• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. belum banyak dilakukan, dan dari hasil penelitian oleh para peneliti bahasa belum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. belum banyak dilakukan, dan dari hasil penelitian oleh para peneliti bahasa belum"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian mengenai kekerabatan bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah belum banyak dilakukan, dan dari hasil penelitian oleh para peneliti bahasa belum memberikan dasar analisis yang kuat terhadap tegasan pengelompokan-pengelompokan bahasa di Sulawesi Tangah. Dari beberapa kajian pustaka ini akan di jadikan tolak banding terhadap penelitian ini.

Mead (1995) mengkaji kekerabatan bahasa-bahasa yang berada dalam wilayah Sulawesi Tenggara dan sebagian lagi berada dalam wilayah Sulawesi Tengah. Dengan menggunakan metode leksikostatistik, penelitian ini hanya menekankan pada kelompok bahasa-bahasa Bungku-Laki yang ada di daratan Kendari Sulawesi Tenggara dan di kepulauan Menui Sulawesi Tangah. Jadi, belum mencakupi bahasa-bahasa daerah lain di Sulawesi Tenggara, khususnya bahasa-bahasa daerah di Pulau Buton. Di sisi lain, peneliatan ini juga agak lemah karena tidak dilengkapi oleh bukti-bukti kualitatif.

Kaseng (1987) melakukan pemetaan bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara dengan menggunakan metode deskritif dan teknik utamanya adalah teknik pengisian daftar kata. Teknik elisitasi juga digunakan dengan tujuan untuk mengecek kebenaran data yang masuk melalui pengisian daftar kata, terutama untuk mencocokkan ketepatan penulisan atau ejaan setiap bunyi bahasa dalam

(2)

abjad Latin yang digunakan. Penelitian ini hanya melihat hubungan kekerabatan bahasa yang lebih dekat secara sinkronis, tanpa menerapkan metode kualitatif untuk melihat hubungan kekerabatan secara diakronis. Selain itu, pemetaan bahasa-bahasa yang dilakukan tidak didasarkan pada kajian dialektologis, tetapi hanya berdasarkan anggapan penutur yang diwawancarai oleh peneliti tersebut. Oleh karena itu, hasil penelitian Kaseng tentu saja masih mengadung kelemahan karena untuk mendapatkan hasil penelitian tentang kekerabatan bahasa yang lebih memuaskan dan meyakinkan, bukti-bukti yang diperoleh dengan metode kuantitatif perlu dilengkapi dengan bukti-bukti kualitatif.

Lauder (2000) melakukan penelitian tentang kekerabatan dan pemetaan bahasa-bahasa daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian itu berdasarkan perhitungan leksikostatistik, penghimpunan berkas isogloss, perhitungan isoglos, dan dialektometri, menunjukkan bahwa di Provinsi Sulawesi Tenggara diperkirakan terdapat lima kelompok bahasa, yaitu; (1) kelompok bahasa-bahasa Tolaki yang terdiri atas tiga subkelompok, yaitu; subkelompok Tolaki, subkelompok Wawonii-Kulisusu, dan subkelompok Morenene-Rahantari, (2) kelompok bahasa-bahasa Muna-Cia-cia yang terdiri atas empat subkelompok, yaitu; subkelompok Muna, subkelompok Cia-cia, subkelompok Kumbewaha, dan subkelompok Todangan-Kambowa, (3) kelompok bahasa-bahasa Pulo yang hanya terdiri atas satu subkelompok, yaitu; subkelompok Pulo Kapota-Tomia-Kaledupa-Binongko, (4) kelompok bahasa Bugis yang hanya terdiri atas satu subkelompok, yaitu; subkelompok Bugis Lamunde, dan (5) kelompok bahasa jawa yang hanya terdiri atas satu subkelompok, yaitu; subkelompok Jawa Bangun Sari.

(3)

Berdasarkan pembagian kelompok tersebut, bahasa Wolio tidak dimasukkan dalam kelompok mana pun padahal sebagaimana diketahui bahwa bahasa Wolio merupakan bahasa yang dipilih untuk digunakan sebagai bahasa resmi kerajaan. Hal ini disebabkan oleh pada lokasi titik pengamatan yang dipilih tidak ada informan yang mewakili penggunaan bahasa Wolio tersebut. Penelitian yang dilakukan Lauder tersebut memperlihatkan hasil yang bertolak belakang bahwa bahasa Cia-Cia termasuk dalam kelompok bahasa Muna, begitu pula dengan kelompok bahasa Pulo atau lebih dikenal dengan bahasa Wakatobi merupakan satu kelompok tersendiri.

Selain itu, hasil penelitian itu tidak cukup hanya berdasarkan 200 kosakata dasar Swadesh yang dijadikan sebagai bukti kuantitatif kekerabatan bahasa-bahasa, diperlukan juga bukti-bukti kualitatif yang dapat dipergunakan sebagai dasar yang lebih terpercaya dalam upaya pengelompokan bahasa.

Mbete (1990) melakukan pengkajian terhadap rekonstruksi Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa. Hasil penelitian itu berdasarkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, menunjukkan bahwa (1) bahasa Bali bahasa, Sasak, dan bahasa Sumbawa memiliki hubungan kekerabatan yang erat sebagai satu kelompok tersendiri, (2) pengelompokan dan pengsubkelompokan bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa Sumbawa memperlihatkan hubungan keasalan yang dwipilah (bipartite), (3) secara kuantitatif persentase kesamaan rata-rata kata-kata dasar Daftar Swadesh di antara bahasa Bali-Sasak-Sumbawa ditemukan bahwa terpilah menjadi dua subkelompok, yakni subkelompok bahasa Bali dan subkelompok bahasa Sasak-Sumbawa. Ini dibuktikan dari hasil penelitian pada data yang

(4)

ditemukannya (kognat) yaitu sebesar 50%. Persentase yang paling rendah adalah 49%. Persentase kesamaan tertinggi ditemukan pada bahasa Sasak dan bahasa Sumbawa yaitu 64%, (4) rekonstruksi fonologis menghasilkan sistem fonem PBSS (Protobahasa-Bali-Sasak-Sumbawa) dan PSS (Protobahasa-Sasak-Sumbawa). Rekonstruksi leksikal yang berlandaskan kaidah-kaidah perubahan fonem, menghasilkan sejumlah 703 etimon.

Penelitian linguistik historis yang dilakukan Mbete hanya mencangkup segi-segi fonologi dan leksikal, segi-segi kebahasaan yang lain yaitu morfologi, sintaksis, dan semantik belum dikaji. Walaupun demikian, betapapun kecil dan sederhana, penelitian linguistik historis komparatif tentang pengelompokan bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa Sumbawa telah dapat dibuktikan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

Erawati (2002) mengkaji pewarisan afiks-afiks bahasa jawa kuna dalam bahasa jawa modern. Hasil dari penelitian yang dilakukan yang bersifat historis komparatif generatif menunjukkan bahwa; (1) afiks-afiks bahasa Jawa Kuno yang terwaris ke dalam bahasa Jawa Modern terdiri atas prefik, infiks, sufiks, dan konfiks. Delapan buah prefik terwaris secara linear dan dua buah prefiks terwaris dengan perubahan, (2) afiks-afiks bahasa Jawa Kuno dan bahasa Jawa Modern ketika bergabung dalam membentuk sebuah kata banyak mengalami perubahan yang dapat dipandang sebagai perbedaan. Perbedaan yang mendasar adalah pada saat terjadinya proses peleburan, vokal bergabung dengan vokal, (3) kaidah-kaidah yang ada dalam kedua bahasa berbeda, (4) distribusi di dalam pewarisan ada yang mengalami penyempitan dan ada pula yang mengalami pengembangan

(5)

pada saat bergabung dengan bentuk dasar dan fungsi yang ada tergantung pula pada distribusinya.

Penelitian yang dilakukan Erawati merupakan langkah awal yang sangat terbatas dalam menelusuri keberadaan bahasa Jawa Kuno maupun bahasa Jawa Modern, karena masih banyak afiks-afiks yang lain dalam bahasa Jawa Modern yang belum diangkat dalam penelitian ini. Misalnya, afiks-afiks yang tidak memiliki kemiripan bentuk ataupun makna, atau afiks-afiks tersebut bukanlah merupakan penerusan dari bahasa Jawa Kuno. Dalam hal ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai afiks-afiks tersebut sehingga hasil penelitian tentang afiks itu dapat terangkum lebih komprehensif.

Barr (1979) mengelompokkan bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah. Pengelompokan yang cukup tuntas itu terutama berdasarkan atas pendekatan kuantitatif. Hasil pengelompokannya adalah kelompok Pamona dan kelompok Kaili. Bahasa-bahasa yang termasuk dalam kelompok Pamona adalah bahasa Pamona, Bada’, dan Rampi. Bahasa-bahasa yang termasuk kelompok Kaili adalah bahasa Uma, Sarudu, Baras, Kaili, dan Topoiyo. Berdasarkan perhitungan leksikostatistik ditemukan bahwa persentase kekerabatan bahasa Kaili dan bahasa Uma sebesar 69% dan paling rendah sebesar 47% yang dimiliki oleh pasangan Pamona dan Rampi.

Penelitian ini juga agak lemah karena tidak didukung dengan pendekatan kualitatif, maka, pembuktian lebih lanjut secara kualitatif merupakan upaya yang layak dilakukan, karena tanpan ditunjang dengan bukti-bukti kualitaitif penelitian ini menjadi agak lemah. Dalam hal ini, atas dasar pendekatan kualitatif peneliti

(6)

mencoba untuk melanjutkan dan membuktikan kembali hubungan kekerabatan BK dan BU berdasarkan korespondensinya.

2.2 Konsep

Sebelum mengacu pada uraian teori, perlunya dijelaskan beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep yang dijelaskan adalah konsep yang ada kaitannya dengan judul dari penelitan historis ini.

2.2.1 Korespondensi

Istilah korespondensi bermula dari hukum bunyi yang dikumandangkan oleh aliran Junggramatiker dengan tokohnya Jacob Grim. Dikatakannya bahwa bunyi-bunyi akan memiliki pergeseran secara teratur antara bahasa satu dengan bahasa lain tanpa kecuali. Mengingat hukum bunyi dirasakan mengandung tendensi adanya ikatan yang ketat, maka istilah ini diganti dengan korespondensi

fonemis atau kesepadanan bunyi. Maksudnya segmen-segmen yang

berkorespondensi bagi glos yang sama baik dilihat dari segi bentuk maupun makna dalam bermacam-macam bahasa diperbandingkan satu sama lain. Kesejajaran atau kesesuaian ini terlihat pada kesamaan atau kemiripan bentuk dan arti (Crowley, 1992: 91).

2.2.2 Fonem

Fonem adalah satu bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna. Fonem merupakan abstraksi, sedangkan wujud fonetisnya tergantung

(7)

beberapa faktor, terutama posisinya dalam hubungannya dengan bunyi lain. Fonem berbentuk bunyi. Contoh kata perang; perkataan yang terdiri dari enam unit bunyi, unit-unit bunyi itu disebut fonem, jika /p/ diganti dengan /b/, maka parang akan menjadi barang. Oleh itu, /p/ dan /b/ merupakan unit yang membedakan makna (Kridalaksana, 1982:23).

2.2.3 Etimon

Bentuk proto atau etimon adalah protokata yang menurunkan leksem-leksem pada bahasa-bahasa sekerabat. Dengan kata lain, etimon adalah protoleksem pada tataran leksikal. Bentuk proto atau etimon ini merupakan hasil terakhir dari kegiatan rekonstruksi yang dihipotesiskan sebagai bentuk asal dari bahasa-bahasa turunan sebelum mereka terpisah pada ribuan tahun yang lalu, di samping sebagai penentuan kriteria pengelompokan bahasa melalui inovasi. Bentuk ini ditandai dengan asterisk (*) (Blust, 1977: 25).

2.2.4 Protobahasa

Protobahasa merupakan suatu bentuk yang dirancang bangun atau dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu suatu bahasa. Ini merupakan gagasan teoretis yang dirancang dengan cara yang amat sederhana guna menghubungkan sistem-sistem bahasa kerabat dengan menggunakan sejumlah kaidah. (Bynon, 1979:71).

(8)

2.2.5 Retensi

Retensi adalah unsur warisan, baik bentuk maupun makna yang tertinggal atau bertahan pada bahasa-bahasa turunan sama dengan yang terdapat pada protonya (Anderson, 1979:103; Crowley, 1992:164).

2.2.6 Inovasi

Inovasi adalah unsur warisan dari bahasa asal yang telah mengalami perubahan pada bahasa sekarang (Hock, 1988:581). Jika dalam perkembanganya terjadi perubahan pada kelompok bahasa turunan tertentu dan tidak terjadi pada kelompok bahasa lain, maka ini disebut inovasi bersama yang eksluksif (exclusively shared linguistic innovation) (Greenberg, 1957:49).

2.2.7 Perangkat kognat

Aspek bahasa yang paling cocok untuk dijadikan bahan studi perbandingan adalah bentuk. Dalam kenyataan, struktur formal suatu bahasa tidak banyak menimbulkan masalah dalam perbandingan apabila dibandingkan dengan struktur makna. Dapat bahwa bentuk–bentuk yang dimiliki itu akan lebih meyakinkan kalau bentuk-bentuk itu memperlihatkan kesamaan-kesamaan semantik. Kesamaan atau kemiripan bentuk dan makna yang dapat dikembalikan ke dalam bentuk protonya yang disebut kata-kata kognat (cognat set) karena setiap bahasa memiliki bentuk-bentuk tertentu yang dikaitkan dengan maknanya untuk memudahkan referensi (Keraf, 1996: 33-34).

(9)

2.2.8 Fitur distingtif

Fitur distingtif atau ciri pembeda adalah ciri yang menandai suatu fonem segmental. Dalam kajian fonologi generatif ciri pembeda merupakan satuan terkecil. Ciri pembeda ini merupakan unsur-unsur terkecil fonetik, leksikal, dan suatu transkripsi yang dibentuk oleh kombinasi dan rangkaian (Schane, 1973:24). Misalnya, bunyi [i] ditandai dengan seperangkat ciri yang kompleks, yaitu [+silabis, -konsonan, +tinggi, -belakang, -bulat].

Konsep ciri pembeda atau distinctive feature pertama kali diperkenalkan oleh N. Trubetzkoy dari aliran Praha. Dia menemukan adanya ciri-ciri pada bunyi segmental dalam konteks yang kontras. Kontras yang diamatinya ada yang bersifat bilateral dan ada juga yang bersifat multilateral. Kontras-kontras inilah yang membedakan antara satu bunyi segmental dan bunyi segmental lain. Kontras ini menunjukkan ciri pembeda. Misalnya, kontras antara bunyi [p] dan [b].

Fitur distingtif digunakan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan atarsegmen dalam bahasa karena secara ideal membentuk seperangkat parameter yang universal untuk mengklasifikasikan segmen-segmen yang ada. Mempunyai sifat fonetis karena ciri itu dibuat berdasarkan sifat artikulatoris (seperti koronal, tinggi) atau perseptual (seperti silabis, bertekanan). Mampu menjelaskan kelas wajar yang memiliki sifat fonologis yang sama dalam perubahan bunyi. Sangat berguna, terutama, dalam hubungan dengan penjelasan kaidah perubahan bunyi. Fitur dikelompokkan ke dalam enam macam golongan, yaitu: (1) golongan fitur kelas utama meliputi fitur; silabis, sonoran, konsonantal. Fitur [+silabis] dimiliki oleh bunyi yang berpotensi menjadi puncak kenyaringan suku kata, fitur

(10)

[+sonoran] dimiliki oleh bunyi yang memiliki sifat nyaring, fitur [+konsonantal] dimiliki oleh bunyi yang mendapat hambatan di rongga mulut saat pembentukannya, (2) golongan fitur cara artikulasi yang dibedakan menjadi lima macam, yaitu; malar (kontinuan), pengelepasan tidak segera (PTS), kasar (striden), nasal, dan lateral. Fitur [+ malar] merupakan bunyi yang dihasilkan dengan geseran terus-menerus, seperti bunyi frikatif, sedangkan bunyi yang dimulai dengan hambatan total (afrikat) tergolong fitur [+ PTS], fitur [+ kasar] dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan oleh udara yang keluar mengenai gigi atau uvula, fitur [+ nasal] dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan dengan udara keluar dari hidung, fitur [+lateral] dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan dengan menaikkan lidah, sehingga terjadi hambatan, tetapi sisi lidah yang satu atau keduanya diturunkan untuk memungkinkan udara keluar melewati mulut, (3) golongan fitur daerah artikulasi dibedakan atas fitur [+ anterior] dan fitur [+ koronal]. Fitur [+ anterior] dimiliki oleh konsonan yang dihasilkan oleh penyempitan sebelum alveolum sedangkan fitur [+ koronal] dimiliki oleh konsonan yang dihasilkan oleh penyempitan oleh artikulator daun lidah, (4) golongan fitur batang lidah dan bentuk bibir dibedakan menjadi lima empat, yaitu; fitur [+ tinggi] dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan dengan menaikkan lidah, fitur [+ rendah] dengan menurunkan lidah, fitur [+ belakang] dihasilkan oleh lidah bagian belakang, dan fitur [+ bundar] dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan dengan pembundaran bibir, (5) golongan fitur tambahan meliputi, antara lain, fitur [+ tegang], [+ bersuara], [+ aspirasi], dan fitur [+ glotalisasi]. Fitur tegang dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan dengan ketegangan otot, fitur bersuara dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan dengan

(11)

getaran pita suara, fitur aspirasi serta glotalisasi dimiliki oleh bunyi yang beraspirasi dan bunyi yang dihasilkan oleh glottis, dan (6) golongan fitur prosodi dibedakan atas tekanan dan panjang yang dimiliki oleh bunyi yang dihasilkan dengan bertekanan [+tekanan] dan suara panjang [+panjang] (Schane, 1973:24— 33).

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini mempunyai tiga permasalahan yang mendasar, yaitu masalah pewarisan, tipe-tipe perubahan bunyi, dan korespondensi fonem PAN dalam BK dan BU. Semua permasalahan di atas dibedah dengan teori linguistik historis komparatif.

Pemilihan teori linguistik historis komparatif tentunya mempunyai beberapa alasan, pertama, pendekatan linguistik historis komparatif, khususnya di Eropah, Amerika, dan di Asia, sudah cukup mapan digunakan untuk merumuskan tentang adanya hubungan kekerabatan dan keseasalan (hubungan genetika) bahasa Indo-Eropah (IE) dan juga kekerabatan bahasa-bahasa di kawasan Asia Tenggara. Kedua, teori linguistik historis komparatif ini dibangun oleh para ahli sejarah perbandingan bahasa-bahasa Austronesia, di antaranya oleh Bynon (1979), Hock (1988) dan Crowley (1992). Ketiga ahli itu pada prinsipnya memiliki pandangan yang sama terhadap kajian linguistik historis komparatif. Pandangan-pandangan itu terangkum pada uraian berikut ini.

Setiap bahasa, setelah secara evolusi berpisah dari protobahasanya, bahasa-bahasa itu berkembang dan berubah dengan cara yang berbeda pula

(12)

(Bynon, 1979: 22). Bahasa-bahasa yang berasal dari kelompok yang sama pastinya mewarisi unsur-unsur yang secara genetis sama/mirip yang membedakan bahasa tersebut dari kelompok bahasa yang lain yang bukan merupakan anggota dari kolompok bahasa tersebut. Adanya kesamaan tidak selalu berarti bahwa dua bahasa tersebut termasuk dalam kelompok yang sama. Kemiripan/ kesamaan antara bahasa-bahasa kerabat bisa dijelaskan sebagai akibat shared retention ataupun shared innovations dari proto-bahasanya. Dua bahasa yang sama/mirip karena telah mengalami inovasi bersama dapat dikatakan sebagai bukti bahwa mereka diturunkan dari moyang yang sama yang menjadikan bahasa-bahasa tersebut menjadi subkelompok yang sama. Inovasi bersama adalah bukti bahwa mereka termasuk dalam subkelompok yang sama, karena perubahan yang sama persis tidak mungkin berlangsung secara mandiri dalam dua bahasa terpisah (Crowley, 1992: 164). Jadi, dapat diartikan bahwa pengelompokan bertumpu pada asumsi bahwa inovasi bersama tidak mungkin muncul karena kebetulan.

Dalam perubahan-perubahan bunyi, ada beberapa jenis perubahan bunyi, seperti berikut. Pertama, pelemahan dan penguatan, beberapa bunyi secara relatif bisa lebih kuat ataupun lebih lemah dari bunyi yang lain, misalnya: b, p, f, x, b, v, a, l, d, s, lebih kuat dari p, f, h, h, w, w, ə, I, l, r. Jadi, bunyi bersuara lebih kuat dari bunyi yang tak bersuara, bunyi stop lebih tinggi dari bunyi kontinyuan, konsonan lebih tinggi dari semi vokal, bunyi oral lebih tinggi dari bunyi glotal. Istilah tertentu pada jenis bunyi yang hilang dijelaskan sebagai berikut.

(13)

a) aphaeresis, yakni penghilangan terjadi pada posisi awal kata. Contoh aphaeresi ada pada bahasa Angkamuthi dari semenanjung Cape York Australia, perhatikan data di bawah ini.

Angkamuthi

*/maji/ /Øaji/ ‘makanan’ */nani/ /Øani/ ‘tanah’ */ŋampu/ /Øampu/ ‘gigi’

b) apocope, yakni penghilangan terjadi pada posisi akhir kata. contohnya ada pada bahasa Ambrym di vaunatu, perhatikan data di bawah ini.

Ambrym

*/utu/ /utØ/ ‘kutu’ */aŋo/ /aŋØ/ ‘lalat’ */asue/ /asuØ/ ‘tikus’

c) syncope, istilah ini diucapkan (siŋkəpi) merupakan proses apocope yang mirip tetapi penghilangan vokalnya ditengah kata, yang ada pada bahasa Lenakel, perhatikan data di bawah ini.

Lenakel

*/namatama/ /nimØrin/ ‘matanya’ */nalimana/ /nelØmin/ ‘tangannya’ */masa/ /mØha/ ‘surut’

pelemahan dari */t/ menjadi /r/, dari */s/ menjadi /h/, dari */a/ menjadi /i/ dan nada tinggi */a/ menjadi /e/

(14)

d) Pengurangan kluster, merupakan istilah ketika konsonan berjejer tanpa vokal di tengahnya mengalami penghilangan satu atau lebih konsonan. contohnya ada pada sejarah kata dalam Pidjin Malanesia yang merupakan turunan bahasa Inggris dimana konsonan terakhir dihilangkan, perhatikan data di bawah ini.

Inggris Pidjin Malanesia

/distrikt/ /distrikØ/ ‘daerah’ /poust/ /posØ/ ‘post’ /graeund/ /graunØ/ ‘tanah’ /paint/ /penØ/ ‘cat’ /raeŋk/ /taŋØ/ ‘bak’

e) haplologi, merupakan jenis perubahan yang jarang dan cendrung sporadis dalam penerapannya, dengan menghilangkan semua suku kata. Ketika suku kata itu ada pada suku kata yang mirip, maka pengucapaannya dengan cepat seperti dalam kata “she sells sea shells by the sea shore”

Kedua, penambahan bunyi, tidak hanya kehilangan bunyi (lenition) tetapi bunyi juga bisa ditambahkan. Ada beberapa istilah untuk penambahan bunyi, yaitu.

a) excrescence, merupakan penambahan dengan konsonan pada konsonan lain. Sejarah kata bahasa Inggris memunculkan penambahan konsonan, seperti contoh di bawah ini.

Inggris

/æmtig/ /εmpti/ ‘kosong’ /θymle/ /θimbl/ ‘bidal’

(15)

b) ephentesis atau anaptysis, merupakan perubahan yang mana sebuah vokal ditambah di tengah kata untuk memisahkan konsonan kluster. Dalam contoh Tok Pisin dengan bahasa Inggris merupakan aplikasi ephentesis, perhatikan contoh di bawah ini.

Inggris Tok Pisin

/blæk/ /bilak/ ‘hitam’ /blu:/ /bulu/ ‘biru’ /nεkst/ /nekis/ ‘berikutnya’ /siks/ /sikis/ ‘sakit’

c) prothesis, merupakan penambahan bunyi yang ada pada awal kata pada bahasa Moto di Papua Nugini, contoh:

Moto

*/api/ /laki/ ‘api’ */asan/ /lada/ ‘insang’ */au/ /lau/ ‘saya’

Ketiga, metathesis, perubahan yang dikenal metathesis ini tidak biasa karena tidak ada penghilangan dan penambahan bunyi tertentu tetapi disebabkan salah pengucapan. Contoh ada pada bahasa Ilakano di Filipina dengan mengalih akhiran (s) dan awalan (t) dengan Tagalog bahasa resmi Filipina:

Tagalog ilakano

/taŋis/ /sa:ŋit/ ‘menangis’ /tubus/ /subut/ ‘merebus’ /tamis/ /samqit/ ‘manis’

(16)

Keempat, peleburan, merupakan jenis perubahan bunyi yang mana dua bunyi terpisah menjadi bunyi tunggal (merger) dan membawa unsur fonetis dari kedua bunyi asalnya. Perhatikan contoh di bawah ini.

Prancis

*/oen/ /oē/ ‘satu’ */bon/ /bō/ ‘bagus’ */blan/ /blā/ ‘putih’

Kelima, unpacking, adalah proses fonetik yang merupakan lawan dari peleburan, yakni dari satu bunyi tunggal yang asli menjadi dua bunyi yang masing-masing memiliki beberapa fitur yang dimiliki bunyi aslinya. Perhatikan contoh di bawah ini.

Prancis Bislama

avance /avãs/ /avoŋ/ ‘upah’

Keenam, vowel breaking, perubahan vowel breaking (pemecahan vokal), vokal tunggal berubah menjadi diftong, dengan vokal asli yang tetap sama, dengan beberapa jenis glide (bunyi luncuran) yang ditambahkan sebelum dan sesudahnya.

Kairiru

*/pale/ /pial/ ‘rumah’ */manu/ /mian/ ‘burung’

Ketujuh, asimilasi, ketika satu bunyi menyebabkan bunyi lainnya berubah, sehingga dua bunyi itu menjadi lebih mirip satu sama lain.

(17)

Jerman

*/ba:d/ /ba:t/ ‘mandi’ */ta:g/ /ta:k/ ‘hari’ */ga:b/ /ga:p/ ‘memberi’

Kedelapan, disimilasi, proses ini merupakan lawan dari asimilasi yang berarti satu bunyi berubah menjadi tidak mirip dengan bunyi didekatnya.

Afrika

*/sxo:n/ /sko:n/ ‘bersih’ */sxoudər/ /skouər/ ‘bahu’

Kesembilan, perubahan bunyi abnormal, dalam artian tidak memenuhi syarat perubahan-perubahan yang telah disebutkan di atas. Hal ini terjadi karena ketika perubahan antar dua bentuk terlihat sangat besar sehingga menjadi sangat tidak mirip. Contohnya dalam bahasa Perancis cent yang diucapkan [sã] (Crowley, 1992:38-57, bandingkan juga Hock, 1988: 34-166).

Di sisi lain, di dalam kesepadanan-kesepadanan terdapat perubahan-perubahan yang teratur dan yang tidak teratur. Perubahan yang teratur disyarati oleh lingkungan tertentu, sedangkan perubahan yang tidak teratur hanya terjadi pada beberapa kata, tidak tergantung pada lingkungan yang ditempati oleh bunyi itu (Bynon, 1979: 29-30). Rumusan keteraturan perubahan bunyi itu, oleh kaum Neogrammarian disebut hukum bunyi dan istilah hukum bunyi itu diperhalus menjadi korespondensi atau kesepadanan bunyi (Keraf, 1996: 49).

Perubahan bahasa dapat terjadi dalam aspek fonologi, gramatikal, dan semantik (Bynon, 1979). Perubahan bahasa seperti itu merupakan perubahan yang

(18)

bersifat internal. Ada tiga model perubahan bahasa, yaitu model neogramarian, model strukturalis, dan model transformasi generatif (Bynon, 1979: 17-169).

2.4 Asumsi Dasar

Dilihat dari hubungan kekerabatannya, berdasarkan perhitungan leksikostatistik BK dan BU dengan menggunakan 200 kosakata daftar Swades, bahwa BK dan BU memiliki 63% keeratan hubungan kekerabatan sehingga dapat dikatakan rentang itu merupakan subkeluarga bahasa, namun, di sisi lain, sistem dan kaidahnya banyak mengalami perubahan. Selanjutnya, dalam penelitian ini dapat diasumsikan bahwa setiap bahasa memiliki pola perubahan tersendiri (Bynon, 1979: 22). Oleh karena itu, beberapa unsur-unsur Proto-Austronesia yang diturunkan atau terwaris pada BK dan BU dapat dihipotesiskan telah berubah, di samping juga ada yang bertahan. Dengan kata lain, beberapa unsur-unsur Proto-Austronesia mengalami perubahan atau pergeseran pada BK dan BU baik bentuk, distribusi, fungsi, maupun maknanya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh adanya proses morfofonemik.

(19)

Objek penelitian: pewarisan Proto Fomen PAN dalam BK & BU 2.5 Model Penelitian

2.5 Model penelitian

Bagan ini menjelaskan bahwa penelitian historis ini diawali dengan penentuan objek penelitian yaitu BK dan BU. Berdasarkan pada objek penelitian tersebut, barulah dirumuskan permasalahan-permasalahan yang relevan untuk dikaji dalam penelitian studi formal ini. Dalam hal ini, ada tiga rumusan permasalahan yaitu: (1) bagaimanakah pewarisan atau penerusan fonem PAN pada BK dan BU, (2) mengapa fonem PAN berkorespondensi dengan fonem BK dan BU, (3) apa sajakah tipe-tipe perubahan bunyi PAN dalam pewarisannya pada BK dan BU.

Permasalahan-permasalahan tersebut dibedah dengan teori LHK (Linguistik Historis Komparatif) yang ditunjang oleh dua metode, pertama metode kuantitatif dan kedua metode kualitatif. Metode kuantitatif ikhwal metode leksikostatistik digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai persentase keeratan hubungan kekerabatan BK dan BU, sedangkan metode kualitatif ikhwal

Masalah penelitian: pola pewarisan, faktor perubahan, dan tipe-tipe perubahan bunyi. Teori LHK Metode penelitian: 1. Metode Leksikostatistik 2. Metode Perbandingan Hasil penelitian

(20)

metode perbandingan (comparative method) digunakan untuk menganalisis dan mendeskripsikan keterwarisan fonem PAN pada BK dan BU, serta menemukan perangkat korespondensi fonemis terkait dengan perubahan fonemnya. Hasil penelitian historis ini diharapkan ditemukannya bukti-bukti pengelompokan BK dan BU berupa unsur-unsur PAN yang terwaris pada BK dan BU.

Referensi

Dokumen terkait

Berikut hasil rekapitulasi kuisioner tertutup kepentingan atribut untuk Kipas angin KAD-927 PL dapat dilihat pada tabel 4.5.. Tabel 4.5 Rekapitulasi Kuesioner

Namun, jika pada tingkat signifikansi lebih dari 5%, maka dapat diketahui bahwa pengaruh yang nyata antara ukuran perusahaan, profitabilitas dan leverage sebagai

(6) Global positioning system (GPS), digunakan untuk menentukan posisi (7) Kompas, digunakan untuk menentukan arah. Dalam pengamatan komunitas mangrove, diperlukan: perahu

Ketika tombol Add di klik maka tombol Save dan tombol Cancel akan aktif, kemudian muncul pesan “Silahkan pilih akses level”, lalu pilih hak akses maka kode petugas

1) Para migran cenderung memilih tempat tinggal terdekat dengan daerah tujuan.. 2) Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi adalah

Tujuan dan Manfaat dari penelitian ini adalah menerapkan sistem penilaian ujian essay secara otomatis berbasis web secara online menggunakan metode GLSA, menghasilkan

Berdasarkan hasil observasi dan penelitian yang penulis lakukan dapat simpulkan bahwa pelayanan prima di UPTD Puskesmas Loa Janan telah melaksanakan fungsinya dengan baik

Penelitian Laksminy menjelaskan strategi transfer bahasa dari orang tua kepada anak, bahasa mana yang akan dipilih dalam lingkungan keluarganya, namun dalam