• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adaptasi Psikologis Pasien Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Adaptasi Psikologis Pasien Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Tuberkulosis Paru

2.1.1Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Myobacterium

tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau

diberbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan tekanan parsial

oksigen yang tinggi (Rab, 1996). Menurut Alsagaf & Mukhti (2005)

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil

mikobakterium tuberkulosis yang menyerang pernapasan bagian bawah.

Menurut Sumantri (2010) Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang

menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan oleh Myobacterium

tuberculosis. Menurut Kemenkes (2014) Tuberkulosis adalah penyakit menular

yang disebabkan oleh kuman Myobacterium tuberculosis.

2.1.2 Penyebab Tuberkulosis Paru

Myobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang

berukuran panjang 1-4mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen

Myobacterium tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu

tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik.

Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak

oksigen. Oleh karena itu, Myobacterium tuberculosis senang tinggal di daerah

apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi

(2)

berkembang biak dan terlihat menumpuk. Perkembangan Myobacterium

tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru (lobus

atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian

tubuh lain (ginjal, tulang, dan korteks serebri) dan area lain dari paru-paru

(lobus atas). Selanjutnya, sistem kekebalan tubuh memerikan respons dengan

melakukan reaski inflamasi. Neutrofil dan makrofga melakukan aksi fagositosis

(menelan bakteri), sementara limfosit spesifik tuberkulosis menghancurkan

(melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan

terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang menyebabkan brokonpnemonia.

Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu sete;lah terpapar bakteri

(Sumantri,2010).

Interaksi antara Myobacterium tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh

pada masa awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut

granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang

dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah

bentuk menjadi masa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut

disebut ghon tuberculosis. materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri men

jadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang penampakannya seperi

(3)

membentuk jaringan kolagen kemudian bakteri menjadi nonaktif (Sumantri,

2010).

Setelah infeksi awal, jika respon imun tidak adekuat maka penyakit akan

menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi tulang

atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus ini,

ghon tubrcle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa

didalam bronkhus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan

membentuk jaingan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang

mengakibatkan timbulnya bronkopnemonia, membentuk tuberkel, dan

seterusnya. Pnemonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya (Sumantri,

2010)

Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembak biak

didalam sel makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan

sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit

(membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan

granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan menmbulkan respons

berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang

dikelilingi oleh tuberkel (Sumantri, 2010).

2.1.4 Cara Penularan Tuberkulosis Paru

Menurut Kemenkes (2014) ada beberapa cara penularan Tuberkulosis Paru

Yakni:

a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak

(4)

pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal

tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam

contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui

pemeriksaan mikroskopis langsung.

b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan

menularkan penyakit TB. penularan pasien TB BTA positif adalah 65%,

pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan

pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung

percik dahak yang infeksius tersebut.

d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat

menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

2.1.5 Identifikasi terduga pasien TB

Menurut Kemenkes & PPNI (2014) terduga pasien TB paru adalah

seseorang yang mempunyai keluhan aau gejala klinis mendukung TB

(sebelumnya dikenal sebagai suspek TB). Biasanya terduga TB datang ke

fasilitas pelayanan kesehatan dengan berbagai keluhan dan gejala klinis yang

mungkin akan menunjukkan bahwa yang bersangkutan termasuk terduga TB.

Gejala utamanya adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih dan gejala

tambahan. Gejala tambahan yang sering dijumpai adalah:

(5)

b. Gejala sistemik: badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun,

rasa kurang enak badan (malaise), pada malam hari walaupun tanpa kegiatan,

demam meriang yang berulang.

Perlu diketahui bahwa gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada

penyakit paru selain TB, seperi bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker

paru, dan lain-lain. Di negara endemis TB seperti Indonesia, setiap orang yang

datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas, harus

dianggap sebagai seorang suspek TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak

secara mikrokopis langsung terlebih dahulu.

Seseorang yang menderita TB ekstra paru mungkin mempunyai keluhan /

gejala terkait organ yang terkena, misalnya.

a. Pembesaran pada getah bening yang kadang juga mengeluarkan nanah.

b. Nyeri dan pembengkakakn sendi yang terkena TB.

c. Sakit kepala, demam, kaku kuduk dan gangguan kesadaran bila terkena TB

otak

2.1.6 Diagnosis Tuberkulosis Paru

Menurut Kemenkes (2014) untuk menegakkan diagnosis TB paru harus

melakukan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis dimaksudkan

adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat. Apabila

pemeriksaan secara bakteriologis negatif, maka penegakkan diagnosis dapat

dilakukan dengan secara klinis dengan menggunakan hasil pemeriksaan klinis

penunjang (setidak-tidaknya foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan dengan

(6)

dilakukan setelah pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan

Non Kuinon) yang tidak memberikan perbaikan klinis.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan melakukan pemeriksaan

Serologis, berdasarkan foto toraks saja dan tes tuberkulin. Karena tidak terlalu

memberikan gambaran spesifik TB paru sehingga menyebabkan terjadi

overdiagnosis atau underdiagnosis.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang TB

Menurut Kemenkes (2014) ada beberapa pemeriksaan penunjang yang

perlu diperhatikan. Yakni:

1. Pemeriksaan Dahak mikroskpis langsung

a. Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara

mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS

(sewaktu – pagi – sewaktu).

b. Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 dari pemeriksaan contoh

uji dahak SPS hasilnya BTA positif

2. Pemeriksaan dahak

a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan

dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh

uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan

(7)

1. S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang

berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien

membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.

2. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

3. S(sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi.

b. Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)

dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu,

misal:

1. Pasien TB ekstra paru.

2. Pasien TB anak.

3. Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA

negatif.

Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau

mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat

yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan

untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.

3. Pemeriksaan uji kepekaan obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M. TB

terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat

(8)

pemantapan mutu/QualityAssurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk

memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan

pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan obat. Untuk

memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT,

Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat menyediakan tes cepat yaitu Gen

expert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi

(Kemenkes, 2014)

2.1.8 Pengobatan tuberkulosis Paru

Menurut Kemenkes (2014) pengobatan tb harus selalu meliputi

pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan:

a. Tahap Awal: Pengobatan dberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada

tahap ini adalah dimaksudkan secara efektif menurunkan jumlah kuman

yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian

kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien

mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,

harus diberikan selama 2 bulan. Pada umunya dengan pengobatan secara

teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun

setelah pengobatan selama 2 minggu.

b. Tahap lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting

untuk membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya

kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya

(9)

2.1.9 Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa

dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.

Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan

pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap

Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena

tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan

pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan

dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu

contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut

dinyatakan positif. Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum

memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA

positif merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan

pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil

pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi

BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian

OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA

positif, pemeriksaan ulang dahak s0elanjutnya dilakukan pada bulan ke 5.

Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis

pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir

(10)

2.2 Konsep Adaptasi

2.2.1 Definisi adaptasi

Adaptasi adalah kemampuan individu untuk bereaksi kaena tuntutan dalam

memenuhi dorongan kebutuhan dan mencapai ketentraman batin dalam

berhubungan dengan sekitar (Sundari, 2005). Adaptasi merupakan suatu proses

perubahan yang menyertai individu dalam berespon terhadap perubahan yang ada

dilingkungan dan dapat mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis

maupun psikologis yang akan menghasilkan perilaku Adaptif (Hidayat, 2006)..

Menurut sundari (2005), adaptasi yang berhasil bilamana dengan

sempurna memenuhi kebutuhan tanpa melebihkan yang satu dan mengurangi

yang lain, tidak mengganggu manusia lain dalam memenuhi kebutuhan yang

sejenisnya dan bertanggung jawab terhadap masyarakat dimana ia berada untuk

mencapai keharmonisan pada dirinya dan lingkungan. Adaptasi berhasil secara

positif jika tidak adanya ketegangan emosi, bila individu menghadapi problema,

emosi, tetap tenang, tidak panik, sehinga dalam memecahkan masalah dengan

menggunakan rasio dan emosinya terkendali, dalam memecahkan masalah

terhadap realitas dan objektif. Bila seseorang menghadapi masalah segera

dihadapi secara apa adanya tidak ditunda-tunda, tidak menjadi frustasi, konflik

maupun kecemasan dan mampu belajar pengetahuan yang mendukung apa yang

dihadapi sehingga dengan pengetahuan itu dapat digunakan menanggulangi

timbulnya problema. Adaptasi yang negatif jika yang bersangkutan tidak dapat

(11)

2.2.2 Jenis Adaptasi

Menurut Hidayat (2006), ada 4 jenis adaptasi yakni

2.2.2.1 Adaptasi Fisiologis

Adaptasi fisiologis merupakan kemampuan tubuh untuk mempertahankan

keadaan relatif seimbang, kemampuan adaptif ini adalah bentuk dinamika dari

ekuilibrium lingkungan internal tubuh (Potter & Perry, 2005).

Riset klasik yang dilakukan selye, 1976 (dalam Hidayat, 2006) membagi

adaptasi fisiologis menjadi sindrom adaptasi psikososial lokal (local adaptation

syndrom—LAS) dan sindrom adaptasi umum (general adaptation syndrome—

GAS).

2.2.2.2 Adaptasi psikologis

Adaptasi ini merupakan proses penyesuaian secara psikologis dengan cara

melakukan mekanisme pertahanan diri yang bertujuan melindungi atau bertahan

dari serangan atau hal yang tidak menyenangkan (Hidayat, 2006)

2.2.2.3 Adaptasi Sosial Budaya

Merupakan cara untuk mengadakan perubahan dengan melakukan proses

penyesuaian perilaku yang sesuai dengan normal yang berlaku di masyarakat,

misalnya seseorang yang tinggal dalam lingkungan masyarakat dengan budaya

gotong royong akan berupaya beradaptasi dengan lingkungannya tersebut

(12)

2.2.2.4 Adaptasi Spiritual

Proses penyesuaian diri dengan melakukan perubahan perilaku yang

didarkan pada keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki sesuai dengan agama

yang dianutnya. Misalnya, apabila mengalami stress, seseorang akan giat

melakukan ibadah, seperti rajin sembahyang, berpuasa, dan sebagainya

(Hidayat, 2006).

2.2.4 Mekanisme Adaptasi

Individu mempunyai kemampuan untuk mempertahankan kesehatan, dan

menggunakan energinya untuk beradaptasi secara positif. Terdapat dua sub sistem

yang berperan, antara lain:

2.2.4.1Sub sistem regulator

Yaitu sub sistem dari manusia yang menangani terhadap adanya rangsangan

dari luar yaitu melalui sistem saraf dan hormonal, contohnya bagaimana

seseorang yang mengalami stimulus respon emosional, kemudian tubuh

menyesuaikan diri dengan mengeluarkan hormon adrenalin yang berefek untuk

mempercepat denyut nadi, pernafasan yang meningkat, suhu tubuh meningkat,

otot tubuh berkontraksi.

2.2.4.2 Sub sistem kognator

Yaitu sub sistem yang menangani stimulus dengan melalui proses informasi,

belajar, dan pengambilan keputusan. Artinya adaptasi ini dengan cara

(13)

2.2.5 Respon Adaptasi

Respon atau perilaku adaptasi seseorang terhadap perubahan atau

kemunduran bergantung pada stimulus yang masuk dan /kemampuan adaptasi

orang tersebut. atau kemampuan adaptasi seseorang ditentukan oleh tiga hal,

yaitu masukan (input), control, dan keluaran (output) (Asmadi, 2008). Respon

individu terhadap stimulus lingkungan dapat berupa respon adaptif dan

maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang dapat meningkatkan integritas

dan membantu individu untuk mencapai tujuan dari adaptasi sendiri, seperti

bertahan hidup, tumbuh, bereproduksi, penguasaan dan perubahan pada individu

maupun lingkungan. Sebaliknya, respon maladaptif dapat menggagalkan atau

mengancam tujuan adaptasi (Alligood & Tomey, 2010).

2.3 Adaptasi psikologis

Adaptasi ini merupakan proses penyesuaian secara psikologis dengan

melakukan mekanisme pertahanan diri yang bertujuan melindungi atau bertahan

dari serangan atau hal yang tidak menyenangkan. Adaptasi psikologis bisa bersifat

konstruktif atau deskruktif. Perilaku yang konstruktif membantu individu

menerima tantangan untuk memecahkan konflik, bahkan rasa cemaspun bisa

menjadi konstruktif, jika dapat memberi sinyal adanya suatu ancaman sehingga

individu apat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampaknya perilaku

deskruktif tidak membantu individu mengatasi stressor. (Hidayat. 2006).

Perilaku konstruktif membantu individu menerima tantangan untuk

menyelesaikan konflik. Bahkan ansietas dapat konstrukti misalnya, ansietas dapat

(14)

tindakan untuk mengurangi keparahannya. Perilaku destruktif mempengaruhi

orientasi realitas, kemampuan pemecahan masalah, keperibadian, dan situasi yang

sangat berat, kemampuan untuk berfungsi. Ansietas dapat juga bersifat destruktif

(mis. jika seseorang tidak mampu beritindak melepaskan diri dari stressor). Sama

halnya, penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan dapat dipandang sebagai

perilaku adapatif dalam kenyataannya hal ini malah meningkatkan stress dan

bukan menurunkan stress.Perilaku adaptif psikologis individu membantu

kemampuan seseorang untuk menghadapi stressor. Perilaku ini diarahkan pada

penatalaksanaan stress dan didapatkan melalui pembelajaran dan pengalaman

sejalan dengan individu mengidentifikasi perilaku yang dapat diterima dan

berhasil (potter& perry, 2005)

Perilaku adaptasi psikologis juga mengacu pada mekanisme koping (coping

mechanisme) yang berorientasi pada tugas (task oriented) dan mekanisme

pertahanan iri (ego oriented) (Hidayat, 2006).

2.3.1 Reaksi yang berorientai pada tugas.

Reaksi ini melibatkan penggunaan kemampuan kognitif untuk mengurangi

stres dan memecahkan masalah. Terdapat tiga jenis perilaku yang umum yakni:

1) Menyerang, yaitu bertindak menghilangkan, mengatasi stressor, atau

memenuhi kebutuhan, misalnya berkonsultasi dengan orang yang ahli.

2) Menarik diri dari stressor secara fisik maupun emosi.

3) Berkompromi, yaitu mengubah metode yang biasa digunakan, mengganti

(15)

2.3.2 Reaksi yang berorientasi pada ego

Reaksi ini dikenal sebagai mekanisme pertahanan diri secara psikologis

untuk mencegah gangguan psikologis yang lebih dalam. Mekanisme pertahanan

diri tersebut adalah:

1) Rasionalisasi. Berusaha memberikan alasan yang rasional sehingga masalah

yang dihadapinya dapat teratasi.

2) Pengalihan. Upaya untuk mengatasi masalah psikologis dengan melakukan

pengalihan tingkah laku pada objek lain, contohnya jika seserorang terganggu

akibat situasi gaduh yang disebabkan oleh temannya, maka ia berupaya

menyalahkan temanya tersebut.

3) Kompensasi. Mengatasi masalah dengan mencari kepuasan pada keadan lain.

Misalnya, seseorang memiliki masalah karena menurunya daya ingat, maka

di sisi lain, ia berusaha menonjolkan bakal melukis yang dimilikinya.

4) Identifikasi. Meniru perilaku orang lain dan berusaha mengikuti sifat

karakteristik, dan tindakan orang tersebut.

5) Represi. Mencoba menghilangkan pikiran masalah yang secara sadar tidak

dapat diterima dan tidak memikirkan hal-hal yang kurang menyenangkan.

6) Penyangkalan. Upaya pertahanan diri dengan cara menyangkal masalah yang

dihadapi atau tiak mau menerima kenyataan yang dihadapinya, misalnya

menolak kenyataan bahwa pasangan sudah meninggal dunia dengan cara

(16)

2.4 Masalah Psikologis pasien TB

Gejala yang dapat dirasakan seorang penderita TB paru tidak hanya berupa

gejalafisik saja. Penderita TB paru juga rentan mengalami masalah atau

gejalapsikososial. Doenges, Moorhouse, dan Murr (2010) menyebutkan

bahwaseseorang yang mengalami TB paru akan menunjukkan gejala-gejala

psikologiseperti merasa stres berkepanjangan, tidak ada harapan dan putus asa,

penderitamungkin menunjukkan penyangkalan khususnya pada fase awal

penyakit,kecemasan, ketakutan, cepat marah, ceroboh dan terjadi perubahan

mental padatahap lanjut. Dampak psikologis ini tentunya tidak boleh diabaikan

begitu saja,karena masalah psikologis yang dibiarkan berlarut-larut dapat

berkembangmenjadi kondisi yang semakin buruk dan menyebabkan masalah baru

bagipenderita TB paru itu sendiri (Abdad, 2013).

Kecemasan merupakan awal masalah psikologis pasien. Pasien tuberkulosis paru

perlu mendapatkan perhatian yang serius untuk kecemasannya dalam masa

pengobatan. Pengobatan TB yang bertujuan untuk menyembuhkan pasien,

mencegahkematian, mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan dan

mencegahterjadinya resistensi kuman tuberculosis (Indrayani, 2011).

Ketidakmampuan penderita TBdalam melakukan pengobatan dapat berdampak

pada timbulnya kekhawatiranpenderita TB tentang keadaan dirinya. Timbulnya

perasaan takut yang dialamipenderita TB yang disebabkan oleh ketidakmampuan

mereka menjalankanpengobatan TB dengan baik akan menimbulkan kecemasan

dalam diripenderita TB. Nurjanah (2004 dalam indrayani, 2011) menyebutkan

(17)

seseorang. Berdasarkanpendapat tersebut,maka timbulnya penyakit TB paru pada

seorang pasienberdampak terhadap timbulnya kesadaran akan terancamnya

keberadaan atauintegritas pasien dalam kehidupan secara pribadi maupun di

masyarakat.

Pasien menyadari bahwa ketika pasien didiagnosa menderita penyakit TB,maka

secara otomatis pasien tersebut harus mengikuti program pengobatanyang relatif

lama yaitu minimal 6 bulan. Timbulnya perilaku baru yang pasienhadapi yaitu

harus meminum obat dalam jumlah banyak serta dalam waktuyang lama

menimbulkan kekhawatiran terhadap apakah ia mampumenjalankan pengobatan

tersebut, karena tidak semua orang mampu menelanobat serta apakah mampu ia

menjaga motivasi dirinya untuk terus melakukanpengobatan sehingga tidak

mengalami putus obat. Konsekuensi-konsekuensiyang merupakan akibat dari

pengobatan TB paru merupakan faktor pencetustimbulnya kecemasan pada diri

pasien terhadap kondisi hidupnya pada masasekarang dan akan datang (Indrayani

dkk, 2011).

Masalah psikososial juga dapat muncul akibat berbagai faktor. Penderita TB paru

dapatmengalami beban pikiran yang berat akibat kondisi sakit yang tidak

diharapkanatau akibat mengalami beban perasaan atas tuntutan masyarakat yang

dikelilingioleh banyak stigma. Menurut Setiawan (2011) ada beberapa stigma

negatif yangberkembang terkait penyakit tuberkulosis diantaranya adalah

anggapan bahwa tuberkulosis merupakan penyakit guna-guna atau kutukan,

penyakit keturunan danpenyakit yang tidak dapat disembuhkan. Stigma-stigma ini

(18)

akanmerasa malu dan takut akan dikucilkan oleh lingkungannya sehingga

penderitalebih memilih menyembunyikan penyakitnya dan menolakuntukberobat

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengertian diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa kode etik jurnalistik adalah norma atau landasan moral yang mengatur tindak-tanduk seorang wartawan

Berdasarkan Penetapan Pengadaan Langsung Nomor: : 06/PAN-PL/M3D-DIPA/2012 tanggal 30 November 2012 untuk pekerjaan Pengadaan Material 3D Printing Penelitian Mobil Listrik

Maka dengan ini Pokja 2 ULP mengumumkan bahwa pelelangan untuk paket Pengadaan Peralatan Elektronik dan Inventaris Perkantoran Pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai. Tipe

 Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan

 Menunjukkan perilaku patuh, tertib dan mengikuti aturan dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan, perkalian dan pembagian bilangan asli , bilangan bulat dan pecahan

Ketua Panitia Pengadaan

Pada umumnya para guru juga masih ragu atas implementasi yang dilakukan berdasarkan tuntunan kurikulum 2013, ini terjadi disebabkan pemahaman Kompetensi Inti baik sikap

Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen pendidikan dimasa depan merupakan manajemen pendidikan yang dirancang atau disusun