• Tidak ada hasil yang ditemukan

USAHA PENGEMBANGAN KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN. Suryana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "USAHA PENGEMBANGAN KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN. Suryana"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

K

erbau umumnya dipelihara secara tradisional di tempat-tempat khusus, seperti sungai, semak-belukar, pinggir hutan atau rawa. Hal ini menunjukkan bahwa kerbau belum banyak disentuh teknologi, sehingga peningkatan popu-lasinya sangat lamban dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya (Baikuni 2002; Hardjosubroto 2004; Suhardono 2004; Dinas Peternakan Provinsi Kali-mantan Selatan 2005).

Kerbau rawa merupakan salah satu plasma nutfah daerah Kalimantan Selatan. Kerbau ini biasanya dipelihara di daerah yang banyak air atau dataran rendah ber-paya-paya, serta memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan rawa yang banyak ditumbuhi semak-semak dan

USAHA PENGEMBANGAN KERBAU RAWA

DI KALIMANTAN SELATAN

Suryana

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Jalan Panglima Batur Barat No. 4, Banjarbaru 70711

rumput rawa (Dilaga 1987). Suhardono (2004) melaporkan, selama 5 tahun terakhir populasi kerbau rawa menurun. Penurun-an ini diduga berkaitPenurun-an dengPenurun-an sistem pengusahaannya yang masih secara tradisional. Penyebab lainnya adalah tingginya jumlah pemotongan, terbatas-nya pakan dan padang penggembalaan alami, penampilan produksi belum maksimal, angka kelahiran rendah, dewasa kelamin dan selang beranak (calving interval) relatif panjang, dan kurang tersedianya pejantan. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat biologis ternak tersebut (Baikuni 2002; Yusdja et al. 2003; Hardjosubroto 2004; Diwyanto dan Handiwirawan 2006). Selain itu, peran kerbau pada sistem usaha tani belum

berorientasi agribisnis, bibit unggul sangat terbatas, kualitas pakan rendah, daya tahan terhadap panas, parasit dan penya-kit rendah, serta teknologi tepat guna kurang tersedia (Diwyanto dan Suban-driyo 1995). Walaupun produksi kerbau rawa belum optimal, penampilan repro-duksinya cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan induk dewasa yang dapat beranak dua kali setiap 2,50 tahun dengan bobot lahir anak 24−31 kg (Rohaeni et al.

2005), dan bobot badan anak umur setahun 176−179 kg (Putu et al. 1994) atau 150−200 kg (Rohaeni et al. 2005).

Musa (1988) mengemukakan, habitat rawa di Kalimantan Selatan dapat dibe-dakan menjadi dua, yakni saat air pasang tinggi (high water period)dengan padang

ABSTRAK

Kerbau rawa (Bubalus carabanensis) umumnya dipelihara secara tradisional di rawa-rawa banjir dengan kedalaman air lebih dari 3,50 m dengan menggunakan kalang. Kalang adalah kandang yang dibuat dari balok-balok kayu blangeran (shore blangeran)berdiameter 10−20 cm, disusun berselang-seling membentuk segi empat tanpa atap. Populasi kerbau rawa pada tahun 2005 tercatat 13.659 ekor, namun sejak lima tahun terakhir populasinya menurun. Penurunan populasi diduga berkaitan dengan sistem pemeliharaan yang masih dilakukan secara tradisional, tingginya tingkat pemotongan, terbatasnya pakan dan padang penggembalaan alami, serta penampilan produksi dan reproduksi yang belum maksimal. Untuk meningkatkan populasi, produktivitas, dan reproduksi kerbau rawa perlu dilakukan perbaikan kualitas genetik ternak dengan inseminasi buatan (IB), perbaikan mutu pakan, penyuluhan kepada peternak agar tidak memotong kerbau yang produktif, serta pencegahan dan pengendalian penyakit, terutama penyakit ngorok dan fascioliasis. Upaya inovasi teknologi meliputi revitalisasi dan pengembangan kawasan perbibitan, pelaksanaan biosekuriti, pengadaan dan pengembangan bibit kerbau, program pemuliabiakan, serta pengaturan areal penggembalaan sehingga kebutuhan pakan sepanjang tahun dapat tercukupi.

Kata kunci: Kerbau rawa, budi daya, Kalimantan Selatan

ABSTRACT

Development of swamp buffalo in South Kalimantan

Swamp buffalo (Bubalus carabanensis) is commonly raised traditionally in swamp areas with a water dept of more than 3.50 m by using kalang, a traditional stall made of logs of 10−20 cm diameter. In 2005, population of swamp buffalo reached 13,659 heads. However, the population decreased in the last five years due to some factors, i.e farming of traditionally systems, slaughtering productive animals, limited supply of forages and natural pastures, and low performance of productivity and reproductivity. The overcome the problems, it is needed to improve genetic performance with artificial insemination technique, forages quality, intensive control of disease, especially septicaemia epizootica and fascioliasis. Innovations of technology needed include revitalization and development of animal breeding area, biosecurity, development of buffalo breds, breeding, and ruling of land use for natural pastures to supply sufficient forages for a long year.

(2)

penggembalaan berupa rumput terapung (floating meadows), dan saat air surut dan padang penggembalaan mulai kering dan hanya bagian tertentu yang tergenang air. Berdasarkan pola air rawa tersebut maka pemeliharaan kerbau rawa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pada musim hujan (November−April) saat padang penggem-balaan digenangi air dan rumput terapung banyak tersedia, serta pada musim kema-rau saat air surut dan hanya beberapa bagian saja yang airnya dalam, sehingga rumput yang tumbuh terapung berkurang (Hamdan et al. 2006). Akibatnya, pada musim kemarau kerbau secara berkelom-pok mencari makan hingga mencapai jarak beberapa kilometer dari lokasi kalang (Dilaga 1987; Putu et al. 1994; Suryana dan Hamdan 2006).

Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan untuk meningkatkan populasi dan produk-tivitas kerbau rawa adalah dengan me-ngembangkan dan melestarikannya. Pengembangan kerbau rawa dilakukan pada daerah-daerah rawa yang memiliki padang penggembalaan alami. Di Kabu-paten Hulu Sungai Utara (HSU), pengem-bangan kerbau rawa selain sebagai peng-hasil daging, juga merupakan salah satu objek wisata, berupa perlombaan atau pacuan kerbau di rawa. Tulisan ini meng-informasikan upaya pengembangan kerbau rawa di Kalimantan Selatan.

POTENSI DAN MANFAAT

KERBAU RAWA

Di Kalimantan Selatan, kerbau rawa memberikan kontribusi positif sebagai penghasil daging, terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air 3−5 m (Putu 2003). Kerbau rawa merupakan ternak asli daerah dan sumber plasma nutfah, dan telah dikembangkan sebagai usaha tani spesifik lokasi pada agroekosistem lahan rawa.

Kerbau rawa umumnya dipelihara dalam kalang, yaitu kandang yang dibuat dari balok-balok gelondongan kayu blangeran (shore blangeran)berdiameter 10−20 cm. Kayu disusun teratur berselang-seling dari dasar rawa hingga tersembul di atas permukaan air dengan tinggi kalang 2,50−3 m, panjang 25 m, dan lebar 10 m, atau disesuaikan dengan jumlah kerbau yang dipelihara. Bagian atas kalang dibuatkan lantai dari belahan kayu yang disusun rapat untuk tempat kerbau

beristirahat. Umumnya kalang berbentuk empat persegi panjang membentuk huruf L atau T. Kalang terdiri atas beberapa ancak atau petak. Setiap ancak berukuran 5 m x 5 m yang mampu menampung 10−15 kerbau dewasa. Pada bagian sisi kalang dibuatkan tangga lebar ± 2,50 m untuk turun dan naiknya kerbau (Dilaga 1987; Suryana dan Hamdan 2006).

Populasi kerbau rawa di Kalimantan Selatan sampai tahun 2005 sekitar 13.659 ekor atau 34,01% dari total populasi ker-bau yang ada yaitu 40.163 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan 2006). Populasi ter-sebut tersebar di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) 7.771 ekor, Hulu Sungai Sela-tan (HSS) 3.136 ekor, Hulu Sungai Tengah (HST) 1.895 ekor, dan Barito Kuala 857 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 2005). Tingkat pertumbuhan rata-rata selama empat tahun terakhir mencapai 27% (Hamdan et al. 2006).

Pemeliharaan kerbau rawa berbeda dengan kerbau atau sapi pada umumnya. Perbedaan utama terletak pada cara peng-gembalaan untuk mendapatkan pakan. Pada musim hujan, sejak sore hingga pagi kerbau berada di atas kalang. Pada pukul 7 atau 9 pagi kerbau diturunkan untuk men-cari makan dan pada sore hari pulang ke kalang. Pada musim kemarau, aktivitas kerbau lebih banyak di padang penggem-balaan atau jarang pulang ke kandang. Pada lahan rawa yang kering dibuatkan pagar keliling sebagai tempat penampung-an sementara serta untuk membatasi kerbau agar tidak berjalan terlalu jauh (Hamdan et al. 2006).

Lahan rawa yang digunakan untuk pemeliharaan kerbau rawa terdapat di Kabupaten HSS, HST, HSU (Tarmudji et al. 1990), dan Barito Kuala (Rohaeni et al.

2005). Kabupaten HSU, terutama Keca-matan Danau Panggang, merupakan daerah potensial untuk pengembangan kerbau rawa, karena mempunyai areal lahan rawa yang luas dan tersedia sumber pakan hijauan. Beberapa desa sebagai sentra peternakan kerbau rawa yaitu Desa Palbatu, Tampakang, Bararawa, Sapala, Ambahai, dan Paminggir (Dinas Peternak-an Kabupaten Hulu Sungai Utara 1995; Putu 2003; Rohaeni et al. 2006a).Di Kabu-paten HST (Kecamatan Labuan Amas Utara), pemeliharaan kerbau rawa terdapat di Desa Sungai Buluh, Mantaas, dan Rantau Bujur, sedangkan di Kabupaten HSS (Kecamatan Daha Utara) yakni Desa Teluk Haur, Hamayung, Pandak Daun dan Paharangan, dan untuk Kecamatan Daha

Selatan meliputi Desa Bajayau Baru dan Bajayau Lama. Selanjutnya di Kabupaten Barito Kuala (Kecamatan Kuripan) ter-dapat di Desa Tabatan dan Tabatan Baru (Hamdan et al. 2006).

Jumlah kerbau yang dimiliki petani berkisar antara 3−90 ekor, biasanya me-rupakan warisan orang tua dan dipelihara secara turun-temurun. Peternak tidak memberi pakan, baik hijauan maupun konsentrat, tetapi kerbau dibiarkan men-cari makan sendiri di rawa dengan cara berenang sambil merenggut rumput.

Putu et al. 1994) membedakan tingkah laku kerbau rawa atas tingkah laku me-rumput dan kawin. Pada saat meme-rumput, satu kelompok kerbau dipimpin oleh seekor pejantan yang mengarahkan ker-bau lain dalam kelompoknya menuju padang penggembalaan. Jarak tempuh kerbau pada saat merumput mencapai 2 km dari kalang, dengan kecepatan per-gerakan rata-rata 2,20 m/menit. Pada waktu kawin, betina yang sedang berahi biasa-nya dikelilingi 5−6 ekor pejantan yang berusaha untuk mengawininya. Waktu perkawinannya tidak menentu.

Penampilan reproduksi kerbau rawa, terutama persentase kelahiran sangat rendah, berkisar antara 23,30−32,20%, terutama di Desa Tampakang, Sapala, dan Paminggir, Kecamatan Danau Panggang, HSU (Tabel 1). Rendahnya reproduksi disebabkan oleh kurangnya aktivitas berahi, terutama pada kerbau muda. Pengendalian perkawinan, baik dengan inseminasi buatan (IB) maupun secara alami sangat ditentukan oleh aktivitas berahi. Oleh karena itu, jika waktu berahi dapat diketahui dengan tepat maka per-kawinan dapat dilakukan dengan tepat, sehingga fertilisasi optimal dan angka kelahiran tinggi (Siregar 1997). Busono (1993) menyatakan, siklus berahi kerbau yang normal adalah 22,40 hari, dengan periode berahi 20−28 jam. Kemampuan reproduksi kerbau betina antara lain diten-tukan oleh faktor lingkungan, manajemen pemeliharaan, pemberian pakan, dan suhu udara. Selanjutnya Putu (2003) dan Tarmudji (2003) menyatakan, angka ke-matian induk berkisar antara 4−6%, kejadian abortus sangat tinggi, terutama pada umur kebuntingan muda, anak yang lahir di padang penggembalaan langsung mati sebelum menuju kalang, serta kemati-an kemati-anak prasapih 18−21%.

Kerbau memiliki peran penting dalam kehidupan sosio-ekonomi petani, yakni sebagai tabungan hidup, penunjang

(3)

status sosial, sumber tenaga kerja, serta penghasil daging, susu dan pupuk (Diwyanto dan Subandriyo 1995; Mahardika 1996). Menurut Yusdja et al.

(2003), sebagai penghasil daging, perkem-bangan populasi kerbau relatif lambat sehingga produktivitasnya rendah. Perbaikan produktivitas dapat dilakukan dengan memperbaiki mutu genetik melalui IB. Di Kalimantan Selatan, kerbau rawa hanya berfungsi sebagai penghasil daging. Khusus di daerah Hulu Sungai, daging kerbau digunakan pada saat hajatan atau kenduri serta perayaan hari-hari besar Islam. Sejak tahun 1991 pemerintah daerah setempat telah menetapkan kerbau rawa sebagai salah satu objek wisata, berupa perlombaan atau pacuan kerbau di Sungai Paminggir Desa Barawa, Kecamatan Danau Panggang pada kedalaman air sekitar 3,50 m (Suryana dan Mawardi 1999).

KETERSEDIAAN PAKAN

ALAMI

Jenis-jenis hijauan padang penggemba-laan di daerah rawa kurang beragam (Sutardi et al. dalam Dilaga 1987). Hijauan leguminosa yang ada adalah Desmodium scalpe, Cassiatora, dan yang paling domi-nan adalah Mimosa pigra yang merupakan tumbuhan pengganggu. Tumbuhan rawa lainnya adalah Ancilema mudflora,

Kylinga brevifolia, Sidorhambia filia,

Fembrystilianna, Nachos cardium, dan

Cyperus cyperoi. Untuk famili Gramineae atau rumput-rumputan diwakili oleh rumput banta, rumput batu, rumput minyak, dan yang dominan adalah rumput padi hiyang (Oryza sativa spontanea L.) (Dilaga 1987).

Hasil penelitian Faturrahman (1988), Musa (1988), dan Rohaeni et al. (2006a) menunjukkan, di padang penggembalaan kerbau rawa Kecamatan Danau Pang-gang, Kabupaten HSU, serta di HSS, HST, dan Barito Kuala ditemukan 24 jenis vegetasi, baik yang bermanfaat untuk pakan maupun sebagai gulma (Tabel 2). Rohaeni et al. (2005) melaporkan, terdapat delapan jenis tumbuhan yang terdapat di lahan rawa Danau Panggang, yaitu kumpai minyak (Hymeneche amplexicaulis

Haes.), kumpai batu (Paspalum sp.),

kumpai mining, babatungan ( Heliptro-pium indicum), kumpai laki, padi hiyang, sumpilang (Cynodon dactylon L. Pars.), dan eceng gondok (Sichornis crassipes

Solma). Populasi eceng gondok sangat dominan, mencapai 50%, sehingga dapat mengganggu transportasi air dan me-nyebabkan pendangkalan. Keberadaan eceng gondok juga mengurangi jenis biota air lainnya serta menekan pertumbuhan rumput yang disukai kerbau. Akibatnya, ketersediaan rumput berkurang sehingga kerbau harus mencari pakan jauh dari lokasi kalang.

Komposisi biomassa dari Poaceae dan Cyperaceae masing-masing adalah 70,95% dan 28,81%, dan untuk vegetasi lainnya 2,34% (Tabel 2). Dari jenis vegetasi yang ada, padi hiyang adalah yang dominan (58,89%). Jenis rumput ini sangat disukai kerbau. Bentuknya mirip padi, baik batang maupun bunganya, tinggi sekitar 0,90−1,20 m, berkembang biak secara vegetatif dengan stolon, berproduksi se-telah berumur 6 bulan, dan jarang berbuah (Dilaga 1987). Keistimewaan rumput ini adalah tingginya mengikuti permukaan air rawa, sehingga pada saat air dalam, kerbau masih dapat mengkonsumsinya (Fatur-rahman 1988; Musa 1988; Sub Balitvet,

Tabel 1. Tampilan reproduksi kerbau rawa di tiga desa Kecamatan Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.

Parameter Desa

Tampakang Sapala Paminggir

Induk bunting per sampel (%) 5 0 6 0 80,60

Kelahiran per induk bunting (%) 53,30 38,90 4 0 Kelahiran per jumlah induk (%) 26,60 23,30 32,20 Lama kebuntingan (hari) 327 ± 41 323 ± 54 318 ± 26 Perkawinan setelah kelahiran (hari) 149 ± 29 166 ± 16 171 ± 21 Jarak beranak (hari) 476 ± 12 489 ± 14 489 ± 21 Sumber: Putu (2003).

Tabel 2. Beberapa jenis vegetasi di lahan rawa Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.

Nama lokal Nama latin Suku

Padi hiyang Oryza sativa forma spontanea L. Poaceae Sumpilang Cynodon dactylon L. Pars Poaceae Kumpai minyak Hymeneche amplexicaulis Haes Poaceae

Banta Isachne indica Nees Poaceae

Kumpai batu Paspalum sp. Poaceae

Kumpai miyang Panicum sp. Poaceae

Kumpai hadangan Paspalum sp. Poaceae

Kangkung rawa Ipomea aquatica Forks Convolulaceae Jajagungan Brachiaria plantaginea Poaceae

Parupuk Saccharum spontaneum Poaceae

Purun tikus Heleocharis dulcis (Burm) Cyperaceae Tetuding Cyperus digitatus Roxb Cyperaceae

Binderang Scirpus grossus L. Cyperaceae

Bundong Scleria pterora Presl. Cyperaceae

Kesuangan Kylinga brevifolia Cyperaceae

Babarasan Polygonum barbatum L. Polygonaceae Kesisap Alternanthera sessilis R.BR Amarantaceae Babatungan Heliptropium indicum Borageneceae

Gugura Panicum repens L. Poaceae

Ilung Sichornis crassipes Solma Pontaderiaceae

Belaran Nerremia sp. Convovulaceae

Si kejut Mimosa sp. Mimosae

Ganggang Hydrilla

-Pipisangan -

(4)

BPPH Wilayah V dan Cabang Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara 1990). Tumbuhan yang kurang disukai kerbau rawa adalah si kejut (Mimosa sp.) karena berduri pada seluruh batangnya dan merupakan tanaman pengganggu (Dilaga 1987), serta berbagai jenis gang-gang dan eceng gondok (Balai Informasi Pertanian Banjarbaru 1986). Rohaeni et al.

(2005) menyatakan, vegetasi tumbuhan pada musim hujan yang menutupi per-mukaan rawa adalah eceng gondok 50%, babatungan 20%, belaran 10%, dan rumput lainnya 10%. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, eceng gondok mengandung protein kasar 12,48%, lebih tinggi di-banding rumput lainnya (Tabel 3).

Estimasi ketersediaan pakan hijauan di lahan rawa pada musim hujan dan musim kemarau disajikan pada Tabel 4. Di Kabupaten HSU dan HST, ketersediaan hijauan pada musim kemarau lebih tinggi dibanding pada musim hujan. Sebaliknya di Kabupaten HSS dan Barito Kuala, hijauan hanya tersedia pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau panjang, hijauan tidak tersedia karena tanah rawa mengering.

PELUANG DAN MASALAH

PENGEMBANGAN KERBAU

RAWA

Pengembangan kerbau rawa mempunyai peluang dan prospek yang baik karena didukung oleh sumber daya manusia yang memadai, seperti pengalaman beternak yang cukup lama dan prospek pasar yang cerah (Qomariah et al. 2006). Menurut

Fahimuddin dalam Baikuni (2002), kerbau rawa sangat potensial sebagai penghasil daging. Di samping mempunyai bobot badan relatif berat (500−600 kg/ekor), persentase karkasnya mencapai 50,26% (Rohaeni et al. 2005). Kerbau juga memiliki daya cerna terhadap serat kasar yang tinggi, dan mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah untuk menghasilkan daging (Toelihere dalam Siregar 2004; Rohaeni et al. 2006b; Sudirman dan Imran 2006). Bobot karkasnya lebih tinggi dari sapi lokal, sehingga sangat potensial sebagai penghasil daging. Namun, umur beranak pertama sekitar 4 tahun dan ternak betina baru berahi pertama setelah ber-umur 3 tahun atau lebih lama dibanding sapi (Tabel 5). Umur pertama kali beranak kerbau berkisar antara 3,50−4 tahun (Diwyanto dan Handiwirawan 2006), lama kebuntingan 318−327 hari, perkawinan kembali setelah beranak 149−171 hari, dan selang beranak 417−439 hari (Putu et al. dalam Diwyanto dan Subandriyo 1995). Hal ini merupakan salah satu penyebab lambatnya kerbau rawa berkembang biak,

walaupun bobot lahir relatif tinggi, yakni 24−31 kg (Rohaeni et al. 2005) atau 26−28 kg (Dilaga 1987), lebih berat dibanding bobot lahir kerbau belang dari Toraja, yaitu jantan 25 kg dan betina 23 kg (Batosamma 2004).

Untuk mendukung pengembangan kerbau rawa, telah dikeluarkan Surat Keputusan Bupati Hulu Sungai Utara tahun 1991 tentang tata guna lahan rawa sebagai tempat penggembalaan kerbau. Upaya ini dimaksudkan untuk menganti-sipasi peningkatan populasi. Dalam SK tersebut, selain ditetapkan daerah khusus untuk pengembangan kerbau rawa, juga tercantum ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh pemilik kerbau, antara lain: 1) areal penggembalaan kerbau dengan lahan pertanian dan perikanan dibuat batas tertentu berupa pagar, se-hingga kerbau tidak memasuki areal pertanian, 2) bila terdapat pelanggaran karena kerbau memasuki atau merusak areal pertanian dan perikanan maka pemilik kerbau wajib memberikan ganti rugi yang wajar, dan 3) pagar dibuat dengan jarak

Tabel 3. Kandungan nutrien rumput pakan kerbau rawa.

Nutrien Jenis rumput

Kumpai minyak Kumpai batu Kumpai mining Kumpai laki Babatungan Padi hiyang Sumpilang Eceng gondok

Bahan kering 94,57 94,73 93,69 93,49 93,80 93,30 94,07 94,27 Protein kasar 7,99 6,21 8,97 10,78 8,96 8,02 6,25 12,48 Lemak kasar 1,14 1,16 1,62 1,33 1,11 1,69 0,91 1,36 Serat kasar 27,85 34,59 23,66 26,09 21,09 28,28 18,09 23,27 Abu 10,92 10,28 12,04 10,03 11,01 14,23 6,98 13,44 Bahan ekstrak tanpa nitrogen 52,09 47,77 53,71 51,77 57,83 47,78 66,85 49,46 Total digestible nutrient tercerna 59,30 54,40 62,24 61,46 65,24 56,22 71,69 61,21 Kalsium 0,42 0,24 0,19 0,47 0,91 0,24 0,19 1,72 Fosfor 0,22 0 0,12 0,13 0,16 0,31 0,13 0,27 Sumber: Rohaeni et al. (2005).

Tabel 4. Estimasi ketersediaan pakan hijauan di lahan rawa Kalimantan Selatan.

Kabupaten Produksi (t/ha/tahun) Total produksi Musim hujan Musim kemarau (t/ha/tahun)

Hulu Sungai Utara 1,70 1 9 20,70

Hulu Sungai Tengah 3,60 11,90 15,50

Hulu Sungai Selatan 3,30 0 3,30

Barito Kuala 1 3 0 1 3

(5)

yang cukup agar kerbau tidak dapat me-masuki areal pertanian atau perikanan (Suryana dan Mawardi 1999).

Kendala pengembangan kerbau rawa di Kalimantan Selatan antara lain adalah makin berkurangnya padang penggemba-laan akibat pertambahan jumlah penduduk, serta pergeseran penggunaan lahan men-jadi lahan usaha tani tanaman pangan (padi, palawija, dan sayuran), terutama di Kabupaten HSS, HST dan sebagian kecil HSU, sehingga ketersediaan hijauan pakan bergantung pada musim (Rohaeni et al.

2005). Padang penggembalaan dengan genangan air tinggi pada musim hujan mulai berkurang, terutama di Kabupaten HSU dan HST, namun di Kabupaten Barito Kuala hijauan pakan tumbuh dengan baik. Pada musim kemarau, ketersediaan pakan hijauan di Kabupaten HSS dan Barito Kuala terbatas (Hamdan et al. 2006). Hal yang sama dinyatakan oleh Mahendri dan Haryanto (2006), bahwa pada musim kemarau panjang, penyediaan pakan di beberapa lokasi mengalami kesulitan, baik kualitas maupun jumlahnya.

Semali et al. (2001) menyatakan, produktivitas rumput alam di daerah pasang surut dan rawa belum diketahui, termasuk luas padang penggembalaan. Hal ini menyebabkan kerbau harus men-cari makan hingga beberapa kilometer dari kalang. Salah satu alternatif untuk meng-atasi keterbatasan pakan hijauan pada musim hujan dengan genangan air tinggi adalah dengan menata lokasi padang penggembalaan dengan memperhatikan jumlah kerbau dan luas areal penggembala-an ypenggembala-ang ada. Pada musim kemarau, hijaupenggembala-an pakan masih tumbuh subur di beberapa lokasi, sehingga dapat dilakukan pergilir-an penggembalapergilir-an (rotation gazing).

Dengan cara ini, ketersediaan pakan dapat mencukupi sepanjang tahun.

Masalah lain dalam pengembangan kerbau rawa adalah (Qomariah et al. 2006): 1) penurunan mutu bibit, rendahnya produktivitas dan terjadinya inbreeding, 2) penjualan pejantan tinggi, 3) lokasi pemeliharaan kerbau terlalu jauh dari permukiman penduduk sehingga sulit melakukan penyuluhan, 4) kekeringan pada musim kemarau panjang sehingga ternak kekurangan air minum, dan 5) serangan penyakit yang menyebabkan kematian. Penyakit yang sering menye-rang kerbau rawa antara lain disebabkan oleh parasit (trypanosomiasisatau surra dan fascioliasis) dan bakteri (penyakit ngorok atau SE dan klostridiosis) (Tarmudji 2003; Suhardono 2004; Suryana 2006). Penyakit ini menyebabkan kematian sejumlah besar kerbau rawa pada tahun 1989−1999. Penyakit lainnya disebabkan oleh kausa viral, seperti Malignant Catharall Fever (Tarmudji 2003; Muharsini et al. 2006) dan black disease

(Priadi dan Natalia 2006).

UPAYA-UPAYA INOVASI

TEKNOLOGI

Untuk meningkatkan produktivitas dan eksistensi kerbau rawa secara berkelan-jutan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan melakukan perlindungan, peles-tarian, dan pengelolaan ternak kerbau, yang meliputi: 1) peningkatan mutu genetik melalui grading up, 2) revitalisasi dan pengembangan kawasan perbibitan kerbau rakyat melalui penataan kelompok, dan 3) pelaksanaan biosekuriti secara tepat terutama pada kawasan perbibitan.

Pengadaan dan pengembangan bibit kerbau dilakukan melalui seleksi dan afkir atau culling secara sistematis, dan me-nyebarluaskan bibit unggul hasil kajian dan telah memperoleh justifikasi dari lembaga berwenang, baik di pusat maupun daerah. Program pemuliabiakan untuk memperoleh bibit unggul dilakukan me-lalui: 1) seleksi peningkatan populasi dan produktivitas, 2) persilangan secara sis-tematis dan terarah, dan 3) program pen-catatan atau recording system terutama di lokasi yang diarahkan untuk pembibitan dan sertifikasi bibit (Toelihere dan Achyadi 2005). Penelitian dan pengkajian tentang teknologi pakan dengan pemanfaatan bahan pakan lokal untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas kerbau rawa perlu dilakukan. Penataan areal peng-gembalaan alami juga dapat memenuhi ketersediaan pakan sepanjang tahun.

Pencegahan dan pengendalian pe-nyakit terutama fascioliasis, ngorok, surra, dan penyakit lainnya perlu dilakukan secara periodik. Untuk mengendalikan penyakit ngorok dapat dilakukan vaksi-nasi dengan cakupan minimal 60−70% populasi terancam, pemberantasan vektor penyakit, menyiagakan petugas lapang (tenaga medis veteriner), serta melaporkan bila terjadi wabah penyakit kepada pe-tugas atau dinas peternakan terdekat. Jika ada kerbau yang mati dapat dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium. Hewan yang sakit harus segera diobati (Tarmudji 2003).

KESIMPULAN DAN SARAN

Produktivitas kerbau rawa di Kalimantan Selatan belum optimal, namun mempunyai keragaan yang baik dan berpeluang untuk dikembangkan sebagai penghasil daging. Masalah dalam pengembangan kerbau rawa antara lain adalah makin berkurang-nya padang penggembalaan alami dan terbatasnya pakan hijauan, tingginya penjualan kerbau jantan, pemotongan kerbau produktif, serta serangan penyakit. Alternatif inovasi teknologi dalam pe-ngembangan kerbau rawa dapat dilakukan dengan perbaikan kualitas pakan, grading up dengan inseminasi buatan, peningkat-an produktivitas dpeningkat-an reproduktivitas, serta penataan areal padang penggembalaan alami agar dapat menyediakan pakan sepanjang tahun. Untuk menciptakan sentra kerbau rawa dengan produktivitas optimal disarankan: 1) melakukan

insemi-Tabel 5. Keragaan kerbau rawa di Kalimantan Selatan.

Parameter Keterangan

Lama bunting (bulan) 1 1 − 1 2

Jarak beranak (tahun) 1,50− 2

Umur pertama beranak (tahun) 4

Berahi pertama betina (tahun) 3

Berahi pertama jantan (bulan) 1 0

Bobot badan lahir (kg) 2 4 − 3 1

Bobot badan umur 1 minggu (kg) 3 5 − 4 0 Bobot badan umur 1 bulan (kg) 52,50− 5 7 Bobot badan umur 1 tahun (kg) 150 −200 Bobot badan bakalan umur 1,50−3 tahun (kg) 214 −450 Sumber: Rohaeni et al. (2005).

(6)

DAFTAR PUSTAKA

Balai Informasi Pertanian Banjarbaru. 1986. Memperkenalkan peternakan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Balai Informasi Pertanian Banjarbaru. 16 hlm.

Baikuni. 2002. Karakteristik reproduksi dan potensi pengembangan ternak kerbau di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Batosamma, T. 2004. Potensi dan prospek pe-ngembangan kerbau belang di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Peningkatan Populasi dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indo-nesia. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan bekerja sama denganPusat Biotekno-logi LlPI. Banjarmasin, 7−8 Desember 2004. 25 hlm.

Busono, W. 1993. Pengaruh beban kerja dan pakan tambahan terhadap perubahan bobot badan dan beberapa aktivitas reproduksi kerbau lumpur betina (Bubalus bubalis). Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Dilaga, S.H. 1987. Suplementasi kalsium dan fosfor pada kerbau rawa Kalimantan Tengah yang mendapat ransum padi hiyang (Oryza sativa forma spontanea). Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 1995. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara, Amuntai. 125 hlm.

Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. 2005. Buku Saku Peternakan 2005. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Peternakan Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Diwyanto, K. dan Subandriyo. 1995. Peningkat-an mutu genetik kerbau lokal di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Per-tanianXIV(4): 92−101.

Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan. 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau: Aspek penjaringan dan distribusi. hlm. 3−12. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-nakan bekerja sama denganDirektorat Per-bibitan Direktorat Jenderal Peternakan, nasi buatan secara massal melalui sinkroni-sasi estrus, 2) menyediakan pakan hijauan yang berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan sepanjang musim, 3) men-cegah penyakit dengan vaksinasi secara

berkala, pemberantasan vektor penular pe-nyakit, serta pengendalian dan pembe-rantasan penyakit menular secara efektif dan berkesinambungan, 4) melakukan

Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Faturrahman. 1988. Analisis vegetasi dan pro-duktivitas rumput rawa di Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Skripsi. Fakultas Peter-nakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hamdan, A., E.S. Rohaeni, dan A. Subhan. 2006.

Karakteristik sistem pemeliharaan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. hlm.170−177. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pe-ternakan bekerja sama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Hardjosubroto, W. 2004. Prospek sosial ekonomi peternakan kerbau di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Peningkatan Populasi dan Pro-duktivitas Ternak Kerbau di Indonesia. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan bekerja sama dengan Pusat Bioteknologi LlPI. Banjarmasin, 7−8 Desember 2004. 11 hlm.

Mahardika, I.G. 1996. Kinerja kerbau betina pada berbagai beban kerja serta implikasinya terhadap kebutuhan energi dan protein pakan. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mahendri, I.G.AP. dan B. Haryanto. 2006. Respons ternak kerbau terhadap penggunaan pakan jerami padi fermentasi pada usaha penggemukan. hlm. 323−328. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. “Cakrawala Baru Iptek Menunjang Revitalisasi Peternakan”. Buku I. Bogor, 5−

6 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Muharsini, S., L. Natalia, Suhardono, dan

Darminto. 2006. Inovasi teknologi dalam pengendalian penyakit kerbau. hlm. 41−48. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-nakan bekerja sama denganDirektorat Per-bibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Musa, A.F. 1988. Mengenal rumput terapung daerah rawa Kalimantan Selatan. Majalah Swadesi Peternakan Indonesia, Juni 1988.

Priadi, A. dan L. Natalia. 2006. Bakteri penyebab diare pada sapi dan kerbau di Indonesia. hlm. 38−44. Prosiding Seminar Nasional Tekno-logi Peternakan dan Veteriner. “Cakrawala Baru Iptek Menunjang Revitalisasi Peter-nakan”. Buku I. Bogor, 5−6 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-nakan, Bogor.

Putu, I.G.M., M. Sabrani, M. Winugoho, T. Chaniago, Santoso, Tarmudji, A.D. Supriyadi, dan P. Oktaviana. 1994. Peningkatan pro-duksi dan repropro-duksi kerbau kalang pada agroekosistem rawa di Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor. 54 hlm.

Putu, I.G. 2003. Aplikasi teknologi reproduksi untuk meningkatkan performans produksi ternak kerbau di Indonesia. Wartazoa 13(4): 172−180.

Qomariah, R., E.S. Rohaeni, dan A. Hamdan. 2006. Studi permintaan pasar kerbau rawa dalam menunjang pengembangan lahan rawa dan program kecukupan daging di Kaliman-tan SelaKaliman-tan. hlm. 178−184. Prosiding Loka-karya Nasional Usaha Ternak Kerbau Men-dukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006. Pusat Peneliti-an dPeneliti-an PengembPeneliti-angPeneliti-an PeternakPeneliti-an bekerja sama denganDirektorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Pro-vinsi Nusa Tenggara Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa.

Rohaeni, E.S., A. Darmawan, R. Qomariah, A Hamdan, dan A. Subhan. 2005. Inventarisasi dan karakterisasi kerbau rawa sebagai plasma nutfah. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 90 hlm.

Rohaeni, E.S., A. Hamdan, R. Qomariah, dan A. Subhan. 2006a. Strategi pengembangan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. hlm. 192−207. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pe-ngembangan Peternakan bekerja sama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa.

Rohaeni, E.S., R. Qomariah, A. Subhan, dan Z. Hikmah. 2006b. Pemeliharaan kerbau men-dukung ekonomi keluarga di kawasan bendungan PLTA Riam Kanan, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar. hlm. 329−335. Prosiding Seminar Nasional Teknologi penyuluhan tentang pentingnya pejantan kerbau yang baik untuk dijadikan bibit, dan 5) mengurangi pemotongan kerbau betina produktif.

(7)

234−240. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Peternakan bekerja sama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa.

Suhardono. 2004. Penyakit dan upaya penang-gulangannya untuk menekan kematian pada kerbau. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Peningkatan Popu-lasi dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indo-nesia. Dinas Peternakan Provinsi Kaliman-tan SelaKaliman-tan bekerja sama denganPusat Bio-teknologi LlPI. Banjarmasin, 7−8 Desember 2004. 11 hlm.

Suryana dan A. Mawardi. 1999. Budi Daya Kerbau Rawa. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 125 hlm. Suryana dan A. Hamdan. 2006. Potensi lahan

rawa di Kalimantan Selatan untuk pengem-bangan peternakan kerbau kalang. hlm. 201−

207. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Ke-cukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Peternakan dan Veteriner. “Cakrawala Baru

Iptek Menunjang Revitalisasi Peternakan”. Buku I. Bogor, 5−6 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Semali, A., B. Setiadi, dan H.M. Togatorop. 2001. Prospek pengembangan hijauan pakan ternak di lahan pasang surut dan rawa. Wartazoa 2(1−2): 11−14.

Siregar, A.R. 1997. Penentuan dan pengendalian siklus berahi untuk meningkatkan produksi kerbau. Wartazoa6(1): 1−6.

Siregar, A. 2004. Pengembangan ternak kerbau melalui aplikasi inseminasi buatan (IB) di Indonesia. Makalah disampaikan pada Semi-nar dan Lokakarya Nasional Peningkatan Populasi dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indonesia. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan bekerja sama dengan Pusat Bioteknologi LlPI. Banjarmasin, 7−8 Desember 2004. 24 hlm.

Sub Balitvet, BPPH Wilayah V, dan Cabang Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 1990. Penelitian pendahuluan tentang kerbau rawa dan penyidikan penyakit di Kecamatan Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Subbalai Penelitian Veteriner, Banjarbaru. 25 hlm.

Sudirman dan Imran. 2006. Kerbau Sumbawa: sebagai konverter sejati pakan berserat. hlm.

Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Suryana. 2006. Tinjauan aspek penyakit pada ternak ruminansia besar dan upaya penang-gulangannya di Kalimantan Selatan. hlm. 144−150. Prosiding Workshop Nasional Ke-tersediaan Iptek dalam Pengendalian Pe-nyakit Strategis. Jakarta, 12 Juli 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Tarmudji, K. Ketaren, D.D. Siswansyah, dan Achmad. 1990. Studi pendahuluan peter-nakan kerbau rawa dan identifikasi parasit darahnya di Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan XXII(40): 106−111.

Tarmudji. 2003. Beberapa penyakit penting pada kerbau di Indonesia. Wartazoa13(4): 160−

171.

Toelihere, M.R. dan K. Achyadi. 2005. Desain program pengembangan ternak kerbau di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2006−

2010. Makalah disampaikan pada Forum Konsultan Peternakan. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan bekerja sama denganFakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 34 hlm.

Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K. Sejati. 2003. Profil dan permasalahan peternakan. Forum Pene-litian Agro Ekonomi 21(1): 44−56.

Gambar

Tabel 2. Beberapa jenis vegetasi di lahan rawa Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Tabel 4. Estimasi ketersediaan pakan hijauan di lahan rawa Kalimantan Selatan.

Referensi

Dokumen terkait

Kerbau merupakan salah satu ternak potong alternatif di Propinsi Kalse untuk mendukung program swasembada daging yang masih dapat ditingkatkan produktivitasnya melalui

Tabel 4 menunjukkan bahwa berat badan kerbau rawa yang ada di Kalimantan Selatan termasuk dalam kisaran berat kerbau lumpur yaitu untuk jantan 500 kg dan betina 400 kg. Ukuran

c. Strategi yang mendukung pengembangan kawasan peternakan kerbau rawa di Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah: a) percepatan pendampingan adopsi teknologi untuk peningkatan

Dari uraian di atas terlihat bahwa usaha peternakan kerbau rawa di daerah ini (yang hanya satu- satunya pengembangan ternak kerbau di lahan rawa di Indonesia) sangat cocok

Dari uraian di atas terlihat bahwa usaha peternakan kerbau rawa di daerah ini (yang hanya satu- satunya pengembangan ternak kerbau di lahan rawa di Indonesia) sangat cocok

c. Strategi yang mendukung pengembangan kawasan peternakan kerbau rawa di Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah: a) percepatan pendampingan adopsi teknologi untuk peningkatan

Selanjutnya disebutkan bahwa pada saat air dalam, pemeliharaan kerbau rawa dilakukan dengan cara digembalakan di padang penggembalaan dan sore hari dinaikan ke atas

Sumberdaya alam berupa lahan rawa yang luas dengan beragam vegetasi hijauan yang tersedia merupakan kekuatan yang dimiliki Kalimantan Selatan dalam rangka mendukung