai tujuan yang diharapkan.
Ciri utama yang mewujudkan suatu daerah mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah, artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelolah dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya (Anwar, 2005).
Kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah harus mengatur secara pasti pengalokasian “dana perimbangan” smith (1985) membedakan dua sudut pandang kepentingan: kepentingan Pemerintah Pusat dan kepentingan Pemerintahan Daerah. Sedikitnya ada tempat tujuan dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah: pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik, dan mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah.
Sementara, bila dilihat dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan pertama, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai Political Equity. Ini berarti bahwa melalui pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan akan lebih membukakan kesempatan
bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat local, tujuan kedua, adalah untuk menciptakan local accountability, tujuan ketiga, adalah untuk mewujudkan apa yang disebut dengan local responsiveness, karena pemerintah daerah dianggap lebih banyak mengetahui berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
2.2 Pembangunan
Secara filosofi suatu proses pembangunan dapat diartikan “upaya yang
sistematis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi warga yang paling humanisti”. Dengan kata lain proses pembangunan merupakan proses memanusiakan manusia UNDP mendefenisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Menurut todaro (2000) pembangunan harus memenuhi tiga konsep dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memenuhi dalam memenuhi pembangunan
yang paling hakiki yaitu kecukupan (subtanance) memenuhi kebutuhan pokok,
meningkatkan rasa harga diri atau jatidiri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih.
Terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma menurut
Anwar (2001a), mengarahkan pembangunan wilayah kepada terjadinya pemerataan (equty) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (effeciency), dan keberlanjutan (substainability). Konsep pembangunan yang memperhatikan ketiga aspek tersebut, dalam proses perkembangannya secara evolusi dengan berjalan melintasi waktu yang ditentukan oleh perubahan tata nilai dalam masyarakat, seperti perubahan keadaan sosial, ekonomi, serta realitas politik. Pembangunan dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara/wilayah untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakat.
Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2003), pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi bernegara dan bermasyarakat lebih baik dari
kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan.
Lebih lanjut menurut Riyadi dan Bratakusumah (2003), pembangunan pada dasarnya merupakan salah satu wujud tugas pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Pembangunan merupakan implementasi dari tugas pelayanan, dimana perhatian utamanya adalah kebutuhan masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan peran pemerintah dalam rangka memberdayakan masyarakat dalam memikul tanggung jawab pembangunan. Peran pemerintah dalam pembangunan dapat ditingkatkan antara lain melalui: (1) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (2) perluasan akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan (3) pengembangan program untuk lebih meningkatkan kemampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumberdaya produktif yang tersedia, sehingga memiliki nilai tambah guna meningkatkan kesejahteraan mereka, oleh karena itu, salah satu indikator utama untuk mengukur berhasil atau tidaknya suatu proses pembangunan adalah seberapa besar tingkat kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dilihat dari bagaimana masyarakat dapat dengan mudah menikmati hasil-hasil pembangunan seperti listrik, air bersih, BBM, sarana, dan prasarana perhubungan/transportasi dan sebagainya.
2.3 Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan oleh suatu negara/daerah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan kualitas hidup masyarakatnya. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan daerah adalah aspek ekonomi. Menurut Arsyad (1999) pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola
kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wialayah tersebut. Dalam kebijakan pembangunan ekonomi daerah penekanannya didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia dan sumber fisik secara lokal.
Agar pembangunan ekonomi tersebut dapat mencapai sasaran sesuai dengan tujuan, yaitu meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja dan pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka diperlukan suatu strategis pembangunan yang tepat. Program pembangunan di kebayakan negara sedang berkembang sering lebih ditekankan pada pembangunan prasarana untuk mempercepat pembangunan sektor produktif, hal ini dimaksud guna meningkatkan produktivitas barang dan jasa sehingga PDP/PDRB negara/daerah tersebut juga akan meningkatkan, oleh karena itu PDP/PDRB merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara/daerah.
Sejalan dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam pembangunan ekonomi, maka ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi juga mengalami pergeseran, tidak hanya dari aspek pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau kenaikan pendapatan per kapita penduduknya namun lebih jauh lagi ke arah perkembangan masyarakat. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi didefenisikan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang, yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasikan dan dianalisis dengan seksama.
2.4 Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Sumber pendapatan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal terdiri
atas: a). Pendapatan Asli Daerah (PAD), b). Dana Perimbangan, dan c). Lain-lain pendapatan daerah yang sah (UU No. 32 Tahun 2004).
2.4.1 Pendapatan Asli Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah kewewenangan (urusan) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan. Penyerahan berbagai kewenangan dalam rangka desentralisasi ini tentunya harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan. Sumber pembiayaan yang paling penting adalah sumber pembiayaan yang dikenal dengan istilah PAD (Pendapatan Asli Daerah) di mana komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah (Riduansyah, 2003).
Secara teoritik, PAD merupakan suatu sumbangan nyata yang diberikan oleh masyarakat setempat guna mendukung status otonom yang diberikan kepada daerahnya. Tanda dukungan dalam bentuk besarnya perolehan PAD penting artinya bagi suatu pemerintah daerah agar memiliki keleluasaan yang lebih dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari maupun pembangunan yang ada di wilayahnya. Seorang pakar dari World Bank berpendapat bahwa batas 20 persen perolehan PAD merupakan batas minimum untuk menjalankan otonomi daerah. Sekiranya PAD kurang dari angka 20 persen tersebut, maka daerah tersebut akan kehilangan kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri (Conchrane, 1983).
Suatu pemerintah daerah dapat menetapkan dan memungut beragam jenis pajak daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini sangat dimungkinkan jika pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk menetapkan sendiri jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat dipungutnya, tanpa ada intervensi dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Hal ini merupakan kondisi yang perlu diciptakan dan menjadi suatu pandangan umum yang dikemukakan serta diterima oleh para ahli yang menekuni kajian pemerintahan daerah, khususnya keuangan daerah, seperti Nick Devas, Richard M. Bird, dan B. C. Smith. Agar pemerintah daerah memiliki kemampuan optimal untuk memungut pajak daerah yang ada di
daerahnya, perlu kiranya mempertimbangkan pajak-pajak daerah yang memang sesuai untuk dijadikan sumber pendapatan agar tercipta efisiensi dan efektivitas dalam pemungutan pajak daerah.
Pendapatan asli daerah (PAD) menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD. Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 yang direvisi menjadi UU Nomor 28 tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut, pajak daerah adalah Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah sedangkan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Berdasarkan UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi didasarkan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut oleh hampir semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktis merupakan, pungutan yang baik. Selain jenis pajak dan retribusi tersebut, daerah juga diberikan kewenangan untuk memungut jenis pajak kecuali provinsi dan retribusi lainnya sesuai kriteria-kriteria tertentu yang
ditetapkan dalam undang-undang. Ditinjau dari kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah, sampai saat ini distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dengan pusat terjadi ketimpangan yang relatif besar.
Demikian juga distribusi pajak antara daerah juga sangat timpang sekali dan bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600 kali). Peranan pajak dalam pembiayaan daerah yang sangat rendah dan sangat bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang cukup besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat (Saefuddin, 2005).
Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah daerah adalah memaksimalkan pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Kedua komponen ini merupakan komponen yang sangat menjanjikan dan selama ini pendapatan yang berasal dari perolehan hasil pajak daerah dan retribusi daerah merupakan komponen yang memberikan sumbangan yang besar dalam struktur pendapatan yang berasal dari pendatan asli daerah. Ada dua cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu menyempurnakan dan mengoptimalkan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah ada serta menerapkan pajak daerah dan retribusi daerah yang baru. Untuk menempuh kedua cara tersebut, pemerintah daerah dapat menyempurnakan pengadministrasian pajak daerah dan retribusi daerah.
2.4.2 Dana Perimbangan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi yang terdiri dari bagi hasil pajak dan bukan pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana bagi hasil, bersumber dari pajak dan sumber daya alam sementara Dana Alokasi Umum dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dan pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan, pelaksanaan desentralisasi untuk mendanai kegiatan khusus
yang ditentukan pemerintah atas prioritas nasional serta mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu.
a. Dana Bagi Hasil
Merupakan bagian daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue
Sharing) untuk menambah pendapatan daerah dalam rangka pembiayaan pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya dilakukan dengan pola bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak (SDA) antara pusat dan daerah. Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004, pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentasi tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.
Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, serta perikanan.
b. Dana Alokasi Umum
Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri). Berdasarkan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan menimbulkan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.
Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU bagi suatu daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep fiscal gap.
Dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal
needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah fiskal yang terjadi karena kebutuhan daerah yang melebihi dari potensi daerah yang ada.
Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya
daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya daerah yang memiliki fiscal capacity yang lebih besar dari fiscal needs hitungan DAU-nya akan negatif.
c. Dana Alokasi Khusus
Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
2.4.3 Lain-lain Pendapatan
Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Pendapatan dari hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat, sedangkan hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri harus dilakukan melalui pemerintah. Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah dan pemberi hibah.
Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh karena dengan menggunakan sumber PAD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh presiden.
2.5 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu perkiraan pendapatan dan belanja daerah yang diharapkan akan terjadi dalam jangka waktu tertentu, dinyatakan dalam satuan mata uang, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Dengan kata lain APBD adalah anggaran suatu daerah yang di dalamnya memuat rencana kegiatan suatu daerah, sumber-sumber penerimaan daerah dan pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan.
APBD pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat yang sesuai tujuan otonomi daerah (Wahid 2000). APBD harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. APBD merupakan sarana untuk Mengkaji pencapaian kinerja dan tanggung jawab pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat sehingga APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh, penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
APBD mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut (Barata dan Trihartanto 2004):
1. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
2. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman
bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman
untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian.
5. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus
6. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Sesuai amanat Ayat 1 pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000, format APBD mengikuti format anggaran defisit dimana struktur APBD terdiri dari pendapatan, belanja dan pembiayaan. Jadi, komponen anggaran yang baru adalah pembiayaan. Timbulnya komponen pembiayaan merupakan konsekuensi logis dari digunkannya format anggaran defisit, dimana surplus atau defisit yang terjadi akan masuk ke dalam komponen pembiayaan. Hal ini berbeda dengan format anggaran sebelumnya, yaitu format anggaran berimbang dan dinamis yang tidak mengungkapkan adanya defisit yang harus ditutup dari berbagai sumber pembiayaan.
2.6 Pemekaran Wilayah
Mengkaji tentang pemekaran, tidak lepas lepas dari istilah keruangan. Tanpa ruang maka tidak mungkin ada lokasi. Dalam studi tentang wilayah, yang dimaksud ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya, Sitorus (2007).
Lokasi menggambarkan posisi pada ruang tersebut (dapat ditentukan bujur dan lintangnya). Studi tentang lokasi adalah melihat kedekatan atau jauhnya satu kegiatan dengan kegiatan lain dan apa dampaknya atas kegiatan masing-masing karena lokasi yang berdekatan (Tarigan, 2005) dalam Agusniar (2006). Salah satu unsur ruang adalah jarak. Jarak menciptakan “gangguan” ketika manusia berhubungan atau bepergian dari suatu tempat ke tempat lainnya. Jarak menciptakan gangguan karena dibutuhkan waktu dan tenaga (biaya) untuk mencapai lokasi yang satu dari lokasi lainnya. Selain itu, jarak juga menciptakan gangguan informasi sehingga semakin jauh dari suatu lokasi makin kurang diketahui potensi/karakter yang terdapat pada lokasi tersebut, Agusniar (2006).
Terciptanya wilayah administrasi baru, menurut Saefulhakim (2004) dalam Agusniar (2006) secara logika harus dapat menciptakan hal-hal sebagai berikut:
1. Mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan memberikan kewenangan lebih kepada masyarakat lokal untuk mengelolah potensi sumberdaya wilayah secara arif;
2. Partisipasi dan rasa memiliki dari masyarakat meningkat; 3. Efesiensi, produktivitas serta pemeliharaan kelestariannya;
4. Akumulasi dari nilai tambah secara lokal dan kesejahteraan masyarakat
meningkat;
5. Prinsip keadilan dan kesejahteraan yang berkeadilan lebih tercipta, sehingga ketahanan nasional semakin kuat.
Daerah yang wilayahnya relatif luas, sehingga menyulitkan jangkauan bagi pemerintah untuk melayani warga masyarakat dipandang perlu untuk dimekarkan menjadi beberapa daerah otonom. Undang-Undang 32 Tahun 2004 hasil revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “Daerah otonomi, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya diatur dalam pasal
5 ayat 4 dikatakan bahwa “syarat teknis pembentukan daerah berdasarkan
pertimbangan kemauan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah”.
Menurut Juanda dan Tuerah (2007), Tujuan ideal dari pemekaran wilayah adalah dapat diwujudnyatakan melalui peningkatan profesionalisme birokrat daerah untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan yang efektif dan efesien dapat meningkatkan pelayanan dasar publik, menciptakan kesempatan lebih luas untuk masyarakat serta dapat akses langsung pada unit-unit pelayanan publik yang tersebar dengan mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan maupun kota.
Tata cara, prosedur dan persyaratan pembentukan daerah sampai tanggal 9 desember 2007 mengacu pada PP No. 129 Tahun 2000, dimana perkembangannya persyaratan pembentukan daerah otonom baru mengacu kepada PP. No. 78 Tahun
2007 tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriterian Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
2.7 Pelayanan Publik
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/kelompok orang atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan dan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Miftah Thoha, 1991).
Terkait dengan pemerintahan, Kurniawan (2005) membagi fungsi pemerintahan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Fungsi pengaturan yang dilaksanakan dengan membuat peraturan yang
mengatur hubungan dalam masyarakat. Pemerintah merupakan pihak yang dapat melakukan dan menerapkan peraturan agar kehidupan dapat berjalan secara dinamis, serta memiliki kemampuan untuk memberikan sanksi bagi pelanggarnya;
2. Fungsi pemberdayaan, dalam fungsi ini pemerintah dibebani kewajiban untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan pemerintahan, tanpa melupakan peran swasta dan aparatur pemerintah sendiri. Partisipasi masyarakat hanya dapat dipacu apabila kepentingan mereka diperhatikan, baik dalam bentuk peraturan maupun tindakan nyata pemerintah.
3. Fungsi pelayanan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat sekaligus upaya penciptaan keadilan sosial di tengah masyarakat, bahkan fungsi ini merupakan fungsi utama pemerintah yang cukup beragam, dengan adanya fungsi ini diharapakan pemerintah akan dapat mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya.
Jika dilihat dari segi dimensi-dimensi pelayanan dapat dibagi dalam beberapa jenis, misalnya Chitwood (dalam Frederickson, 1988) menyebutkan apabila pelayanan publik dikaitkan dengan keadilan, maka bisa dibagi ke dalam tiga bentuk dasar, yaitu :
1. Pelayanan yang sama bagi semua. Misalnya pendidikan yang diwajibkan bagi penduduk usia muda.
2. Pelayanan yang sama secara proporsional bagi semua, yaitu distribusi
pelayanan yang didasarkan atas suatu ciri tertentu yang berhubungan dengan kebutuhan. Misalnya jumlah polisi yang ditugaskan untuk berpratoli dalam wilayah tertentu berbeda-beda berdasarkan angka kriminalitas.
3. Pelayanan-pelayanan yang tidak sama bagi individu-individu bersesuaian dengan perbedaan yang relevan. Ada beberapa kriteria mengapa pelayanan itu tidak sama antara lain: satu, pelayanan yang diberikan berdasarkan kemampuan untuk membayar dari penerima pelayanan. Dua, penyediaan pelayanan-pelayanan atas dasar kebutuhan-kebutuhan.
Di era otonomi daerah saat ini, seharusnya pelayanan publik menjadi responsif terhadap kepentingan publik, dimana paradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (costumers driven government).
Sejogjanya kebutuhan masyarakat dilayani pemerintah, begitu pula sebaliknya kebijakan pemerintah yang benar didukung oleh masyarakat. Dengan demikian tercipta pola pikir Top-Down dan Bottom-Up yang saling berinteraksi dalam hal kebutuhan akan adanya kebijakan pelayanan pemerintahan terhadap masyarakat. Menurut Sarundajang, untuk menjawab berbagai kebutuhan publik maka seharusnya pemerintah telah siap dan memiliki profesionalitas serta etika profesi pada saat melayani publik.
Berhubungan dengan konsep public service, antara publik dan pelayanan publik dalam kerangka pelaksanaan sistem pemeritahan daerah ke depan maka pada dasarnya hubungan timbal balik harus saling menguntungkan (mutualisme) dalam hal benefit sosial. Untuk menciptakan pelayanan publik secara baik sesuai dengan harapan bersama. Perlu adanya mekanisme pelayanan publik secara jelas, pejabat publik harus mengetahui budaya yang baik dari masing-masing kelompok masyarakat dan parameter dalam melaksanakan public service harus ada. Adapun manfaat dari
dilakukannya pelayanan publik bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah ke depan menurut Sarudajang (2005), adalah untuk meningkatkan citra pemerintahan daerah; meningkatkan kualitas pemeritahan; menciptakan nilai baik berupa profit atau benefit bagi publik dan pemerintah.
2.8 Aparatur Pemerintah
Dalam arti luas pemerintah merupakan kesatuan organ-organ, badan-badan, atau lembaga-lembaga, alat perlengkapan negara atau aparatur negara yang menjalankan berbagai kegiatan atau aktivitas untuk mencapai tujuan negara. Meningkatnya tuntutan masyarakat agar pemerintah daerah lebih demokratis, bersih,
berwibawa, serta mampu menjadi enterpreneur yang dapat menggerakkan
masyarakat dan swasta ikut ambil bagian dalam pembangunan, maka upaya-upaya untuk menciptakan aparat pemerintah daerah yang profesional, bersih, dan berwibawa perlu segera dilakukan.
Masalah-masalah yang terkait dengan penyelenggaran pemerintah daerah, diantaranya:
1. Distribusi SDM aparat pemerintah daerah masih belum merata seperti yang diharapkan agar dapat memobilisasi sumberdaya pembangunan, termasuk dalam merangsang peran masyarakat dan dunia usaha untuk ikut serta melaksanakan pembangunan;
2. Kualitas aparat pemerintah daerah sebahagian besar masih belum sesuai
dengan harapan;
3. Fungsi pelayanan umum oleh aparat pemerintah daerah belum sepenuhnya
menjamin kemudahan, transparan, tepat waktu, kenyamanan, dan kepastian hukum.
Pembangunan aparat negara diarahkan pada makin terwujudnya dukungan administrasi negara yang mampu menjamin kelancaran tugas dan fungsi penyelenggaran pemerintahan negara dan pembangunan untuk mewujudkan sistem administrasi negara yang andal, profesional, efisien, efektif, serta tanggap terhadap aspirasi rakyat dan dinamika perubahan strategis.
2.9 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Model pembangunan manusia telah menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan yang berarti bahwa pembangunan yang dilaksanakan dari rakyat (of people), untuk rakyat (for people), dan oleh rakyat (by people). Suatu ukuran yang dapat mencerminkan aspek-aspek pembangunan dan dianggap cukup baik untuk menggambarkan aspek sosial maupun ekonomi yang telah dicapai oleh suatu daerah adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM dapat digunakan sebagai ukuran kebijakan dan upaya yang dilakukan dalam kerangka pembangunan manusia khususnya upaya pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan partisipasi dalam pembangunan (BPS Kab. Polewali Mandar, 2008).
Indeks Pembangunan Manusia memfokuskan pada tiga dimensi pembangunan manusia terukur, meliputi: berumur panjang dan sehat, berpendidikan atau terdidik, dan hidup berkecukupan atau mempunyai standar hidup layak. Ketiga dimensi pembangunan manusia tersebut diukur dengan menggunakan empat indikator berikut (Rusli, 2010):
1. Dimensi umur panjang dan sehat, diukur dengan menggunakan indikator
harapan hidup pada waktur lahir.
2. Dimensi pengetahuan diukur dengan menggunakan dua indikator yang terdiri dari angka melek huruf dan lama sekolah atau tingkat partisipasi sekolah.
3. Dimensi hidup layak diukur dengan menggunakan indikator pendapatan
sebagai takaran daya beli (pendapatan yang telah disesuaikan dengan daya beli).