• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tanaman Stroberi (Fragaria x ananassa) nama ilmiah Fragaria x ananassa var duchenes. Stroberi ini adalah hasil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. A. Tanaman Stroberi (Fragaria x ananassa) nama ilmiah Fragaria x ananassa var duchenes. Stroberi ini adalah hasil"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

5

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Stroberi (Fragaria x ananassa) 1. Sejarah Tanaman Stroberi

Salah satu produk pertanian yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia adalah stroberi. Stroberi merupakan tanaman buah berupa herba yang ditemukan pertama kali di Chili, Amerika. Salah satu spesies tanaman stroberi yaitu Fragaria chiloensis L menyebar ke berbagai negara Amerika, Eropa dan Asia. Fragaria vesca L lebih menyebar luas dibandingkan spesies lainnya. Jenis stroberi ini pula yang pertama kali masuk ke Indonesia.

Tanaman stroberi telah dikenal sejak zaman Romawi. Stroberi yang dibudidayakan sekarang disebut sebagai stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Fragaria x ananassa var duchenes. Stroberi ini adalah hasil persilangan antara Fragaria virginiana L. var duschenes dari Amerika Utara dengan Fragaria chiloensis L. var duschenes dari Chili, Amerika Selatan. Persilangan kedua jenis stroberi tersebut dilakukan pada tahun 1750. Persilangan persilangan lebih lanjut menghasilkan jenis stroberi dengan buah berukuran besar, harum, dan manis (Supriatin Budiman dan Desi Saraswati, 2008).

2. Taksonomi dan Morfologi Tanaman Stroberi

Tanaman stroberi dalam tata nama (taksonomi) tumbuhan diklasifi-kasikan sebagai berikut :

(2)

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua) Ordo : Rosales

Famili : Rosaceae Genus : Fragaria

Spesies : Fragaria x ananassa (Rukmana, 1998)

Struktur akar tanaman stroberi terdiri atas pangkal akar (collum), batang akar (corpus), ujung akar (apex), bulu akar (pilus radicalis), serta tudung akar (calyptra). Tanaman stroberi berakar tunggang (radix primaria) terus tumbuh memanjang dan berukuran besar (Rukmana, 1998).

Akar serabut stroberi di dalam tanah tumbuh dangkal dan menyebar secara horizontal sepanjang 30 cm dan secara vertical dapat mencapai kedalaman 40 cm. Akar muncul dari batang yang pendek dan tebal berbentuk rumpun. Dari rumpun tersebut dapat muncul tunas yang akan menjadi crown baru, sulur dan bunga (Soemadi, 1997).

Batang tanaman stroberi beruas-ruas pendek dan berbuku-buku. Batang tanaman banyak mengandung air (herbaceous), tertutupi oleh pelepah daun, sehingga seolah-olah tampak seperti rumpun tanpa batang. Buku-buku batang yang tertutup oleh sisi daun mempunyai kuncup (gemma). Kuncup

(3)

ketiak dapat tumbuh menjadi anakan atau stolon. Stolon biasanya tumbuh memanjang dan menghasilkan beberapa calon tanaman baru.

Stolon adalah cabang kecil yang tumbuh mendatar atau menjalar diatas permukaan tanah. Penampakan stolon secara visual mirip dengan sulur. Tunas dan akar stolon tumbuh membentuk generasi (tanaman) baru. Stolon yang dapat tumbuh mandiri dapat segera dipotong atau dipisahkan dari rumpun induk sebagai bahan tanam (bibit). Bibit yang berasal dari stolon disebut geragih atau runners (Rukmana, 1998)

Daun tanaman stroberi tersusun pada tangkai yang berukuran agak panjang. Tangkai daun berbentuk bulat serta seluruh permukaannya ditumbuhi oleh bulu-bulu halus. Helai daun bersusun tiga (trifoliate). Bagian tepi daun bergerigi, berwarna hijau, dan berstruktur tipis. Permukaan atas daun berbulu halus berwarna hijau atau hijau tua. Permukaan bawah berwarna hijau keabu-abuan dan memiliki 300-400 stomata/mm2. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman ini sangat mudah kekurangan air karena tingginya laju transpirasi pada saat udara panas. Pada masa pertumbuhan vegetatif, dengan suhu rata-rata 22 °C akan terbentuk daun-daun baru setiap 8-12 hari. Daun-daun ini akan tumbuh di meristem apikal. Daun dapat bertahan hidup selama 1-3 bulan, kemudian daun akan kering dan mati (Agus Kurnia, 2005: 10)

Bunga stroberi mempunyai 10 kelopak yang berwarna hijau, 5 mahkota berwarna putih, 60 sampai 600 putik dan 20 sampai 35 benang sari yang tersusun sekitar stigma di atas dasar bunga. Penyerbukan stroberi terjadi

(4)

secara silang dengan bantuan angin, serangga (kupu-kupu, lebah) maupun manusia.

Bunga berbentuk tandan yang terdiri atas beberapa tangkai utama yang masing-masing ujungnya terdapat satu bunga yang disebut bunga primer, dan dua tangkai serta bunga-bunga di bawahnya yang disebut bunga sekunder. Di bawah bunga sekunder terdapat bunga tersier dan kuartener. Ukuran tangkai bunga selalu lebih panjang daripada daun. Pemunculan rangkaian dan mekarnya bunga terjadi secara berurutan, dan berlangsung selama empat minggu. Biasanya sebanyak 6 sampai 8 bunga pertama pada setiap tangkai akan mekar lebih awal, yang selanjutnya diikuti oleh bunga di bawahnya.

Buah stroberi yang kita kenal sebenarnya adalah buah semu, bukan buah yang sebenarnya. Buah stroberi yang dikenal masyarakat selama ini adalah reseptakel atau jaringan dasar bunga yang membesar. Buah yang sebenarnya adalah biji-biji kecil berwarna putih yang disebut dengan achen.

Achen berasal dari sel kelamin betina yang telah diserbuki dan kemudian

berkembang menjadi buah kerdil. Achen menempel pada permukaan reseptakel yang membesar (Setiani, 2007).

Biji stroberi berukuran kecil, pada setiap buah menghasilkan banyak biji. Biji berukuran kecil terletak di antara daging buah. Pada skala penelitian atau pemuliaan tanaman biji merupakan alat perbanyakan tanaman secara generatif (Rukmana, 1998).

(5)

3. Syarat Tumbuh Tanaman Stroberi Keadaan Iklim

Tanaman stroberi dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan 600–700 mm/tahun. Lamanya penyinaran cahaya matahari yang di butuhkan dalam pertumbuhan adalah 8–9 jam setiap harinya. Tanaman stroberi menyukai suhu udara yang relatif dingin. Tanaman dari daerah beriklim subtropis ini akan tumbuh baik di daerah yang memiliki suhu pada siang hari sekitar 22-25 °C dan malam hari 14-18 °C. Suhu yang cukup dingin di malam hari dibutuhkan untuk memicu proses inisiasi bunga. Kelembaban udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman stroberi anatara 80–90 % (Rukmana, 1998).

Keadaan Tanah (Media Tanam)

Tanaman stroberi jika ditanam di kebun, tanah yang dibutuhkan adalah tanah liat berpasir biasanya jenis tanah andosol atau latosol, subur, gembur, mengandung banyak bahan organik, tata air dan udara baik, derajat keasaman tanah (pH tanah) adalah 5.4–7.0, dan kedalaman air tanah yang disyaratkan adalah 50-100 cm dari permukaan tanah.

Jika ditanam di dalam pot/polybag, media harus memiliki sifat poros, berstruktur gembur, subur, dapat menyimpan air dan unsur hara selalu tersedia. Ketinggian tempat adalah 1.000–1.500 m dpl (Rukmana, 1998). 1. Teknik Budidaya Tanaman Stroberi

Tata laksana budidaya tanaman stroberi dalam pot meliputi kegiatan – kegiatan pokok sebagai berikut :

(6)

a. Persiapan media tanam

Tanaman stroberi membutuhkan media tanam yang subur, gembur, berdrainase dan beraerasi baik, serta kaya akan bahan organik. Komposisi media tanam yang biasa digunakan adalah campuran tanah, sekam, dan pupuk kandang dengan perbandingan 1: 1 : 2. Kemudian isikan media tanam ke dalam polybag dengan ukuran 20 x 30 cm sebagai media tanam. (Rukmana, 1998)

b. Persiapan bahan tanam

Perbanyakan tanaman stroberi dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan secara generatif yaitu dengan biji yang disemaikan terlebih dahulu. Sedangkan perbanyakan secara vegetatif yaitu menggunakan anakan dan melalui stolon serta perbanyakan secara kultur in vitro (Hanif dkk, 2013). Perbanyakan tanaman stroberi yang banyak dilakukan oleh petani dengan cara vegetatif menggunakan stolon. Hal ini dikarenakan bibit yang berasal dari perbanyakan secara vegetatif memiliki sifat-sifat yang sama (serupa) dengan induknya dan lebih mudah.

c. Penanaman

Waktu tanam stroberi yang paling baik adalah pada awal musim hujan. Tata cara penanaman bibit stroberi adalah sebagai berikut pertama siram media tanam stroberi hingga keadaanya cukup basah, kemudian keluarkan bibit tanam stroberi lengkap bersama akar dan media tanamnya dengan cara menyobek polybag, selanjutnya membuat lubang tanam. Setelah lubang tanam dibuat, selanjutnya yaitu menanam bibit tanaman stroberi

(7)

yang sudah diseleksi. Tanamkan bibit stroberi tersebut tepat ditengah-tengah pot pada posisi tegak, kemudian timbun bagian pangkal batang tanaman dengan media tanam sambil dipadatkan secara pelan-pelan. d. Pemeliharaan tanaman

i. Penyiraman

Penyiraman stroberi yang biasa dilakukan yaitu dengan cara menyiram tanaman menggunakan gembor atau di leb. Waktu penyiraman yaitu pada saat pagi dan sore hari, namun jika musim penghujan penyiraman dapat dilakukan sehari sekali atau dua hari sekali.

ii. Penyulaman

Penyulaman pada tanaman stroberi dilakukan seawal mungkin yaitu 7 hari setelah tanam, paling lambat 15-30 hari setelah tanam. Penyulaman yang terlambat akan membuat tanaman menjadi tidak seragam. Waktu penyulaman yang paling baik dianjurkan untuk penyulaman yaitu pada pagi atau sore hari. Cara penyulamannya dengan menggantikan tanaman yang mati, terkena OPT, atau pertumbuhannya kurang baik dengan bibit yang baru, seperti pada langkah penanaman. Setelah penyulaman sebaiknya langsung disiram.

iii. Penyiangan

Rumput liar (gulma) yang tumbuh pada permukaan media tanam harus segera disiangi. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut gulma secara hati-hati hingga bersih. Penyiangan pada tanaman stroberi dilakukan tergantung dari keadaan pertumbuhan gulma

(8)

iv. Pemangkasan

Tanaman stroberi yang tumbuh terlalu rimbun mempunyai banyak daun akan menjadi kurang produktif berbunga atau berbuah. Daun-daun tua atau rusak yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit dan tangkai bekas buah sebaiknya dilakukan pemangkasan. Cara pemangkasan adalah secara manual yaitu dengan mencabut daun-daun tua atau rusak dan tangkai buah. Interval pemangkasan yaitu setiap 3-4 hari.

v. Pemupukan

Pemupukan di bagi menjadi pemupukan dasar dan susulan. Pupuk dasar yang diberikan sesudah tanah diolah umumnya menggunakan pupuk kompos dan pupuk buatan sepertiga dari dosis anjuran(200 kg urea, 250 kg SP-36 dan 100 kg/ha KCl). Pupuk kandang diberikan seminggu sebelum benih ditanam sebanyak 20-30 ton/hektar (BAPPENAS “dalam” Prihatman, 2000). Dan pemupukan susulan dilakukan saat tanaman berumur 1,5 bulan yaitu 2/3 dosis anjuran. Pemupukan dilakukan dengan cara dibenamkan dalam media tanam sedalam 10–15 cm. Setelah pemupukan media tanam sebaiknya segera disiram menggunakan air bersih dimaksudkan agar pupuk dapat segera larut dan diserap oleh tanaman.

vi. Pengendalian hama dan penyakit

Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan menyemprotkan fungisida Benlate® dengan konsentrasi 0.7 g/liter dan

(9)

penyemprotan pestisida Curacron® 500 EC dengan konsentrasi 1 cc/liter. Penyemprotan dilakukan apabila tanaman menunjukkan gejala penyakit atau serangan hama. Penyemprotan diusahakan tidak dilakukan pada musim panen. Apabila harus dilakukan maka tanaman stroberi minimal disemprot 2 hari sebelum buah dipanen. Penyemprotan dilakukan 3 kali selama penelitian.

e. Panen

Panen stroberi dilakukan secara periodik 2-3 hari sekali , tampilan fisiknya kulit buah dominan berwarna merah atau hijau kemerah-merahan hingga kuning kemerah-merahan. Panen dilakukan pagi hari untuk menghindari penurunan kualitas dan bobot hasil karena pengaruh sinar matahari. Cara panen dilakukan dengan memetik pada bagian tangkai buah beserta kelopaknya, pememetikan pada tangaki buah dan kelopak bertujuan agar buah tidak cepat busuk pada waktu penyimpanan atau saat pengiriman.

B. Kompos 1. Pengertian dan Manfaat Kompos

Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Crawford, 2003). Murbandono (2008), menyatakan bahwa kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi dari bahan-bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik lainnya. Kompos sebagai pupuk organik mempunyai fungsi untuk

(10)

memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah terhadap air, dan meningkatkan daya ikat tanah terhadap unsur hara. Kompos juga mengandung zat hara yang lengkap yang dibutuhkan oleh tanaman.

Proses pengomposan adalah proses penguraian bahan organik secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Pengomposan merupakan dekomposisi biologi dan stabilisasi bahan organik pada kondisi suhu tinggi dengan produk akhir yang cukup stabil untuk penyimpanan dan memperbaiki tanah pertanian tanpa menimbulkan dampak lingkungan (Haug, 1980). Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.

Pemupukan menggunakan kompos mengakibatkan tanah yang strukturnya ringan (berpasir atau remah) menjadi lebih baik, daya ikat air menjadi lebih tinggi. Sementara itu, tanah yang berat (tanah liat) menjadi lebih optimal dalam mengikat air. Kompos juga mengandung zat hara yang lengkap yang dibutuhkan oleh tanaman. Menurut Lingga dan Marsono (2008), kandungan utama yang terdapat dalam kompos adalah nitrogen, kalium, fosfor, kalsium, karbon dan magnesium yang mampu memperbaiki kesuburan tanah walaupun kadarnya rendah. Kompos merupakan semua bahan organik yang telah mengalami degradasi atau pengomposan sehingga berubah bentuk dan sudah tidak dikenali bentuk aslinya, berwarna

(11)

kehitam-hitaman, dan tidak berbau (Rynk, 1992). Bahan organik tersebut dapat berasal dari bahan pertanian (limbah tanaman dan limbah ternak), limbah padat industri dan limbah rumah tangga.

Proses pengomposan dapat dibuat dengan dua cara, yaitu dengan bantuan oksigen (aerobik) dan tanpa bantuan oksigen (anaerobik). Pembuatan kompos aerobik dilakukan di tempat terbuka karena mikroorganisme yang berperan dalam proses tersebut membutuhkan oksigen. Untuk pembuatan kompos secara anaerobik dilakukan di tempat tertutup karena mikroba yang berperan tidak membutuhkan oksigen. Umumnya pembuatan kompos dilakukan secara aerobik. Proses dekomposisi secara anaerobik tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap serta memerlukan waktu lebih lama. Proses anerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S (Yuwono, 2005).

Kompos seperti multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini akan membantu tanaman dalam menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui

(12)

dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan yaitu rasio C/N, ukuran partikel, aerasi, porositas, kelembaban, temperatur, pH, kandungan hara, dan kandungan zat berbahaya (Isroi, 2007).

Kompos dapat digunakan sebagai pupuk organik seperti hasil penelitian Sutanto dan Utami (1995), bahwa tanaman kacang tanah yang ditanam di tanah kritis dengan menggunakan beberapa jenis kompos dapat mengasilkan kacang yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan pupuk kimiawi sesuai dengan dosis anjuran. Rizkywan, (2014), mengemukakan bahwa dosis kompos kulit kopi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah. Pertumbuhan dan hasil kacang tanah terbaik pada dosis kompos kompos 192 g/tanaman (20 ton/h). Penelitian Adnan, (2014) membuktikan bahwa pemberian kompos kulit kopi 300 g perlubang tanaman jagung manis memberikan pengaruh sangat nyata bagi tinggi tanaman, jumlah daun, panjang tongkol, berat tongkol dan hasil jagung

2. Prinsip Pengomposan

Proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Pembuatan kompos memerlukan waktu 2-3 bulan bahkan ada yang memerlukan waktu hingga 6-12 bulan tergantung dari bahan baku (Djuarni dkk, 2006). Tenggang waktu pembuatan pupuk organik yang relatif lama sementara kebutuhan pupuk yang terus meningkat memungkinkan terjadinya kekosongan ketersediaan pupuk. Oleh karena itu,

(13)

telah banyak penelitian untuk mensiasati dan mempercepat proses pengomposan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan proses pengomposan dapat dipercepat menjadi 2-3 minggu atau 1-1,5 bulan tergantung pada bahan dasar yang digunakan (Sutanto, 2002).

Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik hingga sama dengan C/N tanah yaitu antara 10-20 (Epstein, 1997). Penurunan rasio ini dimaksudkan untuk memudahkan tanaman menyerap unsur hara dari kompos. Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan (Isroi, 2007). Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat dan akan diikuti dengan peningkatan pH kompos.

Suhu akan meningkat hingga di atas 50–70 oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi (Isroi, 2007). Pada saat ini terjadi dekomposisi atau penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas (Rynk, 1992).

Setelah sebagian besar bahan terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan

(14)

akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30–40 % dari volume atau bobot awal bahan.

3. Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain (Isroi, 2007) : Rasio C/N, ukuran partikel, aerasi, porositas, kelembaban (moisture content), suhu dan derajat keasaman (pH).

Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein (Isroi, 2007). Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Umumnya, masalah utama pengomposan adalah pada rasio C/N yang tinggi, terutama jika bahan utamanya adalah bahan yang mengandung kadar kayu tinggi (sisa gergajian kayu, ranting, ampas tebu, dsb). Untuk menurunkan rasio C/N diperlukan perlakuan khusus, misalnya menambahkan mikroorganisme selulotik (Epstein, 1997) atau dengan menambahkan kotoran hewan karena kotoran hewan mengandung banyak senyawa nitrogen serta mikroorganisme pendegradasi.

Aktivitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat (Polpraset, 1989). Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan

(15)

(porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut. Pencacahan bahan organik jelas akan sangat membantu kecepatan pengomposan, perlakuan awal dan proporsional campuran jenis bahan organik yang digunakan juga sangat membantu percepatan dan kualitas hasil pengomposan. Ukuran partikel juga sangat mempengaruhi proses percepatan pengomposan. Ukuran partikel bahan yang optimal untuk dikomposkan berkisar dari 0,32 cm hingga 1,50 cm, ukuran ini sangat relatif (Murbando, 2008).

Pengomposan yang cepat dapat berlangsung dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Apabila kekurangan oksigen, proses dekomposisi tidak berjalan dengan baik. Aerasi pada pengomposan secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang mengakibatkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos (Murbando, 2008). Aerasi ditentukan dengan porositas dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila proses aerasi terlambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Agar tidak terjadi kekurangan oksigen dalam proses pengomposan, maka dilakukan pembalikan minimal satu minggu sekali. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan cara force aeration (menghembuskan udara dengan kompresor) atau dengan efek cerobong. Namun, pemberian aerasi yang terbaik adalah dengan pembalikan bahan. Perlakuan ini sekaligus untuk homogenisasi bahan (Paulin and O'malley. 2008). Hasil penelitian Harmoko (2008), menunjukkan bahwa frekuensi pembalikan tumpukan kompos bagasse : blotong : abu (5:3:1), 7-10

(16)

hari sekali lebih baik dibandingkan pembalikan 5 hari sekali. Hal ini terjadi karena tunpukan bahan kompos dari bagasse mempunyai sifat porous sehingga tidak perlu dilakukan pembalikan yang terlalu sering.

Porositas adalah ruang di antara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dipenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu. Porositas dipengaruhi oleh kadar air dan udara dalam tumpukan. Oleh karena itu, untuk menciptakan kondisi porositas yang ideal pada saat pengomposan, perlu diperhatikan kandungan air dan kelembaban kompos (Jeris and Regan, 1993).

Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Organisme pengurai dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba aerob. Apabila kelembaban di bawah 40 %, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan. Jika kelembaban lebih besar dari 60 %, maka unsur hara akan tercuci dan volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerob. Oleh karena itu, menjaga kandungan air agar kelembaban ideal untuk pengomposan sangatlah penting. (Jeris and Regan, 1993).

(17)

Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Peningkatan antara suhu dengan konsumsi oksigen memiliki hubungan perbandingan yang lurus. Semakin tinggi suhu, maka akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses penguraian. Tingginya oksigen yang dikonsumsi akan menghasilkan CO2 dari hasil metabolisme mikroba sehingga bahan

organik semakin cepat terurai. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Suhu yang berkisar antara 30–60 ºC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Pada suhu ini aktivitas mikroorganisme (mesofilik dan thermofilik) berlangsung dengan baik. Suhu yang tinggi (>60 ºC) akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma. Ketika suhu telah mencapai 70 ºC, maka segera lakukan pembalikan tumpukan atau penyaluran udara untuk mengurangi suhu, karena akan mematikan mikroba termofilik (Jeris and Regan, 1993).

Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH 5.5-9. Proses pengomposan akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam secara temporer atau lokal akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral. Kondisi kompos yang terkontaminasi air hujan juga dapat menimbulkan masalah pH tinggi (Jeris and Regan, 1993). Kondisi asam pada proses pengomposan biasanya diatasi dengan pemberian kapur atau abu dapur. Namun, pemantauan suhu dan perlakuan pembalikan

(18)

bahan kompos secara tepat waktu dan benar sudah dapat mempertahankan kondisi pH tetap pada titik netral, tanpa pemberian kapur (Yuwono, 2005). 4. Kematangan dan Kualitas Kompos

Ciri -ciri yang menunjukkan pengomposan telah selesai menurut Gaur (1983) : Berwarna coklat tua hingga kehitaman, tidak larut dalam air, apabila dilarutkan dalam larutan yang bersifat basa, kompos akan berwarna hitam, mempunyai kisaran rasio C/N 10-20, susunan kimia kompos bersifat tidak stabil, Mempunyai daya serap air tinggi, dan apabila diberikan ke dalam tanah tidak menimbulkan kerugian baik untuk tanah maupun untuk tanaman.

Indonesia telah memiliki standar kualitas/mutu kompos, yaitu SNI 19-7030-2004. Di dalam SNI memuat batas-batas maksimum atau minimum sifat-sifat fisik atau kimiawi kompos. SNI 19-7030-2004 dapat dilihat pada Tabel 1. di bawah ini.

Tabel 1. Standar Kualitas Kompos (SNI 19-7030-2004)

No Parameter Satuan minimum maksimum

1 Bahan Organik % 27 58 2 C Organik % 9,8 32 3 N total % 0,4 - 4 Rasio C/N 10 20 5 Kadar air % - 50 6 Ph 6,8 7,49 Sumber : BSN, 2004

C. Limbah Kulit Biji Kopi

Pengolahan kopi Robusta menjadi kopi biji di Lampung umumnya dilakukan dengan pengolahan secara kering. Kopi setelah panen langsung

(19)

dilakukan penjemuran untuk penurunan kadar air kopi dari 60–65 % menjadi 12-13 % agar mutu biji kopi tidak rusak selama penyimpanan (Anonim, 2011), kemudian kopi dikupas dengan mesin huller. Mesin huller yang berfungsi sebagai pengupas kopi menghasilkan kulit kopi kering sebagai limbah dan kopi biji sebagai produk utama. Kulit kopi kering ini mempunyai dampak negatif bagi lingkungan apabila tidak dilakukan penanganan dengan baik.

Kulit kopi sebagai limbah tanaman kopi terdiri atas kulit buah dan kulit tanduk kopi. Dengan produksi kopi mencapai 460.000 ton biji kopi, maka kulit buah kopi dapat mencapai 121.000 ton, sedangkan kulit tanduk sebesar 22.000 ton. Kulit tanduk kopi memiliki kadar air relatif rendah sehingga digunakan sebagai bahan bakar untuk pengering kopi. Nilai kalori kulit tanduk kopi adalah sebesar 4600 kkal/kg, sedangkan kulit buah dengan kandungan air 5 % nilai tersebut 3300 kkal/kg (Adams and Dougan, 1982).

Sebagai limbah padat industri kopi, kulit kopi berpotensi untuk digunakan sebagai sumber bahan organik tanah dengan syarat telah dikomposkan terlebih dahulu. Hal ini mengingat bahwa rasio C/N kulit buah kopi sekitar 40, sedangkan untuk kulit tanduk kopi sekitar 140, yang merupakan angka yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan rasio C/N tanah 10-20. Pengomposan limbah padat mesti dilakukan untuk menghindari pengaruh negatifnya terhadap tanaman akibat rasio C/N bahan yang tinggi, disamping untuk mengurangi volume bahan agar memudahkan dalam aplikasi serta mengurangi pencemaran lingkungan.

Kandungan hara kompos kulit tanduk kopi adalah 0,82 % N, 52,4 % C-organik, 0,05 % P2O5, 0,84 % K2O, 0,58 % CaO, 0,86 MgO, sedangkan

(20)

kandungan hara kompos kulit buah kopi adalah 2,98 % N, 45,3 % C-organik, 0,018 % P2O5, 2,28 % K2O, 1,22 % CaO dan 0,21 % MgO ( Baon dkk, 2005 ). Pada penelitian ini mengambil limbah kulit kopi yang diolah secara kering hasil pengupasan dengan mesin huller jadi merupakan campuran kulit buah kering dan kulit tanduk. Hasil analisis kompos kulit biji kopi di laboratorium tanah Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2016), menunjukkan bahwa kadar C-organik kulit biji kopi adalah 12,49 %, 2,09 % N, 21,54 % bahan organik, 5,96 C/N dan kadar lengas 18,74 %.

D. Pupuk Kandang

Pupuk kandang adalah pupuk yang terbuat dari kotoran hewan ternak (kotoran atau air kencing). Kotoran ternak merupakan salah satu limbah yang dihasilkan dari hewan ternak yang dipelihara dan dibudidayakan. Kotoran ternak memiliki potensi yang besar dalam pemanfaatan dan pengembangannya seiring dengan banyaknya hewan ternak yang dibudidayakan oleh masyarakat maupun perusahaan hewan ternak (Priyanto dkk, 2004). Jenis pupuk kandang berdasarkan jenis ternak atau hewan yang menghasilkan kotoran antara lain adalah : pupuk kandang sapi, pupuk kandang kuda, pupuk kandang kambing atau domba, pupuk kandang babi, dan pupuk kandang unggas (Hasibuan, 2006). Kotoran ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotoran ternak sapi. Tidak ada bukti yang signifikan mengenai keunggulan masing-masing jenis kotoran hewan, tetapi secara umum kotoran sapi banyak digunakan sebagai pupuk kandang karena ketersediaannya lebih banyak dibandingkan kotoran hewan lain. (Setiawan, 1998)

(21)

Pupuk kandang kotoran sapi adalah pupuk yang berasal dari kandang ternak sapi, baik berupa kotoran padat (faeces) yang bercampur sisa makanan maupun air kencing (urine), sehingga kualitas pupuk kandang kotoran sapi beragam tergantung pada jenis, umur serta kesehatan ternak, jenis dan kadar serta jumlah pakan yang dikonsumsi, jenis pekerjaan dan lamanya ternak bekerja, lama dan kondisi penyimpanan, jumlah serta kandungan haranya. Pupuk kandang sapi biasanya terdiri atas campuran 0,5 % N; 0,25 % P2O5 dan 0,5 % K2O. Pupuk kandang sapi padat dengan kadar air 85 % mengandung 0,40 % N; 0,20 % P2O5 dan 0,1 % K2O dan yang cair dengan kadar air 95 % mengandung 1 % N; 0,2 % P2O5 dan 1,35 % K2O (Soepardi,1983). Hasil analisis pupuk kandang di laboratorium tanah Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2016), menunjukkan bahwa kadar C-organik kulit biji kopi adalah 13,87 %, 1,72 % N, 23,91 % bahan organik, 8,02 C/N dan kadar lengas 97,76 %.

Pupuk kandang sapi mempunyai kadar serat tinggi seperti selulosa, hal ini terbukti dari hasil pengukuran parameter C/N rasio yang cukup tinggi >40. Tingginya kadar C dalam pukan sapi menghambat penggunaan langsung ke lahan pertanian karena akan menekan pertumbuhan tanaman utama. Penekanan pertumbuhan terjadi karena mikroba dekompser akan menggunakan N yang tersedia untuk mendekomposisi bahan organic tersebut sehingga tanaman utama akan kekurangan N. untuk memaksimalkan penggunaan pupuk kandang sapi harus dilakukan pengomposan agar menjadi kompos pupuk kandang sapi dengan rasio C/N di bawah 20. Sehingga inilah salah satu kelemahan dari pupuk kandang tidak dapat diaplikasikan secara langsung ke dalam tanah, tetapi harus melalui

(22)

suatu proses dekomposisi dan masalah lapangan lainnya adalah semakin jarangnya jumlah ternak yang dimiliki petani, sehingga menyebabkan produksi pupuk kandang semakin berkurang akan relatif sulit memperolehnya dalam jumlah yang banyak. (Hasibuan, 2006).

Selain masalah rasio C/N, pemanfaatan pupuk kandang sapi secara langsung juga berkaitan dengan kadar air yang tinggi. Petani umumnya menyebutnya sebagai pupuk dingin. Bila pupuk kandang dengan kadar air yang tinggi diaplikasikan secara langsung akan memerlukan tenaga yang lebih banyak dalam pengangkutan dan aplikasinya sehingga biayanya mahal karena jumlahnya banyak, serta proses pelepasan amoniak masih berlangsung.

E. Hipotesis

1. Adanya pengaruh aplikasi kompos kulit biji kopi sebagai pengganti pupuk kandang pada budidaya stroberi.

2. Di duga aplikasi 16,5 ton/ha kompos kulit biji kopi merupakan dosis yang tepat sebagai pengganti pupuk kandang pada budidaya stroberi.

Gambar

Tabel 1. Standar Kualitas Kompos (SNI 19-7030-2004)

Referensi

Dokumen terkait

Metode pemerangkapan radikal 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) akan memberi hasil yang baik dengan menggunakan pelarut metanol atau etanol dan kedua pelarut ini

As a polder, the junction to the Cakung Drain at the downstream end needs to be closed and the water is pumped up to the Drain in order to keep the water

Modal Inti yang dialokasikan untuk Risiko Pasar.. Modal Pelengkap yang tidak digunakan

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Batas Daerah Kabupaten Kayong Utara dengan Kabupaten

a) Peneliti harus berusaha menjelaskan kepada siswa tentang kemudahan memahami materi melalui metode think pair and share. b) Peneliti harus berusaha untuk membuat kondisi kelas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lagu dapat meningkatkan kemampuan berbahasa lisan anak kelompok B TK Pertiwi Sidoharjo Sragen Tahun 2011/2012.

Dalam pelaksanaannya Dinas Kesehatan Kota Semarang memiliki beberapa tugas yang salah satunya adalah mengumpulkan data persebaran penyakit dari berbagai Instansi Pelayanan

Hasil uji Scheffe persen perubahan efek analgesik terhadap kontrol positif (asetosal dosis 91 mg/KgBB) pada pengujian efek analgesik seluruh kelompok. Penurunan ini