• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA KONSUMSI PANGAN PADA RUMAH TANGGA PETANI PADI. Food Consumption Pattern in Rice Farmer s Households

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA KONSUMSI PANGAN PADA RUMAH TANGGA PETANI PADI. Food Consumption Pattern in Rice Farmer s Households"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

219

POLA KONSUMSI PANGAN PADA RUMAH TANGGA

PETANI PADI

Food Consumption Pattern in Rice Farmer’s Households

Tri Bastuti Purwantini1 dan Mewa Ariani2

1

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

2

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten, Jl. Raya Ciptayasa Km 01 Ciruas 42182 Serang, Banten ABSTRACT

Food is a basic need and improvement on food consumption would positively increase human resource quality. The purpose of this paper is to examine expenditure and food consumption pattern of rice farmer’s households. Data used in this study was that of conducted during the 2007 Patanas survey in 5 provinces (Java and off Java) on 350 respondent. The analysis uses qualitative descriptive using tables. The study results are: (1) Welfare level of rice farmer’s households in West Java and Central Java is better than that of in other provinces; (2) Largest household food expenditure is spent on basic foods, followed by expenditure on tobacco/betel and animal-based foods; (3) Rice is the staple and single food for farmers obtained from own rice field, i.e., 38 to 63 percent in Java and 53-94 percent in off Java; (4) Energy and protein consumption level is vatried between villages and regions, but generally below the standard adequasi level. Main energy share comes from cereals (44-69%). The implication of this condition suggests the improvement of food consumption pattern for rice farmer’s household with direction on the balance nutirient intake according to health recommendation. This suggestion could be conducted through communication program (Komunikasi Informasi Edukasi) using various media, such as extension activity, leaflet, demonstration, etc.

Key words: expenditure pattern, food consumption, rice farmers ABSTRAK

Pangan merupakan hak azasi manusia dan perbaikan pola konsumsi pangan sebagai sarana mewujudkan kualitas sumber daya manusia. Tulisan ini mengkaji pola pengeluaran dan konsumsi pangan rumah tangga petani padi. Data yang digunakan adalah PATANAS 2007 dengan jumlah contoh sekitar 350 rumah tangga petani padi di 5 provinsi (Jawa dan Luar Jawa). Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan tabel-tabel. Hasil analisis menunjukkan bahwa : 1) tingkat kesejahteraan rumah tangga petani padi di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah lebih baik dibandingkan dengan di provinsi yang lainnya; 2) pPengeluaran pangan rumah tangga terbesar adalah pengeluaran makanan pokok, kemudian diikuti dengan pengeluaran tembakau/sirih dan pangan hewani; 3) beras adalah pangan pokok petani padi dan bersifat tunggal, yang bersumber dari hasil sendiri, berkisar 38 – 63 persen di Jawa dan 53-94 persen di luar Jawa; 4) tingkat konsumsi energi dan protein bervariasi antardesa atau wilayah, namun pada umumnya masih dibawah angka kecukupan. Sumbangan energi terbesar dari kelompok padi-padian (44–69 %). Implikasinya adalah masih diperlukan upaya perbaikan pola konsumsi pangan pada rumah tangga petani padi secara terus menerus dan terarah agar pola pangannya sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan. Upaya tersebut dilakukan melalui Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dengan memanfaatkan berbagai media seperti penyuluhan, leaflet, demonstrasi dan lain-lain.

(2)

PENDAHULUAN

Ketahanan pangan yang dibangun di Indonesia, di samping sebagai prasyarat untuk memenuhi hak azasi pangan masyarakat juga merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu bangsa (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Pembangunan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan diarahkan untuk menopang kekuatan ekonomi domestik sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup secara berkelanjutan bagi seluruh penduduk, terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman, dan terjangkau dari waktu ke waktu.

Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu (Saliem et al., 2002). Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air) menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan.

Masalah gizi tidak terlepas dari masalah makanan karena masalah gizi timbul sebagai akibat kekurangan atau kelebihan kandungan zat gizi dalam makanan. Salah satu masalah gizi yang sering dijumpai khususnya di perdesaan adalah kurang energi protein (KEP). Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis konsumsi pangan pada rumah tangga petani padi di Indonesia. Aspek yang dianalisis adalah struktur pengeluaran pangan dan nonpangan, tingkat partisipasi dan pola pangan pokok, serta konsumsi energi dan protein.

MATERI DAN METODE

Sumber data yang digunakan untuk menganalisis pola konsumsi rumah tangga petani padi adalah data Panel Petani Nasional (Patanas) tahun 2007 yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Data tersebut mencakup 5 provinsi, yakni 2 provinsi luar Jawa (Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan) dan 3 provinsi Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) yang meliputi 14 desa contoh. Pengumpulan data rumah tangga dilakukan melalui survei rumah tangga yang melibatkan 25 rumah tangga contoh untuk setiap desa atau total responden 350 rumah tangga. Rumah tangga yang terpilih adalah rumah tangga petani padi, baik pemilik maupun penggarap

Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dalam bentuk tabel-tabel berdasar-kan daerah dan kelompok pangan. Untuk mengetahui posisi perkembangan konsumsi pangan rumah tangga petani padi dibandingkan antardaerah, maka dalam analisis ini juga dibandingkan data konsumsi pangan untuk tingkat provinsi masing-masing menurut data Susenas 2007

(3)

221

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengeluaran Pangan Sebagai Indikator Kesejahteraan

Secara garis besar kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yaitu kebutuhan akan pangan dan bukan pangan. Dengan demikian, pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan mencapai titik jenuh sementara kebutuhan bukan pangan, termasuk kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Dengan demikian, besaran pendapatan (yang diproksi dengan pengeluaran total) yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Atau dengan kata lain semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan, berarti semakin kurang sejahtera rumah tangga yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumah tangga tersebut semakin sejahtera.

Tabel 1. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Perdesaan, 2007 Provinsi Pengeluaran pangan

(%) Pengeluaran total (Rp/kap/bulan) Jawa Timur 59,61 257.157 Jawa Tengah 59,16 218.042 Jawa Barat 60,80 281.752 Sumatera Utara 55,56 225.439 Sulawesi Selatan 54,61 224.046 Sumber : Susenas, 2007

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata kesejahteraan rumah tangga perdesaan di Jawa lebih rendah dibandingkan dengan di luar Jawa. Pangsa pengeluaran pangan di luar Jawa sekitar 55 persen, sedangkan di Jawa sekitar 59-61 persen. Beberapa kajian menggunakan data Susenas antarwaktu menunjukkan bahwa rataan pengeluaran pangan di kota relatif lebih rendah dibandingkan di perdesaan. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata penduduk kota lebih sejahtera dibanding di perdesaan. Adanya kesenjangan pembangunan antara daerah perkotaan dan perdesaan yang berdampak pada tingkat kesejahteraannya. Daerah perdesaan mengalami keterbatasan pengembangan infrastruktur (fisik dan kelembagaan), di samping itu kebijakan pembangunan bias pada daerah perkotaan khususnya untuk sektor industri, perdagangan dan jasa (Sayogyo, 2002). Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan yang lebih cepat sedangkan daerah perdesaan relatif tertinggal.

Ketertinggalan wilayah perdesaan juga disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas dan kualitas petani dan pertanian, terbatasnya akses petani terhadap sumber daya permodalan, serta rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur pertanian dan perdesaan. Pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin sebesar 39,1 juta orang, dan sebagian besar (24,8 juta orang) berada di perdesaan dengan sumber mata pencaharian utama di sektor pertanian terutama tanaman pangan.

(4)

Berdasarkan Tabel 2, terlihat tidak ada pola yang jelas antara pengeluaran total dengan pangsa pengeluaran pangan, dalam arti kedua variabel tersebut tidak selalu berbanding lurus atau berbanding terbalik. Dalam arti semakin besar pengeluaran total tidak selalu diikuti dengan semakin rendahnya pangsa pengeluaran pangan. Hal ini berbeda dengan pola yang ada dalam data Susenas, yaitu semakin tinggi pengeluaran total rumah tangga, pangsa pengeluaran pangan akan semakin rendah.

Tabel 2. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Petani Padi di Perdesaan Jawa dan Luar Jawa

Provinsi/Desa Pengeluaran Pangan (%)

Pengeluaran Total (Rp/kap/bulan) Jawa Barat - Tugu 49,7 332.460 - Simpar 49,4 360.690 - Sindangsari 58,2 220.560 Jawa Tengah - Tambahmulyo 48,2 235.660 - Demangan 44,5 275.940 - Mojorejo 47,8 265.100 - Padangsari 53,0 167.970 Jawa Timur - Padomasan 60,5 241.960 - Sungegeneng 58,5 225.570 - Kaligondo 48,3 210.700 Sulawesi Selatan- Carawali 55,2 282.610 - Salu Jambu 48,6 203.990 Sumatera Utara - Lidah Tanah 59,2 393.630 - Kwala Gunung 57,3 234.540

Hanya pada rumah tangga di Provinsi Jawa Barat yang mengikuti pola Susenas. Di Desa Simpar, pengeluaran total paling besar yaitu Rp 360.690/kapita/ bulan dan pangsa pengeluaran pangannya juga paling kecil (49,4%) dibandingkan dengan desa lain Provinsi Jawa Barat. Kondisi ini diduga rumah tangga dalam menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi tidak selalu mengacu pada pendapatannya. Dalam arti, aspek pendapatan tidak selalu mempengaruhi dalam pola konsumsi pangan tetapi aspek lain seperti kebiasaan makan dan adanya pola hidup sederhana dalam rumah-tangga. Temuan ini sangat menarik dan perlu dilakukan kajian lebih mendalam dalam kaitannya dengan aspek sosial budaya yang melekat pada masyarakat.

Dengan memperhatikan pangsa pengeluaran pangannya, terlihat tingkat kesejahteraan rumah tangga petani padi di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah lebih baik dibandingkan dengan di provinsi yang lainnya. Bahkan di Desa Demangan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, tingkat kesejahteraan rumah tangga petani padi paling sejahtera dibandingkan dengan di desa lain dalam provinsi yang sama. Klaten termasuk salah satu sentra produksi padi utama di Jawa tengah, karena lahan yang diusahakan adalah irigasi teknis, yang dapat ditanami padi tiga kali dalam satu tahun.

Tabel 3 menyajikan pangsa pengeluaran pangan menurut kelompoknya. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran pangan rumah tangga terbesar

(5)
(6)

digunakan untuk pengeluaran makanan pokok yang termasuk dalam kelompok padi-padian atau pangan sumber karbohidrat. Selain pangan pokok, pengeluaran pangan dominan adalah tembakau/sirih dan pangan hewani.

Tampak bahwa pangsa pengeluaran pangan sumber karbohidrat berkisar antara 22,4 persen (Jabar) sampai 44,5 persen (Jatim) untuk di Jawa, sedangkan di luar Jawa berkisar antara 17,2 persen (Sumut) sampai 44,9 persen (Sulsel). Dalam kelompok tembakau/sirih sebetulnya yang dominan adalah pengeluaran untuk pembelian rokok. Hampir semua Kepala Keluarga (KK) merokok setiap hari, bahkan sebagian besar mampu menghabiskan lebih dari satu bungkus rokok, walaupun harga rokok bervariasi dan relatif mahal Rp.4.000-Rp.7.000/bungkus. Kecenderungan ini tentu memprihatinkan ditinjau dari segi kesehatan, namun hasil wawancara dengan KK (petani) belum tentu semua rokok yang dibeli digunakan sendiri karena rokok juga sebagai media interaksi sosial dengan teman atau saudara.

Masih rendahnya pengeluaran untuk makanan/minuman jadi menunjukkan bahwa pola pangan rumah tangga petani masih lebih sederhana dibandingkan dengan rumah tangga secara umum. Konsep mengutamakan makan makanan yang dimasak di rumah masih kuat, hal ini selain pola hidup yang sederhana juga sebagai akibat pola pekerjaan petani yang tidak terlalu komplek, sehingga masih memungkinkan mereka pulang untuk makan siang di rumah. Atau yang terlihat jelas, pola pekerjaan wanita tani juga tidak kompleks seperti pola pekerja wanita terutama di perkotaan. Para ibu masih punya waktu untuk memasak di rumah untuk kebutuhan keluarganya dan masih punya waktu untuk mengantarkan makanan untuk suaminya di sawah. Di sisi lain tentu saja makanan/minuman jadi harganya lebih mahal dengan makanan yang dimasak sendiri, sehingga mereka memilih memasak sendiri daripada membeli.

Tingkat Partisipasi Konsumsi Pangan dan Pola Pangan Pokok

Tingkat partisipasi konsumsi pangan menunjukkan proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi jenis pangan tertentu terhadap total populasi rumah tangga yang diamati. Jenis pangan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah pangan sumber karbohidrat (yang sebagian besar merupakan pangan pokok), sumber protein, sumber lemak, dan sumber vitamin/mineral. Keragaan tingkat partisipasi konsumsi pangan tersebut dapat disimak pada Tabel 4.

Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat partisipasi konsumsi beras di lokasi contoh hampir mencapai 100 persen. Tingkat partisipasi konsumsi beras sebagian besar mencapai 100 persen. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi beras ini terkait dengan tingkat ketersediaannya. Karena rumah tangga contoh adalah rumah tangga yang mengusahakan tanaman padi dan menjadikan beras sebagai makanan pokok utama. Berkaitan dengan definisi tersebut, pangan pokok yang dimaksud umumnya berupa pangan sumber karbohidrat yang sekaligus merupakan pangan sumber energi.

(7)
(8)

Sementara, jenis pangan sumber karbohidrat lain yang sebelumnya juga menjadi pangan pokok di berbagai provinsi tergeser oleh beras, yang ditunjukkan oleh partisipasi konsumsi pangan sumber karbohidrat lainnya seperti jagung dan ubi kayu relatif kecil. Dari tingkat partisipasi konsumsi pangan sumber karbohidrat tersebut menunjukkan bahwa beras memang sudah menjadi pola pangan pokok dominan dan cenderung bersifat tunggal. Telah terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam pola pangan pokok, rumah tangga sudah jarang mengkonsumsi pangan lokal selain beras dalam pola pangan pokoknya.

Dengan demikian, masyarakat telah meninggalkan pola pangan lokal seperti jagung, umbi-umbian, dan sagu beralih ke pola pangan pokok nasional yaitu beras. Memang masih ditemukan pola pangan pokok selain beras seperti sagu di Desa Salu Jambu (Kabupaten Luwu) dan jagung di Desa Sungegeneng (Kabupaten Lamongan), namun kedua pangan ini hanya dikonsumsi dalam jumlah kecil dan lebih bersifat karena adanya ikatan emosional dengan pangan tersebut. Dari tiga kali frekuensi konsumi pangan pokok, minimal satu kali mengkonsumsi sagu atau jagung terutama pada siang hari. Sementara untuk pagi dan malam hari mengkonsumsi beras (Tabel 5). Khusus di Desa Sindangsari (Kabupaten Karawang), rumah tangga yang terbiasa mengkonsumsi beras di pagi hari atau sarapan pagi, umumnya berasal dari pembelian berupa nasi uduk.

Tabel 5. Pola Konsumsi Pangan Pokok Rumah Tangga Petani Padi di Jawa dan Luar Jawa Frekuensi konsumsi Jenis pangan pokok

Wilayah

Normal Paceklik Normal Paceklik

Jabar

-Subang 3 3 Beras Beras

-Karawang 2-3 2-3 Beras Beras

-Indramayu 3 3 Beras Beras

Jateng

-Sragen 3 3 Beras Beras

-Cilacap 3 3 Beras Beras

-Pati 3 3 Beras Beras

-Klaten 3 3 Beras Beras

Jatim

-Lamongan 3 3 Beras

Beras +Jagung

Beras Beras +Jagung

-Jember 3 3 Beras Beras

-Banyuwangi 3 3 Beras Beras

Sulsel

-Sidrap 3 3 Beras Beras

-Luwu 3 3 Beras

Beras+Sagu

Beras Beras+Sagu

Sumut

- Deli Serdang 3 3 Beras Beras

- Asahan 3 3 Beras Beras

Pola pangan pokok berupa beras tampaknya sulit diubah walaupun rumah tangga menghadapi musim paceklik. Petani tidak akan mengganti beras sebagai pangan pokok walaupun harga beras meningkat. Persepsi ini menunjukkan bahwa

(9)

227 apabila pemerintah menaikkan harga beras dengan tujuan agar masyarakat menurunkan konsumsi beras atau melakukan diversifikasi konsumsi pangan pokok, maka tujuan tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Kenaikan harga beras akan berdampak kecil terhadap penurunan konsumsi beras.

Sejak Orde Baru, beras menjadi komoditas strategis secara politis, sehingga peranan pemerintah terhadap perkembangan produksi dan konsumsi beras sangat intensif. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan perberasan, mulai dari industri hulu sampai industri hilir. Kebijakan tersebut dilakukan secara terus menerus, termasuk diantaranya kebijakan beras untuk orang miskin yang dikenal dengan ‘raskin’ yang diberlakukan untuk semua provinsi. Dampak dari kebijakan yang bias pada komoditas beras adalah terjadinya pergeseran pola konsumsi pangan pokok masyarakat.

Pada masa kini peranan mi instan sangat dominan di setiap rumah tangga petani, hampir semua responden menyatakan mengkonsumsi mi instan hampir setiap hari, sehingga tingkat partisipasi konsumsi mi instant juga lebih tinggi daripada ubi kayu dan jagung. Kecenderungan yang demikian, lagi-lagi juga karena kuatnya peranan pemerintah di masa lalu yang memberi subsidi besar pada industri pengolahan tepung terigu dan fasilitas kemudahan lainnya sehingga masyarakat dari belum kenal mi instan sampai menyenangi makanan tersebut. Selain itu juga gencarnya media massa dalam mempromosikan makanan tersebut, sehingga mi instan digemari oleh semua kalangan dan semua golongan umur, tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak. Terdapat kecenderungan frekuensi anak-anak lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa.

Tingkat partisipasi konsumsi gula pasir juga hampir 100 persen. Hal ini karena hampir semua masyarakat mengkonsumsi gula pasir terutama sebagai bahan minuman seperti untuk minum kopi, teh, dan susu. Selain itu, juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan beranekaragam jenis kue, roti, dan masakan jenis lainnya. Dari sisi ketahanan pangan, tingginya partisipasi konsumsi gula pasir kurang baik karena Indonesia merupakan net importer gula pasir, dengan rasio ketergantungan impor cukup tinggi, sekitar 42 persen.

Tingkat partisipasi konsumsi tempe dan tahu lebih tinggi dibandingkan dengan pangan sumber protein hewani seperti daging atau ikan. Hal ini menunjukkan bahwa tempe dan tahu dikenal cukup luas oleh masyarakat Indonesia. Banyaknya rumah tangga mengkonsumsi tahu dan tempe adalah baik ditinjau dari segi kesehatan karena pangan ini merupakan sumber protein nabati dan termasuk makanan fungsional yang sangat berguna untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Tingginya partisipasi konsumsi tahu dan tempe tidak hanya terjadi di wilayah Jawa yang mempunyai trade mark menjadikan tahu dan tempe sebagai lauk-pauk utama dan selalu ada dalam hidangan sehari-hari, tetapi partisipasi konsumsi tahu dan tempe juga tinggi di wilayah luar Jawa (Sulsel dan Sumut) seperti pada Tabel 4. Di antara jenis pangan sumber protein hewani, tingkat partisipasi konsumsi daging ayam paling tinggi dibandingkan dengan jenis pangan hewani yang lainnya.

(10)

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa makanan pokok rumah tangga petani padi adalah beras yang dikonsumsi setiap hari. Sementara untuk jenis pangan lain seperti pauk terkesan makan seadanya. Jenis dan jumlah lauk-pauk sangat terbatas. Untuk pangan hewani terutama pangan asal ternak yang sering dikonsumsi adalah daging ayam dan telur, sedangkan yang jarang dikonsumsi adalah daging sapi. Pada umumnya mereka mengkonsumsi daging sapi apabila ada hajatan atau pada waktu perayaan seperti Idul Fitri atau Idul Adha.

Jenis ikan yang dikonsumsi memang banyak dipengaruhi oleh pola penyediaan ikan dan kebiasaan. Sebagai gambaran, petani di Kabupaten Sidrap dan Lamongan, yang wilayahnya dekat dengan laut banyak mengkonsumsi ikan laut atau ikan segar, sedangkan di Kabupaten Subang atau Karawang terbiasa mengkonsumsi ikan asin atau ikan awetan (seperti pindang) sebagai lauk-pauk utama. Sementara itu, jenis sayur mayur yang dikonsumsi juga terbatas pada sayuran yang banyak ditanam di daerah dataran rendah seperti kangkung, bayam dan kacang panjang atau sayur asem terutama di wilayah Jawa Barat. Jarang sekali rumah tangga mengkonsumsi sayur sop-sop-an yang terdiri dari kubis, wortel, selederi, dan lain-lain.

Tingkat partisipasi konsumsi sayuran yang paling tinggi adalah bayam dan kangkung, sementara untuk buah-buahan adalah jeruk (Tabel 4). Jeruk banyak dikonsumsi oleh rumah tangga, karena memang jeruk banyak tersedia di pasaran dalam ukuran yang beragam dan harga yang beragam pula. Pada umumnya jeruk yang dikonsumsi adalah jeruk yang ukurannya kecil dengan harga sebesar Rp 2.000-Rp 4.000 per kilogram. Jenis buah-buahan yang dikonsumsi tergantung dari apa yang dihasilkan oleh petani terutama dari lahan pekarangannya dan tentu saja bersifat musiman.

Sebagai produsen padi, pada umumnya rumah tangga contoh mengkon-sumsi beras berasal dari hasil sendiri, namun demikian proporsi jumlah beras yang berasal dari dari hasil sendiri bervariasi antarlokasi yakni berkisar 38 – 63 persen di Jawa, proporsi tersebut lebih rendah dibanding di luar Jawa yang mencapai 53-94 persen (Tabel 6 dan 7). Perbedaan tersebut antara lain karena di luar Jawa rataan pengusaan lahan sawah relatif lebih besar, selain itu pola panen tebasan yang banyak ditemukan di Jawa menyebabkan petani menerima hasil dalam bentuk uang, sehingga tidak ada gabah yang dibawa ke rumah.

Sementara itu, pada sebagian rumah tangga menyisihkan sebagian lahan untuk dipanen sendiri sebagai cadangan kebutuhan konsumsi sendiri. Kasus di Desa Simpar, Kabupaten Subang dimana sebagian besar petani menanam jenis padi ketan, sehingga untuk kebutuhan konsumsi biasanya petani membeli gabah atau menukar sebagian hasil panen ketan tersebut dengan gabah (beras). Selain hasil sendiri rumah tangga memperoleh beras dari membeli baik melalui raskin atau di pasar, hanya sebagian kecil terutama di Jawa yang memperoleh dari pemberian atau lainnya, sedangkan di luar Jawa tidak ditemukan.

(11)
(12)

Tabel 7. Pola Pengadaan Pangan Pokok (Beras) Rumah Tangga Petani Padi di Luar Jawa (%)

Sulawesi Selatan Sumatera Utara Asal perolehan

Carawali Salujambu Lidah Tanah Kwala Gunung - Produksi sendiri 94,4 54,6 53,1 62,5 - Membeli raskin 5,6 30,3 15,6 20,0 - Membeli di pasar 0,0 15,1 31,3 17,5 - Pemberian/ Lainnya 0,0 0,0 0,0 0,0

Di Desa Carawali, Kabupaten Sidrap bahkan dominan berasal dari produksi sendiri, hal ini wajar karena rata-rata penguasaan lahan sawah relatif luas, hanya sekitar 5,56 persen di luar produksi sendiri yakni berasal dari raskin, ini terbatas juga pada rumah tangga yang kurang mampu atau relatif miskin, sedangkan di Salujambu, Luwu proporsi dari raskin cukup besar (30%), hal ini bukan berarti sebagian besar rumah tangga miskin, tetapi pendistribusian beras miskin (raskin) tidak terbatas pada rumah tangga miskin bahkan di beberapa lokasi pendistribusian raskin cenderung diratakan untuk semua warga.

Konsumsi Energi dan Protein

Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII, 2004, tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein adalah 2200 Kalori/kapita/ hari (AKE) dan 57 gram/kapita/hari (AKP). Mengacu pada standar anjuran tersebut dan data pada Tabel 8, terlihat tingkat konsumsi energi rumah tangga petani padi di Jawa 60 persen (6 desa dari 10 desa) masih di bawah standar kecukupan. Wilayah yang tingkat kecukupan energi kurang adalah: Cilacap, Pati, Lamongan, Karawang, Banyuwangi, dan Indramayu, sedangkan tingkat kecukupan energi di wilayah tersebut berkisar 78–99 persen. Sementara, di luar Jawa kondisinya lebih baik, dimana 50 persen masih di bawah standar yakni Desa Kwala Gunung (Kabupaten Asahan) dan Desa Carawali (Sidrap) masing-masing tingkat kecu-kupan energi 84 dan 99 persen.

Pada umumnya pada rumah tangga petani padi, beras merupakan pangan pokok yang dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi. Data menunjukkan bahwa sumbangan energi terbesar adalah berasal dari kelompok padi-padian yakni berkisar 44–69 persen. Sementara itu hasil rumusan Semiloka Penyusunan Kebijakan Perberasan (2000) menyebutkan bahwa beras menyumbang sekitar 60-65 persen dari total konsumsi energi, berarti sumbangan padi-padian terhadap konsumsi energi di lokasi contoh dibawah kisaran tersebut, kecuali yang ditemukan di Karawang (66%) dan Luwu (69%).

Berbeda dengan data Susenas yang menyatakan bahwa rata-rata tingkat konsumsi protein di perdesaan Indonesia sudah melebihi tingkat kecukupan yang dianjurkan, sementara ini hasil penelitian masih ditemukan rumah tangga petani padi dengan tingkat konsumsi protein di bawah angka kecukupan yang dianjurkan, yakni untuk di Jawa antara lain ditemukan di Cilacap (86%), Karawang (96%), Pati

(13)

231 (99%), dan Lamongan (88%), sedangkan di luar Jawa ditemukan di Luwu (88%) dan Asahan (83%). Fenomena di atas menunjukkan ada kecenderungan bahwa jika tingkat konsumsi protein kurang diikuti juga dengan tingkat konsumsi energi kurang. Beberapa wilayah lainnya menunjukkan bahwa tingkat konsumsi protein sudah melebihi tingkat kecukupan yang dianjurkan, bahkan yang ditemukan di Serdang Pedagai lebih dari 200 persen.

Fenomena lain bahwa tingkat konsumsi protein sudah melebihi yang dianjurkan, sedangkan tingkat konsumsi energi masih kurang sebagai contoh yang ditemukan di Sidrap, Banyuwangi, dan Indramayu. Pola konsumsi seperti tersebut tidak baik dan mahal, karena apabila energi yang dikonsumsi belum sesuai dengan kebutuhan yang dianjurkan maka protein akan dibakar oleh tubuh untuk menutupi kekurangan energi. Padahal harga per satuan energi yang berasal dari protein lebih mahal dibandingkan dengan energi yang berasal dari pangan sumber karbohidrat atau pangan pokok seperti beras, ubi kayu dan lain-lain.

Tabel 8. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Petani Padi di Lokasi Contoh, 2007

Wilayah (Kkal/kap/hr)Energi

Pangsa Energi Padi-padian (%) Protein (gr/kap/hr) Pangsa Protein Hewani (%) Jabar -Subang 3.594 47,50 98,22 37,87 -Karawang 1.968 66,53 54,69 31,93 -Indramayu 2.172 53,14 74,00 31,50 Jateng -Sragen 2.970 43,45 82,88 28,69 -Cilacap 1.711 58,99 49,13 23,96 -Pati 1.875 51,13 56,50 32,00 -Klaten 2.207 49,74 69,50 33,12 Jatim -Lamongan 1.957 52,39 50,03 25,94 -Jember 2.384 50,10 72,18 19,86 -Banyuwangi 1.975 57,99 72,18 19,86 Sulsel -Sidrap 2.178 45,81 75,31 41,00 -Luwu 2.443 69,14 50,36 21,74 Sumut - Deli Serdang 3.560 44,30 135,36 39,55 - Asahan 1.853 56,09 47,48 27,19 Sumber :

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Berdasarkan pangsa pengeluaran pangan, tingkat kesejahteraan rumah tangga petani padi di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah lebih baik dibandingkan dengan di provinsi yang lainnya. Rumah tangga petani padi di Desa Demangan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah paling sejahtera.

(14)

Pengeluaran pangan rumah tangga terbesar adalah pengeluaran makanan pokok, kemudian diikuti dengan pengeluaran tembakau/sirih dan pangan hewani. Masih rendahnya pengeluaran untuk makanan/minuman jadi menunjukkan bahwa pola pangan rumah tangga petani masih lebih sederhana dibandingkan dengan rumah tangga secara umum.

Beras merupakan pangan pokok petani padi dan bersifat tunggal. Tingkat partisipasi konsumsi beras hampir mencapai 100 persen. Sementara untuk jagung dan ubi kayu relatif kecil, bahkan lebih kecil dari tingkat partisipasi mi. Pola pangan pokok sagu di Kabupaten Luwu dan jagung di Kabupaten Lamongan masih ada, namun kedua pangan ini hanya dikonsumsi dalam jumlah kecil dan lebih bersifat karena adanya ikatan emosional.

Karena sebagai produsen padi, sebagian besar beras yang dikonsumsi berasal dari hasil sendiri, pangsa beras yang dikonsumsi dari hasil sendiri lebih tinggi di luar Jawa daripada di Jawa. Perbedaan tersebut karena di luar Jawa rataan pengusaan lahan sawah relatif lebih besar, dan pola panen tebasan yang banyak ditemukan di Jawa menyebabkan petani menerima hasil dalam bentuk uang, sehingga tidak ada gabah yang dibawa ke rumah.

Tingkat konsumsi energi dan protein bervariasi antardesa atau wilayah, namun pada umumnya masih dibawah angka kecukupan. Tingkat konsumsi energi rumah tangga petani padi di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa. Sumbangan energi terbesar dari kelompok padi-padian.

Implikasinya adalah masih diperlukan upaya perbaikan pola konsumsi pangan pada rumah tangga petani padi secara terus menerus dan terarah agar pola pangannya sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan. Upaya tersebut dilakukan melalui Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dengan memanfaatkan berbagai media seperti penyuluhan, leaflet, demonstrasi, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta. Saliem, H.P.,M. Ariani, Y. Marisa dan T.B.Purwantini. 2002. Analisis Kerawanan Pangan

Wilayah Dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Sayogyo. 2002. Pertanian dan kemiskinan. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun I No. 2 Jakarta.

(15)

Kelompok Pangan

Tugu Simpar Sindang sari Tambah mulyo Dema ngan Mojo rejo Padang sari Pado masan Sunge geneng Kali gondo Cara-wali Salu Jambu Lidah Tanah Kwala Gunung Sumber Karbohidrat 23,5 22,4 33,3 27,8 23,0 26,0 32,1 25,4 26,0 44,5 19,4 44,9 17,6 30,2 Pangan Hewani 13,6 21,5 8,2 17,4 13,7 18,4 10,0 10,6 23,6 13,7 19,2 17,3 28,7 17,3 Kacang- kacangan 6,4 4,5 4,0 4,8 5,7 6,8 8,4 5,3 5,1 5,1 3,5 2,9 4,7 3,5 Sayuran 11,1 9,8 8,2 8,0 13,4 8,8 9,6 8,2 8,3 7,8 13,0 8,7 12,1 8,6 Buah-buahan 2,5 4,8 5,1 3,6 3,4 5,6 2,0 2,3 2,3 3,9 2,0 5,6 2,5 5,6 Minyak + Lemak 3,6 4,1 4,0 5,6 5,8 4,8 4,5 6,0 3,7 8,0 4,2 2,8 3,7 4,3 Bahan Minuman 5,4 5,6 5,7 6,1 7,7 9,1 6,4 6,8 6,5 5,1 6,6 6,7 9,7 6,7 Makanan/minuman Jadi 9,2 6,1 4,7 7,1 7,0 1,5 7,4 2,0 13,2 2,9 6,1 3,1 5,5 6,8 Tembakau + sirih 18,5 12,8 11,2 12,7 13,2 12,2 13,5 6,0 15,5 2,9 18,4 1,3 10,4 13,7 Lainnya 6,3 8,6 5,9 7,9 6,9 6,5 6,3 27,6 5,9 6,1 7,2 5,2 5,0 4,3 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

(16)

Kelompok Bukan

Pangan Tugu Simpar Sindang

sari Tambah Mulyo Dema-ngan Mojo rejo Padang sari Pado masan Sunge-geneng Kali-gondo Cara-wali Salu Jambu Lidah Tanah Kwala Gunung Sumber Karbohidrat Beras 96,0 100,0 100,0 100,0 72,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 96,0 100,0 100,0 100,0 Jagung 4,0 12,0 0 4,0 12,0 12,0 5,9 38,0 16,0 8,0 40,0 8,0 8,0 4,0 Ubikayu 26,0 4,0 0 4,0 36,0 24,0 5,9 4,0 8,0 28,0 4,0 28,0 28,0 20,0 Ubijalar 12,0 4,0 0 0 4,0 4,0 0 0 0 4,0 8,0 8,0 4,0 0 Mie Instan 36,0 56,0 26,0 56,0 84,0 52,0 58,8 56,0 44,0 24,0 48,0 12,0 32,0 40,0 Gula Pasir 100,0 96,0 92,0 88,0 100,0 96,0 100,0 92,0 92,0 96,0 100,0 92,0 100,0 96,0 Sumber Protein Daging Sapi 16,0 16,0 4,0 64,0 40,0 20,0 47,1 24,0 24,0 52,0 16,0 24,0 44,0 24,0 Daging ayam 64,0 72,0 40,0 76,0 80,0 80,0 82,4 72,0 76,0 64,0 56,0 64,0 76,0 44,0 Ikan 22,0 22,0 16,0 17,0 16,0 28,0 25,0 20,0 22,0 25,0 25,0 19,0 38,0 22,0 Telur 28,0 32,0 29,3 26,7 28,0 32,0 27,4 24,0 28,0 29,3 26,7 24,0 28,0 32,0 Susu 6,8 13,8 4,8 10,4 11,2 9,6 7,1 6,4 8,8 4,0 19,2 5,6 13,6 7,2 Tahu 88,0 88,0 78,0 80,0 88,0 92,0 100,0 80,0 64,0 88,0 56,0 60,0 88,0 92,0 Tempe 96,0 72,0 80,0 84,0 84,0 92,0 100,0 88,0 72,0 100,0 88,0 80,0 92,0 92,0 Sumber Lemak M. goreng 100,0 100,0 88,0 100,0 96,0 96,0 100,0 96,0 96,0 96,0 96,0 96,0 100,0 96,0

Sumber Vitamin & Mineral

Bayam 56,0 36,0 36,0 80,0 64,0 60,0 76,5 36,0 64,0 72,0 66,0 60,0 72,0 52,0

Kangkung 96,0 44,0 40,0 68,0 44,0 48,0 76,5 20,0 72,0 52,0 44,0 60,0 72,0 84,0

D. singkong 36,0 32,0 4,0 40,0 44,0 48,0 29,4 32,0 12,0 68,0 20,0 40,0 68,0 64,0

Pisang 20,0 18,8 5,3 12,0 14,7 26,7 19,6 12,0 16,0 17,3 17,3 16,0 17,3 20,0

(17)

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Asal perolehan

Tugu Simpar Sindang sari Tambah Mulyo Demang an Mojo rejo Padang sari Pado masan Sunge geneng Kali gondo - Produksi sendiri 59,6 48,6 43,8 38,3 63,2 63,3 38,2 41,9 62,5 50,0 - Membeli raskin 28,6 28,6 31,3 27,7 15,8 3,3 20,6 9,7 17,5 2,8 - Membeli di pasar 4,4 20,0 20,8 19,2 21,1 26,7 23,5 41,9 12,5 41,7 - Pemberian/lainnya 0 2,7 4,2 14,9 0,0 6,7 17,7 6,5 7,5 5, 6

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdullilah, Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah serta inayahnya, Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana pembagian harta warisan pada masyarakat di Desa Cibuluh ditinjau dari hukum waris Islam,

Seorang anak akan mengalami perkembangan dalam perilaku sosialnya setelah dia memasuki dunia pendidikan (sekolah). Hal tersebut menuntut sekolah agar mendidik dan

nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit (tidak nyaman terhadap luka dekubitus). Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama

Sebagian besar responden adalah ibu-ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan sedang tentang imunisasi dasar anak dan mempunyai pengalaman menjadi kader lebih dari 5 sampai dengan

Pada umumnya orangtua atau keluarga pasien dengan hipospadia mengeluh dengan kondisi anaknya karena penis yang melengkung kebawah dan adanya lubang

Hubungan yang terjadi pada lantrak pemerintah adalah hubungan hukum yang bersifat privat, sehingga penyelesaian sengketa iasa konstruksi masuk dalam ,onih hukum

Berdasarkan hasil penelitian pada pembelajaran pendidikan kewarganegaraan materi globalisasi menunjukan bahwa penggunaan model pembelajaran the power of two dapat