• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERAKSI ANTARA REMAJA, AYAH, DAN SEKOLAH SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT STRES DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INTERAKSI ANTARA REMAJA, AYAH, DAN SEKOLAH SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT STRES DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

INTERAKSI ANTARA REMAJA, AYAH, DAN SEKOLAH

SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT STRES

DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL

Asroheni Muharrifah

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

ASROHENI MUHARRIFAH. Interaction between adolescent, father, and school, and it’s relation with stress level in national examination period. Supervised by DIAH KRISNATUTI.

National Examination is one of reference of evaluation to increase the quality of education in Indonesia. In High School National Examination 2009, there is increasing of the amount of examination subject. It is become six subject from only three in the previous year. The student in the third year who facing the National Examination is easier to get stress. Stress level in this student can be minimilized with family and school environtment interaction. The research methods is cross sectional study with 76 sample utilize simple random sampling. Analysis data that is utilized Independent Sample's difference T-test and Mann Whitney, spearman’s correlation, and multiple linear regretion. The result of this research show that stress level in girls is higher than boys, the result also show that stress happen because of less interaction with father and school. Parenting that tend to mutual and communicative interaction with father will also give a better interaction quality. If father can optimize his role to do a good parenting, their children will also overcome their stress well.

(3)

RINGKASAN

ASROHENI MUHARRIFAH. I24052061. Interaksi antara Remaja, Ayah, dan Sekolah serta Hubungannya dengan Tingkat Stres dalam Menghadapi Ujian Nasional. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui interaksi antara remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres dalam menghadapi Ujian Nasional pada siswa SMA Negeri dan SMA Swasta. Secara khusus, penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh, (2) Mengidentifikasi interaksi contoh dengan ayah, (3) Mengidentifikasi interaksi contoh di lingkungan sekolah, (4) Mengindentifikasi prestasi belajar contoh, (5) Membandingkan tingkat stres contoh, (6) Menganalisis hubungan berbagai variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres contoh dalam penelitian.

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini dilakukan di SMU Negeri 3 dan SMU Insan Kamil, Kota Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian dilakukan di dua tempat secara simple random sampling berdasarkan sekolah favorit di kota tersebut. Pengumpulan data dilakukan selama 8 minggu sebelum Ujian Nasional (20-24 April 2009) sampai Juni 2009. Total contoh dalam penelitian ini sebanyak 76 siswa dengan proporsi jenis kelamin yang sama baik laki-laki maupun perempuan. Data primer meliputi identitas pribadi, karakteristik sosial ekonomi keluarga, interaksi anak (lingkungan keluarga (ayah) dan lingkungan sekolah), prestasi belajar, dan tingkat stres contoh. Data sekunder yang digunakan adalah keadaan umum sekolah berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kota Bogor. Data sekunder diperoleh dari website sekolah dan keterangan pihak sekolah serta raport siswa. Data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry data ke komputer, cleaning, dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS for windows versi 11,5. Setelah itu, data dianalisis dengan menggunakan uji deskriptif, beda mean, korelasi, dan regresi.

Lebih dari separuh contoh berumur 17 tahun, tergolong pada kategori anak tengah (SMA Negeri 3) dan anak sulung (SMA Insan Kamil), dan berasal dari keluarga dengan ukuran sedang (5-6 orang). Persentase terbesar contoh dominan pada tipe kepribadian ekstrovert, memiliki orangtua dengan kategori usia dewasa madya, dan pendidikan tertinggi orangtua adalah perguruan tinggi (ayah) dan tamat SMA (ibu). Hampir seluruh contoh mempunyai rencana jangka pendek meneruskan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Persentase terbesar ayah contoh di SMA Negeri 3 memiliki pekerjaan utama sebagai karyawan swasta, sedangkan pada SMA Insan Kamil memiliki proporsi yang sama sebagai pegawai negeri, wiraswasta, dan karyawan swasta. Proporsi terbesar pendapatan keluarga pada kedua sekolah contoh yaitu terletak pada kisaran Rp 2.5 juta – Rp 5 juta. Seluruh contoh disediakan fasilitas dan sarana belajar di rumah.

Persentase terbesar contoh memiliki interaksi dengan ayah cukup baik. Lebih dari separuh contoh memiliki komunikasi dengan ayah cukup baik. Sebagian besar contoh memiliki kedekatan dengan ayah cukup baik. Selain itu, persentase tertinggi contoh memiliki kualitas interaksi dengan ayah cukup puas. Sebagian besar ayah contoh memiliki harapan sedang terhadap masa depan contoh setelah Ujian Nasional.

(4)

Sebagian besar contoh termasuk dalam kategori cukup baik berinteraksi dengan guru dan teman. Selain itu, sebagian besar contoh juga memiliki interaksi dengan sekolah cukup baik. Persentase terbesar contoh memiliki nilai kognitif dengan kategori sedang (65-80) dan ada perbedaan nilai rapor dengan kategori nilai kognitif di kedua sekolah. Prestasi akademik berdasarkan nilai psikomotorik memiliki proporsi yang sama dengan kategori sedang dan tinggi (SMA Negeri 3) dan kategori sedang (SMA Insan Kamil). Selain itu, nilai afektif contoh tergolong kategori baik (SMA Negeri 3) dan baik sekali (SMA Insan Kamil). Persentase terbesar contoh di kedua sekolah berada dalam kategori tingkat stres sedang.

Semakin baik interaksi dengan sekolah, maka tingkat stresnya akan semakin menurun. Semakin ekstrovert, maka semakin baik interaksi dengan teman. Semakin erat interaksi contoh dengan ayah, maka semakin baik pula interaksi dengan sekolah. Semakin erat interaksi contoh dengan ayah, maka tujuan hidup dan cita-cita semakin tinggi prioritasnya. Selain itu, semakin tinggi harapan ayah terhadap contoh, maka tujuan hidup dan cita-cita akan semakin tinggi prioritasnya.

Jenis kelamin, besar keluarga, kepribadian, hubungan ayah, dan umur ibu memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat stres contoh. Tingkat stres banyak dialami oleh remaja perempuan, berasal dari keluarga dengan ukuran besar, bertipe kepribadian ekstrovert, kurangnya interaksi dengan ayah, dan umur ibu yang lebih muda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi contoh dengan sekolah berhubungan dengan tingkat stres. Oleh karena itu, hendaknya sekolah terutama guru dalam menghadapi Ujian Nasional sudah memberikan persiapan sedini mungkin baik psikis dan mental siswa dengan pendalaman materi dan latihan soal-soal dengan cara menarik sehingga siswa tidak merasa bosan dan jenuh. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi dengan ayah mempengaruhi stres anak. Berdasarkan hal ini, ayah hendaknya mempunyai waktu banyak untuk bertukar pikiran, mendukung, dan mengatasi masalah anaknya terutama saat menghadapi Ujian Nasional. Walaupun ibu sebagai pengasuh utama dalam keluarga, tetapi ayah tidak boleh meninggalkan perannya sebagai pengarah perkembangan di masa depan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa remaja perempuan rentan terhadap stres. Oleh karena itu, hendaknya ayah lebih memperhatikan remaja perempuan dengan tidak membeda-bedakan jenis kelamin.

(5)

INTERAKSI ANTARA REMAJA, AYAH, DAN SEKOLAH

SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT STRES

DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL

ASROHENI MUHARRIFAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

Judul Skripsi :

INTERAKSI

ANTARA

REMAJA,

AYAH,

DAN

SEKOLAH

SERTA

HUBUNGANNYA

DENGAN

TINGKAT STRES DALAM MENGHADAPI UJIAN

NASIONAL

Nama Mahasiswa : ASROHENI MUHARRIFAH

NRP

: I24052061

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS.

NIP. 19601007 198503 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Dr.Ir.Hartoyo. MSc

NIP. 19630714 198703 1002

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah dengan baik. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan,

arahan, waktu, kesabaran, dan ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih ibu telah menebarkan semangat, keceriaan, dan optimisme kepada saya untuk segera menyelesaikan skripsi dan lulus tepat waktu.

2. Ir. Melly Latifah, MSi selaku dosen pembimbing akademik selama 3 tahun di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen atas perhatian dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

3. Alfiasari, SP, MSi selaku dosen pemandu seminar atas waktu, masukan, dan keceriaan yang telah diberikan kepada penulis selama seminar.

4. Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc, MSc dan Ir. M.D.Djamaludin, MSc selaku dosen penguji atas masukan dan saran yang bermanfaat untuk perbaikan skripsi penulis.

5. Orangtuaku tercinta yang selalu dan tak pernah putus memberi semua dukungan dan bimbingan dengan penuh kasih sayang yang dapat diberikan, dari yang bersifat fisik, mental, dan spiritual. Orangtua yang telah mengasuh dan membimbing penulis sejak kecil hingga mampu menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

6. Kakak, adik, kakak ipar, dan adik sepupuku tersayang: Kak Mely, Kak Alwan, Kak Wiwit, Ade Nda, Dek Rani, dan Dek Azil yang telah memberikan keceriaan, semangat, do’a agar penulis bisa melakukan hal yang terbaik. 7. Pemerintah Kota Bogor yang telah membantu dalam bentuk materi untuk

penelitian penulis.

8. Kepala sekolah, Ibu Sri, Ibu Elvita, dan siswa/i SMA Negeri 3 Bogor yang telah memberikan waktu dan izin untuk pengambilan data yang diperlukan.

9. Kepala sekolah, Pak Adening, Pak Ade Hidayat, dan siswa/i SMA Insan Kamil yang telah memberikan waktu dan izin untuk pengambilan data yang diperlukan.

(8)

10. Sahabat-sahabatku Alfarabi Crew’s: Ana, Ari, Ita, Fitri, Uci, Maul, Wiji, Veni, Mba Arul, Mba Hani, Mba Nur, Zera, dan adek Indah. Terima kasih atas semua warna-warni kehidupan yang telah kalian lukiskan.

11. Sahabat-sahabatku di IKK’42: Tika, Sri, Anne, Dini, Ibu Endah, dan semuanya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih untuk hari-hari yang penuh kenangan, semangat, tawa, serta canda.

12. Mba Inur dan Mba Dedew yang telah membantu dalam proses olah data, memberikan semangat, bantuan, dan perhatian kepada penulis.

13. Ana, Vivi, Sri, dan Eka WL atas bantuan pengambilan data.

14. Semua pihak yang telah berkenan berpartisipasi. Semoga Allah membalas kebaikan saudara dengan hal yang lebih baik. Amin.

Penulis menyadari bahwa segala sesuatu tidaklah luput dari kesalahan. Penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini serta mengharapkan kritik dan saran untuk dapat memperbaikinya. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, September 2009

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 07 September 1987.

Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak

Asdarmi dan Ibu Efroh Dahlia.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cikunir II pada

tahun 1999. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, penulis

melanjutkan

pendidikan

di

SLTPN

07

Bekasi

dan

berhasil

menyelesaikannya pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis

menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 08 Bekasi.

Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas, penulis

melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Penulis diterima di

Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2005. Pada

tahun 2006, penulis berhasil diterima menjadi mahasiswa Departemen

Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia dengan minor

Manajemen Fungsional.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah

Metode Penelitian dan Penyajian Ilmiah tahun ajaran 2008/2009. Selain

itu, penulis pernah lolos dalam seleksi pendanaan proposal Program

Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang kegiatan Kewirausahaan dan

Pengabdian Masyarakat oleh DIKTI tahun 2008. Penulis merupakan

anggota dari klub keluarga, klub bahasa Inggris, dan klub tumbuh

kembang anak Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen pada

tahun 2006-2008.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... ii DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v PENDAHULUAN ... 1 TINJAUAN PUSTAKA Remaja ... 6 Stres ... 8

Interaksi dengan Ayah ... 11

Prestasi Belajar ... 20 Karakteristik Anak ... 20 Karakteristik Keluarga ... 23 Lingkungan Sekolah ... 25 KERANGKA PEMIKIRAN ... 28 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu penelitian ... 30

Contoh dan Cara Penarikan Contoh ... 31

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 31

Pengolahan dan Analisa Data ... 32

Definisi Operasional ... 35

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 37

Karakteristik Contoh ... 41

Karakteristik Keluarga ... 45

Interaksi Anak dengan Ayah ... 50

Interaksi Anak di Sekolah ... 58

Prestasi Belajar ... 61

Tingkat stres ... 62

Hubungan Antar Variabel ... 65

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat stres ... 70

KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

DAFTAR PUSTAKA... 77

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis dan cara pengumpulan data ... 31

2 Variabel dan cara pengolahan ... 32

3 Karakteristik SMA Negeri 3 Bogor ... 37

4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin, umur, dan urutan kelahiran .. 41

5 Sebaran contoh berdasarkan kepribadian ... 42

6 Sebaran berdasarkan rencana contoh dalam jangka pendek ... 43

7 Sebaran contoh berdasarkan tujuan hidup dan cita-cita ... 44

8 Sebaran contoh berdasarkan kategori tujuan hidup dan cita-cita ... 44

9 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga ... 45

10 Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua ... 46

11 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orangtua ... 47

12 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan utama orangtua... 48

13 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga ... 48

14 Sebaran contoh berdasarkan jenis fasilitas belajar di rumah ... 49

15 Sebaran contoh berdasarkan kategori interaksi contoh dengan ayah ... 51

16 Nilai rata-rata dan hasil uji beda interaksi contoh dengan ayah ... 52

17 Sebaran contoh berdasarkan komunikasi contoh dengan ayah ... 53

18 Sebaran contoh berdasarkan kategori komunikasi contoh dengan ayah .. 53

19 Sebaran contoh berdasarkan keeratan interaksi dengan ayah ... 54

20 Sebaran contoh berdasarkan kategori keeratan contoh dengan ayah... 55

21 Sebaran contoh berdasarkan kualitas interaksi ... 55

22 Sebaran contoh berdasarkan kategori kepuasan contoh dengan ayah . .. 56

23 Sebaran contoh berdasarkan kategori harapan ayah ... 57

24 Sebaran contoh berdasarkan kategori interaksi contoh dengan guru 59 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori interaksi contoh dengan teman .... 60

26 Sebaran contoh berdasarkan kategori interaksi contoh dengan sekolah . 60 27 Sebaran contoh berdasarkan prestasi belajar ... 61

28 Sebaran contoh berdasarkan seringnya mengalami gejala stres ... 63

29 Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres ... 65

30 Hubungan interaksi dengan sekolah dan tingkat stres ... 66

31 Hubungan kepribadian dan interaksi contoh dengan teman ... 67

32 Hubungan keeratan contoh-ayah dan interaksi contoh dengan sekolah .. 67

(12)

34 Hubungan harapan ayah dengan tujuan dan cita-cita contoh ... 69 35 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres ... 70

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Model ABC-X McCubbin ... 10 2 Kerangka pemikiran Interaksi remaja-ayah dan sekolah serta

hubungannya dengan tingkat stres ... 29 3 Cara pengambilan contoh ... … 30

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Variabel dan reliabilitas ... 81

5 Sebaran contoh berdasarkan interaksi diadik contoh dengan ayah ... 82

6 Sebaran contoh berdasarkan harapan ayah ... 83

4 Sebaran contoh berdasarkan interaksi contoh di lingkungan sekolah ... 84

2 Sebaran pernyataan contoh berdasarkan sistem UN ... … 85

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan modal dasar untuk mewujudkan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Hal ini berarti bahwa kualitas sumberdaya manusia dipengaruhi oleh kualitas pendidikannya. Undang-Undang No 20 tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa salah satu fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, pemerintah menata kurikulum yang dianggap sebagai salah satu solusi dalam menangani permasalahan pendidikan. Seiring dengan perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia dari kurikulum 1994 ke kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan sekarang menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), perubahan kebijakan tahap akhir nasional pun ikut berubah. Dahulu sistem evaluasi hasil belajar dikenal dengan Ebtanas, pada akhir 2003 diubah menjadi Ujian Nasional (UN) atau pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN).

Ujian Nasional dijadikan sebagai bahan acuan evaluasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menyiapkan peserta didik agar dapat bersaing di dunia internasional. Salah satunya, pemerintah menaikkan nilai standar kelulusan ujian nasional sekolah lanjutan tingkat atas untuk tahun 2009 dengan rata-rata minimal 5,5 dari sebelum 5,25 dan tidak ada nilai di bawah 4,5. Inti UN 2009 adalah adanya penambahan mata pelajaran dari tiga menjadi enam di tingkat sekolah menengah atas. Penambahan mata pelajaran tersebut dapat meningkatkan beban kejiwaan siswa terutama beban psikologis (Sudaryanto 2008).

Menurut Gunarsa & Gunarsa (2004) masa remaja merupakan masa transisi dimana pada masa ini remaja mengalami tahap kehidupan yang penuh gejolak, perubahan, dan penyesuaian dalam rangka mencari identitas diri. Oleh karena itu, remaja relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan emosi serta juga harus menghadapi tekanan psikologis dan sosial yang saling bertentangan sehingga rentan terhadap stres.

Dalam tahap perkembangannya, jiwa remaja mengalami kondisi emosi yang tidak stabil dan cenderung sensitif terhadap semua hal yang berkaitan

(16)

dengan pribadinya. Siswa SMA kelas tiga yang sedang menghadapi Ujian Nasional lebih rentan terkena stres. Adapun setiap siswa memiliki tingkat adaptasi yang berbeda menghadapi stres menjelang pelaksanaan Ujian Nasional.

Tingkat stres remaja dapat diminimalkan dengan interaksi oleh keluarga dan lingkungan sekolah. Keluarga merupakan suatu sistem yang terdiri atas elemen-elemen yang saling terkait antara satu dengan lainnya dan memiliki pengaruh paling awal dan berkesinambungan yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anak. Berkaitan dengan peran orangtua, ayah berperan sebagai pengambil keputusan untuk mengatur atau mengelola sumberdaya yang terbatas untuk mencapai tujuan bersama. Walaupun ibu lebih sering berinteraksi dengan anak, namun biasanya ayah yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan dan kontrol disiplin mengenai berbagai permasalahan yang timbul dalam keluarga (Sarwono 2007).

Interaksi antara ayah dan anak memberikan warna tersendiri dalam pembentukan konsep diri anak. Hal ini dikarenakan karakter pria yang berbeda dengan sosok wanita yang akan memberikan sumbangan unik pada anak. Tidak adanya interaksi dengan ayah secara fisik dan emosional akan berdampak kuat pada perkembangan seorang anak (BKKBN 2007). Arus informasi dapat mempengaruhi interaksi ayah dengan remaja. Ayah tidak lagi mengkomunikasikan harapannya dan memahami kebutuhan terhadap remaja sehingga akan sulit bagi ayah dan remaja untuk mencapai tingkat pemahaman terhadap apa yang dipikirkan dan dirasakan satu sama lain. Remaja akan merasa bahwa harapan-harapan yang ditujukan pada dirinya terlampau tinggi sehingga timbul rasa frustasi, gangguan tingkah laku, dan konsep diri yang rendah dalam diri anak.

Lingkungan sekolah berpengaruh cukup besar terhadap perkembangan jiwa remaja karena hampir sepertiga dari waktu setiap hari dilewatkan di sekolah. Guru menjadi tokoh utama di sekolah yang mempengaruhi perkembangan kepribadian anak remaja secara menyeluruh. Guru yang memahami kebutuhan siswa dan mampu bersosialisasi dengan siswa dapat menjadi faktor pemicu motivasi siswa remaja untuk belajar. Lingkungan pergaulan dengan teman sebaya pun besar pengaruhnya terhadap sikap, minat, penampilan, dan tingkah lakunya untuk mengikuti perubahan yang lebih luas pada masa selanjutnya. Berdasarkan paparan tersebut, maka sangat menarik untuk menganalisis

(17)

interaksi antara remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres dalam menghadapi Ujian nasional (UN).

Perumusan Masalah

Data HDI (Human Development Index) menunjukkan bahwa tingkat Pendidikan Indonesia berada di urutan 4 terbawah (urutan ke 102 dari 106 negara) atau Indonesia berada di bawah Vietnam. Hasil yang sama juga ditunjukkan dari hasil survei PERC (Political and Economic Risk Consultancy) di 12 negara (Megawangi 2007). Hal ini merupakan salah satu tanda dari kegagalan institusi pendidikan yang ada di masyarakat dalam membentuk manusia Indonesia yang berkualitas.

Sejauh ini evaluasi mutu pendidikan hanya ditujukan untuk meningkatkan standar minimum kelulusan yaitu dengan menyelenggarakan Ujian Nasional (UN). Dengan adanya Ujian Nasional yang menuntut nilai tinggi, orientasi belajar tertuju untuk mendapatkan nilai, biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling) dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Selain itu, dengan adanya tuntutan nilai UN yang tinggi, pihak sekolah akan menekan para siswa dengan banyak latihan dan hafalan, pelajaran tambahan pada sore hari serta PR yang menumpuk, yang akan membuat para siswa stres dan proses belajar menjadi tidak efektif (Megawangi 2007).

Sejak mengawali pelajaran di kelas tiga, siswa tidak bisa menikmati proses belajar dengan nyaman karena siswa lebih memusatkan kepada target kenaikan nilai kelulusan. Siswa dihadapkan pada ketakutan akan persyaratan angka kelulusan. Menurut Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), angka kelulusan untuk sekolah menengah atas (SMA), angka kelulusan naik dari 80,76 persen menjadi 92,50 persen. Untuk madrasah aliyah (MA), dari 80,73 persen menjadi 90,82 persen. Adapun untuk sekolah menengah kejuruan (SMK), dari 78,29 persen menjadi 91,00 persen (Depdiknas 2006).

Siswa yang hanya ber-IQ di atas 115 saja yang mampu mengikuti ujian tersebut (tidak lebih dari 15 persen penduduk), sehingga dapat membuat sebagian besar siswa merasa bodoh, depresi, tidak percaya diri, dan akhirnya menurunkan kualitas peserta didik di Indonesia. Orangtua pun ikut andil dalam menuntut anaknya mendapatkan nilai tertinggi. Orangtua banyak berharap anaknya menguasai beragam kemampuan dengan mendaftarkan anaknya ke sekolah dengan sistem full day dan banyak mengikuti kursus yang semata-mata

(18)

untuk menembus pintu testing. Jadi, wajar saja kalau para siswa di Indonesia sudah menderita stres berat.

Di Indonesia sendiri memang belum terdapat data statistik yang pasti mengenai kasus stres pada siswa dalam menghadapi ujian nasional, namun hasil survei Substance Abuse and Mental Health Services Administration menunjukkan remaja akhir lebih rentan mengalami depresi dibanding remaja awal. Pada tahun 2004 misalnya, jumlah remaja berusia 16-17 tahun yang mengalami depresi mencapai 12 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding remaja berusia 12-13 tahun sebanyak 5 persen dan 14-15 tahun sekitar 9 persen. Badan Kesehatan Dunia memperkirakan, pada tahun 2010 depresi menjadi penyakit nomor satu di dunia yang paling banyak memakan biaya pengobatan (Nurhayati 2006).

Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, terdapat pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya melalui penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana karakteristik siswa dan karakteristik keluarga siswa dalam menghadapi Ujian Nasional?

2. Bagaimana interaksi ayah terhadap siswa dalam menghadapi Ujian Nasional (UN)?

3. Bagaimana interaksi lingkungan sekolah siswa dalam menghadapi Ujian Nasional?

4. Bagaimana prestasi belajar siswa?

5. Apakah siswa mengalami stres dan pada tingkat yang mana ia mengalami stres tersebut?

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi antara remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres dalam menghadapi Ujian Nasional (UN) pada siswa SMA Negeri dan SMA Swasta. Secara khusus, penelitian ini bertujuan:

1. Mengidentifikasi karakteristik contoh (jenis kelamin, umur, urutan anak, kepribadian, cita-cita dan tujuan) dan karakteristik keluarga contoh (besar keluarga, umur orangtua, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga dan fasilitas belajar)

(19)

2. Mengidentifikasi interaksi contoh dengan ayah

3. Mengidentifikasi interaksi contoh di lingkungan sekolah (interaksi dengan guru, interaksi dengan teman sebaya, dan interaksi dengan sekolah) 4. Mengindentifikasi prestasi belajar contoh

5. Membandingkan tingkat stres contoh

6. Menganalisis hubungan berbagai variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres contoh dalam penelitian

Kegunaan Penelitian

1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana berlatih untuk memanajemen diri dan pengalaman dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan ilmu yang peneliti mampu.

2. Bagi para orangtua dan siswa SMA, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sarana kajian ilmiah interaksi antara remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres dalam menghadapi Ujian Nasional.

3. Bagi Institusi Pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan referensi yang berkaitan dengan Ujian Nasional.

4. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan interaksi remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat stres dalam menghadapi Ujian Nasional, sehingga masyarakat diharapkan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini.

(20)
(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja

Istilah remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa”. Lazimnya masa remaja dianggap secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Namun, penelitian tentang perubahan perilaku, sikap, dan nilai-nilai sepanjang masa remaja tidak hanya menunjukkan bahwa setiap perubahan terjadi lebih cepat pada awal masa remaja daripada tahap akhir masa remaja. Dengan demikian secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal masa dan akhir masa remaja (Hurlock 1980).

Masing-masing ahli memberikan batasan usia yang berbeda-beda bagi remaja berdasarkan pertimbangan tertentu. Thornburgh (1982) diacu dalam Retnowati (2005) membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun. Adanya peningkatan kecenderungan para remaja untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan kerja (magang) yang berusia 19 hingga 22 tahun juga dimasukan kedalam golongan remaja dengan pertimbangan bahwa pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang rentang usia tersebut.

Monks (1999) diacu dalam Nasution (2007) remaja adalah individu berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. BKKBN (2009) menyatakan bahwa pada masa remaja terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis. Masa remaja dibagi menjadi beberapa fase yaitu fase remaja awal (usia 12-15 tahun), fase remaja pertengahan (usia 15-18 tahun) dan fase remaja akhir (usia 18-21 tahun). Adapun masa pubertas (usia 11 atau 12 tahun-16 tahun) merupakan fase yang singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. Masa pubertas berada antara masa kanak-kanak dan masa remaja, sehingga kesulitan yang ada pada masa tersebut dapat menyebabkan remaja mengalami kesulitan dalam menghadapi fase perkembangan selanjutnya. Pada fase tersebut, remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon (dalam tubuhnya) yang memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis, terutama emosi.

(22)

WHO (World Health Organization) memberikan definisi sendiri mengenai remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria yaitu biologis, psikologis, dan sosial-ekonomi. Remaja didefinisikan sebagai suatu masa ketika individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat mencapai kematangan seksual, individu yang mengalami perkembangan psikologis, dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, dan terjadinya peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono 2007).

Menurut Al-Migwar (2006), terdapat ciri-ciri umum yang ada pada diri remaja, sehingga dapat membedakan antara masa remaja dengan masa lainnya, yaitu : (1) masa transisi (peralihan dari anak-anak menuju dewasa), masa transisi pada remaja terlihat dari perilaku remaja yang tidak jarang membuat orangtua bingung, kesal, bahkan stres; (2) masa tidak stabilnya emosional, intensitas emosional tergantung pada perubahan emosional yang terjadi dalam diri remaja, hal ini dapat dilihat dari sikap dan sifat remaja yang mengalami naik turun ketika mengerjakan suatu pekerjaan; (3) Masa pencarian identitas, remaja menyesuaikan diri dengan kelompok agar remaja memperoleh identitas diri dan tidak merasa puas dengan kesamaan yang dimiliki dalam segala hal dengan teman-teman sebayanya; (4) Masa kritis, masa kebimbangan remaja dalam menghadapi, memecahkan, dan menghindari suatu masalah.

Menurut (Havighurst 1953 dalam Hurlock 1973), tugas–tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah sebagai berikut:

1. Mencapai interaksi yang baru dan lebih masak dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis

2. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin

3. Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif 4. Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang

dewasa lainnya

5. Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi 6. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja

(23)

8. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk tercapainya kompetensi sebagai warga negara

9. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial

10. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) diacu dalam Nasution (2007) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu:

1. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, remaja masih merasa heran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap ego dan menyebabkan remaja sulit dimengerti oleh orang dewasa.

2. Remaja pertengahan (15-18 tahun)

Pada tahap remaja pertengahan sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih, peka atau peduli, berkelompok atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya.

3. Remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelektual dan egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain.

Stres

Santrock (2003) menyatakan stres adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor), yang mengancam, dan

(24)

mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping). Stres juga adalah reaksi individual seseorang terhadap ketegangan, perubahan atau konflik yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Reaksi ini bersifat subjektif, sangat tergantung pada konsep diri dan ketahanan mental, karena suatu sumber masalah bisa menjadi stresor bagi seseorang, namun mungkin bagi yang lain dipandang bukan menjadi suatu masalah. Contohnya hari pertama masuk sekolah, bagi anak dengan kemampuan sosial yang rendah merupakan sumber stres, namun bagi anak dengan kemampuan sosial yang baik bukanlah stresor yang berarti untuknya (Anonim 2005).

Model stres McCubbin dan Patterson (1980) menjelaskan perbedaan dalam adapatasi keluarga pada masa kritis, setiap variabel saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Variabel dalam model ini digambarkan sebagai berikut:

Faktor AA: sumber stres menumpuk, artinya terdapat lebih dari satu sumber stres utama dalam keluarga.

Faktor BB: sumber koping keluarga, yaitu kemampuan keluarga untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang dihadapi seperti pendidikan, kesehatan, kepribadian, ikatan keluarga, dan dukungan sosial.

Faktor CC: penilaian atau persepsi terhadap sumber stres, yaitu interprestasi subjek terhadap sumber stres, baik positif dan negatif. Faktor XX: adaptasi keluarga merupakan konsep utama dalam usaha

mencapai keseimbangan setelah krisis. Terdapat tiga tingkat analisa, yaitu: individu, keluarga, dan masyarakat.

Pada masa krisis, unit keluarga (individu) akan bertahan untuk mencapai keseimbangan dan menggabungkan antara individu dengan keluarga dengan masyarakat (McCubbin dan Thompson 1987). Adaptasi keluarga dicapai melalui hubungan timbal balik, dimana tuntutan dari satu unit keluarga dipenuhi melalui kemampuan dari yang lain, untuk mencapai suatu keseimbangan secara simultan pada dua tingkat interaksi primer antara individu dengan sistem keluarga dan antara sistem keluarga dengan komunitas (Gambar 1).

A

B

C

(25)

Gambar 1 Model ABC-X McCubbin.

Menurut Atkinson (2000) stres merupakan keadaan seseorang ketika dihadapkan dengan peristiwa yang dirasakan mengancam kesehatan fisik dan psikologisnya. Gejala-gejala stres mencakup mental, sosial, dan fisik. Beberapa gejala stres yang biasanya berlangsung terus menerus dan lebih dari dua minggu antara lain: hilangnya minat terhadap kegiatan yang disenangi, hilangnya selera makan, mengalami perubahan berat badan, lelah, letih, atau kekurangan energi, memiliki perasaan tidak berharga dan tidak memiliki harapan, tidak mampu berkonsentrasi dan berpikir jernih, merasa ingin menangis, tidak berdaya di pagi hari dan bergerak lebih lamban, susah tidur, pusing atau sakit perut, dan mempunyai harapan atau keinginan untuk bunuh diri, lebih senang bermain sendiri, lebih suka mengurung diri di rumah, dan tidak mempunyai kreativitas atau ide (Suriati 2006).

Sumber Stres

Pada umumnya reaksi anak terhadap suatu situasi berbeda-beda. Ada anak yang mudah sekali merasa cemas oleh situasi tertentu, ada pula yang sama sekali tidak terpengaruh. Dapat dikatakan bahwa ada anak yang memiliki daya tahan terhadap stres yang lemah dan ada yang kuat. Menurunnya kondisi fisik, seringkali sakit untuk jangka waktu lama juga membuat anak tertekan dan daya tahan tubuhnya melemah, sehingga mempengaruhi pula ketahanan mentalnya. Sibling rivalry (persaingan antarsaudara), kelahiran adik juga dapat menimbulkan stres pada anak, karena hal tersebut berpengaruh pada kedudukan anak di rumah (Anonim 2005).

Menurut Curtis dan Detert (1981) dalam Turner dan Helms (1986) ada lima kategori penyebab stres yaitu: (1) Sosial budaya, seperti keributan atau kepadatan, (2) Psikologis, seperti kebingungan dan kecemasan, (3) Psikososial, seperti kematian salah satu anggota keluarga atau kehilangan orang dicintai, (4) Biokimia, seperti suhu panas, dingin, dan polusi, (5) Filosofi, seperti kehilangan tujuan dan kehilangan arah. Menurut Needlman (2004) menyatakan bahwa ada beberapa sumber stres yang dialami remaja:

(26)

Perubahan fisik pada remaja terjadi sangat cepat dari umur 12-14 tahun pada remaja perempuan dan antara 13 dan 15 tahun pada remaja laki-laki. Tubuh remaja berubah sangat cepat, remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya. Tubuh remaja berubah sangat cepat, remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya. Jerawat juga dapat membuat remaja stres, terutama bagi meraka yang mempunyai pikiran sempit tentang kecantikan ideal. Saat yang sama, remaja menjadi sibuk di sekolah, bekerja dan bersosialisasi sehingga dapat membuat remaja kekurangan tidur. Hasil penelitian mengatakan bahwa kekurangan tidur dapat menyebabkan stres.

2. Family stress (stres keluarga)

Salah satu sumber stres pada remaja adalah hubungannya dengan orangtua karena remaja merasa bahwa mereka ingin mandiri dan bebas. Namun, dilain pihak mereka juga ingin diperhatikan.

3. School stress (stres sekolah)

Tekanan dalam masalah akademik cenderung tinggi pada dua tahun terakhir di sekolah, keinginan untuk mendapat nilai tinggi atau keberhasilan dalam bidang olahraga dimana remaja selalu berusaha untuk tidak gagal. Hal ini semua dapat menyebabkan stres.

4. Peer stress (stres teman sebaya)

Stres pada kelompok teman sebaya cenderung tinggi pada pertengahan tahun sekolah. Remaja yang tidak diterima oleh teman-temannya biasanya akan menderita, tertutup, dan mempunyai harga diri yang rendah. Pada beberapa remaja, agar dapat diterima oleh teman-temannya, mereka melakukan hal-hal negatif seperti merokok, minum alkohol, dan menggunakan obat terlarang. Beberapa remaja merasa bahwa alkohol, rokok, dan obat-obatan terlarang dapat mengurangi stres. Namun, bagaimanapun juga secara psikologis itu semua tidak dapat mengurangi stres, justru meningkatkan.

5. Social stress (stres sosial)

Remaja tidak mendapat tempat pergaulan orang dewasa karena mereka tidak diberikan kebebasan mengungkapkan pendapat mereka, tidak boleh membeli rokok secara legal dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang

(27)

bayarannya tinggi. Pada saat yang sama mereka tahu bahwa mereka semua nantinya akan mewarisi masalah besar dalam kehidupan sosial, seperti perang, polusi, dan masalah ekonomi yang tidak stabil. Hal ini dapat membuat remaja menjadi stres.

Interaksi dengan Ayah

Penerapan teori struktural-fungsional pada keluarga sebagai reaksi dari pemikiran-pemikiran tentang melunturnya atau berkurangnya fungsi keluarga. Keluarga sebagai suatu sistem akan mempunyai tugas seperti umumnya dihadapi oleh sistem sosial: menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integritas dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Keluarga inti seperti sistem sosial lainnya mempunyai karakteristik yang berupa diferensiasi peran dan struktur organisasi yang jelas. Parsons menekankan pula pentingnya diferensiasi peran dalam kesatuan peran instrumental-ekspresif. Dalam keluarga harus ada alokasi kewajiban tugas yang harus dilakukan agar keluarga sebagai sistem dapat tetap ada. Levy (1949) diacu dalam Megawangi (1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang perannya tidak dapat dipenuhi atau konflik akan terjadi karena tidak adanya kesepakatan siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila ini terjadi, maka keberadaan institusi keluarga tidak akan berkesinambungan.

Bronfenbrenner (1981) menyajikan model pandangan dari segi ekologi dalam memahami sosialiasi anak. Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat didalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada disekitarnya, yaitu lingkungan mikrosistem yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Teorinya menjelaskan peta interaksi antar lingkungan dengan anak, sebagai hasil interaksi lingkungan mikrosistem, mesosistem, eksosistem, dan makrosistem di sekitarnya. Lingkungan mesosistem yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolah dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman sebaya. Lingkungan eksosistem adalah lembaga atau institusi yang mempengaruhi anak, anak secara tidak langsung mempunyai peran secara aktif, misalnya tempat

(28)

kerja orangtua, lembaga dan lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas melebihi lingkungan mesosistem dan eksosistem yang meliputi struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum. Lingkungan kronosistem adalah perubahan dan keberlanjutan yang berlangsung sepanjang waktu dan mempengaruhi kehidupan anak, seperti masuknya anak ke sekolah formal, pubertas, pernikahan, dan lain-lain.

Interaksi Ayah dan Anak

Peran orangtua khususnya ayah berpengaruh secara berbeda terhadap anak tergantung jenis kelamin anak. Ketidakhadiran ayah secara fisik dan emosi akan berdampak kuat pada perkembangan seorang anak. Di Indonesia sendiri, ayah merupakan kepala keluarga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga. Ayah memiliki kekuasaan yang dianggap cukup kuat. Ayah sering diposisikan sebagai pengambil keputusan. Beberapa aspek dari peran ayah dapat mempengaruhi masa depan remaja. Ayah yang bersifat mengabaikan anak akan meninggalkan kepedihan pada anak yang dapat memanifestasi anak pada beberapa penyimpangan perilaku (Horne & Kiselica 1999).

Secara khusus dalam menjalankan peran sebagai orangtua, ayah sebagai mitra aktif bagi ibu yang merupakan pengasuh utama, memegang peranan sebagai pendorong utama akan kemandirian, prestasi dan ambisi. Sesuai dengan karakteristik gendernya yang pokok, ayah menekankan pengembangan, tantangan, mengendalikan agresivitas, prestasi, mencari posisi yang lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, otonomi, dan mengarahkan untuk belajar mengenai kehidupan bermasyarakat. Ayah juga biasanya merupakan prototipe dari maskulinitas baik bagi anak laki-laki maupun perempuannya (Parson 1954 diacu dalam Benson 1968).

Orangtua mempunyai peranan pertama dan utama bagi anak-anaknya selama anak-anak belum dewasa dan mampu berdiri sendiri. Untuk membawa anak kepada kedewasaan, orangtua harus memberi teladan yang baik karena anak suka mengimitasi kepada yang lebih tua atau orangtuanya. Dengan teladan yang baik, anak tidak merasa dipaksa. Dalam memberikan sugesti kepada anak-anak tidak dengan cara otoriter, melainkan dengan sistem pergaulan sehingga dengan senang anak melaksanakannya (Hasbullah 2008).

Interaksi antara ayah dan anak memberikan warna tersendiri dalam pembentukan konsep diri anak. Hal ini dikarenakan karakter pria yang berbeda

(29)

dengan sosok wanita yang akan memberikan sumbangan unik pada anak. Tidak adanya interaksi dengan ayah secara fisik dan emosional akan berdampak kuat pada perkembangan seorang anak. Pola pengasuhan ibu yang cenderung hati-hati akan diseimbangkan oleh ayah. Umumnya ayah lebih relaks, sederhana, dan banyak memberi kebebasan kepada anak untuk bereksplorasi. Keterlibatan ayah dapat membantu anak bersifat tegar, kompetitif, menyukai tantangan, dan senang bereksplorasi. Apabila ibu memerankan sosok yang memberikan perlindungan dan keteraturan, maka ayah membantu anak bebas bereksplorasi dan menyukai tantangan. Anak yang diasuh oleh keduanya secara optimal, maka akan terbentuk rasa aman dan percaya dalam diri anak. Interaksi ayah dengan anak mampu meningkatkan kemampuan adaptasi anak. Alhasil, anak tidak mudah stres atau frustasi sehingga lebih berani mencoba hal-hal yang ada di sekelilingnya. Secara tidak langsung bisa membantu anak lebih siap menghadapi perannya di kemudian hari (BKKBN 2007).

Teori yang digunakan dalam pendekatan Ilmu Sosiologi adalah hubungan antar manusia harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan antar manusia saling mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang diungkapkan, informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Model interaksi dari proses komunikasi juga menunjukkan perkembangan peran (role development), pengambilan peran (role-taking) dan pengembangan diri sendiri (development of self) karena manusia berkembang melalui interaksi sosialnya. Komunikasi manusia juga terjadi dalam konteks budaya tertentu dan mempunyai batas-batas tertentu. Keluarga mempunyai interaksi kelompok yang memberikan ikatan bonding (hubungan biologis dan hubungan intergenerasi serta ikatan kekerabatan) yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya. Interaksi dalam keluarga ini lebih dipandang sebagai suatu seri interaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak (dyadic), sejumlah interaksi antara sub-kelompok keluarga: dyadic, triadic, tetradic, dan sistem hubungan internal keluarga sebagai reaksi terhadap sistem sosial yang lebih luas (Klein dan White 1996 diacu dalam Puspitawati 2006).

Interaksi diadik antara ayah dan anak dibagi menjadi dimensi kehangatan dan kekasaran. Interaksi diadik merupakan interaksi dua arah antara dua individu yang mengindikasikan aspek pengaruh individu yang diakibatkan karena adanya kontak interaksi. Hasil penelitian Puspitawati (2006) menunjukkan bahwa lebih dari tiga-perempat jumlah contoh dari sekolah negeri maupun swasta

(30)

melaporkan adanya interaksi yang hangat dan mendukung dari pihak ayah maupun ibu terhadap anaknya. Sikap tersebut tercermin dalam perilaku ayah maupun ibu dalam hal menanyakan, mendengarkan, menghargai pendapat, dan memberikan kepedulian, mencintai dengan hangat, membantu pekerjaan, tertawa bersama, bertindak sportif dan pengertian, dan menyatakan cinta kepada anaknya.

Berbicara mengenai pengasuhan, ditemukan adanya korelasi antara pengasuhan dengan kemampuan kontrol diri anak. Dengan kata lain dinyatakan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh perlakuan orangtua terhadap dirinya. Orangtua yang menerapkan pengasuhan dengan gaya otoriter menekankan pada latihan kekuasaan daripada memberikan penjelasan, menuntut anak, dan menerapkan disiplin tinggi dan kurang pemberian kasih sayang. Orangtua otoriter juga mengedepankan kepatuhan dan pemberian hukuman, menggunakan kekuasaan untuk dipatuhi dan tidak mengutamakan ekspresi verbal, sebaliknya keputusan disiplin sebagai putusan yang tidak dapat diganggu gugat (Baumrind 1971). Orangtua yang permisif akan menyebabkan kurangnya kemampuan kontrol diri pada diri anak-anak, dan sebaliknya. Adapun pengasuhan anak dan kurangnya kontrol diri pada anak-anak dapat disebabkan oleh faktor-faktor lainnya seperti kecenderungan genetik, kemiskinan atau lingkungan sosial dan sejarah keluarga (Santrock dan Yuseen 1989). Sementara itu, orangtua dengan gaya demokratis menggabungkan dua pendekatan yaitu orangtua yang memberikan batasan aturan dan memiliki otoritas tinggi, namun sekaligus merupakan orangtua yang hangat, penuh kasih sayang, toleransi, empati, dan memberikan penjelasan dan keterangan yang sesuai dengan pola pikir anak (Hastuti 2008).

Rohner (1986) menggambarkan penerimaan orangtua dengan kehangatan, kasih, dan cinta yang diberikan orangtua pada anaknya melalui dua ekspresi: yaitu secara fisik (memeluk, mencium, membelai, dan tersenyum) dan verbal (memuji atau mengatakan hal-hal yang menyenangkan). Penolakan orangtua berarti tidak diberikan kehangatan, kasih sayang, dan cinta dari orangtua kepada anaknya dengan tiga kategori bentuk utama:

Hostility dan Agression (sikap permusuhan dan agresi)

Secara fisik dengan memukul, menendang, mendorong dan bentuk yang lainnya. Sementara itu, Secara verbal misalnya mengatakan bentuk

(31)

meremehkan, mengutuk, mengkambinghitamkan, mengatakan kata-kata yang tidak baik atau kejam.

Indifference dan Neglect (sikap tidak peduli dan melalaikan)

Menuju pada ketidakmampuan orangtua secara fisik dan psikologis dalam memenuhi kebutuhan anaknya, tidak memperhatikan kebutuhan anak serta mengabaikannya.

Unindifferentiated Rejection (penolakan terhadap anak)

Perasaan tidak dicintai, tidak diinginkan, dan penolakan orangtua yang secara subjektif dirasakan oleh anak tanpa adanya indikator yang jelas secara verbal maupun fisik seperti pada dua bentuk lainnya diatas.

Menurut Rohner (1975) anak yang mengalami penolakan akan cenderung untuk lebih tergantung daripada anak yang mengalami penerimaan. Apabila anak mengalami penolakan, maka kebutuhan akan kehangatan dan kasih sayang tidak terpenuhi sehingga ia akan berupaya keras untuk mendapatkan cinta, perhatian, dan menjadi lebih tergantung. Penolakan dari orangtua tampak dalam bentuk sikap permusuhan dan agresif secara aktif atau pasif. Dalam masyarakat, anak yang mengalami penolakan akan memiliki masalah dalam mengatur sikap permusuhan dan tidak dapat mengeskpresikan agresinya.

Hasil penelitian Puspitawati (2006) menemukan bahwa kurang dari setengah jumlah contoh sekolah negeri maupun swasta mendapatkan perlakuan dan interaksi yang keras dan kasar dari orangtuanya. Hal ini tercermin dalam perilaku orangtua yang mengancam, membuat perasaan bersalah, memukul, menarik rambut, bertengkar, menangis tersedu-sedu apabila tidak puas dengan perbuatan anaknya, menyindir atau sumpah serapah, berbicara dengan kasar, dan memanggil dengan panggilan yang buruk kepada anaknya.

Komunikasi dengan Ayah

Walgito (2004) diacu dalam Tarmizi (2008) menyebutkan komunikasi di dalam keluarga sebaiknya merupakan komunikasi dua arah, yaitu saling memberi dan saling menerima di antara anggota keluarga. Di dalam komunikasi dua arah akan terdapat umpan balik, sehingga akan tercipta komunikasi hidup dan komunikasi yang dinamis. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2004) anak yang mulai menginjak usia remaja membutuhkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk menciptakan interaksi timbal balik, interaksi komunikatif, dan dialogis agar permasalahan yang dihadapi oleh remaja memperoleh bantuan, dorongan dan

(32)

dukungan dari orangtua untuk mengatasinya. Hal ini bisa dicapai dengan pemeliharaan interaksi baik antara remaja dan orangtua, kesempatan yang cukup untuk berbicara antara orangtua dan remaja.

Sikap orangtua mempengaruhi cara orangtua memperlakukan anak dan perlakuan orangtua terhadap anak sebaliknya mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap orangtua. Pada dasarnya hubungan orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat menentukan hubungan keluarga. Sekali hubungan terbentuk, maka cenderung bertahan. Orangtua yang mempunyai kemampuan yang baik tentu akan mempunyai cara, sikap, dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak. Tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi dalam pembinaan anak. Hubungan yang baik dalam keluarga antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota keluarga akan dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan dengan baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al 1995 diacu dalam Kunarti 2004).

Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini menyebabkan semakin melemahnya kualitas komunikasi antar anggota keluarga sehingga memudarkan fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak luar. Disatu sisi, saat ini pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan teknologi komunikasi di era informasi dan globalisasi (Susanto-Sunario 1995 diacu dalam Puspitawati 2006).

Masalah-masalah yang timbul di dalam keluarga, sebenarnya berakar pada kesalahpahaman pengertian dan adanya miskomunikasi. Kesalahan-kesalahan dalam komunikasi pada umumnya disebabkan dua hal: terbatasnya perbendaharaan kata atau sistem simbol dan terbatasnya daya ingat. Untuk itu, perlu diusahakan agar frekuensi komunikasi terutama di dalam keluarga dilibatkan dan dibiasakan selalu memberikan berita-berita yang benar sehingga terjalin komunikasi yang baik antar masing-masing anggota di dalam keluarga. Dengan demikian, di dalam diri anak akan terbiasa melakukan komunikasi dengan baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial (Tarmizi 2008).

Keeratan interaksi dengan Ayah

Interaksi yang dekat penting dalam perkembangan remaja karena interaksi ini berfungsi sebagai contoh atau cetakan yang akan dibawa dari waktu ke waktu untuk mempengaruhi pembentukan interaksi baru. Interaksi dekat tidak dengan sendirinya terulang secara terus menerus selama masa perkembangan

(33)

anak dan remaja. Mutu tiap interaksi juga tergantung sampai tingkatan tertentu dengan siapa interaksi tersebut dibentuk. Jadi, sifat dasar dari interaksi orangtua dengan remaja tidak hanya bergantung pada apa yang terjadi dalam interaksi di masa remaja. Interaksi dengan orangtua selama masa kanak-kanak yang panjang dibawa terus dan mempengaruhi, paling tidak sampai tingkat tertentu, sifat interaksi orangtua dengan remaja, dan masa yang panjang dalam interaksi orangtua-anak juga mungkin mempengaruhi (Santrock 2002).

Anak perempuan yang dekat dengan ayahnya kelak memiliki keinginan berprestasi tinggi dan berani bersaing. Persepsi ayah saat memandang anak perempuannya akan menumbuhkan konsep diri, merasa layak dihormati, dan memiliki kompetensi. Anak perempuan akan cenderung terhindar dari interaksi pacaran yang tidak sehat, karena bisa menghargai diri sendiri seperti halnya ayah menghargainya. Begitu pun, bila ayah dekat dengan anak lelakinya, kemungkinan anak tersebut terjebak dalam masalah kenakalan remaja sangat kecil peluangnya. Ini disebabkan anak lelaki meniru model acuannya, yaitu ayahnya sendiri yang membantu anak berkembang. Anak akan lebih mudah menyerap nilai-nilai yang diberikan sang ayah pada dirinya (Rohman 2008). Kualitas Interaksi Ayah dan Anak

Intensitas jalinan interaksi antara orangtua dan anak dapat menunjukkan perbedaan eratnya keterikatan antara anak dengan orang dewasa yang ada dalam rumah tangga. Rasa cemas yang sering dialami anak dapat meningkatkan intensitas keterikatan, karena anak dapat memperoleh perasaan aman kedekatan dengan ibu dan pengasuhnya. Akan tetapi, interaksi antara orangtua dan anak yang terlalu dekat dapat menyebabkan anak tidak mau lepas dan anak akan menjadi sangat bergantung pada orangtuanya. Sebaliknya jika interaksi antara keduanya renggang atau orangtua bersikap acuh tak acuh terhadap anaknya menyebabkan interaksi menjadi jauh (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Adelia (2006) mengemukakan kualitas interaksi dengan ibu bukan merupakan peramal yang sama kuat mengenai keberhasilan atau kegagalan anak dibandingkan dengan kualitas interaksi anak dengan ayah. Peran aktif ayah dalam mendidik anak ternyata menimbulkan perbedaan yang sangat dahsyat bagi anak-anak dan bisa menentukan masa depan mereka. Ketersediaan waktu ayah akan terbatas karena peran utama ayah dalam keluarga sebagai pencari nafkah. Namun, kualitas interaksi dengan anak harus lebih diutamakan daripada

(34)

kuantitas interaksi. Tindakan seperti permasalahan dalam ruang lingkup pekerjaan sebaiknya tidak dibawa ke rumah.

Harapan Ayah

Harapan adalah persepsi atas kemungkinan pemenuhan kebutuhan tertentu dari seseorang berdasarkan atas pengalaman masa lampau. Persepsi seseorang akan menentukan tindakan. Pandangan atau persepsi orangtua mengenai keberadaan anak dalam kehidupannya, akan menentukan tindakan atau pola asuhnya. Harapan terhadap anak disebut nilai anak. Nilai anak bisa dilihat dari nilai ekonomi, sebagai investasi masa tua atau bahkan investasi masa kini. Dari nilai religius anak dapat dipandang sebagai amanah Yang Maha Pencipta Kehidupan sehingga harus dijaga sebaik-baiknya dan menyiapkan mental untuk suatu saat diambil Yang Maha Kuasa. Dari nilai sosial, kehadiran anak dapat dipandang bahwa anak prestise yang menyiratkan kesempurnaan pasangan, kesuburan, dan kesehatan (Sunarti 2004).

Salah satu penyebab terjadinya stres pada anak adalah rasa khawatir dari orangtua mengenai prestasi anak (Anton 2006). Orangtua yang sering menuntut akan semakin memperbesar rasa stres pada diri anak, misalnya orangtua yang ambisius dan menuntut anak agar prestasi akademiknya baik atau menjadi juara di sekolah, bekerja lebih rajin dari sewajarnya, dan mengikuti berbagai kursus yang padat (Anonim 2003). Kecemasan orangtua akan prestasi anak membuat anak diberi berbagai kursus tanpa memperhitungkan waktu untuk bermain dan bersosialisasi, sehingga membuat anak merasa jenuh dengan rutinitasnya dan prestasi menjadi menurun (Ruffin 2001).

Menurut Awal (2008) penyebab remaja stres biasanya terkait dengan hal-hal yang mereka harapkan seperti bermain musik, berorganisasi, atau olahraga. Namun, orangtua terkadang tidak melihat bahwa hal-hal dilakukan adalah positif. Remaja sendiri sangat perhatian terhadap kata-kata orang lain terhadap dirinya. Misalnya, orangtua berharap anaknya berprestasi bagus di sekolah, tetapi kenyataannya anak akan menjadi stres apabila tidak mampu memenuhi harapan tersebut.

Tingginya harapan terhadap anak merupakan salah satu penyebab perilaku orangtua yang memperlakukan anaknya sebagai orang dewasa mini. Ketidakpuasan atas setiap keberadaan bahkan prestasi anak, melanda dan mendominasi interaksi orangtua dengan anak. kondisi tersebut seringkali diikuti minimnya toleransi orangtua, dan akibatnya orangtua mudah memberikan sanksi

(35)

dan hukuman sehingga anak dibiarkan membesarkan dirinya sendiri dan tidak dicintai apa adanya (Sunarti 2004). Freeberg dan Payne (1967) diacu dalam Handayani (2004), mengindikasikan bahwa ayah dari anak-anak yang berada di sekolah dasar lebih menuntut kenyamanan atau kecocokan dan kepatuhan dibanding pada anak yang berada di sekolah menengah. Pada anak usia sekolah ayah lebih menekankan pada bekal persiapan mereka memasuki lingkungan masyarakat, sedangkan pada anak sekolah menengah ayah merencanakan masa depan anak dengan bekal yang sudah diberikan sebelumnya.

Prestasi Belajar

Kemampuan intelektual siswa sangat menentukan keberhasilan siswa dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui prestasi yang diperoleh siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung. Adapun prestasi dapat diartikan hasil diperoleh karena adanya aktivitas belajar yang telah dilakukan.

Sehubungan dengan prestasi belajar, Poerwanto (1986) diacu dalam Ridwan (2008) memberikan pengertian prestasi belajar yaitu hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam rapor sementara itu, menurut Nasution (1996) diacu dalam Ridwan (2008) prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, afektif, dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut. Prestasi belajar seseorang dinyatakan dalam bentuk nilai atau rapor setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar. Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.

Karakteristik Anak Jenis Kelamin

Jenis kelamin anak akan mempengaruhi harapan orangtua karena orangtua dan lingkungan sosial mempunyai pengharapan yang berbeda bagi

(36)

anak laki-laki dan perempuan. Anak perempuan sering distereotipekan kurang kompeten daripada laki-laki. Hal ini dapat memicu anak-anak perempuan ke arah kurang rasa percaya diri dibanding laki-laki dalam kemampuan intelektual sehingga mereka sering diwujudkan dalam bentuk depresi dan kebiasaan makan yang salah (Santrock 2002). Hasil penelitian Laela (2008) menunjukkan bahwa anak perempuan mempunyai jenis, jumlah, dan alokasi waktu kegiatan di luar sekolah lebih banyak dibanding anak laki-laki.

Urutan Kelahiran

Urutan kelahiran memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan tolok ukur perilaku remaja dan diharapkan mereka memainkan peran tersebut dengan baik. Anak pertama sering digambarkan sebagai anak yang lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif dibandingkan dengan saudaranya. Tuntutan orangtua dan standar yang tinggi yang ditetapkan bagi anak sulung dapat membuat mereka meraih keberhasilan sekolah dan pekerjaan yang lebih baik dibanding saudaranya. Namun demikian, beberapa tekanan yang sama diberikan kepada anak sulung untuk lebih berhasil dapat memberikan rasa bersalah, lebih cemas, kesulitan menghadapi situasi yang menimbulkan stres, dan lebih banyak berkonsultasi ke klinik bimbingan (Santrock 2002).

Anak bungsu biasanya dianggap sebagai ”bayi” di dalam keluarga walaupun sudah tidak bayi lagi, menghadapi resiko menjadi terlalu tergantung, anak yang di tengah cenderung lebih diplomatis, seringkali berperan sebagai penengah dalam pertengkaran (Smith 1982 dalam Santrock 2002). Selain itu, anak tunggal populer dengan konsep anak manja denga sifat-sifat buruk, seperti tergantung pada orangtua, kurang pengendalian diri, dan sifat ingin menang sendiri.

Kepribadian

Kepribadian atau "personality" merupakan sifat dan tingkah laku yang membedakannya dengan orang lain. Kepribadian seseorang dibentuk dan terbentuk oleh faktor internal dan eksternal. Menurut Port (1897) diacu dalam Tahsinul (2007), kepribadian adalah organisasi dinamis yang ada pada

(37)

seseorang di dalam suatu sistem kejiwaan yang menentukan keunikan penyesuaian dengan lingkungannya. Jung (1971) diacu dalam Tahsinul (2007) menyatakan bahwa ada dua kepribadian yaitu ekstrovert dan introvert. Ekstrovert adalah kepribadian yang lebih dipengaruhi oleh dunia objektif, orientasinya terutama tertuju ke luar. Pikiran, perasaan, serta tindakannya lebih banyak ditentukan oleh lingkungan. Sementara itu, introvert adalah kepribadian yang lebih dipengaruhi oleh dunia subjektif, orientasinya tertuju ke dalam sehingga bila tidak dapat menyelesaikan masalah, maka individu tersebut akan menekan masalahnya dan membiarkan masalah menumpuk. Hal ini akan memicu timbulnya stres.

Ekstrovert dan introvert digambarkan oleh Eysenck dan Eysenck (1975) diacu dalam Tahsinul (2007) adalah kepribadian yang khas dari ekstrovert adalah mudah bergaul, suka pesta, mempunyai banyak teman, membutuhkan teman untuk bicara, dan tidak suka membaca atau belajar sendirian, sangat membutuhkan kegembiraan, mengambil tantangan, sering menentang bahaya, berperilaku tanpa berpikir terlebih dahulu, dan biasanya suka menurutkan kata hatinya, gemar akan gurau-gurauan, selalu siap menjawab, dan biasanya suka akan perubahan, riang, tidak banyak pertimbangan (easy going), optimis, serta suka tertawa dan gembira, lebih suka untuk tetap bergerak dalam melakukan aktivitas, cenderung menjadi agresif dan cepat hilang kemarahannya, semua perasaannya tidak disimpan dibawah kontrol sehingga stres yang dihadapi akan cenderung dapat diselesaikan dengan baik, dan tidak selalu dapat dipercaya. Sementara itu, hal yang khas dari introvert adalah pendiam, pemalu, mawas diri, gemar membaca, suka menyendiri dan menjaga jarak kecuali dengan teman yang sudah akrab, cenderung merencanakan lebih dahulu – melihat dahulu – sebelum melangkah, dan curiga, tidak suka kegembiraan, menjalani kehidupan sehari-hari dengan keseriusan, dan menyukai gaya hidup yang teratur dengan baik, menjaga perasaannya secara tertutup, jarang berperilaku agresif, tidak menghilangkan kemarahannya, dapat dipercaya, dalam beberapa hal pesimis, dan mempunyai nilai standar etika yang tinggi. Kepribadian yang dimilki setiap orang berbeda-beda, untuk itu dalam mengatasi tingkat stres yang dialami siswa juga berbeda-beda. Kepribadian yang dimiliki tersebut dapat mempengaruhi tingkat stres yang dilakukannya. Semakin cenderung kearah tipe kepribadian ekstrovert, maka kemungkinan besar semakin baik juga mengatasinya (Alvin 2007).

(38)

Tujuan Hidup dan Cita-cita

Minat remaja pada pekerjaan sangat mempengaruhi besarnya minat mereka terhadap pendidikan. Pada umumnya remaja lebih menaruh minat pada pelajaran-pelajaran yang nantinya dapat bermanfaat dalam bidang pekerjaan yang dipilihnya. Remaja terutama anak sekolah menengah ke atas, mulai memikirkan masa depan dengan bersungguh-sungguh. Anak laki-laki lebih bersungguh-sungguh dalam hal pekerjaan dibandingkan anak perempuan yang memandang pekerjaan sebagai pengisi waktu luang sebelum pernikahan (Al-Mighwar 2006).

Cita-cita merupakan perwujudan dari minat, yang berkaitan dengan masa depan yang direncanakan seseorang dalam menentukan pilihannya, baik yang berkaitan dengan masalah teman hidup, pekerjaan, jenjang pendidikan, atau hal lain yang berkaitan dengan dirinya kelak. Selama masa remaja, minat dan cita-cita berkembang. Minat atau cita-cita-cita-cita remaja awal terhadap sekolah dan jabatan banyak dipengaruhi oleh minat orangtua dan kelompoknya. Remaja awal akan berminat pada sekolah yang menghantarkannya ke perguruan tinggi dan menuju cita-cita jabatannya jika orangtua dan kelompoknya berorientasi kesana. Ane Roe dalam Al-Mighwar (2006) menyatakan bahwa pola pendidikan orangtua mempunyai pengaruh yang besar terhadap pilihan jabatan. Pada masa remaja akhir, minat dan cita-cita pendidikan atau jabatan telah mantap sehingga faktor akhir yang mempengaruhi pemilihan cita-cita yaitu minat dan aspirasi sendiri, minat dan aspirasi orangtua, serta kesan-kesan teman sebaya.

Karakteristik Keluarga Besar Keluarga

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000), kepadatan anggota keluarga dapat mengganggu pola dan interaksi antar anggota keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh, sikap bersaing dan tersisih. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan yang berakibat lebih buruk pada perilaku antar anggota keluarga itu sendiri.

Makin besar anggota keluarga maka jumlah interaksi antar personal yang terjadi akan semakin banyak dan kompleks. Keluarga besar yang terdiri dari banyak orang akan membentuk interaksi yang semakin majemuk dan kemungkinan terjadi ketegangan antara anggota keluarga menjadi lebih besar.

Gambar

Gambar 2 Kerangka pemikiran interaksi antara remaja, ayah, dan sekolah serta hubungannya dengan tingkat  stres menghadapi Ujian Nasional
Tabel 27  (Lanjutan)  Nilai Rapor

Referensi

Dokumen terkait

Tarif parkir mobil kisaran 3.000 rupiah sedangkan tarif parkir motor hanya 1.000 rupiah saja.Setelah itu kita dapat berjalan dari arah utara hingga ke arah selatan, sepanjang jalan

In this research, the observation the beam profiler of laser beam DPSS and laser beam He-Ne by using CCD which is the censor to record the figure of light emited by the laser and

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap karakteristik individu res- ponden, diperoleh informasi bahwa sebagian besar mahasiswa IPB peserta PKMK dan PPKM berjenis kelamin laki-

Direncanakan bahwa air hujan yang telah ditampung tersebut sebagian akan dimanfaatkan sebagai sumber air bersih bagi aktifitas warga yang memanfaatkan bangunan

untuk berpartisipasi sebagai subjek penelitian saya mengenai “GAMBARAN STATUS KARIES GIGI DAN STATUS GIZI PADA ANAK SINDROM DOWN USIA 12-18 TAHUN DI SLB C KOTA MEDAN”..

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diasumsikan minat mahasiswa yang cenderung menurun dikarenakan kekuatan atau dorongan dalam belajar kurang bertahan atau menetap

Di era informasi saat ini, masyarakat mulai membutuhkan layanan Internet untuk kehidupan sehari-hari. Layanan Internet yang dibutuhkan adalah Internet yang

3,