• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Kecernaan Dan Parameter Fermentasi Pakan Sapi Perah Yang Mengandung Berbagai Sumber Hijauan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Nilai Kecernaan Dan Parameter Fermentasi Pakan Sapi Perah Yang Mengandung Berbagai Sumber Hijauan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kandungan Nutrisi Bahan Penyusun Pakan dan Pakan Perlakuan Hasil analisis kandungan nutrisi bahan pakan penyusun pakan perlakuan yang terdiri dari rumput odot, rumput gajah, tebon jagung dan konsentrat yang dianalisis di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9. Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dalam menyusun pakan perlakuan Kandungan Nutrisi Bahan BK Abu* PK* SK* BO* (%) (%) (%) (%) (%) Rumput gajah 14,16 12,30 8,84 31,04 87,70 Rumput odot 11,96 19,47 9,44 30,33 80,54 Tebon jagung 22,97 9,63 9,24 26,98 90,38 Konsentrat 91,33 11,62 15,49 28,61 88,38 Keterangan : 1)* Berdasarkan % BK : 2) Hasil analisis di Laboratorium Nutrisi Dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (2017) Tabel 9 menunjukkan bahwa bahan pakan yang digunakan dalam menyusun pakan perlakuan yaitu rumput gajah memiliki nilai protein kasar (PK) sebesar 8,84%. Kandungan PK dari rumput gajah yang digunakan tersebut lebih tinggi dari hasil analisis yang dilakukan oleh Cleef, Filho, Júnior, Pardo, Rêgo and Gonçalves (2012) yaitu PK. 51.

(2) sebesar 7,4% dan Purbajanti, Anwar, Widyati dan Kusmiyati (2011) PK sebesar 7,02%, tetapi lebih kecil dari hasil analisis Susanti (2007) yang menunjukkan bahwa rumput gajah memiliki nilai PK sebesar 9,71-12,02%. Rumput odot yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan PK sebesar 9,44%. Nilai protein rumput odot tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil analisis dari Santos et al. (2013) yakni sebesar 10,4% dan Urribarrí, Ferrer and Colina (2005) rumput odot memiliki nilai PK sebesar 10-15%. Tebon jagung dalam penelitian ini memiliki kandungan PK sebesar 9,24%, yang mana kandungan PK tersebut sesuai dengan hasil analisis yang telah dilakukan oleh Das et al. (2015) dimana hijauan jagung memiliki PK sebesar 9,8% dari BK. Berdasarkan perbandingan antara hasil analisis hijauan yang digunakan dengan literatur, diperoleh perbedaan nilai nutrisi pada masing-masing hijauan. Perbedaan nilai nutrisi tersebut dapat di sebabkan oleh jenis tanaman, umur tanaman dan tempat penanaman. Hal ini didukung oleh Jayanegara dan Sofyan (2008) yang menyatakan bahwa kandungan nutrisi pada hijauan dapat bervariasi, yang disebabkan oleh adanya perbedaan varietas, kondisi lingkungan tempat tanaman tumbuh dan umur tanaman saat dipanen, ditambahkan oleh Adesogan et al. (2015) yang menyatakan bahwa kualitas hijauan sangat dipengaruhi oleh variasi hijauan, genotip, kematangan (maturity), musim dan manajemen. Semakin tua umur tanaman saat dipotong menyebabkan semakin rendah kandungan protein kasarnya, dan menurunkan nilai kecernaan tanaman tersebut karena kandungan lignin yang tinggi pada tanaman tua.. 52.

(3) Konsentrat yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai protein kasar sebesar 15,49%, nilai protein kasar tersebut lebih rendah daripada persyaratan mutu konsentrat sapi perah menurut SNI (2009) yang menunjukkan kandungan protein kasar konsentrat untuk sapi perah fase laktasi minimal PK sebesar dan untuk laktasi produksi tinggi minimal PK sebesar 18%. Perbedaan kualitas konsentrat dapat dipengaruhi oleh komponen bahan penyusun konsentrat. Hasil analisis kandungan pakan perlakuan yang terdiri atas campuran rumput gajah, rumput odot, tebon jagung dan konsentrat pada masing-masing perlakuan ditunjukkan pada Tabel 10. Rataan protein pakan perlakuan berkisar antara 12,17-12,47%. Menurut NRC (2001) sapi perah membutuhkan protein kasar 12% dengan TDN (Total Digestable Nutrients) sebesar 63%. Tabel 10. Kandungan nutrisi pakan perlakuan Kandungan Nurisi Pakan BK (%) Abu (%) BO (%) PK SK (%) Perlakuan (%) P1 92,76 11,29 88,71 12,26 28,80 P2 92,00 13,08 86,92 12,41 28,63 P3 92,86 11,96 88,04 12,17 29,83 P4 91,36 15,54 84,46 12,47 29,47 Keterangan : 1)* Berdasarkan % BK : 2) Hasil analisis di Laboratorium Nutrisi Dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (2017) Tabel 10. menunjukkan bahwa kandungan protein pada pakan perlakuan berkisar antara 12,17-12,47%. Protein dalam pakan penting untuk menyediakan sumber nitrogen 53.

(4) yang penting untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen. Pertumbuhan mikroba rumen yang cepat akan berdampak pada peningkatan laju degradasi pakan berserat tinggi, karena mikroba rumen memiliki kemampuan untuk mencerna karbohidrat struktural tanaman (selulosa dan hemiselulosa) menjadi VFA dan protein mikroba melalui proses fermentasi (Nurachma, Heriyadi dan Padang, 2004). 4.2 Rataan Variabel Penelitian Data analisis ragam dari nilai kecernaan dan parameter fermentasi pakan perlakuan yang meliputi KcBK, KcBO, biomassa mikroba, ESPM, prediksi ME dan prediksi NE dengan menggunakan teknik produksi gas inkubasi 24 jam tedapat pada Lampiran 7, 8, 9, 10, 11 dan 12. Rata-rata hasil pengujian dan hasil uji duncan dapat dilihat pada Tabel 11, dengan perlakuan yang di ujikan dalam penelitian ini meliputi P1 (konsentrat 50% + rumput gajah25% dan tebon jagung 25%), P2 (konsentrat 50% + rumput odot 25% dan tebon jagung 25%), P3 (konsentrat 50% + rumput gajah 50%) dan P4 (konsentrat 50% + rumput odot 50%).. 54.

(5) 55. P1 50,00 ± 2,49a 51,04 ± 2,47a. P2 56,49 ± 3,24b 57,65 ± 3,97b. P3 47,61 ± 2,48a 47,49 ± 3,52a. Perlakuan P4 56,72 ± 3,11b 57,87 ± 3,82b. NS/S. KcBK (%) **S KcBO (%) **S Biomassa mikroba 0,148 ± 0,012 0,146 ± 0,006 0,119 ± 0,006 0,141 ± 0,015 NS (g/500 mg substrat) ESPM (g N/kg BOT) 49,00 ± 5,87 44,31 ± 2,48 43,09 ± 5,31 44,21 ± 7,45 NS Prediksi ME (MJ/kg BK) 7,71 ± 0,53ab 8,52 ± 0,28b 7,03 ± 0,26a 8,62 ± 0,75b **S Prediksi NE (MJ/kg BK) 5,12 ± 0,07ab 5,21 ± 0,03b 5,13 ± 0,03a 5,30 ± 0,09b **S Keterangan : superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01); NS/S (non signifikan/signifikan); KcBK (kecernaan bahan kering); KcBO (kecernaan bahan organik); ESPM (efisiensi sintesis protein mikroba).. Variabel. Tabel 11. Nilai KcBK, KcBO, biomassa mikroba, ESPM, prediksi ME dan prediksi NE dengan menggunakan teknik produksi gas inkubasi 24 jam..

(6) 4.3 Kecernaan Bahan Kering dan Kecernan Bahan Organik Residu Produksi Gas Inkubasi 24 Jam Secara In Vitro Hasil analisis ragam yang terdapat pada Lampiran 10 dan 11 menunjukkan bahwa penggunaan sumber hijauan yang berbeda pada pakan sapi perah memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai KcBK dan KcBO. Nilai dataan KcBK dan KcBO tertinggi secara konsisten adalah pada pe rlakuan P4 diikuti oleh P2, P1 dan P3 (Tabel 11). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecernaan pakan yang mengandung rumput odot (P2 dan P4) lebih tinggi daripada pakan yang mengandung rumput gajah (P1 dan P3). Kecernaan nutrien menentukan kualitas pakan, Semakin tinggi KcBK dan KcBO menunjukkan semakin tinggi nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Estimasi kecernaan bahan kering dan bahan organik dalam penelitian ini diperoleh dengan mengukur residu substrat yang diinkubasi selama 24 jam. Nilai rataan KcBK mulai dari yang tertinggi adalah perlakuan P4 diikuti perlakuan P2, P1 dan P3 yaitu sebesar 56,72±3,11%; 56,49±3,24%; 50,00±2,49% dan 47,61±2,48%. Nilai rataan KcBO mulai dari yang tertinggi adalah perlakuan P4 diikuti perlakuan P2, P1 dan P3 yaitu sebesar 57,87±3,82%; 57,65±3,97%; 51,04±2,47% dan 47,49±3,52%. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa antara nilai kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik berjalan seimbang dimana nilai KcBK dan KcBO tertinggi pada perlakuan 2 dan 4 yang menggunakan sumber hijauan rumput odot. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh santos et al. (2013) yang menunjukkan bahwa komposisi kimia dari beberapa clone Pennisetum sp. sebelum ensilase pada umur pemotongan 56. 56.

(7) hari memiliki nilai kecernaan bahan kering secara in vitro pada masing-masing sebesar 54,7% (Mott), 48,7% (Taiwan A-164 2.114), 53,0% (HV 241) dan 53,3% (Taiwan A-146 2.37). Perbedaan nilai kecernaan pada pakan perlakuan diakhibatkan oleh komponen serat yang terdiri dari fraksi NDF, ADF dan lignin yang terdapat pada masing-masing sumber hijauan, dimana semakin tinggi komponen serat dalam pakan akan menurunkan tingkat kecernaannya. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa pakan perlakuan yang menggunakan rumput gajah sebagai sumber hijauan cenderung memiliki nilai kecernaan yang lebih rendah daripada pakan perlakuan yang menggunakan rumput odot sebagai sumber hijauan. Hal ini disebabkan karena rumput gajah memiliki komponen serat yang lebih tinggi dibandingkan rumput odot dan tebon jagung (Tabel 12). Komponen serat yang tinggi pada rumput gajah berkorelasi negatif terhadap nilai kecernaannya, karena menghambat aktivitas mikroba rumen dalam mencerna pakan. Despal (2000) dalam Suprapto, Suhartati, dan Widiyastuti (2013) menyatakan bahwa SK berkorelasi negatif terhadap kecernaan. Kecernaan SK dipengaruhi oleh kandungan SK dalam pakan, komposisi penyusun SK dan aktivitas mikroorganisme. Tabel 12. Komponen serat rumput gajah, rumput odot dan tebon jagung Jenis hijauan Komponen serat (% BK) NDF ADF Lignin Rumput gajah1) 77,83 49,30 9,73 2) Rumput odot 64,7 38,4 8,8 Tebon jagung3) 65,4 35,4 4,6 Keterangan : 1) Cleef et al. (2012); 2) Santos et al. (2013) dan 3) Das et a.l (2015). 57.

(8) Besarnya BK yang hilang (%) dalam semua waktu inkubasi dan parameter estimasi berkorelasi negatif dengan NDF dan ADF tetapi berkorelasi positif terhadap PK (Kamalak et al., 2005). Moore and Jung (2001) menyebut lignin sebagai komponen anti-kualitas dalam hijauan karena dampak negatifnya terhadap ketersediaan nutrisi dari serat tanaman. Peran lignin adalah membatasi jumlah serat yang dapat dicerna, sehingga berdampak terhadap jumlah energi tercerna (DE) dari hijauan. Semakin besar komponen serat yang tidak dapat tercerna dalam pakan maka semakin sedikit nilai nutrisi yang diperoleh ternak. Meskipun tidak menunjukkan perbedaan antara perlakuan 1 dan 3, namun penambahan tebon jagung pada pakan yang mengandung rumput gajah (P1) memberikan nilai kecernaan yang lebih tinggi daripada pakan yang mengandung rumput gajah (P3) saja. Penambahan tebon jagung pada P1 dapat memperbaiki kualitas pakan dengan jalan menurunkan proporsi SK dalam pakan perlakuan dan menaikkan nilai protein pakan. Hasil penelitian ini sesuai dengan Nasriya dkk (2016) yang menunjukkan bahwa pengaruh pemberian rumput raja dan tebon jagung terhadap kecernaan BK dan kecernaan BO pada pedet sapi jantan PO dengan proporsi penggunaan tebon jagung 0%, 25%, 50, 75% dan 100% cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan nilai kecernaan ini terjadi karena peningkatan proporsi tebon jagung dalam pakan menurunkan serat kasar, meningkatkan protein kasar dan meningkatkan kandungan energi metabolik. Faktor lain yang mempengaruhi kecernaan adalah kandungan PK dari pakan perlakuan. Besarnya nilai KcBO yang diperoleh dari hasil analisis berkorelasi positif terhadap kandungan PK pakan perlakuan dimana pada pakan perlakuan. 58.

(9) P4 memiliki nilai PK tertinggi daripada perlakuan lain hal ini diikuti dengan tingginya nilai kecernaan pada P4, begitu juga pada P3 yang memiliki nilai PK terendah diikuti dengan rendahnya nilai kecernaan P3. Hal ini sesuai dengan penelitian Wijayanti, Wahyono dan Surono (2012) bahwa KcBO pakan juga berhubungan erat dengan komposisi kimiawinya yaitu kadar PK. Ørskov (1982) dalam Wijayanti dkk (2012) menyatakan PK di dalam rumen akan dihidrolisis menjadi peptida oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh mikrobia, kemudian dihidrolisis menjadi asam-asam amino. Sebagian asam-asam amino dirombak menjadi amonia dalam proses deaminasi, yang digunakan oleh mikrobia sebagai penyusun protein tubuh sehingga banyak BO yang dapat didegradasi. KcBO pakan komplit yang semakin menurun dapat dikarenakan kemampuan mikrobia dalam mendegradasi rendah. 4.4 Efisiensi Sintesis Protein Mikroba Hasil dari analisis ragam yang terdapat pada Lampiran 12 dan 13 menunjukkan bahwa penggunaan sumber hijauan yang berbeda dalam pakan memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap biomassa mikroba dan Efisiensi Sintesis Protein Mikroba (ESPM). Rataan nilai biomassa mikroba dan ESPM dari hasil inkubasi selama 24 jam dapat dilihat pada Tabel 11. Rataan biomassa mikroba berturut-turut dari yang terbesar adalah pada P1 (0,148 ± 0,012 g/500 mg substrat) yang tidak berbeda dengan P2 (0,146 ± 0,006 g/500 mg substrat), P4 (0,141 ± 0,016 g/500 mg substrat), dan P3 (0,119 ± 0,006 g/500 mg substrat). Biomassa mikroba merupakan indikasi dari banyaknya jumlah mikroba yang terdapat dalam cairan rumen. Suwandi (1997) menyatakan bahwa jumlah dan. 59.

(10) komposisi dari mikroba rumen bervariasi tergantung pada pakan yang dikonsumsi ternak. Kecernaan pakan yang tinggi menunjukkan aktivitas mikroba dalam mendegradasi pakan terutama serat kasar yang tinggi. Dewhurts, Davies and Merry (2000) menyatakan proses yang dilakukan mikrobial di dalam rumen dapat mengubah pakan berserat dan protein berkualitas rendah, bahkan non-protein nitrogen menjadi nutrisi yang berharga bagi ternak ruminansia. Mikroorganisme ruminansia memiliki kemampuan untuk mencerna karbohidrat struktural tanaman (selulosa dan hemiselulosa) menjadi VFA dan protein mikroba melalui proses fermentasi (Nurachma, Heriyadi dan Padang, 2004). Keberadaan mikroba rumen penting dalam proses pemenuhan protein bagi ternak ruminansia. Protein mikroba rumen merupakan sumber utama asam amino bagi hewan ruminansia (Pathak, 2008). Protein mikroba menyumbang sekitar 2/3 asam amino yang diserap oleh ruminansia (Iskenderov and Mamedova, 2013), protein mikroba dapat menyediakan 70%-100% dari asam amino yang dibutuhkan oleh ruminansia (AFCR, 1992, dalam Uddin, Khandaker, Khan, Khan and Hasan, 2015). Besarnya biomassa mikroba tidak menunjukkan adanya korelasi dengan besarnya nilai kecernaan, seperti pada perlakuan P2 dan P4, memiliki nilai kecernaan lebih tinggi daripada P1 tetapi memiliki biomassa mikroba yang lebih kecil daripada perlakuan P1 dan P2 kecuali P3, walaupun tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan oleh tingginya aktivitas mikroba dalam mendegradasi serat menjadi sumber energi pada P2 dan P4. Peningkatan aktivitas mikroba ini akan menyebabkan penurunan pH rumen, sehingga menghambat sintesis sel mikroba. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan pendapat dari Nurvianty (2006) yang menunjukkan bahwa. 60.

(11) penurunan produksi massa mikroba terjadi karena meningkatnya keasaman cairan rumen akhibat terdegradasinya karbohidrat membentuk VFA, sehingga sintesis sel mikroba menurun. P3 memiliki nilai kecernaan dan biomassa mikroba terkecil daripada perlakuan lainnya. Nilai biomassa yang kecil pada P3 terjadi karena kecernaan pada P3 yang kecil menyebabkan suplay energi yang dibutuhkan oleh mikroba untuk memperbanyak diri tersedia secara lambat, sehingga pertumbuhan mikroba menjadi terhambat. Thirumalesh and Krishnamoorthy (2013) menyatakan bahwa asam amino dan peptida merupakan perangsang pertumbuhan mikroorganisme ternak ruminansia. Mikroorganisme akan tumbuh pada kondisi tersedianya sumber energi yang cepat terdegradasi. Ketika peptida dipasok dari pakan yang mempunyai serat yang terdegradasi secara lambat atau serat yang terdegradasi secara cepat, maka pertumbuhan mikroba hanya meningkat jika serat terdegradasi secara cepat. Nilai ESPM yang dihasilkan dari penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Rataan nilai efisiensi sintesis protein mikroba (ESPM) dalam waktu inkubasi 24 jam dari yang terbesar adalah 49,00 ± 5,87 g N/kg BOT (P1), 44,31 ± 2,48 g N/kg BOT (P2), 44,21 ± 7,45 g N/kg BOT (P4) dan 43,09 ± 5,31 g N/kg BOT (P3). Besarnya nilai ESPM yang dihasilkan sangat bergantung pada ketersediaan sumber energi dan NH3. Montemayor, Gasca and Kawas (2009) menyatakan bahwa sintesis protein mikroba bergantung pada hubungan antara jumlah nitrogen terlarut dan nitrogen terdegradasi atau protein, serta laju degradasinya, dan jumlah bahan organik mudah dicerna yang difermentasi di dalam rumen (digestible organic matter fermented in rumen atau DOMFR) atau rantai karbon (CHO) yang tersedia untuk. 61.

(12) mikroorganisme rumen. Kedua sumber nitrogen dan CHO yang terdegradasi harus seimbang baik dalam jumlah atau laju degradasinya, untuk dapat meningkatkan sintesis protein mikroba. NH3 merupakan salah satu bakalan dalam pembentukan protein mikroba. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Widiastuti (2017) menunjukkan bahwa kadar NH3 secara berurutan dari yang tertinggi pada jam ke 6 yaitu P3, P1, P2 dan P4 yang selanjutnya mengalami penurunan sampai jam pengamatan ke 24. Kadar amonia pada semua perlakuan lebih tinggi dari angka minimal yang disarankan untuk dapat menunjang laju pertumbuhan bakteri rumen secara maksimal yakni sebesar 50 mg N-NH3/L (Satter and Slyter, 1974). Sehingga ketersediaan cukup energi dalam bentuk ATP yang akan digunakan dalam mengkonversi NH3 menjadi biomasa mikroba. Sutardi (1980) menjelaskan bahwa sintesis protein mikroba dapat terjadi secara optimal apabila kadar VFA dalam cairan rumen antara 80-160 mM. Sedangkan NH3 untuk dapat memaksimalkan kecernaan pakan diperlukan lebih dari 200-250 mg per liter cairan rumen. Nilai ESPM tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sedangkan konsentrasi NH3 tertinggi terdapat pada P3. Tingginya ESPM pada P1 ini menggambarkan bahwa konsentrasi NH3 dan VFA yang terdapat pada P1 dalam kondisi yang optimal sehingga dapat menghasilkan ESPM yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya, sedangkan pada P3 yang memiliki konsentrasi NH3 tertinggi daripada perlakuan lainnya namun menunjukkan nilai ESPM yang terkecil hal ini karena nilai kecernaan pada P3 adalah yang paling rendah. Kecernaan yang rendah pada P3 menunjukkan pakan perlakuan tersebut memiliki fermentabilitas yang. 62.

(13) rendah, sehingga suplay energi yang diperoleh rendah. Tingginya konsentrasi NH3 pada P3 yang tidak diikuti dengan suplay energi akan menurunkan produksi sintesis protein mikroba. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari McDonald et al. (2002) faktor utama yang mempengaruhi penggunaan NNH3 adalah ketersediaan karbohidrat dalam pakan yang berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan protein mikroba. Untuk memperoleh efisiensi sintesis protein mikroba yang maksimal, maka ketersediaan N dan energi di dalam rumen harus seimbang. Ginting (2005) menunjukkan apabila substansi N terdegradasi lebih cepat dibandingkan dengan sumber energi (karbohidrat), maka amonia hasil degradasi senyawa N akan ditransfer ke organ hati, dan selanjutnya didaur ulang ke saluran pencernaan (sebagian kecil) dan sebagian besar hilang bersama sekresi urin. Protein N yang hilang dengan cara ini dapat mencapai 25 persen dari protein pakan. Pakan perlakuan P2 dan P4 yang memiliki nilai kecernaan yang tinggi, tetapi memiliki nilai ESPM yang lebih rendah dari P1. Tingginya kecernaan pada P2 dan P4 menunjukkan pakan perlakuan tersebut memiliki fermentabilitas yang tinggi, sehingga suplay energi yang diperoleh tinggi, tetapi dengan kadar NH3 pada P2 dan P4 yang kecil menyebabkan ketidakseimbangan antara suplay energi dan NH3. Ketika suplay energi tidak diimbangi dengan suplay NH3 maka sintesis protein mikroba akan terhambat, dimana N yang terdapat pada cairan rumen tidak mencukupi untuk mendukung sitesis protein mikroba secara maksimal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Nocek and Rusell (1988) yang menyatakan bahwa ketika degradasi karbohidrat melebihi nilai protein maka produksi protein mikroba tidak. 63.

(14) dapat berjalan maksimal. Ginting (2005) menyatakan bahwa apabila jumlah energi tersedia melampaui ketersediaan N, maka pertumbuhan mikroba dan efisiensi fermentasi rumen menurun. Hal ini antara lain diakibatkan oleh terjadinya fermentasi yang tidak padu (uncoupling). 4.5 Nilai Energi Hasil dari analisis statistik yang terdapat pada Lampiran 14 dan 15 menunjukkan bahwa penggunaan sumber hijauan yang berbeda dalam pakan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai energi (ME dan NE). Rataan nilai ME dan NE dapat dilihat pada Tabel 11. Nilai ME dari pakan perlakuan dari yang tertinggi adalah pada perlakuan P4 diikuti P2, P1 dan P3 sebesar 8,62±0,75 MJ/kg BK; 8,52±0,28 MJ/kg BK; 7,71 ±0,53 MJ/kg BK dan 7,03 ±1,42 MJ/kg BK. Nilai ME yang diperoleh dari hasil analisis tersebut menunjukkan adanya korelasi antara kecernaan dengan produksi gas yang dihasilkan. Tabel 11 menunjukkan tingkat kecernaan pada pakan perlakuan yang hasilnya sesuai dengan energi metabolis yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai ME maka semakin tinggi pula bahan organik yang tercerna dalam rumen, dan nilai kecernaan yang tinggi menunjukkan tingginya aktivitas mikroba dalam mendegradasi pakan. Nurachma, Heriyadi dan Padang (2004) menyatakan populasi mikroba di dalam rumen sangat mempengaruhi tingkat kecernaan pada ruminansia, kecernaan pakan yang tinggi menunjukkan aktivitas mikroba dalam mendegradasi pakan yang tinggi. Purbowati dkk (2008) menyatakan bahwa ME merupakan energi yang diperoleh dari hasil pengurangan antara digestible energy (DE) dengan urine energy (UE).. 64.

(15) Berdasarkan hasi penelitian diperoleh bahwa penambahan tebon jagung pada pakan yang mengandung rumput gajah (P1) menunjukkan kecenderungan memiliki nilai ME yang lebih tinggi daripada pakan yang tidak menggunakan tebon jagung (P3). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat dari Nasriya dkk (2016) yang menunjukkan bahwa pengaruh pemberian rumput raja dan tebon jagung terhadap kandungan energi metabolis pakan pedet sapi jantan PO dengan proporsi penggunaan tebon jagung 0%, dan 50 cenderung mengalami peningkatan. Nilai energi metabolik pada penambahan tebon jagung 0% sebesar 2070 Kkal/kg atau setara dengan 8,67MJ/kg dan pada penambahan 50% sebesar 2210 Kkal/kg atau setara dengan 9,25MJ/kg. Hasil penelitian Hartono (2014) menunjukkan bahwa beberapa kelompok pakan yang diperoleh dari peternakan sapi perah rakyat KPSBU Lembang memiliki rataan nilai ME sebesar 6,82 MJ/kg BK (hijauan rumput), 5,63 MJ/kg BK (limbah pertanian), 9,81 MJ/kg BK (konsentrat sumber protein), 11,15 MJ/kg BK (konsentrat sumber energi) dan 12,83 MJ/kg BK (konsentrat formula). Berdasarkan hasil yang didapatkan oleh Hartono (2014) tersebut maka pakan perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini setara dengan konsentrat sumber energi, karena konsentrat sumber energi memiliki nilai EM berkisar antara 7,16 MJ/kg BK sampai dengan 11,15 MJ/kg BK. Nilai NE ydari pakan perlakuan dari yang tertinggi adalah pada perlakuan P4 diikuti P2, P3 dan P1 sebesar 5,303±0,09 MJ/kg BK; 5,211±0,03MJ/kg BK; 5,129±0,03 MJ/kg BK dan 5,121±0,07 MJ/kg BK. Nilai energi memiliki hubungan yang erat dengan produksi gas inkubasi 24 jam, dimana menurut Getachew, Makkar and Becker (2000). 65.

(16) produksi gas yang diukur pada inkubasi 24 jam berkorelasi terhadap nilai energi. Hungate (1996) menunjukkan laju produksi gas pada semua perlakuan akan berkurang seiring dengan peningkatan waktu inkubasi, karena substrat yang dapat difermentasi oleh mikroba rumen semakin berkurang jumlahnya. jumlah substrat yang berkurang berdampak pada menurunnya ketersediaan energi bagi ternak ruminansia. Besarnya nilai energi NE yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan nilai yang lebih kecil daripada Besarnya nilai NEL (net energy for lactating) menurut NRC (2001). Nilai NEL berdasarkan NRC (2001) dalam Rabelo, Rezende, Bertics, and Grummer (2003) yakni pada pakan untuk prepartum (sapi kering atau dara) dan pakan untuk postum (laktasi) pada saat kondisi pakan dengan energi rendah dan energi tinggi secara berurutan memiliki nilai NEL sebesar 1,58 Mcal/kg BK, 1,70 Mcal/kg BK, 1,57 Mcal/kg BK dan 1,63 Mcal/kg BK.. 66.

(17)

Gambar

Tabel 9. Kandungan nutrisi bahan pakan  yang digunakan  dalam menyusun pakan perlakuan
Tabel 10. Kandungan nutrisi pakan perlakuan  Pakan  Perlakuan  Kandungan Nurisi BK (%) Abu (%)  BO (%)  PK  (%)  SK (%)  P1  92,76  11,29  88,71  12,26  28,80  P2  92,00  13,08  86,92  12,41  28,63  P3  92,86  11,96  88,04  12,17  29,83  P4  91,36  15,54
Tabel  12.  Komponen  serat  rumput  gajah,  rumput  odot  dan  tebon jagung

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan variasi pakan atau pemberian suplemen yang mempunyai kandungan zat nutrien yang tinggi.. Pemberian

pada sintesis protein yang berkaitan dengan sistem kekebalan. GSH dalam eritrosit secara normal berada

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tentang pengaruh bahan pakan sumber protein yang berbeda terhadap laju pakan, kecernaaan protein dan

Pemberian protein kasar yang lebih tinggi dalam ransum pakan, maka kandungan konsentrasi amonia yang dihasilkan dari proses fermentasi oleh mikroba dalam rumenpun juga

Sintesis protein mikroba juga dipengaruhi oleh konsentrasi total VFA yang berperan sebagai sumber energi dan kerangka karbon, sehingga penyusunan ransum sapi perah

Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jumlah kepemilikan ternak dengan tingkat penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik pada peternakan sapi

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produktivitas Tenaga Pengarit dan Komposisi Hijauan Pakan Domestik di Peternakan Sapi Perah Pondok Ranggon,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sumber protein yang berbeda pada pakan buatan abalon terhadap tingkat konsumsi pakan, efisiensi pakan, laju pertumbuhan,