TINJAU ULANG PERAN
KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU DALAM IKUT MENDORONG PERCEPATAN PENEMBANGAN WILAYAH
PENGANTAR
Pada hari-hari belakangan ini kita dihadapkan pada suatu diskusi tentang bagaimana menyikapi kondisi perkembangan makroekonomi nasional yang dianggap memiliki momentum yang sangat baik. Momentum ini adalah anomali perkembangan politik global. Ketika dunia mengalami masalah, Indonesia malah diuntungkan. Penyebab anomali ini adalah karena ketika pertumbuhan ekonomi dunia yang bergerak melambat akibat diterjang berbagai persoalan global seperti; gejolak politik negaranegara Timur Tengah, bencana alam Tsunami di Jepang, dan administrasi pemerintahan Presiden Obama yang sedang bermasalah dengan hutang dalam negerinya yang membuat gelombang besar pasar keuangan dunia, justru Indonesia saat ini menjadi salah satu negara tujuan yang dijadikan tempat untuk docking pergerakan keuangan global melalui pasar sekunder.
Berbagai kalangan baik dari unsur-unsur Pemerintah maupun para akademisi, dan pelaku usaha mencoba menguraikan gejala-gejala yang terjadi ini untuk mencari tahu langkahlangkah apa yang bisa antisipasi kedepan mengambil manfaat kesempatan tersebut. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) setelah dua tahun terakhir ini, ekonomi Indonesia masuk dalam peringkat ke-16 terbesar di dunia. Kalau dihitung dari posisi, katakan 5 (lima) tahun yang lalu, tepatnya sejak 2006, PDB per kapita Indonesia naik hampir dua kali lipat menjadi 3.000,5 USD pada tahun 2010 kemarin. Kondisi ini semestinya disambut gembira karena menunjukkan kebijakan Pemerintah kelihatan berjalan sebagaimana sesuai rencana. Namun herannya, dari berbagai diskusi yang berkembang di luar sana, banyak pandangan yang pesimis bahwa prestasi tersebut akan berdampak positif bagi perkembangan wilayah nasional, khususnya masyarakat daerah-daerah tertinggal. Di tengah-tengah keraguan dan ketidakpastian akan kondisi itu, dengan analisis yang sederhana tulisan ini akan mencoba menguraikan situasi yang terjadi untuk melihat bagaimana sebaiknya kawasan pengembangan ekonomi terpadu diposisikan dapat memanfaatkan momentum ini untuk dapat tumbuh.
„
FENOMENA PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL
ekonomi yang semestinya disambut gembira ini justru memunculkan ketimpangan yang tinggi di masyarakat. Dari uraian di atas, sisi fenomena apa yang dapat kita perkirakan terkait dengan konteks kebijakan pengembangan wilayah nasional kita. Pertama, kita boleh curiga bahwa sebenarnya dengan fenomena tersebut telah terjadi stagflasi dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia walaupun kita disuguhi peringkat pertumbuhan yang menggembirakan. Fenomena stagflasi ini artinya pertumbuhan yang tinggi pada kenyataannya tidak seindah aslinya, jika hal itu dikaitkan dengan fakta lapangan yang memperlihatkan semakin banyaknya masyakarat miskin dan tingginya tingkat pengangguran. Jadi stagflasi hendak mengatakan bahwa pertumbuhan memang meningkat namun kemampuan daya beli masyarakat justru menurun. Kedua, dengan kecurigaan pada butir pertama, kita dapat menduga bahwa pertumbuhan ekonomi nasional sebenarnya bersifat quasy. Hal ini dapat dijelaskan seperti ini. Sebenarnya pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia saat ini terjadi pada secondary market yang tumbuh pesat karena adanya capital in-flow yang deras yang masuk ke pasar domestik.
Pasar saham Indonesia menjadi salah satu bursa pencetak keuntungan terbesar melebihi bursa saham regional, namun masuknya modal yang besar ini ke bursa saham Indonesia tidak dibarengi dengan kemampuan menyerap dana tersebut ke dalam industri dalam negeri. Bukti lain yang dapat kita lihat adalah bahwa penguatan nilai tukar rupiah kita yang hingga saat ini mencapai rata-rata 9.000 rupiah tidak mampu mengurangi defisit perdagangan Indonesia dengan China. Indonesia gagal memanfaatkan forum pakta perdagangan bebas Asean-China (ACFTA) untuk mengurangi defisit perdagangan nasional dengan China. Sementara Thailand, tidak seperti Indonesia, justru mampu memanfaatkan ACFTA melalui produk-produk pertaniannya yang unggul. Bacaan dari fenomena butir kedua inilah yang selanjutnya mengantarkan kita kepada dugaan berikutnya yang akan memberikan analisis tentang kebijakan apa yang sebaiknya diambil oleh Pemerintah. Terakhir, kita boleh menduga bahwa dengan perkiraan-perkiraan yang terjadi sebagaimana yang diuraikan pada dua butir sebelumnya, bahwa pertumbuhan yang terjadi lebih banyak didorong oleh sektor-sektor yang bersifat capital intensive dimana sebagian besar masyarakat umumnya memiliki hambatan aksesibilitas untuk dapat berpartisipasi dalam sektor ini akibat rendahnya pendidikan, kurangnya informasi tentang kebijakan sektor keuangan bagi masyarakat berpendapatan rendah, ditambah birokrasi yang bertele-tele dalam penyaluran dana kepada pengusaha kecil yang umumnya berada di daerah-daerah terpencil. Persoalan lain yang klasik adalah tidak berminatnya industri padat karya untuk berinvestasi di daerah-daerah remote. Dugaan-dugaan di atas terkait ketimpangan pendapatan dan ketimpangan pembangunan wilayah menjadi lengkap apabila kita perhatikan minat lokasi penanamanmodal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang secara spasial masih menganggap Pulau Jawa adalah lokasi yang paling favorit untuk berinvestasi (BKPM, 2010). Hal ini kelihatannya didorong oleh kenyataan bahwa Pulau Jawa memiliki infrastruktur wilayah yang jauh lebih lengkap dibandingkan pulau-pulau besar lainnya, disamping memiliki potensi market terbesar untuk produk-produk industri olahan maupun jasa. Hampir duapertiga penduduk Indonesia berdomisili di P. Jawa, khususnya di kota sedang hingga kota besar/metro.
Memahami bahwa konsentrasi pertumbuhan ekonomi nasional masih sangat bias Pulau Jawa dan membuat ketimpangan pembangunan antar wilayah, khususnya Pulau Jawa dan Luar Jawa maka diperlukan adanya kebijakan affirmative action bagi wilayah-wilayah tertinggal oleh Pemerintah dalam upaya menjaga keseimbangan pembangunan antar wilayah melalui kepedulian Pemerintah untuk mendorong potensi latent kawasankawasan tertinggal agar dapat bertumbuh sama dengan kawasan-kawasan lainnya sudah terlebih dahulu maju. Affirmative Policy bagi masyarakat dan wilayah yang miskin ini sudah diamanatkan dalam UUD 1945 yang tersirat dalam Preambule dan Pasal 33. Karena itu ketika Dilip K. Das dalam bukunya Emerging Growth Pole: The Asia-Pacific Economy (1996) sempat pernah mengkategorikan Indonesia kedalam The ASEAN-4 bersama-sama dengan Malaysia, Thailand, dan Philippines, momentum apresiasi global terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu memberikan inspirasi kepada pemerhati kebijakan publik dan Pemerintah untuk mengembangkan kebijakan tentang pusat-pusat pertumbuhan (growth poles) ala Indonesia untuk mengentaskan masalah disparitas pembangunan yang terjadi di wilayah Nusantara. Pada masa itu kebijakan pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu atau yang sering kita dengar dengan istilah KAPET mulai dicanangkan melalui Keppres 89/1996 tentang KAPET sebagai jawaban terhadap Keppres 54 Tahun 1995 tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Semangat dari kedua Keppres tersebut adalah affirmative policy atau keberpihakan khusus negara kepada kepada kawasan atau wilayah yang tertinggal untuk disejajarkan dengan wilayah lain yang sudah terlebih dahulu berkembang karena faktor-faktor strategis geografis.
Kesadaran ini juga merupakan pengejawantahan dari prinsip-prinsip mekanisme pasar yang menuntut negara agar memperhatikan peserta pelaku ekonomi yang lemah seperti wilayah tertinggal untukKawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu atau KAPET, dari sisi lokasi dirancang sebagai kawasan yang memiliki nilai strategis secara geografis yang diandalkan untuk cepat tumbuh karena karena memiliki keuntungan lokasional karena kedekatannya dengan outlet, memiliki infrastruktur yang memadai, serta memiliki komoditas-komoditas unggulan yang menggerakan pertumbuhan ekonomi daerah sekitarnya, disamping juga memiliki peluang investasi yang sangat besar. Dalam konteks nasional bahkan KAPET diperhitungkan memiliki peran strategis untuk mengintegrasikan perekonomian Indonesia dalam skala Kerjasama Ekonomi Sub-Regional (KESR) seperti IMT-GT, BIMPEAGA dan AIDA. Untuk menunjukkan komitmen Pemerintah tentang keberpihakan terhadap kawasan tertinggal, khususnya dalam upaya percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia. KAPET bahkan melalui PP 26/2008 tentang RTRWN sebagai implementasi UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dari sudut kepentingan ekonomi. Konsepsi pengembangan KAPET adalah penciptaan iklim kondusif bagi investasi melalui percepatan dukungan infrastruktur yang berbasis pada keunggulan lokal dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya.
PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KAPET
itu langsung mengatakan agar rencana pembangunan kawasan Boan Xian atau Shenzen itu segera dilakukan. Keseriusan Pemerintah China yang menganut sistem sosialis dalam mengejar ketertinggalan pembangunan wilayahnya untuk bersaing secara global, dapat dilihat dari kebijakannya yang radikal dari sisi idiologi. Pemerintah China menjanjikan one state-two systems dalam kawasannya dimana sistem kapitalis dan sosialis diijinkan untuk co-exist. Selaku Ketua Partai Komunis yang sangat konservatif, Deng Xiaoping telah menunjukkan sikap selaku the cracker yang menganut asas see and do – melihat dan langsung bertindak. Tidak seperti asas yang selama ini kita anut yang bersifat profesional-konvensional, yaitu wait and see. Dalam waktu sepuluh tahun komitmen dan konsistensi Pemerintah China menunjukkan hasilnya yang sangat luar biasa. Keberhasilan ini terjadi karena komitmen dan konsistensi yang tinggi di tengah-tengah perubahan fokus kebijakan pembangunan kawasan, yang semula adalah kawasan yang berorientasi kepada penyediaan lapangan pekerjaan dan peningkatan devisa negara, berubah menjadi kawasan ekonomi khusus yang berorientasi kepada kebijakan sebagai windows of technology, management, knowledge, and foreign policy. Dalam sepuluh tahun, Shenzhen telah menjadi kota yang sangat maju seperti kota New York dari yang semula seperti kota Menado ketika penulis menyiapkan artikel ini disana minggu lalu. Harus dipahami oleh semua pihak yang bertanggungjawab terhadap keberadaan KAPETadalah bahwa semenjak awal kebijakan pengembangan kawasan KAPET pada dasarnya merupakan kebijakan yang bersifat kepedulian sosial negara terhadap wilayah tertinggal agar mampu mandiri sebelum mampu berkompetisi di pasar bebas. Upaya ini dilakukan melalui upaya mendorong percepatan pembangunan potensi kawasan, namun dalam prakteknya kebijakan pengembangan KAPET sebagai kebijakan negara kurang mendapat perhatian khusus.
Contoh tentang sering luputnya perhatian Pemerintah terhadap pengembangan KAPET adalah ketika adanya kebijakan-kebijakan baru tentang pengembangan ekonomi nasional yang terkait dengan kewilayahan atau tepatnya kawasan, maka kebijakan pengembangan KAPET selalu dilewatkan karena dianggap sudah tidak up to date atau merupak binatang lain yang dianggap tidak sesuai untuk dikaitkan. KAPET menjadi seperti anak tiri dalam kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Perhatikan saja misalnya dalam pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) dan yang terakhir dengan kebijakan Pemerintah terkait dengan kebijakan pengembangan Koridor Ekonomi untuk percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia 25 tahun mendatang, KAPET sebagai kawasan yang sudah memiliki dukungan politik, pada awal pembahasan teknis hamper luput dari perhatian para pengambil kebijakan. Karena kebijakan pengembangan KAPET merupakan kebijakan yang bersifat affirmative action, artinya pengembangan KAPET sebagai kawasan ekonomi yang sengaja didorong, maka secara rasional KAPET membutuhkan perhatian yang khusus dan komitmen yang tinggi yang semestinya dilandaskan pada kemauan politik Pemerintah lintas regim yang konsisten dan tidak boleh ada jeda sampai kawasan tersebut bisa lepas landas.
sentralisasi ke desentralisasi yang semakin membatasi otoritas Badan Pengelola KAPET di daerah. Semenjak itu berbagai fasilitasi khusus diberikan kepada KAPET termasuk perhatian Pemerintah terhadap perlunya perubahan kelembagaan pengembangan dan pengelolaan KAPET termasuk revisi Keppres No. 150/2000 yang draftnya sudah disiapkan semenjak tahun 2002, hingga saat ini tidak pernah dibahas dalam forum Badan Pengembang KAPET untuk diputuskan bagaimana nasib KAPET kedepan. Keberadaan Badan Pengelola KAPET di daerah saat ini sebagai lembaga yang bertanggungjawab untuk memfasilitasi proses peningkatan kualitas kawasan melalui pelaksanaan koordinasi instansi terkait di Daerah maupun di Pusat, serta bertanggungjawab untuk melakukan promosi disamping membantu Pemerintah Daerah dalam memberi pertimbangan teknis bagi permohonan perizinan kegiatan investasi pada KAPET, berjalan
“terengah-engah” dan dirasakan sangat tidak efektif bagi pengembangan kawasan KAPET karena perannya yang dianggap tumpang tindih dengan struktur yang ada di dinas-dinas terkait. Persoalan lain yang dapat dirasakan pelaksanaan kebijakan KAPET adalah adanya penerapan perlakuan perpajakan di kawasan KAPET yang dilakukan tidak berbedadengan perlakuan pada Kawasan Berikat sebagaimana yang dapat dipelajari melalui PP No. 147 tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di kawasan KAPET. Kesulitan lain yang menghambat pengembangan KAPET hingga saat ini yang belum juga secara serius dipikirkan adalah bahwa tanggungjawab pengembangan KAPET yang sarat dengan pengembangan investasi, yang tidak saja investasi infrastruktur kawasan dan investasi jaringan transportasi, tetapi juga investasi kegiatan industri melalui kemudahan-kemudahan fiskal dan perijinan, pembinaan penyelenggaraan KAPET sesuaiKeppres No.150 Tahun 2000 seolah-olah seluruhnya menjadi menjadi tanggungjawab Kementerian Pekerjaan Umum. Isu lain yang tidak kalah rumitnya adalah bahwa pengembangan KAPET merupakan pengembangan kawasan skala besar. Skala besar dalam artian yang seluas-luasnya. Ambil contoh kawasan KAPET Khatulistiwa. Kawasan ini memiliki luas wilayah sangat luas, hampir seluas wilayah propinsi di pulau lain, sehingga jika hal ini dikaitkan dengan pengadaan infrastruktur kawasan seperti tenaga listrik, air baku kawasan, telekomunikasi, pelabuhan, dan jaringan jalan, menjadi sangat besar bebannya untuk diupayakan oleh Badan Pengelola KAPET tanpa ada perhatian khusus dari Pemerintah atau sektor-sektor terkait.
REORIENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAPET
Sejak awal reformarsi, RPJM Nasional 1999-2004 telah memberikan landasan yang cukup kuat sebagai dasar bagi kebijakan pengembangan kawasan di Indonesia, khususnya untuk pengembangan KAPET sebagai pendekatan pengentasan kawasan tertinggal yang menjadi tanggungjawab Pemerintah dalam rangka pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok wilayah Nusantara. Secara kewilayahan upaya pemerataan pembangunan yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah belum dapat dikatakan berjalan seperti yang diharapkan. Ketimpangan pembangunan antar wilayah yang sangat menyolok masih terlihat walaupun dikatakan bahwa indikasi pertumbuhan makroekonomi nasional telah menjelaskan adanya peningkatan yang singnificant. Karena itu, upaya percepatan pembangunan ekonomi nasional yang mengutamakan pengembangan sektor-sektor strategis yang memiliki kontribusi besar terhadap PDB nasional memang perlu menjadi perhatian khusus, namun memberikan perhatian khusus dimana sebaiknya sektor-sektor strategis itu juga perlu dikembangkan agar dapat mendorong pertumbuhan daerah-daerah tertinggal, juga menjadi sangat penting. Karena itu beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam upaya mengembangkan KAPET kedepan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Mengingat bahwa kebijakan pengembangan KAPET merupakan perwujudan kepedulian negara terhadap masyarakat yang berada di wilayah tertinggal, maka pelaksanaan kebijakan pengembangan KAPET harus dilakukan secara konsisten sampai pada level tertentu dimana wilayah tersebut sudah dianggap mampu untuk mandiri dalam berkompetisi secara ekonomi dalam pasar bebas, atau paling tidak pada level tertentu mampu secara mandiri untuk membuka kendala-kendala penghambat pembangunan.
2. Kementerian Pekerjaan Umum sebagai kementerian yang memiliki tupoksi pengembangan wilayah dapat mengambil peran sebagai leading sector pengembangan kawasan ekonomi, dengan menetapkan kebijakan program khusus yang mendukung kawasan binaan untuk pengembangan ekonomi terpadu di suatu wilayah tertentu yang akan dapat dijadikan contoh bagi kawasan-kawasan lainnya di wilayah yang tertinggal.
3. Upaya mendorong percepatan pembangunan kawasan KAPET harus dapat memanfaatkan kebijakan pengembangan kawasan-kawasan lain seperti kebijakan kerjasama ekonomi sub-region (KESR), pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), kebijakan pengembangan Koridor Ekonomi (KE), dan kebijakan-kebijakan pengembangan ekonomi yang berbasis kawasan atau regional lainnya.
pengembangan kawasan ekonomi. Dalam kaitan itu perlu segera dilakukan upaya revitalisasi kelembagaan atau manajemen pengembangan kawasan KAPET yang lebih menekankan pada otoritas yang lebih luas kepada daerah untuk mengelola kawasan dengan dukungan investasi infrastruktur melalui kebijakan fiskal yang longgar dan regulasi yang cukup luas.
5. Untuk menjamin upaya kebijakan penguatan peran KAPET sebagai pusat pertumbuhan wilayah, disamping sebagai upaya untuk mengurangi disparitas pembangunan antara wilayah bagian Barat dan wilayah bagian Timur Indonesia, pada tahun 2011-1014 agenda KAPET harus memiliki fokus yang terarah kepada peningkatan kualitas kawasan agar dapat menarik investasi terutama dalam peningkatan kualitas infrastruktur kawasan dan peningkatan capacity building untuk penguatan peran kelembagaan Badan Pengelola KAPET.