• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. Universitas Kristen Petra"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI

2.1 Kesediaan untuk Membayar (Willingness to Pay)

Menurut Pearce, Turner, & Bateman (1994), willingness to pay (WTP) atau kesediaan untuk membayar merupakan kesediaan individu untuk membayar suatu barang atau jasa. Willingness to Pay (WTP) adalah harga maksimum yang konsumen ingin bayar untuk barang atau jasa dan mengukur berapa nilai yang ingin konsumen bayar untuk barang atau jasa (Prasmatiwi, Irham, Suryantini, & Jamhari, 2011). Dalam WTP dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat untuk membayar atau mengeluarkan uang sesuai dengan standar yang diinginkannya. Kesediaan membayar ini didasarkan atas pertimbangan biaya dan manfaat yang akan diperoleh konsumen tersebut. WTP juga dapat diartikan sebagai kemauan/ keinginan untuk membayar didefinisikan sebagai jumlah yang dapat dibayarkan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa (Latumahina & Anastasia, 2014), dalam hal ini nilai yang ingin dibayarkan oleh konsumen adalah untuk memperoleh properti komersial seperti kondotel dan apartemen. Selain itu, WTP ditujukan untuk mengetahui daya beli konsumen berdasarkan persepsi konsumen (Dinauli, 2001). Menurut Dinauli (2001) willingness to pay (WTP) dinilai penting untuk melindungi konsumen dari penyalahgunaan kekuasaan monopoli yang dimiliki oleh perusahaan.

Hanley & Spash (1993) menyatakan bahwa penghitungan WTP dapat dilakukan secara langsung (direct method) dengan melakukan survei dan secara tidak langsung (indirect method), yaitu penghitungan terhadap nilai. Untuk memahami konsep WTP konsumen terhadap suatu barang atau jasa harus dimulai dari konsep utilitas, yaitu manfaat atau kepuasan karena mengkonsumsi barang atau jasa pada waktu tertentu. Utilitas yang akan didapat oleh seorang konsumen memiliki kaitan dengan harga yang dibayarkan yang dapat diukur dengan WTP. Sejumlah uang yang ingin dibayarkan oleh konsumen akan menunjukkan indikator utilitas yang diperoleh dari barang tersebut (Nababan & Simanjutak, 2008).

(2)

2.1.1 Metode Penilaian Kesediaan Membayar (Willingness to Pay)

Beberapa metode yang digunakan untuk melakukan penilaian kesediaan masyarakat untuk membayar (willingness to pay), yaitu:

a. Metode dengan menggunakan batasan keinginan (Haab & Kenneth, 1997). Pada metode ini keinginan untuk membayar mempunyai batas bawah 0 dan batas atas adalah pendapatan. Tujuannya adalah untuk menentukan batasan atas dan bawah pada keinginan untuk membayar. Keuntungan model ini adalah memfokuskan pada pendistribusian keinginan untuk membayar dan pada informasi perespon.

b. Metode validitas (Loomis, John, Brown, Thomas, Lucero, Beatrice, & Peterson, 1996)

Terdapat dua bentuk uji validitas yaitu eksperimen lapangan dan eksperimen laboratorium. Eksperimen lapangan digunakan untuk mengukur pembayaran aktual. Sedangkan eksperimen laboratorium membandingkan kas secara aktual dengan hipotesa WTP yang memberi keuntungan dalam mengkontrol prosedur lebih hati-hati.

c. Menanyakan langsung pada pengguna tentang kesediaan membayar (Altaf, Jamal, & Whittington, 1992).

Metode ini digunakan dengan menanyakannya langsung pada pengguna mengenai kesediaannya untuk membayar, dimana pengguna diberi suatu kondisi hipotetik, dimana masyarakat miskin yang memiliki penghasilan relatif rendah lebih mampu untuk menilai sesuatu dibandingkan dengan masyarakat kaya yang memiliki penghasilan relatif tinggi. Sementara itu ada komponen lain yang masyarakat miskin pertimbangkan, dan lebih penting untuk bertahan hidup. Seringkali masyarakat miskin memberikan penilaian yang sangat rendah agar tidak membayar terlalu mahal untuk pelayanan yang diberikan (Latumahina & Anastasia, 2014).

d. Metode contingent valuation (Tresnadi, 1999).

Metode contingent valuation adalah metode penilaian WTP yang digunakan pada studi ini. Contingent valuation merupakan suatu metode survei dengan bertanya langsung melalui kuesioner kepada

(3)

responden secara individual untuk mengestimasi seberapa besar penilaian seorang/ masyarakat terhadap barang, jasa, dan kenyamanan (Suryahani, Anwar, & Sudjarwanto, 2011). Metode ini pada umumnya menampilkan kondisi di pasar dengan asumsi akan benar-benar terjadi di masa yang akan datang (Suryahani et al., 2011). Responden pada survei diberi beberapa pertanyaan tentang berapa besar konsumen memberi nilai suatu barang atau jasa/ pelayanan.

Untuk mengetahui WTP dari konsumen terhadap properti komersial, maka dapat dilakukan survei dengan berdasarkan metode stated preference. Penerapan metode stated preference dilakukan karena properti tersebut baru muncul, sehingga belum tersedia informasi pasar yang dapat diandalkan. Metode preferensi dinyatakan dapat digunakan untuk menciptakan pasar hipotetis di mana kesediaan untuk membayar dapat dianggap sebagai nilai atribut perumahan secara langsung (Wang & Li, 2006).

2.1.1.1Metode Stated Preference

Untuk memperoleh taksiran WTP dari suatu barang atau jasa publik dapat digunakan metode atau teknik stated or revealed preferences survey (survei preferensi konsumen). Metode atau teknik stated preferences (SP) adalah suatu metode yang digunakan untuk mengukur preferensi masyarakat atau konsumen apabila kepada mereka diberikan pilihan (set opsi). Pada pokoknya dalam metode SP, konsumen diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang nilai suatu barang jasa (Pattanayak, Caroline, Jui, & George, 2006; Murphy, Allen, Stevens, & Weatherhead, 2005; Kumar & Rao, 2006; Silaen, 2000). SP merupakan satu metode yang biasa digunakan untuk mengukur besarnya preferensi konsumen apabila diberikan alternatif atau pilihan yan bersifat fiktif sedangkan pengukuran preferensi konsumen didasarkan pada hypothetical condition, yaitu kondisi yang dirancang dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Metode SP menyediakan informasi yang didasarkan pada prinsip hedonic yaitu barang atau jasa mempunyai nilai karena atribut-atributnya, yang didesain untuk mengukur utilitas atau preferensi pokok sehingga konsisten

(4)

dengan WTP konsumen (Johnson, Desvousges, Ruby, Stieb, Civita, & Bingham, 2006).

Adapun beberapa alasan dalam penggunaan metode SP yaitu dapat mengukur preferensi konsumen terhadap alternatif baru yang akan dioperasikan berdasarkan kondisi hipotetikal, variabel yang digunakan dapat bersifat kuantitatif dan juga kualitatif, dan hasil yang didapatkan mendekati kenyataan yang sebenarnya karena dalam melakukan penelitiannya langsung menanyakan preferensi dari individu yang bersangkutan.

Terdapat beberapa cara mengukur preferensi individu dalam melakukan survei SP. Beberapa teknik SP yang digunakan untuk melihat preferensi individu terhadap alternatif-alternatif pilihan yang diberikan adalah Conjoint Analysis dan Discrete Choice Method. Conjoint Analysis terbagi menjadi tiga, Conjoint Rating, Conjoint Ranking, dan Paired Comparison. Conjoint Rating, dalam metode ini responden memberikan penilaian pada alternatif yang ditawarkan dengan menggunakan skala rating (misalnya memilih satu skala diantara 1 sampai 10). Metode ini menggunakan atribut yang bervariasi dan telah dipertimbangkan terlebih dahulu. Pada metode ini, responden memeriksa alternatif yang ditawarkan dan memberikan skala penilaian untuk alternatif tersebut. Conjoint Ranking, perbedaan metode ini dengan Conjoint Rating adalah responden diberi 3 atau lebih alternatif dalam satu pertanyaan dan diharapkan membuat rangking dari yang disukai hingga yang tidak disukai atau sebaliknya. Metode ini tidak lagi digunakan secara luas karena adanya kesulitan dalam pengolahan data yang didapat. Paired Comparison, melalui metode ini responden diharapkan untuk memilih diantara dua alternatif dimana satu alternatif menunjukkan keadaan yang ada saat itu dan alternatif yang lain menunjukkan adanya suatu perubahan. Responden diharapkan memberikan penilaian dalam bentuk skala seperti halnya Conjoint Rating.

Metode selanjutnya, Discrete Choice Method terbagi menjadi dua yaitu Referendum Contingent Choice, teknik ini meliputi pertanyaan yang ditujukan kepada responden dan responden diharuskan menetapkan satu pilihan diantara dua alternatif. Model pertanyaan yang sering digunakan untuk metode ini adalah model biner dimana responden hanya diberi pilihan jawaban “ya” atau “tidak” dan

(5)

Choice Modeling dimana dalam metode ini terdapat banyak data sehingga responden memilih diantara lebih dari dua alternatif dimana setiap alternatif digambarkan dengan beberapa atribut (Setiarini, 2008).

Dalam operasionalnya, survei SP dapat dilakukan dengan metode Contingent Valuation (CV) atau sering juga disebut sebagai WTP survei, yang secara langsung dapat memperoleh nilai-nilai WTP dari konsumen (Pattanayak, et al., 2006). Pendekatan dasar dari metode CV adalah menjelaskan suatu skenario kebijakan tertentu secara hipotetik yang dituangkan dalam suatu kuesioner, dan kemudian ditanyakan atau diserahkan kepada konsumen untuk mengetahui WTP yang sebenarnya dari suatu barang atau jasa tertentu (Johnson, et al., 2006; Fernandez, 2004; Moranco, Eugenio, & Salazar, 2005). Menurut Pattanayak, et al. (2006), ada dua manfaat melakukan survei CV, yaitu dapat memperoleh opini dan preferensi konsumen terhadap suatu barang atau jasa secara langsung dan metode CV adalah bentuk eksperimen lapangan yang praktis.

Untuk menilai WTP dari konsumen, ada beberapa format metode CV yang dapat dilakukan dan dituangkan dalam kuesioner, yaitu open-ended elicitation format, closed ended referendum elicitation format atau bidding game format, dan payment card elicitation, atau sequential referendum method, atau discrete choice method (Kumar & Rao, 2006; Widayanto, 2001; Delaney & O’Toole, 2004). Ketiga format tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Open-ended elicitation format, atau pertanyaan terbuka yaitu metode yang dilakukan dengan bertanya langsung kepada konsumen berapa jumlah atau nilai maksimum yang ingin dibayar terhadap suatu barang atau jasa. Kelebihan metode ini adalah konsumen tidak perlu diberi petunjuk yang bisa mempengaruhi nilai yang akan diberikan. Metode ini tidak menggunakan nilai awal yang ditawarkan sehingga tidak akan timbul bias data awal (starting point bias). Kekurangan metode ini adalah kurang tepatnya nilai yang diberikan oleh konsumen, kadang terlalu besar atau terlalu kecil, sehingga tidak dapat menggambarkan nilai WTP yang sebenarnya.

2. Closed ended referendum elicitation format (Bidding game format), atau pertanyaan tertutup, dimana konsumen ditanya apakah mau/ingin membayar

(6)

sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai titik awal (starting point) dengan memberikan pilihan dichotomous choice, ya atau tidak, ataupun setuju dan tidak setuju. Jika jawababannya ya maka besarnya nilai tawaran akan dinaikkan sampai tingkat yang disepakati. Jika jawabannya tidak nilai tawaran diturunkan sampai jumlah yang disepakati. Kelebihan metode ini, memberikan waktu berpikir lebih lama bagi konsumen untuk menentukan WTP, sedangkan kelemahannya kemungkinan mengandung bias data awal (starting point bias). 3. Payment card elicitation (Sequential referendum method atau Discrete choice method). Pada metode ini konsumen diminta memilih WTP yang realistik menurut preferensinya untuk beberapa hal yang ditawarkan dalam bentuk kartu yang menggambarkan nilai yang dikeluarkan seseorang dengan pendapatan tertentu bagi suatu barang atau jasa. Kelebihan metode ini dapat memberikan semacam rangsangan yang akan diberikan tanpa harus terintimidasi dengan nilai tertentu. Kelemahannya adalah konsumen masih bisa terpengaruh oleh besaran nilai yang tertera pada kartu yang disodorkan.

Dalam survei SP, perlu dipertimbangkan perencanaan dan perancangan yang benar. Hal ini agar data yang didapat dari responden tidak bias.

2.2 Investor

Investor adalah seseorang yang membeli asset untuk menghasilkan pendapatan dan bertujuan membangun kekayaan dengan membeli properti residensial maupun komersial, atau kombinasi dari keduanya. Properti yang telah dibeli dengan tujuan mendapatkan laba atas investasi didapat melalui sewa (pendapatan), penjualan kembali pada masa mendatang saat menguntungkan, atau keduanya. Investasi pada properti dapat menjadi usaha jangka panjang, seperti sebuah gedung apartemen (Farlex Financial Dictionary, 2012).

2.3 Properti Komersial

Menurut Centre for Architecture and Urban Studies (CAUS, 2001) properti komersial adalah jenis properti yang mempunyai kemampuan komersial untuk menghasilkan arus kas dan semua aspek komersialnya. Beberapa jenis properti komersial antara lain:

(7)

2.3.1 Apartemen

Apartemen adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bersama, benda-bersama dan tanah bersama (Undang-Undang Republik Indonesia No.16 tahun 1985 tentang rumah susun).

Apartemen dibagi menjadi dua yaitu apartemen sewa dan apartemen jual. Apartemen sewa adalah apartemen yang dimiliki oleh perorangan atau suatu badan usaha dengan unit-unit yang disewakan kepada masyarakat dengan harga dan jangka waktu tertentu (Yanuar, 2014). Apartemen jual merupakan apartemen yang dimiliki oleh perorangan atau suatu badan usaha bersama yang unit-unit apartemen dijual kepada masyarakat dengan harga tertentu (Marlina, 2008). Selain itu, terdapat apartemen hotel (apartel) yang merupakan sebuah kompleks apartemen yang menggunakan sistem pemesanan bergaya hotel (Sayid, 2013).

2.3.2 Perkantoran

Perkantoran merupakan suatu bentuk bangunan komersial dengan ruang-ruang yang khusus didesain untuk perkantoran. Gedung perkantoran memerlukan rancangan yang dapat mengakomodasi perkembangan teknologi. Dalam perancangan gedung perkantoran, tata ruang menjadi penting karena berpengaruh pada seberapa banyak ruang yang bisa disewakan dan menghasilkan keuntungan bagi pemilik bangunan (Marlina, 2008).

2.3.3 Hotel

Hotel adalah salah satu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau keseluruhan bangunan untuk jasa pelayanan penginapan, penyedia makanan dan minuman serta jasa lainnya bagi masyarakat umum yang dikelola secara komersial (Keputusan Menteri Parpostel no Km 94/HK/ 103/MPPT 1987).

(8)

2.3.4 Kondominium Hotel (Kondotel)

Dalam pengembangannya di Indonesia, kondominium hotel (kondotel) merupakan penggabungan dari konsep kepemilikan kondominium dan sistem pengoperasian hotel dalam suatu bangunan bertingkat. Kondotel adalah suatu kegiatan yang bergerak di bidang jasa dengan menawarkan sebuah bangunan sebagai tempat penginapan yang memiliki fasilitas rumah, hiburan serta layanan yang mewah dan lengkap seperti hotel berbintang (Khrisna, Warsika, & Frederika, 2013). Pemilik kondotel hanya bersifat sebagai investor dan tidak menempati bangunan tersebut, kondotel tetap beroperasi dengan cara disewakan layaknya hotel. Hal ini tentunya akan menjadi keuntungan tambahan bagi investor tersebut. (Ginting, 2014).

2.4 Faktor-Faktor Properti Komersial 2.4.1 Hukum

Dalam properti, terdapat hukum properti yang berlaku di Indonesia dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Agraria). Terdapat beberapa hak atas tanah dalam Undang-Undang Agraria khususnya pada properti komersial yaitu Surat Hak Milik Strata Title (SHM Strata Title), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai. Surat Hak Milik Strata Title disebut sebagai strata title karena hak kepemilikan bersama atas sebuah kompleks bangunan yang terdiri dari hak eksklusif untuk ruang pribadi serta hak bersama atas ruang publik. Sebagai pemegang hak, pemilik unit berhak atas bagian bersama, peralatan bersama, fasilitas bersama maupun tanah bersama secara proporsional. Sebagai bukti kepemilikan strata title, Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang didalamnya menerangkan keterangan mengenai letak (ketinggian, keterangan diatas dan dibawah) luas area dan jenis hak bersama. Strata Title unit apartemen yang dibangun di atas tanah Hak Guna Bangunan (HGB), memiliki jangka waktu 20-25 tahun. Setelah itu wajib diperpanjang sesuai ketentuan yang berlaku (Kusumo, 2013).

Apabila Hak Guna Bangunan merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan

(9)

jangka waktu paling lama 30 tahun, maka properti tersebut dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia yang berdomisili di Indonesia. Ini adalah konsep yang paling banyak digunakan dan tersedia di Indonesia. Sebagian besar bangunan strata title dibangun di atas Hak Guna Bangunan (Leks, 2011).

Sedangkan Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya. Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang. Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai Baru berdasarkan perjanjian antara pemegang Hak Pakai dengan pemegang Hak Milik, yang dituangkan dalam akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan setempat. Hak tersebut dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia, dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Hak Pakai adalah landasan hukum terbaik yang dapat dimiliki secara langsung oleh warga negara asing atau badan hukum asing (Leks, 2011).

2.4.2 Ekonomi

Properti komersial tidak hanya membuat uang dengan cepat tetapi juga mengambil keuntungan dari investasi yang berkembang dari waktu ke waktu, di mana dapat mencapai pengembalian yang konsisten di atas inflasi (Lang, 2012). Kenaikan harga properti yang terus menerus mengakibatkan adanya capital gain yang merupakan selisih antara harga jual yang lebih tinggi dibandingkan harga beli yang lebih rendah sehingga memberikan keuntungan bagi seorang investor (Tambunan, 2014). Selain itu, properti komersial menawarkan keuntungan yang lebih tinggi dengan pembagian omset (ROI) sebagai periode sewa komersial biasanya lebih lama dengan memiliki minimal 3 tahun lamanya (Jufri, 2013).

Menurut studi Bank Dunia, kalangan kelas menengah ini terbagi dalam empat kelas. Pertama kelas menengah dengan pendapatan US$2-US$4 atau

(10)

Rp2,6-5,2 juta per bulan (38,5%). Kedua, kelas menengah dengan pendapatan US$4-6 atau Rp5,2 -7,8 juta perkapita perbulan (11,7%).Ketiga kelas menengah dengan pendapatan US$6-US$10 atau Rp7,8-13 juta perbulan (5%) serta golongan menengah berpendapatan US$10-US$20 atau Rp13-26 juta perbulan (1,3%) (Widiatmanti, 2015).

2.4.3 Fisik dan Lingkungan

Aspek fisik seperti penampilan bangunan dari luar, luas, jumlah lantai, jumlah kamar, arah hadap, kualitas finishing bangunan (fully furnish) (Arifin, 2011). Sedangkan lingkungan yang perlu dipertimbangkan adalah ukuran dan lokasi lahan yang merupakan gambaran dimana letak suatu lahan tersebut berada mempengaruhi faktor aksesibilitas menentukan apakah lokasi lahan ini mudah atau sulit dijangkau dengan ketersediaan transportasi umum, kemudahan lokasi ke pusat kota, jalan tol, tempat wisata, tempat kerja, fasilitas umum seperti rumah sakit, pasar, sekolah, dan sebagainya. Ketersediaan utilitas kota seperti air, saluran air kotor, listrik, dan pelayanan telepon akan mempengaruhi kegunaan dan proyeksi pembangunan sebuah lahan (Mubayyinah & Utomo, 2012).

2.5 Penelitian Sebelumnya

Tabel 2.1. Penelitian Sebelumnya

No Penulis Tahun Judul Hasil Penelitian

1 Akhlagh et al. 2011

Measurement of Individuals’

Willingness to Pay for Habitation in

Condominium in Isfahan Province

70% individu dan keluarga yang terdiri dari dua sampai tujuh anggota orang, bersedia untuk tinggal di kondominium dan membayar harga 50%-60% lebih tinggi dari harga perumahan umum.

2

Zalejska-Jonsson 2013

Stated WTP and Rational WTP: Willingness to Pay for Green Apartments in

Mayoritas responden yang tinggal di bangunan konvensional tidak siap untuk membayar lebih

(11)

Sweden untuk sebuah bangunan dengan sertifikat lingkungan, sedangkan warga green building bersedia membayar 5% tambahan. Responden yang bersedia membayar premi 5% untuk bangunan yang low energy.

3 Hu et al. 2014

The Willingness to Pay for Green

Apartments: The Case of Nanjing,

China

Bersedia untuk membayar 2.147 yuan/ m2 lebih untuk akses ke pekerjaan mereka dalam waktu 20-30 menit dibandingkan dengan waktu 30-40 menit, dan 1.832 yuan/ m2 lebih selama 30-40 menit dibandingkan dengan lebih dari 40 menit.

4 Mandell &

Wilhelmsson 2010

Willingness to Pay for Sustainable Housing

Sekitar 5% dari mereka memilih view laut dan 29% berada dekat dengan jalan utama. Sekitar setengah dari rumah itu, pada saat pembelian, membutuhkan pemeliharaan interior atau eksterior sesuai dengan pembeli.

5 Heyman &

Stahle 2013

The Willingness to Pay for Urban Sustainability

Faktor lokasi dan kapasitas serta faktor ketersediaan dan frekuensi memberikan hasil yang positif untuk rumah keluarga tunggal tetapi negatif untuk apartemen. Dua hal yang

(12)

positif yang dihargai di pasar adalah pekerjaan dan desain untuk pejalan kaki yang aman dan perjalanan sepeda.

2.6 Hubungan Antar Konsep

Saat ini, properti komersial semakin diminati oleh para investor, hal ini dikarenakan harga properti residensial di Surabaya terus meningkat. Surabaya juga merupakan kota yang diminati oleh pengusaha properti sebagai ajang pembangunan dan investasi. Dari fenomena tersebut investor bersedia untuk membayar lebih (willingness to pay) pada properti komersial.

Faktor hukum atau legalitas properti menentukan status dan kepemilikan suatu properti. Menurut Yusrizal (2013), faktor hukum meliputi surat-surat tanah, ijin, hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain. Fanning (2005) juga mengatakan bahwa faktor hukum memiliki pengaruh yang positif terhadap nilai properti.

Faktor ekonomi pada penelitian yang dilakukan oleh Mandell & Wilhelmsson (2010), secara umum keluarga dengan penghasilan tinggi bersedia membayar lebih untuk perubahan non-marjinal, namun perbedaan antara rumah tangga sadar lingkungan dan tidak sadar kurang lebih sama seperti untuk semua rumah tangga. Sekitar setengah dari rumah itu, pada saat pembelian, membutuhkan pemeliharaan interior atau eksterior sesuai dengan penghasilan pembeli.

Faktor fisik dan lingkungan terhadap kesediaan untuk membayar pada properti komersial, Akhlagh et al. (2011) menggunakan metode Conceptual Valuation Method (CVM) untuk mengukur kesediaan individu dan keluarga dalam membayar tempat tinggal pada kondominium di provinsi Ishafan, hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara 272 warga yang telah diwawancarai, 70% (188 orang) dari individu yang bersedia tinggal di kondominium dan 30% (84 orang) tidak bersedia untuk tinggal di sana. Sebesar 70% individu dan keluarga yang terdiri dari dua sampai tujuh anggota bersedia untuk tinggal di kondominium

(13)

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Zalejska-Jonsson (2013) terhadap nilai faktor lingkungan dan kesediaan untuk membayar (willingness to pay) green apartment di Swedia. Hasil survei dari 733 penghuni di kondominium dan bangunan konvensional, menunjukkan bahwa WTP untuk kondominium lebih tinggi daripada di antara di apartemen konvensional. Seperlima dari penghuni kondominium menyatakan bahwa mereka bersedia membayar sebanyak 10% lebih untuk bangunan yang low-energy, dan 64% siap untuk membayar premi 5%. Sebagai perbandingan, 7% dari peserta yang tinggal di kondominium konvensional siap untuk membayar 10% tambahan dan 55% bersedia membayar 5% tambahan untuk tempat tinggal di bangunan yang low-energy.

Mandell & Wilhelmsson (2010) melakukan penelitian kepada 618 keluarga single family di Stockholm dimana sekitar 5% dari mereka memilih view laut dan 29% berada dekat dengan jalan utama. Penelitian yang dilakukan oleh Hu et al. (2014) menilai kesediaan untuk membayar oleh kelompok sosial ekonomi yang berbeda di Nanjing, China. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa harga rumah, pencemaran lingkungan, dan aksesbilitas ke pusat kota dan pekerjaan dengan trasportasi publik merupakan faktor penting ketika pembeli memilih sebuah apartemen di Nanjing. Mereka akan membayar 2.147 yuan/ m2 lebih untuk akses ke pekerjaan mereka dalam waktu 20-30 menit dibandingkan dengan waktu 30-40 menit, dan 1.832 yuan/ m2 lebih selama 30-40 menit dibandingkan dengan lebih dari 40 menit.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Heyman & Stahle (2013) pada apartemen di Copenhagen, ditemukan bahwa dari 19 orang, ternyata 14 dari mereka yang dinilai memberikan respon negatif dan lima merespon positif pada kriteria sustainability. Di antara rumah-rumah keluarga tunggal, tujuh dari semua kriteria sustainability, terbukti mempengaruhi bagaimana orang menghargai properti. Tampak cukup menarik pada faktor lokasi dan kapasitas serta faktor ketersediaan dan frekuensi memberikan hasil yang positif untuk rumah keluarga tunggal. Dua hal yang positif yang dihargai di pasar adalah pekerjaan dan desain untuk pejalan kaki yang aman dan perjalanan sepeda.

Untuk melihat kesediaan konsumen dalam membayar properti komersial, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kesediaan konsumen tersebut.

(14)

Dalam penelitian ini, faktor yang digunakan untuk mengetahui kesediaan konsumen untuk membayar adalah hukum, ekonomi, fisik, dan lingkungan. Faktor-faktor ini dipilih berdasarkan berbagai penelitian yang sudah dilakukan membuktikan bahwa faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap kesediaan konsumen dalam membayar properti komersial.

2.7 Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

2.8 Hipotesa

Hipotesa dalam penelitian ini adalah:

1. Adanya pengaruh hukum, ekonomi, fisik, dan lingkungan yang signifikan secara bersama-sama terhadap kesediaan untuk membayar pada properti komersial.

2. Adanya pengaruh hukum, ekonomi, fisik, dan lingkungan yang signifikan secara parsial terhadap kesediaan untuk membayar pada properti komersial. Hukum 1. Property Rights Willingness to Pay Properti Komersial Ekonomi 1. Return on Investment 2. Capital Gain

Fisik dan Lingkungan 1. Lokasi

2. View

3. Fasilitas Internal 4. Keadaan Fisik

Gambar

Tabel 2.1. Penelitian Sebelumnya
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Penentuan ukuran canvas yang akan digunakan dalam pembuatan komik, ukuran yang dipilih adalah ukuran komik yang telah ditentukan oleh pihak Line Webtoon yaitu ukuran canvas 800

Sebagai alternatif kedua dari tujuan promosi yang akan dilakukan oleh perusahaan adalah mempengaruhi dan membujuk pelanggan atau konsumen sasaran agar mau membeli

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa media digunakan oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran karena media memiliki kemampuan untuk memperlihatkan konsep materi

Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali

Para konsumen yang ingin memperoleh doorprize di akhir acara, tentu akan berusaha mendapatkan kupon undian doorprize sebanyak mungkin dengan cara berbelanja sebanyak

External failure cost merupakan biaya yang terjadi setelah pengiriman produk ke konsumen atau pengguna yang mengalami ketidaksesuaian atau kecacatan seperti biaya terhadap

Fungsi utama lainnya dari sistem informasi akuntansi dalam siklus penggajian adalah menyediakan pengendalian yang memadai agar dapat terpenuhinya tujuan-tujuan

Pada proses ini perusahaan memberikan penilaian yang lebih rinci mengenai peluang sukses produk baru, mengidentifikasi penyesuaian-penyesuaian akhir yang dibutuhkan untuk produk,