• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kurikulum Pendidikan Khusus (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Implementasi Kurikulum Pendidikan Khusus (1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

A. Implikasi Kurikulum 2013 Pada Kurikulum ABK di Sekolah Segregatif Dan Inklusif

Disampaikan oleh Dr. Totok Bintoro, M.Pd

Sekolah inklusif adalah sekolah reguler yang menerima Anak Berkebutuhan Khusus(ABK) dan menyediakan Sistem Layanan Pendidikan yang disesuaikan kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus(ABK) melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarananya. Dengan adanya sekolah inklusif, Anak Berkebutuhan Khusus(ABK) dapat bersekolah di sekolah reguler yang ditunjuk sebagai sekolah inklusif.

Seringkali masyarakat menyamakan antara Pendidikan Segregasi, Pendidikan Integratif dan Pendidikan Inklusif namun kebenarannya adalah kedua model Pendidikan tersebut berbeda, perbedaan tersebut dapat dicermati dalam uraian dibawah ini:

Pendidikan Segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler.

Pendidikan Inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari

Pemateri:

Dra. Endang Widiati, M.Pd (Pengawas PK Provinsi Jawatimur) Dr. Totok Bintoro, M.Pd (Universitas Negeri Jakarta)

Dr. Praptono, M.Ed (Diknas PPK LK Jakarta)

Topik:

Implementasi Kurikulum Pendidikan Khusus Di Sekolah

Khusus Dan Sekolah Reguler

Diselenggarakan oleh:

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

(2)

kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan.

Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.

1. Dasar Pengembangan Kurikulum

Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan program inklusif pada dasarnya adalah menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya di lapangan, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

2. Permasalahan Kurikulum 2006

a. Konten kurikulum masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya matapelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum.

(3)

f. Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru.

g. Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala.

h. Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.

3. Identifikasi Kesenjangan Kurikulum Kondisi Saat Ini

Kondisi Saat Ini yang menjadi salah satu Alasan Pengembangan Kurikulum a. Kompetensi Lulusan

1) Sikap belum mencerminkan karakter mulia 2) Keterampilan belum sesuai kebutuhan 3) Pengetahuan-pengetahuan lepas

b. Materi Pembelajaran

1) Belum relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan 2) Beban belajar terlalu berat pada Materi esensial

3) Terlalu luas, kurang mendalam apabila melihat konsep idealnya Sesuai dengan Tingkat Perkembangan Anak

c. Proses Pembelajaran

1) Berpusat pada guru (teacher centered learning) 2) Sifat pembelajaran yang berorientasi pada buku teks 3) Buku teks memuat materi bahasan pembelajaran

d. Penilaian

1) Menekankan aspek kognitif

2) Test menjadi cara penilaian yang dominan

e. Pendidik dan Tenaga Kependidikan

(4)

2) Fokus pada ukuran kinerja PTK

f. Pengelolaan Kurikulum

1) Satuan pendidikan mempunyai kebebasan dalam pengelolaan kurikulum dalam kendali kualitas dalam pelaksanaan

2) Masih terdapat kecenderungan satuan kurikulum di tingkat satuan pendidikan pendidikan menyusun kurikulum mempertimbangkan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan potensi daerah peserta didik, dan potensi daerah 3) Pemerintah hanya menyiapkan sampai komponen standar isi mata pelajaran saja

4. Model Kurikulum

Model kurikulum bagi ABK di Sekolah Inklusi dapat dikelompokan menjadi empat, yakni: a. Duplikasi Kurikulum

Yakni ABK menggunakan kurikulum yang tingkat kesulitannya sama dengan siswa rata-rata/regular. Model kurikulum ini cocok untuk peserta didik tunanetra, tunarungu wicara, tunadaksa, dan tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut tidak mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian perlu memodifikasi proses, yakni peserta didik tunanetra menggunkan huruf Braille, dan tunarungu wicara menggunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya.

b. Modifikasi Kurikulum

Yakni kurikulum siswa rata-rata/regular disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi ABK. Modifikasi kurikulum ke bawah diberikan kepada peserta didik tunagrahita dan modifikasi kurikulum ke atas (eskalasi) untuk peserta didik gifted and talented.

c. Substitusi Kurikulum

Yakni beberapa bagian kurikulum anak rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan melihat situasi dan kondisinya. d. Omisi Kurikulum

(5)

B. Implementasi Kurikulum Pendidikan Khusus Di Sekolah Khusus Dan Sekolah Reguler

Disampaikan oleh Dra. Endang Widiati, M.Pd

Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.

1. Lingkup Pengembangan Kurikulum

Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodifikasi sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.

Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:

(6)

3. Ujian Nasional bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus dapat dikelompokan menjadi 2:

1. Pendidikan Khusus untuk Anak Berkebutuhan Khusus tanpa disertai hambatan Kognitif dan Intelektual yang nantinya dapat mengikuti Ujian Nasional.

(7)

C. Arah Kebijakan Kurikulum Pendidikan Khusus dan Sekolah Inklusif Disampaikan oleh Dr. Praptono, M.Ed

1. Falsafah Pendidikan Inklusif

Secara umum falsafah inklusif adalah mewujudkan suatu kehidupan yang ramah tidak diskriminatif dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Falsafah pendidikan inklusif adalah upaya mewujudkan sekolah yang ramah dalam pembelajaran.

a. Sekolah ramah adalah pendidikan yang menghargai hak dasar manusia b. Sekolah ramah adalah pendidikan yang memperhatikan kebutuhan individual c. Sekolah ramah berarti menerima keanekaragaman

d. Sekolah ramah berarti tidak deskriminatif

2. Pendidikan Inklusi

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003

Mengenai Sistem Pendidikan Nasional antara lain menegaskan dalam penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa ‘pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal (1) satuan pendidikan khusus,seperti Sekolah Luar Biasa (SLB), dan dapat pula dalam bentuk (2) pendidikan Inklusif.

b. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Mengenai pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang

Falsafah pendidikan inklusif juga dapat bermakna : 1. Pendidikan untuk semua.

(8)

2. Belajar hidup bersama dan bersosialisasi.

Setiap anak berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik

3. Integrasi pada lingkungan.Setiap anak berhak menyatu dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis.

4. Penerimaan terhadap perbedaan.

Setiap anak berhak dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan.

Setiap anak merupakan pribadi yang unik. Sekolah ramah menuntut perubahan banyak hal, di antaranya :

1. Sekolah ramah menuntut perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak semua komponen sekolah

2. Kesiapan siswa menerima anak khusus 3. Kesiapan guru menerima anak khusus 4. Kesiapan orangtua menerima anak khusus

(9)

KESIMPULAN

A. Saran

Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan

ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem

pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum

pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak –

anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program

pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental. Kondisi ini jelas menambah beban

tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di

lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya

untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki

ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel.

Situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justru

menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas

ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.

Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi,

maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan–tahapan pelaksanaan

pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya.

Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk

mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling

mempertumbuhkan(cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para

siswa untuk dapat saling memahami(mutual understanding) kekurangan masing–masing

temannya dan peduli terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian

maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan(competitive learning) yang

selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive

learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam

menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan

bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah

(10)

B. Implementasi

Kondisi yang terjadi dilapangan saat ini adalah Guru masih menggunakan kurikulum KTSP murni untuk menyusun RPP dan Silabus juga masih murni dalam proses pembelajaran pada anak ABK tanpa melakukan modifikasi, padahal diperlukan model pembelarajan khusus untuk siswa berkebutuhan khusus dan evaluasi yang benar-benar tepat. Sementara dalam hal pelaksanaan kegiatan pembelajaran pengetahuan guru mengenai pendidikan inklusi masih kurang dan sumber belajar penunjang untuk kegiatan pembelajaran juga masih kurang, hal tersebut berpengaruh pada proses kegiatan pembelajaran yang berjalan sudah cukup baik, namun menjadi hambatan yang menyebabkan proses pembelajaran menjadi kurang optimal.

Referensi

Dokumen terkait

Aturan tertulis yang dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk itu, yang didasarkan pada kewenangan atributif atau kewenangan delegatif adalah merupakan bagian dari hukum

Berdasarkan hasil penelitian “Pengaruh Dosis Pupuk Anorganiki NPK Mutiara (16:16:16) Dan Pupuk Organik Mashitam Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Bawang Merah

The names and email addresses entered in this journal site will be used exclusively for the stated purposes of this journal and will not be made available for any other purpose or

Pada simulasi pendeteksian gross error ini, akan diberikan bias pada kedua pengukuran dengan besar 20% dari nilai maksimum ketinggian masing-masing tangki selama

Peran Kepala Sekolah Dalam Pengembangan Manajemen Sekolah Sebagai Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan DI SD Plus Islam Excellent Bukittinggi. “Peran kepala sekolah

Setelah itu, pada tahap berikutnya dilakukan tracing untuk mendapatkan transaksi LU dan MOC pelanggan yang sedang roaming di network Telkomsel untuk dibandingkan antara

kosmologi Jawa bahwa pasar tradisional berada pada zona ”Negaragung”.. Jejaring pasar tradisional berdasarkan ”Mancapat Mancalima”. Pasar tradisional memiliki peran strategis

Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 16 ayat (2) yang diambil dari Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi Guru PNSD Melalui Mekanisme Transfer