• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refrat Baby Blues

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Refrat Baby Blues"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

REFRAT REFRAT

BABY B

BABY B LUES SYNDRO

LUES SYNDROME 

ME 

Disusun oleh : Disusun oleh : Taufik Adi Susilo Taufik Adi Susilo

J510 1650 86 J510 1650 86

Pembimbing : Pembimbing :

Agung Priatmaja, dr., Sp.KJ, M. Kes Agung Priatmaja, dr., Sp.KJ, M. Kes

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA KEPANITRAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA

RUMAH SAKIT JIWA DAERAH dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

SURAKARTA 2016 2016

(2)
(3)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Pasca melahirkan adalah periode dimana ibu menjalani hari yang Pasca melahirkan adalah periode dimana ibu menjalani hari yang melelahkan. Kelelahan ini terkait dengan keadaan sang bayi maupun perubahan melelahkan. Kelelahan ini terkait dengan keadaan sang bayi maupun perubahan kondisi fisik dan psikis ibu, dan hal ini dapat memicu perasaan tertekan (stres). kondisi fisik dan psikis ibu, dan hal ini dapat memicu perasaan tertekan (stres). Banyak ibu baru melahirkan mengalami depresi pasca persalinan atau lebih Banyak ibu baru melahirkan mengalami depresi pasca persalinan atau lebih dikenal sebagai baby blues syndrome.

dikenal sebagai baby blues syndrome.  Baby  Baby blues blues syndromesyndrome, atau sering juga, atau sering juga disebut

disebut  postpartum  postpartum distress distress syndromesyndrome adalah perasaan sedih dan gundah yangadalah perasaan sedih dan gundah yang dialami oleh sekitar 50-80% wanita setelah melahirkan bayinya. Umumnya terjadi dialami oleh sekitar 50-80% wanita setelah melahirkan bayinya. Umumnya terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari ke tiga atau empat setelah persali

ke tiga atau empat setelah persalinan (Syahrir S, 2008).nan (Syahrir S, 2008). Gejala

Gejala baby blues Syndromebaby blues Syndrome yang biasanya dialami oleh ibu setelah 3-4yang biasanya dialami oleh ibu setelah 3-4 hari melahirkan namun memudar setelah beberapa minggu (National Mental hari melahirkan namun memudar setelah beberapa minggu (National Mental Health Association, 2003).

Health Association, 2003).  Baby  Baby Blues Blues SyndromeSyndrome (BBS) adalah depresi ringan(BBS) adalah depresi ringan yang dialami ibu setelah melahirkan. BBS juga disebut

yang dialami ibu setelah melahirkan. BBS juga disebut maternity blues,maternity blues, atauatau  postpartum

 postpartum blues.blues. Gejalanya berupa gangguan emosi sering menangis, murung,Gejalanya berupa gangguan emosi sering menangis, murung,  panik,

 panik, mudah mudah marah marah (Atmadibrata, (Atmadibrata, 2005), 2005), dan dan disertai disertai dengan dengan gejala gejala depresi,depresi, mood swings,

mood swings, gangguan tidur dan selera makan, serta gangguan konsentrasi yanggangguan tidur dan selera makan, serta gangguan konsentrasi yang kesemuanya merupakan akibat perubahan hormonal (National Mental Health kesemuanya merupakan akibat perubahan hormonal (National Mental Health Association, 2003). Menurut Stanton dan Danoff-Burg, 1995 dalam Stoppard Association, 2003). Menurut Stanton dan Danoff-Burg, 1995 dalam Stoppard (2000) mengatakan bahwa mood wanita yang terjadi selama periode kehamilan (2000) mengatakan bahwa mood wanita yang terjadi selama periode kehamilan merupakan prediktor utama terjadinya mood wanita pada periode setelah merupakan prediktor utama terjadinya mood wanita pada periode setelah melahirkan (Syahrir S, 2008).

(4)

Baby blue syndrome perlu dibedakan dengan postpartum depression, Baby blue syndrome perlu dibedakan dengan postpartum depression, dimana pada postpartum depression gejalanya lebih berat dan sering serta dimana pada postpartum depression gejalanya lebih berat dan sering serta onsetnya lebih dari 2 minggu. Faktor risiko dari

onsetnya lebih dari 2 minggu. Faktor risiko dari baby blues syndromebaby blues syndrome yaitu faktoryaitu faktor umur, paritas,

umur, paritas, adanya persalinan yang adanya persalinan yang sulit dan kesulitan dalam sulit dan kesulitan dalam menyusui,menyusui, kehamilan yang sulit atau penuh kekhawatiran, setiap jenis trauma (riwayat kehamilan yang sulit atau penuh kekhawatiran, setiap jenis trauma (riwayat depresi) masa kanak-kanak yang dapat menimbulkan depresi, lebih khusus lagi depresi) masa kanak-kanak yang dapat menimbulkan depresi, lebih khusus lagi  pada

 pada hubungan hubungan yang yang penuh penuh masalah masalah dengan dengan ibu ibu di di masa masa kanak-kanak kanak-kanak dandan dukungan dari suami yang dapat melatarbelakangi

dukungan dari suami yang dapat melatarbelakangi baby blues syndromebaby blues syndrome (Marshall(Marshall F, 2004).

F, 2004).

Banyak faktor yang bisa menyebabkan baby blue syndrome, yaitu : faktor Banyak faktor yang bisa menyebabkan baby blue syndrome, yaitu : faktor dari ibu, bayi yang di lahirkan dan lingkungan sekitar. Kelelahan saat melahirkan, dari ibu, bayi yang di lahirkan dan lingkungan sekitar. Kelelahan saat melahirkan, kesulitan menyusui, trauma melahirkan dan depresi saat mengandung dan kesulitan menyusui, trauma melahirkan dan depresi saat mengandung dan canggung mengurus bayi adalah beberapa contoh faktor yang berasal dari ibu. canggung mengurus bayi adalah beberapa contoh faktor yang berasal dari ibu. Faktor kesulitan menyusui dan canggung menggurus bayi biasanya terjadi pada Faktor kesulitan menyusui dan canggung menggurus bayi biasanya terjadi pada kelahiran pertama, hal ini dikarenakan sang ibu belum terbiasa dan kelahiran pertama, hal ini dikarenakan sang ibu belum terbiasa dan  berpengalaman

 berpengalaman mengurus mengurus bayi. bayi. Bahkan Bahkan ada ada beberapa beberapa ibu ibu yang yang takut takut menyentuhmenyentuh  bayinya

 bayinya karena karena melihat melihat bayinya bayinya sangat sangat kecil kecil dan dan rapuh.rapuh. Faktor hormon jugaFaktor hormon juga  berpengaruh

 berpengaruh dalam dalam terjadinya terjadinya sindrom sindrom ini, ini, dimana dimana perubahan perubahan keseimbangankeseimbangan hormon akibat melahirkan membuat ketidak-seimbangan emosi dari sang ibu hormon akibat melahirkan membuat ketidak-seimbangan emosi dari sang ibu.. Kondisi dari bayi yang baru lahir merupakan faktor yang berasal dari sang bayi, Kondisi dari bayi yang baru lahir merupakan faktor yang berasal dari sang bayi, contohnya bayi lahir dengan berat badan rendah atau bayi lahir dengan kondisi contohnya bayi lahir dengan berat badan rendah atau bayi lahir dengan kondisi yang tidak normal

yang tidak normal.. Faktor dari lingkungan dapat berasal dari mertua, tetanggaFaktor dari lingkungan dapat berasal dari mertua, tetangga  bahkan suami atau ayah bayi sendiri

(5)

Prevalensi kejadian baby blues syndrome dari berbagai penelitian berbeda di tiap Negara, berkisar antara 10-34. Penelitian di Negara barat menunjukkan kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan dari asia, pada  penelitia yang dilakukan terhadap 154 wanita pasca persalinan di Malaysia pada

tahun 1995 dilaporkan angka kejadian 3,9% terbanyak dari ras India (8,9%), Melayu (3,0%), dan tidak adanya kasus pada ras Cina. Penelitian di Singapura dilaporkan angka kejadiannya sebesar 1% (Elvira S, 2006). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Jofesson dkk pada tahun 2002 didapatkan angka baby blues  syndrome sekitar 10%-20% (Jofesson A, 2002).

Catatan medis tentang BBS telah ada sejak zaman Hippocrates, sekitar abad ke 5 SM, namun dianggap kurang penting karena dipandang sekedar sebagai efek kelelahan setelah melahirkan. Dr.dr. Irawati SpKj, M. Epid dari bagian  psikiatri UI melaporkan bahwa 25% dari 580 pasiennya (ibu melahirkan ) menagalami BBS. Dr. Irawati menegemukakan gejala BBS dialami oleh sekitar 50-75% ibu melahirkan, atau 2/3 dari jumlah ibu melahirkan di seluruh dunia (Atmadibrata, 2005). Sedangkan The National Mental Health Association (2003) mengemukakan bahwa sekitar 80% ibu yang melahirkan bayi untuk pertama kalinya mengalami gejala tersebut (Syahrir S, 2008).

Pada penelitian pendahuluan yang pernah dilakukan dibagian/KSMF Obstetri dan Ginekologi FKUP/RSHS Bandung, didapatkan angka kejadian sebesar 33,1% diantara wanita yang melahirkan secara spontan, dan ternyata didapatkan pula bahwa baby blues syndrome tersebut lebih banyak dijumpai pada wanita pekerja dan mereka yang berpendidikan tinggi (Wratsangka R, 1996),

(6)

 beberapa penelitian yang telah dilakukan di berbagai tempat di Indonesia anatar lain : di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya pada tahun 1998-2001 ternyata angka kejadian mencolok tinggi yakni sebesar 11%-30% dibandingkan dengan kejadian di negara lain yang ada di Asia. Dan penelitian lain didapatkan angka baby blues  syndrome yang lebih tinggi yaitu 23,4%-36,7% (Papayungan, 2005).

Hasil penelitian yang dilakukan Trika Rianta (2004) di RSIA Siti Fatimah Makassar melaporkan efektifitas dukungan suami dalam hubungannya dengan kejadian baby blues syndrome sebesar 23% sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Alfiben (2000) di RSU Hasan Sadikin Bandung melaporkan  bahwa efektifitas dukungan suami dalam hubungannya dengan kejadian baby

blues syndrome (depresi pasca persalinan) sebesar 33%. Selain itu kejadian baby blues syndrome di RSB Pertiwi Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2007 adalah 23 kasus (20,0%) dari 1362 persalinan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu bidan di BPS Lusia Sandaden Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan (Desember, 2011), yang merawat langsung ibu  postpartum di ruang rawat inap bersalin diketahui bahwa pada hari ketiga setelah melahirkan sering menemukan gejala-gejala pada ibu  postpartum seperti  bersedih, cemas, mudah marah, tidak nafsu makan, susah tidur dan kurang  perhatian pada bayinya pada saat menangis. Hal ini merupakan bagian dari gejala

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Baby Blues Syndrome

 Baby Blues Syndrome adalah suatu sindroma gangguan mental ringan  pada wanita pasca salin, yang diagnosisnya dapat ditegakkan berdasarkan criteria Handley dan O’Hara yaitu bila didapatkan minimal 4 di antara 7 gejala yang mungkin muncul , yaitu reaksi depresi/sedih/disforia, labilitas perasaan, menangis, cemas, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, iritabilitas (mudah tersinggung). Meski sering dianggap sebagai hal yang ringan dan bersifat Self limiting  pada sebagian kasus, kadang-kadang gangguan ini dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat, yaitu  Psikosis puerperal yang mempunyai dampak lebih buruk, terutama dalam hal masalah hubungan perkawinan dengan suami dan juga perkembangan anaknya (Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2008).

 Baby Blues Syndrome adalah guncangan emosional/kejiwaan pada seorang ibu yang baru melahirkan, kondisi ini hampir 50-75% dialami oleh  perempuan yang baru melahirkan (Syahrir S, 2008). Kondisi ini dapat terjadi sejak hari pertama setelah persalinan dan cenderung akan memburuk pada hari ketiga sampai kelima setelah persalinan.  Baby Blues Syndrome cenderung menyerang dalam waktu 14 hari terhitung setelah persalinan (Alfiben, 2000).  Baby Blues Syndrome terjadi karena tubuh ibu yang habis melahirkan sedang mengadakan perubahan fisik yang besar. Hormon-hormon dalam tubuh juga akan mengalami perubahan besar dan ibu baru saja melalui proses persalinan

(8)

yang melelahkan, semua ini akan mempengaruhi perasaan seorang ibu (Mayla, 2007).

Allah menciptakan tubuh manusia begitu sempurna dan unik. Salah satunya sistem hormon yang turut memengaruhi sistem metabolisme tubuh secara keseluruhan. Ketidakseimbangan hormon dapat mengacaukan mekanisme kerja tubuh kita, termasuk memengaruhi mood (emosi). Hal inilah yang dialami para ibu pasca-melahirkan. Perubahan hormon yang terjadi pada 3-4 hari setelah persalinan memicu mood menjadi lebih sensitif, rasa sedih dan ingin menangis tanpa sebab. Padahal, seharusnya ibu tengah berbunga-bunga karena si mungil yang dinanti-nanti selama sembilan bulan sudah ada dalam dekapan. Kondisi yang mungkin terasa “aneh” inilah yang disebut baby blues  syndrome (Mayla, 2007).

Staf pengajar Bagian Psikiatri FKUI/RSCM Jakarta, dr Suryo Dharmono SpKJ menuturkan, baby blues merupakan fenomena normal yang dialami sekitar 70 persen wanita selepas melahirkan. Apalagi wanita yang baru melahirkan pertama kali, biasanya masih gugup menghadapi perubahan peran dan fungsinya sebagai ibu baru. Di satu sisi, hatinya terisi dengan kebahagiaan yang membuncah, di sisi lain fluktuasi mood menyebabkannya “ feeling blue”. Sindrom baby blues sering kali tidak disadari, baik oleh wanita yang  bersangkutan maupun orang lain di sekitarnya. Wanita yang mengalami baby  blues biasanya ditandai dengan gejala khas berupa depresi ringan, perasaan yang tidak menentu (moody), mudah sedih, murung dan rasa ingin menangis. Beberapa ada juga yang disertai gejala sulit tidur, sulit berkonsentrasi, sering

(9)

 bingung, dan pikiran yang terlalu mengkhawatirkan bayi atau ragu akan kemampuannya mengurus bayi. Namun, tidak perlu risau karena kondisi ini umumnya hanya berlangsung singkat (biasanya pada minggu pertama) (Mayla, 2007).

Dimana seorang wanita dimasa mudanya telah berusaha mempersiapkan diri secara mental untuk memiliki anak dan memiliki  pengetahuan yang cukup tentang tata cara merawat bayi maka dia tidak akan stress atau merasa terbebani terhadap bayinya. Sedangkan wanita yang tidak siap secara mental maupun fisik, dan ditambah dengan pengetahuan yang rendah tentang tata cara merawat bayi, maka wanita tersebut rentan untuk depresi atau menderita baby blues syndrome dikarenakan tidak adanya kesiapan.

2. Epidemiologi

Baby Blues Syndrome

Sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875 telah menulis referensi di literatur kedokteran mengenai suatu keadaan disforia ringan  pasca-salin yang disebut sebagai “milk fever” karena gejala disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi. Dewasa ini, baby blue syndrome atau sering juga disebut maternity blues atau post-partum blues dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan afek ringan yang sering tampak dalam minggu  pertama setelah persalinan, dan ditandai dengan gejala-gejala seperti : reaksi

depresi /sedih/disforia, menangis , mudah tersinggung (iritabilitas), cemas, labilitas perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan gangguan nafsu makan. Gejala-gejala ini mulai muncul setelah persalinan dan

(10)

 pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam sampai  beberapa hari. Namun pada beberapa minggu atau bulan kemudian, bahkan dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat. Baby blues ini dikategorikan sebagai sindrom gangguan mental yang ringan oleh sebab itu sering tidak dipedulikan sehingga tidak terdiagnosis dan tidak ditatalaksana sebagaimana seharusnya, akhirnya dapat menjadi masalah yang menyulitkan, tidak menyenangkan dan dapat membuat perasaan perasaan tidak nyaman  bagi wanita yang mengalaminya, dan bahkan kadang-kadang gangguan ini dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat yaitu depresi dan  psikosis pasca-salin, yang mempunyai dampak lebih buruk, terutama dalam masalah hubungan perkawinan dengan suami dan perkembangan anaknya. Dalam dekade terakhir ini, banyak peneliti dan klinisi yang memberi  perhatian khusus pada gejala psikologis yang menyertai seorang wanita pasca salin, dan telah melaporkan beberapa angka kejadian dan berbagai faktor yang diduga mempunyai kaitan dengan gejala-gejala tersebut. Berbagai studi mengenai baby blue syndrome di luar negeri melaporkan angka kejadian yang cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85%, yang kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan populasi dan kriteria diagnosis yang digunakan. Untuk di Indonesia dari penelitian Wratsangka pada tahun 1996 di RS Hasan Sadikin Bandung, ditemukan 33% wanita pasca persalinan mengalami baby blue syndrome. Hasil penelitian di berbagai tempat yang ditelaah Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI-RSCM menunjukkan, paling sedikit terdapat 26%. Etiologi Penelitian menunjukkan penyebab baby blue

(11)

syndrome adalah faktor hormonal yang akan mempengaruhi keadaan kimiawi otak . Itu merupakan proses biologis dan bukan merupakan kesalahan seorang ibu atau bergantung pada kepribadian yang lemah. Baby blue syndrome terjadi 50-80 % pada ibu baru. Kondisi ini ditunjukan dengan peningkatan respon emosi. Ibu baru akan menunjukan mood yang gampang berubah , mudah menangis, gelisah, irritabilitas, kesulitan tidur dan merasa tidak sehat. Lebih dari 50 % dari ibu yang mengalami depresi sebelumnya setelah melahirkan anak akan menjadi depresi kembali pada kelahiran berikutnya. Wanita akan lebih rentan apabila pada saat hamil mereka sudah mengalami depresi atau memiliki gejala mood premenstruasi sebelum hamil. Apabila wanita tersebut mengalami depresi selama hidupnya, resiko untuk  berkembang menjadi postpartum depression juga akan meningkat dari 10 sampai 25 % begitu pula dengan wanita yang mengidap penyakit bipolar (manic-depressive-illness) akan menempatkan wanita pada peningkatan resiko untuk mengalami postpartum depression. Ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan di bawah normal cenderung 3,64 kali berpeluang lebih  besar mengalami baby blues dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi

dengan berat badan normal. Ketidakseimbangan hormonal. Jumlah hormon wanita seperti estrogen dan progesteron meningkat secara tajam pada saat kehamilan. Pada minggu-minggu setelah melahirkan, jumlah hormon estrogen dan progesteron lebih menurun dari jumlah sebelum kehamilan. Fluktuasi tiba-tiba pada tingkat hormonal ini berhubungan dengan gejala dari depresi yang dialami seorang ibu baru. Wanita lebih rentan pada

(12)

ketidakseimbangan hormonal dari pria. Itu disebabkan terjadinya reaksi kimia antara hormon dan otak yang meningkatkan resiko terjadinya baby blue syndrome. Hormon Thyroid. Kelenjar thyroid berukuran kecil dan terletak di leher. Beberapa wanita mengalami penurunan hormon thyroid setelah melahirkan. Rendahnya hormon thyroid akan menyebabkan gejala depresi, irritabilitas, berkurangnya minat pada aktivitas biasa, kelemahan dan  peningkatan berat badan. Akan tetapi tidak semua wanita mengalami baby  blue syndrome akibat ketidakseimbangan hormon thyroid. Perubahan gaya hidup. Ibu baru mengalami banyak perubahan gaya hidup, dan beberapa diantaranya akan berkontribusi dalam terjadinya baby blue syndrome. Lingkungan yang meningkatkan resiko gejala baby blue syndrome antara l ain

Perubahan jadwal sehari-hari akibat bayi yang baru lahir Kepikiran  pada berat badan dan bentuk tubuh setelah hamil Kelelahan dan kurang tidur setelah melahirkan anak Sedikitnya dukungan dalam merawat bayi Khawatir akan kemampuan untuk menjadi ibu yang baik depresi Yang perlu diperhatikan sementara perubahan gaya hidup meningkatkan resiko menjadi depresi pada beberapa wanita, lainnya dapat mengatasi perubahan tersebut tanpa mengalami.

3. Etiologi

Baby Blues Syndrome

Sampai saat ini masih belum ada kesepakatan diantara para ahli tentang Faktor yang menjadi penyebab dari depresi pasca persalinan (Sari LS, 2009). Diduga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi antara lain :

(13)

a. Faktor Psikososial

Pitt menyatakan bahwa depresi pasca persalinan merupakan gangguan spesifik yang dibedakan dari gangguan depresi klasik. Beliau menyebutkan dengan depresi atipik yang lebih merupakan respons terhadap stres non spesifik dibandingkan dengan perubahan yang bersifat  biologik yaitu perubahan hormonal yang menyertai kelahiran anak (Sari

LS, 2009).

Penelitian keadaan psikososial dari depresi pasca persalinan meyakinkan adanya hubungan antara keadaan tertentu yang terjadi selama kehamilan dengan timbulnya depresi post partum. Kumar, Rabson, Watson dan kawan-kawan, Cox dan kawan-kawan menyatakan bahwa faktor - faktor psikososial yang berkorelasi dengan timbulnya sindroma depresi pasca persalinan antara lain (Sari LS, 2009):

1. Konflik dalam perkawinan, yang meliputi :

a) Adanya ketegangan yang kronis diantara pasangan yang menyebabkan timbulnya rasa permusuhan antara pasangan tersebut.

 b) Riwayat adanya ketidakstabilan emosi pada isteri atau suami yang menyebabkan kurangnya dukungan akan kelahiran bayi mereka. c) Pada wanita yang berusia tua, yang mengharapkan kelahiran

anaknya (Sari LS, 2009).

2. Sikap ambivalen atau keraguan yang besar terhadap kehamilan dan keinginannya untuk mempunyai anak.

(14)

3. Riwayat pernah menderita gangguan depresi sebelumnya dan, atau reaksi terhadap kejadian tertentu dalam kehidupannya, termasuk stres akibat melahirkan anak.

4. Stres lingkungan

Teori psikoanalitik menekankan pentingnya hubungan awal antara individu tersebut dengan ibunya. Birchnell, melakukan penelitian terhadap 50 wanita depresi dibandingkan dengan 40 wanita sebagai kontrol, ditemukan adanya hubungan signifikan antara ikatan awal wanita depresi dengan ibunya yang buruk dengan timbulnya depresi dikemudian hari pada wanita tersebut (Sari LS, 2009).

 b. Faktor Biologik

Penelitian yang beraliran biologik, yang dipelopori oleh Dalton, menyatakan bahwa depresi pasca persalinan disebabkan oleh perubahan hormonal, terutama penurunan tajam dari sirkulasi progesteron dalam masa puerpural. Hormon-hormon yang diduga berperan terhadap timbulnya depresi postpartum antara lain, adalah estrogen, progesteron, kortisol dan hormon tiroid (Papayungan D, 2005).

Periode pasca persalinan adalah periode dimana terjadi perubahan yang cepat dari konsentrasi beberapa hormon. Selama 48 jam pertama  persalinan konsentrasi estrogen, progesteron dan kortisol menurun. Telah diketahui keterlibatan hormon steroid dalam patogenesis gangguan mood non puerperal. Beberapa peneliti menduga peranan hormon

(15)

tersebut terhadap timbulnya gangguan tiroid cukup tinggi dan menurun secara drastis setelah pasca persalinan. (Norhana SW, 1995).

Disamping peran hormonal tersebut diatas, pada masa pasca  persalinan juga dapat terjadi disfungsi tiroid. Fungsi tiroid juga memainkan  peranan penting dalam pengaturan mood pada wanita (Parry BL dkk, 2000). Disfungsi tiroid (hipothyroidisme atau hyperthyroidisme) dapat menimbulkan gejala-gejala psikiatrik, namun belum ada laporan secara  pasti bahwa terdapat hubungan timbulnya depresi pasca persalinan dengan keadaan disfungsi tiroid. Ruth Freeman dan kawan-kawan dalam  penelitiannya terhadap 212 wanita pasca bersalin menemukan prevalensi disfungsi tiroid sebesar 1,9%, sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh Amino dan kawan-kawan terhadap 30 wanita pasca bersalin ditemukan disfungsi tiroid sebesar 5,5%. Angka kejadian disfungsi tiroid  bervariasi sesuai dengan daerahnya. Kasus terbanyak dilaporkan terjadi di

Jepang yaitu 4,3% wanita pasca persalinan 3 bulan pertama dan juga di daerah Amerika Utara (Norhana SW, 2005).

Selain faktor hormonal dan faktor genetik, faktor biologis seperti  perubahan amin biogenik (serotonin, norepinefrin, dan dopamin) serta  prekursornya dan sistem adenosin fosfat juga terlibat dalam terjadinya depresi pasca persalinan (Papayungan D, 2005). Telah dilaporkan 3 dari 18 wanita normal yang diteliti pada hari kedua sampai hari kelima pasca  persalinan yang dihubungkan dengan plasma triptofan dan konsentrasi kortisol, ternyata menunjukkan peningkatan afek, tetapi tidak sampai

(16)

hipomania. Kemampuan mengikat reseptor alpha 2 adenoreseptor dipengaruhi oleh konsentrasi estrogen dan progesteron. Pada ibu-ibu pasca  bersalin dengan afek yang depresif dijumpai peningkatan kapasitas alpha 2 adenoreseptor dibandingkan dengan ibu-ibu yang tidak merasakan perasaan sedih, sehingga meningginya sensitivitas adenoreseptor inilah yang kemudian dihubungkan dengan etiologi depresi (Papayungan D, 2005).

Perubahan metabolisme amin biogenik erat hubungannya dengan gangguan depresi. Treadway dan kawan-kawan melaporkan terjadinya  penurunan ekskresi norepinefrin di air kemih dan peningkatan insidensi neurosis dan depresi. Gangguan metabolisme indole amine diimplikasikan sebagai penyebab timbulnya depresi. Sintesa 5 OH tryptamin di otak menurun, sehingga kadar plasma bebas triptofan menjadi rendah (Papayungan D, 2005).

Handley dan kawan-kawan melaporkan terjadinya penurunan  plasma triptofan berhubungan dengan defisiensi piridoksin. Oleh karena  beragamnya faktor etiologi dan rumitnya interaksi antar berbagai faktor tersebut maka sangat sulit untuk mengidentifikasi faktor risiko yang pasti  berperan dalam timbulnya depresi pasca persalinan, dan sulit untuk menentukan secara pasti karakteristik wanita yang akan mengalami depresi  pasca persalinan. (Papayungan D, 2005).

Beberapa faktor yang diduga menempatkan wanita pasca bersalin  pada risiko tinggi mengalami depresi, antara lain (Sari LS, 2009) :

(17)

1. Dukungan sosial yang buruk, yang berarti tidak mempunyai seseorang yang dipercaya untuk membantu atau mencurahkan pikiran dan perasaan dengan teman karib.

2. Peristiwa kehidupan yang serius dan multipel, seperti misalnya hubungan dengan keluarga atau rekan kerja yang sulit, perpindahan, pekerjaan baru atau perubahan besar, kematian orang yang dicintai, masalah keuangan yang serius.

3. Riwayat premenstrual syndrome (PMS) sebelumnya, gangguan menstruasi, dan atau kesulitan untuk hamil.

4. Riwayat kekerasan waktu kecil, termasuk kekerasan emosional, fisik dan seksual.

5. Gangguan tiroid atau riwayat keluarga dengan gangguan tiroid.

6. Infeksi jamur yang kronik, atau penggunaan antibiotik atau steroid yang sering yang menyebabkan pertumbuhan jamur di usus.

7. Diet rendah lemak, rendah protein atau kurang nutrisi lain, atau morning sickness yang berat, yang menyebabkan malnutrisi.

8. Hubungan dengan ibu yang tidak harmonis.

9. Memiliki ibu yang mengalami depresi pasca persalinan.

10. Penggunaan kontrasepsi oral atau suntikan segera setelah melahirkan,  penghentian pemberian air susu ibu (ASI) segera setelah melahirkan, baik

dengan pilihan sendiri atau karena ASI yang tidak cukup.

11. Peningkatan berat badan selama hamil dan penurunan berat yang sedikit setelah melahirkan.

(18)

12. Pengalaman melahirkan yang traumatis, termasuk operasi caesar yang tidak diharapkan atau prematur.

13. Kepulangan yang dini dari rumah sakit (kurang dari 24-40 jam). 14. Perselisihan perkawinan (marital discord).

15. Kehamilan yang tidak diinginkan.

16. Wanita yang melahirkan bayi pertama di atas usia 30 tahun (Sari LS, 2009).

4.

Gejala

Baby Blues Syndrome

Gambaran Klinis Baby blue syndrome ditandai perasaan sedih, seperti menangis, perasaan kesepian atu menolak bayi, cemas, bingung, lelah, merasa gagal dan tidak bisa tidur. Baby blue syndrome relatif ringan dan biasanya  berlangsung 2 minggu. Perbedaan dengan Post partum Depression adalah  pada frekuensi, intensitas dan lamanya durasi gejala. Dalam Post partum Depression, gejala yang lebih sering, lebih intens dan lebih lama. Beberapa Gejala Kasus Baby blue syndrome

a. Dipenuhi oleh perasaan kesedihan dan depresi disertai dengan menangis tanpa sebab

 b. Mudah kesal, gampang tersinggung dan tidak sabaran c. Tidak memiliki tenaga atau sedikit saja

d. Cemas, merasa bersalah dan tidak berharga

e. Menjadi tidak tertarik dengan bayi anda atau menjadi terlalu memperhatikan dan kuatir terhadap bayinya

f. Tidak percaya diri

g. Sulit beristirahat dengan tenang bias juga tidur lebih l ama

h. Peningkatan berat badan yang disertai dengan makan berlebihan i. Penurunan berat badan yang disertai tidak mau makan

(19)

 Baby Blue Sindrom / Baby Blues Syndrome, atau sering juga disebut Postpartum Distress Syndrome adalah perasaan sedih dan gundah yang dialami sekitar 50-80% wanita setelah melahirkan bayinya. Beberapa Gejala Kasus  Baby Blues Syndrome  yaitu menangis tanpa sebab yang jelas, mudah kesal, lelah, cemas, tidak sabaran, enggan memperhatikan si bayi, tidak  percaya diri, sulit beristirahat dengan tenang dan mudah tersinggung. Perbedaan Baby Blues Syndrome dengan Postpartum Depression yaitu terletak pada frekuensi, intensitas, serta durasi berlangsungnya gejala-gejala di atas. Pada Postpartum Depression, Anda akan merasakan berbagai gejala tersebut lebih sering, lebih hebat, serta lebih lama (Mayla, 2007).

Cara membedakan keduanya yaitu. salah satunya dengan memperhatikan pola tidur si ibu. Jika ketika ada orang lain menjaga bayi, si ibu bisa tertidur, maka besar kemungkinan si ibu hanya menderita Baby Blues Syndrome (BBS). Namun jika si ibu sangat sulit tertidur walaupun bayinya dijaga oleh orang lain, maka mungkin tingkat depresinya sudah termasuk ke dalam  Postpartum Depression  (PPD). Sedangkan gejala  Postpartum  Depression  yaitu Cepat marah, bingung, mudah panik, merasa putus asa,  perubahan pola makan dan tidur, ada perasaan takut bisa menyakiti bayinya, ada perasaan khawatir tidak bisa merawat bayinya dengan baik, timbul  perasaan bahwa ia tidak bisa menjadi ibu yang baik dan PPD bisa berlangsung hingga 1 tahun setelah kelahiran bayi, pada kasus PPD akut, si ibu bisa saja  bunuh diri atau menyakiti bayinya sendiri (Mayla, 2007).

(20)

5. Patofisiologi

Baby B lues Syndrome

Bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor biologis dan faktor emosi. Ketika bayi lahir, terjadi perubahan level hormon yang sangat mendadak pada ibu. Hormon kehamilan (estrogen dan progesteron) secara mendadak mengalami penurunan 72 jam setelah melahirkan dan juga disertai  penurunan kadar hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang menyebabkan mudah lelah, penurunan mood, dan perasaan tertekan serta di lain sisi terjadi peningkatan dari hormon menyusui. Perubahan hormon yang cepat inilah bisa mencetuskan terjadinya baby blue syndrome. Level neurosteroid berasal dari hormon progesteron yang mengalami fluktuasi selama siklus menstruasi dan memuncak saat kehamilan. Hormon sex yang dinamakan neurosteroid berikatan dengan beberapa tipe reseptor termasuk reseptor GABAA untuk memodulasi eksitabilitas dari sel otak. Kekurangan delta subunit reseptor GABAA pada wanita menunjukkan sikap depresi dan gangguan cemas setelah melahirkan. Pemberian antidepresan saat kehamilan akan berefek panjang pada sistem serotonin dan berpengaruh pada sensitivitas reseptor GABAA. Sebagian besar ibu tidak siap untuk untuk menghadapi kelahiran bayinya, mereka juga sangat khawatir bayi mereka yang terkena  penyakit jaundice dan kesulitan makan yang merupakan memiliki masalah kesehatan yang umum bagi bayi. Selain itu, ibu yang pertama kali memiliki  bayi merasa tidak sanggup merawat bayinya seorang diri dirumah baik itu

dari segi kasih sayang maupun dari segi finansial. Baby blue syndrome juga sangat mungkin terjadi oleh para ibu yang pernah mengalami trauma

(21)

melahirkan atau mengalami kejadian yang sangat menyedihkan selama mengandung

6. Dampak

Baby Blues Syndrome

Pada Bayi

Sekilas baby blues syndrome memang tidak berbahaya. Tapi kondisi ini, efeknya sangat nyata pada perkembangan anak karena biasanya ibu yang mengalami baby blues syndrome tidak dapat merawat anaknya dengan baik,  jadi secara otomatis ia juga tidak bisa memberikan kebutuhan yang seharusnya diterima anaknya, baik itu dari segi perhatian maupun nutrisi yang masuk ketubuhnya (Syahrir S, 2008).

Oleh karena itu seorang ibu hendaklah merawat anaknya dengan baik yang disertai ketulusan hati dalam merawat anak tanpa adanya tekanan jiwa atau pun rasa stress karena stress dan sikap yang tidak tulus ibu yang secara terus menerus diterima oleh bayi kelak bisa membuatnya menjadi anak yang mudah menangis, pencemas sekaligus pemurung. Dampak lain yang tidak kalah merugikan adalah bayi cenderung mudah sakit, kurangnya perhatian ibu  pada bayinya juga merupakan dampak dari baby blues syndrome.

7. Faktor Risiko

Baby B lues Syndrome

a. Umur

Umur itu sendiri bukan faktor utama yang menentukan apakah wanita lebih rentan atau kurang rentan terhadap depresi pasaca melahirkan (baby blues). Namun, ada gunanya bila kita mengetahui berbagai tekanan yang dialami para wanita baik usia muda maupun tua karena hal ini

(22)

 berperan dalam terjadinya depresi. Dewasa ini, lebih banyak wanita melahirkan di usia cukup matang (rata-rata 28 tahun walaupun beberapa wanita menunda kehamilan beberapa tahun lebih lama), dengan kematangan dan toleransi yang lebih besar dan gaya hidup yang lebih mapan, wanita yang lebih tua juga lebih terbiasa memegang kendali, lebih mampu mengatur hidupnya, suatu sikap yang membuat depresi lebih muda terjadi bila hal itu berkaitan dengan perwatan bayi. Wanita berkarir tinggi yang baru melahirkan bayi dan dapat kembali bekerja dalam waktu sepuluh hari adalah mitos yang mencengkam imajinasi masyarakat kita dan meskipun ini cocok untuk beberapa individu, tidaklah realistis untuk sebagian besar wanita. Bagamainapun juga, wanita kariri yang sudah matang khususnya, sangat sulit melepaskan sikapnya yang teratur sewaktu merawat bayi. Mereka pikir mereka dapat menangani, tetapi sewaktu bayi membuatnya kerepotan dengan tangisannya yang terus menerus, rasa laparnya yang tidak teratur, jadwal yang tidak jelas dan membuatnya kurang tidur, mereka umumnya lebih rentan terhadap depresi. Sedangkan ibu yang usianya lebih muda, meskipun lebih muda menyesuaikan diri, tidak terlalu kaku dalam bertindak dan mempunyai energi fisik lebih besar, mereka tidak mempunyai kesabaran atau kematangan seperti yang dimiliki wanita lebih matang, yang telah menunggu lama untuk mendapatkan keturunan. Mereka lebih muda kehilangan rasa mudanya , atau bahwa mereka harus kehilangan karir yang sedang dibangunnya atau kadang baru

(23)

dimulai. Kedua perasaan ini dapat menimbulkan kesdihan yang ikut  berperan dalam terjadinya depresi (Marshall, 2004).

Ibu yang berusia 40 tahun ke atas mengalami risiko yang tinggi untuk mengandung. Biasanya bayi yang dilahirkan mengalami Sindrom Down. Tekanan darah tinggi, diabetes, kardiovaskular yang dialami oleh ibu yang juga berisiko pada janin yang dikandungnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Syahrir S (2008) menyatakan bahwa umur merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues,  besar risiko penderita baby blues pada umur <20 tahun atau >35 tahun 3,5 kali lebih besar dibanding  penderita yang berumur 20-35 tahun (Syahrir S, 2008).

b. Paritas

Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah dialami oleh ibu baik lahir hidup maupun lahir mati dengan umur kehamilan 28 minggu. Ibu dengan paritas tinggi menggambarkan tingkat kehamilan yag banyak dan cenderung mengalami komplikasi kehamilan. Hal ini disebabkan karena secara fisik jumlah paritas yang tinggi mengurangi kemampuan uterus sebagai media pertumbuhan janin. Kerusakan pembuluh darah dinding uterus akan memengaruhi sirkulasi nutrisi maupun oksigen ke janin (Wiknojosastro, 2007).

Salah satu penelitian menunjukkan bahwa depresi ditemukan pada kehamilan pertama. Mereka yang pernah mengalami baby blues (depresi  pasca persalinan) dianggap sangat rentan untuk mengalaminya kembali (Marshall, 2004). Demikian juga pada penelitian Syahmawati yang

(24)

menyatakan bahwa paritas merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues yang primipara 3,6 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang multipara. (Syahrir S, 2008).

c. Depresi

Wanita dengan riwayat depresi postpartum mempunyai risiko yang  bermakna dengan angka kekambuhan postpartum setinggi 50% dibandingkan dengan wanita yang hanya mengalami episode diluar masa nifas, wanita dengan riwayat depresi postpartum jelas mempunyai risiko yang lebih besar. Untuk semua wanita (dengan atau tanpa riwayat depresi  berat), munculnya gejala depresi selama kehamilan meningkatkan risiko

baby blues (depresi postpartum) (Elvira S, 2006).

Terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat depresi atau gangguan emosional yang pernah diderita atau gangguan emosional pasca  persalinan (Safiuddin, 2001). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menjelaskan bahwa riwayat depresi dan gangguan emosi merupakan perkiraan paling kuat akan munculnya depresi setelah melahirkan (Marshall, 2004). Pada penelitian yang dilakukan oleh Syahrir S (2008) menyatakan bahwa riwayat depresi merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues,  besar risiko terhadap kejadian baby blues yang memiliki riwayat depresi 22 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang tidak mempunyai riwayat depresi (Syahrir S, 2008).

(25)

Komplikasi kehamilan adalah kegawat daruratan obstetrik yang dapat menyebabkan kematian pada ibu dan bayi (Obstetri Fisiologi. 2003). Adapun Jenis Komplikasi Kehamilan yaitu:

1. Perdarahan

Perdarahan yang berhubungan dengan persalinan dibedakan dalam dua kelompok utama yaitu perdarahan antepartum dan  perdarahan postpartum. Perdarahan antepartum adalah perdarahan  pervaginam yang terjadi sebelum bayi lahir. Perdarahan yang terjadi sebelum kehamilan 28 minggu seringkali berhubungan dengan aborsi atau kelainan. Perdarahan kehamilan setelah 28 minggu dapat disebabkan karena terlepasnya plasenta secara prematur, trauma, atau  penyakit saluran kelamin bagian bawah (Obstetri Fisiologi. 2003).

2. Pre-Eklamsia

Per-eklamsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan yang dapat menyebabkan kematian pada ibu dan janinnya. Penyakit ini pada umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan dan dapat terjadi  pada waktu antepartum, intrapartum, dan pascapersalinan (Obstetri

Fisiologi. 2003).

Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda yang lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mm Hg atau lebih di atas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mm Hg atau lebih dan tekanan diastolik

(26)

naik dengan 15 mmHg atau lebih atau menjadi 90 mm Hg maka diagnosis hipertensi dapat ditegakkan (Obstetri Fisiologi. 2003).

Edema ialah penimbunan cairan secara umum yang berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat  badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Kenaikan berat  badan ½ kg setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap normal tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan (Obstetri Fisiologi. 2003).

Proteinuria merupakan komplikasi lanjutan dari hipertensi dalam kehamilan, dengan kerusakan ginjal sehingga beberapa bentuk  protein lolos dalam urine. Normal terdapat sejumlah protein dalam

urine, tetapi tidak melebihi 0,3 gr dalam 24 jam. Proteinuria menunjukkan komplikasi hipertensi dalam kehamilan lanjut sehingga memerlukan perhatian dan penanganan segera (Obstetri Fisiologi. 2003).

Penyebab pre-eklamsi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab penyakit ini, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. Diduga penyebab hipertensi dalam kehamilan secara  patologi terjadi karena akibat implantasi sehingga timbul iskemia  plasenta yang diikuti sindroma inflamasi dan risiko meningkat pada hamil kembar, penyakit trombolas, diabetes mellitus, faktor herediter dan masalah vaskuler (Saifuddin, 2000).

(27)

3. Infeksi

Infeksi pasca persalinan ialah meningkatnya suhu tubuh > 38ºC dan demam berturut-turut selama dua hari sesudah persalinan dan yang disertai keluarnya cairan yang berbau dari liang rahim. Infeksi jalan lahir dapat terjadi pada ibu bersalin yang pertolongan persalinannya tidak bersih atau pada wanita yang menggugurkan kandungan dengan cara berbahaya. Tanda-tandanya adalah panas tinggi lebih dari dua hari setelah melahirkan atau setelah keguguran. Keadaan ini berbahaya dan ibu perlu mendapatkan perawatan intensif. Infeksi ini dapat dicegah dengan pertolongan persalinan yang bersih dan aman (Obstetri Fisiologi. 2003).

Berdasarkan hasil penelitian Syahrir S (2008) di Rumah Sakit Bersalin Pertiwi menyatakan bahwa komplikasi kehamilan merupakan faktor risiko terhadap kejaidan baby blues, besar risiko penderita baby blues yang memiliki komplikasi kehamilan 5,9 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang tidak mempunyai komplikasi kehamilan (Syahrir S, 2008).

e. Komplikasi Persalinan

Komplikasi pasca persalinan yang biasa terjadi adalah keadaan yang membahayakan janin seperti berkurangnya aliran oksigen, plasenta yang tidak berfungsi dengan baik atau terpisah dari rahim, tekanan atatu kekusutan pada tali pusar, aktivitas rahim yang panjang dan berlebihan

(28)

atau infeksi janin, cacat, perdarahan, serta penyakit pada ibu (anemia, hipertensi, penyakit jantung, tekanan darah rendah yang tidak wajar), distosia bahu, rahim robek, inverse rahim, luka goresan pada vagina dan leher rahim, perdarahan pasca kelahiran, serta infeksi pasca kelahiran (Marshall, 2000).

Hampir 20% pada wanita hamil takut terhadap suatu persalinan sedangkan tingkatan nyeri persalinan sampai bentuk yang paling berat dirasakan sebagai hal yang tidak menyenangkan secara psikis dan ini tidak dapat diterima oleh sekita 30% wanita (Mathai M, 2000). Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna, yaitu bahwa baby blues lebih banyak dialami oleh wanita dengan riwayat komplikasi obstetric yang kurang baik. Selain itu, dari hasil penelitian Syahrir S (2008) di Rumah Sakit Bersalin Pertiwi menyatakan bahwa komplikasi persalinan merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues,  besar risiko  penderita baby blues yang memiliki komplikasi persalinan 5,9 kali lebih  besar dibanding penderita baby blues yang tidak mempunyai komplikasi  persalinan (Syahrir S, 2008).

f. Dukungan Suami

Interaksi pasien dengan lingkungannya merupakan faktor  pendukung terjadinya proses kelahiran normal. Suami adalah orang terdekat yang menyebabkan proses kehamilan namun kehadiran suami dalam persalinan masih janggal. Beberapa tempat pelayanan persalinan

(29)

 belum memperbolehkan kehadiran suami dalam persalinan istrinya,  padahal beberapa peneltian di berbagai Negara telah membuktikan bahwa wanita yang melahirkan yang didampingi selama persalinan baik oleh suami, kerababt wanita maupun tenaga khusus yang dilatih untuk itu menunjukkkan manfaat yang sangat banyak (Kusmiyanti dkk, 2004).

Presentase dukungan suami dengan kejadian  Postpartum Blues  pada ibu primipara yaitu responden yang menyatakan dukungan dari suami kurang 4 orang sebanyak (16%), dukungan suami yang dikategorikan sedang mempunyai frekuensi 15 orang sebanyak (60%) dan dukungan suami yang dikategorikan tinggi 6 orang sebanyak (24%). Dukungan sosial (suami) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima  bantuan yang bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan individu-individu yang terlibat dalam sistem sosial yang pada akhirnya akan dapat memberikan cinta, perhatian maupun  sense of attachment  baik pada keluarga sosial maupun pasangan (Fatimah S, 2009).

Dukungan suami terhadap istrinya bisa di lakukan dengan membantu istri dalam perawatan bayi misalnya ketika ibu menyusui  bayinya, sang ayah tidak hanya tidur sepanjang malam. Ayah bisa menemani ibu dan bayi, mengangkat bayi dari tempat tidurnya, mengganti  popok bayi bila perlu, memberikan bayi pada ibu saat jam menyusui, dan mengembalikan bayi ke tempat tidurnya ketika bayi telah tertidur kembali. Dukungan suami sangat penting dan tidak bisa diremehkan dan yang tak

(30)

kalah penting membangun suasana positif, dimana istri merasakan hari-hari pertama yang melelahkan. Oleh sebab itu dukungan atau sikap positif dari pasangan dan keluarga akan memberi kekuatan tersendiri bagi ibu (Fatimah S, 2009).

Peranan suami selama kehamilan, persalinan, dan perawatan bayi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian baby blues. Maka upaya untuk meningkatkan dukungan suami selama proses tersebut diperkirakan apat menurunkan kejadian baby blues ( Alfiben, 2000). Dalam  penelitian yang dilakukan oleh Syamawati bahwa tidak adanya dukungan suami merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues, besar risiko  penderita baby blues tanpa dukungan dari suami 24 kali lebih besar

dibanding penderita baby blues yang mendapatkan dukungan dari suami (Syahrir S, 2008). Maka dari itu perlu adanya peningkatan peranan suami sebagai pendamping dalam proses persalinan secara kontinyu guna menurunkan angka kejadian baby blues.

g. Tinjauan Umum Tentang Validasi

E dinburgh Postnatal Depression

 Scale

 (EPDS)

Riset yang dilakukan di Universitas Edinburgh telah menghasilkan kuesioner khusus untuk membantu tenaga kesehatan menilai apakah seorang wanita menderita depresi pasca melahirkan (Syahrir, 2008). Di luar negeri skrining untuk mendeteksi gangguan mood/ depresi sudah merupakan acuan pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk

(31)

skrining ini dapat dipergunakan beberapa kuesioner dengan sebagai alat  bantu.  Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) merupakan kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur intenstas  perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca persalinan. Pertanyaan- pertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan,  perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada baby

blues (Iskandar, 2007)

Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap  pertanyaan memilki 4 (empat) pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca persalinan saat itu (Mayu, 2004). Nilai skoring yang dianggap  positif (Cut Of Point) depresi pasca persalinan para peneliti memberikan nilai bervariasi 9 sampai 13. Nilai skor ≥13 pada skala ini, dianggap  pasien memilki kecenderungan untuk mengalami depress. EPDS telah

diakui dapat mendetksi depresi pasca persalinan pada sampel yang diambil dari masyarakat. Dengan menggunakan nilai ambang 12/13, skala tersebut memilki sensitivitas 68% sampai 86% spesifitas sebesar 78% sampai 96%. Skala ini terbukti memilki sensitivitas dan spesifitas baik untuk membantu penilaian diagnosis psikiatri yang diakui dan diterapkan  pemakaiannya di Inggris dan Australia (Alfiben, 2000). Dalam melengkapi kuesioner tersebut sebaiknya ibu tidak ditemani oleh anggota keluarga yang lain, hal ini dilakukan untuk memberikan hasil yang lebih  baik. Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat

(32)

diselesaikan dalam waktu 5 menit (Rianta, 2004). EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa Negara seperti Belanda, swedia, Australia, italia, dan Indonesia. EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca  persalinan dan ila hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2

(dua) minggu kemudian (Iskandar, 2007).

Studi Caldwell dan Antonucci menemukan pada sampel 48 ibu-ibu remaja bahwa usia, dukungan status sosial ekonomi keluarga, secara signifikan berhubungan dengan simtom-simtom depresi pasca persalinan. Birkeland dan kawan-kawan meneliti depresi pasca persalinan dengan menggunakan Edinburg Postnatal Depression Scale (EPDS) yang merupakan self report untuk mengukur simtom depresi mendapatkan skor EPDS 0,83 (Reid V dkk, 2007).

Patricia Hannah dan kawan-kawan meneliti 217 pasien depresi  pasca persalinan dengan menggunakan EPDS pada hari ketiga dan minggu keenam pasca persalinan, mendapatkan adanya korelasi  positif yang signifikan dari kedua skor tersebut, bersama-sama dengan  profil gejala yang sama. Dari 25 wanita menderita depresi pasca  persalinan (skor EPDS minggu keenam adalah 13), 17 memiliki gejala-gejala yang sama pada minggu pertama pasca persalinan (skor EPDS hari ketiga adalah 10) (Sari LS, 2009).

Studi Cox dan kawan-kawan mendapatkan bahwa usia rata-rata depresi pasca persalinan adalah 26 tahun, 75% menjalani kelahiran normal, 15% menjalani secsio sesarea dan 10% menjalani kelahiran

(33)

forcep. Sebagian besar sudah menikah (81%), sedangkan 13% memiliki mitra permanen. Hanya 6% yang merupakan orangtua tunggal. Prevalensi seumur hidup untuk depresi berat pada populasi umum adalah sekitar 10%, pada wanita sekitar 25%. Paling sedikit 10% dari wanita menderita gangguan mood yang berhubungan dengan periode postpartum. Sedangkan angka prevalensi depresi pasca persalinan bervariasi antara 1  permil sampai 15% dari angka ibu melahirkan tergantung berat ringannya gangguan mental yang menjadi objek penelitian. Penelitian lainnya mendapatkan prevalensi depresi pasca persalinan yang lebih tinggi, yaitu 23,3% - 36,7%. Depresi pasca persalinan terjadi pada sekitar 1 dari 10 wanita hamil dan biasanya tidak terdiagnosa (Sari LS, 2009).

8. Diagnosis Banding

Baby B lues Syndrome

a. Depresi Post Partum

b. Psikosis Post partum 9. Penatalaksanaan

 Baby blues syndrome  biasanya ringan dalam keparahan dan akan selesai secara spontan. Tidak ada pengobatan khusus diperlukan, selain dukungan dan  jaminan. Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala berlangsung lebih dari 2

minggu. (Gill, 2007). 10. Pencegahan

Terdapat beberapa cara dalam mencegah terjadinya baby blues syndrome yaitu : 1. Mintalah bantuan kepada orang lain (kerabat ataupun anggota keluarga

(34)

2. Perbanyak melakukan istirahat pasca melahirkan, terutama di minggu-minggu dan bulan pertama pasca melahirkan untuk mencegah terjadinya depresi dan memulihkan tenaga yang habis.

3. Hindari makanan dan minuman yang mengandung kafein karena makanan ini akan berpotensi memperburuk depresi.

4. Konsumsi makanan yang bernutrisi agar kondisi tubuh cepat pulih, sehat dan bugar.

5. Berbagi rasa dengan suami atau orang terdekat lainnya, karena dukungan dari keluarga akan membantu mengurangi depresi.

Agar baby blues syndrome dapat diminimalisir maka yang pertama harus dipersiapkan oleh sebuah keluarga yang akan menginginkan seorang anak adalah kehamilan yang terencana yang didukung oleh kesiapan mental, financial, dan sosial dari ayah dan ibu. Persiapkan pula pengetahuan dasar calon ayah dan calon ibu tentang kehamilan, proses melahirkan, sampai dengan cara merawat anak. (Joy, 2016).

(35)

BAB III PENUTUP

Ringkasan Baby blues syndrome atau sering disebut juga dengan istilah maternity blues atau post partum blues adalah gangguan emosi ringan yang  biasanya terjadi dalam kurun waktu 2 minggu atau 14 hari setelah ibu melahirkan. Banyak faktor yang bisa menyebabkan baby blue syndrome, yaitu : dari ibu, bayi yang di lahirkan dan lingkungan sekitar. Ketidakseimbangan hormonal, hormon thyroid, perubahan gaya hidup juga dilaporkan sebagai faktor yang menyebabkan  baby blue syndrome. Baby blues ditandai perasaan sedih, seperti menangis,  perasaan kesepian atu menolak bayi, cemas, bingung, lelah, merasa gagal dan

tidak bisa tidur. Baby blues relatif ringan dan biasanya berlangsung 2 minggu. Perbedaan dengan syndrome of postpartum distress adalah pada frekuensi, intensitas dan lamanya durasi gejala. Dalam postpartum depression, gejala yang lebih sering, lebih intens dan lebih lama. Seseorang terdiagnosis Baby Blues Syndrome apabila terlihat secara psikologis kejiwaannya seperti di bawah ini.

Perasaan cemas, khawatir ataupun was was yang berlebihan, sedih, murung, dan sering menangis tanpa ada sebab (tidak jelas penyebabnya). Seringkali merasa kelelahan dan sakit kepala dalam beberapa kasus sering migrain. Perasaan ketidakmampuan, misalnya dalam mengurus anak. Adanya  perasaan putus asa

Jika pasien mengalaminya lebih dari 2 minggu, bisa jadi pasien mengalami Post partum Depression. Apabila gejala diatas tidak disadari dan lama kelamaan tekanan atau stres yang dirasakan semakin kuat atau semakin besar maka  penderita akan mengalami depresi pasca melahirkan yang berat.Meskipun

gejalanya cukup ringan bila dibandingkan dengan postpartum depression, bukan  berarti sindrom ini bisa di abaikan begitu saja. Penanganan yang bisa dilakukan

antara lain : istirahat yang cukup, berolahraga teratur, mengkonsumsi makanan yang bergizi, dan yang paling penting adalah melakukan relaksasi agar emosi tetap terjaga.

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Alfiben, 2000.  Efektifitas Peningkatan Dukungan Suami Dalam Menurunkan Terjadinya Depresi Postpartum: (Tesis) Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta.

Elvira S. 2006. Depresi Pasca Persalinan. Balai Penerbit FKUI; Jakarta.

Fatimah, Sitti. 2009.  Hubungan Dukungan Suami dengan Kejadian Postpartum  Blues pada Ibu Primipara di Ruang Bugenvile RSUD Tugurejo Semarang: (Artikel Riset Keperawatan) Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas di Ponegoro; Semarang Gill, D. Hughes’ outline of Modern Psychiatry 5th ed. John Wiley and Sons, Ltd.

England. 2007. p. 222 –  5

Iskandar, Suhandi, Sugi, 2007.  Post Partum Blues. http://www.mitrakeluarga.net/kemayoran/kesehatan005.html (tanggal akses 4 Desember 2011)

Jofesson A dkk. 2002. Obstetric, Somatic, and Demographic Risk Factors for  Postpartum Depressive Symptoms; in the American College of

Obstetricians and Gynecologists.

Joy, S. Postpartum Depression. . http://www.eMedicine.com diakses pada bulan Mei 26 2016.

Kusmiyanti Margaretha dkk. 2004. Pengaruh Pendampingan Keluarga Selama  Proses Persalinan Terhadap Keberhasilan Persalinan di Pelayanan  Kesehatan X Tahun 2004. Pascasarjana Kekhususan Kesehatan

Reproduksi; FKM UI.

Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2008. Vol.22. Nomor 2. Hlm 49-57; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo.

Marshall, Fiona. 2004. Depresi Pasca Melahirkan . Arcan; Jakarta. Marshall, Connie. 2000. Awal Menjadi Seorang Ibu. Arcan; Jakarta.

Mathai M, Sanghvi H, Guidotti RJ. 2000.  Normal Labour and Childbirth. In :  Manging Complication In pregnancy and Childbirth : A Guide For

Midwivwes and Doctor. World Health Organization.

Mayla, Freyja, 2007.  Baby Blues Syndrome.

(37)

 National Mental Health Association, 2003. Recognizing Postpartum Depression. http://www.nmha.org. (Diakses pada tanggal 17 Desember 2011)

 Norhana SW, 2005. Pendekatan Psychiatry Liaison pada Depresi Pasca Partus. Indonesian Psychiatric Quarterly ; XXVIII ;4:91-8.

Obstetri Fisiologi. 2003. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Badung.

Papayungan D, 2005. Pendekatan Consultation-Liaison Psychiatry  pada Penatalaksanaan Depresi Pasca Bersalin Indonesian Psychiatric

Quarterly ; 4 : 79-92.

Rianta, Trika. 2004.  Efektifitas Pendampingan Suami Pada Kala II Persalinan dan Kejadian Depresi Pasca Persalinan. (Skripsi) Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I) Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar.

Reid V, Oliver MM, 2007.  Postpartum Depression in Adolescent Mot hers : An Integrative Review of the Literature. Journal of Pediatric Health Care ; 21 : 289-98.

Saifuddin AB, Adriaans G, Wiknojosastro GH, Waspodo D. 2000.  Persalinan  Normal. Dalam : Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal., Cetakan ke-2. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta.

Sari LS, 2009. Sindroma Depresi Pasca Persalinan Di Rumah Sakit Umum Pusat  Haji Adam Malik Medan. (Tesis) Bidang Ilmu Kedokteran Jiwa pada

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.

Syahrir S, 2008.  Faktor Risiko Baby Blues di Rumah sakit Bersalin Pertiwi  Propinsi Sulwasesi Selatan Tahun 2007.(Skripsi) Program Studi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar.

Wisner KL, Parry BL, Piontek CM. 2002. Postpartum Deoression.  N Engl J Med ; 347 : 194 -99.

Wicaksono, Aries. 2007. Cara Mengatasi Baby Blues Syndrome.

http://www.liputan6.com/kesehatan/denpasar (tanggal akses, 16 Desember 2011) Wiknojosastro H, 1996. Fisiologi dan Meaknisme Persalinan Normal. Dalam :

Ilmu Kebidanan. Cetakan Ke-4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

sebagaimana dilaporkan oleh korban merupakan tindak pidana, kemudian penyelidik meminta alat bukti yang dapat ditunjukkan oleh pelapor bahwa benar telah terjadi

menulis, bahkan juga dapat menerima pengetahuan diantaranya: matematika, bahasa, IPA, dan IPS. Disamping itu semua, tidak ketinggalan pelajaran oleh raga serta

terhadap anak di Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Semarang. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya mengatasi

Berdasarkan uraian tersebut diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang “ Implementasi Tanda Kecakapan Khusus (TKK) Agama Islam Dalam Meningkatkan Ketrampilan

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi semangat belajar para siswa seperti guru, staf administrasi, teman-teman sekelas, dan keluarga. Ketika guru dapat memberikan

Uygulama olarak iki ayrı plak problemi incelenmiştir: kısmen akışkana daldırılmış ve bir yüzünden izotrop Pasternak zeminine yaslanan dikdörtgen bir plak ve

Judul : Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi Keluarga (Family Therapy) dalam Mengatasi Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak di Desa Banjar Bendo Kecamatan Sidoarjo

Di Indonesia, tidak sedikit masyarakat yang berprofesi sebagai peternak. Ternak sapi perah adalah salah satunya. Sapi yang digunakan biasanya diimpor dari negara-negara yang