PELAKSANAAN PENGAMANAN KARGO DAN POS YANG DIANGKUT
MELALUI PESAWAT UDARA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA
NO. KP. 152 TAHUN 2012
(
Studi pada PT. Garuda Indonesia, Tbk. Cabang Medan)S K R I P S I
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
RAHMI PAMBPHA P.M NIM : 090200119
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2
PELAKSANAAN PENGAMANAN KARGO DAN POS YANG DIANGKUT
MELALUI PESAWAT UDARA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA
NO. KP. 152 TAHUN 2012
(
Studi pada PT. Garuda Indonesia, Tbk. Cabang Medan)Oleh :
RAHMI PAMBPHA P.M NIM : 090200119
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001
Dosen Pembimbing I
Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001
Dosen Pembimbing II
Aflah, SH, M.Hum NIP. 197005192002212001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
NAMA : RAHMI PAMBPHA P.M
NIM : 090200119
DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN
JUDUL SKRIPSI : PELAKSANAAN PENGAMANAN KARGO DAN POS YANG DIANGKUT MELALUI PESAWAT UDARA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NO. KP. 152 TAHUN 2012
(Studi pada PT. Garuda Indonesia, Tbk Cabang Medan)
Dengan ini menyatakan :
1. Skripsi yang saya tulis ini tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
Medan, Juni 2015
i
ABSTRAK
Rahmi Pambpha P.M* Dr.H. Hasim Purba, SH., M.Hum**
Aflah, SH., M.Hum***
Dalam kehidupan sehari-hari untuk menjangkau wilayah-wilayah di seluruh wilayah bagian Indonesia yang berupa daratan dan sebagian besar perairan yang terdiri atas perairan laut, sungai, dan danau yang sedemikian luas ini membutuhkan banyak pengangkutan melalui daratan, perairan, dan udara yang mampu menjangkau seluruh wilayah negara Indonesia, bahkan ke negara-negara lain. Kenyataan ini mengakibatkan kebutuhan pengangkutan semakin meningkat, baik pengangkutan orang maupun barang (kargo), saat ini pengangkutan kargo yang diangkut melalui pengangkutan udara pelaksanaan pengamanannya masih belum maksimal, masih banyak adanya hal-hal yang janggal terjadi dalam pengangkutan kargo dan pos dengan banyak permasalahan di dalam pengamanannya, permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini ialah bagaimana pelaksanaan dan penerapan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara terkait Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP.152 Tahun 2012, hambatan yang terjadi pada pelaksanaan peraturan tersebut dan bagaimana menyelesaikan masalah yang terjadi dari hambatan tersebut.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Data-data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain, data primer, data sekunder, dan data tersier. Bahan hukum primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara secara langsung melalui studi lapangan (field research), bahan hukum sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research).
Setiap pengangkutan udara sudah semestinya selalu memperhatikan keamanan penerbangan. Pada dasarnya prosedur pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara yang berlaku pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk telah sesuai dengan peraturan yang ada dengan menggunakan empat konsep keamanan berupa Screening, Ground handeling, X-ray,dan Security Avsec Angkasa Pura, namun setelah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 pelaksanaan pengamanan kargo dan pos pada PT. Garuda Indonesia (Persero). Tbk mendapat hambatan yaitu kebijakan yang membagi dua lini di bandar udara, yang menyebabkan proses pengangkutan kargo menjadi lama, dengan adanya hambatan tersebut pihak maskapai melakukan berbagai penyelesaian dengan menambah SDM, mengeluarkan info-info dan bekerja sama dengan pihak bandar udara.
Kata Kunci:Pengamanan Kargo dan Pos, Pesawat Udara
*
Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
ii
rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “Pelaksanaan Pengamanan Kargo Dan Pos Yang Diangkut Melalui Pesawat Udara Dikaitkan Dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012” (studi pada PT. Garuda Indonesia, Tbk. Cabang Medan).
Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran
dan kritik yang sifatnya membangun, sehingga dapat menjadi perbaikan di masa yang akan datang,
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak baik secara moril maupun materil, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.H, D.F.M, selaku Wakil Dekan II
Fakultas Hukum Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. O.K. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
iii
5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai
Dosen Pembimbing I saya yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan, serta nasihat dalam penulisan skripsi ini.
6. Ibu Rabiatul Syariah, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Ibu Aflah, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II dengan sosok keibuan
nan lembutnya telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing, menasihati, memberikan saran serta bantuan dalam penulisan skripsi ini
hingga selesai, terimakasih banyak bu.
8. Ibu Rabiatul Syariah, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Ibu Sinta Uli, SH., M.Hum, selaku dosen pengajar hukum keperdataan yang telah banyak berjasa mentransfer ilmu-ilmuyang mudah dimengerti dan
dipahami selama perkuliahan.
10.Ibu Hj. Puspa Melati, SH., M.Hum, selaku dosen pengajar hukum
keperdataan.
11.Bapak dan Ibu Dosen pengajar, serta seluruh staf di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
12.Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan untuk papa dan mama tercinta tersayang Nurmala Sari Tarigan yang telah banyak berkorban,
iv
Komisariat Fakultas Hukum USU yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
15.Keluarga Mapala Natural Justice FH USU, abang-abang pendiri terima kasih untuk segala bimbingan dan arahannya, perintis, adek-adek angkatan cakrawala, adek-adek angkatan manusia ilusi, yang tidak bisa disebut satu per
satu, ayok cepat sarjana, rajin-rajin kuliahnya yang masih kuliah, makasih ya buat dukungan, hiburan, dan semuanya.
16.Sepupu-sepupu tercinta yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
17.Rekan-rekan satu setambuk 2009, Yenny, Nova, Fenny, Angga, Cipo, dan
teman-teman lainnya yang pernah sama-sama berjuang.
18.Rekan-rekan se-almamater Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kita
semua, akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Medan, Juni 2015 Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 6
C. Tujuan Penulisan ... 7
D. Manfaat Penulisan ... 8
E. Keaslian Penulisan ... 8
F. Metode Penelitian ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II :
PENGANGKUTAN UDARA MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009
TENTANG PENERBANGAN
A. Pengertian dan Landasan Hukum Pengangkutan Udara . 15 B. Pihak-pihak yang terkait dalam Pengangkutan Udara .... 24C. Dokumen-dokumen dalam Pengangkutan Udara ... 26
D. Perjanjian Pengangkutan Udara ... 33
E. Penyelenggaraan Pengangkutan Udara ... 42
vii
D. Pelaksanaan Pengangkutan Kargo oleh PT.Garuda
Indonesia (Persero), Tbk ... 70
BAB IV :
PELAKSANAAN PENGAMANAN KARGO DAN
POS YANG
DIANGKUT MELALUI PESAWAT
UDARA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN
DIREKTUR
JENDERAL
PERHUBUNGAN
UDARA
NO. KP. 152 TAHUN 2012
A. Penerapan dan Pelaksanaan Pengamanan Kargo dan Pos yang Diangkut melalui Pesawat Udara Dikaitkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan
Udara No. Kp. 152 Tahun 2012 Di PT. Garuda
Indonesia (Persero), Tbk ... 72
B. Hambatan-hambatan yang Dihadapi Dalam
Pelaksanaan Pengamanan Kargo dan Pos yang Diangkut melalui Pesawat Udara di PT.Garuda
Indonesia (Persero), Tbk. Sebelum dan Sesudah Adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan
Udara No. Kp. 152 Tahun 2012... 77 C. Penyelesaian Hambatan-hambatan yang Dihadapi
Dalam Pelaksanaan Pengamanan Kargo dan Pos yang
viii
D. Adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012 ... 80
BAB V :
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan ... 82i
Aflah, SH., M.Hum
Dalam kehidupan sehari-hari untuk menjangkau wilayah-wilayah di seluruh wilayah bagian Indonesia yang berupa daratan dan sebagian besar perairan yang terdiri atas perairan laut, sungai, dan danau yang sedemikian luas ini membutuhkan banyak pengangkutan melalui daratan, perairan, dan udara yang mampu menjangkau seluruh wilayah negara Indonesia, bahkan ke negara-negara lain. Kenyataan ini mengakibatkan kebutuhan pengangkutan semakin meningkat, baik pengangkutan orang maupun barang (kargo), saat ini pengangkutan kargo yang diangkut melalui pengangkutan udara pelaksanaan pengamanannya masih belum maksimal, masih banyak adanya hal-hal yang janggal terjadi dalam pengangkutan kargo dan pos dengan banyak permasalahan di dalam pengamanannya, permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini ialah bagaimana pelaksanaan dan penerapan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara terkait Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP.152 Tahun 2012, hambatan yang terjadi pada pelaksanaan peraturan tersebut dan bagaimana menyelesaikan masalah yang terjadi dari hambatan tersebut.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Data-data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain, data primer, data sekunder, dan data tersier. Bahan hukum primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara secara langsung melalui studi lapangan (field research), bahan hukum sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research).
Setiap pengangkutan udara sudah semestinya selalu memperhatikan keamanan penerbangan. Pada dasarnya prosedur pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara yang berlaku pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk telah sesuai dengan peraturan yang ada dengan menggunakan empat konsep keamanan berupa Screening, Ground handeling, X-ray,dan Security Avsec Angkasa Pura, namun setelah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 pelaksanaan pengamanan kargo dan pos pada PT. Garuda Indonesia (Persero). Tbk mendapat hambatan yaitu kebijakan yang membagi dua lini di bandar udara, yang menyebabkan proses pengangkutan kargo menjadi lama, dengan adanya hambatan tersebut pihak maskapai melakukan berbagai penyelesaian dengan menambah SDM, mengeluarkan info-info dan bekerja sama dengan pihak bandar udara.
Kata Kunci:Pengamanan Kargo dan Pos, Pesawat Udara
*
Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadaan geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, dengan
beribu-ribu pulau besar dan kecil berupa daratan dan sebagian besar perairan yang
terdiri atas perairan laut, sungai, dan danau.Diatas teritorial daratan dan perairan
tersebut terbentang teritorial udara, semuanya itu merupakan wilayah negara
Indonesia yang sangat luas.1
Keadaan wilayah negara Indonesia yang sedemikian luas ini membutuhkan
banyak pengangkutan melalui daratan, perairan, dan udara yang mampu
menjangkau seluruh wilayah negara Indonesia, bahkan ke negara-negara lain.
Kenyataan ini mengakibatkan kebutuhan pengangkutan di Indonesia semakin
meningkat sesuai dengan lajunya pembangunan fisik ataupun psikis serta
perkembangan penduduk Indonesia yang tersebar di seluruh pulau yang diselingi
laut.2
Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari, mulai dari zaman kehidupan
manusia yang paling sederhana (tradisional) sampai kepada taraf kehidupan
manusia yang modern senantiasa didukung oleh kegiatan pengangkutan, bahkan
salah satu barometer penentu kemajuan kehidupan dan peradaban suatu
1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hal. 30
2
masyarakat adalah kemajuan dan perkembangan kegiatan maupun teknologi yang
dipergunakan masyarakat tersebut dalam kegiatan pengangkutan,3 namun di sisi
lain infrastruktur dan sarana pengangkutan melalui jalur darat, laut, dan udara
yang telah lama ada kini masih belum juga memenuhi persyaratan secara wajar
atau dengan kata lain sudah tidak sesuai lagi dengan sistem pengangkutan
modern. Keadaan ini adalah salah satu dari alasan yang menjadi pendorong
pembangunan hukum dan pengangkutan modern dengan menggunakan alat
pengangkut modern yang digerakan secara mekanik.4
Pengangkutan modern dengan menggunakan alat pengangkut modern yang
digerakan secara mekanik salah satunya ialah pengangkutan udara yang menggunakan alat angkut berupa pesawat udara. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang berlaku sekarang, didalamnya hanya diatur mengenai angkutan laut
dan angkutan perairan lainnya, sedangkan angkutan darat, dan angkutan udara sama sekali tidak diatur di dalamnya. Hal tersebut dapat dimengerti karena pada
adad yang lalu alat angkutan darat baru merupakan alat yang ditarik oleh hewan, belum berkembang seperti sekarang ini, sedangkan angkutan udara baru lahir setelah tahun 1919.5
Pengangkutan atau transportasi dengan menggunakan moda pesawat udara
lebih menguntungkan dibandingkan dengan menggunakan moda transportasi di
jalan dengan menggunakan mobil, kereta api maupun laut dengan menggunakan
kapal laut, karena transportasi udara dengan menggunakan pesawat udara lebih
3
Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hal. 3.
4
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 31.
5
3
cepat, nyaman dapat menjangkau tujuan yang jauh tanpa hambatan atau
kemacetan seperti perjalanan dengan moda transportasi di jalan. Transportasi
udara dengan menggunakan pesawat udara tarifnya relatif terjangkau bagi
masyarakat sejak tahun 2000 sampai sekarang, namun para pengguna jasa pesawat
udara juga harus memperhatikan masalah keamanan dan keselamatan
penerbangan yang sangat penting di dalam penerbangan, karena itu masalah
keamanan dan keselamatan menjadi perhatian utama bagi penyelenggaran
penerbangan baik bagi pabrikan, regulator, perusahaan penerbangan, operator
bandar udara maupun pengguna jasa penerbangan.6
Dalam penyelenggaraan penerbangan, Undang-Undang No. 1 Tahun 2009
penyelenggarakan penerbangan bertujuan mewujudkan penerbangan yang tertib,
teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari
praktik persaingan usaha yang tidak sehat, memperlancar arus perpindaan orang
dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan
udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional, membina
jiwa kedirgantaraan, menjunjung kedaulatan negara, menciptakan daya saing
dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional,
menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan
nasional, memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan
wawasan nusantara, meningkatkan ketahanan nasional, dan mempererat hubungan
antar bangsa, serta berasaskan manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan
6K. Martono, at.al, Transportasi Bahan dan/atau Barang Berbahaya dengan Pesawat
merata, keseimbangan, keserasian dan keselarasan, kepentingan umum,
keterpaduan, tegaknya hukum, kemandirian, anti monopoli dan keterbukaan,
berwawasan lingkungan hidup, kedaulatan negara, kebangsaan, serta
kenusantaraan.7
Pada mulanya, pesawat udara hanya digunakan untuk mengangkut
penumpang sehingga tidak mengherankan apabila pertumbuhan hukum tentang
tanggung jawab pengangkut udara terhadap penumpang lebih pesat dari pada
pertumbuhan tanggung jawab pengangkut terhadap kargo. Dalam
perkembangannya, pengangkutan kargo mulai menampakan peranan penting.
Sebagai contoh pada waktu Kota Paris tahun 1870 dikepung, kargo mulai
digunakan untuk membuat jembatan udara dengan menggunakan balon udara.
Pengiriman kargo terjauh dimulai ketika dilakukan pengiriman dari Dayton ke
Ohio Amerika Serikat tahun 1910 yang menempuh jarak hampir 100 km, dan
penerbangan komersial kargo pertama dilakukan antara London dan Paris pada
tahun 1919. Konvensi pertama yang mengatur pengangkutan udara internasional
dimulai tahun 1919 yang disebut Konvensi Paris, namun konvensi ini tidak pernah
berlaku. Pada mulanya konvensi tentang kargo dan penumpang akan dibuat secara
terpisah, tetapi karena mengingat pertimbangan ekonomis dan kesatuan (uniform)
maka akhirnya pengaturan keduanya, kargo dan penumpang disatukan.8
7Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Alinea 6.
8
5
Pimpinan sidang pada konferensi di Warsawa menyatakan bahwa suatu
konvensi merupakan atau dibentuk atas konsesi yang seimbang (mutual
consession). Oleh karena itu dipandang perlu membuat suatu sistem hukum yang
seimbang dan bebas, sikap itulah yang menyebabkan Konvensi Warsawa berhasil
disahkan. Hasil penting dari Konvensi Warsawa 1929 adalah keseragaman dalam
aturan hak-hak penumpang dan pengirim/penerima kargo dalam pengangkutan
udara, keseragaman tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan udara
internasional serta istilah-istilah dalam kontrak. Konvensi Warsawa kemudian
diperbaharui dengan The Hague Protocol 1955 yang mengubah beberapa aturan
dalam Konvensi Warsawa 1929.9
Pada pengangkutan udara dengan pesawat tebang keselamatan penerbangan sangat penting, dimana keselamatan penerbangan adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya, untuk menjaga dan meningkatkan keselamatan dan keamanan penerbangan pemerintah membuat peraturan-peraturan nasional terkait keselamatan dan keamanan penerbangan baik untuk mengangkut orang maupun barang (kargo dan pos).
Saat ini pengangkutan kargo yang diangkut melalui pengangkutan udara pelaksanaan pengamanannya masih belum maksimal, masih banyak adanya hal-hal yang janggal terjadi dalam pengangkutan kargo dan pos seperti perbedaan berat isi dari kargo tersebut dengan berat yang ada pada surat muatan udara itu
9
sendiri, dan perbedaan antara jenis yang terdapat di dalamnya dengan jenis yang tercantum dalam surat muatan udara serta masih adanya barang-barang berbahaya yang lolos pada pengiriman kargo dan pos melalui pengangkutan udara, dan hal-hal lainnya.
Pengaturan terkait dengan keselamatan dan pengamanan penerbangan terhadap pengangkutan barang (kargo dan pos) salah satunya ialah Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Kargo Dan Pos Yang Diangkut Dengan Pesawat Udara setelah mencabut Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP 255/IV/2011 tentang Pemeriksaan Keamanan Kargo Dan Pos Yang Diangkut Dengan Pesawat Udara dimana peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan pengamanan dan keselamatan pada pengangkutan udara yang berupa kargo dan pos.
B. Permasalahan
Berdasarkan judul skripsi ini mengenai “Pelaksanaan Pengamanan
Kargo Dan Pos Yang Diangkut Melalui Pesawat Udara Dikaitkan Dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 (Studi pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk)”, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan dan pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang
7
2. Apa saja hambatan-hambatan yang di hadapi dalam pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., Sebelum dan sesudah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012.
3. Bagaimana penyelesaian hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., Sebelum dan sesudah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penerapan dan pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara dikaitkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., sebelum dan sesudah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012. 3. Untuk mengetahui penyelesaian hambatan-hambatan dalam pelaksanaan
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan skripsi ini secara teoritis adalah meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam ilmu hukum dagang khususnya hukum pengangkutan tentang pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara dikaitkan dengan adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 yang bermanfaat bagi pengangkutan yang ada di Indonesia agar dapat meningkatkan kemajuan serta kelancaran pengangkutan serta pengamanan kargo dan pos melalui pengangkutan udara, sekaligus dapat mengikuti perkembangan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai hukum pengangkutan dan hukum pengangkutan udara.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini adalah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain itu melalui penulisan skripsi ini juga menambah pengetahuan dan wawasan kita akan pengangkutan udara serta pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara.
9
Adapun judul skripsi yang telah ada pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara cabang Fakultas Hukum USU/Pusat Dokumentasi dan Informasi FH USU adalah :
Nama : Arisanta P.H.S NIM : 070200051 Tahun : 2011
Judul : Tanggung Jawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara Perjanjian Angkutan Kargo Melalui Pengangkutan Udara
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana hubungan hukum antara pengguna jasa angkutan kargo dengan pihak Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat udara?
2. Apa saja bentuk-bentuk kerugian dalam angkutan kargo udara? 3. Bagaimana tanggung jawab pihak Perusahaan Ekspedisi Muatan
Pesawat Udara terhadap pengguna jasa angkutan kargo akibat kerusakan, kehilangan, dan kemusnahan kargo?
Nama : Emariana Surya Putri
NIM : 940200062
Judul : Suatu Tinjauan Terhadap Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Angkutan Udara Antara Pengirim dan Freight Forwading (Studi Kasus
PT. Prima International Cargo Cabang Medan) Nama : Irne Deliz Saragih
Judul : Aspek Hukum Dalam Pengiriman Barang Melalui Biro Air Cargo
(Studi Kasus PT. Dharma Bandar Mandala Medan)
F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian
hukum normatif dan penelitian hukum empiris, penelitian hukum normatif
dimana bahan atau materi penulisan diperoleh dengan mengkaji peraturan
perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152
Tahun 2012 Pengamanan Kargo dan Pos melalui Pesawat Udara, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW), serta literatur lainnya yang
berhubungan dengan skripsi ini, sedangkan penelitian hukum empiris
terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektivitas hukum
yang diperoleh dengan melakukan wawancara dengan pihak PT. Garuda
Indonesia (Persero), Tbk.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
berupa data sekunder. Data sekunder yang dimaksud penulis adalah
sebagai berikut:
11
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan bahan hukum
primer berupa peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Peraturan Direktur
Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Kargo Dan Pos Yang Diangkut Melalui Pesawat Udara,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Selain itu, hasil
wawancara yang diperoleh melalui studi lapangan pada PT. Garuda
Indonesia (Persero), Tbk.
b. Bahan Hukum Sekunder
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan bahan hukum
sekunder yang terdiri atas semua catatan, buku-buku, makalah, artikel
tentang hukum, jurnal-jurnal hukum, dan situs internet (website).
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan
yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus
hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang
hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang
3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
a. Studi Kepustakaan (library research) yaitu studi dokumen dengan
mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, berupa literatur-literatur, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun
bahan hukum tertier. Disini penulis mengumpulkan sebanyak mungkin bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi dan permasalahan yang diteliti, selanjutnya menginventarisasi bahan-bahan tersebut
sehingga pada akhirnya permasalahan semakin jelas dan dapat dipecahkan.
b. Studi Lapangan (field research) yaitu studi yang langsung dilakukan di lapangan. Data yang diperoleh adalah berasal dari proses wawancara yang dilakukan langsung kepada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk. 4. Analisa Data
Analisa data yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu dengan menggunakan kenyataan-kenyataan yang terungkap dari data sekunder yang dihimpun dimana kemudian berdasarkan hasil analisis data tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan pola berfikir deduktif-induktif.
G. Sistematika Penulisan
13
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : PENGANGKUTAN UDARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN
Dalam bab ini dibahas mengenai pengertian dan landasan hukum pengangkutan udara, pihak-pihak yang terkait dalam pengangkutan udara, dokumen-dokumen dalam pengangkutan udara, perjanjian pengangkutan udara, penyelenggaraan pengangkutan udara.
BAB III : PENGAMANAN KARGO YANG DIANGKUT MELALUI ANGKUTAN UDARA
Dalam bab ini memaparkan pengaturan tentang pengamanan kargo pengangkutan udara, jenis-jenis kargo dalam pengangkutan udara, prosedur kengamanan kargo pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk, pelaksanaan pengangkutan kargo oleh PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk.
BAB IV : PELAKSANAAN PENGAMANAN KARGO DAN POS YANG DIANGKUT MELALUI PESAWAT UDARA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NO. KP. 152 TAHUN 2012
Kp. 152 Tahun 2012 Di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., sebelum dan sesudah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012, penyelesaian hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., sebelum dan sesudah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini penulis menyampaikan pendapat berupa kesimpulan
15
BAB II
PENGANGKUTAN UDARA MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN
A. Pengartian dan Landasan Hukum Pengangkutan Udara 1. Pengertian Pengangkutan Udara
Istilah “Pengangkutan” berasal dari kata “angkut” yang berarti
“mengangkut atau membawa”, sedangkan istilah “pengangkutan” dapat diartikan
sebagai “pembawaan barang-barang atau orang-orang (penumpang).10
Pengertian pengangkutan adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.11
Pengangkutan dalam arti luas dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan M. N Nasution menyatakan
pengangkutan adalah hal yang membuat sebuah bangsa menjadi besar dan makmur, yakni tanah yang subur, kerja keras, dan kelancaran pengangkutan orang dan barang dari satu bagian negara ke bagian bagian lainnya.12
10
Hasim Purba, Op. Cit, hal. 3.
11
H. M. N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum Pengangkutan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 2.
12
Dalam hal ini unsur-unsur pengangkutan ialah sebagai berikut :13 a. Ada sesuatu yang diangkut
b. Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutnya, dan c. Ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.
Proses pengangkutan itu merupakan gerak dari tempat asal dari mana
kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan di mana angkutan itu diakhiri.
Pengangkutan juga dapat diartikan dalam arti sempit yang meliputi kegiatan
membawa penumpang atau barang dari stasiun/terminal/pelabuhan/bandara
tempat pemberangkatan ke stasiun/terminal/pelabuhan/bandara tujuan. Untuk
menentukan pengangkutan itu dalam arti luas atau arti sempit bergantung pada
perjanjian pengangkutan yang dibuat oleh pihak-pihak, bahkan kebiasaan
masyarakat.14
Fungsi Pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu
tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan
nilai merupakan tujuan dari pengangkutan, yang berarti bila daya guna dan nilai
di tempat baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab
merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang. Fungsi
pengangkutan yang demikian itu tidak hanya berlaku di dunia perdagangan saja,
13
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, FH UII Press, Yogyakarta, 2006, hal. 178.
14
17
tetapi juga berlaku di bidang pemerintahan, politik, sosial, pendidikan, hankam
dan lain-lainnya.15
Subjek hukum pengangkutan terdiri dari :
a. Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan
b. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan
Objek hukum pengangkutan terdiri dari : a. Alat pengangkut
b. Muatan yang diangkut c. Biaya pengangkutan d. Dokumen pengangkutan
Adapun tujuan dari pengangkutan ialah untuk tiba di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang ataupun barang yang
diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan dari satu tempat ke tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan, sesuai dengan waktu yang direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang dalam
keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit, atau meninggal dunia.Jika yang diangkut itu barang, selamat artinya barang yang
diangkut tidak mengalami kerusakan, kehilangan, kekurangan, atau kemusnahan.16 Adapun jenis-jenis pengangkutan sesuai dengan alat angkut yang ada sesuai dengan wilayah pengangkutannya, Ridwan Khairandy mengklasifikasikan
macam-macam moda pengangkutan sebagai berikut:17
15
H. M. N Purwosutjipto,Op. Cit., hal. 1-2.
16
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal. 15.
17
a. Pengangkutan Darat :
1. Pengangkutan melalui jalan (raya)
2. Pengangkutan dengan kereta api b. Pengangkutan Laut
c. Pengangkutan Udara
Sedangkan Hasim Purba membedakan jenis-jenis pengangkutan itu sebagai berikut:18
a. Pengangkutan di darat, yang terdiri dari: 1. Pengangkutan dengan kendaraan bermotor
2. Pengangkutan dengan kereta api 3. Pengangkutan dengan tenaga hewan
b. Pengangkutan di perairan yang terdiri dari: 1. Pengangkutan di laut
2. Pengangkutan di sungai dan danau
3. Pengangkutan penyeberangan c. Pengangkutan udara.
Pengertian angkutan udara atau pengangkutan udara itu sendiri telah diuraikan pada ketentuan umum Undang-Undang No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang berbunyi:
“Setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.”
Pengangkutan udara ialah pengangkutan yang diangkut dengan pesawat udara, pesawat udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer
18
19
karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.
Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaga sendiri.
Kegiatan angkutan udara terbagi dua, angkutan udara niaga dan angkutan
udara bukan niaga, tujuan khusus pengangkutan udara dengan pesawat udara
niaga ialah:19
1. Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat,
aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktik persaingan
usaha yang tidak sehat
2. Memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan
mengutamakan dan melindungi pengangkutan udara dalam rangka memperlancar
kegiatan perekonomian nasional
3. Membina jiwa kedirgantaraan
4. Menjunjung kedaulatan Negara
5. Menciptakan daya saing dengan pengembangan teknologi dan industri
pengangkutan udara nasional
6. Menunjang, menggerakan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan
nasional
19
7. Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan
Wawasan Nusantara
8. Meningkatkan ketahanan nasional, dan
9. Mempererat hubungan antar bangsa
2. Landasan Hukum Pengangkutan Udara
Peraturan-peraturan yang menjadi dasar-dasar hukum pengangkutan udara di Indonesia ialah:20
a. Undang-undang
Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan yang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1992 tentang Penerbangan, kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi setelah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
b. Ordonansi
1. Luchtverkeersverordening (S. 1936 - 425), yang mengatur lalu
lintas udara, misalnya: mengenai penerangan, tanda-tanda dan isyarat-isyarat yang harus dipergunakan dalam penerbangan dan
lain-lain.
2. Verordening Toezicht Lucthtvaart (S.1936 - 426), yang merupakan peraturan pengawasan atas penerbangan dan mengatur antara lain
pengawasan atas personil penerbangan, selanjutnya pemeriksaan
20
21
sebab-sebab kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di wilayah Indonesia dan lain-lain.
3. Luchtvaartquarantine Ordonnantie (S. 1939 - 149, jo S.1939 - 150) yang mengatur persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
pencegahan disebarkannya penyakit menular oleh penumpang- penumpang pesawat terbang.
4. Luchtvervoerordonnantie (S. 1939 –100), Ordonansi Pengangkutan
udara, yang mengatur pengangkutan penumpang, bagasi, dan pengangkutan barang serta pertanggung jawab pengangkutan
udara. Pada Ordonansi ini negara-negara di dunia tunduk secara global (umum), termasuk Indonesia kecuali jika telah ada
peraturan khusus yang dibuat oleh masing-masing negara. c. Peraturan Pemerintah
1. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan
Udara yang diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2000.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1996 tentang Kebandarudaraan.
d. Perjanjian-Perjanjian Internasional dan Perjanjian Khusus
1. Perjanjian Warsawa 1929
Perjanjian Warsawa tanggal 12 Oktober 1929, yang berlaku di
100). Bunyi konsiderans “Luchtvervoerordonnantie” sebagai berikut :
“Dat Hij, in aansluiting aan het op 12 October 1929 te Waarschau gesloten en op 29 September 1933 voor Indonesia in werking getreden verdrag tot het brengen van eenheid in enige bepalingen inzake het internasional luchtvervoer (S. 1933 - 344) voorzieningen willende treffen inzake het binnenlandsch luchtvervoer, zoveel mogelijk overeenkomstig de bij de wet van 10 September 1936 (Ned. S. 1936 - 523) voor Nederland vestgestelde voorschriften; enz.”
(Bahwa dia dengan menghubungkan perjanjian Warsawa tanggal
12 Oktober 1929, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933, yang mempersatukan beberapa ketentuan
mengenai pengangkutan udara internasional (S. 1933 - 344), hendak mengatur tentang pengangkutan udara nasional yang
sedapat mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dengan undang-undang Nederland tanggal 10 September 1936 (Ned. S. 1936 -523). Pasal 1, “Lechtvervoerordonnantie” (S. 1939 - 100)
berbunyi:
“De bepalingen van deze ordonnantie vinden toepassing, voozoveel niet ingevolgen het op 12 October 1929 te Waarschau gesloten en op 29 September 1933 voor Indonesia in werking getreden verdrag tot het brengen van eenheid in enige bepalingen inzake het interrnationale luchtvevoer (S. 1933 - 344), hierna te noemen “het vengrdrag”, een andere voorzieningen geldt”
(Ketentuan-ketentuan dari ordonansi ini berlaku, bila perjanjian tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa, yang berlaku di Indonesia
23
(S. 1933 - 344) selanjutnya disebut “Perjanjian”, tidak menetapkan ketentuan lain).21
2. Perjanjian Roma 1933
Perjanjian Roma tanggal 29 Mei 1933, tentang “Convention on
Damage caused by Foreign Aircraft to Third Parties on The
Surface”. Perjanjian ini mengatur tentang tanggung jawab
pengangkut udara mengenai kerusakan/kerugian yang ditimbulkan
pada pihak ketiga di muka bumi. Perjanjian ini diperbaharui pada tahun 1952.
3. Perjanjian internasional khusus pengangkutan, International Air Transport Association (IATA).
Sebagai suatu organisasi internasional, dalam mana tergabung sebagian besar pengangkutan-pengangkutan udara di seluruh dunia, mempunyai kekuasaan yang tidak sedikit terhadap
anggota-anggotanya. IATA telah menyetujui “General Condition of Carriage” (syarat-syarat umum pengangkutan), baik untuk
penumpang, bagasi maupun untuk barang, berdasarkan ketentuan-ketentuan perjanjian Warsawa. Syarat-syarat umum pengangkutan ini bertujuan untuk mengadakan keseragaman dalam syarat-syarat
pengangkutan bagi para anggotanya, berlaku bagi para anggotanya, berlaku bagi pengangkutan udara internasional yang
diselenggarakan oleh pengangkut udara anggota IATA. Selain
21
daripada itu, setiap pengangkut udara mempunyai pula syarat-syarat khusus sendiri yang didasarkan pada “General Condition of
Carriage” dari IATA. Syarat khusus itu selalu dapat diminta dan
dilihat oleh setiap orang yang akan membeli tiket atau akan
mengangkut barangnya dengan pesawat terbang dari pengangkut udara yang bersangkutan. Syarat-syarat khusus ini perlu diketahui dahulu oleh calon penumpang atau pengirim barang, sebab dalam
tiket penumpang itu selalu disebutkan bahwa pengangkutan udara dengan tiket itu tunduk pada syarat-syarat khusus pengangkutan
dan Ordonansi Pengangkutan Udara di Indonesia.
B. Pihak-pihak yang Terkait dalam Pengangkutan Udara
Dalam sistem angkutan udara ada beberapa pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pengangkutan yaitu:
a. Pengangkut
Secara umum, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Indonesia tidak dijumpai defenisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut.22 Pengangkut adalah barang siapa yang baik dengan persetujuan charter menurut waktu (time charter) atau charter menurut perjalanan baik dengan suatu
persetujuan lain mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang seluruhnya maupun sebagian melalui pengangkutan. Pengangkut menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 adalah suatu badan usaha angkutan udara
22
25
niaga yang pemegang izin kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undang-undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara
niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.
b. Pengirim
Pengirim tidak didefinisikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan selain itu dia juga memberikan muatan. Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut
muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima dan menjaga keselamatan barang muatan itu. Dalam
sistem angkutan udara dengan multimoda transportasi pihak-pihak dalam pengangkutan yang dikemukakan Sinta Uli terdiri dari beberapa pihak yaitu:23
1. Pengirim Barang
Pengirim barang dalam sistem angkutan bisa saja bukan pemilik barang, tetapi pihak yang diberikan kuasa untuk melakukan pengiriman barang. Seperti dalam sistem MTO biasanya pengirim barang adalah forwarding
yang memegang B/L FIATA yang oleh karena tidak mempunyai sistem angkutan udara sendiri, maka pengangkut tersebut disubkontrakkan kepada perusahaan angkutan udara. Jadi dalam sistem MTO pihak pengirim barang bukanlah pemilik barang tetapi perusahaan forwarding
yang memberikan kuasa berdasarkan B/L FIATA mensubkontrakkan kepada perusahaan angkutan udara.
23
2. Pengangkut
Pihak pengangkut dalam angkutan udara adalah perusahaan angkutan udara yang diberikan kuasa oleh pengirim untuk melakukan pengangkutan barang ke suatu tujuan tertentu.
C. Dokumen-dokumen dalam Pengangkutan Udara
Dokumen pengangkutan udara dengan pesawat udara terdiri atas tiket penumpang, tiket bagasi, dan surat muatan udara. Tiket penumpang dan tiket
bagasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, tetapi undang-undang ini tidak memuat perincian keterangan isi dokumen.24
Pengangkutan udara dengan pesawat udara diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 150 mencantumkan bahwa dokumen pengangkutan udara terdiri dari tiket penumpang pesawat udar, pas masuk
pesawat udara (boarding pass), tanda pengenal bagasi (baggage
identification/claim tag) dan surat muatan udara (airway bill) 1. Tiket Penumpang Pesawat Udara
Pengertian tiket menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 ialah
dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau
diangkut dengan pesawat udara.
24
27
Pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif. Tiket Penumpang sebagaimana dimaksud dalam pasal 151
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 paling sedikit memuat :
a. Nomor, tempat, dan tanggal penerbitan b. Nama penumpang dan nama pengangkut
c. Tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan d. Nomor penerbangan
e. Tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada dan
f. Pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Menurut ketentuan OPU Indonesia, tiket penumpang diterbitkan tidak atas nama (niet op naam) sebab dalam ketentuan tersebut tidak ada ketentuan mencantumkan nama penumpang. Pasal itu hanya memuat butir-butir berikut
ini:25
a. Tempat dan tanggal penerbitan
b. Bandara pemberangkatan dan tujuan
c. Pendaratan yang direncanakan di tempat antara bandara pemberangkatan dan tujuan mengingat hak pengangkut udara untuk mengajukan syarat bahwa dia
bila perlu dapat mengadakan perubahan dalam pendaratan d. Nama dan alamat pengangkut udara
e. Pemberitahuan bahwa pengangkutan udara tunduk pada ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur oleh ordonansi ini atau Perjanjian Warsawa Pasal 5 ayat (1) OPU Indonesia.
Dalam praktik perjanjian pengangkutan udara, nama penumpang justru
harus dicantumkan dalam tiket penumpang. Tiket penumpang harus diterbitkan
25
“atas nama” (on name). Pencantuman nama penumpang perlu karena dia adalah
pihak dalam perjanjian dan untuk kepastian dalam pengangkutan udara.26 Tiket
tidak perlu dinyatakan merupakan perjanjian pengangkutan udara namun tetap
tiket itu merupakan tanda bukti adanya perjanjian pengangkutan udara, dan
perjanjian pengangkutan udara itu tetap bersifat konsensuil.27
2. Pas Masuk Pesawat Udara (Boarding Pass)
Pengangkut harus menyerahkan pas masuk pesawat udara, pas masuk
pesawat udara pada pasal 152 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 paling sedikit memuat:
a. Nama penumpang b. Rute penerbangan c. Nomor penerbangan
d. Tanggal dan jam keberangkatan e. Nomor tempat duduk
f. Pintu masuk ke ruang tunggu menuju pesawat udara (boarding gate) dan g. Waktu masuk pesawat udara (boarding time).
3. Tanda Pengenal Bagasi (baggage identification/claim tag)
Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009, mewajibkan
menyerahkan tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada pasal 150 huruf c kepada penumpang. Tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada Pasal
153 ayat (1) paling sedikit memuat:
a. Nomor tanda pengenal bagasi
b. Kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan c. Berat bagasi
26
Ibid, 135-136.
27
29
Tiket Bagasi merupakan tanda bukti penitipan barang, yang nanti bila penumpang turun dari pesawat terbang, barang bagasi itu akan diminta kembali.
Dipandang dari sudut perjanjian pengangkutan, maka perjanjian penitipan bagasi ini merupakan “accessoire verbintenis.” Jadi, tiket bagasi itu hubungannya erat
sekali dengan perjanjian pengangkutan, meskipun begitu dengan tidak adanya tiket bagasi, suatu kesalahan di dalamnya atau hilangnya tiket bagasi itu tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara, yang tetap
tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam OPU (Pasal 6 ayat (5) OPU), akan tetapi bila pengangkut udara menerima bagasi untuk diangkut tanpa memberikan suatu
tiket bagasi, maka dia tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-ketentuan OPU, yang meniadakan atau membatasi tanggung jawab.
Dari ketentuan ini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk kepentingan sendiri, pengangkutan udara harus memberikan tiket bagasi kepada penumpang, sebab kalau tidak, dia sendiri akan rugi bila barang bagasi hilang atau rusak.28
4. Surat Muatan Udara (Airway bill)
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang
dimaksud Surat Muatan Udara (Airway bill) adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya yang merupakan salah satu bukti adanya perjanjian pengangkutan udara antara pengirim kargo dan pengangkut,
dan hak penerima kargo untuk mengambil kargo. Surat muatan udara dibuat dalam rangkap tiga oleh pengirim, bagian pertama untuk perusahaan penerbangan
yang ditandatangani oleh pengirim, bagian kedua untuk penerima barang yang
28
ditandatangani oleh perusahaan penerbangan dengan pengirim barang dan bagian ketiga untuk pengirim yang ditandatangani oleh perusahaan penerbangan pada
saat barang diserahkan oleh pengirim kepada perusahaan penerbangan. Tanda tangan tersebut dapat dilakukan dengan stempel atau tanda tangan asli.
Bilamana diminta oleh pengirim, perusahaan penerbangan membuat surat muatan udara (Airway Bill), perusahaan penerbangan dianggap bekerja untuk dan atas nama pengirim kecuali secara tegas terbukti sebaliknya.29
Menurut Pasal 10 OPU, surat muatan udara harus berisi:30
1. Tempat dan tanggal surat muatan udara itu dibuat 2. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan
3. Pendaratan-pendaratan yang direncanakan dengan mengikat hak pengangkut udara untuk merubah rencana itu bila perlu
4. Nama dan alamat pengangkut pertama 5. Nama dan alamat pengirim
6. Nama dan alamat penerima 7. Macam barang
8. Jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa atau nomor barang-barang
9. Berat, jumlah, besar atau ukuran barang-barang 10.Keadaan luar barang-barang dan pembungkusannya
11.Uang angkutan udara, tanggal dan tempat pembayaran, dan orang-orang yang harus membayar
12.Jika pengiriman dilakukan dengan jaminan pembayaran, harga barang-barang dan jumlah biaya-biaya
13.Jumlah nilai barang-barang
14.Dalam rangkap berapa surat muatan udara dibuat
15.Surat-surat yang diserahkan kepada pengangkut untuk menyertai barang-barang 16.Lamanya pengangkutan udara dan petunjuk ringkas tentang rute yang
ditempuh
17.Pemberitahuan bahwa pengangkutan ini tunduk pada ketentuan-ketentuan tanggung jawab yang diatur dalam OPU atau perjanjian Warsawa.
29
K. Martono, Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009,Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 268-269.
30
31
Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa surat muatan udara ini isinya lebih lengkap daripada tiket penumpang atau tiket bagasi, tetapi
kedudukan hukumnya sama saja dengan tiket penumpang atau tiket bagasi.31 Pada OPU surat muatan udara ialah apabila seorang akan mengirim
barang menggunakan pesawat udara sedangkan dia sendiri tidak turut pergi maka pengirim barang itu memberikan surat muatan kepada pengangkut udara. Sebaliknya pengirim berhak minta kepada pengangkut untuk menerima surat
muatan udara tersebut.
Dokumen yang diperlukan dalam pengiriman barang/kargo ada dua yaitu:
1. SMU (Surat Muatan Udara) khusus untuk penerbangan domestik.
Surat muatan udara sebagaimana dimaksud pada Pasal 155 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, paling sedikit memuat:
a. Tanggal dan tempat surat muatan udara di buat b. Tempat pemberangkatan dan tujuan
c. Nama dan alamat pengangkut pertama d. Nama dan alamat pengirim kargo e. Nama dan alamat penerima kargo
f. Jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa, atau nomor kargo yang ada
g. Jumlah, berat, ukuran, atau besarnya kargo h. Jenis atau macam kargo yang dikirim, dan
i. Pernyataan bahwa pengangkutan kargo ini tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.
Angkutan kargo juga diatur dalam Pasal 4 Konvensi Montreal 1999,
Menurut pasal tersebut, perusahaan penerbangan harus menyerahkan surat muatan udara (Airway Bill) kepada pengirim barang. Surat muatan udara dapat diganti
dengan sarana apapun untuk penyerahan, apabila digunakan sarana lain dari surat
31
muatan udara perusahaan penerbangan harus menyerahkan kepada pengirim pada saat penyerahan barang oleh pengirim kepada perusahaan penerbangan. Surat
muatan udara tersebut berisikan antara lain indikasi bandar udara keberangkatan dan bandar udara tujuan, apabila bandar udara keberangkatan dan bandar udara
tujuan berada dalam satu wilayah negara anggota konvensi Montreal 1999, harus ada satu atau lebih pendaratan antara (intermediate lending) di negara lain walaupun bukan negara anggota konvensi Montreal 1999.
2. AWB (Airway Bill) khusus untuk penerbangan internasional
Dokumen yang digunakan dalam pengangkutan kargo udara dikenal
dengan airway bill atau surat kargo udara yang harus berisi 18 elemen sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Konvensi Warsawa 1929. Pengadilan
menetapkan yang terpenting adalah Pasal 8c karena itu yang akan menentukan apakah suatu pengangkutan itu tunduk pada konvensi atau tidak.
Fungsi surat kargo udara adalah untuk dapat diterapkannya Konvensi. Hal ini merupakan kompromi dari dua kehendak yaitu kehendak pertama berpendapat bahwa untuk melindungi para pihak dalam pengangkutan harus dengan surat kargo udara dan kehendak kedua berpendapat bahwa untuk melindungi kepentingan para pihak diserahkan kepada para pihak sendiri yaitu dengan cara pengirim membuat surat kargo dan ditandatangani oleh pengangkut.
33
dibuat oleh pengangkut atau agennya jika terjadi kesalahan atau keterangan yang berbeda maka tanggung jawab pengangkut akan lebih besar karena segala keterangan dianggap benar. Surat kargo udara merupakan bukti adanya kontrak, penyerahan kargo, dan penerimaan persyaratan perjanjian, juga merupakan instruksi kepada pengangkut dimana dan kepada siapa kargo diserahkan dan siapa yang akan membayar.
Dalam praktiknya surat kargo udara sudah distandarisasikan sehingga para pihak hampir tidak mungkin membicarakan persyaratan kontrak. Dengan demikian, kontrak itu menjadi kontrak baku (standart contract). Namun, surat kargo udara bukan merupakan syarat mutlak adanya kontrak pengangkutan, hanya sebagai alat pembuktian adanya kontrak. Bagi pengangkut, menerbitkan surat kargo udara bukan merupakan kewajiban tetapi merupakan hak, namun secara sepintas hak ini mempunyai konsekuensi yang merugikan pengangkut dan bukannya merugikan pengirim.
D. Perjanjian Pengangkutan Udara
Sebelum membahas apa itu perjanjian pengangkutan udara kita perlu
mengetahui apa itu perjanjian secara umum. Istilah “Perjanjian” dalam “Hukum Perjanjian” merupakan kesepakatan dari istilah “Overeenkomst” dalam bahasa
Belanda, atau “Agreement” dalam bahasa Inggris.32 Perjanjian secara umum
diatur dalam KUH Perdata. Pengertian perjanjian di dalam KUH Perdata ialah
32Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Penerbit PT. Citra
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.
Pada Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan tiap-tiap perikatan dilahirkan,
baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, sedangkan Buku III KUH
Perdata itu sendiri tidak memberikan rumus tentang perikatan. Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di
antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan,
di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi
prestasi itu.33
Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh
hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha,
dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang,
tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi
usaha dan sebegitu jauh menyangkut juga tenaga kerja.34
Untuk syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yang telah diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat artinya terjadi kesesuaian kehendak antara para pihak.Kesesuaian kehendak ini terjadi pada saat melakukan negosiasi penawaran (offer) telah diterima (acceptance). Kesepakatan dianggap tidak terjadi, meskipun terjadi penandatanganan kontrak apabila terjadi paksaan, penipuan, ataupun khilafan
33
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 1.
34S.B. Marsh and J. Soulsby, BusinessLaw, By Mc Graw-Hill Book Company(UK) Ltd,
35
dan kekeliruan. Jika kesepakatan ini tidak tercapai meskipun terjadi perjanjian, maka status perjanjian yang demikian adalah dapat dibatalkan, artinya pihak tertentu dapat mengajukan pembatalan.Jika pembatalan tidak dilakukan, maka perjanjian tersebut berjalan terus.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Cakap maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian apabila orang-perorangan sudah dewasa, sehat akal fikiran, dan tidak di bawah perwalian atau pengampuan. Apabila yang melakukan perjanjian adalah suatu badan hukum atau organisasi, maka harus orang yang mempunyai kemampuan atau kompeten untuk melakukan hubungan hukum dengan pihak lain. Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka statusnya juga dapat dibatalkan.
Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum: a. Anak di bawah umur (minderjarigheid)
b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan c. Istri
Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dalam melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.35
3. Suatu hal tertentu
Objek yang diperjanjiakan adalah hal tertentu maksudnya isi perjanjian harus
jelas spesifikasinya, sehingga obyeknya mudah diidentifikasi keberadaannya.
Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka status perjanjian adalah batal demi
hukum, artinya dari semula perjanjian dianggap tidak ada, sehingga tidak
35Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika,
dapat dilaksanakan, dan kalau terjadi ingkar janji, maka tidak dapat dituntut di
pengadilan.
4. Suatu sebab yang halal
Objek yang diperjanjikan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan,
tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan.Jika hal ini
tidak terpenuhi, maka statusnya juga batal demi hukum.36
Adapun Asas-asas Hukum Kontrak antara lain sebagai berikut:37
1. Asas Konsensualisme
Asas ini sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya
kesepakatan. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas konsensualisme
ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan.
Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah
kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu.
Asas ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini hanya berlaku
pada kontrak konsensual sedangkan pada kontrak formal dan riel tidak
berlaku.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak berdasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) BW, bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
36M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6.
37
37
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di
antaranya:
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak
b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian, dan
e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak
tersebut karena kontrak tersebut mengandung perjanjian-perjanjian yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.
4. Asas Iktikad Baik
Asas ini merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian,
ketentuan ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.
Setelah mengetahui perjanjian secara umum barulah masuk kepada
satu ke lain tempat sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya.38
Perjanjian pengangkutan menurut Abdulkadir Muhammad adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan penumpang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan penumpang atau pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara
lisan tetapi didukung oleh dokumen pengangkutan yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi dan mengikat.39
Dalam undang-undang ditentukan bahwa pengangkut baru diselenggarakan setelah biaya angkutan dibayar terlebih dahulu, di samping ketentuan undang-undang
juga berlaku kebiasaan masyarakat yang dapat membayar biaya angkutan kemudian. Perjanjian pengangkutan biasanya meliputi kegiatan pengangkutan dalam arti luas, yaitu kegiatan memuat, membawa, dan menurunkan/membongkar, kecuali bila
dalam perjanjian telah ditentukan lain.
Menurut undang-undang seorang juru-pengangkut (bahasa Belanda:
vervoerder, bahasa Inggris: cerrier) hanya menyanggupi untuk melaksanakan pengangkutan saja, jadi tidaklah perlu bahwa ia sendiri mengusahakan sebuah alat-pengangkutan, meskipun pada umumnya (biasannya) ia sendiri yang
mengusahakannya. Selanjutnya menurut undang-undang ada perbedaan antara seorang pengangkut dan seorang ekspeditur, yang terakhir ini hanya memberikan
jasa-jasanya dalam soal pengiriman barang saja dan pada hakekatnya hanya
38R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 69.
39
39
memberikan perantaraan antara pihak yang hendak mengirimkan barang dari pengangkutan pihak pengangkut adalah bebas untuk memilih sendiri alat
pengangkutan yang hendak dipakainya.
Sebagaimana dengan perjanjian-perjanjian lain, kedua belah pihak
diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur sendiri segala hal mengenai
pengangkutan yang akan diselenggarakan itu. Apabila terjadi kelalaian pada salah
satu pihak, maka akibat-akibatnya ditetapkan sebagaimana berlaku untuk
perjanjian-perjanjian pada umumnya dalam Buku III dari Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Dalam perjanjian pengangkutan itu pihak pengangkut dapat dikatakan
sudah mengakui menerima barang-barang dan menyanggupi untuk membawanya
ketempat yang telah ditunjuk dan menyerahkannya kepada orang yang
dialamatkan. Kewajiban yang terakhir ini dapat dipersamakan dengan kewajiban
seorang yang harus menyerahkan suatu barang berdasarkan suatu perikatan
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1235 BW, dalam perikatan mana termaksud kewajiban untuk menyimpan dan memelihara barang tersebut sebagai “seorang
bapak rumah yang baik”. Apabila si pengangkut melalaikan kewajibannya, maka
pada umumnya akan berlaku peraturan-peraturan yang untuk itu telah ditetapkan
dalam Buku III dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pula, yaitu dalam
pasal 1243 dan selanjutnya.
Biasanya ongkos pengangkut dibayar oleh pengirim barang, tetapi ada