• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa MANGKU PURNOMO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa MANGKU PURNOMO"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

MANGKU PURNOMO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005

(2)

Jawa adalah karya saya sendiri dengan arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing. Karya ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dala m Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2005

Mangku Purnomo NRP. A152030031

(3)

MANGKU PURNOMO. Perubahan Struktur Ekonomi Lokal: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa. Dibawah bimbingan M.T. FELIX SITORUS dan ARYA H. DHARMAWAN.

Penelitian tentang transformasi pedesaan Jawa hingga saat ini terpusat pada gejala diferensiasi pedesaan sehingga kurang menjelaskan gejala-gejala perubahan moda produksi dan formasi sosial lokal dengan lebih mendalam. Selain itu, studi-studi tersebut bias komunitas padi sawah, sementara komunitas pegunungan belum diteliti secara spesifik. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil tema perubahan struktur ekonomi/formasi sosial lokal yang akan dianalisis melalui dinamika perubahan moda produksi desa pegunungan di Jawa. Tujuan penelitian adalah untuk (1) memetakan tipe-tipe moda produksi yang ada dan masih bertahan dalam struktur ekonomi desa TR, (2) menganalisis proses perubahan moda-moda produksi dari masa ke masa dan faktor-faktor yang mendorong perubahan tersebut, dan (3) menganalisis formasi sosial desa TR disetiap masa akibat perubahan moda -moda produksi yang membangunnya. Metode yang dipakai adalah penelitian kualita tif dengan strategi studi kasus karena kekhasan masalah dan kemampuannya dalam menjelaskan fenomena sosial secara lebih mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada masa kolonial moda produksi yang muncul dalam struktur ekonomi lokal adalah pertanian tradisional dan kapitalis kolonial. Pada awal kemerdekaan adalah pertanian tradisional (petani biasa), semi-komersil (petani kaya), dan kapitalis pertanian (pengusaha Cina). Sementara pada masa Orde Lama tetap, yakni pertanian tradisional (petani biasa), pertanian semi-komersil (petani maju), dan kapitalis pertanian (petani kaya dan pengusaha Cina). Memasuki Orde Baru adalah pertanian semi-komersil (tani tanggung dan srabutan), kapitalis pertanian (pengusaha Cina dan juragan), dan kapitalis (industri agro dan wisata). Memasuki reformasi, moda produksi tetap, tetapi jumlah petani semi-komersill menurun, sementara juragan dan industri agro berkembang.

Memudarnya moda produksi lokal pada masa kolonial didorong oleh kegiatan-kegiatan perkebunan kina dan teh. Pada awal kemerdekaan hingga tahun 1950 didorong oleh masuknya penjajah Jepang, kebijakan ekonomi pemerintah, dan masuknya pengusaha Cina. Pada masa Orde Lama, oleh perkemb angan pertanian pengusaha Cina dan gejolak politik nasional. Memasuki Orde Baru oleh kebijakan pembangunan, investasi pemerintah, dan masuknya industri agro pada struktur ekonomi lokal. Pada masa reformasi, perubahan didorong oleh persaingan antar artikulasi moda produksi dan antar artikulasi dalam satu moda produksi. Dengan demikian, formasi sosial yang terbangun pada masa kolonial adalah kapitalis kolonial, berubah menjadi kapitalis pertanian pada masa awal kemerdekaan hingga Orde Lama, kapitalis Negara pada masa orde Baru dan Kapitalis Industri pada masa reformasi.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa moda-moda produksi yang hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial hingga reformasi terdiri dari moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang bera sal dari luar sistem sosial. Moda produksi asli secara perlahan terpengaruh oleh moda produksi kapitalis sehingga menjadi moda produksi yang mengadaptasi moda produksi kapitalis. Perubahan moda produksi lokal dari masa ke masa banyak disebabkan oleh faktor-faktor eksternal daripada internal sistem sosial. dengan demikian, formasi sosial lokal dari masa-ke masa didominasi oleh moda produksi kapitalis yang berasal dari sistem sosial desa sehingga moda produksi lokal berangsur-angsur me mudar pengaruhnya hingga akhirnya hilang sama sekali.

(4)

M. PURNOMO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005

(5)

NRP : A. 152030031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS Ketua

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M. Sc.

(6)

bersaudara. Lulus dari SMA PGRI I Maospati pada tahun 1996 dan masuk pada Fakultas Pertanian Unibraw pada tahun 1997. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh pada tahun 2002 dan pada tahun 2003 diterima pada Sekolah Pascasarjana IPB. Sejak mahasiswa penulis telah aktif di Enlighment Malang pada tahun 1998-2001 dan LAPERA Indonesia sebagai Resoure Center (RC) pada tahun 2000 hingga saat ini. Pada tahun 2002 penulis menjadi staff pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Widya Gama Malang dan pada tahun 2004 penulis kembali mengabdi ke almamater sebagai staff pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi Universitas Brawijaya.

(7)

terimakasih penulis sampaikan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS sebagai ketua dan Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc, selaku anggota komisi pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam pelaksanaan penelitian. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Prof. H.A. Mukthie Fadjar, SH. MS selaku Rektor Universitas Widya Gama Malang yang telah menugaskan penulis untuk mengambil studi pascasarjana di Institut Pertanian Bogor .

Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh penduduk dan Pamong desa Tulungrejo atas bantuannya khususnya kepada Bapak Suwaji kepala dusun Wonorejo yang telah berkenan menjadi tempat kos penulis selama penelitian lapangan dan Mas Ferry sekeluarga yang selalu menerima penulis untuk berdiskusi di kebun percobaan Unibraw. Kepada seluruh rekan-rekan penulis di SPD, Mbak Rita, Mbak Inya`, Mbak Anik, Mbak Heru, Pak Jetter, Mbak Jean, Pak Witranto, Mas Damae, Mas Taya Toru, serta Sofyan dan Pak Kalbi, terima kasih atas kebersamaannya selama studi. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Mas Dadang Juliantara dan Mas Riawan Chandra dari Pokja Pembaruan Jogjakarta serta Mas Himawan dan Samsudin serta seluruh staff LAPERA atas suportnya. Kepada Teman-teman di RK , Doni, Wahyu, Syahid, Eko, Dodik, Ama, Budi, Hasan dan Mas Teguh serta Mas A`an terima kasih dan semoga kita semakin dewasa.

Pengharg aan sebesar -besarnya penulis sampaikan kepada Bapak (Soeradi) yang telah meninggalkan penulis saat menyelesaikan tesis ini, Ibu (Hartutik Sayuti) serta seluruh keluarga besar atas do`a dan dukungannya sela ma ini. Kepada Fiska Nurillah Salathin, Jihan, dan keluarga di Banjarnegara terima kasih atas dukungannya. Dan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat serta dapat diperbaiki dimasa yang akan datang.

Bogor, Oktober, 2005

(8)

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

II. PENDEKATAN TEORITIS ... 9

2.1. Tinjauan Pustaka ... 9

2.1.1 Ciri-ciri Struktur Ekonomi Lokal ... 9

2.1.2 Perkembangan Kapitalis dan Transformasi Ekonomi Lokal ... 11

2.1.3 Konsep Moda Produksi dan Formasi Sosial ... 13

2.1.4 Perubahan Moda Produksi dan Struktur Ekonomi... 20

2.2. Alur Pemikiran... 24

2.3. Hipotesis Pengarah ... 27

III. METODE PENELITIAN ... 28

3.1. Jenis Penelitian ... 28

3.2. Lokasi Penelitian dan waktu ... 28

3.3. Penentuan Subyek Kasus ... 28

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 29

3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data... 29

3.6. Hambatan dalam proses penelitian ... 30

IV. DESA TULUNG REJO : SOSIAL EKONOMI DAN SEJARAH DESA ... 34

4.1. Sejarah Desa ... 34

4.2. Gambaran Sosial-ekonomi Desa ... 38

4.2.1. Basis Ekologi ... 38

4.2.2. Dinamika Sosial Ekonomi... 40

V. DINAMIKA MODA PRODUKSI DAN FORMASI SOSIAL : PERPEKTIF HISTORIS ... 47

5.1. Moda Produksi dan Formasi Sosial Masa Kolonial (1870-1945)... 48

5.1.1. Cara Produksi Pertanian Tradisional ... 48

5.1.2. Cara Produksi Kapitalis Kolonial ... 50

5.1.3. Perubahan Moda Produksi Lokal: Perombakan Moda Produksi Pertanian Tradisional... 53

5.1.4. Formasi Sosial Kapitalis Kolonial dan Keberlangsungan Moda produksi Lokal ... 56

5.2. Moda Produksi dan Formasi Sosial Awal Kemerdekaan (1945-1950)... 60

5.2.1. Kedatangan Penjajah Jepang... 60

5.2.2. Revolusi Nasional dan Rencana Ekonominya ... 60

5.2.3. Peran Pengusaha Pertanian Pengusaha Cina ... 60

5.2.4. Tipe-tipe Moda Produksi yang Hadir pada Formasi Sosial Lokal ... 63 5.2.4. Perubahan Moda Produksi Lokal: Dari Pertanian Tradisional

(9)

Produksi Lokal... 68

5.3. Moda Produksi dan Formasi Sosial Selama Orde Lama (1950-1965) .... 71

5.3.1. Bekerja dan Belajar Bersama Pengusaha Cina ... 61

5.3.2. Ketegangan Politik dan Stagnasi Ekonomi ... 72

5.3.3. Moda Produksi yang Terbangun ... 75

5.3.4. Perubahan Moda Produksi Lokal : Dari Semi-komersil menuju Kapitalis Pertanian... 77

5.3.5. Formasi Sosial Kapitalis Pertanian dan Keberlangsungan Cara Produksi Lokal... 80

5.4. Moda Produksi dan Formasi Sosial Orde Baru (1965-1997)... 82

5.4.1. Repelita dan Pembangunan Ekonomi ... 82

5.4.2. Gelombang Masuknya Industri Agro... 86

5.4.4. Moda Produksi Yang Terbangun ... 91

5.4.5. Perubahan Moda Produksi Lokal : Kemapanan Kapitalis Pertanian... 92

5.4.6. Formasi Sosial Kapitalis Negara dan Keberlangsungan Moda Produksi Lokal... 96

5.5. Ikhtisar... 100

VI. DINAMIKA MODA PRODUKSI DAN FORMASI SOSIAL KONTEMPORER (1997-2005) ... 108

6.1. Kecenderungan Perkembangan Juragan dan Pengusaha Cina ... 108

6.2. Kecenderungan Perkembangan Tani Tanggung ... 116

6.3. Kecenderungan Perkembangan Tani Srabutan ... 120

6.4. Kecenderungan Perkembangan Industri Agro ... 123

6.5. Kecenderungan Perkembangan Industri Pariwisata ... 127

6.6. Moda Produksi yang Terbangun... 133

6.7. Perubahan Moda Produksi Lokal : Dominasi Kapitalis Industri ... 134

6.8. Formasi Sosial Kapitalis Industri dan keberlangsungan Moda Produksi Lokal ... 148

6.9. Ihktisar... 150

VII. Kesimpulan dan Saran ... 154

7.1. Kesimpulan ... 154

(10)

Table 4.1 : Sejarah desa Tulung Rejo... 37 Tabel 5.1 : Aspek moda produksi kapitalis kolonial dan pertanian tradisonal

masa kolonial... 53 Tabel 5.2 : Perubahan aspek cara produksi subsistensi di TR setelah masuknya

cara produksi kapitalis pada masa kolonial ... 54 Tabel 5.4 : Artikulasi cara produksi pertanian tradisonal, semi-komersil, dan

kapitalis pada masa awal kemerdekaan ... 65 Tabel 5.5 : Perubahan aspek cara produksi pertanian tradisional di TR awal

kemerdekaan ... 67 Tabel 5.6 : Kecenderungan perubahan ciri-ciri cara produksi yang berkembang pada sistem sosial lokal pada masa awal kemerdekaan ... 68 Tabel 5.7 : Artikulasi cara produksi pertanian tradisonal, semi-komersil, dan

kapitalis pertanian pada masa Orde Lama ... 76 Tabel 5.8 : Perubahan aspek cara produksi lokal pada ma sa Orde Lama .... 78 Tabel 5.9 : Kecenderungan perubahan cara produksi yang berkembang pada

sistem sosial lokal pada masa Orde Lama ... 79 Tabel 5.10 : Artikulasi cara produksi semi -komersil, kapitalis pertanian dan

kapitalis industri pada masa Orde Baru ... 92 Tabel 5.8 : Perubahan aspek cara produksi semi-komersil dan kapitalis di TR

pada masa Orde Baru ... 94 Tabel 5.11 : Kecenderungan perubahan moda produksi yang berkembang pada sistem sosial lokal pada masa Orde Baru ... 95 Tabel 5.12 : Perubahan aspek-aspek cara produksi pertanian tradisonal dari

jaman kolonial hingga saat ini ... 102 Tabel 5.13 : Evolusi ciri-ciri cara produksi pertanian tradisional dari masa kolonial hingga saat ini ... 104 Tabel 5.14 : Formasi sosial TR dari jaman kolonial hingga reformasi ... 106 Tabel 6.1 : Artikulasi cara produksi semi -komersil, kapitalis pertanian dan

kapitalis pada masa reformasi ... 134 Tabel 6.2 : Perubahan aspek cara produksi semi-komersil, kapitalis pertanian

dan kapitalis pada masa reformasi ... 139 Tabel 6.3 : Kecenderungan perubahan cara produksi yang berkembang pada

sistem sosial lokal pada masa Reformasi ... 144 Tabel 6.4 : Perubahan aspek-aspek cara produksi lokal selama reformasi .. 151 Tabel 6.5 : Perubahan ciri-ciri cara produksi pertanian tradisional pada masa

reformasi ... 152 Tabel 6.6 : Formasi sosial TR dari jaman kolonial hingga reformasi ... 153

(11)

BPR : Bank Perkreditan Rakyat

BTI : Barisan Tani Indonesia (Organisasi underbow PKI yang mengorganisir petani di pedesaan)

CV : Commanditer Vennotschip

DPL : Di Bawah Permukaan Laut Ha : Hektar (10.000, M2)

HDI : Human Development Indeks

Kg : Kilogram

Km : Kilometer

KPH : Kawasan Pemangku Hutan

PKI : Partai Komunis Indonesia

PPN : Perusahaan Perkebunan Nasional

PT : Perseroan Terbatas

PTPN : Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara RAC : Remaja Anti Cina

TAHURA : Taman Hutan Rakyat THR : Tunjangan hari raya

TMII : Taman Mini Indonesia Indah

TNI-AU : Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara UMR : Upah Minimum Regional

(12)

Angpao : Semacam uang sogokan untuk memperlancar proses konsesi tanah untuk para pejabat yang berwenang

Aspal godok : Pengerasan jalan dengan aspal kasar yang direbus dalam tong kemudian disiram ke jalan dan ditaburi pasir.

Bagor : Semacam karung pembungkus pupuk terbuat dari plastik yang digunakan oleh penduduk untuk celana

Bero : Kondisi lahan yang tidak ditanami tanaman produktif dalam jangka waktu lama

Bongkor : Kondisi lahan yang tidak dipelihara hingga ditumbuhi tanaman tidak berguna. Jika bero lahan masih akan dimanfaatkan kemudian jika bongkor lahan benar-benar tidak terurus. Boro kerjo : Istilah bagi buruh dari luar daerah yang mencari kerja di

Tulungrejo dan menginap di sana hingga berbulan-bulan bahkan tahunan. Mereka biasanya berasal dari daerah marjinal seperti selatan Malang, Blitar, juga dari Pujon dan daerah-daerah lainnya. Mereka menginap di rumah rumah

penampungan khusus untuk mereka, dan ada juga yang menginap dirumah penduduk atau di rumah saudaranya yang telah dulu masuk dan menjadi warga desa

Burgur : Ampas jagung yang sarinya telah diambil untuk minyak goreng, biasanya untuk makanan sapi dan kuda atau ternak lainnya Buruh bebas : Buruh yang tidak terikat oleh juragan manapun dan bebas

bekerja dimanapun, biasanya mereka penduduk asli desa Tulungrejo

Buruh lepas : Buruh yang hanya diupah tanpa diberi makan sehingga imbalan gaji saja

Cabut : Istilah untuk kerja borongan memetik wortel yang dilakukan sekelompok pekerja.

Divisi : Jabatan di bawah manejer pada pabrik jamur dan bunga yang membawahi beberapa supervisor.

Gestok : Gerakan Satu Oktober (Istilah lain untuk peristiwa PKI 1965 yang digunakan oleh Bung Karno)

Juragan : Seorang yang memiliki tanah lebih luas dari lima herktar, kaya dan mempekerjakan banyak buruh hingga 50-an orang di lahan pertaniannya.

Manajer : Pemimpin dalam perusahaan bunga dan jamur yang memimpin perusahaan yang dipekerjakan oleh pemilik perusahaan.

Mandor : Orang yang dipercaya juragan atau pengusaha Cina untuk mengawasi kerja para buruh

Mbangkat : Kerja memikul hasil bumi dari lahan dengan menggunakan keranjang, biasanya dilakukan jika lahan jauh dari jalan raya. Mbangkat ini biasanya dilakukan berkelompok hingga 10 orang. Ngasak : Mencari sisa kentang pada kebun yang diusahakan pengusaha

(13)

Nglaju : Kegiatan pulang pergi yang dilakukan pekerja tiap hari, atau pagi berangkat kerja sore pulang kembali kerumah dan dilakukan secara rutin.

Pandek : Orang yang bekerja pada seorang juragan sepanjang hidupnya dan tidak berpindah juragan.

Pasangan : Orang yang dianggap sangat cocok oleh tani tanggung untuk bermitra dengannya dalam bekerja. Pasangan ini biasanya teman akrabnya atau mitra kerja disaat keduannya menjadi buruh pada juragan atau tani tanggung lain.

Pelita : Pembangunan lima tahun-sebuah rencara pembangunan yang disusun secara nasional dengan jangka lima tahun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Pemilu : Pemilihan Umum (proses politik berupa pemilihan wakil rakyat yang akan menduduki dewan perwakilan rakyat yang

seharusnya dilakukan lima tahun sekali untuk suksesi kepemimpinan nasional)

SARFAAT : Wilayah di sekitar gedung yang bernama Sarfaat di daerah perbatasan antara Dusun Gerdu dan Junggo

Srabutan : Petani yang memiliki tanah dibawah 0,25 hektar yang sebagian besar waktunya untuk bekerja di luar pertanian dan pertanian tergantung pekerjaan apa yang tersedia di desa.

Supervisor : Jabatan di bawa divisi dalam perusahaan bunga dan jamur yang membawahi beberapa kelompok kerja

Tani Tanggung

: Petani yang memiliki lahan tidak lebih dari dua hektar, kondisi ekonomi biasa saja dan hanya mempekerjakan buruh upahan jika lahanya memerlukan banyak tenaga.

Tetel : Pembatan lahan hutan untuk lahan pertanian, tanah tetelan adalah tanah yang diperoleh dari membuka lahan hutan Translok : Tasmigrasi lokal bagi para purnawirawan TNI-AU yang

ditempatkan di Tulungrejo secara bertahap yakni tahun 1973, 1975, dan 1979

Willis : Merk jip yang digunakan untuk mengangkut sayur dari atas gunung. Jip ini memiliki kekuatan bagus sehingga mampu menembus daerah-daerah pegunungan dengan medan berat dan masih digunakan hingga saat ini

(14)

untuk menjelaskan lebih mendalam gejala-gejala perubahan struktur sistem pertanian dan kultur yang berkembang pada komunitas lokal. Diawali dari masa penjajahan, kolonialisme telah memperkenalkan cara produksi “modern” yang datang seiring dengan implementasi sistem produksi pertanian ala perkebunan yang kapitalistik oleh pemerintah penjajah Belanda. Penetrasi kapital dilakukan oleh penjajah melalui perkebunan pada sistem ekonomi lokal yang telah mapan sebelumnya.

Bentuk paling nyata dari penetrasi kapital terhadap sistem pertanian di Indonesia oleh Belanda adalah keberhasilannya melakukan perombakan berbagai rejim (cara pengaturan) penguasaan/kepemi likan sumberdaya agraria lokal digantikan dengan rejim kepemilikan pribadi. Penghapusan hak-hak feodal atas tanah dilakukan untuk mendukung perluasan perkebunan besar, dimana tanah dan tenaga kerja menjadi kekuatan produksi (forces of production) utama. Kebijakan politik agraria tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memperkuat struktur keuangan pemerintah Belanda yang porak poranda akibat keterlibatannya dalam perang di Jawa. Untuk tujuan itu ketersedia an tanah murah dan mudah diperlukan guna memperluas usaha-usaha perkebunan1.

Kota Malang, pada masa awal perluasan perkebunan Belanda belum banyak berkontribusi bagi penciptaan surplus kapital pada pemerintah penjajah Belanda karena pemusatan kegiatan ekonomi perkebunan masih di Pasuruan (Malang masih menjadi bagian dari Kabupaten Pasuruan pada masa itu). Namun demikian, dengan berkembangnya komoditas Kopi di daerah Dampit (salah satu Kawedanan di Malang), pengaruh ekonomi perkebunan semakin besar2. Baru pada tahun 1870-an perkebunan

1

Kebijakan Belanda ini kemudian dikenal sebagai tanam paksa (culture stel- sel) yang dilakukan oleh Van den Bosch, Lihat Soehartono (1991: 75-77), Apanage Dan Bekel: Perubahan Sosial Di Pedesaan

Surakarta 1830-1920., Tiara Wacara, Jogjakarta. Daerah Malang termasuk Manca Negara (di luar Jogja

dan Solo) sehingga kekuasaan pemerintah Belanda penuh dan tanam paksa langsung tanpa persetujuan Raja Jawa. Dari sinilah kemudian eksploitasi berlanjut ketika kaum swasta Belanda ikut memperluas perkebunan dengan terbitnya Agrarische Wet 1870, lihat, Gunawan Wiradi (2001:8-9), Tonggak -tonggak

perjalanan kebijakan agraria di Indonesia, dalam Tim Lappera, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria : Jalan Penghidupan Dan Kemakmuran Rakyat, Lappera, Jogjakarta.

2

Kopi Merupakan tanaman cukup berpengaruh pada abad ke 19 di Malang sebelum tebu, ditanam di distrik Turen dimana Dampit merupakan daerah penting di sana, lihat Hiroyosi Kano, Pagelaran ;

(15)

kina dan Selecta (industri pariwisata) dibuka oleh Belanda di desa Tulung Rejo (TR), dimana per kebunan teh dibuka kemudian pada tahun 1938. Sejak saat itu industri perkebunan besar dan pariwisata terus berkembang hingga masa penjajahan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang ini sebagian perkebunan teh dikonversi menjadi kawasan tanaman pangan (Gordon, et al 1985:160).

Perkebunan dan industri pariwisata di TR pada masa kolonial adalah dua bentuk kegiatan ekonomi yang diperkenalkan kepada sistem masyarakat lokal oleh kekuatan ekonomi exstra-lokal (penjajah Belanda). Sementara itu tanaman pangan adalah kegiatan ekonomi tradisional (lokal) yang merupakan sistem ekonomi asli desa TR sebelum penetrasi kapitalisme per kebunan merasuk ke dalam sistem sosial-ekonomi kemasyarakatan di kawasan tersebut. Kedua struktur sistem produksi tersebut memiliki ciri yang saling bertolak belakang. Pertemuan kedua sistem tersebut tentunya akan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dan terbentuk struktur ekonomi baru.

Setelah penjajahan berakhir, struktur ekonomi desa memasuki masa transisi karena matinya kegiatan ekonomi perkebunan dan wisata. Masa-masa ini diwarnai dengan kekacauan politik dan ketidak pastian ekonomi di desa. Sepenuhnya corak struktur ekonomi dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi exstra-lokal yang dibawa oleh aktor-aktor lain. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam masa perang sangat berpengaruh terhadap formasi penguasaa kekuatan produksi di desa dan tentunya juga berpengaruh terhadap kultur yang berkembang pada masyarakat lokal.

Perubahan drastis terjadi setelah program revolusi hijau diperkenalkan pada tahun 1970-an dimana petani kaya mulai mengaplikasikan obat-obatan, pupuk, juga bibit unggul yang diperkenalkan oleh otoritas pertanian pemerintah. Tahun 1970-an adalah awal keterlibatan petani pegunungan pada sistem ekonomi pasar yang kemudian menyeret mereka ke dalam arus ekonomi komersial. Proses komersialisasi komoditas pertanian tradisional tersebut pada akhirnya mengantarkan masyarakat petani pegunungan Jawa kepada sistem sosial “berkelas” yang tidak dikenal sebelumnya. Hal ini selaras dengan temuan Hefner (1999) di Tengger sebelum masuknya kebijakan pemerintah (exstra-lokal) dalam menata kegiatan ekonomi, penduduk pegunungan lebih banyak mengusahakan tanaman pangan dan berorientasi pada pemenuhi kebutuhan sendiri.

Gejala perubahan struktur sosial ekonomi pedesaan Jawa tersebut berlangsung dramatis termasuk di desa TR. Tanah alluvial gunung Arjuno yang subur,

(16)

sumber air yang melimpah, merupakan faktor yang mempercepat proses transformasi pertanian tersebut. Apel dan tanaman dataran tinggi seperti kubis, kentang, wortel, dan bunga tumbuh dengan baik dan menjadi penggerak utama perekonomian lokal. Pada tahun 2000-an pertanian tidak lagi menanam tanaman pangan, tapi telah berkembang tanaman komersial seperti kentang, sayur, apel, dan tanaman komersial lainnya. Hasil produksi tanaman ini dipasarkan ke kota-kota besar di di Jawa bahkan luar Jawa. Komoditas pertanian komersial diusahakan secara intensif dengan penggunaan teknologi budidaya yang modern sehingga ciri-ciri pertanian “tradisional” sebagaimana kebanyakan di desa-desa tidak terlihat.

Intensifikasi pertanian telah mencapai puncaknya pada akhir abad 21. Hampir seluruh waktu dalam setahun, tanah pertanian di TR tidak mengenal bero. Tanaman utama adalah sayur, bunga potong maupun hidup, apel, serta sedikit jagung. Seluruh lahan ditanami secara monokultur dengan rotasi tanam yang sangat cepat. Begitu intensifnya, lahan pertanian yang belum dipanen kadang telah ditanami tanaman baru. Wilayah yang dulunya kosong karena terletak pada kawasan miring, juga telah diusahakan dengan tanaman komersial. Pertanian dikelola secara modern baik teknologi budidaya maupun alat-alat yang digunakan. Obat-obatan, pupuk, dan bibit demikian juga telah diaplikasikan secara meluas hampir oleh seluruh petani.

Tidak hanya di kawasan yang miring, petani juga membuka lahan hingga ke lereng-lereng pegunungan. Lahan milik perhutani berupa hutan lindung dibuka dan ditanami kentang, kol, sawi, juga bawang. Lahan baru ini memiliki kemampuan yang lebih baik daripada lahan umum, karena hama belum banyak juga lapisan humusnya masih tebal. Tidak tanggung-tanggung, pembukaan lahan ini luasannya mencapai ratusan hektar di tiga lereng pegunungan yakni Arjuno, Welirang, dan Anjasmoro. Transformasi sistem pertanian tradisional menjadi modern tersebut memperlihatkan adanya perubahan-perubahan struktural sistem pertanian.

Selain perubahan struktural, sistem pertanian tradisional di TR juga mengalami perubahan kultural. Orientasi produksi petani TR kini berubah sepenuhnya dari subsistensi kepada tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar guna mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu petani selalu membuat perencanaan produksi sesuai dengan permintaan pasar. Petani di TR juga sudah sangat terbiasa dengan sistem pendanaan bank untuk memenuhi kebutuhan modal kerja. Mereka juga memiliki perhitungan layaknya perusahaan dalam melakukan pinjaman meski pengelolaan

(17)

usaha tani masih dalam keluarga. Nilai-nilai usaha modern sepenuhnya telah diterapkan pada sistem pertanian di TR.

Perubahan struktur sistem pertanian dan kultur petani juga didorong oleh perkembangan sistem ekonomi modern lain yakni industri agro jamur dan bunga yang menyerap tenaga kerja hingga ribuan orang. Industri ini dikelola secara modern dan mengusahakan tanaman khusus untuk eksport. Industri ini didirikan di atas lahan-lahan pertanian produktif dengan membeli lahan-lahan petani. Terdapat tujuh industri agro di TR yang berkembang selama sepuluh tahun terakhir. Kebanyakan dari industri agro itu diusahakan oleh orang luar daerah yang memiliki modal kuat. Industri agro ini sepenuhnya merupakan cara produksi baru yang diperkenalkan oleh orang luar pada sistem so sial desa TR karena kemunculanya tidak karena sebuah proses sosial tapi lebih sebagai introdusir.

Selain industri agro yang juga mendorong perubahan struktur sistem pertanian dan kultur petani adalah adalah kegiatan ekonomi pariwisata. Wilayah yang berbuki t-bukit dengan pemandangan alam yang indah, serta suhu yang sejuk menjadi tempat wisata favorit masyarakat sekitarnya, juga kota-kota besar lain di Indonesia. Perkembangan wisata di TR dapat dilihat dari peningkatan usaha perhotelan, pertokoan (baik pelayanan pariwisata maupun umum), restoran -restoran, juga pedagang bunga dan buah. Kegiatan-kegiatan ekonomi tersebut dikelola dengan manajemen modern dan padal modal, dan penduduk sekitar banyak terserap sebagai tenaga kerja upahan. Restoran-restoran besar dan hotel-hotel banyak dimiliki oleh orang luar TR, terutama dari Surabaya dan Malang. Selain itu juga muncul tempat-tempat wisata baru seperti Coban Talon (air terjun dan perkemahan) dan pemandian air panas Cangar melengkapi Selecta yang memang telah lama ada3.

Villa-villa dan penginapan juga berkembang cukup pesat. Hawa sejuk dan pemandangan yang indah mendorong orang luar daerah, juga para pekerja di kota Malang untuk bertempat tinggal di sana. Jarak yang dekat (6 km) dari Malang dan transportasi yang baik memungkinkan orang “nglaju”. Di TR juga ada sebuah

3

Pariwisata di TR ini telah lama di kenal terutama karena tanaman apel yang memang hanya dapat tumbuh di Batu terutama TR dan Nongkojajar (wilayah sebelah Timur Malang), obyek wisata ini merupakan rangkaian dari beberapa daerah pariwisata di Batu yakni (taman kota), Selecta di TR (taman wisata), Songgoriti (air panas). Lihat, Hiroyosi Kano, op. cit., hal :1. Saat ini tempat wisata telah

berkembang seperti Coban talon di TR (air terjun dan perkemahan), Coban Rais (air terjun) Cangar di TR (air panas), Jatim Park (taman wisata), Songgoriti (aero wisata), bahkan usaha hotel juga banyak yang memfa silitasi pariwisata seperti Kusuma Agrowisata (hotel privat agrowisata), Klub bunga (hotel dan taman bunga), dll, serta ada Gunung Van Der Man (nama orang Belanda) yang sangat digemari oleh para pendaki dan masyarakat umum karena pemandangan di atas yang indah serta pendakiannya tidak terjal.

(18)

perumahan yang dibangun untuk para pensiunan pejabat di lahan seluah 10 ha. Selain pemukiman dan perumahan juga bermunculan villa -villa untuk disewakan pada wisatawan. Villa-villa ini banyak dibangun oleh para pengusaha atau keluarga-keluarga kaya di Surabaya dan Malang. Penduduk Desa banyak yang menjadi pekerja dan penjaga villa- villa itu dan kadang kala juga menjadi manajer persewaan villa jika pemiliknya tidak hadir4.

Perubahan dramatis pada struktur sosial lokal dari gejala-gejala modernisasi di atas ditandai perubahan hubungan sosial produksi karena adanya peralihan tenaga kerja keluarga menjadi buruh upahan. Jaringan produksi yang sebelumnya hanya melibatkan anggota keluarga meluas dengan masuknya lembaga keuangan, penyedia sarana produksi, dan pedagang perantara. Sistem produksi pertanian secara perlahan berubah dari bentuk otonomi menjadi jaringan yang tergantung satu dengan yang lainnya. Sementara itu, perubahan kultur petani ditandai dengan pergeseran orientasi produksi mereka. Produksi yang sebelumnya untuk keperluan keluarga berubah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Penjualan hasil produksi pertanian hingga ke kota-kota besar yang tidak pernah ada sebelumnya, kini telah biasa dilakukan oleh masyaraka t. Nilai-nilai yang bertujuan untuk mengejar keuntungan merasuk ke dalam seluruh sistem pertanian di TR.

Perumusan Masalah

Studi tentang transformasi ekonomi pedesaan Jawa telah dilakukan oleh banyak sarjana sejak jaman kolonial. Studi-studi tersebut banyak terkait dengan dinamika perubahan sistem ekonomi lokal akibat penetrasi sistem ekonomi kapitalis yang di bawa oleh pemerintah kolonial Belanda. Salah satu studi yang cukup penting adalah studi Booke (1952) yang mengemukakan teori “dualisme ekonomi” un tuk menggambarkan perkembangan ekonomi tradisional (lokal) dan kapitalistik (exstra-lokal) yang masing-masing merepresentasikan ekonomi kaum pribumi dan kolonial Belanda. Menurut Booke, sistem ekonomi penduduk Jawa berada dalam kondisi statis sulit berkembang karena sifat dasar orang Jawa yang tidak ingin mengumpulkan keuntungan dan memupuk modal. Nilai “kebersamaan” dan “persamaan” mendorong

4

Kebiasaan ini hampir terjadi di seluruh Batu, dimana penduduk sekitar villa menjadi penjaga dan sekaligus pemasar persewaan jika pemilik tidak memakai. Biasanya pemilik akan datang pada hari minggu atau hari libur yang lain dan saat demikian penjaga tidak boleh memasukan penyewa.

(19)

orang untuk membagi hasil ekonomi pada semua anggota masyarakat, dan tidak ada orang yang dapat melepaskan diri dari kewajiban sosial ini.

Ekonomi kapitalis yang diartikulasikan pada perkebunan Belanda di sisi lain memiliki sifat yang bertolak belakang dengan sistem lokal. Orientasi produksi untuk mendapatkan keuntungan dan pemupukan modal. Karena sifat berbeda ini maka keduanya berkembang menurut caranya masing-masing. Kehadiran ekonomi kapitalis di pedesaan tidak mendorong terjadinya pemupukan modal pada penduduk lokal malah terjadi kemendekan pertumbuhan. Kedua sistem ekonomi tersebut terjebak pada dualisme hingga tidak pernah terjadi kemandirian dari keduanya.

Teori Booke tentang dualisme akhirnya mendapat kritikan karena dirasa kurang realistis melihat hubungan antara dua sistem ekonomi tersebut. Sistem tradisional kenyataannya memiliki hubungan yang erat dengan sistem kapitalis, atau malah mendukung sepenuhnya5. Debat ini mendapat jawaban ketika Geerzt (1963) mengenalkan teori “Involusi pertanian”. Menurut beliau , perkembangan sistem ekonomi pedesaan Jawa mandek tidak hanya karena “bawaan” sistem sosial tapi merupakan pengaruh dari eksploitasi kolonial dan pertumbuhan penduduk.

Lebih lanjut Geerzt mengatakan bahwa surplus produksi yang dihasilkan oleh proses intensifikasi produksi pertanian tidak digunakan untuk mengakumulasi modal sebagai dasar investasi tapi harus dibagi merata pada seluruh penduduk desa. Ekonomi desa akhirnya tidak berkembang menjadi kapitalis tapi tumbuh ke dalam sehingga terjadi involusi meski inovasi teknologi diterapkan. Di daerah penelitiannya di Jawa Timur Geertz meyakini adanya proses “diferensiasi sosial” sebagai wujud akomodasi atas tekanan pertumbuhan penduduk yang tajam.

Temuan Geerzt akhirnya juga menuai kritik karena dianggap terlalu membesar-besarkan “penyamarataan” sebagai media masyarakat golongan bawah tetap mendapat bagian dari surplus produksi. Penerapan inovasi teknologi pada sistem pertanian mampu membatasi akses lapisan bawah terhadap surplus produksi. Petani lapisan atas dengan alasan mengeluarkan biaya lebih berhak untuk memotong akses lapisan bawah pedesaan. Nilai penyamarataan ternyata tidak mampu bertahan di

5

Lihat Bahctiar Rifai (1958) Bentuk Milik Tanah dan Tingkat Kemakmuran ; Penyelidikan Pedesaan di Daerah Pati, Djawa Tengah, Desertasi Fakultas pertanian Universitas Indonesia, Bogor

(20)

tengah perubahan sistem produksi akibat masuknya inovasi teknologi. Selain itu teknologi yang di introdusir memang membatasi keperluan tenaga kerja secara alami6.

Di tengah perdebatan tentang arah transformasi struktur al tersebut, muncul beberapa studi yang mengajukan konsep berlawanan. Diferensiasi sosial terbukti tidak terjadi di pedesaan Jawa malah cenderung ke arah polarisasi. Lapisan sosial atas semakin jauh jarak sosialnya dengan lapisan bawah , dan penyamarataan surplus tidak terjadi sedemikian mulus. Atas dasar itu para pengkritiknya mengatakan apabila pedesaan Jawa tidak terdiferensiasi namun terpolarisasi. Dalam pengantar terjemahan buku ivolusi pertanian, secara khusus Sayogjo (1973) mengkritik metode dan kesimpulan Geerzt yang saling bertolak belakang dengan data empiris. Berdasar atas kerja lapangan setelah program revolusi hijau, ternyata di pedesaan Jawa terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara lapisan bawah dan kelas elit desa.

Studi-studi transformasi ekonomi lokal di pedesaan setelah revolusi hijau di paruh 1980-an masih berdebat pada dua isu utama yakni polarisasi dan diferensiasi sosial (White, 2002). Di tengah perdebatan tersebut muncul penelitian Hayami dan Kikuchi (1984) yang mengatakan jika di pedesaan Jawa dan Philipina telah terjadi proses perumitan struktur sosial desa. Polarisasi tidak terjadi setajam yang diperlihatkan oleh para peneliti pendukungnya, namun yang terjadi adalah penambahan kelas sosial dari dua kelas menjadi banyak tingkat. Maksud dari banyak tingkat adalah munculnya lapisan-lapisan sosial baru diantara lapisan sosial terdahulu yang mendapat berkah atau bagian surplus produksi dari kelas di atasnya.

Antara pendukung polarisasi dan diferensi asi akhirnya sama-sama menyimpulkan apabila pertanian jawa terlah mengalami proses evolusi dan bukan involusi. Modernisasi telah menunjukkan gejala perubahan yang berbeda dari kesimpulan yang diambil oleh Geerzt. Telah terjadi pemisahan antara petani bertanah luas dengan petani tak bertanah dan sedikit memiliki tanah. Selain itu juga terjadi pemisahan antara buruh tani yang masih dapat mengakses pada petani bertanah luas dengan yang tidak dapat mengakses sama sekali . Gejala sosial tersebut oleh Gordon (1978) dianggap sebagai proses kapitalisa si pertanian, dimana pedesaan Jawa sepenuhnya telah melampui tahap pra-kapitalis. Dengan demikian, kesimpulan ini

6

Penerapan varietas PB yang berumur singkat dan bertangkai pendek tidak lagi memerlukan ani-ani (alat panen manual) saat memanen dan ini dengan sendirinya mengurangi akses perempuan lapisan bawah untuk ikut menikmati surplus produksi.

(21)

menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya bahwa pedesaan Jawa pada dasarnya telah melampui tahap pra-kapitalis dan menjadi kapitalis pertanian.

Pedesaan Jawa yang berkembang dari sistem tradisional (pra-kapitalis) menjadi “kapitalis pertanian” menunjukkan adanya perubahan struktur sosial dan kultur masyarakatnya. Untuk menguraikan perubahan tersebut dari masa ke masa, dapat didekati melalui teori perkembangan kapitalisme. Konsep yang membangun teori perkembangan kapitalisme sendiri adalah moda produksi (mode of production) dan formasi sosial (social formation) . Konsep ini merupakan konsep dasar bagi tradisi Marxis untuk menjelaskan perkembangan struktur sosial masyarakat.

Moda produksi adalah gabungan antara kekuatan produksi dan hubungan produksi sehingga tercipta sebuah produk, sementara formasi sosial adalah kehadiran dua atau lebih moda produksi dimana salah satu cenderung mendominasi yang lain. Perubahan dari masa pra-kapitalis (pertanian tradisional) menjadi kapitalis pertanian (pertanian kapitalistik) berarti perubahan moda produksi dari ciri tradisional menjadi ciri kapitalis. Karena itu mengkaji perubahan struktur ekonomi lokal dengan sendirinya akan menguraikan perubahan moda-moda produksi yang membangunnya.

Moda produksi berubah apabila basis kekuatan produksi (forces of production) dan sifat hubungan sosial produksi (relation of production) mengalami perubahan. Menurut teori perkembang an kapitalisme, kekuatan produksi utama yang membangun struktur ekonomi berkembang dari tanah (sebagai basis kekuatan produksi masyarakat pra-kapitalis) menjadi modal uang (sebagai basis kekuatan produksi masyarakat kapitalis). Sementara itu, relasi hubungan sosial produksi berkembang dari egaliter (sebagai bentuk hubungan sosial produksi masyarakat pra-kapitalis) menjadi herakhis (sebagai bentuk hubungan sosial produksi masyarakat kapitalis).

Di negara dunia ketiga, perubahan moda produksi dan struktur ekonomi lokal dalam kerangka perkembangan kapitalisme, sebagian besar disebabkan oleh penetrasi kapital melalui perkebunan besar yang dibawa oleh kaum penjajah. Di Indonesia, masuknya moda produksi kapitalis kolonial berupa perkebunan besar yang menanam tanaman eksport menyebabkan kerusakan luar biasa pada moda produksi tradisional. Pertanian tradisional yang bercirikan “subsisten” mengalami goncangan akibat masuknya ekonomi uang dan munculnya sistem upah. Sistem tradisional hanya menjadi penopang jalannya perkebunan dan tidak mengalami perkembangan apa-apa,

(22)

atau malah hancur. Secara sistematis telah terjadi ekstraksi surplus produksi dari pertanian lokal ke perkebunan melalui eksploitasi tenaga kerja dan pangan7.

Penelitian di daerah Jawa Timur Khususnya kawasan Malang (Batu sebelumnya menjadi Wilayah Malang) belum banyak dilakukan, apalagi terkait dengan transformasi perekonomian desa. Hiroyoshi Kano (1990) melihat dalam proses masuknya sistem ekonomi perkebunan tidak merubah sedikitpun pelapisan sosial masyarakat desa. Petani kaya yang berasal dari elit desa, mampu menangkap peluang dengan menanam tebu (komoditas komersial) dan memperluas lahan garapannya, sementara petani kecil tetap menanam padi (komoditas non-komersial) yang bercirikan pertanian tradisional. Penelitian ini dilakukan di Pagelaran, sebuah desa di salah satu Kecamatan di kabupaten Malang.

Penelitian lain dilakukan oleh Cederroth (1995) tentang berbagai strategi yang dikembangkan petani untuk bertahan dari tekanan politik dan ekonomi dari supra desa, serta bagaimana surplus produksi dipupuk oleh berbagai golongan dalam komunitas pedesaan. Penelitian tersebut memang tidak menekankan pada perubahan moda produksi lokal dan formasi sosi al pertanian secara spesifik, tapi temuan Cenderroth memperlihatkan tetap adanya ciri pertanian tradisional pada komunitas pedesaan meski moda produksi kapitalis sangat mendominasi. Ciri tersebut terutama melekat pada para petani padi sawah yang lebih memilih tanaman padi meski keuntungan yang diperoleh kecil.

Studi-studi tentang transformasi ekonomi pedesaan di atas, seluruhnya fokus pada masyarakat komunitas padi sawah. Sementara komunitas masyarakat yang berekologi pegunungan belum diteliti secara spesifik. Salah satu peneliti, Heffner (1999) mengatakan jika masyarakat pegunungan memiliki struktur longgar, serba kabur pelapisan sosialnya, dimana ikatan-ikatan antar individu sangat longgar. Masyarakat pegunungan kurang memiliki pembatasan kelas sosial yang ketat sebagaimana masyarakat daerah padi sawah. Orang “dianggap” sama kedudukkannya dan tidak ada hal yang perlu ditonjolkan untuk menunjukkan status sosialnya. Paling tidak kondisi seperti itu masih dijumpai pada masyarakat pegunungan sebelum komersialisasi terjadi akibat penetrasi kapital melalui perkebunan. Penelitian Heffner tersebut dilakukan pada masyarakat di desa-desa pegunungan Tengger, Jawa Timur.

7

Mengenai ini lihat Houben dalam Lindblad (2000:73-98), Neil (2003:154-197) rata-rata mereka setuju telah terjadi kerusakan pada tatanan tradisional setelah perkebunan masuk dan desa semakin masuk pada ekonomi uang dan terjadi ekstraksi dari sistem lokal. Mengenai tinjauan teorit is lihat Taylor (1989:192-193) yang membicarakan dampak moda produksi kapitalis pada moda produksi lokal Indonesia.

(23)

Struktur longgar pada masyarakat Tengger sebelum komersialisasi tak lepas dari penguasaan kekuatan produksi dan hubungan produksi yang dibangun. Kekuatan produksi masyarakat pegunungan utama adalah tanah sementara tenaga kerja mengandalkan anggota keluarga. Tanah penduduk desa -desa pegunungan rata-rata cukup luas dengan kepemilikan yang hampir merata dimana sangat jarang orang tidak memiliki tanah. Keluarga petani di pegunungan relatif mandiri dalam produksi dan kurang tergantung keluarga lain. Selain pengusaan tanah yang tidak timpang, sumber tenaga kerja keluarga juga menjadi sebab kenapa ketergantungan tidak terjadi. Hal ini sangat berbeda dengan komunitas padi sawah dimana sumber tenaga kerja adalah pasar kerja dan penguasaan tanah yang sangat timpang. Hubungan patron klien dalam produksi menjadi ciri utama masyarakat padi sawah yang jarang ditemukan pada masyarakat padi sawah.

Lebih lanjut, Hefner (1999) melihat tranformasi ekonomi pedesaan pegunungan menjadi komersial berjalan lebih lambat daripada daerah sawah. Selain faktor budaya, penetrasi kapital penjajah Belanda masuk lebih akhir dibanding komunitas padi sawah. Selain itu, komunitas padi sawah juga telah menjadi wilayah kendali kekuasaan feodal Jawa sehingga tekanan politik dan ekonomi sudah sangat kurang kuat sejak awal. Baru pada akhir-akhir penjajahan, penetrasi kapital masuk di desa -desa Tengger melalui perkebunan-perkebunan besar teh dan kopi.

Perubahan sangat cepat terjadi malah pada masa Orde Baru karena adanya program modernisasi pertanian. Masuknya teknologi modern terutama obat-obatan mendorong perluasan budidaya tanaman sayur yang lebih komersial dibanding dengan tanaman jagung dan ketela. Budidaya tanaman komersial ini memberi ruang luas terjadinya akumulasi dan merubah seluruh basis budaya pegunungan. Hefner tidak mengupas secara spesifik perubahan moda produksi yang terjadi, tapi teknologi modern dan kebijakan modernisasi (kekuatan exstra-lokal) secara umum menjadi pemicu perubahan yang mendasar pada kehidupan ekonomi masyarakat desa.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memfokuskan diri pada proses perubahan struktur ekonomi lokal (desa Tulung Rejo) dengan menguraikan dinamika perubahan moda-moda produksi yang membangunnya. Lokal dalam hal ini menunjuk sebuah komunitas desa, yang keberadaannya tidak lepas dari komunitas lebih luas yakni Kota, Propinsi, atau juga negara bahkan dunia. Lebih jauh penelitian ini menjelaskan secara mendalam, “mengapa” dan “bagaimana” struktur ekonomi lokal dengan melihat dinamika moda produksinya. Dengan melihat dinamika moda-moda

(24)

produksi sebagai pembangun struktur ekonomi dapat dianalisis kenapa dan bagaimana sebuah sistem ekonomi timbul dan tenggelam serta faktor apa yang menyebabkannya.

Untuk menerangkan gejala-gejala perubahan struktur ekonomi, dalam sosiologi dapat didekati melalui konsep moda produksi. Analisis moda produksi sebenarnya dikembangkan untuk menganalisis masyarakat Eropa sehingga tidak dapat begitu saja diterapkan di negara dunia ketiga yang memiliki ciri berbeda. Dalam perkembangan berikutnya muncul konsep formasi sosial sebagai turunan teori sosiologi aliran Marxis yang dikembangkan untuk dapat membedah realita perkembangan kapitalis di negara dunia ketiga. Dengan demikian perubahan struktur ekonomi desa TR akan dibedah menggunakan konsep formasi sosial.

Penelitian ini juga dibatasi pada perubahan-perubahan yang terjadi pada moda-moda produksi yang berkembang dalam masyarakat desa TR. Secara khusus akan diuraikan perubahan moda produksi petani tradisional yang bercirikan subsistensi pada awalnya menjadi komersial saat ini. Kajian menguraikan struktur sosial dan nilai budaya yang berkembang di TR dari masa ke masa, serta bagaimana keberlangsungan moda-moda produksinya dalam setiap masa. Bagaimana perubahan yang terjadi, dan apa-apa saja yang mendorong perubahan itu pada kehidupan sosial masyarakat desa TR fokus penelitian ini.

Struktur ekonomi/formasi sosial dalam hal ini dimaknai sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi secara bersamaan di desa TR dalam waktu tertentu. Satu moda akan cenderung mendominasi moda lain sehingga seluruh corak masyarakat akan ditentukan oleh moda produksi dominan. Moda produksi mampu menjadi dominan jika mampu “mereproduksi” unsur-unsur yang membangunya. Reproduksi dilakukan melalui penguasaan kekuatan produksi dan relasi hubungan produksi. Moda produksi dominan jika mampu mempengaruhi dan mengambil surplus produksi dari moda produksi lain. Penelitian ini dengan demikian melihat moda-moda produksi apa yang dominan di desa TR dari waktu ke waktu dan bagaimana proses perubahannya. Dengan demikian digunakan pendekatan historis untuk dapat menjelaskan proses-proses perubahan dengan lebih rinci.

(25)

Berdasar ata s uraian diatas maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1) Apa sajakah tipe-tipe moda produksi yang ada dan masih bertahan dalam struktur ekonomi desa TR dari masa ke masa ?

2) Bagaimanakah proses perubahan moda-moda produksi dalam struktur ekonomi desa TR dari masa ke masa, dan faktor-faktor apa saja yang berperan dalam perubahan itu?

3) Dari dua permasalahan di atas muncul pertanyaan, sejauh manakah perubahan moda-moda produksi menyebabkan perubahan formasi sosial desa TR dari masa ke masa ?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1) Memetakan tipe-tipe moda produksi yang ada dan masih bertahan dalam struktur ekonomi desa TR.

2) Menganalisis proses perubahan moda-moda produksi dari masa ke masa dan faktor-faktor yang mendorong perubahan tersebut.

3) Menganalisis formasi sosial desa TR yang terbangun disetiap periode sebagai akibat perubahan moda-moda produksi tersebut.

(26)

Pengertian Moda Produksi dan Formasi Sosial

Dalam tradisi Marxis, untuk menjelaskan realitas sosial dikenal dua konsep penting yakni moda produksi (mode of production) dan formasi sosial (social formation) . Moda produksi atau “cara produksi” merupakan gabungan antara kekuatan produksi (forces of production) dan hubungan/relasi sosial produksi (relation of production). Sementara itu, formasi sosial (social formation) adalah kehadiran dua atau lebih moda produksi dalam satu masyarakat dimana salah satu akan mendominasi. kemampuan mendominasi ditentukan oleh kekuatan masing -masing moda produksi untuk mereproduksi sistemnya. Kehadiran dua atau lebih moda produksi demikian juga disebut sebagai struktur ekonomi (Russel 1998:8).

Kembali pada moda produksi, komponen kekuatan produksi terdiri dari tenaga kerja, instrumen atau alat-alat produksi, dan bahan baku, teknologi produksi, manajemen produksi, juga modal uang, sementara relasi produksi adalah struktur sosial yang mengatur relasi antar manusia dalam satu proses produksi barang dan jasa kebutuhan manusia. Relasi produksi melekat atau bahkan sepenuhnya ditentukan oleh struktur sosial. Dengan demikian, moda produksi sangat erat kaitannya dengan struktur sosial, karena berjalan atau tidaknya moda produksi tergantung pada pengaturan struktur sosial. Struktur sosial meliputi juga sistem politik, sistem nilai, ideologi, juga budaya masyarakat dimana kegiatan produksi itu berkembang.

Dalam kehidupan sehari-hari moda produksi ter“artikulasi” dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Artikulasi merupakan bentuk strukturasi moda produksi pada budaya setempat berbentuk kegiatan-kegiatan ekonomi seperti pertanian, kerajinan, perkebunan, perdagangan, pariwisata, dan jenis-jenis kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. Masing-masing kegiatan ekonomi dapat mencerminkan moda produksi apa yang digunakan, dengan melihat ciri-ciri kekuatan produksi dan hubungan/relasi sosial produksinya. Secara skematis moda produksi dapat digambarkan sebagai berikut:

(27)

Gambar 2.1 Skema Moda Produksi

sumber: Richard Peet, (1999:101)

Dalam proses strukturasi terbangun sebuah struktur sosial sebagai pola (pattern) yang relatif mapan dari konstelasi berbagai artikulasi moda produksi. Hubungan antar moda produksi dan artikulasinya masing-masing biasanya asimetris atau cenderung terjadi dominasi moda produksi tertentu. Moda produksi yang mampu mereproduksi sistem yang dikembangkan yang akan bertahan. Moda produksi dominan yang kemudian akan mendominasi struktur sosial, nilai, kepercayaan, dan ideologi masyarakat. Seluruh interelasi antar moda produksi tersebut, serta unsur-unsur lain yang melingkupi bekerjanya moda produksi menggambarkan bentuk formasi sosial sebuah masyarakat.

Perubahan moda produksi dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi pada kekuatan produksi dan hubungan sosial produksinya. Kekuatan produksi lokal yang dulunya mengandalkan tanah pertanian, telah bergeser dengan berkembangnya usaha-usaha lain yang mengandalkan modal uang sebagai kekuatan produksi utama. Relasi produksi yang dulunya bersifat egaliter karena tenaga kerja berasal dari keluarga, berubah menjadi herakhis karena tenaga kerja mengandalkan buruh upahan. Pola perubahan moda produksi tersebut, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu , dan dalam sebuah sistem sosial mencerminkan arah perkembangan kapitalisme.

Jenis penguasaan kekuatan produksi dalam masyarakat bermacam-macam, sehingga hubungan sosial produksi yang terbangun juga bermacam-macam pula. Paling tidak ada dua tipe utama yakni non -kapitalis dan kapitalis, yang kehadirannya

IDEOLOGY AND CULTURE Beliefs, representation, discourse

STATE AND POLITICS Government, legal, sistem, police,

army, civil, service

FORCES OF PRODUCTION

Labor power tools, machine

Land scape, resources, territory, place, social space NATURAL ENVIRONMENT

RELATION OF PRODUCTION Kin, class, gender

(28)

dapat dalam satu kontinum, namun juga dapat hadir secara bersamaan. Moda produksi kapitalis berbasis pada penguasaan modal uang sebagai kekuatan produksi, sementara non-kapitalis lebih pada penguasaan atas tanah dan tenaga kerja. Sementara itu hubungan produksi menurut Russel (1989: 8-9) memiliki tiga tipe yakni egaliter, kelas, dan transisi atau antara.

Tipe egaliter menunjukkan tidak adanya eksploitasi antar aktor dalam proses produksi. Tipe egaliter mencakup cara produksi komunal dan komunis, dimana kepemilikan kekuatan produksi tidak pada pribadi tapi pada kelompok. Jika cara produksi komunal aturan penguasaan kekuatan produksi ditetapkan oleh kelompok melalui aturan adat, maka pada komunis diatur oleh Negara. Keduanya tidak mengenal kepemilikan pribadi tapi kepemilikan bersama. Semua anggota memiliki kekuatan produksi sama, sehingga hubungan produksi yang terbangun dalam masyarakat demikian bertipe egaliter karena tidak adanya buruh majikan.

Tipe kelas menunjukkan adanya aksploitasi antar kelas karena adanya dominasi kelas tertentu atas kelas lain. Kelas pengua sa menguasai seluruh kekuatan produksi sehingga ia merekut buruh untuk bekerja padanya. Dengan demikian ada dua kelompok pelaku produksi yakni pemilik kekuatan produksi dan pekerja dalam proses produksi. Tipe ini mencakup cara produksi Negara, Slavery, feudal, dan kapitalis. Cara produksi Negara menunjukkan negaralah yang memegang kekuasaan atas kekuatan produksi dan rakyat harus menyetor hasil produksi pada Negara. Cara produksi slavery yang memegang kekuatan produksi adalah tuan tanah dimana mereka mengeksploitasi budak untuk memproduksi barang dan jasa. Sementara untuk feudal, kekuasaan tertinggi atas kekuatan produksi adalah Raja dan keluarganya, sementara rakyat bekerja padanya. Sementara cara produksi kapitalis, yang memegang kekuasaan atas kekuatan produksi adalah individu-individu yang menguasai kekuatan produksi dan mampu mengakumulasi surplus produksi untuk modal investasi .

Hubungan sosial produksi dalam perkembangan kapitalisme bermula dari tipe egaliter sebagai ciri masyarakat komunal (pra-kapitalis) menjadi tipe kelas sebagai ciri masyarakat perbudakan, negara, feudal, dan kapitalis dan menjadi tipe egaliter kembali sebagai ciri masyarakat komunis. Perubahan dari tipe egaliter menjadi tipe kelas terdapat masa transisi dimana hubungan sosial produ ksi bertipe antara/transisi. Tipe antara/ transisi mencakup cara produksi petani mandiri, kepemilikan sederhana (simple property) dan sosialis. Dalam hubungan sosial produksi tipe transisi masih terdapat ciri-ciri egaliter, namun juga telah mulai mengembangkan kepemilikan pribadi

(29)

atas kekuatan produksi. Akumulasi modal untuk memupuk kekekuatan produksi mulai ada meski tidak memusat pada kelompok tertentu sebagaimana feudal ataupun kapitalis. Tipe transisi ini merupakan ciri khas hubungan produksi yang berkembang pada negara dunia ketiga termasuk Indonesia.

Dalam kondisi riel, dalam satu sistem sosial moda produksi tidak mungkin tunggal dan selalu hadir lebih dari satu moda produksi. Kehadiran secara bersama ini membentuk sebuah konstelasi, dan akan terjadi persaingan antar keduanya. Kehadiran secara bersamaan dua atau lebih moda produksi dimana salah satu cenderung mendominasi disebut sebagai formasi sosial. Dengan demikian, menjelaskan sistem sosial an sich menggunakan analisis moda produksi sangat tidak mungkin. Moda produksi menurut Budiman dalam Sitorus (1999:16) merupakan tipe ideal yang kurang mendekati kenyataan empiris. Dengan demikian analisis yang lebih cocok tentunya adalah analisis formasi sosial yang lebih mendekati kenyataan. Dengan mengetahui formasi sosialnya maka dengan sendirinya akan terlihat bagaimana perubahan struktur ekonomi lokal terjadi. Taylor (1979) juga mengungkapkan hal yang sama, dimana kajian tentang moda produksi sangat terbatas untuk memberi gambaran struktur sosial secara utuh. Kajian formasi sosial yang merupakan bentuk lebih menyeluruh atas struktur sosial lebih tepat digunakan.

Althouser dalam Taylor (1979:106) mengungkapkan bahwa formasi sosial merupakan perwujudan secara keseluruhan sejumlah praktek yang komplek dalam ekonomi, politik, ideology, dan teoritisasi. Praktis-praktis itu masing-masing memiliki perbedaan, namun berstruktur sama yakni bagaimana bahan dasar (raw material) ditransformasikan menjadi produk spesifik yang bernilai sosial. Transformasi tersebut terjadi karena adanya pengorganisasian buruh menggunakan alat produksi tertentu.

Praktis ekonomi terpusat pada tiga komponen utama yakni pekerja, alat produksi, dan tujuan dari kerja (produksi). Pekerja ada dua jenis yakni kapitalis (pekerja pasif) atau orang yang menguasai kapital atau alat produksi, sementara buruh (pekerja aktif) adalah orang yang langsung bersentuhan dengan alat untuk memproduksi sesuatu. Produk sebagai hasil kerja buruh menghasilkan surplus nilai yang mengalir pada pekerja pasif. Dalam setiap tipe masyarakat, aliran surplus dari pekerja aktif ke pekerja pasif selalu ada dengan pola yang berbeda-beda.

Praktik politik mengacu pada potensi alamiah moda produksi dominan untuk selalu mereproduksi sistem agar tetap bertahan. Moda produksi dominan harus membangun sistem politik, ideologi, dan nilai yang mendukung keberlangsungan moda

(30)

produksi. Di Jawa, penerbitan undang-undang Agraria (agrariche wet, 1870) oleh pemerintah Belanda adalah contoh keputusan politik yang kemunculannya didorong oleh kaum pengusaha swasta (sebagai pelaku moda produksi dominan) yang ingin berinvestasi dengan bebas. Pengakuan hak milik dan hak menguasai negara melalui pemerintah, yang merupakan ide dasar undang-undang agraria, akan memudahkan bagi swasta untuk menyewa tanah untuk usahanya. Sistem komunal dan kepemilikan Raja sebelumnya sangat menyulitkan perusahaan perkebunan berinvestasi di Jawa.

Praktik ketiga yakni praktik ideology, yang dibangun oleh moda produksi dominan (moda produksi kapitalis) untuk membenarkan/mengesahkan cara produksi yang mereka kembangkan. Mereka memproduksi pandangan bahwa hubungan produksi yang dikembangkan merupakan sesuatu yang sah dan tidak menimbulkan kerugian. Dalam bentuk nyata, ideology ini diemban oleh apparatus ideology bisa Negara, keluarga, gereja, juga apparatus lain. Althouser (1989) mengatakan apparatus ini ada dua yakni ISA (ideological state apparatus) dan SA (state apparatus). ISA proses produksi pandangan-pandangan kaum kapitalis untuk mengesahkan praktek hubungan produksi yang dikembangkan juga mempromosikan gaya hidup, sementara SA merupakan aparat penegaknya seperti polisi dan tentara.

Formasi sosial pada dasarnya memiliki unsur utama sebuah moda produksi dominan, yang berdampingan dengan moda produksi lain. Moda produksi dominan mengestraksi surplus tenaga kerja dari moda produksi lain. Moda produksi dominan selanjutnya membangun sistem ideology dan sistem politik untuk mengesahkan proses ekstraksi tersebut. Komplek relasi yang berisi proses ekstraksi demikian, disebut sebagai sebuah formasi sosial. Jadi dalam sebuah formasi sosial paling tidak ada dua moda produksi yang hadir secara bersamaan dimana salah satu terdominasi.

Gambaran formasi sosial sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi dimana salah satu mendominasi telah ditemukan beberapa ahli. Jeffrey Paige dalam Roxborough (1986:103-104) menguraikan artikulasi berbagai moda produksi dalam masyarakat perkebunan dibedakan dalam lima artikulasi yakni sistem (1) Manor komersial atau hacienda. Merupakan usaha individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dikerjakan secara hak usaha oleh buruh upahan lokal atau ulang alik setiap hari dari lahan subsistensi didekatnya. (2) perkebunan bagi hasil, merupakan juga bersifat individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dikelola petani bagi hasil atau penyewa. (3) perkebunan yang menggunakan buruh migrasi, merupakan usaha individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dan digarap oleh tenaga pindahan. (4) perkebunan

(31)

besar, perusahaan dimiliki oleh perusahaan swasta atau perusahaan pemerintah atau oleh individu, menggunakan mesin, serta tenaga kerja upahan dari wilayah itu untuk jangka waktu setahun atau lebih, dan (5) pertanian kecil milik keluarga, merupakan usaha individual, digarap pemilik dan keluarganya. Moda produksi kapitalis yang diartikulasikan dalam sistem perkebunan besarlah yang paling mendominasi, sehingga seluruh bangunan politik, norma, dan ideologi ditentukan olehnya.

Temuan Hiroyosi Kano (1990:182-183) di Desa Pagelaran, Kabupaten Malang, memperlihatkan masih adanya ciri produksi non-kapitalis dengan merujuk pada sistem pertanian padi sawah sebagai artikulasinya. Usaha padi sawah meski memiliki hasil cukup besar tidak menjadi pendorong bagi berkembangnya sektor kapitalis. Usaha padi sawah kurang terkomersialisasi, akibat orienta si produksi untuk keperluan sendiri dan sedikit dipertukarkan. Di sisi lain, pertanian tebu di sana sangat komersial sebagai artikulasi ciri kapitalis. Peran para pedagang sangat dominan dalam membawa usaha tani tebu menjadi usaha berciri kapitalis. Usaha tani tebu ini dikembangkan oleh perusahaan gula Krebet baru yang di introdusir penjajah Belanda. Perluasan tanaman tebu pada satu areal persawahan dapat menggeser tanaman padi. Hal ini menunjukkan dominasi tanaman tebu (artikulasi moda produksi kapitalis) atas tanaman padi (artikulasi moda produksi pertanian tradisional).

Penelitian Khan (1974:304) di Minangkabau melihat kehadiran tiga moda produksi bersamaan yakni : (1) Cara produksi subsistensi (subsistensi production) yakni usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terjadi dalam keluarga inti dan bersifat egaliter; (2) Produksi komersialis (petty commodity production) yakni usaha di pertanian dan luar pertanian yang (sudah) berorientasi pasar dimana hubungan produksi menunjukkan gejala eksploitasi surplus melalui hubungan kekerabatan, dan hubungan sosial produksi egaliter karena (umumnya keluarga/kerabat), namun bersifat kompetitif; (3) Produksi kapitalis yakni usaha padat modal yang berorientasi pasar dimana hubungan produksi mencakup hubungan struktur buruh-majikan/pemilik “modal” dan pemilik “tenaga”.

Lebih lanjut Khan menemukan usaha pandai besi (sebagai artikulasi moda produksi kapitalis) yang dulunya mendominasi tidak berkembang menjadi kapitalis malah semakin memperkecil produksinya (teratomisasi). Hal ini disebabkan oleh masuknya berbagai produk import yang menggeser dominasi produk lokal. Dominasi usaha pandai besi (kapitalis lokal) berakhir digantikan oleh moda produksi kapitalis dari luar (produsen barang import).

(32)

Ciri-ciri Struktu r Ekonomi Lokal

Uraian tentang ciri-ciri struktur ekonomi pasti merupakan analisis pada aras umum sebagai generalisasi realitas-realitas ekonomi oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian generalisasi tersebut belum masuk pada konteks lokal dimana penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu kajian pustaka ciri-ciri ekonomi lebih bersifat untuk mengantarkan pemahaman peneliti saja.

Ekonomi lokal dalam kajian ini dimaknai bagaimana struktur ekonomi sebagaimana uraian diatas dilihat dalam konteks lokal. Lokal artinya merujuk pada satu komunitas ter tenntu yang batasa n ruang maupun besar komunitasnya jelas. Lokal berarti menunjuk pada daerah, kesatuan kehidupan sosial didalamnya beserta seluruh dinamikanya. Dalam hal ini, ekonomi lokal berarti merujuk pada ekonomi desa penelitian sekaligus sebagai batas wilayah untuk membedakan dengan daerah lebih luas misalnya kota Batu, jawa Timur, atau Indonesia.

Dalam sosiologi, perubahan struktur ekonomi tidak dimaknai dengan perubahan pendapatan, perubahan suku bunga, penyerapan tenaga kerja, atau peningkatan secara kuantitatif berbagai indikator ekonomi sebagaimana ahli ekonomi. Perubahan ekonomi dimaknai sebagai perubahan pola interaksi sosial sekelompok masyarakat terkait aktifitas-aktifitasnya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup. Interaksi sosial hingga menghasilkan produk (untuk memenuhi kebutuhan) dinamakan proses produksi, sementara cara-cara bagaimana sumberdaya diatur untuk menghasilkan produk disebut sebagai cara produksi. Dengan demikian, ada kemungkinan dalam masyarakat berkembang lebih dari satu cara produksi.

Struktur ekonomi sebagaimana dikemukakan di atas paling tidak ada dua tipe dalam perkembangan masyarakat, yakni non-kapitalis dan kapitalis. Yang pertama merujuk pada moda produksi masyarakat sebelum kapitalisme pasar berkembang di Eropa, berupa jenis-jenis moda produksi asli masyarakat setempat. Khusus untuk Negara bekas jajahan sebagaimana Indonesia, ciri-ciri tradisional menggambarkan struktur ekonomi terutama sebelum penjajahan datang. Struktur ekonomi sendiri berisi interelasi moda-moda produksi yang berarti interelasi berbagai tipe pola penguasaan kekuatan produksi dan hubungan-hubungan sosial yang mengorganisasikan produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa dalam suatu masyarakat.

Struktur ekonomi non kapitalis hasil produksi tidak untuk dipertukarkan dalam arti komersial, namun untuk digunakan bersama secara sosial. Sementara itu hasil produksi sistem kapitalis sebaliknya, dimana hasil produksi dipertukarkan dalam pasar

(33)

dan sedikit digunakan bersama secara sosial. Dengan demikian, struktur ekonomi non-kapitalis produksi berorientasi pada “nilai guna”, sementara non-kapitalis pada “nilai tukar”. Yang satu berdimensi sosial karena berasas nilai guna, sementara yang lain berdimensi keuntungan karena berasas nilai tukar (Sanderson 2003:112).

Struktur ekonomi non-kapitalis atau kapitalis dalam tradisi Marxis dimaknai sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi dimana salah satu cenderung mendominasi, atau yang dikenal dengan konsep formasi sosial. Struktur ekonomi dalam pengertian Sanderson di atas terbangun atas berbagai kegiatan produksi yang masing-masing memiliki ciri khusus. Dengan demikian, struktur ekonomi juga dapat dimaknai sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi dalam satu sistem sosial yang oleh Russel (1989) dan Olin T. Wright (1999) dimaknai sebagai formasi sosial. Jadi, menganalisis struktur ekonomi pada dasarnya adalah menjelaskan dinamika komponen-komponen penyusunnya yakni moda-moda produksi.

Pembedaan atas “produksi untuk dipakai” atau “produksi untuk dijual” tidaklah mungkin ada secara mutlak dalam sektor ekonomi. Dalam ekonomi non-kapitalis masih ada barang dan jasa yang dipertukarkan meski jumlahnya sedikit. Fungsi barang untuk ditukar sekunder saja bagi sektor ekonomi non-kapitalis. Hal ini berarti produksi untuk dipakai tidak benar jika dianggap hanya untuk subsistensi anggotanya saja. Demikian juga dengan ketidak samaan sosial berdasar pada produksi untuk dipakai, bukan pada besarnya kekayaan sebagaimana ekonomi kapitalis.

Dalam sektor ekonomi non-kapitalis, kekuatan-kekuatan produksi penguasaannya sangat bervariasi. Penguasaan terhadap sumberdaya potensial untuk aktifitas produksi ini akan menentukan organisasi sosial apa yang terbangun. Sanderson (2003:113) melihat pali ng tidak ada empat pola penguasaan yakni komunisme primitive, pemilikan keluarga besar (lineage ownership), pemilikan oleh pemimpin (chiefly ownership), dan pemilikan signeureal8. Meski demikian sektor kepemilikan ini tidak representative seluruh jenis kepemilikan dalam sektor ekonomi non-kapitalis, dan masih ada variasi-variasi tertentu.

8 Kepemilikan ini menunjuk pada masyarakat pemburu dan peramu yang primitive, dimana kepemilikan sumberdaya utama dimiliki bersama. Pemilik an keluarga besar adalah kepemilikan berdasar atas lineage (kadang klan) atas sumberdaya utama. Keluarga-keluarga ini menguasai sumber utama yang biasanya tanah. Chiefly ownership menunjuk kepemilikan oleh ketua atau pemimpin yang kuat (dapat suku atau raja). Sementara itu signeureal lebih mengarah pada kepemilikan oleh sekelompok kecil anggota masyarakat atau sering disebut tuan tanah., lebih lanjut lihat Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah

(34)

Hubungan produksi yang terbangun dalam kepemilikan komunal primitive lebih cenderung egaliter, atau bahkan tidak ada ikatan herarkhis dalam produksi. Namun demikian dalam kegiatan-kegiatan perburuan tentu saja mengenal kelompok-kelompok yang terorganisasi, yang lebih banyak dibedakan atas keahlian. Kepemilikan keluarga besar berbeda dimana keanggotaan kelompok menjadi faktor penting dalam mengakses sumberdaya. Chiefly ownership hubungan produksi ditentukan oleh pemimpin dan ia harus menyerahkan sebagian hasil agar hak untuk melakukan produksi tetap diperoleh. Dan untuk kepemilikan signeureal, peranan tuan tanah sangat besar dimana hubungan produksi didominasi para pemilik tanah yang didapatkan secara turun temurun, jika ada orang memakai maka ada kewajiban-kewajiban tertentu (Sanderson 2003:113-117).

Sementara itu, menurut Eric Wolf (1983:84-88) pola penguasaan ini dalam masyarakat tradisional berawal dari sistem komunal menuju pada penguasaan pribadi. Kepemilikan menentukan hak-hak penguasaan, yang dikenal sebagai hak “Domain”. Ada tiga pola penguasaan utama yakni patrimonial domain, prebendal domain, dan mercantile domain9. Selain itu juga dikenal administrative domain, yakni penguasaan oleh Negara yang memiliki kekuasaan tertinggi atas tanah. Tipe-tipe penguasaan ini dapat juga hadir secara bersamaan dalam satu sistem sosial. Sementara itu dalam masyarakat kapitalis modern kepemilikan lebih didominasi kepemilikan pribadi dapat diperjual belikan layaknya komoditi yang lain.

Hubungan produksi yang terbangun pada domain-domain di atas memiliki sifat yang hampir sama dengan pembagian Sanderson. Patrimonial mengacu pada kepemilikan keluarga besar, prebendal pada signeureal, sementara dalam mercantile kepemilikan pribadi penuh. Karena kepemilikan pribadi, maka hubungan produksi mengarah pada hubungan herakhis antara pemilik dan buruh, meski keluarga juga masih berperanan. Sementara itu untuk administrative domain, hubungan produksi terbangun dalam usaha keluarga dengan kewajiban tertentu pada pemerintah berupa

9

Patrimonial domain, menunjuk pada penguasaan berdasar kelompok atau garis keturunan dimana orang yang berada diatasnya harus membayar upeti karen atanggal diatasnya. Sistem Kebekelan di Jawa, dimana tanah adalah milik raja dan massa rakyat pengarap merupakan contoh domain ini. Prebendal

domain menunjuk penguasaan berdasar atas pemberian karena jabatan tertentu dan berhak atas hasilnya.

Namun ada juga model kutipan sebagian hasil tani oleh pejabat dari tanah raja sebagai upah jabatan. Ini dapat kita lihat pada sistem tanam paksa dimana kepala Desa berhak mendapat bagian dari hasil tanam paksa. Dan terakhir mercantile domain menunjuk pada kepemilikan individu dan dapat dipertukarkan bahkan diperjualbelikan dalam pasar, dan tanah menjadi komoditi. Lihat Eric Wolf, 1983, Petani Suatu

(35)

pajak (tunai dan tenaga kerja). Model kuli kenceng, kuli kendo, dan tlosor di Jawa merupakan contoh baik corak domain ini.

Untuk pedesaan Indonesia, dan Jawa pada khususnya, kepemilikan pribadi atas tanah telah terjadi sejak diperkenalkannya culturestelsel oleh Belanda. Tanah-tanah raja telah diberikan hak kepemilikannya pada petani dengan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi seperti pajak dan kerja bakti. Kita ketahui tanah merupakan kekuatan produksi dominan hingga saat ini. Sementara itu hubungan produksi ada yang bersifat egaliter, kelas, juga campuran. Namun menjadi ciri umum yang selalu ada di setiap Desa Jawa dan kiranya juga di Desa -Desa Asia Tenggara, adala h dominasi pola hubungan patron klien (Hayami dan Kikuchi 1984: Hunsken 1998: Scott 2000: Antlov 2002).

Perkembangan Kapitalisme dan Transformasi Ekonomi Lokal

Pengaruh kapitalisme di Negara dunia ketiga, sebagian besar masuk melalui proses kolonialisasi/penjajahan. Kapitalisme yang berkembang di Negara dunia ketiga sering disebut sebagai kapitalis pinggiran (peripheral capitalism) atau juga kapitalis semu. Hal ini menandakan adanya perbedaan antara pertumbuhan ekonomi kapitalis di Negara dunia ketiga dengan Eropa (Beaud, 2001). Kapitalisme di pusat pertumbuhan industri bersamaan dengan pertanian, sementara di pinggiran industri tumbuh melalui ekstraksi pertanian. Di pinggiran transformasi struktural tidak terjadi secara seimbang antar sistem ekonomi, dimana satu cenderung didominasi.

Di Indonesia, penelitian tentang tranformasi struktur ekonomi pedesaan sebenarnya sudah lama dilakukan. Kajian banyak fokus pada dampak masuknya kolonialisme pada struktur ekonomi lokal terutama terkait dengan (1) transformasi ekonomi non kapitalis menjadi kapitalis kolonial, dan (2) implikasi atau pengaruh sistem ekonomi kolonial terhadap perkembangan ekonomi lokal paska kolonial. Studi Booke (1953) melihat adanya dua sistem ekonomi yang berdampingan antara perkebunan Belanda yang bersifat modern dengan pertanian tradisional yang bersifat subsistensi. Booke menyebutnya sebagai dualisme ekonomi. Terjadi co-exsistence dimana satu sistem berkembang dengan caranya sendiri tanpa mengganggu sistem lain. Dengan demikian pertanian tr adisional akan memiliki pola perkembangan sendiri, demikian juga ekonomi kapitalis modern. Namun selanjutnya dibuktikan bahwa hubungan yang terjalin bukan co-existence tapi proses dominasi sistem ekonomi kalonial atas ekonomi lokal.

Gambar

Gambar 2.1 Skema Moda Produksi
Gambar 2.2. Bagan alur berfikir
Tabel 6.6 : Formasi sosial TR dari jaman kolonial hingga reformasi

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa objektif parameter test surveiy seismik dalam domain waktu berada pada sekitar 1200 - 2500ms dan pada daerah X

Misalkan dua orang mengikuti asuransi dana pensiun dengan usia pensiun normal r tahun, t p rr menyatakan peluang hidup pada status hidup gabungan dari dua

Ketika orang mengalami penyakit akut terpencil atau masalah kesehatan dan mencari perawatan, Ketika orang mengalami penyakit akut terpencil atau masalah kesehatan dan mencari

Flexibility in Changes of Raw Materials Shipment Time Rice crop failure Planning error Cooperation with farmer communities Implement CPFR model Misinformation regarding

Gangguan pendengaran disebabkan oleh pertumbuhan abnormal dari spongy bone-like tissue yang menghambat tulang- tulang di telinga tengah, terutama stapes untuk

Boehlke yang menjelaskan bahwa inti dari PAK (Pendidikan Agama Kristen) ialah usaha gereja untuk “menolong”, setiap warga jemaat disetiap kategori usia.. Dengan

susu ibu bersalin terhadap kontrraksi uterus ibu bersalin kala III berdasarkan hasil uji disimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara kontraksi dengan oerangsangan

Ratna Setyaningsih, M.Si., selaku Kepala Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah