1. Efek Antidiabetes Kombinasi Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum Linn.) dan Rimpang Kunyit (Curcumma Domestica Val.) Dengan Pembanding Glibenklamid pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2
Argun Widarsa ... 1-8 2. Uji Antibakteri Ekstrak Gracilaria Sp (Rumput Laut) Terhadap Bakteri Escherichia Coli dan
Staphyloccus Aureus
Abu Dzarrim Al Ghifari ... 9-14 3. Uji Efek Analgesik Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea Indica (L.) Less.) Pada Mencit (Mus Musculus)
Lukky Jayadi ... 15-22 4. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Personel Higiene Terhadap Kejadian Diare Pada Balita Di Desa
Bandar Utama Kecamatan Rambutan Kota Tebing Tinggi
Raisha Octavariani ... 23-38 5. Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Kecemasan Menjelang Persalinan Di Desa Bakaran Batu
Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016
Ika Nur Saputri ... 39-54 6. Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Siswa
Sekolah Dasar Di SD Negeri No 101902 Desa Sekip Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016
Novita Br. Ginting Munthe ... 55-71 7. Pengaruh Jus Mengkudu Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Di
RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2016
Rahmad Gurusinga ... 72-83 8. Perbedaan Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Terapi Musik Klasik Terhadap Tingkat
Kecamatan Pada Lansia Dip Anti Werda Yayasan Harapan Jaya Marelan Medan Tahun 2016
Tati Murni Karokaro ... 84-96 9. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih Pada
Pemasangan Kateter Uretra Menetap Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2016 Luci Riani Br. Ginting ... 97-110 10. Pengaruh Teknik Effluarage Terhadap Intensitas Nyeri Pada Ibu Persalinan Kala I Di Klinik
Nining Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016
Elfrida Simanjuntak ... 111-127
ISSN 2252 - 4487
ISSN :2252-4487
NERSTRA-NEWS
JURNAL ILMIAH KEPERAWATAN STIKes MEDISTRA LUBUK PAKAM
Volume : 5, No : 2 Juni – Agustus 2016
DAFTAR ISI
1. Efek Antidiabetes Kombinasi Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum Linn.) dan Rimpang Kunyit (Curcumma Domestica Val.) Dengan Pembanding Glibenklamid pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2
Argun Widarsa ... 1-8 2. Uji Antibakteri Ekstrak Gracilaria Sp (Rumput Laut) Terhadap Bakteri Escherichia Coli dan
Staphyloccus Aureus
Abu Dzarrim Al Ghifari ... 9-14 3. Uji Efek Analgesik Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea Indica (L.) Less.) Pada Mencit (Mus Musculus)
Lukky Jayadi ... 15-22 4. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Personel Higiene Terhadap Kejadian Diare Pada Balita Di Desa
Bandar Utama Kecamatan Rambutan Kota Tebing Tinggi
Raisha Octavariani ... 23-38 5. Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Kecemasan Menjelang Persalinan Di Desa Bakaran Batu
Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016
Ika Nur Saputri ... 39-54 6. Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Siswa
Sekolah Dasar Di SD Negeri No 101902 Desa Sekip Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016
Novita Br. Ginting Munthe ... 55-71 7. Pengaruh Jus Mengkudu Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Di
RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2016
Rahmad Gurusinga... 72-83 8. Perbedaan Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Terapi Musik Klasik Terhadap Tingkat
Kecamatan Pada Lansia Dip Anti Werda Yayasan Harapan Jaya Marelan Medan Tahun 2016
Tati Murni Karokaro ... 84-96 9. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Kemih Pada
Pemasangan Kateter Uretra Menetap Di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam Tahun 2016 Luci Riani Br. Ginting ... 97-110 10. Pengaruh Teknik Effluarage Terhadap Intensitas Nyeri Pada Ibu Persalinan Kala I Di Klinik
Nining Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016
PENGANTAR REDAKSI
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan ridhoNya telah terbit Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKes MEDISTRA Lubuk Pakam dengan nama NERSTRA-NEWS yang merupakan majalah ilmiah yang diterbitkan berkala setiap Tiga bulanan, yaitu periode Januari–Juni dan Juli – Desember. Kami mengharapkan untuk terbitan periode berikutnya para Peneliti / Dosen dapat meningkatkan kualitas maupun mutu dari tulisan ini, sehingga memungkinkan sebagai bahan rujukan dalam melakukan kegiatan penelitian. Dalam kesempatan ini Redaksi mengucapkan terimakasih kepada para Peneliti / Dosen dan semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penerbitan jurnal ilmiah ini. Semoga Keperawatan STIKes MEDISTRA Lubuk Pakam, sukses dan maju.
Salam,
PENGURUS
Pelindung : 1. Drs. Johannes Sembiring, M.Pd, M.Kes Ketua Yayasan MEDISTRA Lubuk Pakam 2. Drs. David Ginting, M.Pd, M.Kes
Ketua STIKes MEDISTRA Lubuk Pakam
Penanggungjawab : Rosita Ginting, SH
BAA STIKes MEDISTRA LubukPakam Pimpinan Redaksi : Kuat Sitepu, S.Kep, Ns, M.Kes
Sekretaris Redaksi
: Desideria Yosepha Ginting, S.Si.T, M.Kes
Redaktur Ahli : 1. Tahan Adrianus Manalu, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.MB 2. Jul Asdar Putra Samura, SST, M.Kes
3. Efendi Selamat Nainggolan, SKM, M.Kes 4. Christine Vita Gloria Purba, SKM, M.Kes
5. Grace Erlyn Damayanti Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep Koordinator
Editor
: 1. Basyariah Lubis, SST, M.Kes 2. Dameria, SKM, M.Kes
3. Rahmad Gurusinga, S.Kep, Ns,M.Kep 4. Fadlilah Widyaningsih, SKM
5. Luci Riani Br. Ginting, SKM, M.Kes Sekretariat : 1. Tati Murni Karo-Karo, S.Kep, Ns, M.Kep
2. Sri Wulan, SKM
3. Raisha Octavariny, SKM, M.Kes
Distributor : 1. Layari Tarigan, SKM, M.Kes
2. Arfah May Syara, S.Kep, Ns
Penerbit : STIKes MEDISTRA Lubuk Pakam
Jl. Sudirman No. 38 Lubuk Pakam, K0de Pos : 20512 Telp. (061) 7952262, Fax (061) 7952234
e-mail : [email protected] Website: medistra.ac.id
Efek Antidiabetes Kombinasi Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn.) dan Rimpang Kunyit (Curcumma domestica Val.) dengan Pembanding
Glibenklamid pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2
Argun Widarsa
Program Studi Farmasi Stikes Medistra Lubuk Pakam
ABSTRACT
The combination of garlic (Allium sativum Linn.) and curcumin extract (Curcumma domestica Val.) can be used as an oral antidiabetic in type 2 diabetes mellitus (DM) patients. The clinical trial has shown that the extract can decrease blood glucose at a dose of 2.4 g/day. This clinical trial was conducted to explore the antidiabetic effect of garlic and curcumin extract combination compared to oral antidiabetics, glibenclamide. The subjects were >35 years old patients with type 2 DM who visited the internal and endocrine clinic of Grand Medistra Hospital and has been treated with medical nutrition therapy for 2 weeks during the period of Maret - April 2016. This study was a parallel, randomized and double blind study. The garlic and curcumin extract combination decreased the mean value of fasting blood glucose 9.25 mg/dL, 2h PP blood glucose 22.25 mg/dL, HbA1c 1,30% and insulin 12.57 mg/dL compared to baseline whereas glibenclamide decreased the mean value of fasting blood glucose to 72.37 mg/dL, 2h PP 114,25 mg/dL, HbA1c 4.12% and increased the insulin to 3.34 mg/ dL. In conclusion, the extract combination has antidiabetic effect even though it is lower than the glibenclamide.
Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) adalah menurunnya fungsi pankreas untuk memproduksi insulin atau reseptor insulin tidak peka sehingga terjadi gangguan metabolisme; glukosa tidak diubah menjadi glikogen dan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga glukosa darah meningkat.1 Keluhan yang dapat ditemukan
pada penderita diabetes melitus berupa keluhan klasik, yaitu poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan (BB) yang cepat dan tidak diketahui penyebabnya. Keluhan lain dapat berupa lemah badan, parestesi, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita.2
Kriteria diagnosis DM berdasarkan WHO 2006,3 yaitu bila kadar glukosa plasma puasa
≥126 mg/dL atau 2 jam postprandial (PP) ≥200
mg/ dL atau bila terjadi kedua-duanya. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI)2 2006 menyatakan kriteria
diagnosis DM bila ditemukan keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia dan polifagia, maka glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL sudah dapat digunakan untuk menentukan diagnosis diabetes melitus.
Diabetes melitus tipe 2 atau non insulin
dependent diabetes mellitus (NIDDM) adalah
kelainan yang ditandai resistensi dan defisiensi insulin atau terjadinya kegagalan sekresi insulin dan peningkatan kadar glukosa darah.1 WHO
memprediksi kenaikan jumlah penderita dari 8,4 juta pada tahun 2002 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.3
Terapi DM yang paling utama adalah terapi makanan dengan mengatur pola makan penderita bekerjasama dengan ahli gizi untuk menentukan makanan apa yang dapat dikonsumsi. Obat-obatan dapat diberikan bila terapi makanan tidak berhasil.2
Pada penderita DM tipe-2 yang mendapat anti-diabetes oral, salah satu yang sering digunakan di Indonesia adalah golongan sulfonilurea.2 Secara umum obat ini merupakan
antidiabetik oral yang baik untuk terapi DM tipe-2 atau NIDDM. Salah satu obat yang banyak digunakan di Indonesia adalah glibenklamid.2
Obat-obatan tradisional saat ini banyak dikembangkan sebagai antidiabetik, di antaranya bulbus bawang putih (Allium sativum Linn.) dan rimpang kunyit (Curcuma domestica Val.).
Unsur kimia utama dalam bawang putih adalah alliin yang merupakan cysteine sulfoxide dan peptida γ-glutamilcysteine. Bawang putih dalam bentuk serbuk berisi 1% alliin (S-allyl
cysteine sulfoxide). Salah satu bentuk aktif
bawang putih adalah allicin (diallyl tiosulfonate atau diallyl disulfide). Pada saat bawang putih dipotong enzim alinase akan diaktivasi dan alliin berubah menjadi allicin, selanjutnya allicin
Penelitian yang dilakukan pada tikus diabetes melitus yang diinduksi streptozotosin, pemberian bawang putih 500 mg/kgBB secara intraperitoneal selama 7 minggu menyebabkan penurunan kadar glukosa, kolesterol, dan trigliserida darah secara bermakna.5
Ekstrak bulbus bawang putih yang diberikan pada tikus yang diinduksi streptozotosin menu-runkan hiperfagia dan polidipsia.6 Allicin yang
diberikan secara oral pada tikus yang diinduksi aloksan menurunkan kadar glukosa dan meningkatkan aktivitas insulin.7
Kunyit (Curcumma domestica) merupakan tanaman yang digunakan untuk bumbu masakan, obat-obatan, dan bahan pewarna di India, Cina, dan Asia Tenggara. Curcumma mengandung protein (6,3%), minyak (13,1%), mineral (3,5%), karbohidrat (69,4%), dan lemak (5,1%). Minyak esensial (5,8%) yang didistilasi dari rimpangnya mengandung a-phellandrene (1%), sabinene (0,6%), cineol (1%), borneol (0,5%), zingiberene (25%), dan sesquiterpines (53%). Curcumin (diferuloylmethane) (3–4%) menunjukkan warna kuning pada kunyit dan terdiri atas curcumin I (94%), curcumin II (6%), dan curcumin III (0,3%).
Demethoxy dan bisdemethoxy merupakan derivat
yang dapat diisolasi dari curcumin.7
Curcumin sebagai bahan aktif kunyit memiliki aktivitas biologis yang luas, seperti antiinflamasi, antidiabetes, antikarsinogenik, antioksidan, anti-koagulan, antibakteri, antihipertensi, dan antidislipi-demia.7
Curcumin sebagai antidiabetes menurunkan
kadar glukosa darah tikus yang diinduksi aloksan. Curcumin pada dosis rendah dapat mencegah terjadinya katarak yang disebabkan galaktosa dan menurunkan glikasi berat pada penderita diabetes melitus. Ekstrak kunyit juga dapat menekan peningkatan kadar glukosa darah pada Kk-Ay tikus dengan diabetes melitus tipe 2.8
Berdasarkan hal di atas, kombinasi ekstrak bawang putih dan rimpang kunyit telah terbukti mempunyai efek antidiabetes secara in vivo.
Penelitian pada model hewan diabetes melitus-hiperkolesterolemia yang diinduksi aloksan, 100 mg/kg bobot badan penggunaan kombinasi bulbus bawang putih (Allium sativum) dan rimpang kunyit (Curcuma domestica) menurunkan kadar glukosa dan kolesterol secara bermakna.9
Penelitian sebelumnya menunjukkan dosis kombinasi ekstrak bulbus bawang putih dan rimpang kunyit yang efektif untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah 2,4 g/hari.10
Hasil uji toksisitas kronik dan subkronik pada hewan uji, kedua ekstrak tersebut tidak toksik sehingga aman untuk digunakan.11
Berdasarkan hasil uji klinis tersebut, maka dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efektivitas pemberian kombinasi ekstrak bulbus bawang putih dan rimpang kunyit dibandingkan dengan obat standar glibenklamid pada penderita DM tipe 2.
Metode
Sediaan obat uji yang digunakan adalah kapsul mengandung 200 mg ekstrak bulbus bawang putih dan 200 mg ekstrak rimpang kunyit dengan kandungan zat aktif alliin 6–7 mg per 200 mg dan curcumin 37,5–42,5 mg per 200 mg. Selain itu obat pembanding yang digunakan adalah obat glibenklamid 5 mg.
Penelitian merupakan uji klinis dengan membandingkan efek kombinasi bulbus bawang putih dan rimpang kunyit dengan obat standar glibenklamid terhadap penurunan kadar glukosa darah. Parameter yang dilihat untuk mengetahui efek antidiabetes, yaitu dengan melihat kadar glukosa darah puasa, kadar glukosa darah 2 jam PP, HbA1c, dan insulin. Penelitian dilakukan dengan pengelompokan subjek secara random sederhana, prospektif, paralel, dan studi tersamar ganda. Uji statistik yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan uji t dengan dua sampel independen.
Penelitian uji klinik ini dilaksanakan dari bulan Maret – April ini telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Jumlah subjek penelitian adalah 19 orang dengan kriteria inklusi penderita DM tipe 2 dengan kadar glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL atau glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan atau tanpa disertai dislipidemia (kolesterol total >200 mg/dL atau kolesterol LDL >130 mg/ dL) yang belum pernah mendapatkan terapi obat hipoglikemia oral ataupun insulin sebelumnya dan telah mendapatkan terapi gizi medis selama 2 minggu, laki-laki atau wanita, usia lebih dari 35 tahun yang datang ke poliklinik Endokrin dan Penyakit Dalam Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakamdan bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani surat persetujuan terapi (informed concent).
Penderita DM tipe 1 atau penderita yang telah mendapat terapi sebelumnya, penderita dengan gagal ginjal dan hati, penggunaan steroid atau pil kontrasepsi yang dapat mempengaruhi glukosa darah, penderita yang disertai komplikasi ketoasidosis dan ulkus atau gangren diabetikum serta wanita hamil dan menyusui tidak dapat diikutsertakan sebagai subjek penelitian.
Penderita yang memenuhi kriteria inklusi,
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis berupa pengukuran berat badan, tinggi badan, tekanan darah, nadi dan respirasi, lalu penderita mendapat terapi gizi medis selama 2 minggu dan tidak mendapatkan terapi farmakologi.
Setelah 2 minggu terapi gizi medis atau pada minggu ke-2 dilakukan pemeriksaan fisis
(tekanan darah, nadi, respirasi, berat badan) dan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah hematologi (Hb, leukosit, hematokrit, trombosit), prothrombin time (PT),
international normalize ratio (INR), activated partial thromboplastin time (APTT), fungsi hati
(SGOT, SGPT), fungsi ginjal (ureum dan kreatinin), fungsi jantung (EKG), gula darah puasa (GDP), gula darah 2 jam postprandial (GD2PP), HbA1c, insulin, kolesterol total (KT), kolesterol LDL (low density lipoprotein), kolesterol HDL (high density lipoprotein), trigliserida, serta urin rutin (pH, berat jenis, dan protein).
Bila hasil pemeriksaan sesuai dengan kriteria inklusi maka penderita menjadi subjek penelitian dan bila terdapat 1 atau lebih kriteria eksklusi maka penderita dikeluarkan dari subjek penelitian. Subjek yang masuk dalam kriteria inklusi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok I diberi obat uji dengan dosis 2,4 g setiap hari: kapsul 400 mg mengandung 200 mg bulbus bawang putih dan 200 mg rimpang kunyit, aturan dosis 2x3 kapsul uji (pagi dan sore) setelah makan. Kelompok II diberi obat standar glibenklamid 5 mg dengan aturan dosis/hari adalah 2x3 kapsul, 1 kapsul berisi glibenklamid dan 2 kapsul bahan pembawa (pagi setelah makan) dan 3 kapsul bahan pembawa (sore setelah makan). Subjek penelitian mendapat terapi selama 3 bulan (14 minggu).
Pada minggu ke-4, -6, -10, dan ke-12 peme-riksaan laboratorium yang dilakukan adalah GDP, GD2PP, kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida, dan urin rutin. Pada minggu ke-8 pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah GDP, GD2PP, kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, urin rutin, serta fungsi hati dan ginjal. Pada minggu ke-14 dilakukan kembali pemeriksaan laboratorium lengkap.
Hasil
Jumlah subjek yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 19 orang, subjek yang menyelesaikan terapi sesuai protokol selama 3 bulan sebanyak 8 orang mendapat terapi kombinasi bawang putih-kunyit dan 8 orang mendapat terapi glibenklamid. Subjek yang tidak melanjutkan terapi 2 orang dari kelompok bawang putih-kunyit (1 orang tidak patuh karena menggunakan kortikosteroid dan 1
orang lost of control) dan 1 orang dari kelompok glibenklamid lost of control.
Dari semua subjek penelitian, 11/16 subjek adalah wanita dan 5/11 laki-laki. Subjek memiliki usia rata-rata 58,10 tahun pada kelompok I (kelompok obat uji) dan 51,33 tahun pada kelompok II (kelompok obat standar) dan total usia rata-rata 55,79 tahun pada kedua kelompok.
Glukosa darah puasa merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui keadaan DM penderita. Pemeriksaan glukosa darah puasa dilakukan ketika penderita puasa sekurang-kurangnya 8 jam. Penderita dengan glukosa darah puasa ≥126 mg/dL dinyatakan sebagai penderita diabetes melitus.
Hasil pemeriksaan glukosa darah puasa rata-rata pada kedua kelompok mengalami penurunan 9,25 mg/dL, dari 139,13 mg/dL menjadi 129,88 mg/dL pada kelompok I (p= 0,194) dan pada kelompok II sebesar 72,37 mg/dL, dari
246,63 mg/dL menjadi 174,25 mg/dL; p=0,068 (Gambar 1). Hasil ini menunjukkan perbedaan antara penggunaan kombinasi bulbus bawang putih-rimpang kunyit dan glibenklamid dalam menurunkan kadar glukosa darah puasa.
Parameter lain adalah kadar glukosa darah 2 (dua) jam PP. Glukosa darah dua jam PP pada kelompok I menunjukkan penurunan rata-rata 22,25 mg/dL dibandingkan dengan baseline, secara statistik tidak bermakna (p=0,394). Pada kelompok II penurunan kadar glukosa darah rata-rata dua jam PP sebesar 114,25 mg/dL bila dibandingkan dengan baseline, penurunannya bermakna secara statistik (p=0,021) seperti tampak pada Gambar 2. Untuk menurunkan kadar glukosa darah dua jam PP, terdapat perbedaan penggunaan kombinasi bulbus bawang putih dan rimpang kunyit dibandingkan dengan glibenklamid.
Gambar 3 menunjukkan efek penggunaan
Tabel 1 Data Baseline Subjek
Pemeriksaan
Kombinasi Ekstrak Glibenklamid
p Minggu ke-2 (R ± SD) Minggu ke-2
(R ± SD) Usia (th) 59,00±2,26 53,00±8,12 0,268 IMT (kg/m2) 24,71±3,75 25,03±5,62 0,893 Sistolik (mg/dL) 134,37±14,98 55,62±11,15 0,570 Diastolik (mg/dL) 81,87±3,72 82,50±4, 62 0,770 Hemoglobin (g/dL) 13,73±1,55 14,42±1,10 0,325 Leukosit (103mm3) 8,63±2,72 84,87±19,92 0,902 Hematokrit (%) 40,30±5,58 41,12±2,95 0,281 Trombosit (103mm3) 282,75±91,54 259,87±62,21 0,568 PT (dtk) 12,5±0,36 12,47±0,50 1,000 APTT (dtk) 27,85±3,12 29,10±3,03 0,449 INR (dtk) 0,93±0,03 0,92±0,03 0,005 SGOT (U/L) 20,63±5,23 19,75±8,44 0,807 SGPT (U/L) 18.00±5,32 24,88±8,61 0,075 Ureum (mg/dL) 25,87±7,00 27,12±5,46 0,696 Kreatinin (md/dL) 0,92±0,19 0,69±0,14 0,019
Gula darah puasa (mg/dL) 139,13±35,54 246,63±50,21 0,000
Gula darah 2 jam PP (mg/dL) 221,13±60,81 374,50±90,52 0,001
HbA1c (%) 8,80±2,00 12,73±1,33 0,000
Insulin (mg/dL) 72,20±67,03 52,24±53,09 0,520
Kolesterol total (mg/dL) 217,25±55,64 232,13± 21,86 0,499
HDL (mg/dL) 43,38±8,31 42,38±6,30 0,790
250 246,63 200 150 174,25 139,13129,88 M2 100 M14 50 0
Bawang putih-kunyit Glibenklamid
Gambar 1 Diagram Nilai Glukosa Darah Puasa Rata-rata pada Minggu ke-2 dan Minggu ke-14
kombinasi bawang putih dan kunyit (kelompok I) terhadap HbA1c terjadi penurunan rata-rata sebesar 1,30% dibandingkan dengan
baseline, secara statistik tidak bermakna (p=0,064). Pada kelompok II terjadi penurunan HbA1c sebanyak 4,12% dibandingkan dengan
baseline, secara statistik bermakna (p=0,00).
Hasil analisis kedua kelompok menunjukkan tidak terdapat perbedaan penggunaan kombinasi bulbus bawang putih dan kunyit dengan glibenklamid.
Kadar insulin pada kelompok I menunjukkan penurunan kadar insulin rata-rata 12,57, secara statistik tidak bermakna (p=0,402), sedangkan pada kelompok II terjadi peningkatan kadar insulin rata-rata sebesar 3,34 dan tidak bermakna (p=0,663).
Parameter penunjang pada penelitian ini adalah indeks massa tubuh (IMT), tekanan darah, profil darah, serta fungsi hati dan fungsi ginjal. Hasil pemeriksaan IMT pada kelompok I
menunjukkan penurunan bermakna
dibandingkan dengan baseline, dari 24,71 kg/m2
menjadi 23,99 kg/m2. Pada kelompok II terjadi
peningkatan IMT
rata-rata yang bermakna dibandingkan dengan
baseline, dari 25,03 kg/m2menjadi 25,71 kg/m2.
Uji keamanan dilakukan dengan melihat hasil pemeriksaan profil darah, tekanan darah, serta fungsi hati dan ginjal. Subjek yang mendapat terapi kombinasi ekstrak bulus bawang putih-kunyit menunjukkan penurunan hemoglobin, leukosit, dan trombosit, tetapi penurunannya tidak bermakna, sedangkan hematokrit, PT, APTT, dan INR meningkat, tetapi tidak bermakna.
Subjek yang mendapat terapi glibenklamid menunjukkan penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit dan PT, tetapi penurunannya tidak bermakna, sedangkan APTT dan INR meningkat tidak bermakna dan masih dalam batas normal.
Kelompok I menunjukkan penurunan tekanan sistolik rata-rata, dari 134,37 mg/dL pada minggu ke-2 menjadi 126,25 mg/dL pada minggu ke-14, secara statistik tidak bermakna (p= 0,16). Tekanan diastolik mengalami peningkatan rata-rata yang tidak bermakna, dari 81,87 pada minggu ke-2 menjadi 83,75 pada minggu ke-14, dan nilai
250 246,63 200 150 174,25 139,13129,88 M2 100 M14 50 0
Bawang putih-kunyit Glibenklamid
250 246,63 200 150 174,25 139,13129,88 M2 100 M14 50 0
Bawang putih-kunyit Glibenklamid
Gambar 3 Diagram HbA1c Rata-rata Kadar pada Minggu ke-2 dan Minggu ke-14
rata-rata masih dalam batas normal. Disimpulkan penggunaan kombinasi ekstrak
bulbus bawang putih-kunyit tidak
mempengaruhi tekanan darah.
Pada kelompok II tekanan sistolik dan diastolik mengalami penurunan dari 130 mg/ dL dan 82,5 mg/dL pada minggu ke-2 menjadi 124,37 mg/dL dan 79,37 mg/dL pada minggu ke-14. Penurunan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,148 dan 0,180). Disimpulkan kedua obat tidak mempengaruhi tekanan darah.
Hasil pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT) dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin) pada saat skrining (minggu ke-2/setelah diet) semua subjek berada dalam batas normal. Hasil pemeriksaan ureum dan kreatinin pada minggu ke-14 atau akhir terapi pada kelompok I menunjukkan nilai rata-rata dalam batas normal. Subjek yang diberi terapi kombinasi ekstrak bawang putih-kunyit
Tabel 2 Keluhan Pederita
menunjukkan penurunan tidak bermakna kadar SGOT (5,36±8,02), dan SGPT (5,18±6,89). Hal ini terjadi karena efek lain dari curcumin, yaitu sebagai hepatoprotektor sehingga fungsi hati tidak terganggu,7 sedangkan kelompok II
menunjukkan peningkatan nilai SGOT (-11,5± 28,61) dan SGPT (-25,33±69,53) rata-rata yang tidak bermakna.
Keluhan klasik seperti poluria, polidipsia dan polifagia dialami oleh hampir semua subjek. Keluhan klasik terjadi pada 16/16 subjek, mengalami parestesi pada tangan dan kaki 16/16 subjek, penurunan berat badan yang tiba-tiba 1/16 subjek, pandangan buram 3/8 subjek, dan pusing 2/16 subjek.
Subjek yang mendapatkan terapi kombinasi bawang putih-kunyit mengalami perbaikan, yaitu keluhan klasik, pandangan buram, dan parestesi
Kombinasi Ekstrak Glibenklamid
Jenis Keluhan Awal N Akhir N Awal N Akhir N
Poliuria + 8/8 - 0 + 8/8 - 0 Polidipsia + 8/8 - 0 + 8/8 - 0 Polifagia + 8/8 - 0 + 8/8 - 0 Parestesia + 8/8 - 0 + 8/8 ± 2/8 Penurunan BB + 1/8 ± 1/8 - 0 - 0 Penglihatan buram + 2/8 - 0 + 1/8 + 1/8 Pusing - 0 - 0 + 2/8 + 1/8 Mual - 0 - 0 - 0 + 1/8 Muntah - 0 - 0 - 0 + 1/8
Kram pada kaki - 0 - 0 - 0 + 1/8
Badan dingin - 0 - 0 - 0 + 1/8
Keterangan: N= Jumlah subjek 16 (8 orang kelompok ekstrak dan 8 orang kelompok glibenklamid) + (positif) = terdapat keluhan
tangan dan kaki berkurang. Selama penggunaan obat, subjek tidak mengalami keluhan selain sendawa berbau bawang putih. Rasa mual, muntah, dan pusing tidak terjadi selama terapi 3 bulan terhadap delapan subjek yang mendapat terapi kombinasi bawang putih dan kunyit.
Subjek yang diterapi glibenklamid mengalami perbaikan keluhan klasik, tetapi parestesi tidak berkurang serta 2/16 subjek mengalami rasa dingin di seluruh tubuh dan sampai penelitian selesai rasa dingin tidak berkurang, satu subjek mengalami pusing, satu subjek mengalami muntah-muntah, satu subjek mengalami kram pada kaki di akhir terapi, dan satu orang merasakan kaku pada tangan sebelah kiri sampai akhir terapi.
Penderita yang tidak melanjutkan terapi dikatakan sebagai subjek dengan intent to treat. Pengamatan subjek ITT adalah subjek yang diterapi sesuai protokol dan subjek yang tidak sesuai protokol serta subjek lost of control. Pada kelompok ini terdapat tiga penderita yang mengalami lost of control, yaitu dua orang pada kelompok obat uji dan satu orang pada kelompok glibenklamid. Hasil terapi pada kelompok ini tidak dapat dianalisis karena subjek yang terdapat pada kelompok ini tidak mencukupi.
Pembahasan
Penggunaan kombinasi ekstrak bulbus bawang putih dan rimpang kunyit pada penelitian ini dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa, hal ini menunjukkan perbaikan kemampuan sel
β dalam mensekresikan insulin sehingga insulin
dapat digunakan untuk melepaskan glukosa dari hati ke dalam sel dan kemudian disimpan dalam bentuk glikogen dan dikeluarkan menjadi energi.1 Penurunan kadar glukosa darah puasa juga menunjukkan penurunan produksi glukosa di hati.12, 13 Penelitian ini menunjukkan penggunaan kombinasi ekstrak bulbus bawang putih dan rimpang kunyit memiliki efek yang berbeda dengan glibenklamid.
Pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah makan, menunjukkan ambilan glukosa di jaringan perifer dan keadaan ini bergantung pada sensitivitas insulin terhadap jaringan ini. Jumlah asupan karbohidrat sangat mempengaruhi pemeriksaan ini karena asupan karbohidrat dapat meningkatkan konsentrasi glukosa plasma dan menstimulasi pelepasan insulin dari sel B. Penurunan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan menunjukkan adanya perbaikan profil glukosa darah di jaringan perifer dan peningkatan sensitivitas insulin terhadap jaringan ini.
HbA1c merupakan penilaian kadar
hemo-menunjukan konsentrasi glukosa dalam darah. Penurunan kadar HbA1c menunjukkan perbaikan pengendalian glukosa dalam darah oleh kedua obat dan hasil terapi selama 3 bulan menunjukkan perbaikan profil glukosa.
Penurunan kadar insulin yang terjadi pada kelompok I menunjukkan bahwa sensitivitas insulin meningkat, sekresi insulin belum dapat diperbaiki, tetapi terjadi peningkatan toleransi glukosa. Pada kelompok II kadar insulin meningkat, hal ini menunjukkan peningkatan sekresi insulin.
Mekanisme kerja ekstrak kunyit sebagai antidiabetes menunjukkan efek yang bermanfaat dari curcumin setelah diberikan pada hati tikus yang mengalami diabetes melitus. Enzim yang pentinguntukmengubahglukosamenjadiglikogen menjadi lebih tinggi pada tikus yang diterapi
curcumin dibandingkan dengan tikus kontrol.
Enzim ini diduga menghambat peningkatan glukosa setelah makan.14Efek antiinflamasi dan antioksidan dari kunyit juga dapat menurunkan resistensi insulin dan mencegah terjadinya respons inflamasi pada tikus yang mengalami diabetes melitus tipe 2 yang disebabkan obesitas. Ditemukan juga bahwa penggunaan curcumin dapat meningkatkan adinopektin karena dapat memperbaiki sensitivitas insulin pada tikus yang resisten terhadap insulin.15Curcumin juga dapat
menekan produksi glukosa di hati dengan mengaktivasi AMP kinase dan menghambat
glucose-6-phosphatase dan
phosphoenolpyruvate carboxykinase.15
Efek antidiabetes dari bawang putih menun-jukkan bahwa ekstrak bawang putih dapat menjaga kadar glukosa dalam kadar normal. Ekstrak bawang putih dinyatakan lebih efektif dibandingkan dengan glibenklamid. Efek hipogli-kemik ini ditunjukkan dengan adanya komponen aktif dari bawang putih, yaitu allicin. Mekanisme kerja bawang putih masih belum jelas, bawang putih dapat berpotensi terhadap insulin di dalam plasma, yaitu dengan meningkatkan sekresi insulin dari sel beta pankreas.16
Kunyit dan bawang putih, keduanya dapat berkontribusi dalam memperbaiki kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus.17 Peningkatan
kadar HbA1c dapat meningkatkan faktor komplikasi pada penderita diabetes melitus juga berkontribusi pada peningkatan risiko penyakit hati.18 Peningkatan 1% HbA1c sebanding
dengan peningkatan 12% penyakit hati.19
Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa
curcumin dapat menghambat terjadinya glikosilasi dari hemoglobin dalam konsentrasi glukosa yang tinggi.16 Efek hipoglikemik dan
antioksidan kunyit dan bawang putih berhubungan dengan penurunan kadar glukosa darah dan hemoglobin
terglikasi.20 Kunyit dan bawang putih merupakan
kombinasi yang potensial untuk menurunkan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c serta dapat menurunkan faktor risiko penyakit jantung.
Parameter penunjang seperti indeks massa tubuh (IMT) dihitung untuk mengetahui ada tidaknya obesitas pada penderita. Obesitas dihu-bungkan dengan adanya penurunan toleransi glukosa, perubahan hemostatis insulin, penurunan metabolik insulin, dan penurunan stimulasi insulin terhadap glukosa. Keadaan obesitas dapat menimbulkan resistensi insulin, dengan kata lain peningkatan berat badan juga IMT maka terjadi pula peningkatan resistensi insulin.12 Penurunan IMT diduga terjadi
karena adanya peningkatan kadar insulin dan perbaikan kontrol glukosa.1
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak bulbus bawang putih dan rimpang kunyit dengan dosis 2,4 g/hari dapat mempercayai efek antidiabetes, tetapi tidak sebaik glibenklamid. Kombinasi ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan pilihan untuk terapi diabetes melitus tipe 2, akan tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan subjek yang lebih banyak dan untuk mengetahui mekanisme kerja kedua ekstrak tersebut.
Daftar Pustaka
1. Powers AC. Diabetes mellitus at endocri-nology and metabolism. Dalam: Gibson RJ, penyunting. Harisson's principles of internal medicine. Edisi ke-16. New York. McGraw-Hill; 2005. hlm. 2152–71.
2. PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. PERKENI. 2006
3. WHO. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycemia. Report of a WHO/IDF Consultation. 2006.
4. WHO Monograph on selected medical plants. Vol 1. Geneva: WHO; 1999.
5. Thomson M, Al-Amin ZM, Al-Qattan KK, Shaban LH, Ali M. Antidiabetic and hypolipidaemic properties of garlic (Allium sativum) in streptozotocin-induced diabetic rats. Int J Diabetes Metab. 2007;15:108–15.
6. Swanston-Flatt SK. Traditional plant treatments for diabetes. Studies in normal and streptozotocin diabetic mice. Diabetologia. 1990;33:462–4.
7. Ishita C, Kaushik B. Turmeric and curcumin: biological actions and medical applications (Review). Current Science. 2004;87:44–50. 8. Kuroda M, Mimaki Y, Nishiyama T, Mae T,
Kishida H, Tsukagawa M, dkk. Hypoglicemic effects of turmeric (curcuma longa L. rhizomes) on genetically diabetic KK-Ay
9. mice. Biol Pharm Bull. 2005;28(5):937–9.
Deviana R. Pengaruh pemberian ekstrak bulbus bawang putih (allium sativum) dan rimpang kunyit (curcuma domestica) serta kombinasinya terhadap profil lipoprotein dan glukosa darah tikus (Tesis). Bandung:
10.
Institut Teknologi Bandung; 2005. Dewi M. Pengaruh kombinasi ekstrak bulbus bawang putih (allium sativum) dan rimpang kunyit (curcuma domestica) terhadap penurunan kadar glukosa darah dan perbaikan profil lipoprotein pada penderita diabetes tipe 2 disertai dislipidemia (Tesis). 11. Bandung: Institut Teknologi Bandung; 2007.Subiakto Y. Pengaruh pemberian kombinasi
ekstrak bulbus bawang putih (allium sativum) dan rimpang kunyit (curcuma domestica) terhadap fungi hati dan ginjal, serta histologi organ tikus (Tesis). Bandung:
12.
Institut Teknologi Bandung; 2005. Curtis L, Charles AR. Diabetes mellitus. Endocrinologic disorders. Pharmacotheray a pathophysiologic approach. Edisi ke-6. New
13.
York: McGraw-Hill; 2006.
Tirosh A, Shai I, Manova D.T, Israeli E, Pereg D, Shochat T, dkk. Normal fasting plasma glucose level and type 2 diabetes in young man. N Engl J Med. 2005;353:1454–
14. 62.
Weisberg SP, Leibel R, Tortoriello DV Dietary curcumin significantly improves obesity-associated inflammation and diabetes in mouse models of diabesity. Endocrinology.
15.
2008;149:3549–58.
Fujiwara H, Hosokawa M, Zhou X, Fujimoto S, Fukuda K, Toyoda K, dkk. Curcumin inhibits glucose production in isolated mice hepatocytes. Diabetes Res Clin Pract. 16. 2008;80:185–90.Jain SK, Rains J, Jones K. Effect of curcumin
on protein glycosylation, lipid peroxidation, and oxygen radical generation in human red blood cells exposed to high glucose levels. 17. Free Radic Biol Med. 2006;41:92–6.Saudek CD, Herman WH, Sacks DB,
Bergenstal RM, Edelman D, Davidson MB. A new look at screening and diagnosing diabetes mellitus. J Clin Endocrinol Metab.
18.
2008;93:2447–53.
Selvin E, Coresh J, Golden SH, Brancati FL, Folsom AR, Steffes MW. Glycemic control and coronary heart disease risk in persons with and without diabetes. Arch Int Med.
19.
2005;165:1910–6.
Iribarren C, Karter AJ, Go AS, Ferrara A, Liu JY, Sidney S, Selby JV. Glycemic control and heart failure among adult patients with diabetes. Circulation. 2001;103:2668–73.
Uji Antibakteri Ekstrak Gracilaria sp (Rumput Laut) Terhadap Bakteri
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus
Abu Dzarrim Al Ghifari
Program Studi Farmasi Stikes Medistra Lubuk Pakam
ABSTRACT
Seaweed Gracilaria sp is one natural ingredient that does not cause resistance to the disease in living organisms because it has a secondary metabolite that can kill bacteria. The purpose of this research is to conduct extraction of Gracilaria sp allegedly to have bioactive compounds as antibacterial, determining the zone of inhibition of growth of Escherichia coli and Staphylococcus aureus from the extract Gracilaria sp the most well-used, determining the minimum inhibition concentration (MIC) of Gracilaria sp extract on the growth of E. coli and S. aureus. The experiment was conducted in Maret – April 2016. Preparation of seaweed extracts using the method of maseration while testing antibacterial activity using agar diffusion method.
The results showed that the extract of Gracilaria sp inhibits the growth of E. coli and S. aureus as indicated by the no color of nodes around the extract. The value of inhibition zone against E. coli by 14.33 ± 3.22 mm, while S. aureus bacteria indicate the value inhibition zone of 12.67 ± 2.08 mm. Between the two tested bacterias againts extracts of Gracilaria sp, E. coli showed a smaller resistance, as shown by the inhibition zone larger than S. aureus. The Minimum inhibitory concentration of extract of Gracilaria sp against bacterial species E. coli and S. aureus are at a concentration of 0.05%.
Keywords: Antibacterials, Gracilaria sp, Escherichia coli, Stapylococcus aureus, Minimum Inhibitory, Concentrations
PENDAHULUAN
Dalam penelitian ilmiah obat-obatan tradisional, Indonesia merupakan negara yang masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lainya, seperti Jepang, Korea, Cina dan India. Perkembangan obat tradisional di Indonesia tidak terlalu pesat, hal ini diakibatkan karena pemakaiannya hanya terbatas pada jumlah atau jenis tanaman tertentu. Dari sekitar 3.000 jenis tanaman obat yang ada di Indonesia, baru sekitar 450 jenis saja yang sudah diketahui khasiatnya (Fithriani, 2005).
Kurang lebih 80% obat-obatan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia berasal dari tumbuhan. Pada tumbuhan sudah dikenal mengandung berbagai golongan senyawa kimia tertentu sebagai bahan obat yang mempunyai efek fisiologis terhadap organisme lain. Senyawa alam hasil isolasi dari tumbuhan juga digunakan sebagai bahan asal untuk sintesis bahan-bahan biologis aktif dan sebagai senyawa untuk mengobati penyakit
infeksi yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus ( Supardi dan
Sukamto dalam Tri, 2010).
Bakteri S. aureus merupakan bakteri flora normal pada kulit dan selaput lendir pada manusia. Staphylococcus dapat menjadi penyebab infeksi baik pada manusia maupun pada hewan. Bakteri S.
aureus dapat mengakibatkan infeksi kerusakan pada kulit atau luka pada organ tubuh jika bakteri ini mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh. Saat bakteri masuk ke peredaran darah bakteri dapat menyebar ke organ lain dan meyebabkan infeksi (Anwar, 1994).
Escherichia coli adalah kuman
yang banyak ditemukan di usus besar manusia sebagai flora normal. Sifatnya unik karena dapat menyebabkan infeksi primer pada usus misalnya diare pada anak. Di dalam usus kuman ini tidak menyebabkan penyakit, malahan dapat membantu fungsi normal dan nutrisi.
Organisme ini menjadi patogen hanya bila mencapai jaringan di luar saluran pencernaan khususnya saluran air kemih, saluran empedu, paru-paru, peritoneum, atau selaput otak, menyebabkan peradangan pada tempat-tempat tersebut. (Jawetz et al., 1991 dalam Iman, 2009).
Rumput laut adalah salah satu hasil perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi sumber devisa nonmigas. Secara umum, banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri makanan, kosmetik, farmasi dan lain-lain. Ditinjau secara biologi, rumput laut adalah kelompok tumbuhan berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Didalam alga terkandung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif (Putra, 2006).
Rumput laut merupakan bagian dari tumbuhan laut perairan yang diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok yaitu makro alga dan mikro alga. Rumput laut termasuk pada kelompok makro alga yaitu penghasil bahan-bahan hidrokoloid. Selain mengandung bahan hidrokoloid sebagai komponen primernya, rumput laut juga mengandung komponen sekunder yang kegunaannya cukup menarik yaitu sebagai obat -obatan dan keperluan lain seperti kosmetik dan industri lainnya (Suptijah, 2002). Saat ini rumput laut telah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri agar-agar, keragenan dan alginat. Produk hasil ekstraksi rumput laut banyak digunakan sebagai bahan pangan, bahan tambahan, atau bahan pembantu dalam industri makanan, farmasi, kosmetik, tekstil, kertas, cat dan lain-lain. Selain itu rumput laut juga digunakan sebagai pupuk dan komponen pakan ternak atau ikan. Melihat begitu besar manfaat dan kegunaannya, tidak salah jika rumput laut sebagai komoditas perdagangan yang prospeknya makin cerah, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri maupun kebutuhan ekspor. Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan potensi
rumput laut, maka pengolahan rumput laut sebagai antibakteri merupakan salah satu alternatif yang perlu diwujudkan.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – April 2016. Pengambilan rumput laut dilakukan di Perairan Kalianda, Lampung Selatan. Ekstraksi dilakukan di Laboraratorium Genetika dan Bioteknologi, Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Sriwijaya. Analisis mikrobiologi dilakukan di UPTD Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Palembang.
Pengambilan Sampel dan Penanganan di Lapangan
Rumput laut Gracilaria sp diambil di Perairan Kalianda, Lampung Selatan. Sampel yang dibutuhkan sebanyak 5 Kg. Sampel disimpan di ice box untuk menjaga kesegaran selama perjalanan dari lokasi pengambilan ke lokasi ekstraksi di
Laboraratorium Genetika dan
Bioteknologi, Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Sriwijaya.
Pembuatan Ekstrak Gracilaria sp
Rumput laut jenis Gracilaria sp dikeringkan di bawah panas matahari selama ± 4 hari dengan pengawasan pada suhu yang stabil. Sampel yang telah kering (simplisia) dipotong-potong kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender hingga menjadi serbuk simplisia. Simplisia ditimbang sebanyak 50 gram dan dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer. Lalu dilakukan perendaman (maserasi) dengan larutan metanol 70 % sebanyak 100 ml dan direndam selama 2 hari. Perendaman tersebut berfungsi untuk menyerap senyawa-senyawa organik yang terkandung dalam simplisia. Setelah 2 hari, larutan disaring menggunakan kertas saring dan dikeringkan di atas pemanas listrik hingga terbentuk ekstrak kental.
Pembuatan Medium TSA (Tryptone
Soya Agar) dan Medium TSB (Tryptone Soya Broth)
Bubuk TSA dan TSB dimasukkan ke dalam Erlenmeyer masing-masing sebanyak 10 gram dan 7,5 gram, lalu masing- masing dilarutkan dengan menambahkan 250 ml aquades. Kemudian dipanaskan hingga mendidih di atas hot plate sambil dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirer. Setelah itu medium di sterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 15 lbs selama 15 menit.
Peremajaan Bakteri
Biakan bakteri E. coli dan S.
aureus sebanyak satu ose diinokulasikan
ke dalam medium agar miring TSA secara terpisah dan aseptis dengan meletakkan jarum ose yang mengandung biakan pada dasar kemiringan agar dan ditarik dengan gerakan zig-zag. Bakteri E. coli dan S.
aureus sebanyak dua ose diinokulasikan
kedalam medium TSB yang terpisah. Selanjutnya masing-masing diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Peremajaan dilakukan setiap minggu.
Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap dua jenis bakteri yaitu bakteri E.
coli dan S. aureus. Pengujian antibakteri
dilakukan dengan metode difusi agar. Cara kerja metode difusi agar adalah bakteri uji yang telah diremajakan diinokulasikan kedalam TSA sebanyak 200 μl lalu
diratakan. Ke dalam medium yang berisi bakteri lalu dimasukkan kertas cakram 6 mm dan ditetesi dengan larutan ekstrak dengan konsentrasi 100%sebanyak 20 μl (5 μg). Setelah itu di simpan selama 24 jam pada suhu 37oC di ukur diameter hambatan yang terbentuk menggunakan penggaris.
Penetapan Nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
Setelah diketahui bahwa ekstrak memiliki aktivitas antibakteri selanjutnya dilakukan penetapan konsentrasi hambat minimum dari ekstrak tersebut. Tujuannya untuk mengetahui kadar terendah dari sampel ekstrak yang masih memberikan aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji. Metode penetapan yang dilakukan adalah dengan metode agar padat. Sampel ekstrak dibuat dengan berbagai konsentrasi mulai dari yang besar hingga yang kecil yaitu, 10%, 5%, 1%, dan 0,05%. Pelarut yang digunakan adalah aquades. Selanjutnya di uji aktivitas anti bakterinya.
Diameter zona hambat
Diameter zona hambat yang terbentuk karena adanya daya antibakteri dari hasil ekstraksi yang diukur dari sisi sebelah kiri sampai sisi sebelah kanan dengan menggunakan penggaris.
Konsentrasi Hambat Minimum
Konsentrasi Hambat Minimum ditentukan dengan metode difusi agar dari diameter zona hambat yang terbentuk dari hasil ekstraksi dimana dilakukan uji dengan konsentrasi 10%, 5%, 1%, dan 0,05%.
HASIL DAN DISKUSI Uji Antibakteri
Hasil uji zona hambat yang dihasilkan ekstrak Gracilaria sp terhadap bakteri E. coli dan S. aureus menunjukkan hasil bening yang berarti aktivitas antibakteri bekerja dengan baik. Hasil uji aktivitas antibakteri Gracilaria sp terhadap
E. coli dan S. aureus dapat dilihat pada
Gambar 1 dan Tabel 1.
Gambar 1. Uji antibakteri ekstrak 100% Gracilaria sp terhadap E. coli dan
S. aureus
Ket: E.coli (A, B, C) S. aureus (D, E, F) Tabel 1. Diameter Zona Hambat
Ekstrak 100 % Gracilaria sp Terhadap Bakteri E. coli dan
S. aureus Ulangan Zona Hambat (mm) E. co li S. aureus I 1 8 12 II 1 2 15 III 1 3 11 Kontrol - -Rata-rata 14,33 ±3,22 12,67±2,08
Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antibakteri menunjukan bahwa pada konsentrasi 100% ekstrak Gracilaria sp memiliki zona hambat paling besar terhadap E. coli yaitu sebesar 14,33±3,22 mm dibandingkan dengan bakteri S. aureus
sebesar 12,67±2,08 mm. Sesuai pernyataan (Suwanto dalam Purnama et al, 2010 ) aktivitas antibakteri dikatakan paling baik apabila pada uji konsentrasi yang sama besar dihasilkan aktivitas antibakteri yang lebih baik. Konsentrasi 100% merupakan konsentrasi ekstrak murni sehingga hasil diameter zona hambat yang didapat merupakan hasil diameter zona hambat maksimum.
Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak rumput laut Gracilaria sp terhadap bakteri E. coli dan S. aureus disimpulkan kuat. Davis dan Stout (1971) menyatakan bahwa apabila zona hambat yang terbentuk pada uji difusi agar berukuran kurang dari 5 mm, maka aktivitas penghambatannya dikategorikan lemah. Apabila zona hambat berukuran 5-10 mm dikategorikan sedang, 5-10-19 mm dikategorikan kuat dan 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat.
Uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
Uji konsentrasi hambat minimum dilakukan untuk mengetahui konsentrasi hambat minimum dengan menurunkan konsentrasi ekstrak menjadi 10%, 5%, 1%, 0,05%. Hasil dari uji konsentrasi hambat minimum ekstrak Gracilaria sp terhadap
E. coli dan S. aureus dapat dilihat pada
Gambar 2 berikut:
Ekstrak Gracilaria sp pada konsentrasi 0,05% dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli (9,33±1,16 mm) dan S. aureus (7,67±0,58 mm) termasuk kategori sedang. Pada konsentrasi 0,05% ini aktivitas antibakteri
ekstrak Gracilaria sp yang paling baik adalah terhadap bakteri E. coli.
Pada konsentrasi 1% didapat bahwa hasil diameter zona hambat ekstrak
Gracilaria sp terhadap kedua jenis bakteri,
yaitu E. coli (9,67±2,89 mm) dan S. aureus (8,00±1,00 mm) menunjukkan hasil sedang. Pada konsentrasi 1% aktivitas antibakteri ekstrak Gracilaria sp yang paling baik adalah terhadap bakteri E. coli.
Ekstrak Gracilaria sp pada konsentrasi 5% didapat bahwa hasil diameter zona hambat terhadap kedua jenis bakteri, yaitu E. coli (10,00±1,00 mm) dan
S. aureus (8,33±0,58 mm) menunjukkan
hasil sedang. Pada konsentrasi 5% aktivitas antibakteri ekstrak Gracilaria sp yang paling baik adalah terhadap bakteri E. coli.
Hasil pengamatan pada
konsentrasi 10% didapat bahwa hasil diameter zona hambat ekstrak Gracilaria
sp terhadap bakteri E. coli menunjukkan
hasil yang kuat 12,33±2,08 mm sedangkan terhadap bakteri S. aureus menunjukkan hasil sedang 9,67±0,58 mm. Pada konsentrasi 10% ekstrak Gracilaria sp yang paling baik adalah terhadap bakteri
E.a coli.
Hasil yang berbeda disebabkan karena kemampuan setiap bakteri dalam melawan aktivitas antibakteri berbeda-beda bergantung ketebalan dan komposisi dinding selnya. Menurut Kimball et al (1983) terdapat perbedaan komposisi dan struktur dinding sel pada setiap bakteri. Bakteri Gram negatif mengandung lipid, lemak atau substansi seperti lemak dalam persentasi lebih tinggi dari pada yang dikandung bakteri Gram positif. Dinding sel bakteri Gram negatif lebih tipis dibanding bakteri
Gram positif. Struktur bakteri Gram negatif memiliki membran lapisan luar yang menyelimuti lapisan tipis peptidoglikan, struktur luar peptidoglikan ini adalah lapisan ganda yang mengandung fosfolifid, protein dan lipopolisakarida. Lipopolisakarida terletak pada lapisan luar dan merupakan karakteristik bakteri Gram negatif . Sementara sel bakteri Gram
positif memiliki dinding sel yang terdiri atas lapisan peptidoglikan yang tebal dimana di dalamnya mengandung senyawa teikoat dan lipoteikoat (Pelczar, 1986).
Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa ekstrak Gracilaria sp yang diujikan terhadap E. coli pada konsentrasi 0,05% sampai 10% memiliki zona hambat tertinggi jika dibandingkan terhadap bakteri S. aureus . Selain rumput laut Gracilaria sp rumput laut lain yang dapat dijadikan sebagai antibakteri adalah rumput laut dari jenis Halimeda renchii dan Eucheuma cotonii. Purnama et al (2010) telah melakukan penelitian potensi ekstrak rumput laut Halimeda renchii dan
Eucheuma cotonii sebagai antibakteri
vibrio parahaemolitycus, vibrio alginolyticus dan vibrio charchariae. Hasil
dari penelitian menunjukkan bahwa diantara kedua ekstrak yang diujikan ekstrak yang memiliki aktivitas zona hambat paling baik adalah ekstrak
Eucheuma cotonii terhadap bakteri
parahaemolyticus. Mekanisme penghambatan mikroorganisme oleh senyawa antimikroba dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, peningkatan permeabilitas membran sel yang dapat menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, menginaktivasi enzim, dan destruksi atau kerusakan fungsi material genetik.
KESIMPULAN
1. Hasil ekstrak yang diperoleh rumput laut Gracilaria sp berwarna hijau kecoklatan, berbentuk padat dan mempunyai tekstur lebih halus.
2. Ekstrak Gracilaria sp menghambat
pertumbuhan bakteri E. coli sebesar 14,33±3,22 mm dan S. aureus
12,67±2,08 mm
3. Konsentrasi hambat minimum ekstrak Gracilaria sp terhadap bakteri E. coli
dan S. aureus adalah pada konsentrasi 0,05%.
DAFTAR PUSTAKA
Davis & Stout. (1971) . Disc Plate Method
Of Microbiological Antibiotic Essay.
Journal Of Microbiology. Vol 22 No 4.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. (2005). Profil Rumput Laut Indonesia. Departemen Kelautan
dan Perikanan. Jakarta.
Fahri. M. (2010). Teknik Ekstraksi Senyawa Flavonoid dari Alga Coklat Sargassum cristaefolium. dalam
http://elfahrybima.blogspot.com/ Di akses 5 Maret 2011
Kimball, J., Soetarmi S., Sugiri N. (1983).
Biologi Jilid 3, edisi ke 5. Erlangga:
Jakarta.
Liana. I. (2010). Aktivitas antimikroba
fraksi dari ekstrak metanol Daun senggani (melastoma candidum d. Don) terhadap Staphylococcus aureus dan salmonella typhimurium serta profil Kromatografi lapis tipis fraksi teraktif. [skripsi]. FMIPA.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Pelczar, M.J.& Chan,E.C.S. (1986).
Dasar-Dasar Mikribiologi, jilid I.
Hadioetomo, R. S, Tjitrosomo, S.S, Angka, S.L & Imas, T. ( penerjemah). Penerbit UI Press. Yakarta.
Purnama R, Melki, Putri WAE, Rozirwan. (2011). Potensi Ekstrak Rumput Laut Halimeda renchii dan
Eucheuma cotonii sebagai Antibakteri Vibrio spp. Journal Maspari 2:82–88.
UJI EFEK ANALGESIK EKSTRAK DAUN BELUNTAS (Pluchea indica (L.) Less.) PADA MENCIT (Mus musculus)
Lukky Jayadi
Program Studi Farmasi Stikes Medistra Lubuk Pakam
ABSTRACT
Abstract: This research aimed to know whether or not the extract of marsh fleabane leaves possess an analgesic effect on mice. This research used experimental method, with the sample of 15 mice divided into 5 groups. The negative control group is given aquadest, the positive control group is given paracetamol, and 3 experimental group are given marsh fleabane leaves extract, each is given at dose 150 mg/kgBB, 300 mg/kgBB, and 600 mg/kgBB. The testing of analgesic effect is done by giving pain stimulation to the mice, by means of applying 55°C heat. Mice’s response is observed is licking or flicking response. The observation is done for 1 minute. The observation is done before the administration of test substances, and then the observation is done on the 30th, 60th, 90th, and 120th minute after the administration of test substances. The
research result showed the amount of response of pain stimulation on the group is given marsh fleabane leaves extract start decrease on the 30th minute and keep on giving effect on the 60thminute. On the 90thminute the analgesic effect start decrease, but still show analgesic effect. The extract of marsh fleabane leaves show analgesic effect, but the effect analgesic of marsh fleabane is lower than paracetamol.
Indonesia memiliki beraneka ragam tanaman dengan jumlah kurang lebih 30.000 spesies dan baru ditemukan 940 spesies yang diyakini oleh masyarakat dapat menyembuhkan penyakit, yang disebut sebagai tanaman berkhasiat obat.1
Masyarakat Indonesia telah lama meng-gunakan tanaman berkhasiat obat untuk
menyembuhkan penyakit. Pengetahuan tentang mengolah tanaman berkhasiat obat telah diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.2
Di sekitar pekarangan kita juga bisa ditemukan tanaman yang ternyata ber-khasiat sebagai obat. Salah satu tanaman yang diyakini masyarakat berkhasiat obat yaitu tanaman beluntas (Pluchea indica (L.) Less.).3-6
Daun beluntas biasanya digunakan masyarakat untuk menghilangkan bau badan, meningkatkan nafsu makan, melan-carkan pencernaan, mengatasi nyeri per-sendian, nyeri otot, nyeri saat menstruasi, menurunkan demam, mengeluarkan ke-ringat, mengobati scabies, dan tuberkulosis (TBC) kelenjar getah bening. Akar beluntas berkhasiat sebagai penyegar tubuh, menge-luarkan keringat, dan mengatasi nyeri persendian. Selain itu daun beluntas juga sering dikonsumsi oleh masyarakat sebagai lalapan. Daun beluntas memiliki rasa yang agak pahit dan daun beluntas bila diremas mengeluarkan bau yang harum.3-6
Beberapa penelitian menunjukkan bah-wa tanaman beluntas memiliki efek seba-gai antioksidan, anti-inflamasi, anti-amuba, dan antimikroba.7,8 Di Indonesia, tanaman beluntas
secara tradisional digunakan seba-gai obat penghilang nyeri (analgesik).3-6 Untuk
menghilangkan nyeri, daun beluntas atau akar beluntas sebanyak 10-15 gram direbus dengan air, lalu airnya diminum.3-5
Penggunaan tanaman berkhasiat obat merupakan hal yang baik bagi masyarakat karena mungkin memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat sintetik, namun pemanfaatan tanaman sebagai ramuan obat untuk penyakit ter-tentu harus diteliti dan
diuji secara ilmiah agar dapat
dipertanggungjawabkan.9 Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk meneliti tentang efek analgesik dari daun beluntas.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang dilakukan di Laboratorium Farmakologi Stikes Medistra Lubuk Pakam. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret – April 2016. Penelitian ini meng-gunakan mencit (Mus musculus) sebanyak 15 ekor sebagai hewan uji yang dibagi dalam 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif, dan 3 ke-lompok eksperimental yang diberi ekstrak daun beluntas dengan dosis berbeda.
Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian yaitu oven, blender, kain penyaring, kertas saring Whartman no. 1, cawan petri, timbangan analitik, batang pengaduk, lumpang, water
bath, beaker glass, penghitung waktu, semprit
injeksi 1 ml, dan NGT no. 3,5.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu daun beluntas sebanyak 1,3 kg, etanol 95%, parasetamol sediaan tablet 500 mg, aquades, dan pelet.
Prosedur penelitian
Ada beberapa hal yang perlu disiapkan dan dilakukan dalam penelitian ini, seperti penyiapan hewan uji, pembuatan ekstrak daun beluntas, pengujian efek analgesik, dan lain-lain.
Penyiapan hewan uji
Penelitian ini menggunakan mencit betina sebagai hewan uji, yang dibagi seca-ra acak ke dalam 5 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor mencit. Kelompok I sebagai kontrol negatif, kelompok II sebagai kontrol positif., kelompok III, IV, dan V sebagai kelompok eksperimental yang diberi ekstrak daun beluntas dengan dosis 150 mg/kgBB, 300 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB. Sebelum pengujian dilakukan, mencit dipuasakan selama ± 11 jam kemu-dian ditimbang. Berat badan mencit yang digunakan berkisar 20-40 gram.
Cara pembuatan ekstrak daun beluntas
Daun beluntas diambil sebanyak 1,3 kg. Daun diambil mulai daun ke -4 sampai ke-15 dari pucuk. Daun beluntas kemudian dicuci dengan air bersih, lalu ditiriskan. Lalu daun dikeringkan dalam oven pada suhu 37°C selama ±5 hari. Daun yang telah kering dihaluskan dengan blender sampai menjadi tepung. Tepung daun beluntas ditimbang sebanyak 228 gram, kemudian direndam dengan 750 ml etanol 95% selama 5 hari terlindung dari cahaya. Selama perendaman setiap hari dilakukan pengadukan selama 15 menit. Setelah direndam selama 5 hari, larutan tersebut disaring dengan kain penyaring. Hasilnya kemudian disaring lagi dengan kertas saring Whartman no. 1. Filtrat hasil penya-ringan diletakkan dalam cawan petri untuk diuapkan dalam oven suhu 40°C sampai didapatkan ekstrak pekat.
Penyiapan larutan ekstrak
Bila berat badan rata-rata mencit 20 gr, maka jumlah ekstrak yang diberikan pada kelompok mencit yang diberi dosis 150 mg/kgBB yaitu 3 mg. Jumlah ekstrak yang diberikan pada kelompok mencit yang diberi dosis 300 mg/kgBB yaitu 6 mg, jumlah ekstrak yang diberikan pada kelompok mencit yang diberi dosis 600 mg/kgBB yaitu 12 mg. Cara membuat larutan ekstrak untuk kelompok mencit yang diberi ekstrak 3 mg yaitu larutkan ekstrak sebanyak 100 mg dalam 10 ml aquades, kelompok mencit yang diberi ekstrak 6 mg yaitu larutkan ekstrak sebanyak 100 mg dalam 5 ml aquades, dan kelompok mencit yang diberi ekstrak 12 mg yaitu larutkan ekstrak sebanyak 100 mg dalam 2,5 ml aquades. Campur larutan hingga homogen, lalu ambil 0,3 ml larutan untuk diberukan pada kelompok hewan eksperimental.
Penyiapan larutan obat pembanding
Dosis parasetamol yang digunakan adalah 1000mg/50kgBB per kali pemberi-an, maka perhitungan dosis untuk mencit dengan berat badan rata-rata 20 gr ialah: (20/50000) x 1000 = 0,4 mg. Penyiapan larutan pembanding dilakukan dengan cara
menggerus tablet parasetamol 500 mg, lalu dimasukkan ke dalam gelas ukur yang berisi 50 ml aquades, campur hingga homogen. Ambil 0,04 ml larutan lalu tambahkan dengan 0,26 ml aquades sehingga diperoleh 0,3 ml larutan untuk diberikan kepada kelompok kontrol positif.
Cara Pemberian Zat Uji
Pemberian zat uji dilakukan per oral dengan menggunakan semprit 1 ml dan NGT no. 3,5.
Pengujian efek analgesik
Masukkan beaker glass ke dalam water
bath yang berisi air, kemudian water bath
dipanaskan hingga suhu 55°C. Setelah suhu mencapai 55°C, mencit dimasukkan ke dalam
beaker glass tersebut. Setelah mencit ada dalam beaker glass maka responnya diamati, yaitu
berupa gerakan menjilat kaki dan atau melompat. Peng-amatan dilakukan selama 1 menit. Kepada masing-masing kelompok mencit diberikan larutan ekstrak, larutan obat pembanding dan aquades sebagai kontrol negatif. Mencit lalu diistirahatkan untuk diamati kembali pada menit ke -30. Pengamatan dilakukan hingga menit ke-120, dengan interval waktu 30 menit untuk setiap pengamatan. Pengamatan dilakukan seba-nyak 5 kali, yaitu: sebelum pemberian zat uji, menit ke-30, 60, 90, dan 120 setelah pemberian zat uji.
Penyajian Analisis Data
Data hasil pengamatan respon mencit akan diolah dengan dideskripsikan dan dihitung serta disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
HASIL PENELITIAN
Data di bawah ini merupakan data hasil pengamatan terhadap 5 kelompok hewan uji yang masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor mencit.
Tabel 1. Hasil pengamatan respon kelompok kontrol negatif (aquades)
Jumlah Respon Mencit
Subjek Sebelum Setelah Perlakuan (Pemberian Aquades)
Perlakuan 30 menit 60 menit 90 menit 120 menit
L J T L J T L J T L J T L J T A - 82 82 - 79 79 - 64 64 - 86 86 - 70 70 B 4 29 33 - 25 25 - 25 25 - 30 30 1 27 28 C - 30 30 13 - 13 25 - 25 16 - 16 17 - 17 Jumlah 145 117 114 132 115 Rata-rata 48,3 39 38 44 38,3
Ket.: L = Lompat, J = Jilat, T = Total. Pembulatan bilangan desimal: <0,5 = 0 dan ≥0,5 = 1
Tabel 2. Hasil pengamatan respon kelompok kontrol positif (parasetamol)
Jumlah Respon Mencit
Subjek Sebelum Setelah Perlakuan (Pemberian Obat)
Perlakuan 30 menit 60 menit 90 menit 120 menit
L J T L J T L J T L J T L J T A - 53 53 1 32 33 1 28 29 - 41 41 - 49 49 B - 52 52 - 16 16 - 4 4 - 15 15 - 15 15 C - 56 56 - 27 27 - 19 19 - 19 19 - 13 13 Jumlah 161 76 52 75 77 Rata-53,7 25,3 17,3 25 25,7 rata
Ket.: L = Lompat, J = Jilat, T = Total. Pembulatan bilangan desimal: <0,5 = 0 dan ≥0,5 = 1
Tabel 3. Hasil pengamatan respon kelompok mencit yang diberi ekstrak daun beluntas dosis 150 mg/kgBB
Jumlah Respon Mencit
Subjek Sebelum Setelah Perlakuan (Pemberian Ekstrak)
Perlakuan 30 menit 60 menit 90 menit 120 menit
L J T L J T L J T L J T L J T A - 75 75 - 60 60 - 50 50 - 53 53 - 56 56 B - 50 50 - 48 48 - 40 40 - 47 47 - 60 60 C - 58 58 - 47 47 - 49 49 - 52 52 - 48 48 Jumlah 183 155 139 152 164 Rata-rata 61 51,7 46,3 50,7 54,7
Ket.: L = Lompat, J = Jilat, T = Total. Pembulatan bilangan desimal: <0,5 = 0 dan ≥0,5 = 1
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah respon mencit sebelum pemberian aquades sebanyak 48,3 kali (dibulatkan menjadi
mencit menjadi 39 kali, pada menit ke-60 menjadi 38 kali, pada menit ke-90 menjadi 44 kali dan pada menit ke -120 menjadi 38,3 kali (dibulatkan menjadi 38 kali).
jumlah respon mencit sebelum pemberian obat sebanyak 53,7 kali (dibulatkan men-jadi 54 kali). Pada menit ke-30 setelah pemberian obat, rata-rata jumlah respon menurun menjadi 25,3 kali (dibulatkan menjadi 25 kali), pada menit ke-60 menjadi 17,3 kali (dibulatkan menjadi 17 kali) se-dangkan pada menit ke-90 meningkat men-jadi 25 kali dan pada menit ke-120 menjadi 25,7 kali (dibulatkan menjadi 26 kali).
Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah respon mencit sebelum pemberian ekstrak sebanyak 61 kali. Pada menit ke-30 setelah pemberian ekstrak, rata-rata jumlah respon menurun menjadi 51,7 kali (dibulatkan menjadi 52 kali), pada menit
ke-60 menjadi 46,3 kali (dibulatkan menjadi 46 kali), pada menit ke-90 menjadi 50,7 kali (dibulatkan menjadi 51 kali) dan pada menit ke-120 menjadi 54,7 kali (dibulatkan menjadi 55 kali).
Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah respon mencit sebelum pemberian ekstrak sebanyak 53 kali. Pada menit ke-30 setelah pemberian ekstrak, rata-rata jumlah respon menurun menjadi 29,7 kali (dibulatkan menjadi 30 kali), pada menit ke-60 menjadi 30 kali, pada menit ke -90 menjadi 36,3 kali (dibulatkan menjadi 36 kali) dan pada menit ke -120 menjadi 39,3 kali (dibulatkan menjadi 39 kali).
Tabel 4. Hasil pengamatan respon kelompok mencit yang diberi ekstrak daun beluntas dosis 300 mg/kgBB
Jumlah Respon Mencit
Subjek Sebelum Setelah Perlakuan (Pemberian Ekstrak)
Perlakuan 30 menit 60 menit 90 menit 120 menit
L J T L J T L J T L J T L J T A - 70 70 - 36 36 - 35 35 - 45 45 - 60 60 B - 42 42 - 26 26 - 15 15 - 30 30 - 30 30 C - 47 47 - 27 27 - 40 40 - 34 34 - 28 28 Jumlah 159 89 90 109 118 Rata-53 29,7 30 36,3 39,3 rata
Ket.: L = Lompat, J = Jilat, T = Total. Pembulatan bilangan desimal: <0,5 = 0 dan ≥0,5 = 1
Tabel 5. Hasil pengamatan respon kelompok mencit yang diberi ekstrak daun beluntas dosis 600 mg/kgBB
Jumlah Respon Mencit
Subjek Sebelum Setelah Perlakuan (Pemberian Ekstrak)
Perlakuan 30 menit 60 menit 90 menit 120 menit
L J T L J T L J T L J T L J T A - 53 53 - 31 31 - 35 35 - 28 28 - 32 32 B - 23 23 - 17 17 - 23 23 - 28 28 - 30 30 C - 62 62 - 40 40 - 35 35 - 45 45 - 55 55 Jumlah 138 88 93 101 117 Rata-rata 46 29,3 31 33,7 39
70 60 Kontrol negatif 50 Kontrol positif re s p on 40 Ekstrak 150 30 mg/kgBB Ekstrak 300 Ju ml ah 20 mg/kgBB Ekstrak 600 10 mg/kgBB 0 0 30 60 90 120 Waktu (menit)
Gambar 1. Grafik rata-rata jumlah respon mencit
Tabel 5 menunjukkan jumlah respon mencit sebelum pemberian ekstrak sebanyak 46 kali. Pada menit ke-30 setelah pemberian ekstrak, rata-rata jumlah respon menurun menjadi 29,3 kali (dibu-latkan menjadi 29 kali), pada menit ke-60 menjadi 31 kali, pada menit ke-90 menjadi 33,7 kali (dibulatkan menjadi 34 kali) dan pada menit ke-120 menjadi 39 kali.
Pada gambar di bawah ini akan disaji-kan nilai rata-rata respon kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif, dan ke-lompok eksperimental dalam bentuk grafik.
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk menge-tahui ada tidaknya efek analgesik dari ekstrak daun beluntas dengan mengguna-kan metode rangsang panas (hot plate method) yang diuji pada mencit. Rang-sangan yang diberikan pada hewan uji yaitu berupa rangsangan panas dengan suhu 55°C. Respon mencit yang dinilai berupa gerakan menjilat kaki dan atau melompat. Efek analgesik dapat ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah respon mencit.
Hasil pengujian pada kelompok eksperimental (ekstrak daun beluntas) yang diberi dosis berbeda, menunjukkan terjadi penurunan respon rata-rata hewan uji terhadap rangsangan nyeri. Hal ini menun-jukkan bahwa ekstrak daun beluntas memiliki efek analgesik. Efek analgesik
dari ekstrak daun beluntas ini diduga karena peran flavonoid yang terkandung dalam daun beluntas. Hasil penelitian yang dilakukan Owoyele dkk membuktikan bahwa kandungan flavonoid pada daun kirinyuh (Chromolaena
odorata) memiliki efek analgesik10 , tetapi
apakah kandungan flavonoid pada daun beluntas dan daun kirinyuh adalah sama atau beda, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Selain flavonoid, efek analgesik dari daun belun-tas juga mungkin disebabkan oleh kan-dungan kimia lainnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan kimia lain yang berperan sebagai analgesik dan bagaimana mekanisme kerjanya.
Efek analgesik ekstrak daun beluntas mulai terlihat pada menit ke-30 dan terus memberikan efek pada menit ke-60. Pada menit ke-90 efek analgesiknya mulai menu-run, tetapi masih menunjukkan efek analge-sik. Pada grafik rata-rata jumlah respon mencit menunjukkan bahwa kuatnya efek analgesik dari kelompok mencit yang diberi ekstrak dosis 300 mg/kgBB dan 600 mg/kgBB tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan dosis 300 mg/kgBB merupa-kan dosis maksimum karena pada dosis tersebut sudah mencapai kadar terapeutik maksimum. Bila dibandingkan dengan kelompok kontrol positif yang diberi parasetamol, efek analgesik dari ekstrak