BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Pajak Bumi dan Bangunan
Ada beberapa macam pengertian atau definisi mengenai pajak bumi bangunan yang diungkapkan oleh beberapa ahli, tetapi pada intinya berbagai definisi tersebut mempunyai inti dan maksud yang sama. Di antara para ahli mendefinisikan pajak bumi dan bangunan seperti berikut : Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas Bumi dan bangunan. Subjek Pajak dalam pbb adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hal atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki penguasaan dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak pbb belum tentu pemilik bumi dan atau bangunan, tetapi dapat pula orang atau badan yang memanfaatkan Bumi dan atau Bangunan tersebut (Valentina Sri S. – Aji Suryo, 2006 : 14-2)
Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besar pajak (Erly Suandy, 2005 : 61)
Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang – undang No. 12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang – undang No. 12 tahun 1994. Ketentuan Umum Pajak Bumi dan Bangunan Pasal 1 (UU No 12 Tahun
1985) adalah : Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan peraoran pedalaman (termasuk rawa – rawa, tambak, dan perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) adalah harga rata rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek pajak lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak
Pengganti.
1.2. Kepatuhan Wajib Pajak
Kepatuhan pajak merupakan masalah klasik yang dihadapi otoritas pajak di seluruh dunia. Kepatuhan pajak dapat didefinisikan sebagai kemauan Wajib Pajak untuk tunduk terhadap regulasi perpajakan di suatu negara. Kondisi perpajakan yang menuntun keikutsertaan aktif wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Dan kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya. Karena sebagian besar pekerjaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh wajib pajak, bukan fiskus selaku pemungut pajak. Berdasarkan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai kesejahteraan bagi segenap bangsa Indonesia ini dapat dilakukan dengan menjalankan pemerintahan yang baik dan melaksanakan pembangunan di segala bidang. Kedua fungsi ini bisa berjalan jika didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Salah satu sumber pembiayaan tersebut adalah pajak. (I Nyoman, 2009).
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1995: 1013), “istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan.” Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan
ketentuan perpajakan. Jadi, wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Menurut Nurmantu (2003:148) kepatuhan pajak dapat didefinisikan sebagai: “suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya, maka konteks kepatuhan dalam penelitian ini mengandung arti bahwa wajib pajak berusaha untuk mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku.” Menurut Milgram (dalam Nasucham 2004) “kepatuhan terkait dengan ketaatan
pada otoritas aturan-aturan.” Dalam pengertian yang lebih rinci, Hasseldine (dalam Nasucham, 2004) mengemukakan bahwa kepatuhan adalah: “melaporkan semua harta kekayaan Wajib Pajak yang tercatat pada waktu yang ditentukan dan pengembalian laporan pertenggung jawaban pajak yang akurat, sesuai dengan kode pemasukan peraturan dan penerapan keputusan pengadilan pada waktu dilakukan pencatatan.” Gunadi (2005) dalam Arum (2012) menjelaskan bahwa “kepatuhan pajak (tax compliance) adalah kesediaan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administratif.”
2.2.1 Indikator Kepatuhan Wajib Pajak
Siti Kurnia Rahayu (2010:139) mengatakan bahwa pengukuran kepatuhan wajib pajak dapat dilihat dari: “Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk melaporkan kembali surat pemberitahuan, kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.” Selain itu, pengukuran kepatuhan wajib pajak dapat dilihat dari kepatuhan wajib dari kepatuhan wajib pajak
dalam mendaftarkan dirinya ke kantor pajak, kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terhutang, kepatuhan wajib pajak untuk menyampaikan SPT.
Indikator yang diperkenalkan oleh Novak (1989) dalam Kiryanto (2000) yaitu: “wajib pajak berusaha memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku, seperti memasukan dan melaporkan informasi yang diperlukan dalam hal membayar pajak, mengisi surat pemberitahuan (SPT) dengan benar dan lengkap, menghitung dengan benar jumlah pajak terutangnya, menyerahkan surat pemberitahuan (SPT) tepat waktu, selalu melaporkan surat pemberitahuan (SPT) masa dan Tahunan, membayar pajak tanpa adanya pemaksaan dan tepat pada waktunya.”
Didalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa: “menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15
(lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.” Merujuk pada kriteria wajib pajak patuh menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 235/KMK.03/2003, bahwa kriteria kepatuhan wajib pajak adalah:
1. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam dua
tahun terakhir.
2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telahmemperoleh izin untuk menganggur atau menunda pembayaran pajak.
3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
4. Dalam dua tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam halterhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi padapemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yangterutang paling banyak 5%.
5. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, ataupendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugifiskal.
1.3. Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan adalah cara membantu, mengurus, dan menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan seseorang yang dalam hal ini adalah wajib pajak. Menurut Boediono (2003:60), kualitas pelayanan pajak adalah suatu proses bantuan kepada wajib pajak dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan. Menurut Debby Farihun Najib (2013:44), kualitas pelayanan pajak (tax service) untuk memberikan kenyamanan, keamanan, dan kepastian bagi wajib pajak di dalam pemenuhan kewajiban dan haknya di dalam bidang perpajakan.
Menurut I Gede Putu Pranadata (2014:28), kualitas pelayanan pajak merupakan salah satu hal yang meningkatkan minat wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan diharapkan petugas pelayanan pajak harus memiliki kompetensi yang baik terkait segala hal yang berhubungan denganperpajakan di Indonesia. Menurut Prasuraman Sapriadi (2013:89), kualitas pelayanan pajak dapat diartikan sebagai pembandingan antara kualitas pelayanan yang dirasakan konsumen dengan dengan kualitas pelayanan yang diharapkan konsumen. Jika kualitas yang dirasakan sama atau melebihi kualitas pelayanan yang diharapkan, maka pelayanan dikatakan berkualitas dan
memuaskan, begitu juga sebaliknya. Pelayanan publik berkualitas adalah pelayanan yang berorientasi kepada aspirasi masyarakat, lebih efesien, efektif dan bertanggung jawab.
Menurut Sapriadi (2013:74), kualitas pelayanan pajak adalah ukuran citra yang diakui masyarakat mengenai kualitas pelayanan yang diberikan, apakah masyarakat puas atau tidak puas. Kualitas jasa atau pelayanan sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi pelanggan Berikut ini 5 (lima) indikator kualitas pelayanan pajak yaitu:
a. Keandalan (Reliability) Keandalan merupakan kemampuan untuk memberikan jasa seperti yang dijanjikan dengan akurat dan terpercaya sesuai yang diharapkan pelanggan yang tercermin dari ketepatan waktu, layanan yang sama untuk semua orang dan tanpa kesalahan.
b. Ketanggapan (Responsiveness) Daya tanggap adalah kemampuan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang sebaik mungkin kepada pengguna. Dimensi ini menekankan pada perhatian, kecepatan, dan ketepatan dalam menghadapi permintaan, pertanyaan, complain dan masalah dari pengguna layanan. Daya tanggap dikomunikasikan pada konsumen melalui waktu tunggu untuk dilayani, jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan atau perhatian mereka terhadap masalah-masalah yang ada, juga meliputi fleksibilitas dankemampuan untuk melayani kebutuhan pelanggan. c. Jaminan (Assurance) Jaminan adalah pengetahuan karyawan dan kesopanan atau
keramahan, kemampuan perusahaan sertakaryawannya untuk menumbuhkan rasa percaya pelanggan kepadaperusahaan, yang mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahayarisiko atau keraguraguan.
d. Empati (Emphaty) Empati merupakan perhatian tulus, caring (kepedulian), yang diberikan kepada pelanggan yang meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan pelanggan. Pelanggan ingin perusahaanmemahami mereka dan sangat penting bagi perusahaan mereka.
e. Bukti Langsung (Tangible) Bukti langsung didefinisikan sebagai penampilan fasilitas fisik, peralatan, personal, dan alat komunikasi. Semua peralatan tersebutmewakili pelayanan secara fisik atau memberikan image pelayananyang akan digunakan oleh penguna untuk mengevaluasi kualitas.
1.4. Sanski Pajak
Sanksi perpajakan merupakan cara yang dilakukan fiskus agar para wajib pajak tidak melakukan kecurangan dalam membayar pajak. Dengan beratnya sanksi yang diberikan berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana kepada para wajib pajak yang melanggar diharapkan wajib pajak jera dan memiliki motivasi untuk membayar pajak. Menurut Resmi (2008:71), sanksi perpajakan terjadi karena terdapat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sehingga apabila terjadi pelanggaran maka wajib pajak dihukum dengan indikasi kebijakan perpajakan dan undang-undang perpajakan.
Menurut Arum (2012:213), Sanksi perpajakan adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar peraturan. Peraturan atau Undang-Undang merupakan rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan sesuatu mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Sanksi diperlukan agar peraturan atau Undang-Undang tidak dilanggar. Penerapan sanksi perpajakan bertujuan
untuk memberikan efek jera kepada wajib pajak yang melanggar norma perpajakan sehingga tercipta kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Macam-Macam Sanksi Perpajakan Dalam Undang-Undang Perpajakan terdapat dua macam sanksi pajak, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana Menurut Achmad Tjahjono (2000: 109), dalam pelaksanaannya seorang wajib pajak dapat dikenai sanksi administrasi, sanksi pidana, atau keduanya.
a. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak
memenuhi ketentuan peraturan perpajakan atau melakukan pelanggaran terhadap aturan perpajakan yang berlaku. Sanksi administrasi berupa pembayaran kerugian kepada Negara, dapat berupa bunga, denda, atau kenaikan.
1. Sanksi berupa bunga sebesar 2% per bulan.
2. Sanksi berupa denda administrasi. 3. Sanksi berupa kenaikan 50% dan 100%.
3. Sanksi Pidana Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan ada tiga macam sanksi pidana, yaitu denda pidana, kurungan, dan penjara.
a. Denda Pidana Sanksi berupa denda pidana selain dikenakan kepada wajib pajak ada juga yang diancamkan kepada pejabat atau kepada pihak ketiga yang melanggar norma. Denda pidana dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun yang bersifat
b. Pidana Kurungan Pidana kurungan hanya diancam kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat ditujukan kepada wajib pajak, dan pihak ketiga. Karena pidana kurungan yang diancamkan kepada si pelanggar norma itu ketentuannya sama dengan yang diancamkan dengan denda pidana, maka masalahnya hanya ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti dengan pidana kurungan selamalamanya sekian
c. Pidana Penjara Pidana penjara merupakan hukuman perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan. Ancaman pidana penjara tidak ada yang ditunjukkan kepada pihak ketiga, adanya kepada pejabat dan kepada wajib pajak.
Menurut Wibowo Pusponegoro (2012:36) indikator sanksi perpajakan
sebagai berikut:
a. Sanksi perpajakan yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat. Sanksi perpajakan yang cukup berat digunakan sebagai alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar aturan-aturan perpajakan atau Undang-Undang yang telah ditetapkan sehingga tercipta kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya. b. Pengenaan sanksi pajak yang cukup berat merupakan salah satu sarana untuk mendidik
wajib pajak. Pengenaan sanksi pajak yang cukup berat merupakan salah satu sarana untuk mendidik wajib pajak dimaksudkan agar wajib pajak yang dikenai sanksi akan menjadi lebih baik dan lebih mengetahui hak dan kewajibannya sebagai wajib pajak sehingga tidak lagi melakukan kesalahan atau pelanggaran yang sama.
c. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi. Maksud dari sanksi pajak dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi adalah untuk menghukum wajib
pajak yang dikenai sanksi tanpa toleransi atau keringanan sanksi atau hukuman apapun sehingga mereka akan menjadi jera dan tidak lagi melakukan kesalahan atau pelanggaran yang sama.
1.5. Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
No Penelti/Tahun/Judul Hasil Persamaan Perbedaan
1 Tri Mustika, Suharno & Fadjar Harimurti (2016) Pengaruh Kualitas Pelayanan, Sanksi Dan Kesadaran Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Pembayaran PBB Di Mojosongo
Berdasarkan hasil analisis
data maka dapat
disimpulkan bahwa secara parsial variabel kualitas
pelayanan pajak
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak, variabel sanksi pajak berpenfaruh positif dan
signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak dan kesadaran wajib pajak pajak berpengaruh positif
Menggunakan variable kompetensi dan kinerja • Objek penelitian, • Menggunakan regresi sederhana
dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak
2 Putu Permana Artha., Made Ary Meitriana,
S.Pd, Dr. Iyus Akhmad Haris, M.Pd (2016) Pengaruh Kualitas Pelayanan Fiskus Terhadap Kepatuhan Wajib
Pajak Bumi Dan
Bangunan (Pbb) Di Sedahan Kecamatan Seririt kualitas pelayanan berpengaruh secara signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak bumi dan bangunan
Menggunakan variable kompetensi dan kinerja • Objek penelitian, • Menggunakan regresi sederhana
3 Nila Puspita (2014)
Pengaruh Kualitas
Pelayanan Fiskus,
Kesadaran Wajib
Pajak Dan Keadilan
Pajak Terhadap
Kepatuhan Wajib
Pajak Dalam
Membayar Pajak
Bumi Dan Bangunan
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
kualitas pelayanan fiskus, kesadaran wajib pajak dan
keadilan pajak
berpengaruh signifikan positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Menggunakan variable kompetensi dan kinerja • Objek penelitian, • Menggunakan regresi sederhana
4 Putu Aditya Pranata
(2015) Pengaruh
Sanksi Perpajakan, Kualitas Pelayanan Dan Kewajiban Moral Pada
Kepatuhan Wajib
Pajak
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa sanksi
perpajakan, kualitas
pelayanan, dan kewajiban moral berpengaruh positif
pada kepatuhan wajib
pajak dalam membayar pajak restoran di Dinas Pendapatan Kota Denpasar
Menggunakan variable kompetensi dan kinerja • Objek penelitian, • Menggunakan regresi sederhana 5 Dwiyatmoko Pujiwidodo (2016) Persepsi Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
Hasil penelitian ini
menunjukkan sanksi
perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi, dan besarnya pengaruh yang
Menggunakan variable kompetensi dan kinerja • Objek penelitian, • Menggunakan regresi sederhana
dihasilkan oleh sanksi
perpajakan terhadap
kepatuhan wajib pajak orang pribadi sebesar 0,36%
1.6. Pengembnagan Hipotesa
a. Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya tergantung pada bagaimana petugas pajak dalam memberikan suatu pelayanan kepada wajib.
Pelayanan sendiri pada sektor perpajakan dapat diartikan sebagai pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk membantu Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya. Pelayanan pajak termasuk dalam pelayanan publik karena dijalankan oleh instansi pemerintah, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan undangundang dan tidak berorientasi pada profit atau laba. Menurut Boediono (2003:60), kualitas pelayanan pajak adalah suatu proses bantuan kepada wajib pajak dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan. Menurut Debby Farihun Najib (2013:44), kualitas pelayanan pajak (tax service) untuk memberikankenyamanan, keamanan, dan kepastian bagi wajib pajak di dalampemenuhan kewajiban dan haknya di dalam bidang perpajakan. Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya adalah memberikan pelayanan yang baik (Mohamad Rajif, 2012). Secara empiris
telah dibuktikan bahwa pelayanan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. artinya semakin baik pelayanan petugas pajak maka kepatuhan wajib pajak akan meningkat (Mustika, dkk (2016); Artha, dkk (2016); Puspita (2014); Pranata (2015)). Sehingga hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah :
H1. Kualitas pelayanan diduga berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak bumi dan bangunan kabupaten Bondowoso.
b. Pengaruh Sanksi Pajak terhadap Kepatuhan Wajib pajak
Sanksi adalah hukuman negatif kepada orang yang melanggar peraturan. Sanksi perpajakan terjadi karena terdapat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan di mana semakin besar kesalahan yang dilakukan seorang Wajib Pajak, maka sanksi yang diberikan juga akan semakin berat (Nakomi, dkk, 2013). Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi dapat dijatuhkan apabila Wajib Pajak melakukan pelanggaran, terutama atas kewajiban yang ditentukan dalam UndangUndang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dapat berupa sanksi administrasi bunga, denda dan kenaikan. Sedangkan sanksi pidana dapat hukuman kurungan dan hukuman penjara (Rahayu, 2010: 13). Menurut Resmi (2008:71), sanksi perpajakan terjadi karena terdapat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan. Sehingga apabila terjadi pelanggaran maka wajib pajak dihukum dengan indikasi kebijakan perpajakan dan undang-undang
perpajakan.
Menurut Arum (2012:213), Sanksi perpajakan adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar peraturan. Peraturan atau Undang-Undang merupakan rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan sesuatu mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Secara empiris telah membuktikan bahwa sanksi pajak secara parsial berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib dalam membayar pajak (Mustika, dkk (2016) ; Pranata (2015); Pujiwidodo (2016)). Sehingga hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah :
H2. Sanksi diduga berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak bumi dan bangunan kabupaten Bondowoso
c. Pengaruh Secara Simultan Kualitas Pelayanan Dan Sanksi Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Siti Kurnia Rahayu (2010:139) mengatakan bahwa pengukuran kepatuhan wajib pajak dapat dilihat dari: “Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk melaporkan kembali surat pemberitahuan, kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.” Selain itu, pengukuran kepatuhan wajib pajak dapat dilihat dari kepatuhan wajib dari kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan dirinya ke kantor pajak, kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terhutang, kepatuhan wajib pajak untuk menyampaikan SPT.
Indikator yang diperkenalkan oleh Novak (1989) dalam Kiryanto (2000) yaitu: “wajib pajak berusaha memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan
peraturan perpajakan yang berlaku, seperti memasukan dan melaporkan informasi yang diperlukan dalam hal membayar pajak, mengisi surat pemberitahuan (SPT) dengan benar dan lengkap, menghitung dengan benar jumlah pajak terutangnya, menyerahkan surat pemberitahuan (SPT) tepat waktu, selalu melaporkan surat pemberitahuan (SPT) masa dan Tahunan, membayar pajak tanpa adanya pemaksaan dan tepat pada waktunya.”
Didalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa: “menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.”Secara empiris telah membuktikan bahwa kualitas pelayanan dan sanksi pajak secara silmutan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib dalam membayar pajak (Mustika, dkk (2016) ; Pranata (2015)). Sehingga hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah :
H3. Secara simultan kualitas pelayanan dan sanksi diduga berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak bumi dan bangunan kabupaten Bondo
1.7. Kerangka Konseptual Kepatuhan WP ( Y ) Kualitas Pelayanan 1) ( X Sanksi ( X 2 ) H 2 H 1 H 3