• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB VI Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Nilai Adat ‘Hibua Lamo’ dalam Upaya Masyarakat Pasca Perpecahan Jemaat: Studi Sosiologis Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuyaabupaten Halmahera Utara T1 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB VI Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Nilai Adat ‘Hibua Lamo’ dalam Upaya Masyarakat Pasca Perpecahan Jemaat: Studi Sosiologis Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuyaabupaten Halmahera Utara T1 BAB VI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

54

BAB VI

KONSTRUKSI NILAI HIBUA LAMO SEBAGAI

REKONSILIASI KONFLIK

6.1. Sikap Para Pihak tentang Hibua Lamo.

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya tentang pola relasi (interaksi) masyarakat baik di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan jemaat, peneliti melihat bahwa persoalan bergereja telah mempengaruhi serta mereduksi relasi-relasi sosial masyarakat yang telah terbangun lama. Hal tersebut dapat ditemukan melalui terbangunnya relasi sosial yang kelihatannya kaku (non-fleksibel) dilakukan, semacam ada tembok pemisah yang terbangun diantara kelompok (jemaat).

Tentunya kondisi seperti ini penting untuk direspon melalui pola pendekatan masalah yang tujuannya adalah untuk mencari berbagai solusi alternatif guna memulihkan (merekonsiliasi) relasi-relasi sosial yang demikian, serta meminimalisir adanya resiko-resiko sosial lainnya yang kemungkinannya akan bermunculan kembali. Berdasar pada hal itu, maka peneliti mengutarakan salah satu konten pertanyaan wawancara kepada berbagai informan kunci, yang berbunyi: “dapatkah nilai-nilai Hibua Lamo mampu dijadikan sebagai basis dalam merekonsiliasi kondisi masyarakat pasca perpecahan jemaat? adapun sikap para pihak (informan) dapat diulas secara berurutan, diantaranya adalah:

Respon (sikap) Bpk. S.P. Sumtaki, selaku Tokoh Adat Desa Duma, adalah: “Saya tidak bisa mendaulati hak orang lain dalam hal bergereja, tetapi yang saya maknai adalah kita sebagai orang bersaudara dan keluarga di Desa Duma apakah kita harus saling berkelahi karena masalah perbedaan gereja (jemaat)? Identitas sebagai keluarga tidak akan hilang, keluarga tetaplah keluarga. Istri bisa dicerai, suami bisa dicerai, agama bisa ditinggalkan, tetapi siapa yang mau dan berani tinggalkan keluarga? Mungkin selain maut (kematian). Kitorang (kita) ini kan belajar dari orang tua-tua dulu, memang orang tua-tua dulu itu tegas berpegang pada tradisi dan adat - walaupun saat itu belum kenal agama. Contohnya sampai sekarang tradisi babilang itu adalah tradisi yang diwariskan dari orang tua dulu-dulu”.

(2)

55

diperlihatkan oleh Bpk S.P Sumtaki, dimana identitas kekeluargaan di Desa Duma tidak akan hilang dengan adanya perpecahan jemaat. Ungkapan dan sikap tersebut merupakan bentuk ketegasan dari seorang tokoh adat yang sampai sekarang terus melestarikan identitas adat dan budaya di Desa Duma. Dari sikap inilah, peneliti mengartikan bahwa nilia-nilai Hibua Lamo masih mendapatkan tempat yang cukup baik dalam hal jika digunakan sebagai basis dalam upaya merekonsiliasi kondisi masyarakat yang telah retak dan pecah tersebut.

Respon (sikap) Pdt. R. Tukang selaku Pimpinan Jemaat Hendrik van Dijken:

“Saya kira bisa saja, karena secara bermasyarakat yang mengikat kitorang

(kita) dalam hubungan kesatuan dan persatuan adalah Hibua Lamo. Jadi saya kira adat itu bagus. Karena dalam hidup bermasyarakat ketika terjadi masalah, kitorang angkat adat, karena adat dapat mempersatukan kitorang. Saya kira apapun pengaruh dari persoalan agama dan politik tetapi kalau kitorang kuat dengan adat, maka kitorang hidup itu akan baik. Dan tentunya, saya juga mengharapkan supaya adat yang ada, Sibua Lamo di Galela ini merupakan dasar hidup kitorang sebagai masyarakat, supaya apapun perkembangan dunia, pengaruh-pengaruh modernisasi dalam bentuk apapun dan kitorang berpegang dalam adat, kitorang akan hidup dalam keadaan aman. Dulu contohnya konflik 1999-2000 yang luar biasa, dan sampai sekarang kitorang bisa bersatu karena adat Hibua Lamo itu. Dan jika saya kira perspektif atau nilai-nilai Hibua Lamo itu kita taruh dalam pikiran kita didepan, maka pengaruh apapun kitorang akan bisa menghadapinya”.

Respon Bpk. M. Bahagia, selaku Pimpinan Jemaat Nita Duma:

“Menurut saya, nilai-nilai Hibua Lamo itu bisa. Hal ini kita lihat ketika kerusuhan yang terjadi 1999-2000 sebagai contohnya. Secara bergereja mungkin saja butuh proses atau waktu yang panjang. Namun kalau secara bermasyarakat kita kuat dalam hal adat, pastinya kita akan hidup dalam keadaan baik. Jika masyarakat hidup baik, maka akan berpengaruh baik juga terhadap persekutuan jemaat. Karena adat tidak terpengaruh dengan hal-hal luar yang dapat merusak kita”

Mencermati sikap dari dua pimpinan jemaat tersebut, peneliti melihat bahwa nilai-nilai Hibua Lamo mendapatkan tempat yang manis dalam hal memulihkan relasi-relasi sosial yang

(3)

56

masyarakat hidup baik, maka akan berpengaruh baik juga terhadap aktivitas persekutuan jemaat‟.

Respon Bpk. J. Buladja, selaku Tokoh Masyarakat di Desa Duma;

“Bisa saja, Hibua Lamo dijadikan sebagai mediator untuk menyelsasikan

masalah, namun ini kan persoalan gereja dengan gereja (internal), itu yang membuat tidak bisa. Hibua Lamo itu tidak mengenal latar belakang suku, agama dan lain-lain, dia adalah alat pemersatu masyarakat”.

Respon Bpk. C. Jai, selaku Tokoh Masyarakat di Desa Mamuya:

“Nilai Hibua Lamo itu saya artikan sebagai bentuk rumah besar yang

maknanya adalah suatu sistem keluargaan yang besar. Walapun berbeda-beda suku dan agama, tetapi kita semua adalah saudara dan keluarga. Begitupun menyangkut permasalahan gereja ini, walaupun secara organisasi gereja kita berbeda, tetapi hubungan keluarga dan keluarga itu harus tetap terjaga.

Respon Bpk. S. Dawile, selaku Kepala Desa Mamuya:

“kalau pikiran saya, persoalan konflik antara Islam-Kristen 1999-2000 dengan

persoalan internal Gereja sekarang itu bedah jauh. Persoalan gereja adalah persoalan prinsip organisasi, masing-masing mempertahankan ego dan itu susah, karena tidak ada titik penyelesaian sampai saat ini. Karena ada pihak diatas (elit) yang tidak mau membuka diri untuk saling berdamai”.

Respon Bpk. Y. Sumtaki, selaku Kepala Desa Duma:

“Memang pola pendekatan penyelesaian masalah yang ada di kantor Desa selama ini memakai pendekatan adat. Masyarakat di Desa Duma ini kan semuanya telah diikat oleh ikatan keluarga. Sehingga misalnya kemarin, di hari minggu itu ada perkelahian gara-gara (penyebab) masalah gereja. Dan ketika dibawah ke kantor Desa, akhirnya dua-duanya mengambil sikap untuk saling berdamai”.

(4)

57

GMIH. Hal tersebut tidak dimaksudkan oleh peneliti sebagaimana maksud dari konten pertanyaan yang diutarakan oleh peneliti sebelumnya.

Peneliti tidak memposisikan peran Hibua Lamo yang secara solutif menyelesaikan konflik internal GMIH secara organisatoris (Sinode), dimana gereja (Sinode) harus menjadi utuh (satu) kembali. Tidak pada tataran itu. Namun peneliti melandaskan Hibua Lamo dalam perspektif institusi nilai adat, dimana terdapat muatan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat yang mengatur kebaikan hidup bersama secara sosial. Berdasar pada perspektif itulah, Hibua Lamo ditempatkan dan diandaikan oleh peneliti mampu dijadikan sebagai obat (basis) dalam

memulihkan kembali (rekonsiliasi) kondisi (relasi-relasi) masyarakat yang sudah terlanjur retak bahkan rusak tersebut. Pada sisi lainnya, Hibua Lamo juga mampu dijadikan sebagai instrumen yang cukup mumpuni dalam meng-counter berbagai persoalan-persoalan sosial yang kemungkinannya akan meledak dalam masyarakat.

Maksud dari peneliti tersebut telah digambarkan dengan jelas oleh sebagian besar informan kunci, misalnya oleh Bpk. Y. Sumtaki, selaku Pemerintah Desa yang menggunakan pendekatan secara adat (kekeluargaan) dalam hal mengurusi masalah-masalah sosial yang muncul akibat dari dinamika bergereja di Desa Duma. Hal itulah yang dipakai sebagai basis pendekatan dalam penyelesaian masalah. Adapun oleh Bapak Kornelius Jai yang lebih memperjelas dengan mengartikan bahwa “walaupun secara organisatoris (Sinode) kita

berbeda, tetapi hubungan kekeluargaan kita haruslah tetap terjaga”, serta lebih diperjelas lagi

oleh Bapak Pdt R. Tukang yang pada kalimat akhirnya mengatakan bahwa “jika nilai-nilai

adat ini kita posisikan atau tempatkan dipikiran kita, maka pengaruh apapun itu kita akan bisa

menghadapinya”. Berdasar pada deskripsi inilah, maka Hibua Lamo dikonstruksikan dan

diandaikan mampu digunakan sebagai basis dalam upaya memulihkan (rekonsiliasi) kondisi masyarakat pasca perpecahan jemaat.

6.2. Upaya Membangun Kesadaran Bersama Melalui Basis Kekeluargaan.

(5)

58

Sejalan dengan hal tersebut, peneliti menjumpai pola relasi antara sesama warga masyarakat khususnya di Desa Duma yang kelihatannya mulai membaik kembali. Hal ini dapat ditemui melalui moment ulang tahun Desa Duma yang ke-139 tahun, dimana dalam moment tersebut terlaksana suatu bentuk kegiatan bersama yang melibatkan seluruh warga masyarakat Desa Duma di lapangan Yubelium - Desa Duma tepatnya pada tanggal 7 Mei 2017. Kegiatan ini di inisiatif oleh Pemerintah Desa Duma.

Adapun bentuk kegiatan berupa lomba yang melibatkan banyak orang, diantaranya: lomba “tarik tambang dan lomba suami gendong istri”. Kegiatan ini sangat direspon baik oleh masyarakat Desa Duma melalui partisipasi dalam setiap mata lomba yang dilaksanakan, serta banyaknya masyarakat yang berdatangan untuk menonton di lokasi kegiatan tersebut. Hal ini lebih jelasnya, diungkapkan oleh Bapak Y. Sumtaki,1 bahwa:

“Untuk menghilangkan gab-gab yang ada di masyarakat, saya coba

menginisiasi dalam suatu bentuk kegiatan yang partisipasinya dari semua pihak atau kedua jemaat. Kebetulan saya terinspirasi dari acara ulang tahun di Goa, Makasar, dengan bentuk lomba gendong istri. Dari hal itulah, saya berpikir sudah dekat moment hari ulang tahun Desa Duma dan selama ini kan tidak pernah kita rayakan. Kebetulan kami (Perangkat Desa dan BPD) menerima gajian dan kami bersepakat untuk secara suka rela baku pot (patungan) dengan jumlah Rp. 50.000,00 per-orang, yang dikhususkan bagi hadiah pemenang lomba. Hal ini sudah bagus, karena melihat partisipasi dari masyarakat dalam semua lomba, bahkan pimpinan jemaat pun ikut terlibat. Pimpinan jemaat Hendrik van Dijken terlibat dalam lomba tarik tambang; sedangkan pimpinan jemaat Nita Duma karena sakit jadi hanya datang menonton saja. Kami memakai forum-forum jemaat untuk menyampaikan agenda kegiatan ini, baik itu disaat ibadah lingkungan maupun di ibadah minggu”.

Peneliti mencermati bahwa Pemerintah Desa Duma sangatlah kreatif dalam mengkonstruksi suatu kegiatan bersama dengan melibatkan semua masyarakat (kedua jemaat). Hal ini menunjukan bahwa ada upaya nyata dari pihak Pemerintah Desa untuk bersikap netral ditengah-tengah problematika internal gereja yang terjadi di Desa Duma. Sehingga sikap netral dari Pemerintah Desa Duma diwujudkan melalui suatu kegiatan bersama, yakni “perayaan hari ulang tahun Desa Duma”. Bagi peneliti, hal tersebut merupakan bentuk “rekayasa sosial” yang sengaja diciptakan oleh Pemerintah Desa Duma

guna menstimulus “imajinasi kolektif” seluruh warga masyarakat di Desa Duma. Hal ini

tentunya sangat berpengaruh pada relasi sosial diantara warga jemaat yang semakin menguat.

1

(6)

59

Bagi peneliti, kegiatan ini memiliki peran penting dalam upaya memulihkan kembali relasi masyarakat yang sebelumnya retak dan tersekat akibat dari egoistik kelembagaan gereja diantara mereka. Konstruksi kegiatan yang di inisiasi oleh pihak Pemerintah Desa Duma ini dengan sendirinya menghancurkan tembok pemisah yang terbangun akibat adanya perbedaan jemaat (gereja). Dilihat dari basis sosio-historis, bahwa warga masyarakat Desa Duma adalah satu kesatuan yang diikat oleh sistem kekerabatan „marga, sehingga dalam hemat peneliti, kegiatan ini merupakan „tamparan keras‟ kepada setiap orang di Desa Duma untuk merefleksikan kembali arti perjalanan hidup mereka sebagai saudara-bersaudara yang terbangun diatas basis kekeluargaan.

Gambar 6.2.

Perayaan Hari Ulang Tahun Desa Duma Yang Ke-139 Tahun

‘Lomba Tarik Tambang dan Gendong Istri’

Dokumentasi kegiatan oleh Narvatilova Mailoa – Peneliti mengaksesnya melalui akun FaceBook-nya.

Dalam konteks kehidupan masyarakat di Desa Mamuya, upaya keras yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Mamuya dalam rangka membangun kesadaran untuk hidup bersama melalui basis kekeluargaan merupakan hal yang cukup sulit, mengingat sebagian warga masyarakat yang tergabung dalam jemaat Imanuel Baru Mamuya telah mengambil sikap untuk keluar dari Desa Mamuya dan berdomisili di wilayah lain.

Namun, pasca dari eksodus tersebut, ditemukan2 bahwa pola relasi mulai terbangun kembali diantara kedua pihak (jemaat) melalui tradisi Mabari (kerja sama). Tradisi mabari

dipraktekan melalui kerja sama dalam hal „panen buah kelapa‟ (kopra)3. Kebun kelapa ini

2

Hasil wawancara bersama Kepala Desa Mamuya – diwawancarai pada tanggal 4 Mey 2017.

(7)

60

adalah milik satu keluarga yang adalah warga jemaat Imanuel Baru Mamuya, yang telah berdomisili di Desa Wari. Namun, kebun dari keluarga tersebut berada di wilayah Desa Mamuya, sehingga pihak keluarga meminta bantu kepada keluarganya di Desa Mamuya yang merupakan jemaat Imanuel Mamuya untuk bersama-sama bekerja memanen buah kelapa (kopra) tersebut.

Praktek tradisi mabari yang secara langsung mempertemukan kedua pihak (jemaat) tersebut merupakan suatu bentuk kesadaran akan suatu pekerjaan yang sifatnya berat jika dilakukan sendiri, sehingga membutuhkan orang lain guna meringankan beban yang begitu besar. Peneliti memaknai bahwa kesadaran untuk bekerja sama dalam bidang ekonomi tersebut tentunya dilandasi dengan semangat berbasis kekeluargaan (tradisi). Tradisi mabari merupakan wujud implementasi dari nilai O’Hayangi yang berarti „saling sayang atau saling

peduli‟. Dalam konteks kerja panen buah kelapa (kopra) inilah, nilai O’Hayangi

mendapatkan tempatnya sebagai bentuk ungkapan rasa sayang dan kepedulian diantara keluarga. Dari pola relasi yang terbangun melalui kerja sama (mabari) ini menyadarkan mereka (kedua kelompok) bahwa mereka bukanlah orang lain, melainkan adalah keluarga, mengingat ada sistem kekerabatan (marga) yang mengikat mereka serta dipersatukan dalam bangunan nilai „rumah bersama‟.

Hal lainnya yang berkaitan dengan upaya membangun kesadaran melalui basis kekeluargaan nampak dalam praktek tradisi babilang. Berdasarkan hasil observasi dilapangan serta sebagaimana hasil wawancara terhadap beberapa informan kunci di Desa Duma dan Desa Mamuya, ditemukan bahwa tradisi “Babilang” ini masih sering dipraktekan oleh warga jemaat pasca perpecahan jemaat, mengingat bahwa latar belakang kesukuan masyarakat dari warga jemaat yang hidup pada dua lokasi (desa) adalah suku Galela.

Tradisi babilang memiliki korelasi erat dengan nilai-nilai Hibua Lamo, yakni O Hayangi (Sayang), O Baliara (Pelihara), dan O, Dora (Kasih). Tradisi ini merupakan bentuk

(8)

61

6.3. Jalan Ketiga: Menghidupkan Kembali Jemaat Nita Duma.

Sebelum membahas secara mendalam terkait sub bab ini, awalnya peneliti akan menggambarkan sedikit tentang alur perpecahan jemaat di Desa Duma. Alur perpecahan jemaat di Desa Duma dapat dilihat melalui bagan berikut ini:

Bagan 6.3.

Perpecahan Jemaat Nita Duma dan Kemungkinan Adanya Rekonsiliasi

Bagan diatas merupakan gambaran dari alur perpecahan jemaat di Desa Duma. Sebelum perpecahan jemaat terjadi di Desa Duma, semua warga jemaat terorganisir dalam satu jemaat, yaitu jemaat „Nita Duma‟. Perpecahan jemaat di Desa Duma pada tahun 2014 silam melahirkan dua jemaat, yaitu jemaat Nita Duma (pro BPHS GMIH Pembaharuan), dan jemaat Hendrik van Dijken (pro BPHS GMIH Lama). Pada bulan Mei 2017, saat peneliti melakukan penelitian dilapangan, sebagian warga jemaat yang sebelumnya tergabung dalam jemaat Nita Duma – pro GMIH Pembaharuan mengorganisir diri dan membentuk satu jemaat baru (jemaat ketiga), dengan nama jemaat yang sama, yakni jemaat Nita Duma (pro terhadap BPHS GMIH Lama).

Dalam konteks penelitian ini, peneliti tidak memposisikan diri mengambil sikap bahwa BPHS GMIH Lama benar dan BPHS GMIH Pembaharuan salah, atau pun sebaliknya. Tidak demikian, namun peneliti menempatkan diri untuk tidak berpihak (netral), dengan berdasar pada alasan-alasan munculnya jemaat ketiga serta berupaya untuk mengggali dan menganalisis data sesuai hasil temuan dilapangan.

Alur Perpecahan Jemaat

Jemaat Hendrik van Dijken GMIH Lama

Jemaat Nita Duma GMIH Lama

Jemaat Nita Duma GMIH Pembaharuan

2

3 JEMAAT

NITA DUMA

2

(9)

62

Munculnya jemaat ketiga ini tentunya memiliki alasan-alasan yang mendasari sikap mereka. Adapun alasan yang diungkapkan oleh Bapak S. Buladja dan N. Tumada4, adalah:

“Awal munculnya SSI (GMIH Pembaharuan) kami sangat mendukung, dan dukungan itu kurang lebih 3 tahun. Setelah kondisi (konflik) ini berjalan dan diproses melalui jalur hukum, GMIH Pembaharuan kalah menurut putusan dalam ranah hukum! Oleh karena itu kitorang (kami)harus cari tahu; kita yang merasa diri benar tetapi kenapa kalah? Mulai kami gali dan cari bukti-bukti dan kitorangdapat bukti itu, yakni: Terkait Surat Penjelasan Pendirian Yayasan GMIH Pembaharuan oleh Kementrian Agama melalui Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Kristen (Ditjen Bimas) Kristen. Ketika kitorang mendapatkan Surat Penjelasan5 tersebut, ternyata ada 4 poin yang dituliskan tersebut. Dua poin utama yang menjadi alasan utama kami, diantaranya adalah; pada poin ke-2 berbunyi, “bahwa pengesahan akta pendirian Yayasan GMIH oleh Kementrian Hukum dan HAM adalah pengesahan sebagai Yayasan, bukan sebagai Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH). Oleh karena itu Gereja dan Yayasan adalah dua lembaga yang berbeda, tidak perlu saling intervensi”; dan bunyi poin ke-4, adalah

“Ditjen Bimas Kristen - Kementrian Agama tidak melayani pendaftaran induk

organisasi Gereja baru/Sinode baru karena arah pembinaan gereja diarahkan bukan untuk peningkatan kwantitas organisasi gereja melainkan kwalitas yang bertanggung jawab, peningkatan kerukunan/keesaan gereja. Nah...anehnya, surat penjelasan ini tidak dibacakan (transparansi) dalam gereja-gereja di GMIH Pembaharuan. Kami merasa dibohongi dengan ditutupinya bukti-bukti ini”.

Hasil wawancara ini merupakan alasan-alasan yang dipakai oleh kelompok tersebut untuk menyatakan sikap dengan membentuk suatu jemaat baru (jemaat ketiga). Bagi peneliti, alasan-alasan tersebut cukup kuat dan rasional bagi kelompok ini dalam upaya mencari solusi ditengah-tengah dualisme kepemimpinan Badan Pengurus Harian Sinode (BPHS) GMIH yang sampai sekarang ini belum menemukan titik damainya. Sikap ini tidak serta-merta muncul tanpa alasan atau bukti, namun didasarkan pada temuan bukti yang menurut mereka pihak BPHS GMIH Pembaharuan melalui jemaat Nita Duma tidak pernah mensosialisasikan Surat Keputusan (SK) tentang Penjelasan Pendirian Yayasan GMIH oleh Kementrian Agama Republik Indonesia – Melalui Direktorat Jendral (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kristen kepada seluruh warga jemaat Nita Duma.

4

Sebelumnya kedua Beliau ini adalah warga jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan) yang mengambil sikap untuk membentuk satu jemaat baru – diwawancarai secara bersama-sama pada Sabtu, 24 Juni 2017.

(10)

63

Adapun bukti yang memperkuat sikap mereka (warga jemaat ketiga) untuk mengambil keputusan dengan cara keluar dan membentuk jemaat baru adalah berdasar pada

poin 4 dari SK tersebut yang berbunyi bahwa “Kementrian Agama Republik Indonesia –

Melalui Ditjen Bimas Kristen tidak melayani pendaftaran Induk gereja Sinode baru”. Dengan berdasar pada bukti-bukti sebagaimana yang dijelaskan melalui surat penjelasan tersebut, maka kehadiran dari jemaat ketiga ini didasarkan dengan alasan-alasan mendasar dan cukup rasional dalam upaya mencari tahu kebenaran di tengah-tengah dualisme kepemimpinan dan saling klaim-mengklaim kebenaran internal Sinode GMIH.

Posisi jemaat ketiga dalam konteks ini adalah keberpihakan pada Sinode GMIH Jln. Kemakmuran – Tobelo (BPHS GMIH Lama), dimana dalam konteks surat penjelasan tersebut, Sinode GMIH Lama diakomodir oleh Negara melalui Kementrian Agama. Pada sisi yang lain, sikap dari jemaat ketiga untuk tidak bergabung dengan jemaat Hendrik van Dijken dipandang keputusan proporsional dan memiliki konsekuensi logis bagi adanya ruang rekonsiliasi pada tubuh jemaat di Desa Duma.

Menurut hemat peneliti, posisi jemaat ketiga adalah bentuk menengahi perseteruan bagi kedua jemaat yang sebelumnya telah ada, dimana jemaat ketiga mengambil posisi netral secara berjemaat. Keputusan ini tentunya adalah bentuk upaya-upaya untuk menawarkan jalan lain sebagai „jalan ketiga‟ dalam pencarian solusi bagi keutuhan jemaat di Desa Duma. Sehingga dalam hemat peneliti, adanya jemaat ketiga ini cukup membuka ruang bagi kemungkinan adanya rekonsiliasi jemaat di Desa Duma.

Peneliti menggali lebih jauh lagi dan berupaya untuk menganalisanya. Ditemukan bahwa ada motif atau indikasi penting lainnya menyangkut sikap dari jemaat ketiga dengan menggunakan nama jemaat yang sama, yakni „jemaat Nita Duma‟. Bertolak dari hal tersebut, maka peneliti mempertanyakannya dalam satu konten pertanyaan wawancara, yaitu: “Kenapa menggunakan nama jemaat yang sama, yakni jemaat Nita Duma? Kenapa tidak bergabung saja dengan jemaat Hendrik van Dijken yang juga merupakan jemaat dibawah pelayanan BPHS Sinode Jln. Kemakmuran – Tobelo? Hal ini direspon oleh Bapak S. Buladja dan N. Tumada6, adalah sebagai berikut:

“Nah...ini sebetulnya bukan jemaat baru, tetapi kitorang (kami) kembali ke jemaat yang sebenarnya. Karena nama jemaat Nita Duma (GMIH

6

(11)

64

Pembaharuan) itu so tarada (telah dihapus) dari register Sinode GMIH Jalan Kemakmuran. Karena itu kitorang kembali dalam kelompok kecil dan menamakan jemaat Nita Duma dengan tujuan untuk mengembalikan nama

jemaat Nita Duma ke register GMIH tersebut”.

Hasil wawancara ini merupakan alasan yang menarik dan menggelitik bagi peneliti untuk mengidentifikasi motif dibalik sikap dari jemaat ketiga ini. Apa makna dibalik penamaan jemaat Nita Duma ini? Sehingga nama ini dipakai dan diangap penting oleh warga jemaat yang tersebut.

Secara etimologi, kata „Nita‟ berasal dari bahasa Galela, yang artinya „Terang‟,

sedangkan „Duma‟ adalah nama kampung (Desa). Jika diterjemahkan secara bebas, maka

Nita Duma berarti „Terang dari Duma‟. Terang dalam konteks ini dimaknai sebagai: “Injil

yang terpancar dari Duma hingga menyebar keseluruh belahan bumi Halmahera (Maluku

Utara)”. Seperti telah disinggung dalam bab sebelumnya, bahwa jemaat Nita Duma adalah

„jemaat mula-mula‟ yang menerima agama Kristen pada tahun 1866 di Halmahera melalui

seorang Misionaris berkebangsaan Belanda yang bernama Hendrik van Dijken7. Makna dari pemberian nama jemaat Nita Duma tersebut memiliki keterkaitan erat dengan basis historisitas (sejarah) kehidupan perjalanan Kekristenan di Halmahera.

Dalam sejarah perjalanan Gereja di Halmahera, Duma merupakan tempat awal benih Injil itu ditanamkan, dimana tepatnya pada tahun 1949 terbentuklah suatu organisasi gereja (Sinode) yang sekarang ini dikenal dengan nama Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH). Sehingga bisa dikatakan bahwa Duma adalah peletak dasar (foundation) keberadaan dan eksistensi GMIH hingga sekarang ini. Hal inilah yang mempengaruhi sikap dari jemaat ketiga untuk tetap menggunakan nama jemaat Nita Duma dalam upaya mengembalikan nama jemaat ke register GMIH. Menurut hemat peneliti, terbentuknya jemaat ketiga yang tujuannya adalah mengupayakan kembali nama Nita Duma adalah sama dengan menghidupkan kembali nilai dan makna sejarah bergeraja sebagai jumaat mula-mula yang berpengaruh besar terhadap sejarah perjalanan GMIH hingga sekarang ini.

Terlepas dari basis historis kehidupan ber-GMIH, peneliti menemukan bahwa sikap jemaat ketiga tersebut merupakan upaya menyadarkan kembali warga jemaat di Desa Duma dari perspektif sosial-budaya. Secara sosial-budaya setiap orang yang tinggal, hidup, menetap serta menjalani aktivitas hidup sehari-hari merupakan satu kesatuan yang diikat dan

7

(12)

65

dipersatukan dalam sistem kekeluargaan. Sebagaimana telah disinggung juga dalam bab-bab sebelumnya, bahwa masyarakat yang ada di Desa Duma merupakan keluarga besar yang dipersatukan melalui sistem marga, dimana kepelbagaian marga yang berbeda-beda tersebut telah diikat oleh bentuk pernikahan silang antara marga. Hal ini telah dilakukan dari orang tua-tua (nenek moyang) sebelumnya, sehingga melalui sistem kekerabatan inilah yang menyatukan semua orang yang tinggal di wilayah tersebut.

Sistem kekeluargaan tersebut tidak terlepas juga dari nilai-nilai Hibua Lamo atau Sibua Lamo yang telah lama terlembaga dalam pola relasi dan interaksi antara warga masyarakat. Adapun sederetan nilai yang terkandung dalam „rumah besar‟ tersebut diantaranya adalah O’Dora, O’Hayangi, O’Baliara, O’Adili, dan O’Diai. Dengan berdasar pada basis nilai dan makna inilah, peneliti akan menganalisisnya secara satu persatu dalam kaitannya dengan sikap jemaat ketiga di Desa Duma.

Potret perpecahan bahkan konflik tersebut meretakan hubungan-hubungan kekeluargaan serta berdampak pada menurunnya sikap saling mengasihi (O’Dora) diantara keluarga. Terbentuknya jemaat ketiga adalah upaya untuk mengembalikan perasaan saling mengasihi, yang dilakukan dengan cara untuk keluar dari jemaaat sebelumnya (Nita Duma) dan tidak mau bergabung dengan jemaat lainnya (Hendirk van Dijken). Hal ini mengindikasikan makna bahwa jemaat ketiga bersikap untuk tidak mau berlama-lama tergiur dengan perseteruan dua kubu tersebut. Sehingga upaya penyadaran dan pemulihan harus dilakukan, dan semuanya itu bisa terjadi jika dilandasi dengan rasa saling mengasihi. Rasa saling mangasihi inilah unsur yang mengikat semua anggota masyarakat kedalam relasi yang rukun dan damai.

(13)

66

Hendrik van Dijken. Pada titik inilah jalan ketiga membawa tawaran solusi yang baru, atau dengan kata lain, berupaya untuk keluar dan kembali pada nilai O’Hayangi itu sendiri.

Perpecahan jemaat serta adanya bentuk-bentuk tindakan kekerasan yang terjadi di Desa Duma dipandang mereduksi makna dari nilai O’Baliara (Pelihara/Peduli). Adanya perilaku saling memfitnah, saling membicarakan (gosip) secara negatif, ungkapan kata kotor (makian) merupakan perbuatan-perbuatan yang secara langsung mengganggu keharmonisan sosial diantara mereka. Sikap dari jemaat ketiga adalah upaya untuk keluar dari nuansa konflik diantara dua kubu (jemaat) tersebut. Pada posisi inilah mereka (jemaat ketiga) berupaya untuk menghindari tindakan-tindakan negatif yang nota benenya bertolak belakang dengan nilai O’Baliara itu. Memang tidak dapat dipungkiri pula, bahwa jemaat ketiga juga pernah terlibat dalam melakukan hal-hal yang demikian, namun keputusan untuk mencari jalan lainnya merupakan sikap yang cukup strategis dalam upaya memulihkan kehidupan bergereja maupun bermasyarakat dengan didasarkan pada nilai O’Hayangi itu sendiri.

Perpecahan jemaat membuat situasi sosial tidak lagi berada dalam keadaan seimbang (adil). Melemahnya sikap hormat-menghormati serta sikap saling menghargai diantara orang tua dan anak merupakan tindakan yang mereduksi makna dari nilai O’Adili itu sendiri. Secara normatif, tentunya tindakan kekerasan secara langsung telah melanggar aturan-aturan adat yang disepakati bersama. Dalam kondisi yang demikian, adil dan tidaknya tergantung dari masing-masing kubu (jemaat). Jemaat ketiga berupaya untuk keluar dari kungkungan dua kubu tersebut, guna berupaya untuk membenahi sikap mereka yang sebelumnya tidak baik (tidak adil) adanya. Dalam asumsi peneliti, sikap dari jemaat ketiga adalah upaya untuk mencari jalan keadilan lain (atau jalan ketiga), dimana “dua jalan sebelumnya” tidak menemukan titik keadilan bagi warga jemaat di Desa Duma.

(14)

67

Sikap jemaat ketiga dalam kaitannya dengan nilai-nilai Hibua Lamo merupakan upaya untuk mengembalikan tatanan nilai yang telah ada sebelumnya. Untuk mengupayakan kembalinya nilai-nilai tersebut, maka cara yang diambil oleh mereka adalah dengan mengambil sikap untuk keluar dari jemaat Nita Duma (pro BPHS GMIH Pembaharuan) dan tidak mau bergabung dengan jemaat Hendrik van Dijken (pro BPHS GMIH Lama), melainkan membentuk satu jemaat lagi. Bagi peneliti, upaya dari jemaat ketiga ini dipandang sebagai jalan ketiga yang menawarkan alternatif solusi guna memulihkan kembali (rekonsiliasi) kondisi sosial masyarakat yang telah tersekat akibat egoistik kelembagaan bergeraja oleh dua kelompok (jemaat) tersebut.

Gambar

Gambar 6.2. Perayaan Hari Ulang Tahun Desa Duma Yang Ke-139 Tahun

Referensi

Dokumen terkait

Metodologi Penelitian Kualitatif: Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik , dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama.. Yogyakarta:

telah tepat dengan mempertimbangkan seluruh alat bukti yang ada di dalam persidangan, namun hakim memutus pidana terhadap terdakwa terlalu rendah jika dilihat dari

Isu adalah suatu hal atau trending topic yang sedang di bicarakan saat ini yang bersifat kekinian, atau sementara tetapi jika di respon dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan

Untuk mendeskripsikan apakah ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran problem posing dan pemberian motivasi terhadap kreatifitas berfikir matematika siswa

Ada beberapa hambatan dalam upaya penanggulangan kejahatan kasus pemalsuan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor(BPKB). Diantaranya kurangnya pemahaman Lembaga Penjaminan

2 Tahun 2002, peran faktual merupakan paling dominan yakni Pasal 28 (2), Pasal 45A (2) UU ITE.Faktor penghambat penanggulangan hoax adalah aparat penegak hukum; tidak

menjelaskan pada dasarnya peradilan yang terkait dengan segala jenis dan bentuk kejahatan ITE termasuk penyebaran berita bohong tetap berlaku hukum acara pidana

Lantas, pada pengertian diatas jelas membutuhkan subyek dan obyeknya. Maka disandingkan dengan kata kewajiban dan hak tersebut, dengan kata suami dan istri, memperjelas bahwa