• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Dalam buku saya yang berjudul, Pluralitas Keyakinan dalam Konteks Ke-Indonesia-an

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 Dalam buku saya yang berjudul, Pluralitas Keyakinan dalam Konteks Ke-Indonesia-an"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Dua Entitas: Tuhan dan Manusia1

Ultim, demikianlah istilah yang berkaitan dengan hal yang terakhir. Akhir dari realitas manusia sebagai manusia adalah kematian. Kematian merupakan ultim dari manusia. Dan memanglah demikian ditemui sebagai argumentasi dalam agama-agama. Namun kematian manakah yang menjadi ultim manusia apakah merupakan ultim yang berakhir atau sebagai proses menuju yang tak berakhir?

Mengapa orang berpikir tentang suatu “situasi” yang belum pasti secara rasional namun telah terlampau percaya “bahwa memang akan terjandi demikian”. Seolah-olah hal atau kejadian sudah ada didepan mata atau sedang dirasa. Yang percaya bahwa hal atau suatu kejadian akan terjadi seperti yang dipercayai kita sebut golongan orang spiritualis sedangkan yang mempertanyakan dan mempersoalkan akan apa yang terjadi kelak dan mencari jawabannya diluar “agama” kita sebut “rasionalis non-agamis”. Tetapi ada juga yang berdiri di atas tiang “agama” dan memandang ke depan mengenai hal-hal yang akan terjadi setelah kematian atau nasib dunia yang akan datang boleh kita sebut golongan “raionalis agamis atau rasionalis spiritualis”. Manusia oleh beberapa orang disebut sebagai Das Problema Des Menschen (Buber).

Manusia? Sebagai Das Problema Des Menschen dan sebagai

animal rationale/ logos anthropos, manusia mempertanyakan

tentang Tuhan, kehidupan, dan sesudah kehidupan. Dalam lingkup manusia sebagai problema (kata Buber), manusia kemudian merefleksi diri dan menemukan diri sebagai makhluk yang bergantung pada ratio sui (peletak dasar) dan causa sui (penyebab utama) atau Causa Prima (penyebab tunggal). Di dalam merefleksi diri, manusia sadar akan diri dan eksistensinya tentang suatu “situasi” yakni “kehidupan sesudah kematian”. Atau hal-hal apa saja yang akan terjadi kelak.

Manusia, sedang berjalan menuju suatu kehidupan yang to

apeiron ( Anaximadros) atau berjalan dalam kenyataan menuju kosmos noe’tos (dunia yang tidak kelihatan) namun real ketika

mengalami thanatos.

Dari beberapa alinea yang sudah dilalui, ada dua entitas yang selalu dibicarakan yakni TUHAN dan MANUSIA. Kedua entitas ini tidak dapat dipikirkan secara terpisah sebab manusia bergantung mutlak kepada Sang Absolut. Sang Absolut menjadi Sebab Tunggal adanya manusia. Bahkan keduanya selalu menjadi

(2)

bahan pemikiran dan pembicaraan dalam agama-agama wahyu, agama-agama dunia maupun aliran kepercayaan. Manusia diperhadapkan dengan KUASA yang BESAR sehingga manusia lalu menyatakan apa yang dialaminya dalam sikap. Inilah yang kita sebut sebagai penghayatan. Penghayatan tersebut sangat personal. Marilah kita melihat kedua entitas ini secara singkat.

Allah? Sebutan yang merujuk pada pribadi yang Maha. Manusia sebutan kepada makhluk ”yang berpikir”. Ia pribadi yang tak terpikirkan dan tak terjangkau oleh nalar manusia. Nalar manusia hanya dapat menjangkau hal-hal yang ada dalam batas-batas cakrawala. Karena keterbatas-batasan nalar manusia, maka manusia terbatas pula untuk membahasakan dan menalar pribadi yang Maha ini.

Ia berada diluar jangkauan pikiran manusia namun Ia terbuka untuk dipahami. Dengan Ia membuka diri berarti Ia meretas jalan bagi manusia untuk memahami diri-Nya. Di tahap ini manusia mulai mengekspresikan emosi religiusitasnya dalam berbagai rupa dan bentuk. Hal ini dapat kita tangkap melalui

ritus-ritus. Seperti apa manusia memahami Sang Absolut demikianlah ia

akan mengekspresikan keyakinannya yang terbalut emosi. Misalnya, dalam iman Kristen, pemahaman akan Sang Mutlak yang dikenal dalam Kristus Yesus sebagai Putera Allah yang telah mengorbankan diri-Nya menggantikna manusia – substitusional dengan tergantung di kayu salib adalah semata-mata untuk menghapus dosa manusia dan mendamaikan manusia dengan Allah.

Dari pengorbanan Kristus, ekspresi religiusitas yang muncul dapat kita pahami lewat salah satu perayaan ekaristi yakni Perjamuan Kudus. Perjamuan kudus merupakan tanda peringatan pengorbanan Kristus, Ia memberikan tubuh-Nya dikorbakan dan darah-Nya dicurahkan.

Manusia? Kehadiran manusia dalam dunia merupakan suatu “modus ada”. Sehingga dengan memahami dan mengerti manusia sebagai “modus ada” merupakan suatu langkah maju dalam pemenuhan syarat bagi basis ontologi. Manusia merupakan suatu realitas “ada” bahkan sebagai orientasi kepada metafisika. Selaian manusia sebagai “ada” maka di tengah-tengah manusia sebagai “ada” maka ada “ada-ada” yang lain. Untuk membuka simpul “ada-ada” tersebut atau untuk mendapatkan jawaban mengenai “ada-ada” tersebut, manusia sebagai “ada” yang representatif dalam memberikan jabawan. Bahkan “ada-ada” tersebut diberi predikat oleh manusia atau diberi makna dan nilai oleh manusia.

(3)

Ernest Cassirer berkata manusia adalah animal simbolikum artinya manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan dan bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol. Sedangkan Aristoteles menyebut manusia sebagai animal rationale artinya manusia ialah binatang yang mempunyai rasio, zoon politikon, dan "makhluk hylemorfik", artinya makhluk yang teridiri dari materi dan bentuk-bentuk.

Dalam keberadaannya atau eksistensinya, manusia sebagai modus ada menerima makna dari “Ada khusus” dan sebaliknya manusialah yang bertanya tentang “Ada khusus” itu. Kecukupan manusia sebagai “ada” memungkinkan untuk mengetahui, menerangkan dan mendeskripsikan “ada yang lain” bahkan dirinya.

Karena itu, hanya ada satu makhluk rasional (rasionalitas menjadi ciri mutlak dari manusia dan membedakannya dari binatang. Rasionalitas hanya melekat pada manusia) yang sadar sepenuhnya tentang pribadi yang Maha itu yakni manusia. Ke-sadar-an itu, menempatkan manusia berada di atas ciptaan yang lain, sebagai yang unik dan berbeda. Keunikan dan keberbedaan itu juga terletak pada kemampuan sadar, penarikan distansi, dan

pemberian makna kepada dunia infrahuman. Kemampuan rasional

juga yang memungkinkan manusia sadar tentang pencipta-Nya. Semua itu, merupakan latarbelakang dari penempatan

potensi-potensi ilahi (potensia dari kata Latin poten = dapat dan esse = berada, ada. Potentia berarti memiliki daya atau kemampuan menjalankan daya. Daya ini dipahami berkaitan dengan daya

untuk memerintah, membuat (ingat kemampuan manusia membuat barang-barang hightech, dll) tatkala manusia diciptakan oleh Allah. Pikirkan dan renungkan teks Mazmur 8:4-6 “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya:

 Kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga

binatang-binatang di padang; - ayat 7

 Burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang

(4)

Dalam kemahaan-Nya, Ia turun dan menjangkau manusia atau menghampiri manusia. Manusia dalam keterbatasannya menerima dan mengakui-Nya sebagai yang Mahakuasa, karena mengatasi kuasa-kuasa dunia. Dalam tindakan penjangkauan Allah, Allah menginginkan seluruh yang baik, yang dipunyainya diberikan kepada manusia.

Meskipun demikian, manusia dalam batas-batas cakrawalanya, mengambil distansi atau jarak terhadap Allah sehingga manusia menyadari diri lemah, tidak mampu, dan tak berdaya. Dalam kesadaran ini juga, manusia membuat keputusan untuk mengikatkan diri.

Allah dan Manusia merupakan dua entitas yang berbeda dalam eksistensi. Allah – kekal, tak terbatas. Manusia – tidak kekal (tapi masuk dalam kekekalan), terbatas. Keterbatasan manusia mengharuskannya mengikatkan diri (religare) dengan Allah dan menyatu dengan Allah (manunggaling). Dalam mengikatkan diri kepada Allah, manusia masuk dalam pengalaman azasiah religiusnya yang personal. Manusia A menikmati pengalaman itu secara pribadi demikian juga manusia B. Di sini, manusia bergulat dalam imannya secara personal atau secara sendiri tanpa keterlibatan orang lain. Dalam pergulatan iman yang personal ini juga, terletak tanggungjawab iman yang personal (bandingkan tulisan nabi Yehezkiel dalam kitab Yehezkiel 18:10-32. Di ayat 20 … Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya…).

Sumber mengikatkan diri sama, yakni Allah. Namun, pengalaman itu sangat personal. Manusia A mengalami Yang Maha Kudus, Maha Rahim dalam kesendirian dan akunya. Demikian juga si B. Memang Ia adalah pribadi yang numinous namun dalam kenuminousan-Nya itu terletak ke-tremendum-anNya (menakutkan namun mempesona).

Pengalaman itu muncul oleh karena manusia telah masuk dalam tahap empiris bersama Allah. Contoh biblis yang dijadikan acuan adalah pengalaman Daud bersama YHWH, seperti yang tertulis dalam Mazmur 23:1a: Tuhan adalah gembalaku …yehovah

ra’ah. Pernyataan Daud di dalam teks ini, menarik perhatian untuk

dipertanyakan. Apakah yang membuat Daud dapat berkata

Yehovah adalah ra’ah-nya atau gembala-nya. Pernyataan Daud

dapat dipahami berkaitan dengan pengalamannya bersama

Yehovah, di mana Yehovah tampil sebagai pribadi yang: membimbing, mengayomi, menuntun, bahkan menyediakan segala

(5)

Stateman Daud juga selaras dengan pengalaman jasmaniahnya sebagai seorang gembala domba. Daud merasa bahwa “tindakan Yehovah terhadap dirinya seperti atau

sebagaimana ia memperlakukan domba-dombanya”. Di sini ada

korelasi konsep, antara Daud memperlakukan dombanya, dan Tuhan memperlakukan Daud. Selain kehidupan Daud, kehidupan Abraham juga dapat dijadikan contoh dalam pemikiran yang sederhana ini. Seperti yang dikisahkan dalam Kejadian 22:1-19. Narasi tentang ”pengujian kepercayaan Abraham” membawa dan menempatkan Abraham pada titik pengalaman spiritual yang personal. Abraham dibawa untuk memahami diri secara otentik (asli) dengan Allah. Di tahap pengalaman spiritual ini, Abraham menapaki tahap penemuan diri (self discovery) secara unik dengan dan di dalam Allah.

Allah meminta Abraham mempersembahkan Ishak, putera tunggalnya. Permintaan Allah ini, merupakan permintaan aneh sebab bukan binatang yang diminta seperti lazimnya, melainkan anak manusia. Saat-saat seperti itu, merupakan saat penuh kecemasan, rasa sayang, takut, dan kehilangan menghinggapi Abraham. Abraham diperhadapkan dengan opsi mempersembahkan Ishak, bukti ketaatan pada Allah dan tidak mempersembahkan, sebagai tanda ketidaktaatan. Ini merupakan pilihan paradoksal dari Sang Paradoks, perintah Allah atau menyayangi anak kandung. Dua hal yang sama benarnya. Tentu, tidak ada pilihan abu-abu, yakni diantara kedua opsi. Situasi ini merupakan situasi yang penuh ketegangan (iman). Mengasihi Allah, sebagai tanda hubungan personal dengan Yang Mahakudus dan mengasihi anak, tanda hubungan personal seorang ayah.

Dalam ketegangan iman ini, Abraham tidak larut dalam situasi-situasi personal yang semu. Abraham berhasil keluar dari dilema ini, dan membuat keputusan yang personal (sendiri tanpa orang lain). Memang ada Sarah, namun Allah menuntut Abraham untuk menjawab dan bertindak saat itu, tanpa harus ada kompromi dengan Sarah. Keputusan Abraham, melahirkan

momentum iman yang personal. Keputusan Abraham, membuat

hati Allah puas. Dalam sisi praksisnya (iman), kadangkala, kita sebagai manusia percaya diperhadapkan dengan ketegangan-ketegangan iman yang mana dalam situasi demikian, manusia percaya harus melihatnya sebagai kesempatan melihat tangan Allah bekerja. Bila secara detail mengikuti apa yang dimaui Allah, sudah pasti melahirkan moment-moment iman yang personal (pribadi) dengan Allah. Di sini manusia berjumpa dengan Sang Pencipta, melihat tangan Penciptanya bekerja baginya (manusia percaya). Hanya saja, kadang atau sering, manusia gagal dalam tahap ini, lalu kehilangan moment-moment iman bersama

(6)

Penciptanya (di tahap ini mungkin ada kekecewaan, negative thinking terhadap Tuhan. Bersikap menyalahkan: Tuhan. Jika

Tuhan Ya, maka sesamanya tak terkecualikan. Apakah yang salah di sini? Mungkin saja manusia percaya tidak mengejar kualitas iman melainkan mengejar fenomena iman. Contoh iman yang berkualitas: mujizat bukan target utama atau goal atau sasaran. Justru mujizat merupakan fenomena iman. Jika demikian, apakah kualitas iman yang dikejar atau fenomena iman yang dikejar?).

Kedua entitas ini (Allah dan manusia) juga merupakan dua paradoks, yang satu tak terbatas (Allah), dan yang lain terbatas (manusia). Yang satu mutlak, yang lain tidak mutlak. Meskipun demikian, keduanya tidak saling bertentangan (diversuskan), melainkan saling mengandaikan. Yang terbatas tidak mungkin

dipahami tanpa yang tak terbatas. Demikian sebaliknya. Sebab,

hanya satu makhluk yang sadar tentang Allah, yakni manusia. Dan hanya ada satu pribadi yang dapat menciptakan manusia, yaitu Allah. Kita tidak dapat membuat pengandaian lagi sebab semua sudah dalam realitas (ada dalam kenyataan) menjadi manusia dan finit dalam menjadi Allah. Sebelum segala sesuatu tercipta, Ia telah finish dalam menjadi Allah.

Kita mengenal-Nya sebagai Bapak yang baik. Kebaikan Sang Bapa tidak hanya dari sisi adjectivanya semata: penuh berkat, kasih, pengampunan dan lain-lain. Melainkan juga dari sisi

hukuman sebagai yang paradoks dalam diri-Nya.

Pada bagian pengalaman spiritual, saya menyebutnya

perjumpaan manusia dalam dimensi spiritual. Dari perjumpaan

spiritual, manusia – Allah, kita beranjak ke satu perjumpaan lain manusia. Tahap perjumpaan ini disebut perjumpaan manusia dalam dimensi sosialitas (perjumpaan sosial). Di tahap ini, aku dan sesama-ku saling berjumpa (berhadap-hadapan), baik pribadi dengan pribadi ataupun pribadi dengan kelompok. Di sini, aku sebagai manusia percaya yang telah berjumpa secara pribadi dengan Tuhan, harus dapat mengimplementasikan dan menjelaskan dengan baik apa yang aku alami di tahap perjumpaan ke-Tuhan-an. Di perjumpaan ini, akan ada yang namanya

tanggungjawab iman. Tanggungjawab iman berkaitan dengan tugas pewartaan (kerigmata). Dengan demikian, di tahap ini ada tuntutan

untuk hidup seperti yang dikehendaki Allah. Misalnya, Aku tidak lagi memperlakukan sesamaku seperti barang, yang terjelma dalam model hubungan Aku-itu (I - It); melainkan Aku menerima engkau sebagaimana engkau berada (apa adanya). Bukan karena kamu kaya, cantik, punya kedudukan, dll. Melainkan walaupun kamu tidak punya apa-apa, namun aku tetap mengasihi engkau. Bandingkan dengan Ungkapan Yesus “Kasihilah sesamamu

(7)

manusia seperti dirimu sendiri”. Relasi ini terungkap dalam model relasi Aku-Engkau (I – Thou). Dalam relasi Aku-Engkau (I - Thou) merupakan tahap implementasi dari model relasi Aku dengan Allah (I – the Great Thou).

Referensi

Dokumen terkait

(1) Peringatan tertulis diberikan oleh Kepala Unit Kerja/Bisnis kepada pegawai dalam bentuk surat peringatan, apabila melanggar minimal 1 (satu) ayat dari larangan sebagaimana

Jika kuitansi sudah langsung diserahkan sekalian dengan invoice dan faktur pajak, maka dari bagian keuangan mengeluarkan tanda terima atas penye rahan kwitansi dan

Eksperimen mengenai kekuatan pelet maupun briket bijih besi berbinder organik dan inorganik telah banyak dilakukan, namun pengaruh binder terhadap sifat metalurgis

Radon adalah unsur Gas Mulia yang paling stabil karena jari-jari atomnya paling besar.. Argon adalah unsur Gas Mulia yang paling mudah bereaksi dengan

pengaruh secara simultan antara variabel persepsi nilai yang terdiri dari keterlibatan, loyalitas merek, persepsi harga, persepsi kualitas, pengenalan dan persepsi

Jadi simpulannya adalah dari ketujuh puisi yang terdapat pada buku paket “Inilah Bahasa Indonesiaku” semuanya terdapat nilai pendidikan dan hal ini sangat aik

Wesel tersebut memiliki satu track lurus dan dua track yang membelok ke kiri atau ke kanan di mana sumbu dari ketiga bertemu di satu titik. o Wesel

Siti Wulandari ‘Siwu’ sang pujaan hati yang selalu ada di setiap penulis mendapat kesulitan, selalu memberikan do’a, dorongan, semangat, motivasi serta cinta dan