LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF)
Yuflihul Khair, S.Kep A. PENGERTIAN
Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) merupakan gagal jantung akut yang didefinisikan sebagai serangan yang cepat (rapid onset) dari gejala – gejala atau tanda – tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Disfungsi ini dapat berupa disfungsi sistolik maupun diastolik, abnormalitas irama jantung, atau ketidakseimbangan preload dan afterload. ADHF dapat merupakan serangan baru tanpa kelainan jantung sebelumnya, atau dapat merupakan dekompensasi dari gagal jantung kronik (chronic heart failure) yang telah dialami sebelumnya. ADHF muncul bila cardiac output tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. (Hanafi, 1996).
B. PENYEBAB/FACTOR PREDISPOSISI
1. Dekompensasi pada gagal jantung kronik yang sudah ada (kardiomiopati)
2. Sindroma koroner akut
Infark miokardial/unstable angina pektoris dengan
iskemia yang bertambah luas dan disfungsi sistemik
Komplikasi kronik IMA
Infark ventrikel kanan 3. Krisis Hipertensi
4. Aritmia akut (takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikular, fibrilasi atrial, takikardia supraventrikuler, dll)
5. Regurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae, perburukan regurgitasi katup yang sudah ada
6. Stenosis katup aorta berat 7. Tamponade jantung
8. Diseksi aorta
9. Kardiomiopati pasca melahirkan
C. PATOFISIOLOGI
kardiovaskuler maupun non kardiovaskuler. Etiologi ini beserta dengan faktor presipitasi lainnya akan menimbulkan kelainan atau kerusakan pada jantung yang diakibatkan oleh proses iskemia miokard atau hipertropi remodeling otot jantung atau kerusakan katup jantung yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel sehingga terjadi gangguan preload maupun afterload sehingga menurunkan curah jantung. B ila curah jantung menurun, maka tubuh akan mengeluarkan mekanisme neurohormonal untuk mengkompensasi penurunan curah jantung. Mekanisme ini melibatkan sistem adrenergik, renin angiotensin dan aldosteron sehingga terjadi peningkatan tekanan darah akibat vasokonstriksi arteriol dan retensi natrium dan air.
Pada individu dengan remodeling pada jantungnya, mekanisme kompensasi akan menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimptomatik dimana jantungnya telah mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi masih bisa dikompensasi agar tetap dapat mempertahankan metabolisme dalam tubuh. Tetapi bila telah mencapai ambang batas kompensasi, maka mekanisme ini akan terdekompensasi sehingga muncul gejala klinis tergantung dari ventrikel yang terkena sehingga muncul ADHF.
Proses remodeling maupun iskemia miokard akan menyebabkan kontraksi miokard menurun dan tidak efektif untuk memompa darah. Hal ini akan menimbulkan penurunan stroke volume dan akhirnya terjadi penurunan curah jantung. Penurunan kontraktilitas miokard pada ventrikel kiri (apabila terjadi infark di daerah ventrikel kiri) akan menyebabkan peningkatan beban ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena penurnan kontraktilitas miokard disertai dengan peningkatan venous return (aliran balik vena). Hal ini tentunya akan meningkatkan bendungan darah di paru – paru. B endungan ini akan menimbulkan transudasi cairan ke jaringan dan alveolus paru sehingga terjadilah oedema paru. Oedema ini tentunya akan menimbulkan gangguan pertukaran gas di paru – paru.
darah ke jaringan berlanjut. Apabila terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, akan memicu retensi garam dan air oleh sistem renin angiotensin aldosteron. Retensi ini akan menjadi lebih progresif karena tidak diimbangi dengan peningkatan tekanan atrium kanan akibat proses dekompensasi, sehingga terjadi kelebihan volume cairan yang berujung pada oedema perifer (Price, 1994).
D. TANDA DAN GEJALA
1. Sesak nafas (dyspnea) Muncul saat istirahat atau saat beraktivitas (dyspnea on effort).
2. Orthopnea
3. Sesak muncul saat berbaring, sehingga memerlukan posisi tidur setengah duduk dengan menggunakan bantal lebih dari satu.
4. Paroxysmal Nocturnal Dyspneu ( PND ) yaitu sesak tiba-tiba pada malam hari disertai batuk- batuk.
5. Takikardi dan berdebar- debar yaitu peningkatan denyut jantung akibat peningkatan tonus simpatik
6. Batuk- batuk terjadi akibat oedema pada bronchus dan penekanan bronchus oleh atrium kiri yang dilatasi. Batuk sering berupa batuk yang basah dan berbusa, kadang disertai bercak darah.
7. Mudah lelah (fatigue) terjadi akibat curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa katabolisme. Juga terjadi akibat meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi akibat distres pernafasan dan batuk.
8. Adanya suara jantung P2 , S3, S4 menunjukkan insufisiensi mitral akibat dilatasi bilik kiri atau disfungsi otot papilaris. Oedema (biasanya pitting edema ) yang dimulai pada kaki dan tumit dan secara bertahap bertambah keatas disertai penambahan berat badan.
9. Pembesaran hepar terjadi akibat pembesaran vena di hepar.
10. Ascites.
11. Bila hepatomegali ini berkembang, maka tekanan pada pembuluh portal meningkat sehingga cairan terdorong keluar rongga abdomen.
12. Nokturia (rasa ingin kencing di malam hari) terjadi karena perfusi ginjal dan curah jantung akan membaik saat istirahat.
13. Peningkatan tekanan vena jugularis (JVP)
1. Laboratorium :
a. Hematologi : Hb, Ht, Leukosit b. Elektrolit : K, Na, Cl, Mg
c. Enzim Jantung (CK-MB , Troponin, LDH)
d. Gangguan fungsi ginjal dan hati : B UN, Creatinin, Urine Lengkap, SGOT, SGPT.
e. Gula darah
f. Kolesterol, trigliserida g. Analisa Gas Darah
2. Elektrokardiografi, untuk melihat adanya : a. Penyakit jantung koroner : iskemik, infark
b. Pembesaran jantung (LVH : Left Ventricular Hypertrophy).
c. Aritmia d. Perikarditis
e. Foto Rontgen Thoraks, untuk melihat adanya : f. Edema alveolar
g. Edema interstitials h. Efusi pleura
i. Pelebaran vena pulmonalis j. Pembesaran jantung
k. Echocardiogram menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung.
l. Radionuklir
m.Mengevaluasi fungsi ventrikel kiri
n. Mengidentifikasi kelainan fungsi miokard
3. Pemantauan Hemodinamika (Kateterisasi Arteri Pulmonal Multilumen) bertujuan untuk :
a. Mengetahui tekanan dalam sirkulasi jantung dan paru b. Mengetahui saturasi O2 di ruang-ruang jantung
c. Biopsi endomiokarditis pada kelainan otot jantung
d. Meneliti elektrofisiologis pada aritmia ventrikel berat recurrent.
e. Mengetahui beratnya lesi katup jantung f. Mengidentifikasi penyempitan arteri koroner
g. Angiografi ventrikel kiri (identifikasi hipokinetik, aneurisma ventrikel, fungsi ventrikel kiri).
h. Arteriografi koroner (identifikasi lokasi stenosis arteri koroner)
F. PENATALAKSANAAN
Tujuan dasar penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung adalah :
2. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan- bahan farmakologis.
3. Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretik , diet dan istirahat.
4. Menghilangkan faktor pencetus (anemia, aritmia, atau masalah medis lainnya)
5. Menghilangkan penyakit yang mendasarinya baik secara medis maupun bedah.
Penatalaksanaan sesuai klasifikasi gagal jantung adalah sebagai berikut :
1. FC I : Non farmakologi
2. FC II & III : Diuretik, digitalis, ACE inhibitor, vasodilator, kombinasi diuretik, digitalis.
3. FC IV : Kombinasi diuretik, digitalis, ACE inhibitor seumur hidup.
Terapi non farmakologis meliputi :
1. Diet rendah garam ( pembatasan natrium ) 2. Pembatasan cairan
3. Mengurangi berat badan 4. Menghindari alcohol 5. Manajemen stress
6. Pengaturan aktivitas fisik Terapi farmakologis meliputi :
1. Digitalis, untuk meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Misal : digoxin.
2. Diuretik, untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal serta mengurangi edema paru. Misal : furosemide (lasix).
3. Vasodilator, untuk mengurangi impedansi (tekanan) terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Misal : natrium nitropusida, nitrogliserin.
4. Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACE inhibitor) adalah agen yang menghambat pembentukan angiotensin II sehingga menurunkan tekanan darah. Obat ini juga menurunkan beban awal (preload) dan beban akhir (afterload). Misal : captopril, quinapril, ramipril, enalapril, fosinopril,dll.
5. Inotropik (Dopamin dan Dobutamin)
vasodilatasi sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah. Dopamin dan dobutamin sering digunakan bersamaan.
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL 1. Kerusakan pertukaran gas b/d perubahan membran kapiler
alveolus d/d dispneu, ortopneu.
2. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen/kebutuhan, kelemahan d/d pasien mengatakan letih terus menerus sepanjang hari, sesak nafas saat aktivitas, tanda vital berubah saat beraktivitas.
3. Kelebihan volume cairan b/d meningkatnya beban awal, penurunan curah jantung sekunder terhadap gagal jantung b/d peningkatan berat badan, odema, asites, hepatomegali, bunyi nafas krekels, wheezing.
4. Perubahan perfusi jaringan perifer b/d penurunan aliran darah di daerah perifer sekunder terhadap penurunan curah jantung b/d pengisian kapiler lambat, warna kuku pucat atau sianosis.
5. Nyeri b/d iskemia jaringan b/d sakit pada dada, sakit pada perut kanan atas, sakit pada otot, tidak tenang, gelisah, tampak meringis, takikardia.
6. Ansietas b/d gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesulitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik d/d cemas, takut, khawatir, stress yang berhubungan dengan penyakit, gelisah, marah, mudah tersinggung.
7. Perubahan pola tidur b/d sering terbangun sekunder terhadap gangguan pernafasan (sesak, batuk) b/d letargi, sulit tidur, sesak nafas dan batuk saat tidur.
8. PK : syok kardiogenik b/d kerusakan ventrikel yang luas 9. PK : Gagal ginjal b/d penurunan suplai darah ke ginjal
dalam waktu lama,sekunder terhadap penurunan curah jantung.
H. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. Diagnosa I : Kerusakan pertukaran gas b/d perubahan membrane kapiler alveolus d/d dispneu, ortopneu. Kriteria tujuan : Pertukaran gas lebih efektif ditunjukkan hasil AGD dalam batas normal dan pasien bebas dari distress pernafasan.
Rencana Tindakan Rasionalisasi 1. Auskultasi bunyi nafas,
krekels, wheezing. 2. Anjurkan pasien untuk
batuk efektif dan nafas
dalam.
3. Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler.
4. Kolaborasi untuk
memantau analisa gas darah & nadi
oksimetri.
5. Kolaborasi untuk pemberian oksigen tambahan sesuai indikasi.
6. Kolaborasi untuk
pemberian diuretik dan bronkodilator
nafas dan memudahkan aliran oksigen.
3. Menurunkan konsumsi oksigen dan
memaksimalkan pegembangan paru. 4. Hipoksemia dapat
menjadi berat selama edema paru.
5. Meningkatkan
konsentrasi oksigen alveolar untuk memperbaiki
hipoksemia jaringan. 6. Diuretik dapat
menurunkan kongesti alveolar dan
meningkatkan pertukaran gas. B roncodilator untuk dilatasi jalan nafas.
2. Diagnosa II : Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai oksigen/kebutuhan, kelemahan d/d pasien mengatakan letih terus menerus sepanjang hari, sesak nafas saat aktivitas, tanda vital berubah saat beraktifitas. Kriteria tujuan : aktivitas mencapai batas optimal , yang ditunjukkan dengan pasien berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan dan mampu memenuhi kebutuhan perawatan sendiri.
Rencana Tindakan Rasionalisasi 1. Periksa tanda vital
sebelum dan sesudah beraktivitas.
2. Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, takikardi, disritmia, dispneu, berkeringat, pucat.
3. Berikan bantuan dalamaktivitas
perawatan diri sesuai indikasi. Selingi
periode aktivitas
1. Hipotensi ortostatik dapt terjadi dengan aktivitas karena efek obat, perpindahan cairan, pengaruh fungsi jantung.
2. Ketidakmampuan miokardium
meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas dapat
dengan periode istirahat.
4. Kolaborasi untuk mengimplementasikan program rehabilitasi jantung
kelelahan.
3. Pemenuhan kebutuhan perawatan diri tanpa mempengaruhi stres miokard/kebutuhan oksigen berlebihan. 4. Peningkatan bertahap
pada aktivitas menghindari kerja jantung dan konsumsi oksigen berlebihan
3. Diagnosa III : Kelebihan volume cairan b/d meningkatnya beban awal, penurunan curah jantung sekunder terhadap gagal jantung d/d peningkatan berat badan, odema, asites, hepatomegali, bunyi nafas krekels,wheezing. Kriteria tujuan : Kelebihan volume cairan dapat dikurangi dengan kriteria :
Keseimbangan intake dan output
Bunyi nafas bersih/jelas
Tanda vital dalam batas normal Berat badan stabil
Tidak ada edema
Rencana Tindakan Rasionalisasi 1. Pantau haluaran urine,
warna, jumlah. 2. Pantau intake dan
output selama 24 jam. 3. Pertahankan posisi
duduk atau semifowler selama masa akut. 4. Timbang berat badan
setiap hari.
5. Kaji distensi leher dan pembuluh perifer, edema pada tubuh. 6. Auskultasi bunyi nafas,
catat bunyi tambahan mis : krekels,
wheezing. Catat adanya peningkatan dispneu, takipneu, PND, batuk persisten. 7. Selidiki keluhan
dispneu ekstrem tiba-tiba, sensasim sulit
3. Memantau penurunan perfusi ginjal.
4. Terapi diuretic dapat menyebabkan
kehilangan cairan tiba-tiba meskipun udema masih ada.
5. Posisi telentang meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan dieresis. 6. Memantau respon
terapi.
7. Retensi cairan berlebihan
dimanifestasikan oleh pembendungan vena dan pembentukan edema.
bernafas, rasa panic. 8. Pantau tekanan darah
dan CVP.
9. Ukur lingkar abdomen. 10. Palpasi
hepatomegali. Catat keluhan nyeri
abdomen kuadran kanan atas.
11. Kolaborasi dalam pemberian obat
Diuretik
Tiazid dengan agen
pelawan kalium (mis :
spironolakton)
12. Kolaborasi untuk mempertahankan cairan /pembatasan natrium sesuai indikasi.
13. Konsultasi dengan bagian gizi.
14. Kolaborasi untuk pemantauan foto thorax
menimbulkan kongesti paru.
9. Menunjukkan adanya komplikasi edema paru atau emboli paru.
10. Hipertensi dan peningkatan CVP
menunjukkan kelebihan volume cairan.
11. Memantau adanya asites
Perluasan jantung menimbulkan kongesti vena sehingga terjadi distensi abdomen, pembesaran hati dan nyeri.
Diuretik
meningkatkan laju aliran urine dan dapat menghambat reabsorpsi natrium dan klorida pada tubulus ginjal.
Meningkatkan diuresis tanpa kehilangan kalium berlebihan
12. Menurunkan air total tubuh/mencegah reakumulasi cairan
13. Memberikan diet yang dapat di teri ma pasien yang memmenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium. 14. Menunjukkan
4. Diagnosa 4 : Perubahan perfusi jaringan perifer b/d penurunan aliran darah di daerah perifer sekunder terhadap penurunan curah jantung d/d pengisisan kapiler lambat, warna kuku pucat atau sianosis. Kriteria tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan perfusi jaringan perifer dapat diperbaiki ( adekuat ) dengan kriteria evaluasi :
Kulit hangat dan kering
Nadi kuat, pengisian kapiler kuat
Tanda vital normal
Tidak sianosis atau pucat
Rencana Tindakan Rasionalisasi 1. Pantau tanda vital,
capillary refill, warna kulit, kelembaban kulit, edema, saturasi O2 di daerah perifer
2. Tingkatkan tirah baring selama fase akut.
3. Tekankan pentingnya menghindari
mengedan khususnya selama defikasi
4. Kolaborasi dalam pemberian oksigen dan obat-obatan inotropik
1. Mengetahui
keadekuatan perfusi perifer
2. Pembatasan aktivitas menurunkan kebutuhan oksigen dan nutrisi daerah perifer. 3. Menghindari
memberatnya hipoksia di jaringan perifer
4. Oksigen meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar sehingga dapat memperbaiki
hipoksemia jaringan Obat inotropik untik meningkatkan
kontraktilitas miokardium.
5. Diagnosa5 Nyeri b/d iskemia jaringan d/d sakit pada dada, sakit pada perut kanan atas, sakit pada otot, tidak tenang, gelisah, tampak meringis, takikardia Kriteria tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x 24 jam diharapkan nyeri hilang atau berkurang, dengan kriteria evaluasi
Melaporkan keluhan nyeri berkurang
Pasien tampak tenang dan rileks
Rencana Tindakan Rasionalisasi 1. Anjurkan pasien untuk
memberitahu perawat tentang nyeri.
2. Pantau karakteristik
1. Perawat dapat
nyeri
3. Bantu pasien
melaksanakan teknik relaksasi
4. Istirahatkan pasien selama nyeri.
5. Pertahankan lingkungan yang nyaman, batasi
pengunjung bila perlu. 6. Kolaborasi untuk
pemberian morfin sulfat dan memamntau perubahan seri EKG
segera dilakukan
2. Memastikan jenis nyeri 3. Mengurangi nyeri
4. Menurunkan kebutuhan oksigen
5. Stres mental/emosi meningkatkan kerja miokard.
6. Morfin sulfat untuk menurunkan faktor preload dan afterload dan juga menurunkan tonus simpatik. Seri EKG untuk
membandingkan pola nyeri.
6. Diagnosa 6 : Ansietas b/d gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesulitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik d/d cemas, takut, khawatir, stress yang berhubungan dengan penyakit, gelisah, marah, mudah tersinggung Kriteria tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan pasien tidak merasa cemas dengan kriteria evaluasi:
Pasien mengatakan kecemasan menurun sampai tingkat yang dapat diatasi.
Pasien menunjukkan keteramplan pemecahan masalah dan mengenal perasaannya.
Rencana Tindakan Rasionalisasi 1. Berikan kesempatan
kepada pasien untuk mengekspresikan perasaannya.
2. Dorong teman dan keluarga untuk menganggap pasien seprti sebelumnya. 3. Beritahu pasien
program medis yang telah dibuat untk mnurunkan serangan yang akan datang dan meningkatkan
stabilitas jantung.
1. Pernyataan masalah dapat menurunkan ketegangan,
mengklarifikasikan tingkat koping dan emudahkan
pemahaman perasan. 2. Meyakinkan pasien
bahwa peran dalam keuarga dan kerja tidak berubah.
4. Bantu pasien
mengatur posisi yang nyaman untuk tidur atau istirahat, batasi pengunjung
5. Kolaborasi untuk pemberian
sedatif dan tranquiliser
program medis da mengintegrasikan kemampuan dalam persesi diri.
4. Memuat suasana yang memudahkan pasien tidur.
5. Membantu pasien rileks sampai secara fisik mampu membuat strategi koping yang adekuat.
6. Diagnosa 7 : Perubahan pola tidur b/ d sering terbangun sekunder terhadap gangguan pernafasan ( sesak, batuk) d/d letargi, sulit tidur, sesak nafas dan batuk saat tidur. Kriteria tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatn selama 3 x 24 jam diharapkan pasien bisa tidur dengan lebih nyaman.
Rencana Tindakan Rasionalisasi 1. Naikkan kepala tempat
tidur 20 -30 cm. Sokong lengan bawah dengan bantal.
2. Pada pasien yang ortopnoe , pasien didudukkan di sisi tempat tidur dengan kedua kaki disokong di kursi, kepala dan
diletakkan di meja tempat tidur dan
vertebra lumbosa kra l disokong dengan
bantal.
1. Aliran balik vena ke jantung berkurang, kongesti paru berkurang dan
penekanan hepar ke diafragma menjadi berkurang serta
mengurangi kelelahan otot bahu.
2. Mengurangi kesulitan bernafas dan
megurangi aliran balik ke jantung
7. PK : Syok kardiogenik berhubungan dengan kerusakan ventrikel yang luas. Kriteria tujuan : Selama diberikan asuhan keperawatan diharapkan syok kardiogenik tidak terjadi atau bisa dipantau secara dini.
Rencana Tindakan Rasionalisasi 1. Observasi tanda- tanda
syok kardiogenik :
Tekanan darah
rendah
Nadi cepat dan lemah
Konfusi dan agitasi Penurunan haluaran
urine
Kulit dingin dan lembab.
2. Beri penjelasan pada pasien dan keluarga untuk melaporkan segera bila ada
tanda- tanda syok kardiogenik
2. Pasien mengetahui tanda dan gejala yang harus dilaporkan
sehingga bias ditangani secara dini
8. PK : Gagal ginjal b/d penurunan suplai darah ke ginjal dalam waktu lama sekunder penurunan curah jantung Kriteria tujuan : Selama diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi komplikasi gagal Ginjal
Rencana Tindakan Rasionalisasi 1. Obsevasi ketat
keseimbangan intake dan output dalam 24 jam.
2. Monitor pegeluaran urine catat jumlah, konsentrasi, warna. 3. Kolaborasi
pemeriksaan
fungsi ginjal (B UN, SC, UL)
1. Menilai kemampuan filtrasi glomerulus. 2. Oliguri, urine pekat
adalah tanda awal gagal ginjal.
3. Peningkatan kadar ureum, kreatinin,
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Jakarta
Ganong William F.1999.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 17.Jakarta: EGC
Guyton.1995.Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit.Jakarta: EGC.
Hanafi B. Trisnohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2001
Harrisom. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Penyuakit Dalam Volume 3 Edisi 13.Jakarta: EGC
Kirk JD. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel Approaches To Cclassification Aand Treatment. [monograph on the internet]. Philadelphia : Departement of Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2004 [cited 2011 Apr 10]. Available from www.emcreg.org.
Nasuution SA, Ismail D. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3.Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Alih bahasa Peter Anugrah. Editor Caroline Wijaya. Ed. 4. Jakarta : EGC ; 1994.
Sylvia A, Price, Lorraine M. Wilson.2000.Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-proses Penyakit) Buku 2, Edisi 4. Jakarta: EGC.